Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sepsis merupakan kondisi klinisi disfungsi organ yang berpotensi mengancam nyawa
disebabkan oleh respons pejamu terhadap infeksi. Sepsis dan syok septic adalah
masalahkesehatan uatama yang mempengaruhi jutaan tiap tahun. Meskipun telah muncul
berbagai antibiotika, tetapi kematian sepsis masih berkisar antara 21-72%. Konferensi
internasional yang dilaukan oleh society of critical care memutuskan untuk mengubah
definisi sepsis menjadi disfungsi organ yang mengancam kehidupan yang disebabkan oleh
disregulasi imun terhadap infeksi.
Mortalitas sepsis pada anak dan dewasa berbeda. Di negara maju seperti Amerika
Serikat, mortalitas sepsis anak lebih rendah disbanding dengan dewasa. Beberapa hal yang
mempengaruhinya adalah adanya kondisi komorbid pada pasien, seperti prematuritas,
kelainan jantung kongenital, keganasan, transplatasi organ dan lainnya. Fokus infeksi pada
anak berbeda pada berbagai tiap kelompok umur. Pada bayi yang mengalami sepsis,
cenderung untuk mengalami bakteremia primer sementar pada anak yang lebih besar,
sepsis yang terjadi lebih sering disebabkan oleh infeksi respiratori dan pasien mengalami
bakteremia sekunder.
Di Indonesia , angka mortalitas sepsis pada anak bervariasi dari berbagai daerah yaitu
pada rentang 23,9 hingga 65% mortalitas dari tahun 2011-2020. Di daerah Yogyakarta pada
tahun 2020, sepsis pada anak sekitar 65%, di manado pada tahun 2020 dilaporkan angka
mortalitas sepsis pada anak sekitar 36,5%, sedangkan di Kalimantan Tengah , angka
mortalitasnya mencapai jj. Insiden sepsis lebih tinggi pada kelompok neonates dan bayi <1
tahun dibandingkan dengan usia >1-8 tahun (9,7 versus 0,23 kasus per 1000 anak). Pasien
sepsis berat, Sebagian besar berasal dari infeksi saluran nafas (36-42%), bakteremia, dan
infeksi saluran kemih. Sepsis berat lebih sering dialami anak dengan komorbiditas yang
mengakibatkan penurunan siste imunitas seperti keganasan, transplatasi, penyakit respirasi
kronis dan defek jantung bawaan.
Berdasarkan penelitian Sepsis prevalensi outcomes dan therapies (SPROUT) pada
tahun 2015 mengumpulkan data PICU dari 26 negara, dimana berdasarkan hasil tersebut
didapatkan data penurunan prevalensi global sepsis berat dari 10,3% menjadi 8,9%. Usia
rata-rata pada penderita sepsis berat 2,0 tahun ((),7-11,0), infeksi terbanyak terdapat pada
system respirasi (40%) dan 67% kasus mengalami disfungsi multi organ.
Diagnosis sepsis diawali dengan apabila terdapat kecurigaan adanya infeksi dan
pemeriksaan laboratorium adanya keterlibatan berbagai fungsi organ. Adanya berbagai
kendala yang dihadapi dalam mendiagnosis dini serta menatalaksana sepsis pada anak.
Oleh karena itu, penulis tertarik membahas dan mengangkat judul yaitu sepsis pada anak.

1.2 Tujuan Penulisan


Referat ini dibuat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang Sepsis
Pada Anak dan sebagai salah satu syarat untuk data mengikuti ujian akhir di Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kesehatan Anak dan Remaja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sepsis merupakan peradangan sistemik berat dengan pathogen yang bersifat
invasive. Respons imun yang diperantarai oleh pelepasan berbagai mediator inflamasi,
dapat menyebabkan syok, kegagalan multiorgan, bahkan kematian. Pada tahun 1990an,
American College of Chest Physicians and the Society of Critical Care Medicine (SCCM)
mengeluarkan pernyataan menganai definisi sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS),
sepsis, sepsis berat, syok septic yang meneankan kesinambungan antara inflamasi akut
hingga disfungsi organ. SCCM pada tahun 2016 menerbitkan terkait definisi terbaru dari
sepsis yaitu sebagai keadaan disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat respons tidak
terkendali terhadap suatu infeksi. Dimana, disfungsi organ sendiri memiliki definisi
menggunakan skor SOFA.
Sepsis disertai dengan kegagalan fungsi organ ketia system pertahanan tubuh tidak
cukup kuat untuk melawan infeksi. Permasalahan sepsis yang sering terjadi adalah
karakteristik dari mikroorganisme tersebut, serta supraantigen dan agen toksik lain yang
resisten terhadap fagositosis dan antibodi. Produksi sitokin proinflamsi berlebihan akan
menyebabkan aktivasi respon sistemik terutama pada paru-paru , hati, ginjal dan organ
lainya. Hal yang berlebihan tersebut akan terjadi apopotosis, nekrosis jaringan, muti organ
disfungsi, syok septic, bahkan terjadi kematian.

2.2 Epidemiologi
Sepsis menjadi masalah global oleh karena tingginya insiden, mortalitas dan
biaya perawatan. Insiden sepsis diseluruh dunia diperkirakan 1,8 juta kasus pertahun, 25-
38% diantaranya membutuhkan perawatan di ICU dan mortalitas 1.400 kasus perhari.
Insiden di Eropa sekitar 90,4 kasus per 100.00 pendudu pertahun dan mortalitas 28-50%.
Menurut consensus Centers for Disease Control World Health Organisation (CDC-WHO).
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai sepsis. Insiden sepsis di
beberapa rumah sakit rujukan berkisar 15-37,2%, sedangkan mortalitas 37-80%. Data yang
terlapor di Indonesia sendiri yaitu Di RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta dilaporkan
insiden sepsis 25% dengan angka mortalitas 67,3%. Sedangkan, di Yogyakarta pada rumah
sakit Dr.Sardjito, jumlah kasus sepsis menunjukkan variasi dari tahun ke tahun, rerata
jumlah kasus 3 tahun terakhir kurang lebih 275 pertahun (25,8%) dan angka mortalitas
72,9%.
2.3 Etiologi

Sebagian besar sepsis disebabkan oleh bakteri gram negative yang


menghasilkan berbagai produk untuk menstimulasi sel imun. Bakteri gram positif seperti
Staphylococci, Pneumococci, dstraptococci, dan lainnya lebih jarang menimbulkan sepsis.
Virus , protozoa, dan jamur oportunistk jarang menyebabkan sepsis.

Terdapatnya lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein yang


merupakan komponen utama dari membran terluar bakteri gram negative yang berpengaruh
terhadap stimulasi pengeluaran mediator proinflamasi, kemudian menyebabkan terjadi
inflamssi sistemik dan jaringan. Peptodoglikan merupakan dinding sel kuman yang dilaporkan
dapat menginstumulasi pelepasan sitokin, juga berperan penting dalam proses agregasi
trombosit.

2.4 Patofisiologi

Sepsis melibatkan aktivasi awal dari respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi


tubuh terhadap infeksi. Hal ini memicu respon neurohumoral melalui aktivasi selular monosit,
makrofag , dan neutrophil yang berinteraksi dengan sel endothelium. Selanjutny, ada
mobilisasi dari isi plasma akibat aktivasi seluler dan diserupsi endothelium. Isi plasma meliputi
berbagai sitokin seperti tumot necrosis factor, interleukin, caspase, protease, leukotriene, kinin,
reactive oxygen species, nitrit oksida, dan asam arakidonat, platelet activating factor, dan
eicosanoid. (2018)

Sitokin proinflamsi seperti tumor necrosis factor-a (TNF-a), interleukin-1 B,


dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolysis. Rantai
koagulasi diaktifkan dengan cara menstimulasi pelepasan faktor jaringan dari monosit dan
endothelium yang memicu pembentukan thrombin dan bekuan fibrin. Sitokin inflamasi dan
thrombin dapat mengganggu potensi fibrinolitik endogen dengan merangsang pelepasan
inhibitor plasminogen-activator-1 (PAI-1) dari platelet dan endothelium. Plasminogen-
activator-1 merupakan penghambat kuat activator plasminogen jaringan, jalur endogenuntuk
melisiskan bekuan fibrin. Efek lain dari thrombin prokoagulan yakni merangsang jalur
inflamasi multiple dan lebih menekan system fibrinolitik endogen dengan mengaktifkan
inhibitor fibrinolysis thrombin-activable(TAFI).2019.
Mekanisme kedua terjadi melalui aktivasi protein aktif C yang berkaitan dengan
respons sistemik terhadap infeksi. Protein C yang teraktivasi (APC) merupakan modulator
penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolysis dan
menghambat proses thrombosis dan inflamasi. Kondisi tersebut memberian efek antitrombi
dengan mengaktivasi faktor Va dan VIIIa, membatasi pembentukan thrombin. Penurunan
thrombin akan berdampak terhadap proses inflamasi, prokoagulan, antifibrinolitik. Protein
aktif C memberikan efek antiinflamasi dengan menghambat produksi sitokin inflamasi (TNF-
a, interleukin-1, dan interleukin-6) oleh monosit dan membatasi monosit dan neutrophil pada
endothelium yang cedera dengan mengikat selectin. 2019

Proses ini diperkuat oleh aktivasi komplemen dan rantai koagulasi. Endotelium
vascular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan mengakibatkan
mikrovasular, thrombosis mikrovaskular , dan kebocoran kapiler. Hal ini menyebabkan
iskemia jaringan karena gangguan endothelial memainkan peran kunci dalam disfungsi organ
dan hipoksia jaringan global. 2018.

Gambar 1. Gambar rantai koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi , thrombosis, dan
fibrinolysis terhadap infeksi.

2.5 Gejala Klinik

Sepsis merupakan keadaan darurat medis dan dapat muncul dengan tanda dan gejala
yang berbeda pada waktu yang berbeda. Tanda dan gejala peringatan sepsis yakni demam dan
menggigil, perubahan status mental, nafas cepat, denyut jantung meningkat, nadi lemah atau
tekanan darah rendah, output urin renah, kulit sianotik atau berbintik-bintik, ekstremitas dingin,
dan rasa sakit atau ketidaknyamanan tubuh yang ekstrem. WHO 2020.

Gambaran klinis pada sepsis sama halnya dengan penyebab inflamsi sistemik non-
infeksi. Tanda tersebut diantaranya takikardia, leukositosis, takipnea, dan demam, yang dikenal
dengan sebutan SIRS atau Systemic Inflammatory Respons Syndrome (SIRS). Sindrom
tersebut tidak hanya pada pasien yang kritis, namun beberapa ada yang ada dalam kondisi
seperti trauma, pembedhan , dan cedera hipoksia.2019. Sumber infeksi menentukkan derajat
gejala sepsis.

Gambaran klinis sepsis sering tumpang tindih menjadi penyebab infamasi sistmik non-
infeksi. Tanda tanda ni termasuk takikardi, leukositosis, takipnea, dan demam yang secara
kolektif, dikenal sebagai systemic inflammatory respons syndrome(SIRS). Sindrom ini umum
terjadi tidak hanya pada pasien yang sakit kritis, namun juga pada kondisi seperti trauma,
pembedahan, dan cedera hipoksia. Sumber infeksi menentukan derajat gejala sepsis. Gejala
sepsis akan menjadi lebih berat pada pasien lanjut usia dan pasien yang memiliki penyakit
komorbid.

2.6 Diagnosis Klinis

Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya :

A. Infeksi, meliputi:
(1) Faktor presdisposisi infeksi
(2) Tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung
(3) Respon Inflamasi
B. Tanda Disfungsi atau gagal organ
Alur penegakkan diagnosis sepsis tertera pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Alur Penegakkan Diagnosis Sepsis

Berdasarkan gambar 2.2. penegakkan diagnosis sepsis yaitu dimulai dengan ditemukannya
infeksi. Infeksi yang dicurigai didasarkan pada presdisposisi infeksi, tanda infeksi, dan reaksi
inflamasi. Faktorfaktor presdisposisi infeksi, meliputi : faktor genetic, usia, status nutrisi, status
imunisasi, komorbiditas (Penyakit kronis, transplatasi, keganasan, kelainan bawaan), dan
riwayat terapi (steroid, antibiotic, dan Tindakan invasive).

Tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan labolatoris. Secara klinis ditandai oleh
demam atau hipotermia, atau adanya fokus infeksi. Secara labolatoris, digunakan penanda
(biomarker) infeksi: Pemeriksaan darah tepi (Leukosit, trombosit, rasio netrofil: limfosit, shift
to the left), pemeriksaan morfologi darah tepi (granula toksik, dohle body, dan vakuola dalam
sitoplasma), C-reactive protein (CRP), dan prokalsitonin. Sepsis memerlukan adanya bukti
mikroorganisme yang menginfeksi yang dapat dilakukan melalui apus Gram, hasul kultus
(biakan), atau Polymerase Chain Reaction (PCR). Pencarian fokus infeksi lebih lanjut
dilakukan dengan pemeriksaan analisis urin, feses rutin, lumbal pungsi, dan pencarian sesuai
indikasi.

Secara klinis respon inflamasi terdiri dari :

1. Demam (suhu inti >38,5 derajat celcius atau suhu aksila >37,9 derajat celcius) atau
hipotermia (suhu inti kurang dari 36 derajat celcius
2. Takikardia: rerata denyut jantung diatas normal sesuai usia tanpa adanya stimulus
eksternal, obat kronis, atau nyeri; atau peningkatan denyut jantung yang tidak dapat
dijelaskan lebih dari 0,5 sampai 4 jam
3. Bradikardi (pada anak kurang dari 1 tahun, rearata denyut jantung dibawah normal
sesuai usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal, beta blocker atau penyakit jantung
kongenitas; atau penurunan denyut jantung yang tidak dapat dijelskan lebih dari 0,5
jam
4. Takipnea: rerata frekuensi nafas di atas normal (lampiran 1)
Secara labolatoris, respon inflamasi berdasarkan pada jumlah leukosit, CRP,
transaminase serum, dan prokalsitonin (Tabel 2.3)
Gambar 2.2 Penanda Infeksi Biologis

Kecurigaan disfungsi organ (warning signs) bila ditemukan salah satu dari 3 tanda
klinis: penurunan kesadaran (metode AVPU), gangguan kardiovaskuler (penurunan kualitas
nadi, perfusi perifer, atau tekanan arterial rerata), atau gangguan respirasi (peningkatan atau
penurunan work of breathing, sianosis).

Menurut definisi yang terbaru mengenai diagnosis sepsis, penyesuaian skor SOFA
untuk pasien anak dengan sepsis sehingga menghasilkan Pediatric sequential organ failure
assessment (pSOFA). Skor pediatric-SOFA dibuat dari skor SOFA pada pasien dewasa dengan
penyesuaian untuk system kardiovaskular dan renal sesuai usia, diadaoptasi dari skor PELOD-
2 sebagai berikut pada gambar 2.4. mengenai PELOD-2.

Anda mungkin juga menyukai