PENDAHULUAN
2.2 Epidemiologi
Sepsis menjadi masalah global oleh karena tingginya insiden, mortalitas dan
biaya perawatan. Insiden sepsis diseluruh dunia diperkirakan 1,8 juta kasus pertahun, 25-
38% diantaranya membutuhkan perawatan di ICU dan mortalitas 1.400 kasus perhari.
Insiden di Eropa sekitar 90,4 kasus per 100.00 pendudu pertahun dan mortalitas 28-50%.
Menurut consensus Centers for Disease Control World Health Organisation (CDC-WHO).
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai sepsis. Insiden sepsis di
beberapa rumah sakit rujukan berkisar 15-37,2%, sedangkan mortalitas 37-80%. Data yang
terlapor di Indonesia sendiri yaitu Di RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta dilaporkan
insiden sepsis 25% dengan angka mortalitas 67,3%. Sedangkan, di Yogyakarta pada rumah
sakit Dr.Sardjito, jumlah kasus sepsis menunjukkan variasi dari tahun ke tahun, rerata
jumlah kasus 3 tahun terakhir kurang lebih 275 pertahun (25,8%) dan angka mortalitas
72,9%.
2.3 Etiologi
2.4 Patofisiologi
Proses ini diperkuat oleh aktivasi komplemen dan rantai koagulasi. Endotelium
vascular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan mengakibatkan
mikrovasular, thrombosis mikrovaskular , dan kebocoran kapiler. Hal ini menyebabkan
iskemia jaringan karena gangguan endothelial memainkan peran kunci dalam disfungsi organ
dan hipoksia jaringan global. 2018.
Gambar 1. Gambar rantai koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi , thrombosis, dan
fibrinolysis terhadap infeksi.
Sepsis merupakan keadaan darurat medis dan dapat muncul dengan tanda dan gejala
yang berbeda pada waktu yang berbeda. Tanda dan gejala peringatan sepsis yakni demam dan
menggigil, perubahan status mental, nafas cepat, denyut jantung meningkat, nadi lemah atau
tekanan darah rendah, output urin renah, kulit sianotik atau berbintik-bintik, ekstremitas dingin,
dan rasa sakit atau ketidaknyamanan tubuh yang ekstrem. WHO 2020.
Gambaran klinis pada sepsis sama halnya dengan penyebab inflamsi sistemik non-
infeksi. Tanda tersebut diantaranya takikardia, leukositosis, takipnea, dan demam, yang dikenal
dengan sebutan SIRS atau Systemic Inflammatory Respons Syndrome (SIRS). Sindrom
tersebut tidak hanya pada pasien yang kritis, namun beberapa ada yang ada dalam kondisi
seperti trauma, pembedhan , dan cedera hipoksia.2019. Sumber infeksi menentukkan derajat
gejala sepsis.
Gambaran klinis sepsis sering tumpang tindih menjadi penyebab infamasi sistmik non-
infeksi. Tanda tanda ni termasuk takikardi, leukositosis, takipnea, dan demam yang secara
kolektif, dikenal sebagai systemic inflammatory respons syndrome(SIRS). Sindrom ini umum
terjadi tidak hanya pada pasien yang sakit kritis, namun juga pada kondisi seperti trauma,
pembedahan, dan cedera hipoksia. Sumber infeksi menentukan derajat gejala sepsis. Gejala
sepsis akan menjadi lebih berat pada pasien lanjut usia dan pasien yang memiliki penyakit
komorbid.
A. Infeksi, meliputi:
(1) Faktor presdisposisi infeksi
(2) Tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung
(3) Respon Inflamasi
B. Tanda Disfungsi atau gagal organ
Alur penegakkan diagnosis sepsis tertera pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Alur Penegakkan Diagnosis Sepsis
Berdasarkan gambar 2.2. penegakkan diagnosis sepsis yaitu dimulai dengan ditemukannya
infeksi. Infeksi yang dicurigai didasarkan pada presdisposisi infeksi, tanda infeksi, dan reaksi
inflamasi. Faktorfaktor presdisposisi infeksi, meliputi : faktor genetic, usia, status nutrisi, status
imunisasi, komorbiditas (Penyakit kronis, transplatasi, keganasan, kelainan bawaan), dan
riwayat terapi (steroid, antibiotic, dan Tindakan invasive).
Tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan labolatoris. Secara klinis ditandai oleh
demam atau hipotermia, atau adanya fokus infeksi. Secara labolatoris, digunakan penanda
(biomarker) infeksi: Pemeriksaan darah tepi (Leukosit, trombosit, rasio netrofil: limfosit, shift
to the left), pemeriksaan morfologi darah tepi (granula toksik, dohle body, dan vakuola dalam
sitoplasma), C-reactive protein (CRP), dan prokalsitonin. Sepsis memerlukan adanya bukti
mikroorganisme yang menginfeksi yang dapat dilakukan melalui apus Gram, hasul kultus
(biakan), atau Polymerase Chain Reaction (PCR). Pencarian fokus infeksi lebih lanjut
dilakukan dengan pemeriksaan analisis urin, feses rutin, lumbal pungsi, dan pencarian sesuai
indikasi.
1. Demam (suhu inti >38,5 derajat celcius atau suhu aksila >37,9 derajat celcius) atau
hipotermia (suhu inti kurang dari 36 derajat celcius
2. Takikardia: rerata denyut jantung diatas normal sesuai usia tanpa adanya stimulus
eksternal, obat kronis, atau nyeri; atau peningkatan denyut jantung yang tidak dapat
dijelaskan lebih dari 0,5 sampai 4 jam
3. Bradikardi (pada anak kurang dari 1 tahun, rearata denyut jantung dibawah normal
sesuai usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal, beta blocker atau penyakit jantung
kongenitas; atau penurunan denyut jantung yang tidak dapat dijelskan lebih dari 0,5
jam
4. Takipnea: rerata frekuensi nafas di atas normal (lampiran 1)
Secara labolatoris, respon inflamasi berdasarkan pada jumlah leukosit, CRP,
transaminase serum, dan prokalsitonin (Tabel 2.3)
Gambar 2.2 Penanda Infeksi Biologis
Kecurigaan disfungsi organ (warning signs) bila ditemukan salah satu dari 3 tanda
klinis: penurunan kesadaran (metode AVPU), gangguan kardiovaskuler (penurunan kualitas
nadi, perfusi perifer, atau tekanan arterial rerata), atau gangguan respirasi (peningkatan atau
penurunan work of breathing, sianosis).
Menurut definisi yang terbaru mengenai diagnosis sepsis, penyesuaian skor SOFA
untuk pasien anak dengan sepsis sehingga menghasilkan Pediatric sequential organ failure
assessment (pSOFA). Skor pediatric-SOFA dibuat dari skor SOFA pada pasien dewasa dengan
penyesuaian untuk system kardiovaskular dan renal sesuai usia, diadaoptasi dari skor PELOD-
2 sebagai berikut pada gambar 2.4. mengenai PELOD-2.