Anda di halaman 1dari 83

LAPORAN KASUS

SEPSIS
PADA PASIEN INTENSIVE CARE
UNIT (ICU)

Pembimbing :
dr. Raden Doddy Timboel, M. Biomed, Sp. An
Disusun oleh :
Axel Jusuf (1765050177)
Rahanra David Derivat Pattiselanno (1865050025)

KEPANITERAAN ILMU ANASTESI


PERIODE 26 AGUSTUS – 28 SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Sepsis merupakan sindrom penyakit yang disebabkan karena infeksi dan


merupakan penyakit yang mempunyai dampak terhadap morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa angka kejadian sepsis
meningkat setiap tahunnya, hal ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya usia
harapan hidup geriatri dan penderita dengan imunokompromais. Ke-dua populasi
tersebut rentan terhadap penyakit infeksi, yang pada akhirnya akan memberikan
kontribusi terhadap meningkatnya angka kejadian sepsis. Pengetahuan tentang
penyakit sepsis telah berkembang lebih dari 25 tahun dan telah banyak perbaikan
baik dari segi diagnosis maupun tatalaksananya dalam rangka usaha menurunkan
angka mortalitas.1,2,3
Antara tahun 2014 hingga tahun 2016, terdapat dua kejadian penting
dalam hal diagnosis dan tatalaksana penyakit sepsis. Pada kelompok tatalaksana
ada tiga penelitian multisenter yang penting yaitu: Protocolized Care for Early
Septic Shock (ProCESS) trial yang dilakukan di Amerika Serikat, Australasian
Resuscitation in Sepsis Evaluation (ARISE) trial di Australia, dan Protocolised
Management in Sepsis trial (ProMISe) di Inggris.Ketiganya memberikan hasil
kesimpulan yang sama yaitu: pertama, implementasi resusitasi cairan menurut
penelitian Rivers et al, yaitu early goal-directed therapy (EGDT) dan
direkomendasikan oleh the Surviving Sepsis Campaign (SSC) tidak memberikan
perbedaan bermakna dalam hal mortalitas dibandingkan dengan penggunaan
resusitasi cairan standar tanpa EGDT. Kedua, penggunaan parameter keberhasilan
terapi resusitasi cairan menggunakan parameter ScvO2 tidak memberikan nilai
tambah. Ketiga, penggunaan protocol EGDT meningkatkan biaya pengobatan
dibandingkan menggunakan protocol standar.1,4,5
Pada kelompok diagnosis direkomendasikan kriteria dan diagnosis sepsis
yang baru berdasarkan the third international consensus definitions for sepsis and
septic shock atau disebut juga sebagai Sepsis-3. Penggunaan kriteria dan diagnosis
sepsis yang terbaru, diharapkan akan meningkatkan diagnosis dan tatalaksana
2,6
yang lebih dini, dan dapat menurunkan mortalitas penderita dengan sepsis.
Selain terapi cairan, terapi suportif yang penting adalah terapi oksigen degan
penggunaan ventilator.7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sepsis

Definisi Sepsis

Sepsis merupakan sindroma penyakit yang disebabkan karena infeksi dan

mempunyai dampak terhadap morbiditas maupun mortalitas yang tinggi. Sepsis

juga merupakan sindrom penyakit akibat infeksi yang mengancam jiwa, ditandai

dengan gangguan fungsi organ akibat regulasi respons tubuh terganggu.1,4

Syok sepsis merupakan klinis sepsis dengan hipotensi menetap yang

membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan MAP > 65 mmHg, dan kadar

laktat serum > 2 mmol/L (18mg/dL) meskipun volume resusitasi memadai.8

Kriteria Sepsis

Kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui dengan menggunakan skor

Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment (SOFA). Apabila pasien

yang mengalami infeksi didapatkan skor SOFA > 2 atau 2 maka sudah tegak

diagnosis dari sepsis.1,7

Ketika mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining kemungkinan

terjadinya sepsis. Metodenya menggunakan quick SOFA (qSOFA). Skoring ini

lebih sederhana serta tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium.2,9

Skor qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria. Skor ini

dapat digunakan dengan cepat oleh klinisi untuk mengetahui adanya disfungsi

organ, untuk menginisiasi terapi yang tepat, dan sebagai bahan pertimbangan
untuk merujuk ke tempat perawatan kritis atau meningkatkan pengawasan. Jika

qSOFA positifselanjutnya akan dilakukan skoring dengan metode SOFA.2,6,9

Tabel 1. Skor SOFA

Tabel 2. Skor qSOFA

Bagan 1. Algoritma Skrining Kecurigaan Sepsis


Patofisiologi Sepsis

Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal

dari respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini,

abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi

pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan

menyebabkan ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan

kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok.

Presentasi pasien dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia,

penurunan kesadaran, anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan

patologis yang mendasari.2,10

Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal

ini akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan

antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil

yang berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi

mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi

endotelial. Isi plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor,

interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit

oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid. Sitokin

proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6

akan mengaktifkanrantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan

Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai koagulasi

dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses

trombosis dan inflamasi.Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut


memperkuat proses tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi

yang paling dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera

mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini akan

menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang

peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global.1,2,10

Gambar 1. Patofisiologi Sepsis


Tatalaksana

Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh

SCCM dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Komponen dasar dari

penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik,

dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi,

diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif (ventilasi,

dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi.Early Goal-Directed Therapy (EGDT)

yang dikembangkan oleh Rivers et al pada tahun 2001 merupakan komponen

penting dalam protokol sebelumnya. Rivers et al mengevaluasi efikasi dari EGDT

pada 263 pasien dengan infeksi dan hipotensi atau kadar serum laktat ≥ 4 mmol/L

yang dilakukan randomisasi dan diberikan resusitasi standar atau EGDT (133

kontrol dengan130 EGDT) di ruang IGD sebelum dipindahkan ke ruang ICU.

Selama 6 jam di ruang IGD, pasien dengan terapi EGDT mendapatkan terapi

cairan, transfusi darah, dan inotropik lebih banyak dibandingkan grup kontrol.

Kemudian, selama 6 – 72 jam di ruang ICU setelah mendapatkan terapi

EGDT,kelompok pasien ini memiliki tingkat ScvO 2 dan pH yang lebih tinggi

dengan kadar laktat dan defisit basa yang lebih rendah. Skor disfungsi organ lebih

baik secara signifikan pada kelompok pasien EGDT. Hal ini juga berhubungan

dengan masa inap rumah sakit yang lebih singkat dan penurunan komplikasi

kardiovaskular seperti henti jantung, hipotensi, dan gagal nafas akut.1,3,11

Pada tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan 3 protokol lain

sepertiARISE (Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation), ProMISe

(Protocolized Management in Sepsis), dan ProCESS (Protocolized Care for Early


Septic Shock) dan hal ini mengubah rangkaian 6 jam dalam Surviving Sepsis

Guideline dimana pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi oksigen vena

sentral tidak dilakukan lagi. Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016,

target resusitasi EGDT telah dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis

diberikan terapi cairan kristaloid minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam atau

kurang. Dengan dihilangkannya target EGDT yang statik (tekanan vena sentral),

protokol ini menekankan pemeriksaan ulang klinis sesering mungkin dan

pemeriksaan kecukupan cairan secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial).2,4

Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol

sebelumnya merekomendasikan bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan

vena sentral secara spesifik dan teryata tekanan vena sentral memiliki manfaat

yang terbatas untuk menentukan respon tubuh terhadap cairan. Protokol ini

menekankan bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid challenge” untuk

mengevaluasi efektivitas dan keamanan dari pemberian cairan. Ketika status

hemodinamik membaik dengan pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut

dapat dipertimbangkan. Namun pemberian carian harus dihentikan apabila respon

terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek lebih lanjut. Maka dari itu,

protokol ini telah berubah dari strategi resusitasi kuantitatif ke arah terapi

resusitasi yang fokus terhadap kondisi pasien tersebut dengan dipandu

pemeriksaan dinamis untuk mengevaluasi respon dari terapi tersebut. Pemeriksaan

lain yang dapat digunakan seperti carotid doppler peak velocity, passive leg

raising, ekokardiografi.2,8,9
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan

komponen penting dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat

dengan adanya penundaan penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan

keefektifitas penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum luas

sebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber penularan kuman. Dan

hal ini dilakukan sesegera mungkin. Protokol terbaru merekomendasikan bahwa

penggunaan antibiotik harus diberikan maksimal dalam waktu 1 jam. Antibiotika

yang dapat digunakan yaitu antibiotik dengan spektrum luasseperti golongan beta-

laktam atau golongan carbapenem dikombinasi dengan golongan floroquinolon,

macrolide, dan aminoglikosida.4,10

Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah norepinefrin

untuk mencapai target MAP≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang

direkomendasikan adalah cairankristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan diberikan

dengan melakukan fluid challengeselamadidapatkan peningkatan status

hemodinamik berdasarkan variabel dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi

volum sekuncup) atau statik (tekanan nadi, laju nadi). Pada suatu penelitian yang

dilakukan oleh Bernard et al , penggunaan drotrecogin α (Human Activated

Protein C) menurunkan tingkat kematian pada pasien dengan sepsis. Protein C

yang teraktivasiakan menghambat pembentukan thrombin dengan menginaktifasi

factor Va, VIIIa dan akan menurunkan respon inflamasi.2,8,10


Gambar 2. Penatalaksanaan Resusitasi Awal Syok Sepsis

Gambar 3. Penatalaksanaan Penggunaan Vasopressor


Pada Syok Sepsis
FASTHUGSBID

FEEDING
Tujuan terapi nutrisi adalah dengan pemberian nutrisi membantu

menurunkan respons metabolic terhadap stress, mencegah kerusakan sel akibat

stress oxidative, dan memodulasi respons imun. Hal ini dapat dicapai dengan cara

nutrisi enteral dini, pemberian makro dan mikronutrien yang sesuai dan kontrol

gula darah yangbaik.Kebutuhan energi dihitung berdasarkan berat badan (20-25

kcal/ kg/hari kalori & 1,5 g/kg protein pada fase akut, 25-30 kcal/kg/hari kalori &

1.5-2.5 g/kg protein pada fase anabolik).7,8

Saat ini panduan klinis tentang terapi nutrisi merekomendasikan

pemberian nutrisi enteral dibandingkan nutrisi parenteral bila sistem

gastrointestinal intak dan fungsional. Enteral feeding dimulai dalam 24-48jam

pertama segera setelah resusitasi dan pasien dalam hemodinamik stabil.

Pemberian nutrisi enteral di tunda bila terdapat kondisi berikut: Obstruksi usus,

perdarahan saluran cerna, infark mesenterik, atau abdominal compartment

syndrome, high output fistula. Tidak adanya bising usus atau tanda motilitas usus

(flatus atau BAB) bukan merupakan alasan untuk tidak menginisiasi nutrisi

enteral. Penghentianatau penundaan nutrisi enteral harus dilakukan bila muncul

tanda intoleransi (distensi abdomen, peningkatan residu gaster (>500ml/6jam),

gangguan pasaseususatauflatus,asidosismetabolik). Nutrisi enteral dapat diberikan

melalui oral, pipa nasograstrik atau pipa post pylorus (pipa nasoduodenal,

jejunostomi). Pipa postpylorik dipertimbangkan pada pasien dengan risiko tinggi

aspirasi, gastroparesis, dan intoleransi.Pada fase akut dari pasien sepsis,

disarankan untuk pemberian trophic feeding (10-20 ml/jam dinaikkan bertahap

hingga 500 kcal/hari atau 50- 70% total kebutuhan). Nutrisi ditingkatkan bila
gejala klinis membaik atau tidak ada gejala klinis baru. Bila terdapat tanda tanda

intoleransi seperti nyeri; distensi abdomen; atau peningkatan tekanan intra

abdomen (TIA), pemberian nutrisi enteral sebaiknya tidak ditingkatkan. Bila tidak

terjadi intoleransi, target pemberian energinya ditingkatkan secara bertahap

hingga>80% sesuai toleransi setelah 48-72 jam pertama. Nutrisi yang diberikan

ditargetkan tidak untuk mencukupi target kalori penuh, hal ini disebabkan karena

kebutuhan kalori dan protein pada fase awal dari sakit kritis tidak diketahui

sepenuhnya.2,7,8

Nutrisi parenteral adalah pemberian nutrient melalui intravena melalui

akses perifer atau vena central dan direkomendasikan jika nutrisi enteral tidak

dapat memenuhi target kebutuhan nutrisi.Waktu yang tepat untuk pemberian

suplemen nutrisi parenteral berbeda antara masing masing panduan klinis. ASPEN

dan Surviving sepsis campaign menganjurkan pemberian nutrisi parenteral setelah

1 minggu pertama di ICU pada pasien risiko rendah malnutrisi (NRS <3 atau

NUTRIC Score <5), sedangkan pada pada pasien dengan risiko malnutrisi tinggi

(NRS >3 atau NUTRIC Score >5) atau pasien malnutrisi berat disarankan untuk

mendapat nutrisi parenteral sesegera mungkin. Sedangkan ESPEN, menganjurkan

inisiasi suplemen nutrisi parenteral pada hari ke-2 (48-72 jam) ICU

padaintoleransi nutrisi enteral dimana >80 kebutuhan energi tidak

dapattercapai.2,8,9

Sedasi dan Analgesia

SEDASI2,8,12

1. Sedasi Dalam dibandingkan hasilklinis


a. Mempertahankan sedasi ringan memberikan hasil klinis yang baik

misalnya penggunaan ventilator lebih cepat dan lebih cepat rawat ruang

ICU

b. Mempertahankan sedasi ringan meningkatkan respons stress fisiologis

tetapi tidak berhubungan dengan kejadian myocardial iskemik

c. Hubungan antara kedalaman sedasi dan stress fisiologisbelum jelas

d. Disarankan untuk memberikan sedasi secara titrasi untuk

mempertahankan sedasi ringan daripada sedasi dalam pada pasien

dewasa di ruang ICU, kecuali kontraindikasi

2. Mengawasi kedalaman sedasi dan fungsiotak

a. The Richmond Agitation Seation Scale (RASS) dan Sedation

Agitation Scale (SAS) adalah yang digunakan.

b. Tidak disarankan AEPs (auditory evoked potensials), BIS , NI

(nacotren Index) PSI (patient state Index) atau SE (State Entropy)

digunakan sebagai alat utama mengukur kedalaman sedasi pada

pasien tidak koma, tidak lumpuh pada pasien di ruang ICU,

diamana monitor ini tidak adekuat untuk mengukur sistem sedasi

c. Disarankan menggunakan AEPs, BIS dll sebagai menggukur

sedasi pada pasien dewasa di ICU yang menggunakan pelumpuh

otot

d. Disarankan menggunakan EEG pada pasien tidak kejang di ICU

dengan peningkatan TekananIntrakranial.

e. Pilihan sedasi
f. Disarankan menggunakan propofol atau dexmetomidin pada

pasien yang menggunakan ventilator

ANALGESIA2,9

1. Angka KejadianNyeri

a. ICU medical, surgical and trauma sering mengalami nyeri

b. Nyeri pada pasien operasi jantung biasanya sering terjadi tetapi tidak di

terapi secara adekuat, wanita lebih merasa nyeri dibanding kan laki-laki

setelah operasi jantung

c. Prosedur nyeri di ICU adalah hal yang biasa

2. PenilaianNyeri

a. Disarankan untuk mengawasi nyeri secara rutin di ICU

b. BPS(BehaviorPainScale)danCPOT(CriticalCareObservational Tool) adalah

yang paling di percaya untuk memonitor nyeridi ICU

c. Tidak disarankan tanda vital digunakan sebagai penilaian nyeri sebagai

parameter tunggal

d. Disarankan tanda vital sebagai awal untuk menilai nyeri pada pasien

3. TerapiNyeri

a. Disarankan analgesia preemptive dan nonfarmakodiberikan untuk

mengurangi nyeri pasien di ICU pada pencabutan WSD

b. Disarankan analgesia preemptive dan nonfarmako untuk posedur lain di ICU

yang potensial menimbulkan nyeri

c. Disarankan opioid intra vena sebagai obat pilihan utama untuk nyeri non-

neuropatic pada pasien ICU


d. Semua obat opoid yang diberikan secara intravena dengan cara titrasi

e. Disarankan nonopiod diberikan untuk mengurangi dosis opiod sehubungan

dengan efek sampan

f. Disarankan pemberian gabapentin atau carbamazepine oral untuk terapi

neuropatic pain

g. Disarankan epidural analgesia pada pasien pascaoperasi abdominal

aneurisma aorta

h. Disarankan epidural analgesia untuk pasien patah tulang iga.

Thromboembolism Prophylactic2,8,9

Ada 2 metode profilaksis venous thromboembolism pada pasien-pasien

yang dirawat di ICU, yaitu: farmakologi (obat-obatan) dan mekanikal. Pilihan

pemberian profilaksis tergantung pada kondisi klinis pasien dan penyakit yang

mendasarinya.15

Kontraindikasi untuk pemberian profilaksis farmakologi adalah :

 Trombositopenia (Trombosit < 50.000)

 Gangguan pembekuan darah seperti pada DIC, International

normalized ratio (INR), atau activated Partial-Thromboplastin Time

(aPTT) >1,5

 Perdarahanaktif

 Stroke perdarahan atau iskemia yangbaru

 Hemofilia A atau B danpenyakit vonWillebrand

METODE FARMAKOLOGI TROMBOPROFILAKSIS6,8

Obat-obatan yang digunakan untuk tromboprofilaksis adalah


Unfractionated Heparin (UFH) , Low Molecular Weight Heparin ( LMWH),

fondaparinux .

Pada pasien yang tidak ada kontraindikasi pemberian farmakologiprofilaksis,

maka :

 1st line : enoxaparin 40 mg SQ Q 12H

 2nd line : Low dose UFH 7500 unit SQ Q8H

Pada pasien denagn Cr Cl < 30 ml/ mnt :

 1st line : Low Dose UFH 5000 unit SQ Q8H

 2nd line : enoxaparin 30 mg SQ Q24H

METODE MEKANIKAL TROMBOPROFILAKSIS

Bila terdapat kontra indikasi pemberian farmakologi profilaksis, maka

dapat diberikan mekanikal thromboprophylaxis dengan menggunakan

Graduated Compression Stocking (GCS) atau Intermittent Pneumatic

Compression (IPC).2,9

Head of Bed Elevation

Rekomendasi menurut Surviving Sepsis Campaign 2016bahwa pasien

sepsis yang terpasang ventilasi mekanis untuk dipertahankan dengan posisi

kepala tempat tidur dinaikkan antara 30 dan 45 derajat untuk membatasi risiko

aspirasi dan untuk mencegah kemunculan VAP (rekomendasi kuat, kualitas

bukti rendah).2,13

Posisi semi-recumbent telah diketahui menurunkan kejadian VAP.1

Asupan enteral meningkatkan risiko terjadinya VAP. 50% pasien yang


mendapatkan asupan makanan secara enteral dalam posisi telentang

mengalami VAP, dibandingkan dengan 9% dari mereka yang mendapatkan

asupan makanan dalam posisi semi-recumbent.1 Akan tetapi, posisi tempat

tidur hanya dipantau sekali sehari, dan pasien yang tidak mencapai elevasi

tempat tidur yang diharapkan tidak dimasukkan dalam analisis.1 Satu

penelitian tidak menemukan adanya perbedaan dalam insidensi VAP antara

pasien yang dipertahankan dalam posisi telentang dan semi-recumbent.9,14

Ulcer Prevention

Menurut Surviving Sepsis Campaign 2016, Direkomendasikan bahwa

profilaksis stress ulcer diberikan kepada pasien dengan sepsis atau syok septik

yang memiliki faktor risiko untuk perdarahan saluran cerna (rekomendasi kuat,

kualitas bukti rendah). Dianjurkan untuk menggunakan proton pump inhibitor

(PPI) atau histamin-2 receptor antagonist (H2RA) jika ada indikasi untuk pro-

filaksis stress ulcer (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).

Direkomdasikan juga untuk tidak melakukan profilaksis stress ulcerpada

pasien tanpa faktor risiko perdarahan GI (BPS).8,9

Glucose Control

Pengendalian kadar gula darah pasien sepsis berat yang dirawat di ICU

dilakukan dengan pemberian insulin bila hasil 2 kali pemeriksaan kadar gula

darah berturut turut >180 mg/dL. Pemberian insulin harus mentargetkan batas

atas kadar gula darah ≤ 180 mg/dL daripada target atas ≤ 110 mg/dL (grade

1A).2,6

Pemantauan kadar gula darah dilakukan setiap 1-2 jam sampai kadar
gula darah dan dosis pemberian infusi insulin stabil, dan selanjutnya

pemantauan dilakukan tiap 4 jam bila kadar gula darah telah stabil (grade 1C).

Pemeriksaan kadar gula darah dengan sampel darah yang diambil dari

pembuluh darah kapiler, penilaian hasil pemeriksaan harus hati hati karena

kemungkinan tidak dapat menggambarkan nilai kadar gula darah arteri atau

plasma (grade UG).2,9

Tabel 3. Jenis-Jenis Insulin

Spontaneous Breathing Trial

Penyapihan di artikan sebagai proses secara bertahap untuk lepas dari

alat bantu pernapasan atau ventilator dan diperkirakan proses ini memerlukan

hampir 40% dari keseluruhan proses saat di ventilator. Dikutip dari Zein H dkk
bahwa keterlambatan dalam melakukan penyapihan akan memberikan

komplikasi seperti Ventilator Induced Lung Injury (VILI), Ventilator

Associated Pneumonia (VAP) dan Ventilator Induced Diaphragmatic

Dysfunction (VIDD),6 dampak dari komplikasi ini akan menambah beban

biaya bahkan meningkatkan morbiditas, mortalitas penderita sepsis. SBT

merupakan bagian dari cara untuk melakukan proses penyapihan dan untuk

melakukan SBT dapat melalui beberapa cara yaitu tanpa bantuan tekanan

inspirasi (T piece atau CPAP ≈ 5 cmH20) atau dengan bantuan tekanan

inspirasi (Pressure support 5- 8 cmH20 atau automatic tube compentation)12,14

Untuk melakukan SBT, Ouellette D dkk merekomendasi penggunaan

bantuan tekanan inspirasi (Pressure support 5-8 cmH20) lebih baik dibanding

dengan menggunakan T piece atau CPAP terutama pada kasus pasca gagal

napas akut yang memerlukan ventilator lebih dari 24 jam.3,6 Sebelum

melakukan SBT harus dipastikan apakah penderita siap untuk dilakukan proses

penyapihan.15,16

Bowel Function

Deteksi atau pencegahan dini hipotensi sistemik dan hipo perfusi

splanchnic pada penyakit kritis sangatlah penting, mengingat usus sangat rentan

terhadap aliran darah yang tidak adekuat untuk periode waktu yang pendek.

Kerusakan sistem barrier usus terutama akibat penurunan pembentukan energi

akibat aliran darah yang tidak adekuat (hipoperfusi atau iskemia) dan proses

inflamasi. Terjadinya hipoperfusi splanchnic pada fase awal sepsis berkorelasi

dengan kerusakan mukosa usus. Walaupun sering terjadi perdebatan tetapi


pemberian cairan untuk optimalisasi hemodinamik sangatlah penting.2,9

Thuijls dkk mengamati pada tindakan operasi besar (mayor surgery)

apabila selama tindakan dapat mempertahankan mean artery pressure>60mmHg

maka akan mencegah kerusakan sistem barrier usus. Pemberian cairan selain

mencegah komplikasi akibat proses inflamasi juga merupakan bagian dari

penanganan dasar sepsis.Selain itu, beberapa modalitas yang merupakan bagian

dari penanganan dasar penyakit kritis memberikan dampak negatif terhadap

mikrobiota dan sistem barrier usus, misalnya penggunaan vasopresor dapat

menyebabkan iskemia splanchnic sehingga menyebabkan lokal hipoksia dan

penurunan pH, penggunaan preparat penghambat produksi as asam lambung

dapat mengubah keasaman intraluminar, penggunaan antibiotik dan opiat secara

berlebihan akan mengganggu keseimbangan kuman komensal dan pathogen.

Pada penanganan sepsis beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk

mempertahankan agar fungsi sistem pencernaan tetap optimal antara lain :

 Mencegah hipotensi sistemik dan hipoperfusi splanchnic

 Hindari penggunaan obat obatan seperti antibiotik, vasopresor, opiate

dan preparat penghambat asam lambung secara berlebihan

 Pemberian nutrisi peroral sedini mungkin dan nutrisi parenteral hanya

diberikan apabila didapatkan indikasi yang kuat2,6

Indwelling Catheter

Peralatan intravaskuler seperti keteter vena sentral dapat menjadi

sumber sepsis atau syok septik. Alat intravaskular yang diduga menjadi
sumber sepsis harus segera dilepas setelah akses vaskular lainnya terpasang.

Pada kondisi bukan karena syok septik dan fungemia, infeksi selang kateter

dapat diatasi secara efektif dengan terapi antimikroba berkelanjutan jika

pelepasan kateter tidak dapat dilakukan, namun, pelepasan kateter (dengan

terapi antimikroba) bersifat definitip dan lebih dipilih jika memungkinkan.9

Infeksi saluran kemih adalah jenis infeksi yang paling umum terkait

perawatan kesehatan. Menurut Centers for Disease Control and Prevention

(CDC), kurang lebih 75 persen infeksi saluran kemih berhubungan dengan

kateter urin. Faktor risiko yang paling penting untuk berkembangnya infeksi

saluran kemih terkait kateter catheter-associated UTI (CAUTI) adalah

penggunaan jangka panjang kateter urin. Setiap hari selama kateter urin masih

terpasang di tubuh, risiko CAUTI meningkat 5 persen. Diperkirakan bahwa

setengah dari populasi pasien yang dipasang kateter urin memiliki indikasi

pemasangan yang tidak tepat. Karenanya, untuk mencegah terjadinya CAUTI,

kateter hanya boleh digunakan untuk indikasi yang tepat dan harus dilepas

segera setelah tidak dibutuhkan lagi.2,6

Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management

of Sepsis and Septic Shock: 2016, merekomendasikan

 diagnosis infeksi anatomi spesifik yang membutuhkan source control

harus segera diidentifikasi atau diekslusi pada pasien sepsis atau syok

septik.
 pelepasan (penghentian) segera akses intravaskuler yang dapat menjadi

sumber sepsis atau syok septik setelah akses vaskular lainnya telah ter-

pasang. Tabel 1.2,7

INTUBASI ENDOTRAKEA

Intubasi endotrakea (ETT) digunakan sebagai salah satu teknik anastesi


umum dan untuk memfasilitasi manajemen penggunaan ventilator untuk pasien
yang kritis. Pemilihan diameter pipa yang digunakkan selalu mempertimbangkan
antara memaksimalkan aliran udara yang masuk dengan menggunakan diameter
yang besar dan menimalisasi terjadinya trauma pada jalan napas dengan
menggunakan diameter pipa yang kecil.11,17
Kebanyakan pipa trakea yang kecil memiliki sistem untuk
mengembangkan cuff yang terdiri dari: katup, pillot baloon, inflating tube, dan
cuff. Katup berfungsi untuk mencegah terjadinya kebocoran udara setelah
mengembangkan cuff. Inflating tube berfungsi untuk menghubungkan katup
dengan cuff dan letak dari inflating tube berhubungan dengan dinding pipa.
Dengan membuat sekat pada daerah trakea, dengan cuff yang mengembang maka
dapat mencegah kejadian aspirasi dan agar dapat memberikan ventilasi tekanan
positif. Pipa yang tidak memiliki cuff, sering digunakan pada neonatus dan balita
untuk meminimalisir angka kejadian trauma pada jalan napas (CROUP).12,14
Pada saat ini, terdapat 2 tipe cuff: tekanan tinggi (volume rendah) dan
tekanan rendah (volume tinggi). Cuff dengan tekanan tinggi berhubungan dengan
tingkat kejadian iskemik pada mukosa trakea dan tidak cocok digunakan untuk
intubasi dalam jangka panjang. Cuff dengan tekanan rendah mungkin dapat
meningkatkan kejadian sakit pada tenggorokkan, aspirasi, dan ekstubasi spontan.
Tekanan yang diberikan pada cuff bergantung pada beberapa faktor: volume
inflasi, diameter antara cuff yang berhubungan dengan trakea, compliance pada
trakea dan cuff, tekanan intratoraksis (tekanan pada cuff dapat meningkat dengan
batuk). Tekanan pada cuff dapat meningkat seiring dengan penggunan anastesi
umum, terkait nitrogen dioksida yang berdifusi dari jaringan mukosa trakea ke
cuff pipa ETT. Pipa trakea dimodifikasi sejalan dengan waktu dan diperuntukan
untuk berbagai macam kondisi. Macam pipa trakea: flexible, spiral wound, wire
reinforced- TTs, beberapa macam pipa tersebut mencegah terjadinya kinking
(bengkok) dan terbukti berguna untuk beberapa macam tindakan operasi pada
daerah leher dan kepala atau pasien dengan posisi tengkurap.11-13

Tabel. Guideline Ukuran Oropharyngeal Intubation

Laryngoscope
Laryngoscope merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk
memeriksa laring dan memfasilitasi intubasi. Pada bagian gagang, biasanya terdiri
dari tempat baterai untuk menayalakan lampu yang ada pada blade. Jenis blade
Macintosh dan Miller merupakan jenis design yang cukup terkenal, dimana
Macintosh tipe yang bergelombang sedangkan Miller adalah tipe yang lurus.
Pemilihan laryngoscope bergantung pada dokter dan anatomi pasien.13,15
Teknik Laryngoscopy Langsung dan Tidak Langsung serta Ekstubasi
Indikasi untuk intubasi
Pipa Endotrakeal (ETT) digunakan untuk melindungi jalan napas dan
sebagai akses jalan napas. Intubasi diindikasikan untuk pasien yang berisiko
terhadap kejadian aspirasi lambung dan pasien yang menjalani pembedahan pada
daerah leher dan kepala.13,14

Persiapan untuk laryngoscopy secara langsung


Persiapan untuk melakukan intubasi adalah sebagai berikut: (1) memeriksa
kembali peralatan untuk intubasi (seperti STATICS) dapat berfungsi dengan baik
dan (2) memposisikan tubuh pasien pada posisi yang tepat (harus sejajar dengan
lengan yang akan mengintubasi dan sedikit lebih tinggi untuk mencegah
terjadinya back strain).
Persiapan induksi dan intubasi yang termasuk adalah melakukan
preoksigenasi. Jika gagal melakukan preoksigenasi maka akan meningktakan
resiko terjadinya desaturasi dan kemudian terjadi apneu.14,16

Orotrakeal intubasi
Pegang laryngoscope menggunakan tangan kiri. Kemudian dengan posisi
mulut pasien terbuka, masukan blade dari sisi kiri dengan perlahan untuk
mencegah terjadinya gigi yang patah. Kemudian geser lidah ke sisi kiri
menggunakan blade. Jika berhasil memindahkan lidah ke sisi sebelah kiri, maka
pandangan akan lebih jelas untuk menempatkan ETT. ETT dipegang
menggunakan tangan kanan, dan secara perlahan dimasukan melalui pita suara
menuju trakea bagian atas tetapi terletak di atas laring. Kemudian laryngoskop
diambil secara hati-hati untuk menghindari gigi patah. Lalu cuff dikembangkan
dengan menggunakan spuit cuff, udara yang diberikan sesuai dengan yang
dibutuhkan untuk membuat sekat agar tidak ada kebocoran udara ke jaringan
mukosa trakea saat diberikan ventilasi tekanan udara positif. Jika diberikan
tekanan udara lebih dari 30 mmHg, maka dapat menghambat aliran kapiler dan
mencederai trakea. Menekan pilot balloon dengan tangan bukanlah metode yang
lazim dalam menentukan apakah tekanan yang diberikan pada cuff sudah cukup
atau kelebihan. Setelah intubasi, segera lakukan auskultasi pada regio thorax dan
epigastrium, pengecekan menggunakan alat kapnograf merupakan uji definitif
untuk memonitor dan memastikan lokasi ETT pada intratrakea. Apabila terdapat
keraguan, seperti apakah pipa terdapat pada esofagus, ulangi laryngoskop untuk
memastikan penempatan ETT. Volume tidal-akhir CO2 tidak akan diproduksi jika
tidak ada cardiac output. Selanjutnya, pipa difiksasi untuk mengamankan posisi
ETT agar tidak berubah-rubah. Lokasi pipa yang tepat dapat dipastikan lagi
dengan melukan palpasi cuff pada sternum (sternal notch) sambil melakukan
kompresi pada pilot balloon dengan menggunakan tangan yang lain. Cuff
seharusnya tidak dapat dirasakan diatas daerah kartilago cricoid karena dapat
memicu terjadinyahoarseness dan meningkatkan risiko ekstubasi tiba-tiba,
terutama saat postoperatif. Posisi ETT juga dapat dilihat dengan menggunakan
foto thorax.11,12,14
Hal yang sudah dijelaskan diatas, dilakukan pada pasien dengan
penurunan kesadaran. Intubasi oral tidak dilakukan pada pasien yang sadar dan
sehat. Sedasi intravena, penggunaan spray lokal anastetik pada oropharynx,
regional nerve block akan lebih memudahkan. Jika intubasi gagal, seharusnya
tidak diikuti dengan pemasangan di tempat yang sama. Beberapa perubahan yang
harus diperhatikan untuk meningkatkan keberhasilan, seperti reposisi pasien,
mengubah ukuran ETT, menggunakan stilet, memilih blade yang berbeda,
menggunakan indirect laryngoscope, mengganti menggunakan rute nasal, atau
meminta bantuan dari dokter anastesi lain. Jika pasien juga sulit untuk dilakukan
ventilasi dengan masker, gunakan alternatif manajemen jalan nafas lainnya,
seperti: LMA, Combitube, cricothyrotomy, tracheostomy. Terdapat guideline
yang disarankan oleh ASA (American Society of Anesthesiologists) untuk
tatalaksana untuk kesulitan jalan napas.2,11,15

MASALAH YANG DAPAT DITEMUKAN SAAT INTUBASI


Saat melakukan intubasi, praktisi kesehatan harus memastikan jika ETT
sudah berada di lokasi yang tepat sehingga kedua bagian paru mendapat ventilasi
yang seimbang. Penurunan saturasi oksigen dapat terjadi saat melakukan
pemasangan ETT. Penurunan saturasi oksigen saat perioperatif terjadi karena
pemasokan yang kurang adekuat atau ketidakcocokan ventilasi/perfusi (hampir
disemua bentuk penyakit paru). Ketika saturasi menurun, segera lakukan
auskultasi pada regio thorax untuk memastikan letak ETT, pastikan kedua paru
mendapat ventilasi dan dengarkan apakah ada suara tambahan lainnya seperti
wheezing, ronchi, rales yang berhubungan dengan patologi. Sirkuit pernapasan
juga harus diperiksa. Bronkodilator dan anastesi inhalasi diberikan untuk saat
perioperatif bertujuan untuk menangani bronkospasme. Penaikan volume tidal
CO2 terjadi karena hipoventilasi atau peningkatan produksi CO2, yang terjadi pada
hipertermi malignan, sepsis, malfungsi sirkuit pernapasan.11-13
Tekanan pada jalan napas yang tinggi dapat menyebabkan obstruksi
trakea, pipa ETT menjadi bengkok serta menurunkan compliance paru.
Selanjutnya, setelah pemasangan ETT dilakukan auskultasi untuk mendeteksi
tanda dari bronkospasme, edema pulmonal, pneumothorax.Tetapi sebaliknya jika
tekanan pada jalan napas rendah maka dapat mengakibatkan kebocoran pada
sirkuit pernapasan atau ekstubasi spontan.12,15

Teknik Ekstubasi
Kerap sering terjadi, ekstubasi seharusnya dilakukan ketika pasien dalam
keadaan teranastesi atau pasien sadar. Pada kasus lain, pemulihan yang adekuat
dan cepat dari penggunaan muscle relaxan dilakukan ekstubasi terlebih dahulu.
Jika menggunakan pelumpuh otot, pasien setidaknya mempunyai periode
terkontrol dengan ventilasi mekanik dan diberhentikan sebelum dilakukan
ekstubasi. Ekstubasi selama teranestesi ringan dihindari karena dapat
meningkatkan risiko laryngospasme. Perbedaan antara teranestesi dalam dan
ringan biasanya terlihat ketika dilakukan suction pada daerah faring, berbagai
macam reaksi terhadap suction (contoh batuk), adalah tanda dari anestesi ringan,
sementara itu jika tidak ada reaksi maka pasien berada dalam anastesi dalam.
Penggunaan ETT pada pasien asma yang terbangun dapat memicu terjadinya
bronkospasme. Beberapa praktisi setuju untuk menurunkan tingkat kejadian
tersebut adalah dengan menggunakan 1.5mg/kg lidokain intravena 1 – 2 menit
sebelum dilakukan suction dan ekstubasi, bagaimanapun ekstubasi selama anastesi
dalam lebih cocok pada pasien yang tidak dapat mentolerir efek terebut. Baik saat
pasien dalam keadaan teranastesi atau sadar, daerah faring harus disuction
sebelum ekstubasi untuk menurunkan postensi aspirasi sekret maupun darah.
Sebagai tambahan, pasien diberikan ventilasi dengan 100% oksigen sebagai
cadangan jika setelah proses ekstubasi jalan nafas pasien menjadi susah. Hal
pertama yang dilakukan untuk memulai ekstubasi adalah melepaskan fiksasi pipa
ETT dan cuff dikempiskan. Pipa ETT diambil dengan pelan-pelan dan hati-hati
kemudian gunakan face mask untuk mengirimkan oksigen. Pengiriman oksigen
dengan face mask dipantau saat periode pemindahan ke ruang perawatan
postanastesi.14-16

Komplikasi Intubasi dan Laryngoskop


Komplikasi dari laryngoskop dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia,
trauma jalan napas dan dental, malposisi ETT, respons fisiologi dari alat jalan
napas atau malfungsi pipa ETT. Komplikasi terjadi baik saat ETT dalam
terintubasi atau terkestubasi.12

Trauma jalan napas


Trauma jalan napas disebabkan oleh blade dari laryngoskop, termasuk gigi
yang patah saat insersi. Laryngoskopi dan intubasi dapat menyebabkan
komplikasi yang bermacam-macam dari sakit pada tenggorokan hingga stenosis
trakea. Kebanyakan hal tersebut terjadi karena tekanan yang berlebih dari luar dan
struktur jalan napas yang sensitif. Ketika tekanan tersebut memberikan tekanan
kapiler arteriolar, jaringan iskemi dan dapat menyebabkan inflamasi, ulserasi,
granulasi dan stenosis.14
Paralisis pita suara dari kompresi cuff atau trauma lainnya pada nervus
laryngeal reccurent menyebabkan terjadinya horseness dan meningkatkan risiko
aspirasi. Terjadinya hoarseness berhubungan dengan obesitas, intubasi sulit, dan
durasi anastesi yang lama. Untuk itu disarankan menggunakan lubrikan atau
anastesi lokal yang mengandung gel pada ujung cuff. Pengulangan penempatan
laryngoskop selama intubasi sulit dapat menyebabkan edema periglotis dan
ketidakmampuan untuk ventilasi dengan face mask, yang mana keadaan tersebut
mempunyai prognosis buruk karena dapat menyebabkan perawatan seumur
hidup.15

Posisi ETT yang tidak tepat


Insersi yang terlalu dalam menyebabkan pipa ETT terintubasi ke bronkus
utama sebelah kanan dikarenakan bronkus kanan memiliki sudut yang tumpul.
Sebaliknya, jika insersi ETT yang tidak terlalu dalam akan menyebabkan cuff
berada didalam laring, merupakan predisposisi terjadinya trauma laring, dapat
dideteksi dengan palpasi cuff disekitar kartilago tiroid. Minimal pengecekan
adalah dengan auskultasi. Jika pasien berubah posisi, posisi pipa ETT harus dicek
kembali. Ekstensi leher atau rotasi lateral, dapat merubah posisi ETT dari
karina.12,14

Respons Fisiologis terhadap Instrumentasi Jalan Napas


Intubasi trakea dan laringoskop mencederai refleks perlindungan jalan
nafas pasien dan dapat dipastikan dapat meyebabkan hipertensi serta takikardi jika
dilakukan dibawah anastesi umum yang ringan. Perubahan hemodinamik dapat
diatasi dengan pemberian lidokain, opioid, anastesi inhalasi dalam yang diberikan
beberapa menit sebelum laringoskop. Agen hipotensi termasuk sodium
nitroprusida, nitrogliserin, esmolol, dan nicardipin telah terbukti secara efektif
dapat menurunkan hipertensi transien yang disebebakan oleh laringoskop dan
intubasi. Aritmia – khususnya ventikular bigemini, terkadang terjadi saat intubasi
dan dibawah pengaruh anestesi ringan. Laringospasme adalah spasme otot
involunter yang kuat pada laring disebabkan oleh stimulasi sensoris dari nervus
laringeal superior. Memberikan stimulus termasuk sekresi faring atau lewatnya
pipa ETT melalui laring saat ekstubasi. Laringospasme biasanya dicegah dengan
melakukan ekstubasi saat pasien dalam keadaan teranastesi dalam atau benar-
benar sadar, tapi itu dapat terjadi – walaupun jarang, pada pasien sadar. Perawatan
dari laringospasme termasuk menyediakan ventilasi tekanan positif dengan bag
dan masker, menggunakan 100% oksigen atau dengan memberikan lidokain
intravena (1 – 1.5 mg/kg). Jika laringospasme menetap dan mulai terjadi
hipoksia, dosis rendah suksinilkolin (0.25 – 0.5 mg/kg) mungkin dibutuhkan
(dapat dikombinasikan dengan dosis kecil propofol atau anastesi lainnya) untuk
merelaksasi otot laring dan mengatur ventilasi. Tekanan intratorakal negatif yang
besar dihasilkan oleh pasien-pasien yang mengalami laringospasme dapat
menyebabkan terjadinya edema pulmonal akibat tekanan negatif, bahkan pada
pasien yang sehat sebelumnya. Sedangkan laringospasme dapat terjadi dari refleks
sensitivitas abnormal, aspirasi dapat terjadi dari depresi refleks laring diikuti
dengan intubasi yang lama dan anastesi umum. Bronkospasme adalah respons lain
terhadap intubasi dan kebanyakan terjadi pada pasien asma. Bronkospasme
terkadang dapat menjadi petunjuk untuk melakukan intubasi bronkial.
Patofisiologi lainnya termasuk tekanan intrakranial yang meninggi serta tekanan
intraokular.11,14,15

Ventilasi Mekanik

Definisi Ventilasi Mekanik


Ventilasi mekanik merupakan upaya dalam membantu atau menggantikan
napas spontan pada seseorang. Ventilator mekanik adalah alat pernapasan
bertekanan negative atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan
pemberian oksigen dalam waktu yang lama. Ventilasi mekanik ini sifatnya
menyelamatkan kehidupan sehingga jika digunakan secara kurang tepat, maka
tindakan ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Bantuan ventilasi
yang diberikan mesin ventilator dapat berupa pemberian volume, tekanan, atau
kombinasi keduanya.17 Ventilasi mekanik ini bersifat life saving, tetapi
terdapat komplikasi yang potensial dapat terjadi, seperti pneumotoraks, cedera
jalan napas, dan Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Komplikasi ini
perlu dipertimbangkan dalam penanganan pasien. Pada pernafasan dengan
ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan memompakan ke
paru pasien, sehingga tekanan sselama inspirasi adalah positif dan
menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan
dalam rongga thorax paling positif.17

Klasifikasi Ventilasi Mekanik


Berdasarkan mekanisme kerjanya, ventilasi mekanik dibagi menjadi dua
kategori umum, yaitu ventilator tekanan negative dan ventilator tekanan
positif.17,19
1. Ventilator Tekanan Negatif
Prisip kerja ventilator ini adalah mengeluarkan tekanan negative
pada dada eksternal. Mesin tekanan negative pertama, iron lung (Drinker
and Shaw Tank), merupakan mesin tekanan negative pertama yang
digunakan untuk ventilasi jangka panjang. Ketika terjadi pertukaran
oksigen dan karbondioksida antara aliran darah dan permukaan alveolus
secara difusi, udara harus dipindahkan ke dalam maupun luar paru untuk
membantu keseimbangan pertukaran gas. Pada saat bernapas spontan,
tekanan negative diciptakan oleh rongga pleura melalui otot pernapasan
sehingga tercipta gradient tekanan antara atmosfer dan rongga toraks yang
menghasilkan aliran udara ke dalam paru. Pada iron lung udara ditarik
secara mekanik untuk membentuk ruang vakum di dalam tanki sehingga
tekanan menjadi negatif. Tekanan negative ini menyebabkan terjadinya
ekspansi dada yang menyebabkan turunnya tekanan intrapulmoner
sehingga aliran udara sekitar ke dalam paru meningkat. Ketika vakum
dilepaskan, tekanan di dalam tanki menjadi sama dengan sekitar sehingga
terjadi ekshalasi pasif dinding dada dan paru. Ketika ruang vakum
terbentuk, abdomen pun mengembang seiring dengan pengembangan paru
yang akan membatasi aliran darah balik vena ke jantung sehingga darah
vena terkumpul di ektremitas bawah. Pengurangan tekanan intratoraks
selama inspirasi menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sehingga
memenuhi volumenya. Ventilator tekanan negatif terutama digunakan
pada gagal napas kronik yang berhubungan dengan kondisi neovaskular,
seperti distrofi muscular, polimielitis, dan myasthenia gravis. Penggunaan
ventilator jenis ini tidak sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien
yang kondisinya membutuhkan perubahan ventilasi yang cukup sering.19

2. Ventilator Tekanan Positif


Prinsip kerja ventilator ini adalah menggembungkan paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan napas sehingga alveoli
mengembang selama inspirasi. Pada ventilator ini diperlukan intubasi
endotrakeal atau trakeotomi untuk meningkatkan tekanan jalan napas.
Tekanan positif ini akan membiarkan udara mengalir ke dalam jalan napas
hingga pernapasan melalui ventilator dihentikan, kemudian tekanan jalan
napas akan turun hingga menjadi nol dengan mendorong volume tidal
didalamnya melalui ekshalasi pasif. Ventilator ini biasanya digunakan
pada klien dengan penyakit paru primer. Ada tiga jenis ventilator
bertekanan positif, yaitu tekanan bersiklus, waktu bersiklus, dan volume
bersiklus. 17,19
- Ventilator tekanan bersiklus merupakan ventilator tekanan positif yang
mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Siklus
ventilator hidup mengantarkan aliran udara hingga tekanan tertentu
yang telah ditetapkan. Ketika tekanan tersebut seluruhnya tercapai,
siklus akan mati. Prinsip ini mempunyai kerugian, yaitu jika terjadi
perubahan pada komplians paru, volume udara yang diberikan juga
berubah sehingga tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan status
paru yang tidak stabil. Ventilator jenis ini digunakan hanya untuk
jangka waktu pendek di ruang pemulihan.
- Ventilator waktu bersiklus merupakan ventilator yang mengakhiri atau
mengendalikan inspirasi setelah waktu yang telah ditentukan. Waktu
inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas
per menit) dengan nilai normal I/E = ½.
- Ventilator volume bersiklus merupakan ventilator yang mengalirkan
volume udara pada setiap inspirasi yang telah ditentukan. Siklus
ventilator akan mati dan ekshalasi terjadi secara pasif jika volume
preset telah dikirimkan pada pasien. Prinsip ini mempunyai
keuntungan, yaitu perubahan pada komplian paru pasien tetap, volume
tidal konsisten. Ventilator jenis ini yang paling banyak digunakan.17,19

Ventilator dilengkapi oleh monitor, sebagai berikut:


- Pengukuran tekanan
- Pembatas tekanan
- Pengatur volume (spirometer)
- Alarm tekanan (tinggi dan rendah)17

Ventilasi dapat diberikan melalui:


1. Hand-controlled ventilation, seperti: bag valve mask, continous flow atau
kantung anestesi.
2. Ventilator mekanik, meliputi: ventilator transpor, ventilator ICU dan NICU,
ventilator PA.17

Prinsip Dasar
Mode Ventilasi
Ventilasi tekanan positif berarti tekanan jalan napas diterapkan pada jalan
napas pasien melalui endotracheal atau tracheostomy tube. Tekanan positif
tersebut menyebabkan gas mengalir masuk ke dalam paru hingga napas ventilator
dihentikan. Karena tekanan jalan napas turun menjadi 0, rekoil elastik paru
menyebabkan ekshalasi pasif dengan mendorong volume tidal keluar. 18 Pada
kebanyakan kondisi, inisiasi mode ventilasi haruslah assist-control mode, terdapat
jaminan mengenai volume tidal dan kecepatannya. Pasien dapat melakukan usaha
inspirasi, kemudian ventilator merasakan penurunan pada tekanan sirkuit dan
mengantarkan volume tidal yang sesuai dengan yang telah diatur. Dengan cara ini,
pasien dapat mengatur pola napas yang nyaman dan memicu napas tambahan
yang dibantu oleh mesin, di atas kecepatan yang telah diatur. Bila pasien tidak
menginisiasi pernapasan, secara otomatis ventilator mengantarkan volume tidal
dan kecepatan napas yang telah diatur, menjamin minute ventilation minimum.
Pada mode ini, usaha napas dikurangi sampai jumlah inspirasi yang dibutuhkan
untuk memicu siklus inspirasi mesin. Pemicu ini disesuaikan dengan pengaturan
sensitivitas mesin terhadap derajat penurunan tekanan yang diinginkan sirkuit.18

Gambar 1. Grafik bentuk gelombang tekanan, volume, dan aliran terhadap


waktu pada ventilasi mode assist-control2

Assist-control berbeda dari ventilasi yang terkontrol (controlled ventilator)


karena pasien dapat memicu ventilasi untuk bernapas, dan dengan demikian,
menyesuaikan minute ventilation.20 Minute ventilation adalah jumlah udara yang
diinhalasi atau ekshalasi dalam 1 menit (mL/min) sehingga minute volume
bergantung pada volume tidal dan frekuensi napas (volume tidal x jumlah napas
dalam 1 menit). Pada ventilasi terkontrol, pasien mendapat napas hanya yang
diinisiasi oleh ventilator dengan kecepatan tetap.18
Gambar 2. Grafik gelombang tekanan, volume, dan aliran terhadap waktu
pada ventilasi terkontrol2
Walaupun usaha napas tidak dihilangkan, pada mode ini, otot respirasi
dapat beristirahat karena pasien hanya perlu menciptakan tekanan negatif untuk
memicu mesin. Keuntungan lainnya adalah pasien dapat mencapai minute
ventilation yang dibutuhkan dengan memicu napas tambahan lebih dari yang
kecepatan yang diatur.2 Pada kebanyakan kasus, minute ventilation yang membuat
pH berdasarkan kecepatan respirasi ditentukan oleh kemoreseptor dan
mekanoreseptor. Pusat napas di sistem saraf pusat menerima masukan dari
reseptor kimia (tekanan gas darah arteri) dan jaras neural yang menerima dari
mekanoreseptor. Kecepatan dan pola napas adalah hasil dari kemoreseptor dan
mekanoreseptor, yang membuat pusat napas mengatur pertukaran gas. Pada mode
assist-control, proses ini dicapai dengan kerja napas yang minimal.18
Keuntungan kedua mode ini adalah siklus ventilator pada fase inspirasi
mempertahankan aktivitas ventilasi normal sehingga mencegah atrofi otot napas.18
Kerugian yang mungkin terjadi pada mode assist-control adalah alkalosis
respiratorius pada sebagian kecil pasien yang pusat napas (resporatory drive)
menggantikan kemoreseptor dan mekanoreseptor. Pasien dengan potensi
hipokapnia dan hiperventilasi alveolar pada mode assist-control termasuk pasien
dengan penyakit hati stadium akhir. Pada kondisi ini biasanya diidentifikasi
pertama melalui analisis gas arteri, kemudian mode assist-control dapat diganti ke
mode yang lain.18 Kerugian lain yang mungkin terjadi adalah kemungkinan
tekanan napas positif serian yang tetap (serial present positive-pressure breathes)
membuat aliran vena kembali yang lebih lambat (retard venous return) ke jantung
kanan dan mempengaruhi curah jantung. Namun, mode assist-control merupakan
pilihan inisial paling aman untuk ventilasi mekanik. Mode ini dapat diganti pada
hipotensi atau hipokarbia yang terdeteksi sejak hasil analisis gas darah pertama.18
I. Mode-Mode Ventilator.
Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan
ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi
tergantung dari mode yang kita setting. Mode mode tersebut adalah sebagai
berikut:
Mode Control.
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan
pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek,
lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol
pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan volume yang
telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk
mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas sendiri
bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan
dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi
pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled
Respiration), CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten
Positive Pressure Ventilation)
1. Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized
Intermitten Mandatory Ventilation.
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling
dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory
diberikan pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan apakah pasien
pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting dengan
segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator generasi terakhir mode
IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan mandatory diberikan
sinkron dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada pasien
yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga masih
memerlukan bantuan.
2. Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport
Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien
yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena
nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk
bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger maka udara
pernafasan tidak diberikan.
3. CPAP : Continous Positive Air Pressure.
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan
pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.
Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih
otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.

Volume Tidal dan Kecepatan Napas


Pada pasien tanpa penyakit paru, volume tidal dan kecepatan napas
biasanya dipilih dengan 12-12 rule yaitu pada assist-control volume tidal 12
mL/kgBB dan 12 kali/menit. Pada pasien PPOK, volume tidal dan kecepatan
napasnya berkurang sedikit menjadi 10-10 rule untuk mencegah overinflasi dan
hiperventilasi, yaitu pada assist-control volume tidal 10 mL/kgBB dan 10
kali/menit. Pada acute respiratory distress syndrome (ARDS), paru dapat
berfungsi maksimal dan volutroma diminimalkan dengan volume tidal yang
rendah yaitu volume tidal 6-8 mL/kgBB pada assist-control. Strategi ini disebut
ventilasi proteksi paru (lung-protective ventilation). Dengan volume yang lebih
rendah, dapat menyebabkan sedikit hiperkarbia. Peningkatan PCO2 ini biasanya
terlihat dan dapat diterima tanpa koreksi, yang disebut dengan hiperkapnia
permisif (permissive hypercapnia). Namun, derajat asidosis respiratori yang
diperbolehkan hanya pada pH yang tidak kurang dari 7,25. Kecepatan napas
ventilator perlu disesuaikan menjadi lebih tinggi untuk meningkatkan minute
ventilation yang hilang dengan volume tidal yang lebih kecil.18
Pengecekan Volume Tidal Dua Kali
Setelah memilih volume tidal, tekanan jalan napas puncak untuk
mengantarkan napas harus ditentukan. Dengan meningkatnya volume tidal,
meningkat juga tekanan yang dibutuhkan untuk memaksa volume tersebut masuk
ke dalam paru. Tekanan puncak >45 cmH2O yang persisten dapat berisiko
barotrauma.

Gambar 3. Komponen tekanan inflasi ventilasi mekanik.2 Paw adalah tekanan


jalan napas, PIP adalah puncak tekanan jalan napas, Pplat adalah tekanan plateu.

Beberapa peneliti menganjurkan tekanan plateu harus dimonitor untuk


mencegah barotrauma pada pasien dengan ARDS. Tekanan plateu dihitung pada
akhir fase inspirasi dari volume tidal siklus ventilator. Ventilator diprogram untuk
tidak mengizinkan aliran ekspirasi pada akhir inspirasi untuk waktu tertentu,
biasanya setengah detik. Tekanan plateu adalah untuk mempertahankan tidak
adanya aliran ekspirasi. Pada tekanan plateu dipertahankan < 30 cmH2O,
barotrauma dapat diminimalkan. Monitor tekanan puncak dan plateu dapat
membantu dalam membuat penilaian klinis.
Gambar 4. Efek penurunan komplains sistem respirasi (A) dan peningkatan
resistensi (B)

Napas Panjang (sighs)


Karena pada napas spontan biasanya seseorang akan menarik napas
panjang sebanyak 6-8 kali per jam untuk mencegah mikroatelektasis, maka
beberapa ahli merekomendasikan mesin secara periodik bernapas 1,5-2 lebih
besar dari volume tidal yang ditetapkan sebanyak 6-8 kali per jam. Namun
tekanan puncak kadang cukup tinggi sehingga menjadi predisposisi barotrauma.
Saat ini, napas panjang tidak direkomendasikan bagi pasien yang menerima 10-12
mL/kg atau bila pasien membutuhkan positive end-expiratory pressure (PEEP).
Bila volume tidal yang digunakan rendah, dapat diterapkan napas panjang seperti
yang sudah disebutkan.18

FIO2 Inisial
Prioritas utama dalam memulai ventilasi mekanik adalah oksigenasi
efektif. Setelah intubasi, FIO2 harus 100% sampai oksigenasi arterial adekuat.
Periode pendek dengan FIO2 100% tidak berbahaya pada pasien yang mendapat
ventilasi mekanik, malah memberi beberapa keuntungan. Pertama, FIO2 100%
melindungi pasien dari hipoksemia bila terdapat masalah akibat intubasi yang
tidak dikenali. Kedua, menggunakan perhitungan PaO2 dan FIO2 100%, dokter
dapat mengkalkulasi FIO2 dan shunt selanjutnya. Menghitung derajat shunt
dengan FIO2 dapat menggunakan rumus: 700 mmHg dikurangi hasil PaO2, setiap
100 mmHg shunt 5%. Shunt 25% harus dipertimbangkan menggunakan PEEP.18
Oksigenasi inadekuat meskipun pemberian oksigen 100%, harus dicari
komplikasi intubasi endotrakeal atau napas tekanan positif (pneumothoraks). Bila
tidak terdapat komplikasi maka PEEP dibutuhkan untuk mengatasi patologi shunt
intrapulmoner. Karena hanya sedikit penyakit yang dapat menyebabkan shunt
intrapulmoner, maka harus diperkecil kemungkinan kondisi:18
- Alveolar kolaps – atelektasis mayor
- Alveolar terisi benda selain gas – pneumonia lobaris
- Protein dan air – ARDS
- Air – gagal jantung kongestif
- Darah – perdarahan (hemorrhage)

Tekanan Akhir Ekspirasi Positif/ Positive end-expiratory pressure


PEEP adalah mode terapi yang digunakan konjungsi dengan ventilasi
mekanik. Pada akhir ekshalasi mekanik atau spontan, PEEP mempertahankan
tekanan jalan napas pasien di atas atmosfir dengan mempertahankan tekanan yang
melawan pengosongan paru yang pasif. Tekanan ini biasanya dicapai dengan
mempertahankan aliran tekanan positif di akhir ekshalasi. Tekanan ini dihitung
dalam sentimeter air.2 Terapi PEEP dapat efektif bila digunakan pada pasien
dengan penyakit paru difus yang menyebabkan penurunan akut kapasitas residual
fungsional (functional residual capacity/ FRC), di mana volume gas tetap di
dalam paru pada akhir ekspirasi normal. FRC ditentukan terutama oleh sifat
elastik paru dan dinding dada. Pada banyak penyakit paru, FRC berkurang karena
kolaps atau alveoli yang tidak stabil. Penurunan volume paru ini menurunkan area
permukaan yang tersedia untuk pertukaran udara dan menghasilkan shunting
intrapulmoner (darah yang tidak teroksigenasi kembali ke jantung kiri). Bila FRC
tidak dikembalikan, oksigen yang diinspirasi berkonsentrasi tinggi dibutuhkan
untuk mempertahankan kandungan oksigen arterial.18
PEEP meningkatkan tekanan dan volume alveolar. Peningkatan volume
paru meningkatkan area permukaan dengan membuka kembali dan menstabilisasi
alveolar yang kolaps atau tidak stabil. Usaha ini dilakukan dengan tekanan positif,
akan memperbaiki ventilation-perfusion match, menurunkan efek shunt.2 Setelah
shunt dimodifikasi dengan ventilation-perfusion mismatch dengan PEEP,
penurunan konsentrasi oksigen dapat diterapkan untuk mempertahankan PaO2
yang adekuat. Terapi PEEP juga dapat efektif dalam memperbaiki komplains
paru. Ketika FRC dan komplains paru menurun, energi dan volume tambahan
diperlukan untuk mengembangkan paru. Dengan menggunakan PEEP, volume
paru pada akhir ekshalasi meningkat. Bila paru sudah mengembang separuh, maka
diperlukan volume dan energi yang lebih sedikit dari sebelumnya untuk
melakukan inflasi.2
Bila digunakan untuk pasien dengan penyakit paru difus, PEEP harus
memperbaiki komplains, menurunkan ruang rugi (dead space), dan menurunkan
efek shunt intrapulmoner. Keuntungan PEEP adalah membuat pasien untuk dapat
mempertahankan PaO2 adekuat pada konsentrasi oksigen yang rendah dan aman
(< 60%), menurunkan risiko toksikasi oksigen.2 Karena PEEP dapat menyebabkan
konsekuensi hemodinamik yang serius, harus didasari indikasi definit. Tambahan
PEEP eksternal biasanya diterapkan bila PaO2 60 mmHg tidak dapat tercapai
dengan FIO2 60% atau bila fraksi shunt inisial perkiraan lebih besar dari 25%.
Tidak ada bukti yang mendukung PEEP eksternal tambahan selama pengaturan
inisial ventilator.2
Banyak dokter menggunakan the least-PEEP philosophy, dengan
rekomendasi menggunakan tekanan positif paling rendah untuk menyediakan
PaO2 adekuat dengan FIO2 yang aman. Penggunaan PEEP opsional yang aman
lain adalah didasarkan pada identifikasi titik infleksi rendah pada kurva volume-
tekanan. PEEP harus diatur 1-2 cmH2O di atas titik infleksi rendah untuk
mendapat PEEP optimal.2 Penggunaan PEEP tidak berhubungan dengan
ketahanan di rumah sakit, karena baik penggunaan PEEP yang tinggi maupun
rendah, angka mortalitas tetap tinggi pada pasien ARDS. Namun, penggunaan
PEEP yang tinggi (higher level of PEEP) menunjukkan perbaikan dalam
kelangsungan hidup. Karena pada dasarnya PEEP mengatur ulang dasar kurva
tekanan-volume, tekanan puncak dan plateu akan terpengaruh.18

Gambar 5. Penentuan titik infleksi yang rendah untuk mengestimasi PEEP


optimal
Ringkasan pengaturan ventilator inisial:
- Mode assist-control
- Volume tidak diatur tergantung pada status paru:
o Normal 12 mL/kgBB
o PPOK 10 mL/kgBB
o ARDS 6-8 mL/kgBB
- Kecepatan napas 10-12 x/menit
- FIO2 100%
- Napas dalam tidak terlalu diperlukan
- PEEP hanya diindikasikan setelah penentuan analisis gas darah
pertama, yaitu pada shunt >25%
- Ketidakmampuan mengoksigenasi dengan FIO2 <60% 18

Indikasi
Penggunaan ventilasi mekanik diindikasikan ketika ventilasi spontan pada
pasien tidak adekuat untuk memelihara kehidupannya.18,21 Ventilasi mekanik juga
diindikasikan sebagai profilaksis terhadap kolaps yang akan terjadi dari fungsi
fisiologis lainnya, atau pertukaran gas yang tidak efektif di dalam paru. Contoh
indikasi medis penggunaan ventilasi mekanik, yaitu:
- Gagal Napas
Pasien dengan distres pernapasan gagal napas, henti napas
(apneu), maupun hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian
oksigen merupakan indikasi ventilator mekanik. Idealnya, pasien telah
mendapat intubasi dan pemasangan ventilator mekanik sebelum terjadi
gagal napas yang sebenarnya. Distres pernapasan disebabkan
ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenasi. Prosesnya dapat
berupa kerusakan paru (seperti pada pneumonia) maupun karena
kelemahan otot pernapasan dada (kegagalan memompa udara karena
distrofi otot).21
Gagal napas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: gagal napas
hipoksemia dan gagal napas hiperkarbia. Gagal napas hipoksemia
disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut, yaitu: edema paru,
pneumonia, perdarahan paru, dan respiratory distress syndrome yang
menyebabkan ketidaksesuaian antara ventilasi-perfusi dengan shunt.
Gagal napas hipoksemia ditandai dengan SaO2 arteri <90%, meskipun
fraksi oksigen inspirasi > 0.6. Tujuan dari pemasangan ventilasi
mekanik pada kondisi ini yaitu untuk menyediakan saturasi oksigen
yang adekuat melalui kombinasi oksigen tambahan dan pola ventilasi
tertentu sehingga meningkatkan ventilasi-perfusi dan mengurangi
intrapulmonary shunt.
Sedangkan, gagal napas hiperkarbia disebabkan oleh kondisi
yang menurunkan minute ventilation atau peningkatan dead space
fisiologis sehingga ventilasi alveolar menjadi tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metabolik. Kondisi yang berhubungan dengan
gagal napas hiperkarbia, yaitu: penyakit neuromuscular seperti
miastenia gravis, ascending polyradiculopathy, miopati, dan penyakit-
penyakit yang menyebabkan kelelahan otot pernapasan karena
peningkatan kerja, seperti: asma, PPOK, dan penyakit paru restriktif.
Kondisi gagal napas hiperkarbia ditandai dengan PCO2 > 50 mmHg
dan pH arteri < 7.30.18,21
- Apneu dengan henti napas, termasuk kasus akibat intoksikasi
Pasien apneu, seperti pada kondisi kerusakan sistem saraf pusat
katastropik, membutuhkan tindakan yang cepat untuk pemasangan
ventilator mekanik.18,21
- Syok
Semua jenis syok menyebabkan proses metabolik seluler yang
akan memicu terjadinya jejas sel, organ failure, dan kematian. Syok
akan menyebabkan paling tidak tiga respon pernapasan, yaitu:
peningkatan ruang mati ventilasi, disfungsi otot-otot pernapasan, dan
inflamasi pulmoner. pasien dengan syok biasanya dilaporkan sebagai
dispneu. Pasien juga biasanya mengalami takipneu dan takikardi,
asidosis metabolik atau alkalosis respiratorik dengan beberapa derajat
kompensasi respiratorik.18,21
- Insufisiensi Jantung
Tidak semua pasien dengan ventilator mekanik memiliki
kelainan pernapasan primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan
CHF, peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernapasan
(sebagai akibat peningkatan kerja napas dan konsumsi oksigen) dapat
mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilator untuk
mengurangi beban kerja sistem pernapasan sehingga beban kerja
jantung juga berkurang.18
- Disfungsi Neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang berisiko mengalami
apneu berulang juga mendapatkan ventilator mekanik. Selain itu,
ventilator mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan napas pasien.
Ventilator mekanik juga memungkinkan pemberian hiperventilasi pada
klien dengan peningkatan tekanan intrakranial.18
Tujuan Penggunaan Ventilasi Mekanik
Pada dasarnya tujuan dari ventilasi mekanik adalah untuk menjaga supaya
pasien tetap hidup dan terhindar dari komplikasi iatrogenik sehingga kejadian
presipitasi dapat teratasi.22 Dalam mengatasinya tentu diperhatikan penyakit utama
yang mendasari kejadian tersebut:
1. Apneu
Tujuan penggunaan ventilator adalah mengembalikan ventilasi.2
2. Gagal napas (respiratory distress)
Pada studi yang dilakukan pada binatang, peningkatan beban
pernapasan akan menyebabkan kerusakan otot napas, retensi CO2, dan
akhirnya menyebabkan kelelahan otot napas (muscle fatigue). Hal ini
diperkirakan yang menjadi alasan kerusakan otot napas pada pasien
PPOK dan pasien yang sekarat saat diberikan ventilasi mekanik. Pada
sepsis, peningkatan usaha napas terutama disebabkan oleh kerusakan
otot napas. Walaupun telah dilakukan penelitian, peran kelelahan
kontraksi dalam perkembangan gagal napas masih belum diketahui.
Kontraksi diafragma telah dikuantifikasi secara objektif (melalui
stimulasi nervus phrenikus) pada pasien dengan gagal napas akut (pada
penghentian penggunaan ventilasi mekanik) dan tidak ditemukan
perubahan kontraksi diafragma.22 Oleh sebab itu, penggunaan
ventilator dan asistensi ventilator dalam mengurangi beban (load) otot
napas, dan mengurangi stres otot masih dipertanyakan. Bahkan,
insufficient unloading ataupun excessive unloading sama-sama
berbahaya bagi pasien.6 Hampir semua pasien gagal napas akut
mengalami peningkatan usaha napas, dan juga mengalami beberapa
masalah lain: pertukaran gas abnormal, gangguan perfusi otot,
disfungsi otot yang diinduksi sepsis. Pengurangan beban napas dapat
memperbaiki hipoksemia dan hiperkapnia.22
3. Hipoksemia berat
Ventilasi mekanik biasanya dilakukan dengan oksigen 100%. Respon
terhadap oksigen 100% dapat membantu dalam identifikasi
patofisiologi yang mendasari, diagnosis banding, dan terapi.
Contohnya, bila O2 gagal meningkatkan PaO2 pada pasien PPOK,
maka masalah yang mendasari bukan hanya V/Q mismatch (seperti
pada bronkitis akut), malah, pasien memiliki pirau/ shunt. Penyebab
umum pirau adalah pneumonia, gagal jantung kongestif, atelektasis
lobaris, emboli paru.22

Pirau
Pasien dengan peningkatan pirau biasanya menunjukkan perbaikan bila
digunakan PEEP karena penurunan pirau sekunder dari pengembalian atelektasis
dan redistribusi cairan ekstravaskular paru dari alveoli ke peribronkial dan
perivaskular. Bila curah jantung menurun (dengan PEEP), hal ini juga
berkontribusi dalam pirau.22 PEEP menyebabkan peningkatan ruang rugi melalui
beberapa mekanisme. Pertama, peningkatan volume paru mendesak traksi radial
pada jalan napas, meningkatkan volume dan meningkatkan ruang rugi anatomis.
Kedua, peningkatan tekanan jalan napas cenderung mengalihkan aliran darah dari
unit paru yang terventilasi dengan menekan kapiler. Hal ini menyebabkan rasio
VA/Q yang tinggi (bahkan area yang tidak mendapat perfusi) sehingga
memperbesar ruang rugi alveolar. Ruang rugi ini biasanya berada di bagian atas,
pada bagian arteri pulmonalis relatif renda karena efek hidrostatik. Bila tekanan
kapiler di bawah tekanan jalan napas (airway pressure), kapiler dapat kolaps
seluruhnya, dan paru tersebut tidak mengalami perfusi.22
Gambar 6. Efek peningkatan tekanan jalan napas pada bagian kapiler
paru.6 Kiri: normal, kanan: peningkatan tekanan alveolar melebihi tekanan
kapiler yang menyebabkan kapiler kolaps.

Dua faktor yang menyebabkan kapiler kolaps: tekanan jalan napas yang
sangat tinggi dan aliran balik vena (venous return) yang rendah. Dantzker et al,
menunjukkan peningkatan PEEP dapat menginduksi 2 pola distribusi VA/Q.
Sebagian pasien tidak mengalami perubahan, sebagian mengalami perluasan
distribusi ventilasi – peningkatan rasio VA/Q dan ruang rugi alveolar. Pada
beberapa pasien, PEEP tidak memberikan perbaikan bahkan dapat menurunkan
PaO2. Efek ini disebabkan oleh peningkatan ruang rugi ventilasi, pengalihan
aliran darah dari yang terventilasi dengan baik ke bagian yang tidak terventilasi,
dan penurunan curah jantung (terutama bila volume darah yang bersirkulasi
menurun). Tidak adanya oksigenasi dengan PEEP juga terjadi pada foramen ovale
yang paten karena PEEP dapat meningkatkan pirau kanan-ke-kiri.22 Karena PEEP
dapat menurunkan curah jantung, efek ini harus dipikirkan pengaruh pengantaran
O2 (O2 delivery). Mixed venous PO2 dapat mewakili pengantaran O2. Hal yang
dapat merugikan dalam penggunaan PEEP adalah menurunkan aliran darah ke
limpa dan ginjal, barotrauma, dan kerusakan paru yang diinduksi oleh ventilator. 22
Cara lain untuk mengembalikan hipoksemia berat termasuk pemberian surfaktan
eksogen, suplementasi oksida nitrit, posisi tiarap (prone), dan agen inflamatori.
Cara ini dapat meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan ARDS, namun tidak
memperbaiki outcome pasien.22
Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (VA/Q mismatch)
Secara teori, pasien dengan hipoksemia sekunder karena VA/Q mismatch
dapat diatasi dengan meningkatkan FIO2 tanpa ventilasi mekanik. Pada
kenyataannya, pasien selalu mengalami peningkatan kebutuhan ventilasi. Banyak
pasien dengan ketidakseimbangan VA/Q yang hiperinflasi (PPOK atau status
asmatikus) membutuhkan ventilasi mekanik. Hiperinflasi menurunkan efisiensi
otot respirasi dalam menghasilkan tekanan, yang juga berkontribusi dalam gagal
napas.22
Pada studi yang dilakukan pada pasien PPOK eksaserbasi, ventilasi
mekanik meningkatkan VA/Q mismatch dengan meredistribusi aliran darah
menjauhi dari area VA/Q rendah. penyebaran distribusi juga membaik. Ruang
rugi atau ventilasi VA/Q yang tinggi tidak berubah. Pasien dengan peningkatan
VA/Q mismatch berhubungan dengan PPOK atau ARDS dapat diperbaiki dengan
PEEP namun pada pasien status asmatikus, penggunaan PEEP sangat berbahaya.22
4. Hiperkapnia berat
Hiperkapnia berat menekan sistem saraf pusat dan keluaran respirasi
motorik, sehingga memperparah hiperkapnia. Hiperkapnia juga
menekan kontraksi diafragma. Asidosis terlebih menekan kontraksi
otot respirasi daripada hiperkapnia.22 Tujuan pemberian ventilasi
mekanik adalah memperbaik VA, dan penggunaannya spesifik bagi
setiap pasien. Pada pasien hiperkapnia dengan status asmatikus atau
PPOK, pemanjangan waktu pernapasan secara konstan menyebabkan
beban yang signifikan. Bila ventilator diatur untuk mengantarkan
volume tidal yang kecil dengan frekuensi napas cepat, pemanjangan
waktu yang konstan akan mengganggu pengosongan paru, dan terjadi
hiperinflasi. Kemudian, volume tidal yang kecil tidak mencapai
ventilasi adekuat, karena ruang rugi fisiologis meningkat. Volume tidal
yang lebih besar dapat mencapai ventilasi alveolar yang adekuat tetapi
membutuhkan waktu ekspirasi yang lebih lama daripada volume tidal
yang kecil. Dalam mengatasi agar ekshalasi memiliki waktu yang
cukup adalah dengan meningkatkan aliran inspirasi. Peningkatan aliran
mengurangi waktu untuk inflasi mekanik dan bila kecepatan respirasi
tetap konstan, pemanjangan waktu dapat tersedia untuk ekshalasi.
Peningkatan aliran inspirasi biasanya berhubungan dengan
peningkatan kecepatan respirasi. Namun, walaupun penurunan dalam
siklus respirasi, berkurangnya waktu inspirasi diikuti oleh
bertambahnya waktu untuk ekshalasi – yang menurunkan usaha
inspirasi.22 Gangguan neuromuskular seperti sindroma guillian barre,
miastenia gravis, dan kerusakan korda spinalis (spinal cord injury)
dapat menyebabkan gagal napas hiperkapnia. Pasien ini biasanya
fungsi mekanis parunya normal tidak seperti PPOK atau asma. Waktu
konstan yang normal memberikan kemudahan dalam mengatur
ventilator.22 Ventilasi yang berlebihan (overzealous) dapat
menyebabkan komplikasi yang serius, termasuk alkalosis yang
mengancam nyawa, penurunan perfusi serebral, dan instabilitas
kardiovaskular. Pasien yang sebelumnya hiperkapnia sangat rentan
terhadap komplikasi tersebut. Bila semakin berat, alkalosis biasanya
diikuti oleh spasme arteri koroner, konfusi, mioklonus, asteriksis, dan
kejang.22
Alkalosis respirasi menurunkan ion kalsium. Setiap peningkatan pH
0,1 unit, ion kalsium turun 0,05 mmol/liter. Perubahan ini sedang dan
tidak konsisten bila dihitung untuk meningkatkan eksitabilitas perifer
dan sentral. Parestesia, spasme karpal-pedal, tetani, terlihat pada
hiperventilasi akut, disebabkan oleh efek langsung alkalosis respirasi
pada neuron. Efek lain dari alkalosis menginduksi peningkatan afinitas
hemoglobin terhadap oksigen dan pada shunt dapat memperparah
VA/Q (sekunder dari penurunan vasokontriksi hipoksik pulmonal).
Presipitasi penurunan PaCO2 menurunkan aliran darah ke sistem saraf
pusat, dan berkontribusi pada konfusi dan penurunan kesadaran pada
pasien hiperventilasi.22
Ketidakstabilan hemodinamik yang berhubungan dengan
tatalaksana ventilator yang berlebihan pada pasien hiperkapnia
(pemanjangan waktu konstan) paling sering adalah hipotensi.
Hipotensi biasanya terjadi karena peningkatan PEEP intrinsik setelah
intubasi – walaupun penurunan tonus simpatis juga disebabkan oleh
penurunan pada PaCO2 dan pemberian sedasi. Pada kondisi ini,
sirkulasi biasanya dapat kembali sempurna dengan menghentikan
ventilator selama ≥30 detik dan mengembalikan ventilasi yang
tersisa.22 Pada tahun 1940 dan 1950, pembersihan CO2 secara cepat
setelah hiperkapnia dapat menyebabkan hipotensi dan aritmia
ventrikular yang berbahaya (percobaan pada anjing). Hiperkalemia
juga diperkirakan terlibat. Namun, studi terakhir menunjukkan bahwa
hal tersebut tidak benar. Prys-Robert et al, menyebutkan bahwa tidak
terdapat perubahan gambaran EKG pada penurunan PaCO2 antara 80-
20 mmHg lebih dari 5 menit dalam keadaan anestesia. Beberapa dokter
menyebutkan bahwa alkemia berhubungan dengan aritmia
supraventrikular dan ventrikular aritmia, hanya muncul pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik. Penurunan ion magnesium dapat
menyebabkan iritabilitas jantung masih tidak jelas. Ventilasi
berlebihan, terlalu lama, menyebabkan pembuangan bikarbonat oleh
ginjal. Pada pasien yang menahan CO2, stabil secara klinis,
pembuangan bikarbonat oleh ginjal akan meningkatkan kebutuhan
ventilasi selama pelepasan ventilator.22
5. Post operatif gagal napas dan trauma
Pasien yang mengalami hipoksemia post operasi biasanya
ditatalaksana dengan oksigen tambahan dan terapi fisik dada (termasuk
siprometri insentif). Sekitar 10% pasien yang menjalani operasi
abdomen mayor elektif, pemberian oksigen tambahan dan terapi fisik
dada tidak mencegah gagal napas. Squadrone et al melakukan studi
randomisasi, hasilnya, penggunaan CPAP mengurangi penggunaan
intubasi, komplikasi (pneumonia, infeksi, dan sepsis), dan ICU. Hasil
ini setelah mengeksklusi pasien PPOK, asma, sleep apneu, gagal
jantung, hiperkapnia, dan asidosis respirasi. Hasil penelitian ini tidak
dapat diterapkan pada pasien yang berisiko tinggi atelektasis setelah
operasi.
Pasien dengan trauma multipel dapat mengalami flail chest. Banyak
pasien yang mengalami gagal napas secara sekunder dari kerusakan
paru atau patofisiologi lain yang mendasari dan membutuhkan
ventilasi mekanik. Flail chest sendiri bukan indikasi untuk ventilasi
mekanik. Pada suatu studi randomisasi, pasien dengan flail chest dan
mengalami hipoksemia serta gagal napas, penggunaan CPAP
noninvasif menurunkan motralitas dan infeksi nosokomial
dibandingkan dengan pasien yang diintubasi dan menggunakan
ventilator.22
6. Syok
Pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil, perfusi jaringan
termasuk sistem saraf pusatnya terganggu, 2 tujuan penggunaan
ventilasi mekanik adalah mencapai jalan napas yang adekuat dan
menurunkanVO2. Dengan mengistirahatkan otot napas dan dilakukan
sedasi, ventilasi mekanik dapat menurunkan VO2 dan menurunkan
tonus simpatis. Efek ini dapat memperbaiki perfusi jaringan.22

Efek Penggunaan Ventilasi Mekanik


Akibat tekanan positif pada rongga toraks, darah yang kembali ke jantung
terhambat, venous return menurun, sehingga cardiac output juga menurun. Bila
terjadi penurunan respon simpatis (misal, karena hipovolemia, obat, dan usia
lanjut), dapat mengakibatkan hipotensi. Darah yang melalui paru juga berkurang
karena ada kompresi mikrovaskular akibat tekanan positif sehingga darah yang
menuju atrium kiri berkurang, akibatnya cardiac output juga berkurang. Bila
tekanan terlalu tinggi, dapat terjadi gangguan oksigenasi. Selain itu, bila volume
tidal terlalu tinggi, yaitu > 10-12 ml/kgBB dan tekanan > 40 cmH2O, tidak hanya
mempengaruhi cardiac output, tetapi risiko terjadinya pneumotoraks juga
meningkat. Akibat cardiac output yang menurun, perfusi ke organ-organ lain pun
menurun, seperti pada hepar, ginjal, dengan berbagai akibat yang dapat terjadi.
Akibat tekanan positif di rongga toraks, darah yang kembali dari otak terhambat
sehingga tekanan intrakranial meningkat.23

Komplikasi Ventilasi Mekanik23


Terdapat beberapa komplikasi ventilasi mekanik, yaitu:
1. Komplikasi yang terkait dengan airway: edema laring, trauma mukosa
trakea, kontaminasi saluran napas bawah, hilangnya fungsi kelembaban
pada saluran napas atas.
2. Komplikasi pada paru: ventilator-induced lung injury, barotrauma,
toksisitas oksigen, atelektasis, pneumonia nosokomial, inflamasi.
3. Komplikasi pada kardiovaskular: berkurangnya venous return,
berkurangya cardiac output, hipotensi.
4. Komplikasi pada gastrointestinal dan nutrisi: perdarahan gastrointestinal,
malnutrisi.
5. Komplikasi pada neuromuskular: peningkatan tekanan intrakranial.
6. Komplikasi pada keseimbangan asam basa: asidosis respiratorik, alkalosis
respiratorik.
BAB III
PRESENTASI KASUS

Identitas
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 61 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan terakhir : SMP
Status : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Pangkalan Jati, Cipinang Melayu No.39 RT 06, RW 04,
13620
Tanggal masuk RS : 5/09/2019

Follow up IGD (05/09/2019)

Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD Pasien masuk dengan keluhan lemas seluruh badan +/- 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien masih bisa aktivitas biasa,
nafsu makan menurun, demam +, mual +, muntah 1x, BAB/BAK biasa. Sejak
pagi ini pasien terlihat lemas, acuh tak acuh dan tidak mau berbicara.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi tidak di ketahui

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah pasien mempunyai riwayat asma
Riwayat Kebiasaan Pasien
Pasien sering makan makanan bersantan, makanan yang di goreng.
Riwayat merokok (+) sejak usia 21 tahun, jumlah 1 bungkus/hari

Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 139/79 mmHg
Frekuensi nadi : 62 kali/menit
Frekuensi nafas : 16 kali/menit
Suhu : 38,5 °C

Kepala dan leher


Mata : Anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP distensi (+)
Telinga : normotia/normotia
Hidung : sekret (-)
Tenggorokan : T1/T1, faring warna merah muda

Thoraks
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi (+),
penggunaan otot bantu nafas (+)
Palpasi : vocal fremitus sulit dinilai
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : BND vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/- BJ I&II reguler
murmur - gallop -

Kepala dan leher


Mata : Anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP distensi (+)
Telinga : normotia/normotia
Hidung : sekret (-)
Tenggorokan : T1/T1, faring warna merah muda

Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : BND vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-
Perkusi : Timpani, nyeri ketok -
Palpasi : Supel, nyeri tekan -

Ekstremitas
Akral : Hangat
Edema : Negatif pada ekstremitas atas dan bawah petechie (-)

Pemeriksaan Lab (05/09/19)


Hematologi Hasil
Hemoglobin 14,6 gr/dl
Leukosit 10.400/UL
Hematokrit 42,5%
Trombosit 225000/UL
Na 142 mmol/l
K 3,3 mmol/l
Cl 112
GDS 86 mg/dl
Ureum 31 mg/dl
Kreatinin Darah 0.97 mg/dl

Ro. Thorax
Kesan : TB paru lama aktif

CT Scan
Kesan: Lacunar infark, multiple biparietalis brain atrophy

EKG
Kesan : Atrial Flutter, PAC
Diagnosis
1. SNH (perbaikan)
2. Peritonitis perforasi (post laparotomi eksplorasi)
3. TB paru aktif curiga relaps, susp. TB usus
4. HT gr 1  
Tatalaksana
 IVFD : RL 20 TPM/24 jam
 Diet : Lunak
 Medikamentosa:
1. Ranitidin 2x1 C (PO)
2. Sanmol 500mg tab 3x1 (PO)
3. Sucralfat Syr 3x1 C (PO)
LABORATORIUM
Follow up ruang rawat inap hari 1
Tanggal S/ O/ A/ P/
06/09/2019 Sesak (+) KU: TSB  Suspect CVD non  IVFD RL 20TPM/24jam
Gelisah (+) GCS: Hemoragik  Diet: SV 6x100 cc
E2M4V2
 Low Intake  Medikamentosa:
Kes: Delirium
 Hipokalemi Ranitidin 2x1 C (PO)
TD:
Sanmol 500mg tab 3x1 (PO)
100/40mmHg
N: 88x Sucralfat Syr 3x1 C (PO)

RR: 30x Citicolin 500 mg (PO)


S: 37.2 C Miniaspi (Tunda)
Neurologis:
Hemiparese
dextra, N.VII
SNL dextra
mendatar ,
babinski +/+

Thorax:
Retraksi (+),
Otot bantu
nafas (+)
BND
vesikuler
Rhonki +/+
basal paru,
Wheezing -/-
BJ I&II
reguler
murmur -
gallop -
Abdomen:
Defens
Muscular +
Nyeri Tekan +
BU+ 2x/min
Ekstremitas:
Edema
tungkai -/-
Follow up ruang perawatan hari ke 2
Tanggal S/ O/ A/ P/
07/09/2019 Penurunan KU: TSB  Suspect CVD non  IVFD RL 20TPM/24jam
kesadaran GCS: Hemoragik  Diet: SV 6x100 cc
E3M4V2
 TB Paru Curiga Relaps  Medikamentosa:
Pro Kes: Delirium
 Peritonitis generalisata Ranitidin 2x1 C (PO)
Laparotomi TD: 100/40
ec perforasi hollow Sanmol 500mg tab 3x1 (PO)
Eksploartif N: 100x/m
viscus organ Sucralfat Syr 3x1 C (PO)
Hari ini RR: 28x
S: 37.5C  Hipokalemi Citicolin 500 mg (PO)
Pindah ke Neurologis: Acetylcisteine 3x200mg (PO)
Hemiparese
ICU post Miniaspi (STOP)
dextra, N.VII
laparotomi SNL dextra Inhalasi Ventolin 3x/hr
mendatar ,
+ pasang  Acc Form TS Bedah
babinski +/+
CVC
Instruksi dr. Doddy, Sp.An post op:
Leher:
Observasi ICU
KGB teraba
IVFD:
membesar
-RL I D10%
Thorax:
Retraksi (+), -Analgetik fentanyl 200 mcg/24jam

Otot bantu jalan 2,1cc/jam


nafas (+) -Paracetamol 1gr tiap 8 jam
BND Head up 15%
vesikuler Cek: H2TL, Elektrolit, GDS, AGD
Rhonki +/+ -Setting Venti CMV FiO2 80% PEEP 5
basal paru, RR 12 TV 350
Wheezing -/-
Vascon Target MAP >65
BJ I&II
-Rawat bersama TS interna dan TS
reguler Bedah
murmur -
gallop -
Abdomen:
Defens
Muscular +
Nyeri Tekan +
BU+ 3x/min
Ekstremitas:
Edema
tungkai -/-

Lab:
AGD
PH 7,001
PCO2 106,4
PO2 61,6
SaO2 76,4%
BE -6,7
HCO3 26,5
TCO2 29,8
Konsentrasi
O2 14,7%
Na 150
K 4,5
Cl 108

Lab Darah
GDS 174
Hb 13,4
Ht 40,8
Tr 207
Leu 6,7
Masa
Perdarahan
1,3min
Masa
Pembekuan
14min
Masa
Protrombin
15s

Follow Up Hari ke-1 ICU


Tanggal S/ O/ A/ P/
08/09/2019 Penurunan KU: TSB  SNH IVFD :
Kesadaran GCS:  Peritonitis perforasi I RL 500cc
Kontak (+) E1M4Vett Inj Ceftriaxone 1gr 2x1
(post laparotomi
Kes: soporo
 TB paru aktif curiga Inj Metronidazole 500mg 3x1
CVC + coma
relaps Sp fentanyl 200 mcg/24 jam 2,1 ml/jam
07/09/19 TD: 120/89
 HT gr 1   NE 2,2 ml/jam
N: 120x
Diet: Puasa
RR: 23x
S: 36.4C
Mm/

SO2 : 99% Bisoprolol 2,5 mg 1x1


Neurologis:
Hemiparese
dextra,
babinski -/-

Leher: KGB
teraba
membesar

Thorax:
Retraksi (+),
Otot bantu
nafas (+)
BND
vesikuler
Rhonki +/+
basal paru,
Wheezing -/-
BJ I&II
reguler
murmur -
gallop -

Abdomen:
Supel,
Nyeri Tekan +
BU+ 4x/min

Ekstremitas:
Edema
tungkai -/-

Cairan
Intake: 1150
cc
Output
Drain: 50cc
Urine: 570 cc
IWL: 525cc
Balance
cairan : +5
cc
Follow Up Hari ke- 2 ICU
Tanggal S/ O/ A/ P/
09/09/2019 Kontak (+) KU: TSS  SNH IVFD :
GCS:  Peritonitis perforasi - II NS 0,9% /24 jam
E2M4Vett - I aminofluid/24 jam
(post laparotomi
Kes:
 TB paru aktif curiga - Sp fentanyl 200 mcg/24 jam
soporocoma
relaps 2,1 ml/jam

 HT gr 1   - Sp Midazolam 2mg/jam
TD: 112/78
- Sp NE 0,05 mcg/KgBB/jam
N: 124x
RR: 22x
Diet: D5% 6x100cc 

S: 36.7C Mm/
SO2: 98% - Ceftriaxon 2 x 2 gr IV
Neurologis: - Levofloxacin 1 x 750 mg IV
Hemiparese
dextra - As. traneksamat 500gr/8 jam
Leher: KGB IV
teraba - Transamin 3 x 500mg IV
membesar
- Vit K 1x1 IV
- Omeprazol 2 x 40 mg IV
Thorax:
- Sucralfat 3x1C
Retraksi (+),
- Bisoprolol tab 1 x 5mg
Otot bantu
nafas (+) - Paracetamol 3 x 500mg tab

BND - Digoxin tab 1 x 0,25 mg


vesikuler
Rhonki +/+
basal paru,
Wheezing -/-
BJ I&II
reguler
murmur -
gallop -

Abdomen:
Supel
Nyeri Tekan +
BU+ 4x/min
Ekstremitas:
Edema
tungkai +/+
+/+
Lab:
AGD
PH:7,291
PCO2:51
PO2:158
SaO2:99,0%
BE:-0,5
HCO3:26
TCO2:28
Konsentrasi
O2:17,2%
Elektrolit
Na:145
K:4,4
Cl:110
Ca:7,05
GDS: 87
Albumin: 2.5
Protein
total:4.9
Ur: 104
Cr: 2.92

Cairan
Intake: 2245
cc
Output
Drain: 50cc
Urine: 700 cc
IWL:500cc
Balance
cairan : +995
cc

Follow Up Hari Ke-3 ICU


Tanggal S/ O/ A/ P/
10/09/2019 Kontak (-) KU: TSB  SNH IVFD :
Gerak GCS:  Peritonitis perforasi I Dex 5% ½ NS/48 jam
ekstremitas E2M4Vett I Kebivent/24 jam
(post laparotomi
(+) Kes:
 TB paru aktif curiga Sp Fentanyl 200mcg/24jam
TB paru soporocoma
relaps Sp Dobutamin 1 mcg/jam
lama aktif TD: 124/71
 HT gr 1   Sp Furosemid 5mg/jam
(+) N: 128x
Ceftriaxon 2 x 1 gr IV
RR: 22x
S: 36.3C
Metronidazole 3x500mg IV

SO2:98% Transamin 3 x 500mg IV


Leher: KGB Piracetam 3x1 IV
teraba Vit K 1x1 IV
membesar Omeprazol 2 x 40 mg IV
Citicoline 2x500mg IV
Thorax: Meroclopramid 3x1 IV
Retraksi (+), Diet : D5% 6x 100cc
Otot bantu
nafas (+)
Mm/
BND
Sucralfat 3x1C
vesikuler
Bisoprolol tab 1 x 5mg
Rhonki +/+
basal paru,
Paracetamol 3 x 500mg tab

Wheezing -/- Digoxin tab 1 x 0,25 mg


BJ I&II Acetyl cystein 3x1 tab
reguler Ramipril 1x2,5 Tab
murmur - Amlodipin 1x5 mg
gallop - Albumin 3x1 caps
Abdomen: Tramal Suo 2x1
Supel
Alprazolam 1x0.5
Nyeri Tekan +
BU+ 4x/min
Ekstremitas:
Edema
tungkai -/-
Akral Hangat
Lab:
PH:7,383
PCO2:26,2
PO2:96,9
SaO2:97,0%
BE:7,8
HCO3:33,8
TCO2:33,5
Konsentrasi
O2:16,6%
Elektrolit
Na:138
K:2,4
Cl:101
BTA sputum
pagi –
BTA sputum
sewaktu –
Lab:
AGD
PH:7,383
PCO2:26,2
PO2:96,9
SaO2:97,0%
BE:7,8
HCO3:33,8
TCO2:33,5
Konsentrasi
O2:16,6%
Elektrolit
Na:138
K:2,4
Cl:101
Ca:7,05
GDS: 87
Albumin: 2.5
Protein
total:4.9
Ur: 104
Cr: 2.92

Intake: 3726
cc
Output
Urine: 5050
cc
IWL:750cc
Balance
cairan :
-2074 cc

Follow Up Hari Ke-4 ICU


Tanggal S/ O/ A/ P/
11/05/2019 Kontak (+) KU: TSS  SNH IVFD :
GCS:  Peritonitis perforasi - I Dex 5% ½ NS/48 jam
E2M4Vett - I Kebivent/24 jam
(post laparotomi
Kes:
 TB paru aktif curiga - Sp Fentanyl 200 mcg/24jam
Soporocoma
relaps - Sp dobutamin 1mcg/jam
TD: 132/78
 HT gr 1 - Sp Furosemid 5mg/jam
N: 129x
- Ceftriaxon 2 x 1 gr IV
RR: 21x
S: 36,7 C
- Metronidazole 3x500mg IV

SO2: 97% - Transamin 3 x 500mg IV


Leher: KGB - Piracetam 3x1 IV
teraba - Vit K 1x1 IV
membesar - Omeprazol 2 x 40 mg IV
Thorax: - Citicoline 2x500mg IV
Retraksi (+), - Meroclopramid 3x1 IV
Otot bantu
- Sp Ca glukonas 1 amp/kgbb
nafas (+)
Diet: D5% 6x100cc
BND
Mm/
vesikuler
- Sucralfat 3x1C
Rhonki +/+
basal paru, - Bisoprolol tab 1 x 5mg

Wheezing -/- - Paracetamol 3 x 500mg tab


BJ I&II - Digoxin tab 1 x 0,25 mg
reguler - Acetyl cystein 3x1 tab
murmur - - Ramipril 1x2,5 Tab
gallop - - Amlodipin 1x5 mg
Abdomen:
Supel
Nyeri Tekan +
BU+ 4x/min
Ekstremitas:
Edema
tungkai -/-
Akral hangat
Lab:
Hematologi
LED:45mm/j
Hb:13,8
Ht:42,7
Leu:16,2
Eri:4,79
Tr:171
MCV:89
MCH:28
MCHC:32
Bas:0
Eos:1
Bat:3
Seg:76
LIM:4
Mon:17
Elektrolit
Na:139
K:3,3
Cl:97
Cairan
Intake: 3900
cc
Output
Urine: 3400c
IWL:750cc
Balance
cairan :-250
cc

Follow Up Hari Ke-5 ICU


Tanggal S/ O/ A/ P/
12/09/2019 Penurunan KU: TSB  SNH IVFD :
kesadaran GCS:  Peritonitis perforasi II NS 0,9% /24 jam
Pasien E2M5Vett I aminofluid/24 jam
(post laparotomi
gelisah, Kes: Delirium
 TB paru aktif curiga Sp Fentanyl 200 mcg/24 jam
Kontak (-) TD: 93/62
relaps, Susp. TB usus Sp Midazolam 2mg/jam (Extra Miloz
N: 118x
 HT gr 1   2mg/jam)
RR: 21x
Sp NE 0,05 mcg/KgBB/jam
S: 36.9C
SO2: 97%
Leher: KGB Mm/
teraba Ceftriaxon 2 x 2 gr IV
membesar Levofloxacin 1 x 750 mg IV
Thorax: As. traneksamat 500gr/8 jam IV
Retraksi (+), Transamin 3 x 500mg IV
Otot bantu Vit K 1x1 IV
nafas (+)
Omeprazol 2 x 40 mg IV
BND
Sucralfat 3x1C
vesikuler
Bisoprolol tab 1 x 5mg
Rhonki +/+
Paracetamol 3 x 500mg tab
basal paru,
Wheezing -/- Digoxin tab 1 x 0,25 mg

BJ I&II
reguler VISIT dr Frans Sp.p
murmur - OAT MASUK
gallop - Streptomycin 1x1g
Abdomen: 2FDC 1x3 Tab
Supel
Nyeri Tekan + Etambutol 1x2 Tab
BU+ 1x/min
Ekstremitas:
Edema
tungkai -/-
Akral Dingin
Cairan
Intake: 3713
cc
Output
Urine: 3400cc
IWL:750cc
Balance
cairan :-473
cc
Follow Up Hari Ke-6 ICU
Tanggal S/ O/ A/ P/
13/09/2019 Kontak (-) KU: TSB  SNH (perbaikan) IVFD :
Gerak GCS:  Peritonitis perforasi I triofusin 1000cc/24 jam
ekstremitas E2M4Vtt
(post laparotomi I aminofluid 1000cc/24 jam
(+) Kes: delirium
eksplorasi) Sp Ca Gluconas 2amp/24jam
Penurunan TD: 160/90
 TB paru aktif curiga Sp fentanyl 200mcg/24jam
kesadaran, N: 120x
relaps, susp. TB usus Sp Midazolam 2mg/jam
Gelisah RR: 36x
 HT gr 1   Sp Kcl 100meq/24jam
S: 40 C
SO2:98%
Inj cefoperazone sulbactan 2x1gr
Inj metronidazole 3x500mg
Thorax: Inj lanzoprazole 2x30mg
BND Streptomisin 1x1gr (IM)
vesikuler Diet: D5% 5x50cc
Rhonki +/+ Mm/
basal paru, Domperidone 3x10mg
Wheezing -/-
Sucralfat syr 3x1
BJ I&II
Asetil sistein 3x200mg
reguler
Albumin 3x2caps
murmur -
Bisoprolol tab 1 x 2,5mg
gallop -
Diltiazem 1x30mg

Ekstremitas: Alprazolam 1x0,5mg


Edema Ethambutol 1x1
tungkai +/+ FDC 1x3 tab
Tramadol supp 2x1
PH: 7,421
PCO2: 60,3 Pasang TT (dr lina 13/08/19)
PO2: 81,8
SaO2: 95,6%
%
BE: 13,1
HCO3: 39,5
TCO2: 41,4
Konsentrasi
O2: 18,0%
Na: 141
K: 4,7
Cl: 97
Ca: 7,30
Protein total:
4,9
Albumin: 2,5
Ur: 44
Cr: 0,81
GDS: 132
SGOT: 24
SGPT: 19
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis pasien laki-laki usia 61 tahun datang ke IGD RS UKI


dengan keluhan lemas seluruh badan +/- 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sebelumnya pasien masih bisa aktivitas biasa, nafsu makan menurun, demam +,
mual +, muntah 1x, BAB/BAK biasa. Sejak pagi ini pasien terlihat lemas, acuh
tak acuh dan tidak mau berbicara. Post operasi laparotomy eksploratif pasien di
rawat inap ICU karena penurunan kesadaran, sesak, dan gelisah.
Pada pasien ini jika dilihat dari gejalanya keluhan sesak dibarengi dengan
gejala peritonitis menandakan pasien sangat mungkin mengalami infeksi dan
gangguan asam-basa, namun infeksi yang dialami sudah memasuki tahap yang
berat, karena sistem regulasi tubuh pasien sudah terganggu. Menurut Guidelines
for Management for Sepsis and Septic Shock tahun 2016, definisi dari sepsis
adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi respon tubuh
terhadap infeksi.
Dari tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah awal masuk ICU
(07/09/19) 98/67 mmHg, frekuensi pernapasan 26 kali permenit, denyut nadi 103
kali permenit, suhu 37,3 C dan penurunan kesadaran (E1M4Vett). Untuk
menegakkan diagnosis sepsis digunakan kriteria Qsofa, yaitu berupa laju
pernapasan > 22 kali permenit, perubahan kesadaran GCS < 13, dan tekanan darah
sistolik < 100 mmHg. Pasien dapat dikatakan sepsis jika 2 dari 3 kriteria qsofa
terpenuhi, terhitung sejak pasien masuk ke IGD. Pada pasien ini kriteria qsofa
sudah terpenuhi. Pasien juga memiliki riwayat infeksi paru yang disebabkan TB
lama aktif, dan membutuhkan alat bantu napas, ini menunjukkan bahwa adanya
disfungsi organ, dimana pada pasien ini kriteria SOFA sudah terpenuhi. Dari
pemeriksaan penunjang lainnya, seperti foto thorax didapatkan TB paru lama aktif
dan pada CT Scan terdapat lacunar infark serta multiple biparietalis brain atrophy.
Penyakit asidosis resipartorik, hypernatremia, hipoalbuminemia dan hipokalemia
juga ditemukan pada pasien ini dan pasien dilanjutkan terapi di ICU.
Pada pasien ini diberikan obat norepinefrin 0,05 mcg/kgbb/jam dan
Dobutamin 1 mcg/jam, obat ini berfungsi sebagai vasopresor dengan tujuan untuk
mempertahankan MAP pasien > 65 mmHg. Norepinefrin diberikan pada syok
hipotensi yang sangat berat sehingga diperlukan vasokonsktriktor perifer untuk
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak. Pasien juga
diberikan obat Levofloxacin 1x 750 mg dan Metronidazole 3x500 mg hal ini
sesuai dengan tinjauan pustaka, antibiotik yang digunakan adalah antibiotic
spectrum luas yaitu metronidazole dengan antibiotic golongan kuinolon.
Pada protokol sepsis, resusitasi cairan awal yang diberikan, yaitu 30
cc/kgBB intravena, pada pasien ini diberikan cairan 2245 ml/ 24 jam, yang
seharusnya pemberian cairan 1800 ml/ 24 jam. Alasan pemberian cairan 2245ml
dikarenakan adanya gangguan elektrolit yang dimiliki pasien sehingga pemberian
cairan pada pasien ini harus tetap dipantau hemodinamiknya.
Terapi suportif lainnya pada pasien ini adalah pemasangan ventilator,

pemasangan ventilator didahului dengan pemasangan intubasi, ett yang digunakan

adalah nomor 7, hal ini sesuai dengan teori untuk laki-laki dewasa adalah nomor

7-9. Setelah pasien diintubasi dilakukan penyambungan ke alat ventilator, jenis

mode yang digunakan pada pasien ini adalah SIMV yang menandakan bahwa

pada pasien ini dapat bernafas spontan tetapi belum normal sehingga masih

memerlukan bantuan.

Sedangkan untuk FASTHUGBID pada pasien, adalah sebagai berikut:

1. Feeding: diet D5% 6x100cc pipa NGT. Pemberian secara eneteral atau

melalui pipa NGT lebih disarankan dibandingkan dengan menggunakan

parenteral.
2. Sedasi dan Analgesia: untuk pemberian sedasi dan analgesi pada pasien ini

adalah Fentanyl 200 mcg/24 jam & Midazolam 2mg/jam,

3. Tromboemboli prophylaxis: pemberian obat pengencer darah juga belum

diberikan kepada pasien ketika masuk ICU.

4. Head of bed: kepala pasien diposisikan 30 derajat. Hal ini sesuai dengan

teori, elevasi kepala yang diberikan seharusnya mencapai 30 – 45 derajat

untuk mencegah terjadinya aspirasi.

5. Ulcer Prevention: pasien mendapatkan Lanzoprazole 2x30mg dan

Sucralfat syr 3x1 untuk melindungi terjadinya ulkus pada lambung.

6. Glucose Control: Pasien belum mendapatkan terapi kadar glukosa.

7. Spontaneous Breathing Trial: pasien diberikan terapi suportif berupa

ventilator untuk membantu pasien bernafas.

8. Bowel Function: Pasien belum mendapatkan terapi untuk menjaga fungsi

pencernaan, guna mencegah hipoperfusi splanik dan hipotensi sistemik

akibat pemberian obat antibiotic, vasopressor dan opioid.

9. Indwelling Catheter: pasien sudah dipasangkan kateter.

10. Antibiotik: Pasien diberikan antibiotic Ceftriaxone, Levofloxacin,

Metronidazol, Cefoperazon lalu juga dengan Streptomisin 1x1g IM dan

2FDC 2x3 Tab untuk pengobatan TB.


Daftar Pustaka

1. Kempker JA, Martin GS: The Changing Epidemiology and Definitions of


Sepsis. Clin Chest Med 2016. 37(2): 165-179.
2. Singer, Mervyn et al. 2016. The Third International Consensus Definitions
for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). J Am Med Assoc 315(8):801-10.
3. Rivers, E, Nguyent B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al.
Early goal directed therapy in the treatmenr of severe sepsis and septic
shock. N Eng J Med. 2001; 345 (19): 1368-77.
4. Dries JD, editors. Fundamental Critical Care Support. 5nd ed. Mount
Prospect: Third Printing;2014.
5. Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E,
Trzeciak S, et al. Severe sepsis and septic shock: review of the literature
and emergeny department management guidelines. Annals of Emergency
Medicine. 2006; 48(1):28-50.
6. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez
AL, et al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein c
for severe sepsis. N Eng J Med. 2001; 344 (10): 699-709.
7. Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: a continuous move
toward better care of patients with sepsis. JAMA. 2017; 317(8):807-8.
8. Mehta Y, Kochar G. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical
Care TSS. 2017; 1(1):3-5.
9. Howell MD, Davis AM. Management of sepsis and septic shock. JAMA.
2017;317(8):847-8
10. Remick DG. Pathophysiology of Sepsis. Am J Pathol. 2007;170(5):1435-
1444.
11. Hurford WE: Orotracheal intubation outside the operating room: anatomic
considerations andtechniques. Respir Care 1999;44:615.
12. Jaeger JM, Durbin CG Jr: Special purpose endotrachealtubes. Respir Care
1999;44:661.
13. Armstrong J, John J Karsli C: A comparison betweenthe GlideScope
Video Laryngoscope and directlaryngoscope in paediatric patients with
diffi cultairways—a pilot study. Anaesthesia 2010;65:353.
14. Cook TM: A new practical classifi cation of laryngeal view. Anaesthesia
2000;55:274.
15. Cooper R: Complications associated with the use of the GlideScope video
laryngoscope. Can J Anesth 2007;54:54.
16. El-Orbany M, Woehlck H, Ramez Salem M: Head and neck position for
direct laryngoscopy. Anesth Analg2011;113:103.
17. Dzulfikar DLH, Ismawaty N. Karakteristik Penderita yang Mendapatkan
Tindakan Ventilasi Mekanik yang Dirawat di Ruang Perawatan Intensif
Anak Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Diunduh dari:
http://isid.pdii/lipi.go.id/admin/jurnal/392077579.pdf. Diakses pada
September 2019
18. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscapo. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill Companies;
2008.
19. Byrd RP. Mechanical ventilation [serial on Internet]. Medscape. [update
26 April 2012; cited September 2019]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/304068-overview#showall.
20. Plowman SA, Smith DL. Exercise Physiology: for Health, Fitness, and
Performance. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William&Wilkins; 2008.
21. Laghi F, Tobin MJ. Indications for Mechanical Ventilation. In: Tobin MJ.
Principles and Practice of Mechanical Ventilation. 2nd ed. USA: McGraw-
Hill.Tobin MJ. Principles and Practice of Mechanical Ventilation. 2nd ed.
New York: McGraw-Hill Companies, Inc; 2006.
22. Wirjoatmodjo K. Anestesiologi dan Reanimasi: Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: DIKTI; 2000.
23. Hess DR, MaIntyre NR. Mechanical Ventilation. In: Jones & Bartlett
Learning, LLC. Diunduh dari
samples.jbpub.com/9781449655594/60038_CH22_462_500.pdf. Diakses
pada September 2019.

Anda mungkin juga menyukai