PENDAHULUAN
Angka kematian sepsis masih cukup tinggi baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
Moewardi Surakarta tahun 1997, 130 (97%) dari 135 pasien sepsis meninggal dunia
(Guntur, 1999). Penelitian lain di bagian Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi
Surakarta tahun 2004, 74 (83,1%) dari 89 pasien sepsis meninggal (Arifin dan
Guntur, 2005). Dari penelitian yang dilakukan selama Januari 2006-Desember 2007
di bagian PICU/NICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, terdapat angka kejadian
sepsis 33,5% dengan tingkat mortalitas sebesar 50,2% .23
Sepsis berat terjadi kira-kira pada 3 orang tiap 1000 orang penduduk tiap
tahun dan merupakan 2% dari jumlah rawat tinggal di Rumah Sakit. Tiga persen
diantara pasien tersebut akan mengalami syok septik dan 10 diantaranya memerlukan
perawatan di ruang intensif (ICU). Kematian yang disebabkan oleh sepsis berat
sebesar 30% dan 50%-60% disebabkan oleh syok septik. 5
Terapi sepsis dengan menggunakan inovasi klinis dan farmasi, masih
merupakan tugas yang sangat sulit. Perkembangan terapi dengan obat-obatan akan
berdampak secara mendasar pada angka kesakitan dan kematian akibat sepsis.
Karena sepsis pada manusia merupakan penyakit yang kompleks dan berkembang,
menentukan populasi pasien yang bisa memperoleh manfaat dari terapi potensial dan
waktu pemberian terapi merupakan hal yang penting. 29
Penelitian terbaru telah berhasil menemukan banyak target terapi sepsis yang
potensial dan menarik. Perkembangan terapi medikamentosa untuk mengurangi
angka kesakitan dan kematian akibat sepsis memiliki kesulitan dengan banyaknya
obat anti-inflamasi dan anti-koagulan yang tampaknya menjanjikan di lingkungan
laboratorium, tetapi tidak memberikan
terbaru pada manusia. Namun dengan pengecualian hal tersebut, recombinant human
activated protein C, kortikosteroid dosis rendah vasopresor dan inotropik serta terapi
insulin intensif telah terbukti menurunkan angka kematian dan telah menjadi terapi
yang diterima secara luas untuk terapi populasi spesifik pasien sepsis. 3, 7, 28, 29
BAB II
SYOK SEPSIS
Sepsis adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang
disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri gram negatif maupun positif, jamur,
virus dan parasit. Berbagai definisi telah diajukan, namun definisi yang saat ini
digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam konsensus American
Collage of Chest Physicians (ACCP) dan Society of Critial Care Medicine (SCCM)
pada tahun 1991. 8, 17
Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan
terhadap kriteria sebelumnya. Di mana pada konferensi tahun 2001 menambahkan
beberapa kriteria diagnosis baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan
memasukkan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein
(CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis. Rekomendasi yang utama
adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan yang terdiri atas : Predispotition (P),
Insult Infection (I), Response (R), dan Organ dysfunction (O) untuk menentukan
pengobatan secara maksimal berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi
gejala dan resiko yang individual. 17, 19
Tabel 2.1 Definisi sepsis. 8
SIRS (systemic
inflammatory respone
syndrome)
Sepsis
Sepsis berat
Sepsis dengan
hipotensi
Syok septik
A.
17, 23
dimer yang akan berpindah ke inti sel di mana melalui ikatan dalam reseptor pada inti sel
akan meningkatkan sintesis mRNA untuk gen-gen spesifik yang akan mengkode sintesis
mediator pro-inflamasi (seperti TNF-, IL-1, IL-8, iNOS, COX2). Stres oksidatif
intraseluler juga akan mengaktifkan heat shock factor (Hsp), yang seperti NF-B akan
berpindah ke dalam inti sel di mana akan terikat dalam inti sel yang selanjutnya akan
menambah pengkodean mRNA untuk sintesa Hsp. Hsp70 akan menurunkan regulasi
aktivitas NF-B baik melalui pembatasan oksidasi mitokondria berikutnya maupun
dengan cara membatasi fosforilasi NF-B. Hsp70 dengan cara membatasi stres oksidatif
mitokondria juga meminimalisasi pengeluaran sitokrom sehingga akan menurunkan stres
apoptosis. 6
Sepsis yang dihasilkan bakteri gram positif berbeda dengan gram negatif,
di mana organisme gram positif memerlukan serangkaian respons dari penjamu
dengan pembunuhan intraseluler dengan neutrofil dan makrofag. Hal ini berbeda
dengan kuman patogen gram negatif, yang mungkin siap dibunuh dalam ruang
ekstraseluler oleh antibodi dan komplemen. 18
bakteri,
sebagai
molekul
protein
yang
berpotensi
untuk
inflamasi seimbang, maka tubuh dalam keadaan homeostasis yang disebut Mixed
Antagonis Respon Syndrome (MARS). MARS adalah suatu keadaan yang sesuai
dengan definisi respon
homeostasis. 8, 17
Imunomodulasi pada sepsis sangat kompleks dan saling tumpang tindih.
Konsep baru tentang patogenesis sepsis dapat menjelaskan bahwa ada 5 tahapan
terjadinya multiple organ dysfunction syndrome (MODS) pada sepsis, yaitu
stadium reaksi lokal, respon sistemik awal, inflamasi sistemik masif,
imunosupresi masif dan imunologi dissonance . 8, 10
Respon awal tubuh adalah menginduksi mediator pro-inflamasi untuk
menghancurkan jaringan yang rusak, benda asing, kuman dan merangsang
pertumbuhan jaringan baru. Kompensasi mediator anti-inflamasi segera muncul
untuk mencegah agar pro-inflamasi tidak terlalu destruktif. IL-4, IL-10, IL-11,
IL-13, reseptor TNF- terlarut, antagonis reseptor IL-1, tumor growth factor
(TGF)-
dan mediator
lainnya
bertujuan
mengurangi
ekspresi
Major
permiabilitas
mikrokapiler;
(2)
trombosit
yang
memblok
inhibisi protein C dan protein S; (4) adanya vasodilatasi dan maldistribusi aliran
darah sehingga pasien jatuh pada fase syok. Pada stadium ini merupakan
ancaman terjadinya disfungsi organ dan MOF bila homeostasis tidak segera
diatasi. 8, 23
stadium
imunosupresif
masif
terjadi
reaksi
anti-inflamasi
10
B.
darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Faktor lain yang berperan
adalah disfungsi miokard akibat pengaruh berbagai mediator sehingga terjadi
penurunan curah jantung. Proses ini mendasari terjadinya hipotensi dan syok
pada sepsis. 4, 15, 27
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptif akan menyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/ gagal organ
multipel (MODS/ MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada
tingkat selular (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/ jaringan
sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi dan mirotrombus. Berbagai faktor
lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam
sirkulasi
(myoccardial
depressant
substance),
malnutrisi
kalori-protein,
translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit dan efek samping terapi yang
diberikan. 15, 26
C.
Penatalaksanaan Sepsis 15
12
BAB III
VASOPRESOR DAN INOTROPIK PADA SYOK SEPTIK
A. Syok Septik
Vasopresor adalah obat yang mempunyai efek vasokontriksi kuat
sehingga meningkatkan arterial pressure berakibat tekanan darah meningkat.
Inotropik adalah obat yang dapat meningkatkan kemampuan kontraksi otot
jantung sehingga kekuatan pompa jantung akan meningkat. 15
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi
cairan,
dan
disertai
hipoperfusi
jaringan.
Pada
keadaan
ini
terdapat
waktu dapat menjadi penggerak utama kondisi patologis sepsis yang berakibat
pada kegagalan organ yang kemudian dapat terjadi kegagalan multi organ. 10
Fase dini : terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan
kering.
2.
3.
4.
14
jantung akan meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung
melemah, mengakibatkan fungsi jantung instrinsik (sistolik dan diastolik)
terganggu. Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia pada
peningkatan volume sekuncup), tetapi aliran aliran darah perifer tetap berkurang.
Status hemodinamik pada sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira
hiperdinamik (vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut
kenyataannya lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah
berkurang).
Tanda karakteristik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah
gangguan ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran
darah perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen
perifer terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan ekstraksi oksigen dari
mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septik dipercaya sebagai
penyebab utama terjadinya oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya
hiperlaktataemia, hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena
dys-oxia jaringan (produksi energy dalam keterbatasan oksigen). 17, 18
D. Support Hemodinamik Pada Syok Septik
16
koloid
dalam
respon
metabolik
dapat
meningkatkan
2.
Cairan koloid lebih dianjurkan untuk resusitasi awal karena mempunyai efek
hemodinamik segera.
3.
17
Gambar 3. 3. EGDT
Pada syok septik cairan yang diberikan umumnya dianggap cukup bila
dicapai tekanan darah sistolik 90 mmHg dengan disertai tanda klinik perbaikan
perfusi end organ. Pada pasien tua atau dengan penyakit jantung iskemia atau
penyakit cerebrovaskuler mungkin perlu tekanan darah > 100 mmHg.
Pemasangan kateter vena sentral dipertimbangkan sebagai arahan bila
akan memberikan cairan dalam jumlah banyak dan pada
pemberian obat
G. Agen-agen Vasopresor
1. Dopamin IV Infusion
Infus dopamin dosis rendah (2-5 g/ kgbb/menit) hanya merangsang
reseptor dopamin (DA), sedangkan dosis sedang (5-10 g/ kgbb/menit)
merangsang adrenoseptor -1 tanpa mempengaruhi adrenoseptor . Sehingga
pada dosis ini, dopamin meningkatkan curah diuresis dan ekskresi natrium
tanpa menaikkan tekanan darah.
Dopamin mempunyai efek campuran yaitu sebagai inotropik dan
vasodilatasi pada end organ pada dosis rendah (2-5 g/ kg bb/ menit) pada
dosis 5-10 g/ kg bb/ menit meningkatkan kotraktilitas miokard dan curah
jantung dan meningkatkan konduksi jantung (meningkatkan rate). Pada dosis
> 10-20 g/ kg bb/ menit mempunyai efek terhadap reseptor agonis
sehingga dapat menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan tekanan darah
sentral.
2)
3)
aman dengan ketentuan bahwa volume darah yang beredar tetap adekuat, dan
penderita tidak berada dalam keadaan syok hipovolemik. Obat ini harus
dihentikan secara bertahap untuk mencegah hipotensi.
Dopamin dan noradrenalin dikontraindikasikan pada penderita
feokromasitoma, tirotoksikosis, aritmia dan penyakit-penyakit perivaskular
terlebih bila ada tanda-tanda gangren.
19
cardiogenic
shock
dan
hipotensi
akibat
gangguan
c. Dosis :
Dosis awal : 0.1-0.2 g/ kg bb/ menit dan dilihat efek dalam
beberapa menit. Dosis maintenance adalah 0.05 g/ kg bb/ menit
diberikan melalui kateter plastik ke dalam vena besar/ central.
Karena efek pada reseptor -1, norepinephrin dosis 10-15 g/ kg
bb/ menit hanya dipakai pada keadaan dimana tekanan darah tak dapat
dipulihkan dengan berbagai cara; dapat dipakai kombinasi dengan
dopamine. Tambahkan norepinephrin dalam D5%, D5 NS tetapi tidak
dalam NS sendiri. Jangan gunakan IV line dengan alkaline solution. 15, 18
3. Isoproterenol IV infusion
a. Indikasi :
1) Digunakan jika external pacer tidak memberikan hasil pada terapi
symptomatic bradycardia.
2) Refractory torsade de pointes yang tidak respon terhadap magnesium
sulfat.
3) Keracunan beta blocker.
b. Precautions/ kontra indikasi :
1) Jangan gunakan pada terapi cardiac arrest.
2) Meningkatkan resiko iskemia miocardial.
3) Jangan gunakan dengan epinefrin; menyebabkan VT/ VF.
c. Dosis :
infuse 2-10 g/ kg bb/ menit. Titrasi dosis sampai heart rate adekuat.
Efek dilihat tiap 15-25 menit dan dosis diduakalikan bila perlu. 15, 18
H. Agen-agen Inotropik
Agen inotropik mempunyai efek meningkatkan kontraktilitas miokardial
dan efek terhadap pembuluh darah (tahanan vaskuler) yang bervariasi, sebagian
menyebabkan
vasokonstriksi
(epinefrin,
norepinefrin)
sebagian
lainnya
inotropik dapat
21
Indikasi :
Pada keadaan pump problems (congestif heart failure, pulmonary
congestion) dengan tekanan sistolik 70-100 mmHg tanpa disertai sign
dan symptom syok.
b.
22
c.
Dosis : dosis 2-10 g/ kg bb/ menit. Bekerja primer pada reseptor Radrenergik (R-1 dan R-2) berguna pada pasien dengan keadaan cardiac
output rendah. Titrasi dosis dimana heart rate tidak boleh naik > 10% dari
baseline. Monitoring hemodinamik direkomendasikan untuk penggunaan
yang optimal. 15, 18
2)
Higher dose (> 0.2 mg/ kg BB) untuk indikasi spesifik : over dosis
blocker atau calcium channel blocker.
3)
(1 mL : 1.000
23
dysfunction
dan
untuk
meningkatkan
sistemik
atau
2)
Intra venous infusion : 0.375- 0.75 g/ kg bb/ menit selama 2-3 hari.
3)
Monitor hemodinamik.
4)
Bila keadaan tak dapat diatasi dengan pemberian cairan saja, maka perlu
diberi vasopresor, golongan sympathomimetic amine. Obat sympathomimetic
amine dipakai secara luas pada keadaan gangguan syok hemodinamik. Obat yang
semula banyak dipakai adalah epinephrine dan norepinephrine mempunyai efek
vasokintriksi kuat. Ekstravasasi di daerah sekitar infuse akan dapat berakibat
nekrosis. Norepinephrin dan epinephrine meningkatkan irritabilitas miokard.
Alternatif obat lain adalah isoproterenol, dopamine dan dobutamin. Obat
mempunyai efek inotropik dan melalui beta efeknya dapat meningkatkan perfusi
jaringan. Dopamin mempunyai efek vasodilatasi renal, jantung dan serebral;
meningkatkan tekanan sistolik dan denyut jantung serta mengurangi aliran darh
ke jaringan otot. Dibanding dopamine, dobutamin mempunyai efek kronotropik
lebih kecil sedangkan efek lain sama.
Norepinephrine biasanya baru dipakai bila pemberian dopamine dan
dobutamin tak berhasil menaikkan tekanan darah sistemik. Tetapi pada akhir
25
tahun 2003 norepinephrine merupakan pilihan pertama pada keadaan syok septik
(Reinhart K, 2007). Current International Guide Line merekomendasikan bahwa
norepinephrine dan dopamine mempunyai ekuivalensi untuk terapi syok septik.
norepinephrine adalah 1 agonis merupakan pilihan pertama sebagai vasopresor.
Restorasi dan tekanan perfusi dapat memperbaiki (restorasi) fungsi ginjal.
Dopamine 1 dan 1 kurang efektif dalam memperbaiki tekanan darah arterial
bila dibandingkan dengan norepinephrine. Potensi efek dopamine dalam
memperbaiki fungsi renal tidak bisa dibuktikan. 16, 18
J. Diskusi : Perdebatan Agen Vasopresor-Inotropik pada Syok Septik
Sympathomimetic amine mempunyai efek lain, pada saluran napas/ paru,
gula darah dan sebagainya. Faktor kritis penting adalah pemberian cairan yang
harus cukup. Tidak tepat memakai dopamine atau isoproterenol sebelum memberi
cairan yang cukup (Fluid challenge). Bila ada kekurangan cairan intravaskular;
maka vasodilatasi oleh beta adrenergic dapat berefek paradoksal, yaitu turunnya
volume intravaskular. Untuk itu perlu pengawasan tekanan vena sentral. Meski
sudah diberi cairan dan vasopresor-inotropik, asidosis metabolic sering dijumpai.
Untuk itu dianjurkan pemberian sementara infus natrium bikabornat. 17, 18
Tabel 3. 1. Skoring Obat Vasopresor
Obat
-1
-1
-2
Dopaminergik
Dopamin H Cl*
2+
3+
2+
3+
Norepinefrin
3+
2+
Dobutamin
1/ 2+
3+
2+
Epinefrin
2/ 3+
3+
3+
Fenilefrin
3+
Rating menunjukkan derajat aktivitas mulai dari tidak ada (0) sampai maksimal (3+)
*Aktifitas tergantung pada dosis
Keterangan :
26
-1
-1
-2
manusia
dan
hewan
menyarankan
beberapa
keuntungan
Obat
Dosis
CO
MAP
SVR
2+
1+
1+
-/ 0/ +
2+
2+
Dopamin H Cl*
Norepinefrin
Dobutamin
2+
-/ 0/ +
Epinefrin*
2+
2+
2+
Fenilefrin
-/ 0/ +
2+
2+
Rating menunjukkan derajat efek dari penurunan ringan (-) sampai peningkatan
mencolok (2+), CO (cardiac output), MAP (mean arterial pressure), SVR (systemic
vascular resistance).
*Aktifitas tergantung pada dosis
Keterangan :
CO
HR x Volume sekuncup
MAP =
CO x SVR
SVR =
1
R4
Radius pembuluh darah
17, 18
28
Obat
Efek Adrenergik
Dosis
Arhytmogenic
Potential
Epinefrin
++
+++
++++
Norepinefrin
+++
++
++
Dopamin H Cl
+*
++
++*
++
+++
++
+++
Dobutamin
+++
++
Isoproterenol
+++
+++
Inamrinone
0*
++
(Amrinone)
manusia
dan
hewan
menyarankan
beberapa
keuntungan
agen
vasopresor
untuk
mempertahankan
tekanan
arteri.
Norepinephrine dan dopamin adalah dua agen adrenergik yang umum digunakan
dalam perawatan syok septik persisten meskipun terapi cairan yang adekuat.
Surviving
Sepsis
Campaign;
Managemen
Syok
Septic
15
2008,
30
2.
3.
4.
5.
6.
31
BAB IV
KESIMPULAN
A. Rasionalisasi Obat Vasopresor-Inotropik
1. Pasien yang tidak merespon terapi cairan harus diberikan obat vasopresor.
2. Ada silang pendapat tentang obat vasopresor terbaik dalam syok septik.
3. Sasaran utama adalah memulihkan dengan cepat perfusi jaringan dengan
meningkatkan MAP (Mean Arterial Pressure) menjadi 65-75 mmHg.
4. Juga dikehendaki peningkatan kontraktilitas miokard sehinga hantaran
oksigen ke jaringan bisa lebih baik.
5. Jika sasaran utama meningkatkan MAP menjadi 65-75 mmHg maka
norepinephrine adalah merupakan pilihan utama.
Dellinger menganjurkan pemakaian norepinephrine sebagai first choice
untuk
syok
septik
dengan
beberapa
alasan.
Dinyatakan
juga bahwa
32
B. Kesimpulan
Berdasarkan data-data tersebut diatas pada penggunaan norepinephrine pada
penderita syok septik mempunyai efek :
1. Vasokontriktor
cukup
kuat
meningkatkan
SVR
(Systemic
Vascular
Resistance).
2. Meningkatkan tekanan darah tanpa sedikit meningkatkan denyut nadi.
3. Meningkatkan MAP : 65-75 mmHg sampai dengan final 85 mmHg.
4. Dari yang diberikan 47 mg/ menit mempertahankan denyut jantung 97-101
kali/ menit.
5. Norepinephrine potensial terhadap -1 reseptor agonis dan masih merupakan
pilihan pertama.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-khafaji A, Angus DC, Knaus WA, 2007. The acute physiology and chronic
health evaluation II article of Knaus et al with expert commentary by dr.
Derek Angus. Journal of Critical Care doi:10.1016/j.jere.2006.11.001.
2. Arifin, Guntur A, 2005. Prevalensi sepsis di rumah sakit dr. Moewardi
Surakarta tahun 2004. Dalam Guntur A, Pramana TY, Prasetyo DH, (ed).
Kumpulan Makalah Lengkap Konas PETRI XI, PERPARI VII, PKWI VIII
dan PIT PAPDI Cab. Surakarta. Surakarta, hlm 105-110.
3. Annane D, Sebille C, Charpentier PE, Bollaert B, Francois J, Korach G,
Capellier Y, Cohen E, Azoulay G, Troche P, Chauet-Riffaut, Bellissant E,
2002. Effect of treatment with low doses of hydrocortisone and
fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA 288: 862871.
4. Annane D, Bellissant E, Bollaert PE, Briegel J, Keh D, Kupfer Y, 2004.
Corticosteroids for severe sespsis and septic shock : a systematic review and
meta-analysis. BMJ doi:10.1136/bmj.38181.482222.55.
5. Baratawidjaja KG, 2006. Sistem imun. Dalam Imunologi Dasar, ed 7.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hlm 6-33.
6. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa SP, Dhainaut JF, Rodriguez AL,
Steingrub JS, Garber GE, Helterbrand JD, Ely EW, Fisher CJ, 2001. Efficacy
and safety of recombinat human activated protein C for severe sepsis. N Engl
J Med 344: 699-709.
7. Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA, 1997. Sepsis: A new hypothesis for
pathogenesis of the disease process. Chest 112: 235-243.
8. Bochud PY, Calandra, 2003. Pathogensesis of sepsis: new concepts and
implications for future treatment. BMJ 326: 262-266.
9. Cavaillon JM, Fithing C, Adib MC, 2004. Mechanisms of
immunodysregulation in sepsis. In Ronco C, Bellomo R, Brendolan A (eds).
Sepsis, Kidney and Multiple Organ Dysfunction : Contrib Nephrol, vol 144.
Basel : Karger, pp 76-93.
10. Chrousos GP, 1995. The hipothalamic-pituitary-adrenal axis and immunemediated inflammation. N Engl J Med 332: 1351-1362.
11. Cinel I, Dellinger RP, 2007. Advances in pathogenesis and management of
sepsis. Curr Opin Infect Dis 20: 345-352.
12. Daniel De Becker, Patrick Biston, Jacques Devriendt, Christian Madl, Diedir
Chochrad, Cesar Aldecoa, Alexander Brasseur, 2010. Comparison of
Dopamin and Norepinephrine in the Treatment of Shock. N Engl J Med 362:
779-789
13. Daniels R, 2007. The surviving sepsis campaign. Available from
http:/www.library.nhs.uk/Emergency/ViewResource.aspx?resID=269240
34
14. Dellinger RP, Levy MM, Carket JM, Bion J, Parker M, Jaeschke R, Reinhart
K, Angus DC, Brun-Buisson C, Beale R, Calandra T, Dhainaut JF, Gerlach H,
Harvey M, Marini JJ, Marshall J, Raineri M, Ramsay G, Sevransky J,
Thompsone BT, Townsend S, Vender JS, Zimmerman J, Vincent JL, 2008.
Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of
severe sepsis and septic shock: 2008. Intensive Care Med 34: 17-60.
15. Guntur A, 1999. Sepsis, imunopatogenesis dan penatalaksanaannya.
Simposium sehari FK-UNS. Surakarta, hlm:17-27.
16. Guntur A, 2001. Perbedaan respons imun yang berperan pada sepsis dan syok
septik suatu pendekatan imunopatobiologik sepsis dan syok septik pada
immunocompromise dan non immunocompromise. Disertasi Program
Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.
17. Guntur A, 2006. SIRS, SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis
dan Penatalaksanaan). Surakarta : Sebelas Maret University Press.
18. Guntur A, 2007. The Role of Cefepime, Empirical Treatment in Critical
Illness. Majalah Dexa Media Jurnal Kedokteran dan Farmasi No. 2 Volume
20. Jakarta, hlm 5 -9.
19. Guntur A, 2007. Peran Norepinephrine Pada Pasien Syok Septik dalam
Kumpulan Naskah Pertemuan ilmiah Nasional V PAPDI. Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Jakarta,
hlm: 3-11.
20. Guntur A, 2008.The Role of Norepinephrine in Septic Shock. Majalah Dexa
Media Jurnal Kedokteran dan Farmasi No 1 Volume 21. Jakarta, hlm 3-7.
21. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D, Cohen J,
Opal SM, Vincent JL, Ramsay G, 2003. 2001 SCCM/ ESICM/ ACCP/ ATS/
SIS International sepsis definitions conference. Intensive Care Med 29: 530538.
22. Meduri GU, Marik PE, Chrousos GP, Pastores SM, Arlt W, Beishuizen A,
Bokhari F, Zaloga G, Annane D, 2008. Steroid treatment in ARDS: a critical
appraisal of the ARDS network trial and the recent literature. Intensive Care
Med 34: 61-69.
23. Pinsky MR, 2004. Pathophysiology of sepsis and multiple organ failure: proversus anti-infammatory aspects. In Ronco C, Bellomo R, Brendolan A (eds).
Sepsis, Kidney and Multiple Organ Dysfunction : Contrib Nephrol, vol 144.
Basel : Karger, pp 31-43.
24. Pudjiastuti, 2008. Imunoglobulin intravena pada anak dan bayi dengan sepsis.
Dalam Guntur A, Subagyo Y, Sumandjar T, Reviono (ed). Kumpulan
Makalah National Symposium : The 2nd Indonesian Sepsis Forum. Surakarta,
hlm 100-105.
25. Robbins SL, Contran RS, 2005. Acute and chronic inflammation. In Kumar
V, Abbas AK, Fausto N (eds). Robbins and Contran Pathologic Basic of
Disease, 7th ed. Philadelphia : Elsevier Saunders, pp 47-86.
35
26. Rudiger A, Statz M, Singer M, 2008. Celluler processes in sepsis. Swiss Med
Wkly 138: 629-634.
27. Russell JA, 2006. Management of sepsis. N Engl J Med 355:1699-1713.
28. Silva E, Passos RD, Ferri MB, Figueiredo LF, 2008. Sepsis: from bench to
bedside. Clinics 63: 109-120.
29. Van Den Berghe G, Wouters P, Weekers F, Verwaest C, Bruyninckx F, Schetz
M, Vlasselaers D, Ferdinande P, Lauwers P, Bouillon R, 2001. Intensive
insulin therapy in critically ill patients. N Engl J Med 345: 1359-1367.
30. Wesche-Soldato, Swan RZ, Chun-Shiang C, Ayala A, 2007. The apoptotic
pathway as a therapeutic target in sepsis. Curr Drug Targets 8: 493-500.
36
31. Wong DT, Knaus WA, 1991. Predicting outcome in critical care: the current
status of the APACHE prognostic scoring system. Canadian Journal Of
Anaesthesia 38: 374-383.
32. Trzeciak S, Rivers EP. Clinical manifestations of disordered microcirculatory
perfusion in
33. severe sepsis. Critical Care 2005, 9(suppl 4):S20-S26.
34. 2 De Backer D, Creteur J, Preiser JC, Dubois MJ, Vincent JL. Microvascular
Blood Flow Is
35. Altered in Patients with Sepsis. Am J Respir Crit Care Med 2002, 166 : 98104.
36. 3 Spronk PE, Zandstra DF, Ince C: Bench-to-bedside review: Sepsis is a
disease of the
37. microcirculation. Critical Care Journal 2004, 8:462-468.
38. 4 Ince C. The microcirculation is the motor of sepsis. Critical Care Journal
2005, 9(suppl
39. 4):S13-S19.
40. 5 Evans TW, Smithies M. ABC of intensive care: Organ dysfunction. British
Medical
41. Journal 1999; 318; 1606-1609.
42. 6 Bateman RM, Walley KR. Microvascular resuscitation as a therapeutic goal
in severe
43. sepsis. Critical Care Journal 2005, 9(suppl 4):S27-S32.
44. 7 Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, Peterson
E,
45. Tomlanovich M: Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis
and septic
46. shock. New England Journal Medical 2001, 345:1368-1377.
37
meningkatkan
tekanan
darah
melalui
efek
vasoconstrictive, dengan efek kecil pada indeks jantung. Oleh karena itu,
norepinephrine membawa risiko untuk mengurangi aliran darah ke jaringan,
dan tambahan dobutamin biasanya diperlukan untuk meningkatkan dan
menyeimbangkan fungsi jantung.
3. Norepinephrine tidak memiliki efek merusak pada tekanan perfusi serebral.
Vasopresor akan meningkatkan MAP. Sehingga tekanan perfusi
cerebral juga lebih tinggi.
4. Norepinephrine tidak memiliki efek pada sumbu hipotalamus-hipofisis.
38
benar
bahwa
kadang-kadang
norepinephrine
dapat
Dasar Pemikiran :
Vasopresor
mempertahankan
diperlukan
perfusi
untuk
jaringan
mempertahankan
dalam
hidup
menghadapi
dan
hipotensi
jaringan.
Dengan
demikian,
beberapa
pasien
mungkin
40
percobaan
acak
sampel
besar
dan
meta-analisis
Resusitasi terhadap Mean Arterial Pressure (MAP) saja tidak cukup untuk
menyelamatkan sirkulasi mikro. Penelitian LeDoux dkk mengamati parameter
hemodinamikuntuk oksigenasi jaringan pada pasien-pasien yang diterapi dengan
norepinephrin untuk syok septik. Hasilnya adalah ada peningkatan kerja dari
ventrikel kiri dan peningkatan tahanan vaskular sistemik. Hal ini berarti
norepinephrin memperlihatkan keuntungannya. Tetapi jika dilihat dari perubahan
fungsi organ dan oksigenasi jaringan hasilnya benar-benar berbeda. Keluaran urin
menurun, kapiler darah menurun, tekanan parsial CO 2 intramukosa menurun,
perbedaan gradien tekanan antara oksigen arterial dan CO2 terinspirasi menurun. Hal
ini menunjukkan oksigenasi jaringan tetap terganggu.6 Beberapa pilihan terapi untuk
menyelamatkan sirkulasi mikro pada pasien sepsis. Resusitasi Volume Pemberian
volume dapat mengembalikan fungsi pertahanan sirkulasi mikro dan meningkatkan
transpor oksigen sirkulasi mikro. Namun demikian, hemodilusi yang terjadi oleh
karena efek hemodinamik dapat menyebabkan redistribusi transpor oksigen menjauh
dari unit sirkulasi mikro yang lemah dalam organ begitu juga antar organ, dan pada
kompartemen sublingual. Darah merupakan pembawa oksigen yang lebih baik
daripada cairan kristaloid atau koloid, transfusi darah dapat membantu meningkatkan
pengiriman oksigen ke sirkulasi mikro lebih baik daripada cairan. Hemoglobin
merupakan pembawa oksigen yang sangat efektif ke dalam sirkulasi mikro, namun
demikian masih perlu dikembangkan untuk penerapan klinis secara rutin. 4 Kombinasi
untuk perbaikan hemodinamik Vasopressor saja tidak cukup untuk resusitasi, harus
dibarengi dengan resusitasi volume yang adekuat. Saat ini telah terbukti bahwa
penggunaan kombinasi dari resusitasi volume yang adekuat, penggunaan vasopressor
untuk menjaga MAP yang tepat, dan penggunaan transfusi darah, inotropik atau
vasodilator, efektif dalam menjamin pengiriman oksigen keseluruhan. Strategi
kombinasi hemodinamik ini meningkatkan aliran sirkulasi mikro dan fungsi organ,
selanjutnya meningkatkan keberhasilan terapi. 6 Rivers dkk mengembangkan
protokol untuk terapi ini dalam penelitian early goal-directed therapy . Penelitian
42
aliran darah pada sirkulasi mikro. Pada penelitian model sepsis, pemberian NO
dikombinasi dengan cairan memperbaiki oksigenasi sirkulasi mikro usus dan
memperbaiki tekanan parsial CO2 11lambung (pCO2) dimana pemberian cairan saja
tidak dapat. 3,4 Pada penelitian klinis pasien dengan syok sepsis, dimana sirkulasi
mikro sublingual diamati dengan pencitraan OPS, resusitasi berdasarkan tekanan
dapat menghasilkan aliran pada pembuluh darah yang lebih besar tetapi tidak pada
kapiler, dimana aliran cenderung tetap tersumbat. Kondisi ini secara langsung
memperlihatkan kerja jalur shunting dan menunjukkan bahwa sirkulasi mikro
sebagai tempat terjadinya defek distribusi pada sepsis. Terapi vasodilator dengan cara
pemberian Nitrogliserin dengan dalam jumlah cukup, dapat mengembalikan aliran
kapiler yang terhambat serta mengembalikan sirkulasi mikro sub lingual. 4 De Backer
dkk melaporkan kelainan pada sirkulasi mikro yang serupa pada pasien sepsis.
Mereka lebih lanjut memperlihatkan bahwa respon vasodilator endotel utuh pada
pasien sepsis dengan memperlihatkan bahwa pemberian asetilkolin topikal sangat
efektif dalam mengembalikan pembuluh kapiler yang telah rusak. Penelitian
pencitraan OPS sublingual, menemukan bahwa walaupun resusitasi-yang didasarkan
pada tekanan, efektif dalam menormalkan tekanan darah sistemik, namun tidak
mampu mengkoreksi perfusi sirkulasi mikro.2 Dari pandangan sirkulasi mikro, terapi
vasopresor harus diterapkan dengan penuh hati-hati dan di bawah pengawasan ketat
terhadap sirkulasi mikro. Penelitian oleh Dubois dkk melaporkan bahwa tekanan
darah sistemik dapat dikembalikan oleh vasopresin pada pasien dengan syok
distribusi. Disini, pada pencitraan OPS sirkulasi mikro sublingual menunjukkan tidak
adanya efek membahayakan pada perfusi sirkulasi mikro. Namun demikian, pada
penelitian kasus lainnya pada pasien syok septik, vasopresin walaupun efektif
meningkatkan tekanan darah dan produksi urin, menyebabkan berhentinya aliran
sirkulasi mikro secara total, konstriksi pada sirkulasi regional, dan kematian.
Penelitian pada binatang juga telah membuktikan beberapa hasil yang bertolak
belakang: beberapa penelitian menunjukkan bahwa vasopresin memiliki efek yang
menguntungkan pada sirkulasi mikro ginjal, sementara yang lainnya menunjukkan
bahwa vasopresin menyebabkan terhentinya aliran sirkulasi mikro.4
Pengobatan Aksi Ganda
Resusitasi yang dikombinasi dengan vasoaktif dan inotropik sungguh sangat efektif
dalam menyelamatkan sirkulasi mikro, walaupun efeknya pada sirkulasi mikro tidak
dapat disimpulkan dalam pengukuran variabel sistemik secara sendiri. Namun
demikian pada pasien yang sirkulasi mikronya tidak berespon terhadap jenis
resusitasi tersebut, memiliki prognosis yang buruk. Penyelamatan sirkulasi mikro
dapat dicapai melalui beberapa jalur dan kombinasi terapi dapat diterima dan
menguntungkan. Dengan cara ini, agen donor NO dapat membuka kembali sirkulasi
mikro dan selanjutnya memperbaiki perfusi unit sirkulasi mikro, 12 sementara agen
anti inflamasi atau inhibitor spesifik iNOS dapat mengurangi shunting patologis dan
mengarahkan kembali aliran darah ke unit sirkulasi mikro. 4 Hal ini mungkin terlihat
berlawanan dari segi mekanis, tetapi kedua terapi tersebut efektif dalam tindakan
penyelamatan unit sirkulasi mikro, dan secara teoritis dapat dikombinasikan, namun
demikian tingkat efektivitasnya dalam tindakan penyelamatan unit sirkulasi mikro
masih perlu dibuktikan pada sistem organ yang berbeda-beda. Perlu dipertimbangkan
bahwa pada sepsis yang diresusitasi tebentuk serangan multifaktorial yang berakibat
pada distres pada sirkulasi mikro, obat-obatan yang bekerja pada beberapa tempat
44
(dobutamine),
vasopressors
lain
(vasopresin,
angiotensin),
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke
dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan
jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga
timbullah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas
dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat
meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.
Syok karena infeksi yang timbul segera setelah trauma jarang terjadi. Namun,
kalau kedatangan penderita di fasilitas gawat darurat tertunda beberapa jam, masalah
ini mungkin terjadi. Syok sepsis dapat terjadi pada penderita dengan cedera tembus
pada abdomen serta kontaminasi rongga peritoneal dengan isi usus.
Penderita sepsis yang hipotensif dan afebril secara klinis sukar dibedakan dari
yang terkena syok ipovolemik, karena kedua kelompok ini dapat menunjukkan
takikardia, vasokonstriksi kulit, penurunan produksi urine, penurunan tekanan
sistolik dan tekanan nadi yang mengecil.
Penderita syok sepsis yang dini mungkin mempunyai peredaran volume
normal, takikardia sedang, kulit berwarna merah jambu dan teraba hangat, tekanan
sistolik mendekati normal dan tekanan nadi yang lebar.
46
47
yang teraktivasi dan di lain pihak sebagai sitokin antiinflamasi karena IL-6 ini juga
dihasilkan dari sel TH2 yang teraktivasi.
Penyebab sepsis dan syok sepsis yang paling banyak berasal dari stimulasi
toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Endotoksin dapat
secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibody dalam serum darah
penderita membentuk LBP. LBP yang berada dalam darah penderita akan bereaksi
dengan makrofag melalui TLRs4 (Toll Like Receptors 4) sebagai reseptor trans
membrane
dengan
melalui
perantaraan
reseptor
CD
14+
dan
makrofag
mengekspresikan imuno modulator. Hal ini hanya dapat terjadi pada bakteri gram (-)
yang mempunyai LPS pada dindingnya. Padahal sepsis dapat terjadi rangsangan
endotoksin, eksotoksin, virus dan parasit, maka mekanisme tersebut diatas masih
kurang lengkap dan tidak dapat menerangkan pathogenesis sepsis dalam arti
keseluruhan, oleh karena konsep tersebut tidak melibatkan peran limfosit T dalam
keadaan sepsis dan kejadian syok sepsis.
Di Indonesia dan Negara berkembang sepsis tidak hanya disebabkan oleh
gram negative saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positif yang mengeluarkan
eksotoksin. Eksotoksin, virus dan parasit yang dapat berperan sebagai superantigen
setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen
Processing Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari Major Histocompatibilty Complex (MHC). Antigen yang bermuatan
peptide MHC kelas II akan berikatan dengan CD 4 (limfosit Th1 dan Th2) dengan
perantaraan TCR (T Cell Receptor)
Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu : IFN-,
IL-2 dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Limfosit
Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN-, IL-1 dan TNF-
merupakan sitokin proinflamatori
A. DEFINISI
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah suatu respon klinis
terhadap proses infeksi atau non-infeksi yang ditandai dengan minimal 2 keadaan
48
berikut (salah satunya harus temperatur atau jumlah lekosit yang abnormal) : suhu
38,5 C atau <36 C, takikardi atau bradikardi, takipneu, dan lekositosis, lekopenis
atau hitung jenis bergeser ke kiri (netrofil imatur > 10).
Syok sepsis adalah suatu sepsis disertai keadaan syok yang refrakter terhadap
resusiatsi cairan atau disfungsi kardiovaskuler.
Sepsis berat adalah keadaan sepsis disertai disfungsi organ akut (minimal 1 organ :
kardiovaskuler atau sindrom distress pernapasan akut) atau minimal 2 disfungsi
organ lainnya.
B. ETILOGI
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik
dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau
hanya disebabkan
produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari
infeksi lokal.
C. PATOFISIOLOGI
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena
perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan
kapasitas
vaskuler
karena
vasodilatasi
perifer
meyebabkan
terjadinya
49
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai
terjadinya sepsis (tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan
tersangka sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau
lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP
(+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Kedaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda
syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi
urin, dan penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam,
tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien
sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai
gejala takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi
yang melebar.
E. LANGKAH DIAGNOSIS
1. anamnesis
keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak
mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah
urin. keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
2. pemeriksaan fisik
pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan edema di kedua kelopak
mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/ labia. kadang-kadang
hipertensi ditemukan.
3. pemeriksaan penunjang
pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (+3 sampai +4), yang
dapat
disertai
hematuria.
pada
pemeriksaan
darah
didapatkan
Derajat sepsis
1. SIRS, ditandai dengan > 2 gejala sebagai berikut :
a. Hipertermia/ hipotermia (>38.30 C/ < 35.6 C)
b. Takipnea (respirasi rate > 20 kali/ menit)
c. Takikardia (pulse > 100 kali/ menit)
d. Lekositosis > 12.000/ mm atau lekopenia <4.000/ mm
e. 10% > cell immature
2. Sepsis. Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis berat. Sepsis yang disertai MODS/ MOF (Multi Organ Failure),
hipotensi, oliguri bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi. Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik < 90
mmHg atau dengan penurunan tekanan sistolik > 40 mmHg)
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon
tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme.
Ditandai dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ
berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah. Sepsis adalah suatu sindroma klinik
ditandai dengan hipertermia/ hipotermia (>38.3 C/ < 35.6 C), takipnea (respirasi > 20
kali/ menit), takikardia ( pulse > 100 kali/ menit), leukositosis > 12.000 / mm2,
lekopenia < 4.000 / mm2, > 10% cell immature, suspected infection.
Biomarker sepsis adalah procalcitonin (PCT), C Reaktive Protein (CRP).
BAB VI
KESIMPULAN
51
A. Keracunan Darah
B. (Sepsis)
e.
f.
Definisi Sepsis
Sepsis adalah kondisi medis yang berpotensi berbahaya atau mengancam nyawa,
yang ditemukan dalam hubungan dengan infeksi yang diketahui atau dicurigai
(biasanya namun tidak terbatas pada bakteri-bakteri) yang tanda-tanda dan gejalagejalanya memenuhi paling sedikit dua dari kriteria-kriteria berikut dari sindrom
respon peradangan sistemik atau systemic inflammatory response syndrome
(SIRS):
denyut jantung yang meningkat (tachycardia) >90 detak per menit waktu
istirahat
temperatur tubuh tinggi (>100.4F atau 38C) atau rendah (<96.8F atauor 36C)
kecepatan pernapasan yang meningkat dari >20 napas per menit atau PaCO2
(tekanan parsial dari karbondioksida dalam arteri darah) <32 mm Hg
jumlah sel darah putih yang abnormal (>12000 sel/L atau <4000 sel/L atau
>10% bands [tipe yang belum matang dari sel darah putih])
52
g.
h.
54
i.
Penyebab Sepsis
Mayoritas dari kasus-kasus sepsis disebabkan oleh infeksi-infeksi bakteri, beberapa
disebabkan oleh infeksi-infeksi jamur, dan sangat jarang disebabkan oleh penyebabpenyebab lain dari infeksi atau agen-agen yang mungkin menyebabkan SIRS. Agenagen infeksius, biasanya bakteri-bakteri, mulai menginfeksi hampir segala lokasi
organ atau alat-alat yang ditanam (contohnya, kulit, paru, saluran pencernaan, tempat
operasi, kateter intravena, dll.). Agen-agen yang menginfeksi atau racun-racun
mereka (atau kedua-duanya) kemudian menyebar secara langsung atau tidak
langsung kedalam aliran darah. Ini mengizinkan mereka untuk menyebar ke hampir
segala sistim organ lain. Kriteria SIRS berakibat ketika tubuh mencoba untuk
melawan kerusakan yang dilakukan oleh agen-agen yang dilahirkan darah ini.
Penyebab-penyebab bakteri yang umum dari sepsis adalah gram-negative bacilli
(contohnya, E. coli, P. aeruginosa, E. corrodens), S. aureus, jenis-jenis
Streptococcus dan jenis-jenis Enterococcus; bagaimanapun, ada sejumlah besar
jenis bakteri yang telah diketahui menyebabkan sepsis. Jenis-jenis Candida adalah
beberapa dari jamur yang paling sering menyebabkan sepsis. Pada umumnya,
seseorang dengan sepsis dapat menular, sehingga tindakan-tindakan pencegahan
seperti mencuci tangan, sarung-sarung tangan steril, masker-masker, dan penutup
baju harus dipertimbangkan tergantung pada sumber infeksi pasien.
G. Keracunan Darah
H. (Sepsis)
j.
Mendiagnosa Sepsis
Secara klinis, pasien perlu memenuhi paling sedikit dua dari kriteria SIRS yang
didaftar diatas dan mempunyai infeksi yang dicurigai atau terbukti. Diagnosis yang
definitif tergantng pada pembiakn darah yang positif untuk agen infeksius dan paling
sedikit dua dari kriteria SIRS. Bagaimanapun, dua subset dari empat kriteria
tergantung pada analisa laboratorium; pemeriksaan-pemeriksaan sel darah putih dan
PaCO2. Kriteriakriteria subset ini, seperti pembiakan-pembiakan darah, dilakukan di
laboratorium-laboratorium klinik.
Ada diagnosa-diagnosa lain yang mengindikasikan keparahan dari sepsis pasien.
Sepsis yang parah didiagnosa ketika pasien septic mempunyai disfungsi organ
(contohnya, aliran urin yang rendah atau tidak ada, keadaan mental yang berubah).
Sepsis yang parah dapat juga termasuk hipotensi yang diinduksi oleh sepsis (juga
diistilahkan septic shock) ketika tekanan darah pasien jatuh (biasanya <90 mmHg
pada kaum dewasa) dan berakibat pada aliran darah yang rendah atau tidak ada ke
berbagai organ-organ.
55
k.
l.
Prognosis Sepsis
Prognosis dari pasien-pasien dengan sepsis dihubungkan ke keparahan atau stadium
dari sepsis serta ke keadaan kesehatan yang mendasarinya dari pasien. Contohnya,
pasien-pasien dengan sepsis dan tidak ada tanda-tanda yang terus menerus dari gagal
organ pada saat diagnosis mempunyai kira-kira 15%-30% kesempatan kematian.
Pasien-pasien dengan sepsis yang parah atau septic shock mempunyai angka
kematian dari kira-kira 40%-60%. Bayi-bayi yang baru lahir dan pasien-pasien anakanak dengan sepsis mempunyai kira-kira 9%-36% angka kematian. Penyelidikpenyelidik telah mengembangkan scoring system (MEDS score) berdasarkan pada
gejala-gejala pasien untuk menaksir prognosis.
Ada sejumlah besar komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi dengan sepsis.
Komplikasi-komplikasi berhubungan dengan tipe dari infeksi awal (contonya, pada
infeksi paru dengan sepsis, komplikasi yang potensial mungkin adalah keperluan
untuk dukungan pernapasan) dan keparahan dari sepsis (contohnya, septic shock
56
yang berhubungan dengan infeksi anggota tubuh yang dapat memerlukan amputasi
anggota tubuh). Sebagai konsekwensi, setiap pasien kemungkinan mempunyai
potensi untuk komplikasi yang berhubungan dengan sumber sepsis; pada umumnya,
komplikasi-komplikasi disebabkan oleh disfungsi, kerusakan, atau kehilangan organ.
Dokter-dokter setuju bahwa lebih cepat pasien dengan sepsis didiagnosa dan dirawat,
lebih baik pronosisnya dan lebih sedikit komplikasi-komplikasinya, jika ada untuk
pasien.
m.
57
58
59
60
61
62
Timing dan appropriate merupakan kunci dalam menangani pasien sepsis dan syok sepsis. Detik-detik
begitu berharga, terlambat sedikit, bisa-bisa pasien pulang lewat pintu belakang alias menemui ajal.
Berbicara mengenai sepsis rasanya tidak beranjak dari bicara tentang ancaman maut yang kerap
mengintai pasien. Hal ini dikarenakan masih sangat tingginya angka kematian akibat kondisi ini. Meski
telah ada kemajuan dalam teknologi kedokteran dan telah ditemukan metoda baru dalam
penanganannya, namun sampai saat ini para dokter masih kewalahan menaklukkan sepsis. Di
Indonesia saja, angka kematian diperkirakan mencapai 30-50%. Ini memperlihatkan masih banyaknya
penanganan yang inapproriate.
Menurut Prof. DR. Dr. H. Achmad Guntur Hermawan, SpPD-KPTI,penanganan sepsis secara teoritis
sebenarnya tidaklah sulit. Pada prinsipnya penanganan sepsis dilakukan dengan menyeimbangkan
dua hal, yakni antara TH1 dengan TH2 dan proinflamatori dengan antiinflamatori. Namun pada
praktiknya, penanganan sepsis tidaklah semudah dalam teori. Pasalnya, sepsis merupakan suatu
kondisi yang sangat komplek dan melibatkan begitu banyak faktor biomolekular, ujarnya pada PIN
PAPDI ke-4, 15 Desember 2006 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta.
Lebih lanjut Guntur mengatakan, pada dasarnya sepsis merupakan alarm reaction. Artinya,
pada saat terjadi sepsis tubuh akan menimbulkan reaksi kesiagaan. Di HPA aksis, semua endokrin
termasuk epinefrin, norepinefrin, mineralokortikotropin, dan kortisol akan keluar dari persembunyian,
sehingga jumlahnya meningkat dari keadaan normal. Biasanya peningkatan kortisol jauh lebih tinggi
daripada endokrin lainnya. Memburuk atau tidaknya sepsis, tergantung pada keseimbangan tadi. Bila
TH2 yang kuat atau inflamasi yang kuat, maka terjadilah syok sepsis. Lalu bagaimana mengatasinya?
Mudah saja, kembalikan kondisi pada keseimbangan lagi.
Pada permulaan syok sepsis, di adrenal biasanya terjadi penekanan oleh sitokin, obat anestesi,
infeksi, agen antiinfeksi, dan pendarahan, sehingga terjadi syok. Meskipun kortisol di area ini
meningkat, namun efek sitokin proinflamatori jauh lebih kuat. Untuk menekan efek tersebut, kadang
diperlukan asupan dari luar dengan pemberian kortisol di awal sepsis. Namun hal ini masih
dipertentangkan. Ada yang berpendapat memberikan kortisol setelah terjadi syok.
Menurut kepustakaan, pasien syok sepsis dengan kadar kortisol kurang dari 10 berisiko tinggi
kematian. Pada penelitian saya di Solo, sekitar 6 dari 9 pasien yang kadar kortisolnya kurang dari 9,
semuanya meninggal. Berlatar hal tersebut, sah-sah saja memberikan kortisol di awal sepsis. Namun
memberikan setelah syok juga tidak masalah, yang penting harus dikaji rasionalitasnya.
Guntur menambahkan, sebenarnya pada keadaan syok sepsis yang dibutuhkan adalah pemberian
vasoaktif, terutama bila resusitasi dengan cairan gagal untuk mengembalikan tekanan darah dan
perfusi jaringan yang memadai. Kenapa demikian? Pasalnya pada kondisi syok sepsis, di
mikrosirkulasi biasanya terjadi vaskular leakage syndrom (kebocoran), tonus pembuluh darah kapiler
menurun karena berkurangnya norepinefrin dan epinefrin, permiabilitas kapiler meningkat, dan terjadi
perdarahan (DIC). Adapun maksud pemberian vasoaktif adalah untuk memperbaiki tonus pembuluh
darah mikro tersebut.
Ada silang pendapat vasoaktif mana yang terbaik untuk syok sepsis. Namun yang terpenting, sasaran
utamanya adalah memulihkan mean arterial pressure (MAP), yakni harus lebih dari 65-75 mmHg.
63
Selain itu juga diharapkan terjadi peningkatan kontraktilitas miokard, sehingga hantaran oksigen
membaik ke jaringan. Obat yang diberikan diantaranya adalah dopamine, epinefrin, noepinefrin,
dobutamin, dan fenilefrin.
Tabel 1. Aktivitas Reseptor Rerbagai Obat
Guntur mengatakan, dari tabel terlihat bahwa vasokontriktor yang cukup kuat untuk meningkatkan SVR
adalah epinefrin dan norepinefrin. Keduanya juga meningkatkan tekanan darah tanpa sedikit pun
menaikkan denyut nadi. Yang terpenting norepinefrin dan epinefrin bisa meningkatakan MAP menjadi
65-75 mmHg, bahkan hingga mencapai 85 mmHg sekalipun. Khusus untuk norepinefrin, selain
potensial terhadap reseptor alpha-1 agonis, ternyata vasopresor ini juga memiliki efek terhadap
reseptor beta agonis. Melihat keunggulan itu, tak ayal forum sepsis internasional pun lebih memilih
vasopresor norepinefrin dibandingkan dengan dopamine (critical care, 2003).
64
65
sekunder
oleh
dobutamine,
epinefrin,
atau
menggunakan
norepinefrin.
66
Hasil: Unit perawatan intensif tingkat kematian untuk shock adalah 38,3% dan 47,4% untuk syok
septik. Dari pasien shock, 375 (35,4%) menerima dopamin (kelompok dopamin) dan 683 (64,6%) tidak
pernah menerima dopamin. Usia, jenis kelamin, Sederhana akut Fisiologi Skor II, dan Sequential skor
Penilaian Kegagalan Organ adalah sebanding antara kedua kelompok. Kelompok dopamin telah unit
perawatan intensif yang lebih tinggi (42,9% vs 35,7%, p =. 02) dan rumah sakit (49,9% vs 41,7%, p =.
01) tingkat kematian. Kurva survival Kaplan-Meier menunjukkan berkurang 30 hari-hidup dalam
kelompok dopamin (peringkat log = 4.6, p =. 032). Dalam analisis multivariat dengan hasil unit
perawatan intensif sebagai faktor tergantung, usia, kanker, penerimaan medis, lebih tinggi berarti
berurut skor Penilaian Kegagalan Organ, lebih tinggi berarti keseimbangan cairan, dan administrasi
dopamin merupakan faktor resiko independen untuk kematian unit perawatan intensif pada pasien
dengan
syok
Kesimpulan
Studi observasional menunjukkan bahwa administrasi dopamin dapat dikaitkan dengan tingkat
kematian meningkat shock. Ada kebutuhan untuk penelitian prospektif yang membandingkan dopamin
dengan
katekolamin
lain
dalam
pengelolaan
syok
sirkulasi.
Komentar
Norepinefrin adalah vasopressors pertama kali diperkenalkan ke dalam praktek klinis [2]. Pada awal
penggunaan, norepineprhine sering digunakan untuk mengobati shock tanpa resusitasi volume
memadai. Tidak mengherankan, banyak pasien dengan tanda-tanda shock terwujud dari perfusi
jaringan diperparah setelah pengobatan dengan norepinefrin tanpa adanya pembebanan volume
intravaskuler cukup. Jadi, ketika dopamin diperkenalkan sebagai vasopressor kurang kuat dengan
kegiatan inotropic lebih besar, itu diterima secara luas dan menjadi vasopressor pilihan. Sekarang,
dalam menghadapi strategi resusitasi lebih rasional, manfaat relatif dari dopamin, norepinefrin, dan
vasopressors
lain
pantas
dipertimbangkan
kembali.
Dalam studi saat ini, Sakr dan rekan [1] memeriksa perbedaan kematian di antara pasien ICU dengan
stratified shock menurut apakah mereka menerima dopamin atau tidak. Dalam analisis sekunder,
pasien juga berlapis berdasarkan pengobatan dengan dobutamine, epinefrin, atau norepinefrin.
Penelitian ini termasuk pasien dengan berbagai penyebab shock, 44% mengalami shock septik dan
sisanya telah bentuk shock tidak terkait dengan infeksi. Dalam analisis univariat, penulis menemukan
bahwa penggunaan dopamin dikaitkan dengan lebih ICU, rumah sakit, dan mortalitas 30 hari. Setelah
disesuaikan dengan karakteristik dasar dan tingkat keparahan penyakit, gunakan dopamin tetap
merupakan prediktor independen kematian ICU shock terlepas dari apakah itu karena sepsis atau
67
sebab lainnya. Menariknya, epinefrin juga terkait dengan kematian 30-hari lebih besar, namun
norepinefrin dan dobutamine tidak. Para penulis menyimpulkan bahwa pemberian dopamin dapat
berhubungan
(Nomor
Critical
Halaman
halaman
Care
2006,
11:
tidak
302
(DOI
dari
untuk
tujuan
101186/cc5146)
Azarov,
2
kutipan)
Milbrandt,
dan
Pinsky
dengan kematian meningkat di shock dan menyerukan uji acak calon dopamine dan katekolamin lain
untuk
pengelolaan
syok
sirkulasi.
Ini merupakan studi yang sangat baik dilakukan melibatkan kohort, baik besar dijelaskan dirawat di
berbagai
pengaturan
pharmacoepidemiology
di
sekitar
paling
25%
dari
ICU
Eropa.
Seperti
observasional,
ada
beberapa
halnya
keterbatasan
dengan
yang
studi
pantas
dipertimbangkan. Menjadi pengamatan di alam, penelitian ini tidak dapat membuktikan hubungan
sebab dan akibat dan dimaksudkan untuk menghasilkan hipotesis-hipotesis-daripada pengujian. Poin
ini dengan hati-hati dicatat oleh penulis. Informasi tentang penggunaan protein C diaktifkan,
kortikosteroid, dan tujuan-diarahkan resusitasi awal tidak dipungut, sehingga penulis tidak dapat
menjelaskan modalitas terapi dalam analisis mereka. Indikasi bias dalam jenis penelitian ini sangat
sulit untuk alamat. Sederhananya, dalam studi non-acak, subyek menerima obat tertentu untuk indikasi
tertentu. Indikasi ini sering terkait erat dengan hasil, dan asosiasi bias sehingga dapat digunakan obat
dengan hasil. Statistik metode yang digunakan untuk menjelaskan sumber bias termasuk model
multivariabel dan skor kecenderungan; kedua dapat digunakan untuk menyesuaikan kemungkinan
telah menerima obat dari bunga [3]. Sementara penulis melakukan pemodelan menggunakan
multivariabel, mereka tidak menyertakan analisis kecenderungan berbasis. Melakukan hal tersebut
akan meningkatkan kekokohan temuan mereka. Hal ini juga akan membantu jika penulis dianggap
pengelompokan efek dalam model mereka. Satu pengalaman pasien di rumah sakit umum protokol
perawatan yang disampaikan oleh dokter bersama, yang berarti bahwa observasi dalam rumah sakit
sering berkorelasi [4]. Kegagalan untuk memperhitungkan korelasi ini, atau clustering, dapat
menyebabkan
signifikansi
statistik
dibesar-besarkan
[5].
Jika kita menganggap untuk saat ini bahwa pemberian dopamin tidak memperburuk risiko untuk hasil
yang buruk, maka kita harus mengajukan pertanyaan: apa alasan untuk dampak merusak? Beberapa
faktor yang mungkin terlibat, di antaranya: tachyarrhythmias, efek mukosa usus, neuro-endokrin
sumbu penekanan [6,7], dan [imunosupresi 8].
68
F. Vasopressors
1. Ketika sebuah tantangan cairan yang tepat gagal untuk mengembalikan tekanan darah yang
memadai dan organ
perfusi, terapi dengan agen vasopressor harus dimulai. terapi Vasopressor juga mungkin
transiently diperlukan untuk mempertahankan hidup dan mempertahankan perfusi dalam menghadapi
kehidupan yang mengancam
hipotensi, bahkan ketika tantangan fluida sedang berlangsung dan hipovolemia belum
dikoreksi.
Kelas Rekomendasi: E
2. Entah norepinefrin atau dopamin (melalui kateter pusat secepat tersedia) adalah yang firstchoice
agen vasopressor untuk memperbaiki hipotensi pada renjatan septik
Kelas Rekomendasi: D
3. Dopamin dosis rendah tidak boleh digunakan untuk perlindungan ginjal sebagai bagian dari
pengobatan yang parah
sepsis.
Rekomendasi Grade: B
4. Semua pasien yang memerlukan vasopressors harus memiliki kateter arteri ditempatkan sesegera
mungkin jika
sumber daya yang tersedia.
Kelas Rekomendasi: E
5. Menggunakan vasopressin dapat dianggap pada pasien dengan syok refraktori meskipun cukup
cairan
resusitasi dan dosis tinggi vasopressors konvensional. Menunggu hasil percobaan berlangsung, maka
tidak disarankan sebagai pengganti norepinefrin atau dopamin sebagai agen lini pertama. Jika
digunakan pada orang dewasa, itu harus diberikan pada tingkat infus 0,01-0,04 unit / menit. Mungkin
penurunan stroke volume.
Kelas Rekomendasi: E
G. Inotropic Terapi
1. Pada pasien dengan cardiac output yang rendah meskipun resusitasi cairan yang memadai, dapat
digunakan dobutamine
untuk meningkatkan output jantung. Jika digunakan dengan adanya tekanan darah rendah, itu harus
dikombinasikan
dengan terapi vasopressor.
Kelas Rekomendasi: E
2. Sebuah strategi untuk meningkatkan indeks jantung untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi yang
telah ditetapkan tidak sewenang-wenang
direkomendasikan.
Pdf : a 16
69
70
Pdf : a 16
Pdf : a 17
Indikasi : gagal jantung, keadaan jantung gagal untuk memompa darah dalam
volume yang dibutuhkan tubuh. Keadaan tersebut terjadi karena jantung bekerja
71
terlalu berat (kebocoran katup jantung, kekakuan katub, atau kelainan sejak lahir
di mana sekat jantung tidak terbentuk dengan sempurna ) atau karena suatu hal
otot jantung menjadi lemah.
Ada 2 jenis obat inotropik positif, yaitu :
Glikosida jantung adalah alkaloid yang berasal dari tanaman Digitalis purpurea
yang kemudian diketahui berisi digoksin dan digitoksin.
L. Poin
Sejumlah poin tambahan patut disebutkan. Pertama, dopamin telah
ditunjukkan pada tikus untuk meningkatkan pembersihan yang edema paru
oleh upregulating natrium-kalium triphosphatase fungsi adenosin dalam sel
epitel alveolar [10]. Jika ini juga terjadi pada manusia, maka bisa merupakan
manfaat tambahan yang penting dopamin di pasien sakit kritis, banyak di
antaranya akan menerima ventilasi mekanik. Kedua, dopamin juga telah
terbukti meningkatkan fungsi diafragma, mungkin dengan meningkatkan
pasokan oksigen ke daerah itu [11], yang fungsi lain yang mungkin penting
dalam kritis populasi. Ketiga. dopamin telah ditunjukkan untuk meningkatkan
sintesis protein dalam hati post ischaemic [12]. Akhirnya, norepinefrin
72
73