Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN
Angka kematian sepsis masih cukup tinggi baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
Moewardi Surakarta tahun 1997, 130 (97%) dari 135 pasien sepsis meninggal dunia
(Guntur, 1999). Penelitian lain di bagian Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi
Surakarta tahun 2004, 74 (83,1%) dari 89 pasien sepsis meninggal (Arifin dan
Guntur, 2005). Dari penelitian yang dilakukan selama Januari 2006-Desember 2007
di bagian PICU/NICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, terdapat angka kejadian
sepsis 33,5% dengan tingkat mortalitas sebesar 50,2% .23
Sepsis berat terjadi kira-kira pada 3 orang tiap 1000 orang penduduk tiap
tahun dan merupakan 2% dari jumlah rawat tinggal di Rumah Sakit. Tiga persen
diantara pasien tersebut akan mengalami syok septik dan 10 diantaranya memerlukan
perawatan di ruang intensif (ICU). Kematian yang disebabkan oleh sepsis berat
sebesar 30% dan 50%-60% disebabkan oleh syok septik. 5
Terapi sepsis dengan menggunakan inovasi klinis dan farmasi, masih
merupakan tugas yang sangat sulit. Perkembangan terapi dengan obat-obatan akan
berdampak secara mendasar pada angka kesakitan dan kematian akibat sepsis.
Karena sepsis pada manusia merupakan penyakit yang kompleks dan berkembang,
menentukan populasi pasien yang bisa memperoleh manfaat dari terapi potensial dan
waktu pemberian terapi merupakan hal yang penting. 29
Penelitian terbaru telah berhasil menemukan banyak target terapi sepsis yang
potensial dan menarik. Perkembangan terapi medikamentosa untuk mengurangi
angka kesakitan dan kematian akibat sepsis memiliki kesulitan dengan banyaknya
obat anti-inflamasi dan anti-koagulan yang tampaknya menjanjikan di lingkungan
laboratorium, tetapi tidak memberikan

manfaat survival pada uji coba random

terbaru pada manusia. Namun dengan pengecualian hal tersebut, recombinant human
activated protein C, kortikosteroid dosis rendah vasopresor dan inotropik serta terapi
insulin intensif telah terbukti menurunkan angka kematian dan telah menjadi terapi
yang diterima secara luas untuk terapi populasi spesifik pasien sepsis. 3, 7, 28, 29

Tahun 2002 pada konferensi ke 15 Europen Society of Intensive Care


Medicine, para ahli Critical Care dari seluruh dunia sepakat bahwa konsentrasi aksi
adalah menurunkan angka kematian sepsis berat di seluruh dunia. Para ahli Critical
Care bersama-sama membentuk Surviving Sepsis Campaign, dengan maksud untuk
menurunkan angka kematian akibat sepsis sebesar 25 % selama 5 tahun ke depan
yang tertuang dalam deklarasi Barcelona. Pada maret 2004, dua tahun setelah
deklarasi Barcelona, dikeluarkan rekomendasi yang disebut Surviving Sepsis
Campaign Guidelines for The Management of Severe Sepsis and Septic Shock.
Petunjuk dari Surviving Sepsis Campaign (SSC) telah memberi kemajuan penting
dalam promoting terapi optimal pasien sepsis. 13
Petunjuk dari SSC merupakan rekomendasi untuk penatalaksanaan pasien
sepsis berat dan syok septik. Salah satu yang direkomendasikan oleh SSC adalah
pemberian vasopresor-inotropik pada keadaan di mana hipotensi tidak berespon
terhadap resusitasi cairan (Dellinger dkk., 2008). Kontroversi pemakaian pilihan obat
vasopresor dan inotropik pada penderita syok septik masih banyak dibicarakan.
Penelitian-penelitian yang ada saat ini tentang pemakaian agen vasopresor-inotropik
banyak dilakukan pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Penggunaan
pemilihan agen vasopresor yang paling tepat pada syok septik menjadi perdebatan.
Penggunaan vasopresor-inotropik direkomendasikan pada penatalaksanaan syok
sepsis. 5, 14, 20, 21
Berbagai sistem penilaian dibuat dan diaplikasikan untuk menilai dan
mengevaluasi beratnya penyakit terutama di unit rawat intensif (ICU), dengan tujuan
memprediksi kesakitan dan kematian. Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation (APACHE) II, merupakan salah satu prediktor yang paling banyak
digunakan. Bila skor APACHE II dikombinasikan dengan gambaran penyakit yang
jelas, skor ini berguna untuk stratifikasi penyakit akut berdasarkan prognosis dan
dapat membantu peneliti membandingan keberhasilan bentuk terapi baru. 1, 29

BAB II
SYOK SEPSIS
Sepsis adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang
disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri gram negatif maupun positif, jamur,
virus dan parasit. Berbagai definisi telah diajukan, namun definisi yang saat ini
digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam konsensus American
Collage of Chest Physicians (ACCP) dan Society of Critial Care Medicine (SCCM)
pada tahun 1991. 8, 17
Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan
terhadap kriteria sebelumnya. Di mana pada konferensi tahun 2001 menambahkan
beberapa kriteria diagnosis baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan
memasukkan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein
(CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis. Rekomendasi yang utama
adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan yang terdiri atas : Predispotition (P),
Insult Infection (I), Response (R), dan Organ dysfunction (O) untuk menentukan
pengobatan secara maksimal berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi
gejala dan resiko yang individual. 17, 19
Tabel 2.1 Definisi sepsis. 8
SIRS (systemic
inflammatory respone
syndrome)

Respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau


lebih keadaan berikut :
1.Suhu >38C atau <36C
2.Frekuensi jantung > 90 kali/menit
3.Frekuensi napas > 20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
4.Leukosit darah >12.000/mm3 atau < 4.000/mm3
atau > 10 % bentuk imatur.

Sepsis

Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi


SIRS.

Sepsis berat

Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau


hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan
kesadaran.

Sepsis dengan
hipotensi

Sepsis dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan


tekanan darah sistolik 40 mmHg dan tidak ditemukan
penyebab hipotensi lainnya.

Syok septik

Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi


cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.

A.

Patogenesis Sepsis-Syok Septik


Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara produk
bakteri yang berupa toksin, baik endotoksin maupun eksotoksin sebagai super
antigen, virus, parasit, kerusakan jaringan (faktor eksternal) dengan faktor
penjamu yang disebut respon imun meliputi faktor pertahanan humoral dan
seluler. Respon penjamu terhadap sepsis bersifat sistemik sehingga disebut
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS).

17, 23

Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan


dan eradikasi organisme penyebab. Aktivasi respon inflamasi sistemik pada
sepsis dibutuhkan tubuh sebagai pertahanan tubuh terhadap agen infeksi.
Berbagai jalur inflamasi diaktifkan pada awal sepsis dengan tujuan untuk
menghambat invasi bakteri. Mekanisme ini termasuk pengeluaran sitokin,
aktivasi neutrofil, monosit, makrofag dan perubahan sel endothel, serta aktivasi
sistem komplemen, koagulasi, fibrinolisis dan sistem kontak. Pengeluaran tissuedamaging proteinase, radikal eicosanoids, oksigen dan nitrogen juga merupakan
bagian mekanisme pertahanan tubuh. 9, 12, 14, 25
Sistem imun secara tradisional dibagi menjadi sistem imun alamiah atau
nospesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired),
di mana tiap-tiap sistem imun tersebut memiliki fungsi dan peran yang berbedabeda dalam pertahanan penjamu dari agen-agen yang infeksius (Baratawidjaja,
2004). Untuk menghalangi masuknya mikroorganisme infeksius, sistem imun
alamiah mengembangkan berbagai reseptor yang disebut pattern recognition
receptors (PRRs)(sebagai contoh, toll-like reseptor [TLRs]), yang mempunyai
kemampuan untuk mengenali secara spesifik bentuk molekul dari patogen

(Pathogen-accociated molecular pattern/ PAMPs), sehingga sistem imun alamiah


mampu membedakan struktur molekul self ataupun non-self. 6, 15, 12, 15
Toll-like reseptor (TLRs) dilibatkan dalam pertahanan penjamu terhadap
invasi patogen, berfungsi sebagai sensor utama dari produk mikrobial dan
mengaktifkan jalur signaling yang menginduksi ekspresi gen imun dan proinflamasi. Dengan demikian, TLRs juga berimplikasi pada sejumlah penyakit
inflamasi dan penyakit yang dimediatori oleh sistem imun. 17, 26
Kuman gram negatif (terutama Echerichia Coli, Klebsiella species dan
Pseudomonan Aeruginosa), dan gram positip kokus (terutama Staphylococcus
dan Streptococcus) adalah mikroba yang sering ditemukan pada pasien sepsis
berat dan syok septik. Lipopolisakarida (LPS) adalah komponen penting dinding
luar dari kuman gram negatif dan memiliki peran penting untuk terjadinya sepsis
akibat kuman gram negatif. 9, 16, 18

Gambar 2.1 Proses intraseluler pada sistem pertahanan alamiah


Skema di atas menggambarkan beberapa proses intraseluler yang terjadi pada sepsis.
Penanda dari luar yang berasal dari mediator akan diikat oleh CD11b yang merupakan
reseptor yang berada pada permukaan sel, yang selanjutnya akan memacu serangkaian
proses reaksi kinase intraseluler melalui Toll-like receptors (TLR). Sebagian dari aktivasi
awal ini akan meningkatkan regulasi ekspresi CD11b/CD18 pada permukaan sel.
Inflamasi sendiri akan memacu stress oksidatif intraseluler yang dapat menyebabkan
perubahan potensial membran mitokondria. Stres oksidatif akan mengaktifkan NF-B
melalui pemecahan fosforilasi dari inhibitory sub-unit I-B. I-B yang telah didegradasi
melalui proses fosforilasi dan obiquinasi akan menyisakan produk aktif bebas p50-p65

dimer yang akan berpindah ke inti sel di mana melalui ikatan dalam reseptor pada inti sel
akan meningkatkan sintesis mRNA untuk gen-gen spesifik yang akan mengkode sintesis
mediator pro-inflamasi (seperti TNF-, IL-1, IL-8, iNOS, COX2). Stres oksidatif
intraseluler juga akan mengaktifkan heat shock factor (Hsp), yang seperti NF-B akan
berpindah ke dalam inti sel di mana akan terikat dalam inti sel yang selanjutnya akan
menambah pengkodean mRNA untuk sintesa Hsp. Hsp70 akan menurunkan regulasi
aktivitas NF-B baik melalui pembatasan oksidasi mitokondria berikutnya maupun
dengan cara membatasi fosforilasi NF-B. Hsp70 dengan cara membatasi stres oksidatif
mitokondria juga meminimalisasi pengeluaran sitokrom sehingga akan menurunkan stres
apoptosis. 6

CD14 merupakan anggota spesifik dari sistem imun alamiah yang


termasuk dalam PRRs. CD14 merupakan reseptor glikosilfosfatidilinositol 55 kd
yang mengikat LPS dengan afinitas yang tinggi dan sangat berperan dalam
memperantarai respon terhadap LPS. Salah satu kemajuan utama dalam
pemahaman awal peristiwa pengenalan mikroba dan perkembangan sepsis adalah
dengan identifikasi TLRs. Dalam penelitian Medzhitov dan teman-teman, TLR4
menunjukkan aktivasi Nuclear Factor Kappa Beta (NF-B) dan menginduksi
ekspresi sejumlah sitokin pro-inflamasi sebagai respon terhadap LPS. Yang lebih
penting, penelitian-penelitian yang telah dilakukan telah memberikan informasi
yang kritis tentang reseptor membran untuk LPS dengan menyediakan mata
rantai antara LPS yang mengikatkan pada CD14 dan pemberian sinyal
transmembran melalui TLR4. 18, 26
Ikatan antara TLRs dengan epitop-epitop pada mikroorganisme akan
menstimulasi signaling intraseluler, meningkatan transkripsi molekul proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin-1, demikian
juga sitokin anti-inflamasi seperti interleukin-10. Sitokin pro-inflamasi akan
meningkatkan regulasi molekul adhesi pada neutrofil dan sel endothel. Meskipun
aktivasi neutrofil akan membunuh mikroorganisme, neutrofil juga menyebabkan
injury pada endothel dengan meningkatkan mediator-mediator yang akan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, menyebabkan aliran cairan yang kaya
protein ke paru dan jaringan-jaringan lain. Sebagai tambahan, aktivasi sel
endothel menyebabkan pengeluaran nitric oxide (NO), yang berpotensi
menyebabkan vasodilator di mana merupakan mediator utama untuk terjadinya
syok septik. 9, 17, 27

Sepsis yang dihasilkan bakteri gram positif berbeda dengan gram negatif,
di mana organisme gram positif memerlukan serangkaian respons dari penjamu
dengan pembunuhan intraseluler dengan neutrofil dan makrofag. Hal ini berbeda
dengan kuman patogen gram negatif, yang mungkin siap dibunuh dalam ruang
ekstraseluler oleh antibodi dan komplemen. 18

Gambar 2.2 Imunopatogenesis sepsis


Skema di atas menjelaskan imunopatogenesis sepsis, baik dari endotoksin gram negatif
maupun eksotoksin gram positif. Endotoksin gram negatif dapat secara langsung dengan
LPS dan bersama-sama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk LBP.
LBP yang berada dalam darah penderita akan bereaksi dengan makrofag melalui Tolllike Receptors 4 (TLRs4) sebagai reseptor transmembran dengan perantaraan reseptor
CD14, selanjutnya melalui pemberian sinyal transmembran makrofag akan
mengekspresikan berbagai macam imunomodulator.Kuman Eksotoksin yang diproduksi
bakteri gram positif bertindak sebagai superantigen bakteri, sebagai molekul protein
yang berpotensi untuk menstimulasi sel-T. Superantigen dapat secara langsung
mengadakan ikatan dan menstimulasi aktivasi limfosit T tanpa melalui makrofag atau
monosit sebagai antigen presenting cell (APC) terlebih dahulu. Superantigen akan
mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh dan dapat menstimulasi produksi berbagai jenis
mediator inflamasi termasuk IL-2, IFN- dan coloni stimulating factor (CFS) yang
kemudian akan menstimulasi makrofag. Makrofag akan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan
TNF-, juga sederetan enzim (protease netral, misalnya kolagenase dan elastase) yang
dapat merusak jaringan ikat, molekul prokoagulan (faktor jaringan dan faktor VII) yang
dapat menyebabkan koagulasi lokal melalui jalur koagulasi ekstrinsik dan aktivator
plasminogen. GM-CFS akan mengaktifkan neutrofil dan komponen C3, C3a dan C5a.
Neutrofil akan beradesi dengan sel sasaran (endotel pembuluh darah), disertai dengan
gumpalan darah akibat endapan fibrin, maka fungsi pembuluh darah terganggu. 16

Eksotoksin yang diproduksi bakteri gram positif bertindak sebagai


superantigen

bakteri,

sebagai

molekul

protein

yang

berpotensi

untuk

menstimulasi sel-T. Superantigen dapat secara langsung mengadakan ikatan dan


menstimulasi aktivasi limfosit T tanpa melalui makrofag atau monosit sebagai
antigen presenting cell (APC) terlebih dahulu. Superantigen diketahui dapat
mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh dan dapat menstimulasi produksi
berbagai jenis mediator inflamasi termasuk IL-2, IFN- dan colony stimulating
factor (CSF) yang kemudian akan menstimulasi makrofag. Makrofag akan
mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF-, juga sederetan enzim (protease netral,
misalnya kolagenase dan elastase) yang dapat merusak jaringan ikat, molekul
prokoagulan (faktor jaringan dan faktor VII) yang dapat menyebabkan koagulasi
lokal melalui jalur koagulasi ekstrinsik dan aktivator plasminogen. GM-CSF akan
mengaktifkan neutrofil dan komponen C3, C3a dan C5a. Neutrofil akan beradesi
dengan sel sasaran yaitu endotel pembuluh darah, disertai dengan gumpalan
darah akibat endapan fibrin, maka fungsi pembuluh darah terganggu.
Superantigen ini bisa menginduksi sindrom syok toksik dan sewaktu-waktu dapat
menyebabkan terjadinya Multiple Organ Failure (MOF). 17
Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi berbagai jenis
mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Mediator sangat komplek karena
melibatkan berbagai sel dan mediator yang dapat mempengaruhi satu sama lain.
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih
banyak faktor lain (non sitokin) yang berperan dalam menentukan perjalanan
suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu keadaan patogen melibatkan
bermacam-macam komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik yang
bersifat pro-inflamasi maupun anti-inflamasi. Apabila keseimbangan antara pro
dan anti-inflamasi tidak tercapai maka dapat menimbulkan kerugian bagi tubuh.
Pada proses inflamasi apabila mediator pro-inflamasi lebih dominan maka SIRS
menjadi lebih berat dan cenderung terjadi syok septik. Apabila mediator antiinflamai lebih dominan maka akan terkompensasi menjadi keadaan yang disebut
Compensatory Anti Inflammatory Syndrom (CARS). Pada keadaan CARS
ternyata dapat menimbulkan reaksi imunologis yang menyebabkan kebocoran
pada dinding pembuluh darah sehingga terjadi syok septik. Apabila pro dan anti8

inflamasi seimbang, maka tubuh dalam keadaan homeostasis yang disebut Mixed
Antagonis Respon Syndrome (MARS). MARS adalah suatu keadaan yang sesuai
dengan definisi respon

imun, yaitu membuat kondisi tubuh dalam keadaan

homeostasis. 8, 17
Imunomodulasi pada sepsis sangat kompleks dan saling tumpang tindih.
Konsep baru tentang patogenesis sepsis dapat menjelaskan bahwa ada 5 tahapan
terjadinya multiple organ dysfunction syndrome (MODS) pada sepsis, yaitu
stadium reaksi lokal, respon sistemik awal, inflamasi sistemik masif,
imunosupresi masif dan imunologi dissonance . 8, 10
Respon awal tubuh adalah menginduksi mediator pro-inflamasi untuk
menghancurkan jaringan yang rusak, benda asing, kuman dan merangsang
pertumbuhan jaringan baru. Kompensasi mediator anti-inflamasi segera muncul
untuk mencegah agar pro-inflamasi tidak terlalu destruktif. IL-4, IL-10, IL-11,
IL-13, reseptor TNF- terlarut, antagonis reseptor IL-1, tumor growth factor
(TGF)-

dan mediator

lainnya

bertujuan

mengurangi

ekspresi

Major

Histocompability Complex (MHC) kelas II, menurunkan aktivitas Antigen


Precipaiting Cell (APC), dan menurunkan aktivitas sel untuk memproduksi
sitokin pro-inflamasi. Semua reaksi ini berlangsung lokal tanpa reaksi sistemik
berlebihan. 8
Bila mediator pro-inflamasi didapatkan dalam sirkulasi menandakan
bahwa kerusakan/ kuman tidak dapat dikontrol oleh reaksi lokal saja. Mediator
pro-inflamasi bertujuan membantu menarik neutrofil, sel limfosit T, dan B,
trombosit dan faktor koagulasi untuk datang ke daerah injury atau infeksi. Reaksi
ini merangsang respon kompensasi sistemik anti-inflamasi. Tetapi respon ini akan
segera menurunkan respon sistemik pro-inflamasi. Manifestasi klinis akan
muncul tetapi tidak berat dan jarang menimbulkan disfungsi organ. 8, 27
Pada stadium inflamasi sistemik masif terjadi kehilangan mekanisme
regulasi respon pro-inflamasi sehingga timbul manifestasi klinis SIRS. Hal ini
terjadi akibat dari : (1) progresivitas disfungsi endothel sehingga terjadi
peningkatan

permiabilitas

mikrokapiler;

(2)

trombosit

yang

memblok

mikrosirkulasi sehingga timbul iskemia atau injuri reperfusi dan menginduksi


Heat Shock Protein (HSP); (3) aktivasi sistem koagulasi dan gangguan jalur
9

inhibisi protein C dan protein S; (4) adanya vasodilatasi dan maldistribusi aliran
darah sehingga pasien jatuh pada fase syok. Pada stadium ini merupakan
ancaman terjadinya disfungsi organ dan MOF bila homeostasis tidak segera
diatasi. 8, 23

Gambar 2.3 Konsep patogenesis sepsis 8


Pada

stadium

imunosupresif

masif

terjadi

reaksi

anti-inflamasi

kompensasi yang tidak efektif dan menyebabkan terjadinya imunodefisiensi.


Keadaan ini sering disebut sebagai immune paralysis atau CARS. Pada suatu
penelitian didapatkan bahwa pada pasien dengan SIRS dan CARS didapatkan
ekspresi Human leucocyte Antigen (HLA) DR monosit menurun kurang dari
30%. Penambahan interferon (IFN)-1 dapat meningkatkan ekspresi HLA-DR
pada permukaan monosit sehingga memperbaiki fungsi monosit dan sekresi IL-6
dan TNF- sehingga kondisi pasien membaik. 10, 27
Stadium akhir dari sepsis adalah imunologi dissonance, jadi terjadi
ketidaksesuaian atau sistem imunomodulator berada di luar keseimbangan.
Keadaan ini sering dianggap sebagai keadaan yang persisten sehingga
mempunyai angka kematian yang tinggi. 8, 27

10

B.

Hipotensi Pada Syok Septik


Hipotensi pada syok septik terjadi sebagai akibat vasodilatasi atau sebagai
akibat disfungsi miokardial sehingga terjadi penurunan curah jantung sehingga
akan terjadi gangguan hemodinamik yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi
tidak adekuat dan mengganggu metabolisme pada sel dan jaringan. Terdapat 8
faktor yang berperan dalam terjadinya syok septik :
1. Volume intravaskuler : berperan dalam mempertahankan tekanan aliran balik
vena (venous return) jantung. Penurunan volume intravaskuler akibat
kehilangan darah, plasma atau cairan dapat mempengaruhi aliran balik dan
curah jantung.
2. Jantung : Curah jantung dipengaruhi oleh frekuensi dan irama jantung,
kontraktilitas dan keseimbangan preload dan after load.
3. Resistensi vaskuler : perubahan tonus arterial akan mempengaruhi pengisian
ventrikel, tekanan arteri dan distribusi volume sistemik. Perbedaan tonus
arterial pada organ akan menyebabkan maldistribusi volume darah yang
mengakibatkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
4. Mikrosirkulasi dan kapiler : berperan dalam transportasi cairan dan nutrisi.
Gangguan sirkulasi mikrovaskuler akan menyebabkan gangguan metabolisme
sel, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan
terjadinya edema interstisiel.
5. Resistensi venula : berperan dalam 10-15% resistensi vaskuler. Peningkatan
resistensi venula dan tekanan hidrostatik menyebabkan keluarnya cairan dari
intravaskular ke interstisiel.
6. Hubungan arteri-vena tanpa melalui kapiler : menyebabkan hipoksia dan
gangguan transport nutrisi.
7. Kapasitas vena : vena dapat menampung hingga 80% volume sirkulasi.
Penurunan tonus vena dan peningkatan kapasitas vena akan mempengaruhi
volume sirkulasi sistemik.
8. Patensi pembuluh darah : obstruksi pembuluh darah dapat menyebabkan
penurunan aliran balik vena.
Gangguan pada tingkat sel yang menyebabkan disfungsi endotel,
vasodilatasi akibat pengaruh NO menyebabkan terjadinya maldistribusi volume
11

darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Faktor lain yang berperan
adalah disfungsi miokard akibat pengaruh berbagai mediator sehingga terjadi
penurunan curah jantung. Proses ini mendasari terjadinya hipotensi dan syok
pada sepsis. 4, 15, 27
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptif akan menyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/ gagal organ
multipel (MODS/ MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada
tingkat selular (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/ jaringan
sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi dan mirotrombus. Berbagai faktor
lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam
sirkulasi

(myoccardial

depressant

substance),

malnutrisi

kalori-protein,

translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit dan efek samping terapi yang
diberikan. 15, 26
C.

Penatalaksanaan Sepsis 15

12

BAB III
VASOPRESOR DAN INOTROPIK PADA SYOK SEPTIK
A. Syok Septik
Vasopresor adalah obat yang mempunyai efek vasokontriksi kuat
sehingga meningkatkan arterial pressure berakibat tekanan darah meningkat.
Inotropik adalah obat yang dapat meningkatkan kemampuan kontraksi otot
jantung sehingga kekuatan pompa jantung akan meningkat. 15
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi
cairan,

dan

disertai

hipoperfusi

jaringan.

Pada

keadaan

ini

terdapat

ketidakseimbangan antara DO2 (Oxygen Delivery) dan VO2 (Oxygen


Consumption). 18
Di USA dari 400.000 kasus sepsis, 200.000 kasus diantaranya mengalami
syok septik dan 100.000 kasus mengalami kematian.
Pada pasien yang mengalami syok septik jika mengalami hipoperfusi
jaringan, maka perlu mendapatkan obat vasopresor-inotropik. 15, 18
Vasopresor-inotropik diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi
setelah pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresorinotropik diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai
MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Vasopresor dapat
memakai dopamine > 8 g/ kg bb/ menit, norepinefrin, phenylephrine, epinefrin.
Sedangkan inotropik dapat menggunakan : dobutamin, dopamine 3-8 g/ kg bb/
menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone). 27, 28
Kondisi patologis pada keadaan sepsis (sepsis berat atau syok septik)
dapat mempengaruhi pada hampir setiap komponen sel sirkulasi mikro, termasuk
sel endotel, sel otot polos, lekosit, eritrosit, dan jaringan. Jika tidak dapat
dikoreksi secara tepat, suplai aliran darah yang jelek dapat menyebabkan distress
respirasi pada jaringan dan sel, dan lebih lanjut lagi menyebabkan disfungsi
sirkulasi yang hasil akhirnya adalah kegagalan organ (gambar 3. 1). Sirkulasi
menjamin ketersediaan oksigen untuk tiap sel dan jaringan, menjadi penentu
organ berfungsi baik atau tidak. Disfungsi sirkulasi yang terjadi selama beberapa
13

waktu dapat menjadi penggerak utama kondisi patologis sepsis yang berakibat
pada kegagalan organ yang kemudian dapat terjadi kegagalan multi organ. 10

Gambar 3. 1. Kaskade kegagalan organ akibat disfungsi mikrosirkulasi pada sepsis

B. Tanda Klinis Syok Septik


1.

Fase dini : terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan
kering.

2.

Pasca resusitasi cairan : terdapat gambaran klinis yang menunjukkan adanya


syok hiperdinamik yaitu takikardia, nadi keras dengan tekanan nadi melebar,
precordium hiperdinamik pada palpasi dan ekstremitas hangat.

3.

Disertai tanda-tanda sepsis.

4.

Tanda hipoperfusi : takipnea, oliguria, sianosis, motling, iskemia jari,


perubahan status mental. 18

C. Perubahan Hemodinamik Pada Syok Septik


Tanda karakteristik sepsis berat dan syok septik pada stadium awal adalah
hipovolemia, baik relative (oleh karena venous pooling) maupun absolute (oleh
karena transudasi cairan). Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu
curah jantung rendah, sehingga apabila volume intravaskuler adekuat, curah

14

jantung akan meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung
melemah, mengakibatkan fungsi jantung instrinsik (sistolik dan diastolik)
terganggu. Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia pada
peningkatan volume sekuncup), tetapi aliran aliran darah perifer tetap berkurang.
Status hemodinamik pada sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira
hiperdinamik (vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut
kenyataannya lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah
berkurang).
Tanda karakteristik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah
gangguan ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran
darah perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen
perifer terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan ekstraksi oksigen dari
mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septik dipercaya sebagai
penyebab utama terjadinya oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya
hiperlaktataemia, hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena
dys-oxia jaringan (produksi energy dalam keterbatasan oksigen). 17, 18
D. Support Hemodinamik Pada Syok Septik

Gambar 3. 2. Replacemen Cairan pada Sepsis

Perubahan dasar hemodinamika yang terjadi pada pasien sepsis adalah


kelainan patologik arterial. Walaupun kadar katekolamin dalam darah pada sepsis
meninggi, respon vaskuler terhadap stimulasi reseptor alfa adrenergic tampaknya
15

terganggu. Beberapa mediator yang diduga bertanggung jawab terhadap


mekanisme vasodilatasi ini antara lain adalah interleukin 1 (IL-1), tumor necrosis
factor (TNF), nitric oxide (NO) dan prostaglandin aktifitas komplemen (C3a,
C5a). kemungkinan lain sebagai penyebab adalah perubahan dalam metabolisme
pembuluh darah sendiri. 16, 18
Gambaran yang khas pada pasien sepsis dengan syok adalah hipotensi
yang terjadi karena dilatasi pembuluh darah arteri. Resistensi vaskuler sistemik
sangat rendah dan curah jantung akan meningkat. Frekuensi denyut jantung akan
meningkat pula, demikian juga resistensi vaskuler paru akan meningkat, karena
kompensasi terhadap kekurangan O2. Keadaan ini disebabkan karena adanya
produksi NO yang meningkat berlebihan. Terjadinya peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah yang disebabkan peningkatan aktifitas komplemen (C3a,
C5a), sehingga banyak cairan plasma yang menuju keluar (ekstravasasi). 17
Secara umum tujuan dari resusitasi adalah memperbaiki oksigenasi pada
jaringan atau sel (Gambar 2). Resusitasi dilakukan secepat mungkin, secara
intensif dalam 6 jam pertama. Terapi yang dilakukan mencakup tindakan Airway
(A), Breathing (B) dan Circulation (C) dengan oksigenasi, terapi cairan biasanya
menggunakan cairan kristaloid dan koloid, vaspresor-inotropik dan transfusi bila
diperlukan. Resusitasi kristaloid menyebabkan ekspansi ruang interstisial,
sedangkan koloid intravena yang bersifat hiperonkotik, karena tekanan onkotik
cenderung menyebabkan ekspansi volume intravaskuler dengan meminjam
cairan dari ruang interstisial. Koloid isoonkotik dapat mengisi ruang intravaskular
tanpa mengurangi ruang interstisial. 18, 19
Dari pertimbangan fisiologis terlihat bahwa kristaloid menyebabkan lebih
banyak edema daripada koloid. Ini mungkin memburuk. Pada keadaan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Koloid mungkin hanya sedikit sekali
merembes ke dalam ruang interstisial, sehingga sebagian besar koloid akan
terdapat tetap di dalam intravaskuler dan akhirnya koloid akan terdapat tetap di
dalam intravaskuler dan akhirnya koloid meninggikan tekanan onkotik plasma.
Ini akan menghambat kehilangan cairan selanjutnya dari sirkulasi dan
kemungkinan hal ini menguntungkan. Agaknya mikrovaskular masih mempunyai

16

kemampuan untuk mempertahankan gradient protein, walaupun terdapat


gangguan permeabilitas yang berat.
Kelebihan

koloid

dalam

respon

metabolik

dapat

meningkatkan

pengiriman O2 ke jaringan (DO2) dan konsumsi O2 (VO2) serta menurunkan


laktat serum. Parameter-parameter tersebut merupakan indikator penting untuk
mengetahui apakah penderita membaik atau akan jatuh ke situasi yang lebih
buruk.
Perbaikan volume darah bertujuan mengoptimalkan cardiac output tanpa
meningkatkan resiko terjadinya edema paru. Biasanya digunakan bergantian
antara kristaloid dan koloid. Untuk meningkatkan oksigenasi jaringan dan
mengurangi kebutuhan oksigen jaringan. Koreksi terhadap asidosis yang terjadi
pada sepsis berat atau syok septik dapat berlangsung cepat bila penyakit dasar
membaik. Sodium bikarbonat disarankan untuk diberikan asidosis berat saja.
Dalam pengelolaan dengan sepsis terutama penderita dengan syok septik,
terutama pada penderita dengan syok mengancam, perlu dilakukan pemantauan
ketat. Khusus syok septik, konsensus merekomendasikan :
1.

Cairan resusitasi segera diberikan dengan cairan yang ada.

2.

Cairan koloid lebih dianjurkan untuk resusitasi awal karena mempunyai efek
hemodinamik segera.

3.

Infus cairan selanjutnya dapat memakai koloid atau kristaloid. 18, 20

E. Resusitasi Pada Syok Septik


Pada sepsis berat dan syok septik resusitasi merupakan persoalan yang
paling penting sehingga dikenal istilah Six Hour Goal Treatment. Pedoman
yang banyak dipakai dalam resusitasi adalah Early Goal Directed Therapy
(EGDT) yang mempunyai target optimal Central Venous Pressor (CVP), Mean
Arterial Pressure (MAP) dan Central Venous Oxygen saturation (SCVO2). 14, 18
Dengan melakukan EGDT cepat dan tepat waktu dapat mengurangi angka
kematian absolute sebanyak 16% (Society for Academic Emergeny Medicine,
2006). Mengurangi mortalitas di rumah sakit, mempunyai manfaat yang
bermakna pada hasil akhir perawatan pasien dengan sepsis berat dan syok septik.

17

F. Early Goal Directed Therapy protocol

Gambar 3. 3. EGDT

Pada syok septik cairan yang diberikan umumnya dianggap cukup bila
dicapai tekanan darah sistolik 90 mmHg dengan disertai tanda klinik perbaikan
perfusi end organ. Pada pasien tua atau dengan penyakit jantung iskemia atau
penyakit cerebrovaskuler mungkin perlu tekanan darah > 100 mmHg.
Pemasangan kateter vena sentral dipertimbangkan sebagai arahan bila
akan memberikan cairan dalam jumlah banyak dan pada

pemberian obat

vasoaktif. CVP manometer penting dalam memantau pemberian cairan dalam


jumlah dan kecepatannya. Proses pemasangan CVP tak boleh memperlambat
pemberian cairan.
Pada 20-30% pasien dengan syok septik memberi respon baik terhadap
pemberian cairan saja dan pada mereka dapat ditunda pemasangan CVP.
Meskipun telah dipasang CVP, terapi cairan dikurangi untuk maintenance rate,
tanpa tergantung pada pembacaan hasil CVP, bila keadaan klinik baik.
Bila clinical end point tak tercapai, maka cairan resusitasi berikutnya
diberikan sampai sekitar CVP 12-15 mmHg atau 15-18 mmHg. Bila ada
kemungkinan terjadi edema paru, maka dalam keadaan demikian dianjurkan
pemasangan Pulmonary Artery Catheter (PAC) bila mungkin. 18
18

G. Agen-agen Vasopresor
1. Dopamin IV Infusion
Infus dopamin dosis rendah (2-5 g/ kgbb/menit) hanya merangsang
reseptor dopamin (DA), sedangkan dosis sedang (5-10 g/ kgbb/menit)
merangsang adrenoseptor -1 tanpa mempengaruhi adrenoseptor . Sehingga
pada dosis ini, dopamin meningkatkan curah diuresis dan ekskresi natrium
tanpa menaikkan tekanan darah.
Dopamin mempunyai efek campuran yaitu sebagai inotropik dan
vasodilatasi pada end organ pada dosis rendah (2-5 g/ kg bb/ menit) pada
dosis 5-10 g/ kg bb/ menit meningkatkan kotraktilitas miokard dan curah
jantung dan meningkatkan konduksi jantung (meningkatkan rate). Pada dosis
> 10-20 g/ kg bb/ menit mempunyai efek terhadap reseptor agonis
sehingga dapat menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan tekanan darah
sentral.

Tingkatan dosis dopamine :


1)

Dopamine dosis renal (mengatasi ganguan fungsi ginjal) : 1-3 g/ kg bb/


menit.

2)

Dopamine dosis inotropik : 3- 8 g/ kg bb/ menit.

3)

Dopamin dosis vasopresor : > 8 g/ kg bb/ menit. 15, 18


Pemberian dopamin dosis rendah selama 2-3 hari biasanya cukup

aman dengan ketentuan bahwa volume darah yang beredar tetap adekuat, dan
penderita tidak berada dalam keadaan syok hipovolemik. Obat ini harus
dihentikan secara bertahap untuk mencegah hipotensi.
Dopamin dan noradrenalin dikontraindikasikan pada penderita
feokromasitoma, tirotoksikosis, aritmia dan penyakit-penyakit perivaskular
terlebih bila ada tanda-tanda gangren.
19

Di dalam klinik, infus dopamin sering dilakukan bersamaan


dobutamin. Karena dopamin sangat iritatif, maka infus dopamin harus
dilakukan melalui central line.
a. Indikasi :
1) Second line drug untuk symptomatic bradikardia setelah atropine.
2) Pada keadaan hipotensi (sistolik 70-100 mmHg) dengan disertai
sign dan symptom syok.
b. Precautions :
1) Koreksi hipovolemia dengan pemberian cairan sebelum memulai
terapi dopamine.
2) Lebih berhati-hati pada syok kardiogenik dengan disertai CHF.
3) Dapat menyebabkan takiaritmia dan vasokinstriksi berlebihan.
4) Jangan digabung dengan sodium bicarbonate.
c. Dosis :
Dosis 2-25 g/ kg bb/ menit di dalam cairan infuse (dekstrosa 5%
atau normal salin) tiap 15-20 menit sampai tekanan sistolik lebih dari 90
mmHg dan produksi urine lebih dari 30 ml/ jam. Titrasi dosis sesuai
dengan respon pasien, tapering dengan perlahan-lahan.
2. Norepinephrin IV Infusion
Terutama mempunyai efek -agonis (menyebabkan vasokontriksi) dan sedikit
efek -1 agonis.
a. Indikasi :
1) Severe

cardiogenic

shock

dan

hipotensi

akibat

gangguan

hemodinamik (tekanan darah sistolik < 70 mmHg) dengan penurunan


SVR (Sytemic Vascular Resistance).
2) Pilihan terakhir pada managemen ischemic heart disease dengan syok.
b. Precautions :
1) Meningkatkan kebutuhan oksigen miokardial, meningkatkan tekanan
darah dan meningkatkan heart rate.
2) Pencetus aritmia, hati-hati pada pasien dengan akut iskemik; monitor
cardiac output.
3) Ekstravasasi menyebabkan nekrosis jaringan.
20

c. Dosis :
Dosis awal : 0.1-0.2 g/ kg bb/ menit dan dilihat efek dalam
beberapa menit. Dosis maintenance adalah 0.05 g/ kg bb/ menit
diberikan melalui kateter plastik ke dalam vena besar/ central.
Karena efek pada reseptor -1, norepinephrin dosis 10-15 g/ kg
bb/ menit hanya dipakai pada keadaan dimana tekanan darah tak dapat
dipulihkan dengan berbagai cara; dapat dipakai kombinasi dengan
dopamine. Tambahkan norepinephrin dalam D5%, D5 NS tetapi tidak
dalam NS sendiri. Jangan gunakan IV line dengan alkaline solution. 15, 18
3. Isoproterenol IV infusion
a. Indikasi :
1) Digunakan jika external pacer tidak memberikan hasil pada terapi
symptomatic bradycardia.
2) Refractory torsade de pointes yang tidak respon terhadap magnesium
sulfat.
3) Keracunan beta blocker.
b. Precautions/ kontra indikasi :
1) Jangan gunakan pada terapi cardiac arrest.
2) Meningkatkan resiko iskemia miocardial.
3) Jangan gunakan dengan epinefrin; menyebabkan VT/ VF.
c. Dosis :
infuse 2-10 g/ kg bb/ menit. Titrasi dosis sampai heart rate adekuat.
Efek dilihat tiap 15-25 menit dan dosis diduakalikan bila perlu. 15, 18
H. Agen-agen Inotropik
Agen inotropik mempunyai efek meningkatkan kontraktilitas miokardial
dan efek terhadap pembuluh darah (tahanan vaskuler) yang bervariasi, sebagian
menyebabkan

vasokonstriksi

(epinefrin,

norepinefrin)

sebagian

lainnya

menyebabkan vasodilatasi (dopamine, dobutamin, melrinon).


Meskipun banyak digunakan tetapi harus diingat bahwa penggunaan yang
tidak tepat dapat memperjelek keadaan karena penggunaan

inotropik dapat

21

meningkatkan kebutuhan oksigen miokard yang dapat memperberat fungsi


miokard dengan perfusi yang sudah terbatas.
Efek vasokonstriksi juga akan memperberat iskemia mikrovaskular dan
akan memperjelek perfusi organ-organ perifer.
1. Dobutamin IV Infusion
Dobutamin adalah derivat isoprenalin (agonis adrenoseptor-beta).
Obat ini merupakan obat inotropik prioritas pertama untuk diberikan pada
penderita gagal jantung kongestif akut akibat infark miokard.
Dobutamin hidroklorida diberikan secara infus (dilarutkan dalam
glukosa 5% atau Na Cl 0.9%) dengan dosis 2-20 g/ kgbb/ menit untuk
jangka waktu 2-3 hari. Dalam dosis ini dobutamin meningkatkan cardiac
index.
Karena dobutamin adalah simpatomimetik sehingga meningkatkan
automatisasi dan kecepatan konduksi. Maka kontra-indikasi pemberian obat
ini adalah penderita Hyypertropic Obstruktive Cardio Myopathy (HOCM),
fibrilasi atrium, hipertensi dan ibu hamil.
Efek utama dari -1 agonis adalah meningkatkan kontraktilitas
miokard. Juga mempunyai sedikit efek -2 agonis yaitu vasodilatasi sehingga
bisa menurunkan resistensi vascular dan afterload dan memperbaiki fungsi
jantung, karena itu dobutamin sangat cocok pada renjatan kardiogenik.
a.

Indikasi :
Pada keadaan pump problems (congestif heart failure, pulmonary
congestion) dengan tekanan sistolik 70-100 mmHg tanpa disertai sign
dan symptom syok.

b.

Precautions/ kontra indikasi


1) Jangan gunakan pada syok akibat poison/ drug induced.
2) Hindari bila tekanan darah sistolik < 100 mmHg disertai tanda-tanda
syok.
3) Dapat menyebabkan takiaritmia, tekanan darah yang fluktuatif, sakit
kepala, mual.
4) Jangan digabung dengan sodium bicarbonate.

22

c.

Dosis : dosis 2-10 g/ kg bb/ menit. Bekerja primer pada reseptor Radrenergik (R-1 dan R-2) berguna pada pasien dengan keadaan cardiac
output rendah. Titrasi dosis dimana heart rate tidak boleh naik > 10% dari
baseline. Monitoring hemodinamik direkomendasikan untuk penggunaan
yang optimal. 15, 18

2. Epinefrin (Dapat diberikan via endotracheal tube)


Sediaan 1 : 10.000 dan 1 : 1000
Mempunyai efek terhadap reseptor dan , meningkatkan
kontraktilitas otot jantung dan menyebabkan vasokontriksi perifer, ini akan
meningkatkan tekanan darah sentral tapi aliran darah perifer berkurang.
a. Indikasi :
1) Cardiac arrest : VF, asystole, pulseless electrical acivity.
2) Symptomatic bradycardia.
3) Severe hypotension.
4) Anaphylaxis, severe allergic reactions.
b. Precautions :
1) Meningkatkan tekanan darah dan heart rate sehingga dapat
menyebabkan myocardial ischemia dan angina.
2) Dosis tinggi tidak meningkatkan neurologic outcome.
3) Dapat untuk terapi keracunan atau drug induce.
c. Dosis Cardiac arrest :
1)

Dosis IV : 1 mg (10 mL dari sediaan 1 : 10.000 solution) diberikan


setiap 3-5 menit selama resusitasi. Setiap dosis diberikan dengan 20
mL flush kemudian elevasi lengan selama 10-20 detik.

2)

Higher dose (> 0.2 mg/ kg BB) untuk indikasi spesifik : over dosis
blocker atau calcium channel blocker.

3)

Continous infusion : tambahkan 1 mg epinefrin

(1 mL : 1.000

solution) dalam 500 mL NS atau D5% kecepatan 1 g/ menit, titrasi


sampai terjadi respon (dosis 2-10 g/ menit)
4)

Endotracheal route : 2-2.5 mg dilarutkan dalam 10 mL NS. 15, 18

23

3. Milrinone (Phosphodiestesterase Inhibitor : Inamrinon/ Amrinone dan


Milrinone)
Bekerjanya dengan cara meningkatkan c AMP sehingga dapat
meningkatkan level kalsium intrasel yang pada akhirnya akan memperbaiki
kontraktilitas otot jantung (inotropik +) dan vasodilatasi perifer.
Bermanfaat pada penderita renjatan dengan volume intravaskular
cukup, tapi kontraktilitas otot jantung dan perfusi perifer jelek.
Amrinone/ Inamrinone
a. Indikasi :
Severe congestive heart failure refractory.
b. Precautions :
1) Tidak boleh dicampur dengan dextrose atau obat lain.
2) Dapat menyebabkan takiaritmia, hipotensi dan trombositopenia.
3) Dapat menyebabkan myocardial ischemia.
d. Dosis : (loading dose and infusion)
1) 0.75 mg/ kg diberikan selama 2-3 menit .
2) Diikuti dengan infuse 5-15 g/ kg bb/ menit titrasi sampai tercapai
efek klinis.
3) Berikan bolus setelah 30 menit.
4) Monitor hemodinamik.
5) Pengurangan dosis pada gangguan fungsi ginjal.
Milrinone
a. Indikasi :
Myocardial

dysfunction

dan

untuk

meningkatkan

sistemik

atau

pulmonary vascular resistance, termasuk :


1) Congestif heart failure post operasi kardiovaskuler.
2) Syok dengan high systemic vascular resistance.
b. Precautions :
1) Nausea, vomiting.
2) Hipotensi.
3) Trombositopenia.
4) Resiko terjadinya ventricular aritmia.
24

5) Akumulasi ginjal sebabkan renal failure.


e. Dosis :
1)

loading dose : 50 g/ kg bb IV dalam 10 menit.

2)

Intra venous infusion : 0.375- 0.75 g/ kg bb/ menit selama 2-3 hari.

3)

Monitor hemodinamik.

4)

Pengurangan dosis pada gangguan fungsi ginjal. 15, 18, 22

I. Pilihan Agen Vasopressor-Inotropic Pada Syok Setik

Gambar 3. 4. Vasopresor-inotropik pada syok sepsis

Bila keadaan tak dapat diatasi dengan pemberian cairan saja, maka perlu
diberi vasopresor, golongan sympathomimetic amine. Obat sympathomimetic
amine dipakai secara luas pada keadaan gangguan syok hemodinamik. Obat yang
semula banyak dipakai adalah epinephrine dan norepinephrine mempunyai efek
vasokintriksi kuat. Ekstravasasi di daerah sekitar infuse akan dapat berakibat
nekrosis. Norepinephrin dan epinephrine meningkatkan irritabilitas miokard.
Alternatif obat lain adalah isoproterenol, dopamine dan dobutamin. Obat
mempunyai efek inotropik dan melalui beta efeknya dapat meningkatkan perfusi
jaringan. Dopamin mempunyai efek vasodilatasi renal, jantung dan serebral;
meningkatkan tekanan sistolik dan denyut jantung serta mengurangi aliran darh
ke jaringan otot. Dibanding dopamine, dobutamin mempunyai efek kronotropik
lebih kecil sedangkan efek lain sama.
Norepinephrine biasanya baru dipakai bila pemberian dopamine dan
dobutamin tak berhasil menaikkan tekanan darah sistemik. Tetapi pada akhir
25

tahun 2003 norepinephrine merupakan pilihan pertama pada keadaan syok septik
(Reinhart K, 2007). Current International Guide Line merekomendasikan bahwa
norepinephrine dan dopamine mempunyai ekuivalensi untuk terapi syok septik.
norepinephrine adalah 1 agonis merupakan pilihan pertama sebagai vasopresor.
Restorasi dan tekanan perfusi dapat memperbaiki (restorasi) fungsi ginjal.
Dopamine 1 dan 1 kurang efektif dalam memperbaiki tekanan darah arterial
bila dibandingkan dengan norepinephrine. Potensi efek dopamine dalam
memperbaiki fungsi renal tidak bisa dibuktikan. 16, 18
J. Diskusi : Perdebatan Agen Vasopresor-Inotropik pada Syok Septik
Sympathomimetic amine mempunyai efek lain, pada saluran napas/ paru,
gula darah dan sebagainya. Faktor kritis penting adalah pemberian cairan yang
harus cukup. Tidak tepat memakai dopamine atau isoproterenol sebelum memberi
cairan yang cukup (Fluid challenge). Bila ada kekurangan cairan intravaskular;
maka vasodilatasi oleh beta adrenergic dapat berefek paradoksal, yaitu turunnya
volume intravaskular. Untuk itu perlu pengawasan tekanan vena sentral. Meski
sudah diberi cairan dan vasopresor-inotropik, asidosis metabolic sering dijumpai.
Untuk itu dianjurkan pemberian sementara infus natrium bikabornat. 17, 18
Tabel 3. 1. Skoring Obat Vasopresor
Obat

-1

-1

-2

Dopaminergik

Dopamin H Cl*

2+

3+

2+

3+

Norepinefrin

3+

2+

Dobutamin

1/ 2+

3+

2+

Epinefrin

2/ 3+

3+

3+

Fenilefrin

3+

Rating menunjukkan derajat aktivitas mulai dari tidak ada (0) sampai maksimal (3+)
*Aktifitas tergantung pada dosis

Keterangan :

26

-1

: Mengaktivasi organ-organ efektor, misalnya otot-otot polos


(vasokontriksi pembuluh darah tekanan darah meningkat) dan
sekresi sel-sel kelenjar antara lain kelenjar ludah dan kelenjar keringat.

-1

: Memperkuat daya kontraksi dan frekuensi kontraksi jantung : efek


inotropik (+) dan krononotropik (+).

-2

: Vasodilatasi koroner, bronkodilatasi


glikogen dan lemak.

dan stimulasi metabolisme

Dopamin memiliki sifat -adrenergik kuat daripada norepinephrine, dan


dopaminergik efek tambahan yang selektif dapat meningkatkan aliran darah ke
splanknik dan ginjal. Selama bertahun-tahun studi telah meneliti efek dari agen
vasopresor pada syok septik, termasuk hemodinamik sistemik dan oksigenasi
jaringan. 12,15
Dengan tujuan utama yang menentukan agen vasopresor, jika ada, memiliki
profil superior dari vasopresor yang lain. Namun, meskipun banyak penelitian
(studi klinis pada hewan percobaan), membandingkan agen yang tersedia, dan
para ahli masih belum mampu untuk merekomendasikan satu obat di atas yang
lain. Masih perdebatan golongan katekholamin manakah lebih disukai dalam
pasien dengan syok septik. Masalah perawatan pasien kritis, Sharma dan
Dellinger mengungkatkan sejumlah argumen yang mendukung norepinephrine
atas dopamin. 13, 15
Studi

manusia

dan

hewan

menyarankan

beberapa

keuntungan

norepinephrine dan dopamin atas epinefrin (karena epinefrin potensi terjadi


takikardia serta efek merugikan pada sirkulasi splanknik dan hyperlactemia) dan
phenylephrine (penurunan stroke volume). Tetapi, bagaimanapun, tidak ada klinis
epinefrin memberi bukti bahwa hasil keluaran yang lebih buruk, dan harus
menjadi pertama dipilih alternatif untuk dopamin atau norepinephrine.
Phenylephrine adalah adrenergik agen paling tidak mungkin untuk menghasilkan
takikardia tetapi sebagai vasopresor murni akan diharapkan untuk mengurangi
stroke volume. 17

Tabel 3. 2 . Efek-efek Hemodinamik dari Obat-obat vasopresor


27

Obat

Dosis

CO

MAP

SVR

2+

1+

1+

-/ 0/ +

2+

2+

Dopamin H Cl*

5-20 g/ kg bb/ menit

Norepinefrin

0.05-5 g/ kg bb/ menit

Dobutamin

5-20 g/ kg bb/ menit

2+

-/ 0/ +

Epinefrin*

0.05-2 g/ kg bb/ menit

2+

2+

2+

Fenilefrin

2-10 g/ kg bb/ menit

-/ 0/ +

2+

2+

Rating menunjukkan derajat efek dari penurunan ringan (-) sampai peningkatan
mencolok (2+), CO (cardiac output), MAP (mean arterial pressure), SVR (systemic
vascular resistance).
*Aktifitas tergantung pada dosis

Keterangan :
CO

HR x Volume sekuncup

MAP =

CO x SVR

SVR =

1
R4
Radius pembuluh darah

Dopamin meningkatkan mean arterial tekanan dan output jantung, terutama


karena adanya peningkatan volume stroke dan denyut jantung. Norepinephrine
signifikan meningkatkan tekanan arteri (MAP) karena vasoconstrictive efek,
dengan sedikit perubahan di denyut jantung dan kurang meningkatkan stroke
volume dibandingkan dengan dopamin. Salah satu dapat digunakan sebagai agen
lini pertama untuk memperbaiki hipotensi pada sepsis. 17
Norepinephrine adalah lebih kuat daripada dopamin dan mungkin lebih
efektif pada reversing hipotensi di pasien dengan syok septik. Mungkin dopamin
akan sangat berguna pada pasien dengan diskompromi fungsi sistolik tetapi lebih
menyebabkan takikardia dan lebih arrhythmogenic. Hal ini juga dapat
mempengaruhi respon endokrin melalui sumbu hypothalamic-pituitary dan efek
imunosupresif.

17, 18

Tabel 3. 3 . Sympathomimetic, Inotropik dan Inodilator Drugs

28

Obat

Efek Adrenergik

Dosis

Arhytmogenic

Potential

Epinefrin

2-10 g/ kg bb/ menit

++

+++

++++

Norepinefrin

0.5-12 g/ kg bb/ menit

+++

++

++

Dopamin H Cl

2-4 g/ kg bb/ menit

+*

5-10 g/ kg bb/ menit

++

++*

++

10-20 g/ kg bb/ menit

+++

++

+++

Dobutamin

2-20 g/ kg bb/ menit

+++

++

Isoproterenol

2-10 g/ kg bb/ menit

+++

+++

Inamrinone

5-15 g/ kg bb/ menit

0*

++

(Amrinone)

(after loading dose 0.75 mg/kb)

* Meningkatkan renal dan splanchnic blood flow


Phospodiesterase inhibitor
Studi

manusia

dan

hewan

menyarankan

beberapa

keuntungan

norepinephrine dan dopamin atas epinefrin (yang terakhir dengan potensi


takikardia serta efek merugikan pada sirkulasi splanknik dan hyperlactemia) dan
phenylephrine (penurunan stroke volume). 17
Bagaimanapun, tidak ada klinis epinefrin memberi outcome yang lebih
buruk, dan harus menjadi pertama dipilih alternatif untuk dopamin atau
norepinephrine. Phenylephrine adalah adrenergik agen paling tidak mungkin
untuk menghasilkan takikardia tetapi sebagai vasopresor murni akan diharapkan
untuk mengurangi volume stroke. 18

Tabel 3. 4. Agen Vasopresor pada Syok Septik


29

Norepinephrine (noradrenalin) dan dopamin yang sering digunakan agen


lini pertama vasopressor di pengobatan penderita syok septik. Baru-baru ini
difokuskan pada apakah satu agen ini atau lainnya lebih unggul dalam
pengobatan syok septik. Studi telah melihat terutama di mungkin efek lokal dari
vasopresor pada sirkulasi splanknik, karena bukti menunjukkan bahwa daerah ini
penting dalam pengembangan dan pemeliharaan syok septik. Namun, banyak
studi dilakukan menghasilkan data yang bertentangan, hanya sedikit bukti untuk
mendukung satu obat atas yang lain di efek splanknik. 15
Syok septik dikaitkan dengan perubahan kardiovaskuler yang sering
memerlukan

agen

vasopresor

untuk

mempertahankan

tekanan

arteri.

Norepinephrine dan dopamin adalah dua agen adrenergik yang umum digunakan
dalam perawatan syok septik persisten meskipun terapi cairan yang adekuat.
Surviving

Sepsis

Campaign;

Managemen

Syok

Septic

15

2008,

merekomendasikan : Vasopresor diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi


dengan pemberian cairan secara adekuat, akan tetapi pasien masih mengalami
hipotensi. Hipotensi terjadi sebagai akibat vasodilatasi atau sebagai disfungsi
miokardial sehingga terjadi penurunan curah jantung. Terapi vasopresor diberikan
mulai dosis terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP)
60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Pemantauan terhadap tingkat
kesadaran dan produksi urin menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan
fungsi organ. 15

30

Backer et al pada penelitian multicenter melibatkan 3 negara yaitu :


Belgia, Austria dan Spanyol menyatakan dopamine dan norepinephrine
direkomendasikan sebagai agen vasopresor lini pertama. Akan tetapi dari hasil
penelitian ternyata didapatkan tidak ada perbedaan signifikan antara dopamine
dan norepinephrine pada 1000 pasien syok septic. Dopamine dan norepinephrine
mempengaruhi reseptor alfa dan beta adrenergic tapi dengan derajad yang
berbeda. 12
Kelebihan norepinephrine dibandingkan dengan dopamine adalah :
1.

Norepinephrine meningkatkan MAP lebih kuat dibandingkan dengan


dopamine.

2.

Vasokonstriksi pembuluh darah perifer lebih kuat pada norepinephrine.

3.

Norepinephrine jarang menimbulkan aritmia, dopamine bersifat aritmogenik.

4.

Perfusi splanknikus lebih baik norepinephrine dibandingkan dopamine.

5.

Perfusi ke ginjal lebih baik norepinephrine dibandingkan dopamine.

6.

Norepinephrine mengurangi distress sel pada mitochondria. 15

31

BAB IV
KESIMPULAN
A. Rasionalisasi Obat Vasopresor-Inotropik
1. Pasien yang tidak merespon terapi cairan harus diberikan obat vasopresor.
2. Ada silang pendapat tentang obat vasopresor terbaik dalam syok septik.
3. Sasaran utama adalah memulihkan dengan cepat perfusi jaringan dengan
meningkatkan MAP (Mean Arterial Pressure) menjadi 65-75 mmHg.
4. Juga dikehendaki peningkatan kontraktilitas miokard sehinga hantaran
oksigen ke jaringan bisa lebih baik.
5. Jika sasaran utama meningkatkan MAP menjadi 65-75 mmHg maka
norepinephrine adalah merupakan pilihan utama.
Dellinger menganjurkan pemakaian norepinephrine sebagai first choice
untuk

syok

septik

dengan

beberapa

alasan.

Dinyatakan

juga bahwa

norepinephrine lebih potent dibanding dopamin serta lebih efektif dalam


mengatasi hipotensi.
Namun Vincent masih menyatakan bahwa dopamin lebih dianjurkan
untuk first line agent untuk support hemodinamik.
Menurut Martin et al (2000) mengatakan dalam penelitiannya
membandingkan penggunaan norepinephrine dan dopamin. Dalam penggunaan
norepinephrine memperpendek morbiditas dan mengurangi mortalitas.
Le Doux et al (2000) menyatakan peningkatan dosis norepinephrine/
epinephrine pada syok septik meningkatkan MAP dan juga terjadi peningkatan
cardiac output (mid : 4.7; 5.3 dan 5.5 L/ mm per m2).
Martin (2003) melakukan penelitian obat vasopresor yang diukur cardiac
output dan MAP pada 32 penderita syok septik. Dopamin terjadi perbaikan 31%
sedangkan norepinephrine 93% (p<0.001).
Reinhart K (2007) Current International Guideline merekomendasikan
norepinephrine merupakan pilihan pertama pada penanganan syok septik.

32

B. Kesimpulan
Berdasarkan data-data tersebut diatas pada penggunaan norepinephrine pada
penderita syok septik mempunyai efek :
1. Vasokontriktor

cukup

kuat

meningkatkan

SVR

(Systemic

Vascular

Resistance).
2. Meningkatkan tekanan darah tanpa sedikit meningkatkan denyut nadi.
3. Meningkatkan MAP : 65-75 mmHg sampai dengan final 85 mmHg.
4. Dari yang diberikan 47 mg/ menit mempertahankan denyut jantung 97-101
kali/ menit.
5. Norepinephrine potensial terhadap -1 reseptor agonis dan masih merupakan
pilihan pertama.

33

DAFTAR PUSTAKA
1. Al-khafaji A, Angus DC, Knaus WA, 2007. The acute physiology and chronic
health evaluation II article of Knaus et al with expert commentary by dr.
Derek Angus. Journal of Critical Care doi:10.1016/j.jere.2006.11.001.
2. Arifin, Guntur A, 2005. Prevalensi sepsis di rumah sakit dr. Moewardi
Surakarta tahun 2004. Dalam Guntur A, Pramana TY, Prasetyo DH, (ed).
Kumpulan Makalah Lengkap Konas PETRI XI, PERPARI VII, PKWI VIII
dan PIT PAPDI Cab. Surakarta. Surakarta, hlm 105-110.
3. Annane D, Sebille C, Charpentier PE, Bollaert B, Francois J, Korach G,
Capellier Y, Cohen E, Azoulay G, Troche P, Chauet-Riffaut, Bellissant E,
2002. Effect of treatment with low doses of hydrocortisone and
fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA 288: 862871.
4. Annane D, Bellissant E, Bollaert PE, Briegel J, Keh D, Kupfer Y, 2004.
Corticosteroids for severe sespsis and septic shock : a systematic review and
meta-analysis. BMJ doi:10.1136/bmj.38181.482222.55.
5. Baratawidjaja KG, 2006. Sistem imun. Dalam Imunologi Dasar, ed 7.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hlm 6-33.
6. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa SP, Dhainaut JF, Rodriguez AL,
Steingrub JS, Garber GE, Helterbrand JD, Ely EW, Fisher CJ, 2001. Efficacy
and safety of recombinat human activated protein C for severe sepsis. N Engl
J Med 344: 699-709.
7. Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA, 1997. Sepsis: A new hypothesis for
pathogenesis of the disease process. Chest 112: 235-243.
8. Bochud PY, Calandra, 2003. Pathogensesis of sepsis: new concepts and
implications for future treatment. BMJ 326: 262-266.
9. Cavaillon JM, Fithing C, Adib MC, 2004. Mechanisms of
immunodysregulation in sepsis. In Ronco C, Bellomo R, Brendolan A (eds).
Sepsis, Kidney and Multiple Organ Dysfunction : Contrib Nephrol, vol 144.
Basel : Karger, pp 76-93.
10. Chrousos GP, 1995. The hipothalamic-pituitary-adrenal axis and immunemediated inflammation. N Engl J Med 332: 1351-1362.
11. Cinel I, Dellinger RP, 2007. Advances in pathogenesis and management of
sepsis. Curr Opin Infect Dis 20: 345-352.
12. Daniel De Becker, Patrick Biston, Jacques Devriendt, Christian Madl, Diedir
Chochrad, Cesar Aldecoa, Alexander Brasseur, 2010. Comparison of
Dopamin and Norepinephrine in the Treatment of Shock. N Engl J Med 362:
779-789
13. Daniels R, 2007. The surviving sepsis campaign. Available from
http:/www.library.nhs.uk/Emergency/ViewResource.aspx?resID=269240
34

14. Dellinger RP, Levy MM, Carket JM, Bion J, Parker M, Jaeschke R, Reinhart
K, Angus DC, Brun-Buisson C, Beale R, Calandra T, Dhainaut JF, Gerlach H,
Harvey M, Marini JJ, Marshall J, Raineri M, Ramsay G, Sevransky J,
Thompsone BT, Townsend S, Vender JS, Zimmerman J, Vincent JL, 2008.
Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of
severe sepsis and septic shock: 2008. Intensive Care Med 34: 17-60.
15. Guntur A, 1999. Sepsis, imunopatogenesis dan penatalaksanaannya.
Simposium sehari FK-UNS. Surakarta, hlm:17-27.
16. Guntur A, 2001. Perbedaan respons imun yang berperan pada sepsis dan syok
septik suatu pendekatan imunopatobiologik sepsis dan syok septik pada
immunocompromise dan non immunocompromise. Disertasi Program
Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.
17. Guntur A, 2006. SIRS, SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis
dan Penatalaksanaan). Surakarta : Sebelas Maret University Press.
18. Guntur A, 2007. The Role of Cefepime, Empirical Treatment in Critical
Illness. Majalah Dexa Media Jurnal Kedokteran dan Farmasi No. 2 Volume
20. Jakarta, hlm 5 -9.
19. Guntur A, 2007. Peran Norepinephrine Pada Pasien Syok Septik dalam
Kumpulan Naskah Pertemuan ilmiah Nasional V PAPDI. Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Jakarta,
hlm: 3-11.
20. Guntur A, 2008.The Role of Norepinephrine in Septic Shock. Majalah Dexa
Media Jurnal Kedokteran dan Farmasi No 1 Volume 21. Jakarta, hlm 3-7.
21. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D, Cohen J,
Opal SM, Vincent JL, Ramsay G, 2003. 2001 SCCM/ ESICM/ ACCP/ ATS/
SIS International sepsis definitions conference. Intensive Care Med 29: 530538.
22. Meduri GU, Marik PE, Chrousos GP, Pastores SM, Arlt W, Beishuizen A,
Bokhari F, Zaloga G, Annane D, 2008. Steroid treatment in ARDS: a critical
appraisal of the ARDS network trial and the recent literature. Intensive Care
Med 34: 61-69.
23. Pinsky MR, 2004. Pathophysiology of sepsis and multiple organ failure: proversus anti-infammatory aspects. In Ronco C, Bellomo R, Brendolan A (eds).
Sepsis, Kidney and Multiple Organ Dysfunction : Contrib Nephrol, vol 144.
Basel : Karger, pp 31-43.
24. Pudjiastuti, 2008. Imunoglobulin intravena pada anak dan bayi dengan sepsis.
Dalam Guntur A, Subagyo Y, Sumandjar T, Reviono (ed). Kumpulan
Makalah National Symposium : The 2nd Indonesian Sepsis Forum. Surakarta,
hlm 100-105.
25. Robbins SL, Contran RS, 2005. Acute and chronic inflammation. In Kumar
V, Abbas AK, Fausto N (eds). Robbins and Contran Pathologic Basic of
Disease, 7th ed. Philadelphia : Elsevier Saunders, pp 47-86.
35

26. Rudiger A, Statz M, Singer M, 2008. Celluler processes in sepsis. Swiss Med
Wkly 138: 629-634.
27. Russell JA, 2006. Management of sepsis. N Engl J Med 355:1699-1713.
28. Silva E, Passos RD, Ferri MB, Figueiredo LF, 2008. Sepsis: from bench to
bedside. Clinics 63: 109-120.
29. Van Den Berghe G, Wouters P, Weekers F, Verwaest C, Bruyninckx F, Schetz
M, Vlasselaers D, Ferdinande P, Lauwers P, Bouillon R, 2001. Intensive
insulin therapy in critically ill patients. N Engl J Med 345: 1359-1367.
30. Wesche-Soldato, Swan RZ, Chun-Shiang C, Ayala A, 2007. The apoptotic
pathway as a therapeutic target in sepsis. Curr Drug Targets 8: 493-500.

36

31. Wong DT, Knaus WA, 1991. Predicting outcome in critical care: the current
status of the APACHE prognostic scoring system. Canadian Journal Of
Anaesthesia 38: 374-383.
32. Trzeciak S, Rivers EP. Clinical manifestations of disordered microcirculatory
perfusion in
33. severe sepsis. Critical Care 2005, 9(suppl 4):S20-S26.
34. 2 De Backer D, Creteur J, Preiser JC, Dubois MJ, Vincent JL. Microvascular
Blood Flow Is
35. Altered in Patients with Sepsis. Am J Respir Crit Care Med 2002, 166 : 98104.
36. 3 Spronk PE, Zandstra DF, Ince C: Bench-to-bedside review: Sepsis is a
disease of the
37. microcirculation. Critical Care Journal 2004, 8:462-468.
38. 4 Ince C. The microcirculation is the motor of sepsis. Critical Care Journal
2005, 9(suppl
39. 4):S13-S19.
40. 5 Evans TW, Smithies M. ABC of intensive care: Organ dysfunction. British
Medical
41. Journal 1999; 318; 1606-1609.
42. 6 Bateman RM, Walley KR. Microvascular resuscitation as a therapeutic goal
in severe
43. sepsis. Critical Care Journal 2005, 9(suppl 4):S27-S32.
44. 7 Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, Peterson
E,
45. Tomlanovich M: Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis
and septic
46. shock. New England Journal Medical 2001, 345:1368-1377.

37

K. Perbandingan Norepinephrine Versus Dopamine Pada Syok Septik


1. Norepinephrine menghasilkan kurang takikardia dibanding dopamine.
Hal ini memang benar, walaupun karena sering norepinephrine
dikelola dengan dobutamin untuk memberikan cardiac support karena
dobutamine meningkatkan heart rate, klinis faktor ini mempunyai relevansi
yang lemah. Selain itu, adalah benar masalah takikardia? Respon normal
terhadap infeksi berat adalah peningkatan cardiac output sekunder ke
kenaikan stroke volume dan detak jantung.
2. Norepinephrine meningkatkan indeks jantung.
Norepinephrine

meningkatkan

tekanan

darah

melalui

efek

vasoconstrictive, dengan efek kecil pada indeks jantung. Oleh karena itu,
norepinephrine membawa risiko untuk mengurangi aliran darah ke jaringan,
dan tambahan dobutamin biasanya diperlukan untuk meningkatkan dan
menyeimbangkan fungsi jantung.
3. Norepinephrine tidak memiliki efek merusak pada tekanan perfusi serebral.
Vasopresor akan meningkatkan MAP. Sehingga tekanan perfusi
cerebral juga lebih tinggi.
4. Norepinephrine tidak memiliki efek pada sumbu hipotalamus-hipofisis.

38

Hal ini memang benar, karena dopamin dapat mengurangi pelepasan


sejumlah hormon dari kelenjar hipofisis anterior, termasuk prolaktin. Namun,
jika dopamin hanya digunakan untuk periode waktu terbatas (seperti dalam
syok resusitasi), maka efek buruk dari tindakan ini telah tidak muncul. Lebih
efektif dan hasil yang lebih baik dengan norepinephrine dibandingkan dengan
dopamine.
Meskipun penelitian yang dikutip oleh Sharma dan Dellinger, dan
Martin et al, tidak menunjukkan peningkatan hasil untuk pasien dirawat
dengan norepinephrine, studi itu adalah studi nonrandomized. Oleh karena
hasilnya itu harus diperlakukan dengan hati-hati. Sebagai Sharma dan
Dellinger menunjukkan belum ada studi klinis yang menunjukkan bahwa satu
katekholamin lebih unggul dari yang lain.
5. Norepinephrine ameliorates splanknik hypoperfusion.
Dellinger dan Sharma, Ruokonen dkk mengukur konsumsi oksigen
splanknik pada syok septik pasien yang menerima norepinephrine (0,07-0,23
ug / kg per menit) atau dopamin (7,6-33,8 ug / kg per menit). Hasil tidak
menemukan perubahan dalam aliran darah atau konsumsi oksigen splanknik
dengan norepinephrine, sementara dopamin secara konsisten peningkatan
aliran darah splanknik.
6. Norepinephrine meningkatkan glomerular filtration pressure
Memang

benar

bahwa

kadang-kadang

norepinephrine

dapat

mengembalikan output urin dengan meningkatkan tekanan perfusi ginjal


khususnya pada pasien dengan hipotensi yang mendalam. Namun, hal ini
tidak selalu menunjukkan bahwa dopamin diperlukan untuk 'melindungi'
Ginjal, dan bahkan penggunaan dopamin dosis ginjal ditentang dan tidak bisa
lagi direkomendasikan.14

1. Vasopresor Support Pada Syok Septik


a. Maintain MAP 65 mmHg.
39

Dasar Pemikiran :
Vasopresor
mempertahankan

diperlukan
perfusi

untuk

jaringan

mempertahankan
dalam

hidup

menghadapi

dan

hipotensi

mengancam jiwa, bahkan ketika hipovolemia belum teratasi. MAP < 65


mmHg sebabkan gangguan autoregulasi dalam pembuluh darah dan
perfusi

jaringan.

Dengan

demikian,

beberapa

pasien

mungkin

memerlukan terapi vasopresor untuk mencapai tekanan perfusi minimal


dan memelihara aliran darah cukup mengalir. Titrasi norepinephrine
sampai MAP 65 mm Hg dikatakan jaringan perfusi akan tercukupi.
Akan tetapi komorbiditas harus dipertimbangkan untuk mencapai
sasaran MAP yang tepat. Sebagai contoh, MAP 65 mm Hg mungkin
terlalu rendah pada pasien dengan hipertensi berat yang tidak terkontrol,
dan usia muda yang sebelumnya tekanan darah normal, MAP yang lebih
rendah mungkin memadai. Melengkapi titik akhir, seperti tekanan darah,
dengan penilaian dari perfusi regional dan global, seperti konsentrasi
laktat darah dan urine output, adalah penting.
Resusitasi cairan adekuat adalah aspek penting dari manajemen
hemodinamik pasien dengan syok septik dan idealnya harus dicapai
sebelum vasopresor dan inotropik digunakan, tetapi menggunakan
vasopresor awal sebagai keadaan darurat mengacu pada pasien dengan
syok berat sering diperlukan.
b. Kami merekomendasikan baik norepinephrine atau dopamin sebagai
pilihan pertama agen vasopresor untuk mengoreksi hipotensi pada syok
septik (diberikan melalui kateter sentral).
c. Kami menyarankan bahwa epinephrine, phenylephrine, atau vasopressin
tidak boleh dikelola sebagai awal vasopresor pada syok septik.
d. Kami menyarankan bahwa epinefrin menjadi agen alternatif pertama
dipilih dalam syok septic yang kurang responsif terhadap norepinephrine
atau dopamin.
Dasar Pemikiran :

40

Tidak ada bukti untuk merekomendasikan satu katekholamin atas


yang lain. Banyak pendapat tentang efek fisiologis dari pilihan vasopresor
dan gabungan inotropik dan vasopresor pada penanganan syok septik .
e. Kami merekomendasikan bahwa dopamin dosis rendah tidak dapat
digunakan untuk perlindungan ginjal.
Dasar Pemikiran :
Sebuah

percobaan

acak

sampel

besar

dan

meta-analisis

membandingkan dosis rendah dopamin dengan placebo, ditemukan ada


perbedaan dalam salah satu hasil utama (serum puncak kreatinin,
kebutuhan penggantian ginjal, urine output, waktu untuk pemulihan
normal fungsi ginjal) atau hasil sekunder (bertahan hidup baik ICU atau
rumah sakit, lama menginap di rumah sakit, aritmia). Dengan demikian,
data yang tersedia tidak ada data mendukung dosis rendah dopamine
semata-mata untuk mempertahankan fungsi ginjal.
f. Kami merekomendasikan bahwa semua pasien dengan vasopresor
memerlukan arteri kateter sesegera mungkin dipasang.
Dasar Pemikiran :
Estimasi tekanan darah pada keadaan syok, menggunakan manset
biasanya tidak akurat; penggunaan suatu kanul arteri memberi hasil lebih
tepat dan reproducible untuk pengukuran tekanan arteri. Kanul kateter ini
memungkinkan terus menerus di analisis sehingga keputusan tentang
terapi dapat langsung diberikan. 14
2. Inotropic Support Pada Syok Septik
a. Kami menganjurkan agar infus dobutamine diberikan pada keadaan
disfungsi miokard dimana peningkatan tekanan pengisian jantung dan
output jantung yang rendah.
b. Kami merekomendasikan indeks jantung ditetapkan pada tingkatan
supranormal.
Dasar Pemikiran :
Dobutamin adalah first choice inotropik untuk pasien dengan
cardiac output jantung diduga rendah dimana left ventricular filling
41

pressure masih adekuat (atau penilaian klinis resusitasi cairan adekuat)


dan mean arterial pressure adekuat. Pasien syok septik yang tetap
hipotensi setelah resusitasi cairan.
Oleh karena itu, pengobatan dengan inotropik atau gabungan/
vasopresor, seperti norepinephrine atau dopamin, disarankan jika output
jantung tidak diukur. Ketika kemampuan ada untuk memantau curah
jantung di samping tekanan darah, vasopresor seperti norepinephrine,
mungkin digunakan secara terpisah untuk menargetkan tingkat tertentu
tekanan arteri dan output jantung. 14

Resusitasi terhadap Mean Arterial Pressure (MAP) saja tidak cukup untuk
menyelamatkan sirkulasi mikro. Penelitian LeDoux dkk mengamati parameter
hemodinamikuntuk oksigenasi jaringan pada pasien-pasien yang diterapi dengan
norepinephrin untuk syok septik. Hasilnya adalah ada peningkatan kerja dari
ventrikel kiri dan peningkatan tahanan vaskular sistemik. Hal ini berarti
norepinephrin memperlihatkan keuntungannya. Tetapi jika dilihat dari perubahan
fungsi organ dan oksigenasi jaringan hasilnya benar-benar berbeda. Keluaran urin
menurun, kapiler darah menurun, tekanan parsial CO 2 intramukosa menurun,
perbedaan gradien tekanan antara oksigen arterial dan CO2 terinspirasi menurun. Hal
ini menunjukkan oksigenasi jaringan tetap terganggu.6 Beberapa pilihan terapi untuk
menyelamatkan sirkulasi mikro pada pasien sepsis. Resusitasi Volume Pemberian
volume dapat mengembalikan fungsi pertahanan sirkulasi mikro dan meningkatkan
transpor oksigen sirkulasi mikro. Namun demikian, hemodilusi yang terjadi oleh
karena efek hemodinamik dapat menyebabkan redistribusi transpor oksigen menjauh
dari unit sirkulasi mikro yang lemah dalam organ begitu juga antar organ, dan pada
kompartemen sublingual. Darah merupakan pembawa oksigen yang lebih baik
daripada cairan kristaloid atau koloid, transfusi darah dapat membantu meningkatkan
pengiriman oksigen ke sirkulasi mikro lebih baik daripada cairan. Hemoglobin
merupakan pembawa oksigen yang sangat efektif ke dalam sirkulasi mikro, namun
demikian masih perlu dikembangkan untuk penerapan klinis secara rutin. 4 Kombinasi
untuk perbaikan hemodinamik Vasopressor saja tidak cukup untuk resusitasi, harus
dibarengi dengan resusitasi volume yang adekuat. Saat ini telah terbukti bahwa
penggunaan kombinasi dari resusitasi volume yang adekuat, penggunaan vasopressor
untuk menjaga MAP yang tepat, dan penggunaan transfusi darah, inotropik atau
vasodilator, efektif dalam menjamin pengiriman oksigen keseluruhan. Strategi
kombinasi hemodinamik ini meningkatkan aliran sirkulasi mikro dan fungsi organ,
selanjutnya meningkatkan keberhasilan terapi. 6 Rivers dkk mengembangkan
protokol untuk terapi ini dalam penelitian early goal-directed therapy . Penelitian
42

mereka menunjukkan bahwa kombinasi dari resusitasi volume untuk mencapai 10


tekanan vena sentral 8-12 mmHg, disamping penggunaan vasopressor untuk menjaga
MAP > 65 mmHg, pengukuran saturasi oksigen vena sentral, dan penggunaan
transfusi sel darah merah dan/atau inotropik untuk meningkatkan saturasi oksigen
vena sentral sampai > 70%, dapat mengurangi mortalitas pasien-pasien dengan syok
septik. 30,5% pada EGDT, dan 46,5% pada pengelolaan standar.7 Inhibitor iNOS dan
Steroid Pada sepsis, mekanisme autoregulasi menjadi terganggu. Resusitasi cairan
sederhana, walaupun efektif dalam mengkoreksi sistem hemodinamik namun dapat
menimbulkan daerah sirkulasi mikro yang lemah pada sirkulasi mikro yang hipoksia.
Distribusi aliran patologis ini diantara beberapa mekanisme lain, terkait dengan
ekspresi iNOS pada beberapa bagian organ yang berbeda yang menyebabkan aliran
shunting yang patologis. Akibatnya, unit sirkulasi mikro yang lemah harus diubah,
terutama di bawah kondisi dimana terjadi disfungsi autoregulasi. Mencit yang defisit
iNOS tidak memperlihatkan disfungsi sirkulasi yang terkait dengan endotoksin,
seperti yang terjadi pada mencit liar, menekankan pentingnya control iNOS pada
sepsis. Pada penelitian terbaru babi yang mengalami sepsis, kombinasi pemberian
cairan dengan inhibitor iNOS dibanding pemberian cairan saja, menunjukkan
keberhasilan dalam mengubah sirkulasi mikro yang rentan pada usus. Penghambatan
iNOS juga melindungi fungsi pertahanan sirkulasi mikro dan dapat dianggap sebagai
upaya penyelamatan sirkulasi mikro. Agen anti inflamasi seperti steroid sangat
efektif dalam menghambat INOS dan mencegah hipotensi yang dipicu endotoksin.
Pemberian yang terlambat, namun demikian tidak berguna dalam menghambat INOS
oleh karena sepsis yang dipicu hambatan NO pada reseptor glukokortikoid. 6
Penelitian tersebut, memperlihatkan pertimbangan untuk segera memberikan terapi
seawal mungkin. Steroid juga memperbaiki fungsi autoregulasi seperti yang teramati
pada penelitian menggunakan model tikus terhadap alat-alat autoregulasi dari jantung
terpisah yang mengalami sepsis. Sebagian penelitian eksperimental tersebut
menggunakan kadar steroid yang cukup tinggi dalam pengobatan sepsis. Namun
demikian, penelitian ini mengisyaratkan bahwa ekspresi iNOS yang berkurang dapat
dianggap sebagai langkah penting dalam mengontrol defek distribusi hemodinamik
sepsis.4
Kesimpulan
Sirkulasi mikro merupakan hal yang sangat utama pada kejadian sepsis. Disfungsi
sirkulasi mikro berperan pada gangguan distribusi sirkulasi pada sepsis. Jika tidak
dikoreksi, disfungsi sirkulasi mikro dapat menyebabkan distres parenkim sel dan
berakibat pada disfungsi organ, berlanjut pada kegagalan organ. Hal ini terkait
dengan tingginya tingkat mortalitas pada kasus-kasus sepsis.13
Target utama dari terapi sepsis adalah mengembalikan fungsi mikrovaskular ke
kondisi normal. Strategi kombinasi meliputi resusitasi volume, penggunaan
vasopressor, penggunaan transfusi sel darah merah dan/atau penggunaan inotropik
menunjukkan peningkatan keberhasilan terapi. Tindakan penyelamatan dan
pemantauan fungsi sirkulasi mikro dalam pengelolaan sepsis diharapkan dapat
mengurangi mortalitas pasien-pasien dengan sepsis.
Vasodilator dan Vasopresor
Pengembalian perfusi sirkulasi mikro ke kondisi normovolemia dapat terlaksana
dengan pemberian terapi vasodilator oleh karena vasodilator meningkatkan tekanan
43

aliran darah pada sirkulasi mikro. Pada penelitian model sepsis, pemberian NO
dikombinasi dengan cairan memperbaiki oksigenasi sirkulasi mikro usus dan
memperbaiki tekanan parsial CO2 11lambung (pCO2) dimana pemberian cairan saja
tidak dapat. 3,4 Pada penelitian klinis pasien dengan syok sepsis, dimana sirkulasi
mikro sublingual diamati dengan pencitraan OPS, resusitasi berdasarkan tekanan
dapat menghasilkan aliran pada pembuluh darah yang lebih besar tetapi tidak pada
kapiler, dimana aliran cenderung tetap tersumbat. Kondisi ini secara langsung
memperlihatkan kerja jalur shunting dan menunjukkan bahwa sirkulasi mikro
sebagai tempat terjadinya defek distribusi pada sepsis. Terapi vasodilator dengan cara
pemberian Nitrogliserin dengan dalam jumlah cukup, dapat mengembalikan aliran
kapiler yang terhambat serta mengembalikan sirkulasi mikro sub lingual. 4 De Backer
dkk melaporkan kelainan pada sirkulasi mikro yang serupa pada pasien sepsis.
Mereka lebih lanjut memperlihatkan bahwa respon vasodilator endotel utuh pada
pasien sepsis dengan memperlihatkan bahwa pemberian asetilkolin topikal sangat
efektif dalam mengembalikan pembuluh kapiler yang telah rusak. Penelitian
pencitraan OPS sublingual, menemukan bahwa walaupun resusitasi-yang didasarkan
pada tekanan, efektif dalam menormalkan tekanan darah sistemik, namun tidak
mampu mengkoreksi perfusi sirkulasi mikro.2 Dari pandangan sirkulasi mikro, terapi
vasopresor harus diterapkan dengan penuh hati-hati dan di bawah pengawasan ketat
terhadap sirkulasi mikro. Penelitian oleh Dubois dkk melaporkan bahwa tekanan
darah sistemik dapat dikembalikan oleh vasopresin pada pasien dengan syok
distribusi. Disini, pada pencitraan OPS sirkulasi mikro sublingual menunjukkan tidak
adanya efek membahayakan pada perfusi sirkulasi mikro. Namun demikian, pada
penelitian kasus lainnya pada pasien syok septik, vasopresin walaupun efektif
meningkatkan tekanan darah dan produksi urin, menyebabkan berhentinya aliran
sirkulasi mikro secara total, konstriksi pada sirkulasi regional, dan kematian.
Penelitian pada binatang juga telah membuktikan beberapa hasil yang bertolak
belakang: beberapa penelitian menunjukkan bahwa vasopresin memiliki efek yang
menguntungkan pada sirkulasi mikro ginjal, sementara yang lainnya menunjukkan
bahwa vasopresin menyebabkan terhentinya aliran sirkulasi mikro.4
Pengobatan Aksi Ganda
Resusitasi yang dikombinasi dengan vasoaktif dan inotropik sungguh sangat efektif
dalam menyelamatkan sirkulasi mikro, walaupun efeknya pada sirkulasi mikro tidak
dapat disimpulkan dalam pengukuran variabel sistemik secara sendiri. Namun
demikian pada pasien yang sirkulasi mikronya tidak berespon terhadap jenis
resusitasi tersebut, memiliki prognosis yang buruk. Penyelamatan sirkulasi mikro
dapat dicapai melalui beberapa jalur dan kombinasi terapi dapat diterima dan
menguntungkan. Dengan cara ini, agen donor NO dapat membuka kembali sirkulasi
mikro dan selanjutnya memperbaiki perfusi unit sirkulasi mikro, 12 sementara agen
anti inflamasi atau inhibitor spesifik iNOS dapat mengurangi shunting patologis dan
mengarahkan kembali aliran darah ke unit sirkulasi mikro. 4 Hal ini mungkin terlihat
berlawanan dari segi mekanis, tetapi kedua terapi tersebut efektif dalam tindakan
penyelamatan unit sirkulasi mikro, dan secara teoritis dapat dikombinasikan, namun
demikian tingkat efektivitasnya dalam tindakan penyelamatan unit sirkulasi mikro
masih perlu dibuktikan pada sistem organ yang berbeda-beda. Perlu dipertimbangkan
bahwa pada sepsis yang diresusitasi tebentuk serangan multifaktorial yang berakibat
pada distres pada sirkulasi mikro, obat-obatan yang bekerja pada beberapa tempat
44

mungkin diperlukan sebagai strategi pengobatan yang efektif untuk menyelamatkan


fungsi sirkulasi unit pada keadaan sepsis. Protein C teraktivasi (APC) merupakan
bentuk pendekatan menyeluruh yang tepat dengan cara kerjanya yang terlibat dalam
beberapa mekanisme distres sirkulasi mikro. Telah dibuktikan bahwa APC
menghambat ekspresi iNOS dan melindungi hipotensi yang dipicu endotoksin. Lebih
jauh lagi, melalui aksi kerjanya pada tingkat faktor- B, APC juga mengurangi kadar
tumor necrosis factor (TNF), suatu efek yang tidak terlihat ketika inhibitor iNOS
diberikan sendiri saja. Sebagai tambahan, APC mengurangi aktivasi leukosit dan
melepaskan oksigen reaktif dan juga bekerja pada jalur koagulasi. Beberapa
penelitian telah membuktikan melalui pengamatan langsung intravital bahwa kerja
multifaktorial ini dapat memperbaiki sirkulasi mikro pada binatang dalam keadaan
sepsis, APC mempromotori beberapa efek yang secara keseluruhan dapat dianggap
sebagai strategi penyelamatan dalam disfungsi sirkulasi mikro dalam keadaan sepsis.
Namun demikian beberapa pertanyaan masih tersisa dalam hal bagaimana model
kerja APC. Bagaimana efek waktu pemberian dan dosis APC terhadap variabel yang
diketahui bermanfaat dalam sirkulasi mikro? Bagaimana organ berbeda akan bereaksi
terhadap APC? Bagaimana keberadaan agen terapetik lainnya berfek terhadap
efektivitas APC dalam tindakan penyelamatan unit sirkulasi mikro? Pengamatan
langsung dan evaluasi terhadap sirkulasi mikro akan dapat memberikan pendekatan
pada hal tersebut dan mungkin dapat menjawab mengenai bagaimana pengobatan
sepsis yang seharusnya.
Biasanya, anak-anak dengan syok septik memerlukan dukungan
vasopressor selama tahap awal dari resusitasi. panduan terbaru telah menegaskan
kembali dopamin Sebagai vasopressor baris pertama untuk pengobatan cairan
shock.8 septik tahan Pedoman panggilan untuk dosis 5-10 ug / kg IV. Harus
diingat bahwa ketidakpekaan untuk dopamin pada anak yang sangat muda (<6
bulan) telah telah documented.13, 14 ini diperkirakan karena kurangnya
pengembangan komponen penuh vesikel simpatik, atas yang bertindak untuk
melepaskan dopamin norepinefrin. Shock yang tidak responsif terhadap dopamin
biasanya akan responsif terhadap norepinefrin (0,03-1,5 mcg / kg / menit) atau
epinefrin (0,1-0,5 mcg / kg / menit). 15-17 Pedoman konsensus untuk
merekomendasikan epinefrin dingin shock dan norepinephrine untuk shock
hangat. Agen lain yang dapat dianggap setelah pasien akan dipindahkan ke
perawatan intensif pediatrik termasuk jantung inotropik untuk meningkatkan
kontraktilitas

(dobutamine),

vasopressors

lain

(vasopresin,

angiotensin),

vasodilator untuk mengurangi 7 sistemik dan resistensi vaskular paru


(nitroprusside natrium) dan Tipe III phosphodiesterase inhibitor yang bertindak
sebagai inotropik dan vasodilator (milrinone).
45

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke
dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan
jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga
timbullah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas
dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat
meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.
Syok karena infeksi yang timbul segera setelah trauma jarang terjadi. Namun,
kalau kedatangan penderita di fasilitas gawat darurat tertunda beberapa jam, masalah
ini mungkin terjadi. Syok sepsis dapat terjadi pada penderita dengan cedera tembus
pada abdomen serta kontaminasi rongga peritoneal dengan isi usus.
Penderita sepsis yang hipotensif dan afebril secara klinis sukar dibedakan dari
yang terkena syok ipovolemik, karena kedua kelompok ini dapat menunjukkan
takikardia, vasokonstriksi kulit, penurunan produksi urine, penurunan tekanan
sistolik dan tekanan nadi yang mengecil.
Penderita syok sepsis yang dini mungkin mempunyai peredaran volume
normal, takikardia sedang, kulit berwarna merah jambu dan teraba hangat, tekanan
sistolik mendekati normal dan tekanan nadi yang lebar.

46

Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan focus infeksi jaringan sebagai


sumber bakteriemia, hal ini disebut sebagai bakteriemia sekunder. Sepsis gram
negative merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang kemudian
menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti peritonitis setelah perforasi appendikal
atau berpindah dari perineum ke uretra atau kandung kemih. Selain itu sepsis gram
negative focus primernya dapat berasal dari saluran genitourinarium, saluran empedu
dan saluran gastrointestinum. Sepsis gram positif biasanya timbul dari infeksi kulit,
saluran respirasi dan juga berasal dari luka terbuka misalnya luka bakar.
Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam
stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk
menghilangkan dan eradikasi organism penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi
dan memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi termasuk sitokin. Mediator
inflamasi sangat komplek karena melibatkan banyak sel dan mediator yang dapat
mempengaruhi satu sama lain.
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih
banyak factor lain (non sitokin) yang sangat berperanan dalam menentukan
perjalanan suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu pathogen melibatkan
bermacam-macam komponen system imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang
bersifat proinflamasi dan anti inflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF
, IL-1, interferon- yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan
mikroorgnisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin
1 reseptor antagonis (IL-1 ra), IL-4, IL-10 yang bertugas memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara
proinflamasi dan antiinflamasi mediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka
dapat memberikan kerugian tubuh. IL-6 adalah sitokin yang merupakan respon fase
akut yang dapat sebagai sitokin proinflamasi karena IL-6 dihasilkan oleh makrofag

47

yang teraktivasi dan di lain pihak sebagai sitokin antiinflamasi karena IL-6 ini juga
dihasilkan dari sel TH2 yang teraktivasi.
Penyebab sepsis dan syok sepsis yang paling banyak berasal dari stimulasi
toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Endotoksin dapat
secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibody dalam serum darah
penderita membentuk LBP. LBP yang berada dalam darah penderita akan bereaksi
dengan makrofag melalui TLRs4 (Toll Like Receptors 4) sebagai reseptor trans
membrane

dengan

melalui

perantaraan

reseptor

CD

14+

dan

makrofag

mengekspresikan imuno modulator. Hal ini hanya dapat terjadi pada bakteri gram (-)
yang mempunyai LPS pada dindingnya. Padahal sepsis dapat terjadi rangsangan
endotoksin, eksotoksin, virus dan parasit, maka mekanisme tersebut diatas masih
kurang lengkap dan tidak dapat menerangkan pathogenesis sepsis dalam arti
keseluruhan, oleh karena konsep tersebut tidak melibatkan peran limfosit T dalam
keadaan sepsis dan kejadian syok sepsis.
Di Indonesia dan Negara berkembang sepsis tidak hanya disebabkan oleh
gram negative saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positif yang mengeluarkan
eksotoksin. Eksotoksin, virus dan parasit yang dapat berperan sebagai superantigen
setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen
Processing Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari Major Histocompatibilty Complex (MHC). Antigen yang bermuatan
peptide MHC kelas II akan berikatan dengan CD 4 (limfosit Th1 dan Th2) dengan
perantaraan TCR (T Cell Receptor)
Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu : IFN-,
IL-2 dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Limfosit
Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN-, IL-1 dan TNF-
merupakan sitokin proinflamatori
A. DEFINISI
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah suatu respon klinis
terhadap proses infeksi atau non-infeksi yang ditandai dengan minimal 2 keadaan
48

berikut (salah satunya harus temperatur atau jumlah lekosit yang abnormal) : suhu
38,5 C atau <36 C, takikardi atau bradikardi, takipneu, dan lekositosis, lekopenis
atau hitung jenis bergeser ke kiri (netrofil imatur > 10).
Syok sepsis adalah suatu sepsis disertai keadaan syok yang refrakter terhadap
resusiatsi cairan atau disfungsi kardiovaskuler.
Sepsis berat adalah keadaan sepsis disertai disfungsi organ akut (minimal 1 organ :
kardiovaskuler atau sindrom distress pernapasan akut) atau minimal 2 disfungsi
organ lainnya.
B. ETILOGI
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik
dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau
hanya disebabkan
produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari
infeksi lokal.
C. PATOFISIOLOGI
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena
perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan
kapasitas

vaskuler

karena

vasodilatasi

perifer

meyebabkan

terjadinya

hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan


kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang terlihat sebagai edema.
Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan
perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan
oksigen karena toksin kuman.
D. GEJALA KLINIS

49

Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai
terjadinya sepsis (tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan
tersangka sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau
lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP
(+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Kedaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda
syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi
urin, dan penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam,
tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien
sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai
gejala takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi
yang melebar.
E. LANGKAH DIAGNOSIS
1. anamnesis
keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak
mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah
urin. keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
2. pemeriksaan fisik
pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan edema di kedua kelopak
mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/ labia. kadang-kadang
hipertensi ditemukan.
3. pemeriksaan penunjang
pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (+3 sampai +4), yang
dapat

disertai

hematuria.

pada

pemeriksaan

darah

didapatkan

hipoalbuminemia (<2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang


meningkat, serta rasio albumin/ globulin yang terbalik. kadar ureum dan
kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.
50

Derajat sepsis
1. SIRS, ditandai dengan > 2 gejala sebagai berikut :
a. Hipertermia/ hipotermia (>38.30 C/ < 35.6 C)
b. Takipnea (respirasi rate > 20 kali/ menit)
c. Takikardia (pulse > 100 kali/ menit)
d. Lekositosis > 12.000/ mm atau lekopenia <4.000/ mm
e. 10% > cell immature
2. Sepsis. Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis berat. Sepsis yang disertai MODS/ MOF (Multi Organ Failure),
hipotensi, oliguri bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi. Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik < 90
mmHg atau dengan penurunan tekanan sistolik > 40 mmHg)

Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon
tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme.
Ditandai dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ
berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah. Sepsis adalah suatu sindroma klinik
ditandai dengan hipertermia/ hipotermia (>38.3 C/ < 35.6 C), takipnea (respirasi > 20
kali/ menit), takikardia ( pulse > 100 kali/ menit), leukositosis > 12.000 / mm2,
lekopenia < 4.000 / mm2, > 10% cell immature, suspected infection.
Biomarker sepsis adalah procalcitonin (PCT), C Reaktive Protein (CRP).
BAB VI
KESIMPULAN

51

A. Keracunan Darah
B. (Sepsis)

e.

Definisi Keracunan Darah


Keracunan darah adalah istilah yang nonspesifik yang digunakan terutama oleh
individual-individual nonmedis yang menggambarkan, dalam arti yang paling luas,
segala kondisi-kondisi medis yang kurang baik yang disebabkan oleh kehadiran dari
segala agen yang beracun dalam darah. Biasanya, orang kebanyakan yang
menggunakan istilah keracunan darah merujuk pada kondisi-kondisi medis yang
timbul ketika bakteri-bakteri atau produk-produk mereka (atau kedua-duanya)
mencapai darah. Keracunan darah bukan istilah medis dan tidak nampak pada banyak
kamus-kamus medis atau publikasi-publikasi ilmiah. Bagaimanapun, ketika ia
digunakan, istilah medis yang benar yang hampir mendekati arti yang dimaksudkan
adalah sepsis. Banyak pengarang-pengarang medis mempertimbangkan istilah-istilah
keracunan darah dan sepsis dapat saling ditukarkan, namun kecenderungannya
adalah untuk menggunakan istilah sepsis.

f.

Definisi Sepsis
Sepsis adalah kondisi medis yang berpotensi berbahaya atau mengancam nyawa,
yang ditemukan dalam hubungan dengan infeksi yang diketahui atau dicurigai
(biasanya namun tidak terbatas pada bakteri-bakteri) yang tanda-tanda dan gejalagejalanya memenuhi paling sedikit dua dari kriteria-kriteria berikut dari sindrom
respon peradangan sistemik atau systemic inflammatory response syndrome
(SIRS):

denyut jantung yang meningkat (tachycardia) >90 detak per menit waktu
istirahat
temperatur tubuh tinggi (>100.4F atau 38C) atau rendah (<96.8F atauor 36C)
kecepatan pernapasan yang meningkat dari >20 napas per menit atau PaCO2
(tekanan parsial dari karbondioksida dalam arteri darah) <32 mm Hg
jumlah sel darah putih yang abnormal (>12000 sel/L atau <4000 sel/L atau
>10% bands [tipe yang belum matang dari sel darah putih])

Pasien-pasien yang memenuhi kriteria-kriteria diatas mempunyai sepsis dan juga


diistilahkan septic. Kriteria ini diusulkan oleh beberapa lembaga-lembaga medis dan
mungkin terus menerus dimodofikasi oleh kelompok-kelompok medis lain.
Contohnya, kelompok-kelompok pediatric (penyakit anak-anak) menggunakan empat
kriteria yang sama yang didaftar diatas namun memodifikasi nilai-nilai untuk
setiapnya untuk membuat kriteria SIRS untuk anak-anak. Kelompok-kelompok lain
ingin menambah kriteria, namun sekarang ini ini adalah definisi yang paling luas
diterima.

52

Istilah-istilah yang sering digunakan ditempat dari sepsis adalah bacteremia,


septicemia, dan keracunan darah. Bagaimanapun, bacteremia berarti kehadiran dari
bakteri-bakteri dalam darah; ini dapat terjadi tanpa segala dari kriteria yang didaftar
diatas dan harus tidak dikacaukan dengan sepsis. Contohnya, anda dapat menggosk
gigi anda dan memperoleh bacteremia untuk waktu yang singkat dan tidak
mempunyai kriteria SIRS yang terjadi. Sayangnya, septicemia telah mempunyai
berbagai definisi-definisi dari waktu ke waktu; ia telah didefinisikan sebagai
bacteremia, keracunan darah, bacteremia yang menjurus pada sepsis, sepsis, dan
variasi-variasi lain. Meskipun septicemia tampak seringkali pada literatur medis,
seorang pembaca harus yakin definisi mana yang digunakan oleh pengarang.
Beberapa ahli-ahli menyarankan istilah-istilah keracunan darah dan septicemia tidak
digunakan karena mereka terdefinisi dengan buruk, namun adalah sulit untuk
mengabaikan istilah-istilah macam itu yang telah digunakan berdekade-dekade.
C. Keracunan Darah
D. (Sepsis)

g.

Mengapa Begitu Banyak Penyakit-Penyakit Dengan


"sepsis", "septic", "septicemia", Atau "Keracunan Darah" Dalam Nama
Mereka ?
Sayangnya, kedua-duanya personal medis dan orang kebanyakan telah menggunakan
istilah-istilah ini dengan saling dapat ditukarkan dan kemudian menghubungkan
mereka ke organisme tertentu (biasanya bakteri) yang dapat menyebabkan sepsis atau
ke temapt dalam tubuh dimana infeksi berasal yang menjurus pada sepsis seperti
digambarkan diatas. Contonya, meningococcal sepsis, meningococcal septicemia,
septic meningitis, dan meningococcal blood poisoning dapat merujuk pada
kesatuan yang sama; infeksi dari pasien oleh bakteri Neisseria meningitidis yang
telah menyebar dari meninges (selaput-selaput otak) ke aliran darah, berakibat pada
pasien mempunyai paling sedikit dua dari empat kriteria yang digariskan diatas untuk
sepsis. Contoh-contoh umum dari tempat tubuh yang digunakan dalam cara yang
sama adalah puerperal sepsis, puerperal septicemia, puerperal atau childbirth
blood poisoning, dan maternal septicemia postpartum. Semua empat istilah-istilah
mewakili infeksi dari sistim reproduksi wanita yang menjurus pada kriteria sepsis
untuk pasien. Agen yang infeksius tidak digambarkan ketika tempat tubuh
dihubungkan ke "sepsis" atau istilah-istilah lain. Berikut adalah daftar sebagian yang
singkat dari keduanya yaitu organisme dan istilah-istilah sistim organ (dan yang
berhubungan dengan organ) yang terlihat di keduanya literatur awam dan medis:

MRSA sepsis: sepsis yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus


yang resisten terhadap methicillin
VRE sepsis: sepsis yang disebabkan oleh jenis bakteri Enterococcus yang
resisten terhadap vancomycin
urosepsis: sepsis yang berasal dari infeksi saluran kencing
53

wound sepsis: sepsis yang berasal dari infeksi luka


neonatal sepsis atau septicemia: sepsis yang terlihat pada bayi-bayi yang
baru dilahirkan, biasanya pada empat minggu pertama setelah kelahiran
septic abortion: aborsi yang disebabkan oleh infeksi dengan sepsis pada ibu

Ada lebih banyak contoh-contoh dari istilah-istilah yang dihubungkan ke sepsis


(contohnya, AIDS, tattoo, gigitan laba-laba). Adakalanya, istlah-istilah seperti
hemorrhagic septicemia digunakan untuk menggambarkan gejala (perdarahan
internal) yang terjadi dengan sepsis. Kecenderungan dalam kedokteran saat ini
adalah untuk mengurangi penggunaan istilah-istilah septicemia dan keracunan darah
untuk lebih menyukai istilah-istilah sepsis atau septic, karena sepsis terdefinisi lebih
singkat.
E. Keracunan Darah
F. (Sepsis)

h.

Tanda-Tanda atau Gejala-Gejala Sepsis (Keracunan


Darah)
Pasien harus mempunyai sumber infeksi yang terbukti atau yang dicurigai (biasanya
bakteri) dan mempunyai paling sedikit dua dari persoalan-persoalan berikut: denyut
jantung yang meningkat (tachycardia), temperatur yang tinggi (demam) atau
temperatur yang rendah (hypothermia), pernapasan yang cepat (>20 napas per menit
atau tingkat PaCO2 yang berkurang), atau jumlah sel darah putih yang tinggi, rendah,
atau terdiri dari >10% sel-sel band. Pada kebanyakan kasus-kasus, adalah agak
mudah untuk memastikan denyut jantung (menghitung nadi per menit), demam atau
hypothermia dengan thermometer, dan untuk menghitung napa-napas per menit
bahkan di rumah. Adalah mungkin lebih sulit untuk membuktikan sumber infeksi,
namun jika orangnya mempunyai gejala-gejala infeksi seperti batuk yang produktif,
atau dysuria, atau demam-demam, atau luka dengan nanah, adalah agak mudah untuk
mencurigai bahwa seseorang dengan infeksi mungkin mempunyai sepsis.
Bagaimanapun, penentuan dari jumlah sel darah putih dan PaCO2 biasanya
dilakukan oleh laboratorium. Pada kebanyakan kasus-kasus, diagnosis yang definitif
dari sepsis dibuat oleh dokter dalam hubungan dengan tes-tes laboratorium.
Beberapa pengarang-pengarang mempertimbangkan garis-garis merah atau alur-alur
merah pada kulit sebagai tanda-tanda dari sepsis. Bagaimanapun, alur-alur ini
disebabkan oleh perubahan-perubahan peradangan lokal pada pembuluh-pembuluh
darah lokal atau pembuluh-pembuluh limfa (lymphangitis). Alur-alur atau garisgaris merah adalah mengkhawatirkan karena mereka biasanya mengindikasikan
penyebaran infeksi yang dapat berakibat pada sepsis.

54

i.

Penyebab Sepsis
Mayoritas dari kasus-kasus sepsis disebabkan oleh infeksi-infeksi bakteri, beberapa
disebabkan oleh infeksi-infeksi jamur, dan sangat jarang disebabkan oleh penyebabpenyebab lain dari infeksi atau agen-agen yang mungkin menyebabkan SIRS. Agenagen infeksius, biasanya bakteri-bakteri, mulai menginfeksi hampir segala lokasi
organ atau alat-alat yang ditanam (contohnya, kulit, paru, saluran pencernaan, tempat
operasi, kateter intravena, dll.). Agen-agen yang menginfeksi atau racun-racun
mereka (atau kedua-duanya) kemudian menyebar secara langsung atau tidak
langsung kedalam aliran darah. Ini mengizinkan mereka untuk menyebar ke hampir
segala sistim organ lain. Kriteria SIRS berakibat ketika tubuh mencoba untuk
melawan kerusakan yang dilakukan oleh agen-agen yang dilahirkan darah ini.
Penyebab-penyebab bakteri yang umum dari sepsis adalah gram-negative bacilli
(contohnya, E. coli, P. aeruginosa, E. corrodens), S. aureus, jenis-jenis
Streptococcus dan jenis-jenis Enterococcus; bagaimanapun, ada sejumlah besar
jenis bakteri yang telah diketahui menyebabkan sepsis. Jenis-jenis Candida adalah
beberapa dari jamur yang paling sering menyebabkan sepsis. Pada umumnya,
seseorang dengan sepsis dapat menular, sehingga tindakan-tindakan pencegahan
seperti mencuci tangan, sarung-sarung tangan steril, masker-masker, dan penutup
baju harus dipertimbangkan tergantung pada sumber infeksi pasien.
G. Keracunan Darah
H. (Sepsis)

j.

Mendiagnosa Sepsis
Secara klinis, pasien perlu memenuhi paling sedikit dua dari kriteria SIRS yang
didaftar diatas dan mempunyai infeksi yang dicurigai atau terbukti. Diagnosis yang
definitif tergantng pada pembiakn darah yang positif untuk agen infeksius dan paling
sedikit dua dari kriteria SIRS. Bagaimanapun, dua subset dari empat kriteria
tergantung pada analisa laboratorium; pemeriksaan-pemeriksaan sel darah putih dan
PaCO2. Kriteriakriteria subset ini, seperti pembiakan-pembiakan darah, dilakukan di
laboratorium-laboratorium klinik.
Ada diagnosa-diagnosa lain yang mengindikasikan keparahan dari sepsis pasien.
Sepsis yang parah didiagnosa ketika pasien septic mempunyai disfungsi organ
(contohnya, aliran urin yang rendah atau tidak ada, keadaan mental yang berubah).
Sepsis yang parah dapat juga termasuk hipotensi yang diinduksi oleh sepsis (juga
diistilahkan septic shock) ketika tekanan darah pasien jatuh (biasanya <90 mmHg
pada kaum dewasa) dan berakibat pada aliran darah yang rendah atau tidak ada ke
berbagai organ-organ.

55

k.

Merawat Sepsis (Keracunan Darah)


Pada hampir setiap kasus sepsis, pasien-pasien perlu dirawat di rumah sakit, dirawat
dengan antibiotik-antibiotik intravena yang tepat, dan diberikan terapi untuk
mendukung segala disfungsi organ. Sepsis dapat dengan cepat menyebabkan
kerusakan organ den kematian; terapi harus tidak ditunda karena statistik-statstik
menyarankan setinggi 7% kematian meningkat per jam jika antibiotik-antibiotik
ditunda pada sepsis yang parah. Kebanyakan kasus-kasus dari sepsis dirawat di unit
gawat darurat atau intensive care unit (ICU) rumah sakit.
Antibiotik-antibiotik yang tepat untuk merawat sepsis adalah kombinasi-kombinasi
dari dua atau tiga antibiotik-antibiotik yang diberikan pada saat yang sama;
kebanyakan kombinasi-kombinasi biasanya termasuk vancomycin untuk merawat
banyak infeksi-infeksi MRSA. Bagaimanapun, sekali organisme yang menginfeksi
diisolir, laboratorium-laboratorium dapat menentukan antibiotik-antibiotik mana
paling efeketif melawan organisme-organisme, dan antibiotik-antibiotik itu harus
digunakan untuk merawat pasien. Sebagai tambahan pada antibiotik-antibiotik, dua
intervensi-intervensi therapeutik utama lain, dukungan sistim organ dan operasi,
mungkin diperlukan. Pertama, jika sistim organ memerlukan dukungan, ICU
(intensive care unit) dapat seringkali menyediakannya (contohnya, intubation untuk
mendukung fungsi paru atau dialysis untuk mendukung fungsi ginjal). Kedua,
operasi mungkin diperlukan untuk mengalirkan atau mengeluarkan sumber infeksi.
Amputasi anggota-anggota tubuh (tangan dan kaki) telah dilakukan untuk
menyelamatkan nyawa-nyawa pasien.
I. Keracunan Darah
J. (Sepsis)

l.

Prognosis Sepsis
Prognosis dari pasien-pasien dengan sepsis dihubungkan ke keparahan atau stadium
dari sepsis serta ke keadaan kesehatan yang mendasarinya dari pasien. Contohnya,
pasien-pasien dengan sepsis dan tidak ada tanda-tanda yang terus menerus dari gagal
organ pada saat diagnosis mempunyai kira-kira 15%-30% kesempatan kematian.
Pasien-pasien dengan sepsis yang parah atau septic shock mempunyai angka
kematian dari kira-kira 40%-60%. Bayi-bayi yang baru lahir dan pasien-pasien anakanak dengan sepsis mempunyai kira-kira 9%-36% angka kematian. Penyelidikpenyelidik telah mengembangkan scoring system (MEDS score) berdasarkan pada
gejala-gejala pasien untuk menaksir prognosis.
Ada sejumlah besar komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi dengan sepsis.
Komplikasi-komplikasi berhubungan dengan tipe dari infeksi awal (contonya, pada
infeksi paru dengan sepsis, komplikasi yang potensial mungkin adalah keperluan
untuk dukungan pernapasan) dan keparahan dari sepsis (contohnya, septic shock
56

yang berhubungan dengan infeksi anggota tubuh yang dapat memerlukan amputasi
anggota tubuh). Sebagai konsekwensi, setiap pasien kemungkinan mempunyai
potensi untuk komplikasi yang berhubungan dengan sumber sepsis; pada umumnya,
komplikasi-komplikasi disebabkan oleh disfungsi, kerusakan, atau kehilangan organ.
Dokter-dokter setuju bahwa lebih cepat pasien dengan sepsis didiagnosa dan dirawat,
lebih baik pronosisnya dan lebih sedikit komplikasi-komplikasinya, jika ada untuk
pasien.
m.

Pencegahan Sepsis (Keracunan Darah)


Faktor-faktor risiko yang menjurus pada sepsis dapat dikurangi dengan banyak
metode-metode. Mungkin cara yang paling penting untuk mengurangi kesempatan
untuk sepsis adalah untuk pertama mencegah segala infeksi-infeksi. Vaksin-vaksin,
kesehatan yang baik, mencuci tangan, dan menghndari sumber-sumber infeksi adalah
metode-metode pencegahan yang baik sekali. Jika infeksi terjadi, perawatan segera
dari segala infeksi sebelum ia mempunyai kesempatan untuk menyebar kedalam
darah adalah mungkin untuk mencegah sepsis. Ini terutama penting pada pasienpasien yang berisiko lebih besar untuk infeksi seperti mereka yang mempunyai
sistim-sistim imun yang ditekan, mereka yang dengan kanker, orang-orang dengan
diabetes, atau pasien-pasien kaum tua.

57

58

59

60

61

62

Timing dan appropriate merupakan kunci dalam menangani pasien sepsis dan syok sepsis. Detik-detik
begitu berharga, terlambat sedikit, bisa-bisa pasien pulang lewat pintu belakang alias menemui ajal.
Berbicara mengenai sepsis rasanya tidak beranjak dari bicara tentang ancaman maut yang kerap
mengintai pasien. Hal ini dikarenakan masih sangat tingginya angka kematian akibat kondisi ini. Meski
telah ada kemajuan dalam teknologi kedokteran dan telah ditemukan metoda baru dalam
penanganannya, namun sampai saat ini para dokter masih kewalahan menaklukkan sepsis. Di
Indonesia saja, angka kematian diperkirakan mencapai 30-50%. Ini memperlihatkan masih banyaknya
penanganan yang inapproriate.
Menurut Prof. DR. Dr. H. Achmad Guntur Hermawan, SpPD-KPTI,penanganan sepsis secara teoritis
sebenarnya tidaklah sulit. Pada prinsipnya penanganan sepsis dilakukan dengan menyeimbangkan
dua hal, yakni antara TH1 dengan TH2 dan proinflamatori dengan antiinflamatori. Namun pada
praktiknya, penanganan sepsis tidaklah semudah dalam teori. Pasalnya, sepsis merupakan suatu
kondisi yang sangat komplek dan melibatkan begitu banyak faktor biomolekular, ujarnya pada PIN
PAPDI ke-4, 15 Desember 2006 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta.
Lebih lanjut Guntur mengatakan, pada dasarnya sepsis merupakan alarm reaction. Artinya,
pada saat terjadi sepsis tubuh akan menimbulkan reaksi kesiagaan. Di HPA aksis, semua endokrin
termasuk epinefrin, norepinefrin, mineralokortikotropin, dan kortisol akan keluar dari persembunyian,
sehingga jumlahnya meningkat dari keadaan normal. Biasanya peningkatan kortisol jauh lebih tinggi
daripada endokrin lainnya. Memburuk atau tidaknya sepsis, tergantung pada keseimbangan tadi. Bila
TH2 yang kuat atau inflamasi yang kuat, maka terjadilah syok sepsis. Lalu bagaimana mengatasinya?
Mudah saja, kembalikan kondisi pada keseimbangan lagi.
Pada permulaan syok sepsis, di adrenal biasanya terjadi penekanan oleh sitokin, obat anestesi,
infeksi, agen antiinfeksi, dan pendarahan, sehingga terjadi syok. Meskipun kortisol di area ini
meningkat, namun efek sitokin proinflamatori jauh lebih kuat. Untuk menekan efek tersebut, kadang
diperlukan asupan dari luar dengan pemberian kortisol di awal sepsis. Namun hal ini masih
dipertentangkan. Ada yang berpendapat memberikan kortisol setelah terjadi syok.
Menurut kepustakaan, pasien syok sepsis dengan kadar kortisol kurang dari 10 berisiko tinggi
kematian. Pada penelitian saya di Solo, sekitar 6 dari 9 pasien yang kadar kortisolnya kurang dari 9,
semuanya meninggal. Berlatar hal tersebut, sah-sah saja memberikan kortisol di awal sepsis. Namun
memberikan setelah syok juga tidak masalah, yang penting harus dikaji rasionalitasnya.
Guntur menambahkan, sebenarnya pada keadaan syok sepsis yang dibutuhkan adalah pemberian
vasoaktif, terutama bila resusitasi dengan cairan gagal untuk mengembalikan tekanan darah dan
perfusi jaringan yang memadai. Kenapa demikian? Pasalnya pada kondisi syok sepsis, di
mikrosirkulasi biasanya terjadi vaskular leakage syndrom (kebocoran), tonus pembuluh darah kapiler
menurun karena berkurangnya norepinefrin dan epinefrin, permiabilitas kapiler meningkat, dan terjadi
perdarahan (DIC). Adapun maksud pemberian vasoaktif adalah untuk memperbaiki tonus pembuluh
darah mikro tersebut.
Ada silang pendapat vasoaktif mana yang terbaik untuk syok sepsis. Namun yang terpenting, sasaran
utamanya adalah memulihkan mean arterial pressure (MAP), yakni harus lebih dari 65-75 mmHg.

63

Selain itu juga diharapkan terjadi peningkatan kontraktilitas miokard, sehingga hantaran oksigen
membaik ke jaringan. Obat yang diberikan diantaranya adalah dopamine, epinefrin, noepinefrin,
dobutamin, dan fenilefrin.
Tabel 1. Aktivitas Reseptor Rerbagai Obat
Guntur mengatakan, dari tabel terlihat bahwa vasokontriktor yang cukup kuat untuk meningkatkan SVR
adalah epinefrin dan norepinefrin. Keduanya juga meningkatkan tekanan darah tanpa sedikit pun
menaikkan denyut nadi. Yang terpenting norepinefrin dan epinefrin bisa meningkatakan MAP menjadi
65-75 mmHg, bahkan hingga mencapai 85 mmHg sekalipun. Khusus untuk norepinefrin, selain
potensial terhadap reseptor alpha-1 agonis, ternyata vasopresor ini juga memiliki efek terhadap
reseptor beta agonis. Melihat keunggulan itu, tak ayal forum sepsis internasional pun lebih memilih
vasopresor norepinefrin dibandingkan dengan dopamine (critical care, 2003).

64

65

Pengukuran: Shock didefinisikan sebagai kompromi hemodinamik yang mensyaratkan administrasi


katekolamin vasopressor dan syok septik adanya shock ditambah infeksi. Pasien diikuti sampai
kematian, debit rumah sakit, atau selama 60 hari, mana yang datang lebih dulu. Perbedaan di ICU,
rumah sakit, dan kematian 30d ditentukan tergantung pada apakah dopamin diterima subjek, dengan
analisis

sekunder

oleh

dobutamine,

epinefrin,

atau

menggunakan

norepinefrin.

66

Hasil: Unit perawatan intensif tingkat kematian untuk shock adalah 38,3% dan 47,4% untuk syok
septik. Dari pasien shock, 375 (35,4%) menerima dopamin (kelompok dopamin) dan 683 (64,6%) tidak
pernah menerima dopamin. Usia, jenis kelamin, Sederhana akut Fisiologi Skor II, dan Sequential skor
Penilaian Kegagalan Organ adalah sebanding antara kedua kelompok. Kelompok dopamin telah unit
perawatan intensif yang lebih tinggi (42,9% vs 35,7%, p =. 02) dan rumah sakit (49,9% vs 41,7%, p =.
01) tingkat kematian. Kurva survival Kaplan-Meier menunjukkan berkurang 30 hari-hidup dalam
kelompok dopamin (peringkat log = 4.6, p =. 032). Dalam analisis multivariat dengan hasil unit
perawatan intensif sebagai faktor tergantung, usia, kanker, penerimaan medis, lebih tinggi berarti
berurut skor Penilaian Kegagalan Organ, lebih tinggi berarti keseimbangan cairan, dan administrasi
dopamin merupakan faktor resiko independen untuk kematian unit perawatan intensif pada pasien
dengan

syok

Kesimpulan
Studi observasional menunjukkan bahwa administrasi dopamin dapat dikaitkan dengan tingkat
kematian meningkat shock. Ada kebutuhan untuk penelitian prospektif yang membandingkan dopamin
dengan

katekolamin

lain

dalam

pengelolaan

syok

sirkulasi.

Komentar
Norepinefrin adalah vasopressors pertama kali diperkenalkan ke dalam praktek klinis [2]. Pada awal
penggunaan, norepineprhine sering digunakan untuk mengobati shock tanpa resusitasi volume
memadai. Tidak mengherankan, banyak pasien dengan tanda-tanda shock terwujud dari perfusi
jaringan diperparah setelah pengobatan dengan norepinefrin tanpa adanya pembebanan volume
intravaskuler cukup. Jadi, ketika dopamin diperkenalkan sebagai vasopressor kurang kuat dengan
kegiatan inotropic lebih besar, itu diterima secara luas dan menjadi vasopressor pilihan. Sekarang,
dalam menghadapi strategi resusitasi lebih rasional, manfaat relatif dari dopamin, norepinefrin, dan
vasopressors

lain

pantas

dipertimbangkan

kembali.

Dalam studi saat ini, Sakr dan rekan [1] memeriksa perbedaan kematian di antara pasien ICU dengan
stratified shock menurut apakah mereka menerima dopamin atau tidak. Dalam analisis sekunder,
pasien juga berlapis berdasarkan pengobatan dengan dobutamine, epinefrin, atau norepinefrin.
Penelitian ini termasuk pasien dengan berbagai penyebab shock, 44% mengalami shock septik dan
sisanya telah bentuk shock tidak terkait dengan infeksi. Dalam analisis univariat, penulis menemukan
bahwa penggunaan dopamin dikaitkan dengan lebih ICU, rumah sakit, dan mortalitas 30 hari. Setelah
disesuaikan dengan karakteristik dasar dan tingkat keparahan penyakit, gunakan dopamin tetap
merupakan prediktor independen kematian ICU shock terlepas dari apakah itu karena sepsis atau

67

sebab lainnya. Menariknya, epinefrin juga terkait dengan kematian 30-hari lebih besar, namun
norepinefrin dan dobutamine tidak. Para penulis menyimpulkan bahwa pemberian dopamin dapat
berhubungan
(Nomor
Critical

Halaman
halaman

Care

2006,

11:

tidak
302

(DOI

dari

untuk

tujuan

101186/cc5146)

Azarov,

2
kutipan)
Milbrandt,

dan

Pinsky

dengan kematian meningkat di shock dan menyerukan uji acak calon dopamine dan katekolamin lain
untuk

pengelolaan

syok

sirkulasi.

Ini merupakan studi yang sangat baik dilakukan melibatkan kohort, baik besar dijelaskan dirawat di
berbagai

pengaturan

pharmacoepidemiology

di

sekitar

paling

25%

dari

ICU

Eropa.

Seperti

observasional,

ada

beberapa

halnya

keterbatasan

dengan
yang

studi
pantas

dipertimbangkan. Menjadi pengamatan di alam, penelitian ini tidak dapat membuktikan hubungan
sebab dan akibat dan dimaksudkan untuk menghasilkan hipotesis-hipotesis-daripada pengujian. Poin
ini dengan hati-hati dicatat oleh penulis. Informasi tentang penggunaan protein C diaktifkan,
kortikosteroid, dan tujuan-diarahkan resusitasi awal tidak dipungut, sehingga penulis tidak dapat
menjelaskan modalitas terapi dalam analisis mereka. Indikasi bias dalam jenis penelitian ini sangat
sulit untuk alamat. Sederhananya, dalam studi non-acak, subyek menerima obat tertentu untuk indikasi
tertentu. Indikasi ini sering terkait erat dengan hasil, dan asosiasi bias sehingga dapat digunakan obat
dengan hasil. Statistik metode yang digunakan untuk menjelaskan sumber bias termasuk model
multivariabel dan skor kecenderungan; kedua dapat digunakan untuk menyesuaikan kemungkinan
telah menerima obat dari bunga [3]. Sementara penulis melakukan pemodelan menggunakan
multivariabel, mereka tidak menyertakan analisis kecenderungan berbasis. Melakukan hal tersebut
akan meningkatkan kekokohan temuan mereka. Hal ini juga akan membantu jika penulis dianggap
pengelompokan efek dalam model mereka. Satu pengalaman pasien di rumah sakit umum protokol
perawatan yang disampaikan oleh dokter bersama, yang berarti bahwa observasi dalam rumah sakit
sering berkorelasi [4]. Kegagalan untuk memperhitungkan korelasi ini, atau clustering, dapat
menyebabkan

signifikansi

statistik

dibesar-besarkan

[5].

Jika kita menganggap untuk saat ini bahwa pemberian dopamin tidak memperburuk risiko untuk hasil
yang buruk, maka kita harus mengajukan pertanyaan: apa alasan untuk dampak merusak? Beberapa
faktor yang mungkin terlibat, di antaranya: tachyarrhythmias, efek mukosa usus, neuro-endokrin
sumbu penekanan [6,7], dan [imunosupresi 8].

68

F. Vasopressors
1. Ketika sebuah tantangan cairan yang tepat gagal untuk mengembalikan tekanan darah yang
memadai dan organ
perfusi, terapi dengan agen vasopressor harus dimulai. terapi Vasopressor juga mungkin
transiently diperlukan untuk mempertahankan hidup dan mempertahankan perfusi dalam menghadapi
kehidupan yang mengancam
hipotensi, bahkan ketika tantangan fluida sedang berlangsung dan hipovolemia belum
dikoreksi.
Kelas Rekomendasi: E
2. Entah norepinefrin atau dopamin (melalui kateter pusat secepat tersedia) adalah yang firstchoice
agen vasopressor untuk memperbaiki hipotensi pada renjatan septik
Kelas Rekomendasi: D
3. Dopamin dosis rendah tidak boleh digunakan untuk perlindungan ginjal sebagai bagian dari
pengobatan yang parah
sepsis.
Rekomendasi Grade: B
4. Semua pasien yang memerlukan vasopressors harus memiliki kateter arteri ditempatkan sesegera
mungkin jika
sumber daya yang tersedia.
Kelas Rekomendasi: E
5. Menggunakan vasopressin dapat dianggap pada pasien dengan syok refraktori meskipun cukup
cairan
resusitasi dan dosis tinggi vasopressors konvensional. Menunggu hasil percobaan berlangsung, maka
tidak disarankan sebagai pengganti norepinefrin atau dopamin sebagai agen lini pertama. Jika
digunakan pada orang dewasa, itu harus diberikan pada tingkat infus 0,01-0,04 unit / menit. Mungkin
penurunan stroke volume.
Kelas Rekomendasi: E
G. Inotropic Terapi
1. Pada pasien dengan cardiac output yang rendah meskipun resusitasi cairan yang memadai, dapat
digunakan dobutamine
untuk meningkatkan output jantung. Jika digunakan dengan adanya tekanan darah rendah, itu harus
dikombinasikan
dengan terapi vasopressor.
Kelas Rekomendasi: E
2. Sebuah strategi untuk meningkatkan indeks jantung untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi yang
telah ditetapkan tidak sewenang-wenang
direkomendasikan.

Pdf : a 16
69

70

Pdf : a 16

Pdf : a 17

Obat inotropik positif bekerja dengan meningkatkan kontraksi otot jantung


(miokardium).

Indikasi : gagal jantung, keadaan jantung gagal untuk memompa darah dalam
volume yang dibutuhkan tubuh. Keadaan tersebut terjadi karena jantung bekerja

71

terlalu berat (kebocoran katup jantung, kekakuan katub, atau kelainan sejak lahir
di mana sekat jantung tidak terbentuk dengan sempurna ) atau karena suatu hal
otot jantung menjadi lemah.
Ada 2 jenis obat inotropik positif, yaitu :

Glikosida jantung adalah alkaloid yang berasal dari tanaman Digitalis purpurea
yang kemudian diketahui berisi digoksin dan digitoksin.

Penghambat fosfodiesterase merupakan penghambat enzim fosfodiesterase


yang selektif bekerja pada jantung. Hambatan enzim ini menyebabkan
peningkatan kadar siklik AMP (cAMP) dalam sel miokard yang akan meningkatkan
kadar kalsium intrasel.

Contoh : Milrinon , Aminiron

L. Poin
Sejumlah poin tambahan patut disebutkan. Pertama, dopamin telah
ditunjukkan pada tikus untuk meningkatkan pembersihan yang edema paru
oleh upregulating natrium-kalium triphosphatase fungsi adenosin dalam sel
epitel alveolar [10]. Jika ini juga terjadi pada manusia, maka bisa merupakan
manfaat tambahan yang penting dopamin di pasien sakit kritis, banyak di
antaranya akan menerima ventilasi mekanik. Kedua, dopamin juga telah
terbukti meningkatkan fungsi diafragma, mungkin dengan meningkatkan
pasokan oksigen ke daerah itu [11], yang fungsi lain yang mungkin penting
dalam kritis populasi. Ketiga. dopamin telah ditunjukkan untuk meningkatkan
sintesis protein dalam hati post ischaemic [12]. Akhirnya, norepinefrin

72

meningkatkan pertumbuhan bakteri [13] dengan meningkatkan besi serapan


oleh bakteri, dan dapat mengganggu bakteri clearance [14].
Kami percaya bahwa tidak ada bukti bahwa dopamin harus diganti
oleh norepinefrin dalam pengobatan pasien dengan septik shock. Sebaliknya,
walaupun dopamin adalah kurang vasopressor efektif daripada norepinefrin,
itu mempertahankan pasokan oksigen ke organ-organ yang lebih baik.
Oleh karena itu dapat menjadi awal obat pilihan shock peredaran
darah, meskipun di banyak norepinefrin kasus mungkin perlu ditambahkan
nanti jika maksimum dopamin dosis gagal untuk mengembalikan tekanan
perfusi. Baik dirancang secara acak, uji klinis terkontrol yang diperlukan
untuk dibandingkan dengan norepinefrin dopamin sebagai agen lini pertama
di yang resusitasi pasien akut dengan shock septik yang tidak responsif untuk
administrasi cairan. Bersaing kepentingan Tidak ada diumumkan. 8

73

Anda mungkin juga menyukai