SEPSIS
PADA PASIEN INTENSIVE CARE
UNIT (ICU)
Pembimbing :
dr. Raden Doddy Timboel, M. Biomed, Sp. An
Disusun oleh :
Axel Jusuf (1765050177)
Rahanra David Derivat Pattiselanno (1865050025)
TINJAUAN PUSTAKA
Sepsis
Definisi Sepsis
juga merupakan sindrom penyakit akibat infeksi yang mengancam jiwa, ditandai
Kriteria Sepsis
yang mengalami infeksi didapatkan skor SOFA > 2 atau 2 maka sudah tegak
Skor qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria. Skor ini
dapat digunakan dengan cepat oleh klinisi untuk mengetahui adanya disfungsi
organ, untuk menginisiasi terapi yang tepat, dan sebagai bahan pertimbangan
untuk merujuk ke tempat perawatan kritis atau meningkatkan pengawasan. Jika
dari respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini,
kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok.
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal
ini akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan
mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi
endotelial. Isi plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor,
Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai koagulasi
yang paling dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera
SCCM dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Komponen dasar dari
penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik,
pada 263 pasien dengan infeksi dan hipotensi atau kadar serum laktat ≥ 4 mmol/L
yang dilakukan randomisasi dan diberikan resusitasi standar atau EGDT (133
Selama 6 jam di ruang IGD, pasien dengan terapi EGDT mendapatkan terapi
cairan, transfusi darah, dan inotropik lebih banyak dibandingkan grup kontrol.
EGDT,kelompok pasien ini memiliki tingkat ScvO 2 dan pH yang lebih tinggi
dengan kadar laktat dan defisit basa yang lebih rendah. Skor disfungsi organ lebih
baik secara signifikan pada kelompok pasien EGDT. Hal ini juga berhubungan
dengan masa inap rumah sakit yang lebih singkat dan penurunan komplikasi
Pada tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan 3 protokol lain
Guideline dimana pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi oksigen vena
sentral tidak dilakukan lagi. Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016,
diberikan terapi cairan kristaloid minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam atau
kurang. Dengan dihilangkannya target EGDT yang statik (tekanan vena sentral),
vena sentral secara spesifik dan teryata tekanan vena sentral memiliki manfaat
yang terbatas untuk menentukan respon tubuh terhadap cairan. Protokol ini
terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek lebih lanjut. Maka dari itu,
protokol ini telah berubah dari strategi resusitasi kuantitatif ke arah terapi
lain yang dapat digunakan seperti carotid doppler peak velocity, passive leg
raising, ekokardiografi.2,8,9
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan
sebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber penularan kuman. Dan
yang dapat digunakan yaitu antibiotik dengan spektrum luasseperti golongan beta-
volum sekuncup) atau statik (tekanan nadi, laju nadi). Pada suatu penelitian yang
FEEDING
Tujuan terapi nutrisi adalah dengan pemberian nutrisi membantu
stress oxidative, dan memodulasi respons imun. Hal ini dapat dicapai dengan cara
nutrisi enteral dini, pemberian makro dan mikronutrien yang sesuai dan kontrol
kcal/ kg/hari kalori & 1,5 g/kg protein pada fase akut, 25-30 kcal/kg/hari kalori &
Pemberian nutrisi enteral di tunda bila terdapat kondisi berikut: Obstruksi usus,
syndrome, high output fistula. Tidak adanya bising usus atau tanda motilitas usus
(flatus atau BAB) bukan merupakan alasan untuk tidak menginisiasi nutrisi
melalui oral, pipa nasograstrik atau pipa post pylorus (pipa nasoduodenal,
hingga 500 kcal/hari atau 50- 70% total kebutuhan). Nutrisi ditingkatkan bila
gejala klinis membaik atau tidak ada gejala klinis baru. Bila terdapat tanda tanda
abdomen (TIA), pemberian nutrisi enteral sebaiknya tidak ditingkatkan. Bila tidak
hingga>80% sesuai toleransi setelah 48-72 jam pertama. Nutrisi yang diberikan
ditargetkan tidak untuk mencukupi target kalori penuh, hal ini disebabkan karena
kebutuhan kalori dan protein pada fase awal dari sakit kritis tidak diketahui
sepenuhnya.2,7,8
akses perifer atau vena central dan direkomendasikan jika nutrisi enteral tidak
suplemen nutrisi parenteral berbeda antara masing masing panduan klinis. ASPEN
1 minggu pertama di ICU pada pasien risiko rendah malnutrisi (NRS <3 atau
NUTRIC Score <5), sedangkan pada pada pasien dengan risiko malnutrisi tinggi
(NRS >3 atau NUTRIC Score >5) atau pasien malnutrisi berat disarankan untuk
inisiasi suplemen nutrisi parenteral pada hari ke-2 (48-72 jam) ICU
dapattercapai.2,8,9
SEDASI2,8,12
misalnya penggunaan ventilator lebih cepat dan lebih cepat rawat ruang
ICU
otot
e. Pilihan sedasi
f. Disarankan menggunakan propofol atau dexmetomidin pada
ANALGESIA2,9
1. Angka KejadianNyeri
b. Nyeri pada pasien operasi jantung biasanya sering terjadi tetapi tidak di
terapi secara adekuat, wanita lebih merasa nyeri dibanding kan laki-laki
2. PenilaianNyeri
parameter tunggal
d. Disarankan tanda vital sebagai awal untuk menilai nyeri pada pasien
3. TerapiNyeri
c. Disarankan opioid intra vena sebagai obat pilihan utama untuk nyeri non-
neuropatic pain
aneurisma aorta
Thromboembolism Prophylactic2,8,9
pemberian profilaksis tergantung pada kondisi klinis pasien dan penyakit yang
mendasarinya.15
(aPTT) >1,5
Perdarahanaktif
fondaparinux .
maka :
Compression (IPC).2,9
kepala tempat tidur dinaikkan antara 30 dan 45 derajat untuk membatasi risiko
bukti rendah).2,13
tidur hanya dipantau sekali sehari, dan pasien yang tidak mencapai elevasi
Ulcer Prevention
profilaksis stress ulcer diberikan kepada pasien dengan sepsis atau syok septik
yang memiliki faktor risiko untuk perdarahan saluran cerna (rekomendasi kuat,
(PPI) atau histamin-2 receptor antagonist (H2RA) jika ada indikasi untuk pro-
Glucose Control
Pengendalian kadar gula darah pasien sepsis berat yang dirawat di ICU
dilakukan dengan pemberian insulin bila hasil 2 kali pemeriksaan kadar gula
darah berturut turut >180 mg/dL. Pemberian insulin harus mentargetkan batas
atas kadar gula darah ≤ 180 mg/dL daripada target atas ≤ 110 mg/dL (grade
1A).2,6
Pemantauan kadar gula darah dilakukan setiap 1-2 jam sampai kadar
gula darah dan dosis pemberian infusi insulin stabil, dan selanjutnya
pemantauan dilakukan tiap 4 jam bila kadar gula darah telah stabil (grade 1C).
Pemeriksaan kadar gula darah dengan sampel darah yang diambil dari
pembuluh darah kapiler, penilaian hasil pemeriksaan harus hati hati karena
kemungkinan tidak dapat menggambarkan nilai kadar gula darah arteri atau
alat bantu pernapasan atau ventilator dan diperkirakan proses ini memerlukan
hampir 40% dari keseluruhan proses saat di ventilator. Dikutip dari Zein H dkk
bahwa keterlambatan dalam melakukan penyapihan akan memberikan
merupakan bagian dari cara untuk melakukan proses penyapihan dan untuk
melakukan SBT dapat melalui beberapa cara yaitu tanpa bantuan tekanan
bantuan tekanan inspirasi (Pressure support 5-8 cmH20) lebih baik dibanding
dengan menggunakan T piece atau CPAP terutama pada kasus pasca gagal
melakukan SBT harus dipastikan apakah penderita siap untuk dilakukan proses
penyapihan.15,16
Bowel Function
splanchnic pada penyakit kritis sangatlah penting, mengingat usus sangat rentan
terhadap aliran darah yang tidak adekuat untuk periode waktu yang pendek.
akibat aliran darah yang tidak adekuat (hipoperfusi atau iskemia) dan proses
maka akan mencegah kerusakan sistem barrier usus. Pemberian cairan selain
Indwelling Catheter
sumber sepsis atau syok septik. Alat intravaskular yang diduga menjadi
sumber sepsis harus segera dilepas setelah akses vaskular lainnya terpasang.
Pada kondisi bukan karena syok septik dan fungemia, infeksi selang kateter
Infeksi saluran kemih adalah jenis infeksi yang paling umum terkait
kateter urin. Faktor risiko yang paling penting untuk berkembangnya infeksi
penggunaan jangka panjang kateter urin. Setiap hari selama kateter urin masih
setengah dari populasi pasien yang dipasang kateter urin memiliki indikasi
kateter hanya boleh digunakan untuk indikasi yang tepat dan harus dilepas
harus segera diidentifikasi atau diekslusi pada pasien sepsis atau syok
septik.
pelepasan (penghentian) segera akses intravaskuler yang dapat menjadi
sumber sepsis atau syok septik setelah akses vaskular lainnya telah ter-
INTUBASI ENDOTRAKEA
Laryngoscope
Laryngoscope merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk
memeriksa laring dan memfasilitasi intubasi. Pada bagian gagang, biasanya terdiri
dari tempat baterai untuk menayalakan lampu yang ada pada blade. Jenis blade
Macintosh dan Miller merupakan jenis design yang cukup terkenal, dimana
Macintosh tipe yang bergelombang sedangkan Miller adalah tipe yang lurus.
Pemilihan laryngoscope bergantung pada dokter dan anatomi pasien.13,15
Teknik Laryngoscopy Langsung dan Tidak Langsung serta Ekstubasi
Indikasi untuk intubasi
Pipa Endotrakeal (ETT) digunakan untuk melindungi jalan napas dan
sebagai akses jalan napas. Intubasi diindikasikan untuk pasien yang berisiko
terhadap kejadian aspirasi lambung dan pasien yang menjalani pembedahan pada
daerah leher dan kepala.13,14
Orotrakeal intubasi
Pegang laryngoscope menggunakan tangan kiri. Kemudian dengan posisi
mulut pasien terbuka, masukan blade dari sisi kiri dengan perlahan untuk
mencegah terjadinya gigi yang patah. Kemudian geser lidah ke sisi kiri
menggunakan blade. Jika berhasil memindahkan lidah ke sisi sebelah kiri, maka
pandangan akan lebih jelas untuk menempatkan ETT. ETT dipegang
menggunakan tangan kanan, dan secara perlahan dimasukan melalui pita suara
menuju trakea bagian atas tetapi terletak di atas laring. Kemudian laryngoskop
diambil secara hati-hati untuk menghindari gigi patah. Lalu cuff dikembangkan
dengan menggunakan spuit cuff, udara yang diberikan sesuai dengan yang
dibutuhkan untuk membuat sekat agar tidak ada kebocoran udara ke jaringan
mukosa trakea saat diberikan ventilasi tekanan udara positif. Jika diberikan
tekanan udara lebih dari 30 mmHg, maka dapat menghambat aliran kapiler dan
mencederai trakea. Menekan pilot balloon dengan tangan bukanlah metode yang
lazim dalam menentukan apakah tekanan yang diberikan pada cuff sudah cukup
atau kelebihan. Setelah intubasi, segera lakukan auskultasi pada regio thorax dan
epigastrium, pengecekan menggunakan alat kapnograf merupakan uji definitif
untuk memonitor dan memastikan lokasi ETT pada intratrakea. Apabila terdapat
keraguan, seperti apakah pipa terdapat pada esofagus, ulangi laryngoskop untuk
memastikan penempatan ETT. Volume tidal-akhir CO2 tidak akan diproduksi jika
tidak ada cardiac output. Selanjutnya, pipa difiksasi untuk mengamankan posisi
ETT agar tidak berubah-rubah. Lokasi pipa yang tepat dapat dipastikan lagi
dengan melukan palpasi cuff pada sternum (sternal notch) sambil melakukan
kompresi pada pilot balloon dengan menggunakan tangan yang lain. Cuff
seharusnya tidak dapat dirasakan diatas daerah kartilago cricoid karena dapat
memicu terjadinyahoarseness dan meningkatkan risiko ekstubasi tiba-tiba,
terutama saat postoperatif. Posisi ETT juga dapat dilihat dengan menggunakan
foto thorax.11,12,14
Hal yang sudah dijelaskan diatas, dilakukan pada pasien dengan
penurunan kesadaran. Intubasi oral tidak dilakukan pada pasien yang sadar dan
sehat. Sedasi intravena, penggunaan spray lokal anastetik pada oropharynx,
regional nerve block akan lebih memudahkan. Jika intubasi gagal, seharusnya
tidak diikuti dengan pemasangan di tempat yang sama. Beberapa perubahan yang
harus diperhatikan untuk meningkatkan keberhasilan, seperti reposisi pasien,
mengubah ukuran ETT, menggunakan stilet, memilih blade yang berbeda,
menggunakan indirect laryngoscope, mengganti menggunakan rute nasal, atau
meminta bantuan dari dokter anastesi lain. Jika pasien juga sulit untuk dilakukan
ventilasi dengan masker, gunakan alternatif manajemen jalan nafas lainnya,
seperti: LMA, Combitube, cricothyrotomy, tracheostomy. Terdapat guideline
yang disarankan oleh ASA (American Society of Anesthesiologists) untuk
tatalaksana untuk kesulitan jalan napas.2,11,15
Teknik Ekstubasi
Kerap sering terjadi, ekstubasi seharusnya dilakukan ketika pasien dalam
keadaan teranastesi atau pasien sadar. Pada kasus lain, pemulihan yang adekuat
dan cepat dari penggunaan muscle relaxan dilakukan ekstubasi terlebih dahulu.
Jika menggunakan pelumpuh otot, pasien setidaknya mempunyai periode
terkontrol dengan ventilasi mekanik dan diberhentikan sebelum dilakukan
ekstubasi. Ekstubasi selama teranestesi ringan dihindari karena dapat
meningkatkan risiko laryngospasme. Perbedaan antara teranestesi dalam dan
ringan biasanya terlihat ketika dilakukan suction pada daerah faring, berbagai
macam reaksi terhadap suction (contoh batuk), adalah tanda dari anestesi ringan,
sementara itu jika tidak ada reaksi maka pasien berada dalam anastesi dalam.
Penggunaan ETT pada pasien asma yang terbangun dapat memicu terjadinya
bronkospasme. Beberapa praktisi setuju untuk menurunkan tingkat kejadian
tersebut adalah dengan menggunakan 1.5mg/kg lidokain intravena 1 – 2 menit
sebelum dilakukan suction dan ekstubasi, bagaimanapun ekstubasi selama anastesi
dalam lebih cocok pada pasien yang tidak dapat mentolerir efek terebut. Baik saat
pasien dalam keadaan teranastesi atau sadar, daerah faring harus disuction
sebelum ekstubasi untuk menurunkan postensi aspirasi sekret maupun darah.
Sebagai tambahan, pasien diberikan ventilasi dengan 100% oksigen sebagai
cadangan jika setelah proses ekstubasi jalan nafas pasien menjadi susah. Hal
pertama yang dilakukan untuk memulai ekstubasi adalah melepaskan fiksasi pipa
ETT dan cuff dikempiskan. Pipa ETT diambil dengan pelan-pelan dan hati-hati
kemudian gunakan face mask untuk mengirimkan oksigen. Pengiriman oksigen
dengan face mask dipantau saat periode pemindahan ke ruang perawatan
postanastesi.14-16
Ventilasi Mekanik
Prinsip Dasar
Mode Ventilasi
Ventilasi tekanan positif berarti tekanan jalan napas diterapkan pada jalan
napas pasien melalui endotracheal atau tracheostomy tube. Tekanan positif
tersebut menyebabkan gas mengalir masuk ke dalam paru hingga napas ventilator
dihentikan. Karena tekanan jalan napas turun menjadi 0, rekoil elastik paru
menyebabkan ekshalasi pasif dengan mendorong volume tidal keluar. 18 Pada
kebanyakan kondisi, inisiasi mode ventilasi haruslah assist-control mode, terdapat
jaminan mengenai volume tidal dan kecepatannya. Pasien dapat melakukan usaha
inspirasi, kemudian ventilator merasakan penurunan pada tekanan sirkuit dan
mengantarkan volume tidal yang sesuai dengan yang telah diatur. Dengan cara ini,
pasien dapat mengatur pola napas yang nyaman dan memicu napas tambahan
yang dibantu oleh mesin, di atas kecepatan yang telah diatur. Bila pasien tidak
menginisiasi pernapasan, secara otomatis ventilator mengantarkan volume tidal
dan kecepatan napas yang telah diatur, menjamin minute ventilation minimum.
Pada mode ini, usaha napas dikurangi sampai jumlah inspirasi yang dibutuhkan
untuk memicu siklus inspirasi mesin. Pemicu ini disesuaikan dengan pengaturan
sensitivitas mesin terhadap derajat penurunan tekanan yang diinginkan sirkuit.18
FIO2 Inisial
Prioritas utama dalam memulai ventilasi mekanik adalah oksigenasi
efektif. Setelah intubasi, FIO2 harus 100% sampai oksigenasi arterial adekuat.
Periode pendek dengan FIO2 100% tidak berbahaya pada pasien yang mendapat
ventilasi mekanik, malah memberi beberapa keuntungan. Pertama, FIO2 100%
melindungi pasien dari hipoksemia bila terdapat masalah akibat intubasi yang
tidak dikenali. Kedua, menggunakan perhitungan PaO2 dan FIO2 100%, dokter
dapat mengkalkulasi FIO2 dan shunt selanjutnya. Menghitung derajat shunt
dengan FIO2 dapat menggunakan rumus: 700 mmHg dikurangi hasil PaO2, setiap
100 mmHg shunt 5%. Shunt 25% harus dipertimbangkan menggunakan PEEP.18
Oksigenasi inadekuat meskipun pemberian oksigen 100%, harus dicari
komplikasi intubasi endotrakeal atau napas tekanan positif (pneumothoraks). Bila
tidak terdapat komplikasi maka PEEP dibutuhkan untuk mengatasi patologi shunt
intrapulmoner. Karena hanya sedikit penyakit yang dapat menyebabkan shunt
intrapulmoner, maka harus diperkecil kemungkinan kondisi:18
- Alveolar kolaps – atelektasis mayor
- Alveolar terisi benda selain gas – pneumonia lobaris
- Protein dan air – ARDS
- Air – gagal jantung kongestif
- Darah – perdarahan (hemorrhage)
Indikasi
Penggunaan ventilasi mekanik diindikasikan ketika ventilasi spontan pada
pasien tidak adekuat untuk memelihara kehidupannya.18,21 Ventilasi mekanik juga
diindikasikan sebagai profilaksis terhadap kolaps yang akan terjadi dari fungsi
fisiologis lainnya, atau pertukaran gas yang tidak efektif di dalam paru. Contoh
indikasi medis penggunaan ventilasi mekanik, yaitu:
- Gagal Napas
Pasien dengan distres pernapasan gagal napas, henti napas
(apneu), maupun hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian
oksigen merupakan indikasi ventilator mekanik. Idealnya, pasien telah
mendapat intubasi dan pemasangan ventilator mekanik sebelum terjadi
gagal napas yang sebenarnya. Distres pernapasan disebabkan
ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenasi. Prosesnya dapat
berupa kerusakan paru (seperti pada pneumonia) maupun karena
kelemahan otot pernapasan dada (kegagalan memompa udara karena
distrofi otot).21
Gagal napas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: gagal napas
hipoksemia dan gagal napas hiperkarbia. Gagal napas hipoksemia
disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut, yaitu: edema paru,
pneumonia, perdarahan paru, dan respiratory distress syndrome yang
menyebabkan ketidaksesuaian antara ventilasi-perfusi dengan shunt.
Gagal napas hipoksemia ditandai dengan SaO2 arteri <90%, meskipun
fraksi oksigen inspirasi > 0.6. Tujuan dari pemasangan ventilasi
mekanik pada kondisi ini yaitu untuk menyediakan saturasi oksigen
yang adekuat melalui kombinasi oksigen tambahan dan pola ventilasi
tertentu sehingga meningkatkan ventilasi-perfusi dan mengurangi
intrapulmonary shunt.
Sedangkan, gagal napas hiperkarbia disebabkan oleh kondisi
yang menurunkan minute ventilation atau peningkatan dead space
fisiologis sehingga ventilasi alveolar menjadi tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metabolik. Kondisi yang berhubungan dengan
gagal napas hiperkarbia, yaitu: penyakit neuromuscular seperti
miastenia gravis, ascending polyradiculopathy, miopati, dan penyakit-
penyakit yang menyebabkan kelelahan otot pernapasan karena
peningkatan kerja, seperti: asma, PPOK, dan penyakit paru restriktif.
Kondisi gagal napas hiperkarbia ditandai dengan PCO2 > 50 mmHg
dan pH arteri < 7.30.18,21
- Apneu dengan henti napas, termasuk kasus akibat intoksikasi
Pasien apneu, seperti pada kondisi kerusakan sistem saraf pusat
katastropik, membutuhkan tindakan yang cepat untuk pemasangan
ventilator mekanik.18,21
- Syok
Semua jenis syok menyebabkan proses metabolik seluler yang
akan memicu terjadinya jejas sel, organ failure, dan kematian. Syok
akan menyebabkan paling tidak tiga respon pernapasan, yaitu:
peningkatan ruang mati ventilasi, disfungsi otot-otot pernapasan, dan
inflamasi pulmoner. pasien dengan syok biasanya dilaporkan sebagai
dispneu. Pasien juga biasanya mengalami takipneu dan takikardi,
asidosis metabolik atau alkalosis respiratorik dengan beberapa derajat
kompensasi respiratorik.18,21
- Insufisiensi Jantung
Tidak semua pasien dengan ventilator mekanik memiliki
kelainan pernapasan primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan
CHF, peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernapasan
(sebagai akibat peningkatan kerja napas dan konsumsi oksigen) dapat
mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilator untuk
mengurangi beban kerja sistem pernapasan sehingga beban kerja
jantung juga berkurang.18
- Disfungsi Neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang berisiko mengalami
apneu berulang juga mendapatkan ventilator mekanik. Selain itu,
ventilator mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan napas pasien.
Ventilator mekanik juga memungkinkan pemberian hiperventilasi pada
klien dengan peningkatan tekanan intrakranial.18
Tujuan Penggunaan Ventilasi Mekanik
Pada dasarnya tujuan dari ventilasi mekanik adalah untuk menjaga supaya
pasien tetap hidup dan terhindar dari komplikasi iatrogenik sehingga kejadian
presipitasi dapat teratasi.22 Dalam mengatasinya tentu diperhatikan penyakit utama
yang mendasari kejadian tersebut:
1. Apneu
Tujuan penggunaan ventilator adalah mengembalikan ventilasi.2
2. Gagal napas (respiratory distress)
Pada studi yang dilakukan pada binatang, peningkatan beban
pernapasan akan menyebabkan kerusakan otot napas, retensi CO2, dan
akhirnya menyebabkan kelelahan otot napas (muscle fatigue). Hal ini
diperkirakan yang menjadi alasan kerusakan otot napas pada pasien
PPOK dan pasien yang sekarat saat diberikan ventilasi mekanik. Pada
sepsis, peningkatan usaha napas terutama disebabkan oleh kerusakan
otot napas. Walaupun telah dilakukan penelitian, peran kelelahan
kontraksi dalam perkembangan gagal napas masih belum diketahui.
Kontraksi diafragma telah dikuantifikasi secara objektif (melalui
stimulasi nervus phrenikus) pada pasien dengan gagal napas akut (pada
penghentian penggunaan ventilasi mekanik) dan tidak ditemukan
perubahan kontraksi diafragma.22 Oleh sebab itu, penggunaan
ventilator dan asistensi ventilator dalam mengurangi beban (load) otot
napas, dan mengurangi stres otot masih dipertanyakan. Bahkan,
insufficient unloading ataupun excessive unloading sama-sama
berbahaya bagi pasien.6 Hampir semua pasien gagal napas akut
mengalami peningkatan usaha napas, dan juga mengalami beberapa
masalah lain: pertukaran gas abnormal, gangguan perfusi otot,
disfungsi otot yang diinduksi sepsis. Pengurangan beban napas dapat
memperbaiki hipoksemia dan hiperkapnia.22
3. Hipoksemia berat
Ventilasi mekanik biasanya dilakukan dengan oksigen 100%. Respon
terhadap oksigen 100% dapat membantu dalam identifikasi
patofisiologi yang mendasari, diagnosis banding, dan terapi.
Contohnya, bila O2 gagal meningkatkan PaO2 pada pasien PPOK,
maka masalah yang mendasari bukan hanya V/Q mismatch (seperti
pada bronkitis akut), malah, pasien memiliki pirau/ shunt. Penyebab
umum pirau adalah pneumonia, gagal jantung kongestif, atelektasis
lobaris, emboli paru.22
Pirau
Pasien dengan peningkatan pirau biasanya menunjukkan perbaikan bila
digunakan PEEP karena penurunan pirau sekunder dari pengembalian atelektasis
dan redistribusi cairan ekstravaskular paru dari alveoli ke peribronkial dan
perivaskular. Bila curah jantung menurun (dengan PEEP), hal ini juga
berkontribusi dalam pirau.22 PEEP menyebabkan peningkatan ruang rugi melalui
beberapa mekanisme. Pertama, peningkatan volume paru mendesak traksi radial
pada jalan napas, meningkatkan volume dan meningkatkan ruang rugi anatomis.
Kedua, peningkatan tekanan jalan napas cenderung mengalihkan aliran darah dari
unit paru yang terventilasi dengan menekan kapiler. Hal ini menyebabkan rasio
VA/Q yang tinggi (bahkan area yang tidak mendapat perfusi) sehingga
memperbesar ruang rugi alveolar. Ruang rugi ini biasanya berada di bagian atas,
pada bagian arteri pulmonalis relatif renda karena efek hidrostatik. Bila tekanan
kapiler di bawah tekanan jalan napas (airway pressure), kapiler dapat kolaps
seluruhnya, dan paru tersebut tidak mengalami perfusi.22
Gambar 6. Efek peningkatan tekanan jalan napas pada bagian kapiler
paru.6 Kiri: normal, kanan: peningkatan tekanan alveolar melebihi tekanan
kapiler yang menyebabkan kapiler kolaps.
Dua faktor yang menyebabkan kapiler kolaps: tekanan jalan napas yang
sangat tinggi dan aliran balik vena (venous return) yang rendah. Dantzker et al,
menunjukkan peningkatan PEEP dapat menginduksi 2 pola distribusi VA/Q.
Sebagian pasien tidak mengalami perubahan, sebagian mengalami perluasan
distribusi ventilasi – peningkatan rasio VA/Q dan ruang rugi alveolar. Pada
beberapa pasien, PEEP tidak memberikan perbaikan bahkan dapat menurunkan
PaO2. Efek ini disebabkan oleh peningkatan ruang rugi ventilasi, pengalihan
aliran darah dari yang terventilasi dengan baik ke bagian yang tidak terventilasi,
dan penurunan curah jantung (terutama bila volume darah yang bersirkulasi
menurun). Tidak adanya oksigenasi dengan PEEP juga terjadi pada foramen ovale
yang paten karena PEEP dapat meningkatkan pirau kanan-ke-kiri.22 Karena PEEP
dapat menurunkan curah jantung, efek ini harus dipikirkan pengaruh pengantaran
O2 (O2 delivery). Mixed venous PO2 dapat mewakili pengantaran O2. Hal yang
dapat merugikan dalam penggunaan PEEP adalah menurunkan aliran darah ke
limpa dan ginjal, barotrauma, dan kerusakan paru yang diinduksi oleh ventilator. 22
Cara lain untuk mengembalikan hipoksemia berat termasuk pemberian surfaktan
eksogen, suplementasi oksida nitrit, posisi tiarap (prone), dan agen inflamatori.
Cara ini dapat meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan ARDS, namun tidak
memperbaiki outcome pasien.22
Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (VA/Q mismatch)
Secara teori, pasien dengan hipoksemia sekunder karena VA/Q mismatch
dapat diatasi dengan meningkatkan FIO2 tanpa ventilasi mekanik. Pada
kenyataannya, pasien selalu mengalami peningkatan kebutuhan ventilasi. Banyak
pasien dengan ketidakseimbangan VA/Q yang hiperinflasi (PPOK atau status
asmatikus) membutuhkan ventilasi mekanik. Hiperinflasi menurunkan efisiensi
otot respirasi dalam menghasilkan tekanan, yang juga berkontribusi dalam gagal
napas.22
Pada studi yang dilakukan pada pasien PPOK eksaserbasi, ventilasi
mekanik meningkatkan VA/Q mismatch dengan meredistribusi aliran darah
menjauhi dari area VA/Q rendah. penyebaran distribusi juga membaik. Ruang
rugi atau ventilasi VA/Q yang tinggi tidak berubah. Pasien dengan peningkatan
VA/Q mismatch berhubungan dengan PPOK atau ARDS dapat diperbaiki dengan
PEEP namun pada pasien status asmatikus, penggunaan PEEP sangat berbahaya.22
4. Hiperkapnia berat
Hiperkapnia berat menekan sistem saraf pusat dan keluaran respirasi
motorik, sehingga memperparah hiperkapnia. Hiperkapnia juga
menekan kontraksi diafragma. Asidosis terlebih menekan kontraksi
otot respirasi daripada hiperkapnia.22 Tujuan pemberian ventilasi
mekanik adalah memperbaik VA, dan penggunaannya spesifik bagi
setiap pasien. Pada pasien hiperkapnia dengan status asmatikus atau
PPOK, pemanjangan waktu pernapasan secara konstan menyebabkan
beban yang signifikan. Bila ventilator diatur untuk mengantarkan
volume tidal yang kecil dengan frekuensi napas cepat, pemanjangan
waktu yang konstan akan mengganggu pengosongan paru, dan terjadi
hiperinflasi. Kemudian, volume tidal yang kecil tidak mencapai
ventilasi adekuat, karena ruang rugi fisiologis meningkat. Volume tidal
yang lebih besar dapat mencapai ventilasi alveolar yang adekuat tetapi
membutuhkan waktu ekspirasi yang lebih lama daripada volume tidal
yang kecil. Dalam mengatasi agar ekshalasi memiliki waktu yang
cukup adalah dengan meningkatkan aliran inspirasi. Peningkatan aliran
mengurangi waktu untuk inflasi mekanik dan bila kecepatan respirasi
tetap konstan, pemanjangan waktu dapat tersedia untuk ekshalasi.
Peningkatan aliran inspirasi biasanya berhubungan dengan
peningkatan kecepatan respirasi. Namun, walaupun penurunan dalam
siklus respirasi, berkurangnya waktu inspirasi diikuti oleh
bertambahnya waktu untuk ekshalasi – yang menurunkan usaha
inspirasi.22 Gangguan neuromuskular seperti sindroma guillian barre,
miastenia gravis, dan kerusakan korda spinalis (spinal cord injury)
dapat menyebabkan gagal napas hiperkapnia. Pasien ini biasanya
fungsi mekanis parunya normal tidak seperti PPOK atau asma. Waktu
konstan yang normal memberikan kemudahan dalam mengatur
ventilator.22 Ventilasi yang berlebihan (overzealous) dapat
menyebabkan komplikasi yang serius, termasuk alkalosis yang
mengancam nyawa, penurunan perfusi serebral, dan instabilitas
kardiovaskular. Pasien yang sebelumnya hiperkapnia sangat rentan
terhadap komplikasi tersebut. Bila semakin berat, alkalosis biasanya
diikuti oleh spasme arteri koroner, konfusi, mioklonus, asteriksis, dan
kejang.22
Alkalosis respirasi menurunkan ion kalsium. Setiap peningkatan pH
0,1 unit, ion kalsium turun 0,05 mmol/liter. Perubahan ini sedang dan
tidak konsisten bila dihitung untuk meningkatkan eksitabilitas perifer
dan sentral. Parestesia, spasme karpal-pedal, tetani, terlihat pada
hiperventilasi akut, disebabkan oleh efek langsung alkalosis respirasi
pada neuron. Efek lain dari alkalosis menginduksi peningkatan afinitas
hemoglobin terhadap oksigen dan pada shunt dapat memperparah
VA/Q (sekunder dari penurunan vasokontriksi hipoksik pulmonal).
Presipitasi penurunan PaCO2 menurunkan aliran darah ke sistem saraf
pusat, dan berkontribusi pada konfusi dan penurunan kesadaran pada
pasien hiperventilasi.22
Ketidakstabilan hemodinamik yang berhubungan dengan
tatalaksana ventilator yang berlebihan pada pasien hiperkapnia
(pemanjangan waktu konstan) paling sering adalah hipotensi.
Hipotensi biasanya terjadi karena peningkatan PEEP intrinsik setelah
intubasi – walaupun penurunan tonus simpatis juga disebabkan oleh
penurunan pada PaCO2 dan pemberian sedasi. Pada kondisi ini,
sirkulasi biasanya dapat kembali sempurna dengan menghentikan
ventilator selama ≥30 detik dan mengembalikan ventilasi yang
tersisa.22 Pada tahun 1940 dan 1950, pembersihan CO2 secara cepat
setelah hiperkapnia dapat menyebabkan hipotensi dan aritmia
ventrikular yang berbahaya (percobaan pada anjing). Hiperkalemia
juga diperkirakan terlibat. Namun, studi terakhir menunjukkan bahwa
hal tersebut tidak benar. Prys-Robert et al, menyebutkan bahwa tidak
terdapat perubahan gambaran EKG pada penurunan PaCO2 antara 80-
20 mmHg lebih dari 5 menit dalam keadaan anestesia. Beberapa dokter
menyebutkan bahwa alkemia berhubungan dengan aritmia
supraventrikular dan ventrikular aritmia, hanya muncul pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik. Penurunan ion magnesium dapat
menyebabkan iritabilitas jantung masih tidak jelas. Ventilasi
berlebihan, terlalu lama, menyebabkan pembuangan bikarbonat oleh
ginjal. Pada pasien yang menahan CO2, stabil secara klinis,
pembuangan bikarbonat oleh ginjal akan meningkatkan kebutuhan
ventilasi selama pelepasan ventilator.22
5. Post operatif gagal napas dan trauma
Pasien yang mengalami hipoksemia post operasi biasanya
ditatalaksana dengan oksigen tambahan dan terapi fisik dada (termasuk
siprometri insentif). Sekitar 10% pasien yang menjalani operasi
abdomen mayor elektif, pemberian oksigen tambahan dan terapi fisik
dada tidak mencegah gagal napas. Squadrone et al melakukan studi
randomisasi, hasilnya, penggunaan CPAP mengurangi penggunaan
intubasi, komplikasi (pneumonia, infeksi, dan sepsis), dan ICU. Hasil
ini setelah mengeksklusi pasien PPOK, asma, sleep apneu, gagal
jantung, hiperkapnia, dan asidosis respirasi. Hasil penelitian ini tidak
dapat diterapkan pada pasien yang berisiko tinggi atelektasis setelah
operasi.
Pasien dengan trauma multipel dapat mengalami flail chest. Banyak
pasien yang mengalami gagal napas secara sekunder dari kerusakan
paru atau patofisiologi lain yang mendasari dan membutuhkan
ventilasi mekanik. Flail chest sendiri bukan indikasi untuk ventilasi
mekanik. Pada suatu studi randomisasi, pasien dengan flail chest dan
mengalami hipoksemia serta gagal napas, penggunaan CPAP
noninvasif menurunkan motralitas dan infeksi nosokomial
dibandingkan dengan pasien yang diintubasi dan menggunakan
ventilator.22
6. Syok
Pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil, perfusi jaringan
termasuk sistem saraf pusatnya terganggu, 2 tujuan penggunaan
ventilasi mekanik adalah mencapai jalan napas yang adekuat dan
menurunkanVO2. Dengan mengistirahatkan otot napas dan dilakukan
sedasi, ventilasi mekanik dapat menurunkan VO2 dan menurunkan
tonus simpatis. Efek ini dapat memperbaiki perfusi jaringan.22
Identitas
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 61 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan terakhir : SMP
Status : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Pangkalan Jati, Cipinang Melayu No.39 RT 06, RW 04,
13620
Tanggal masuk RS : 5/09/2019
Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD Pasien masuk dengan keluhan lemas seluruh badan +/- 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien masih bisa aktivitas biasa,
nafsu makan menurun, demam +, mual +, muntah 1x, BAB/BAK biasa. Sejak
pagi ini pasien terlihat lemas, acuh tak acuh dan tidak mau berbicara.
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 139/79 mmHg
Frekuensi nadi : 62 kali/menit
Frekuensi nafas : 16 kali/menit
Suhu : 38,5 °C
Thoraks
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi (+),
penggunaan otot bantu nafas (+)
Palpasi : vocal fremitus sulit dinilai
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : BND vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/- BJ I&II reguler
murmur - gallop -
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : BND vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-
Perkusi : Timpani, nyeri ketok -
Palpasi : Supel, nyeri tekan -
Ekstremitas
Akral : Hangat
Edema : Negatif pada ekstremitas atas dan bawah petechie (-)
Ro. Thorax
Kesan : TB paru lama aktif
CT Scan
Kesan: Lacunar infark, multiple biparietalis brain atrophy
EKG
Kesan : Atrial Flutter, PAC
Diagnosis
1. SNH (perbaikan)
2. Peritonitis perforasi (post laparotomi eksplorasi)
3. TB paru aktif curiga relaps, susp. TB usus
4. HT gr 1
Tatalaksana
IVFD : RL 20 TPM/24 jam
Diet : Lunak
Medikamentosa:
1. Ranitidin 2x1 C (PO)
2. Sanmol 500mg tab 3x1 (PO)
3. Sucralfat Syr 3x1 C (PO)
LABORATORIUM
Follow up ruang rawat inap hari 1
Tanggal S/ O/ A/ P/
06/09/2019 Sesak (+) KU: TSB Suspect CVD non IVFD RL 20TPM/24jam
Gelisah (+) GCS: Hemoragik Diet: SV 6x100 cc
E2M4V2
Low Intake Medikamentosa:
Kes: Delirium
Hipokalemi Ranitidin 2x1 C (PO)
TD:
Sanmol 500mg tab 3x1 (PO)
100/40mmHg
N: 88x Sucralfat Syr 3x1 C (PO)
Thorax:
Retraksi (+),
Otot bantu
nafas (+)
BND
vesikuler
Rhonki +/+
basal paru,
Wheezing -/-
BJ I&II
reguler
murmur -
gallop -
Abdomen:
Defens
Muscular +
Nyeri Tekan +
BU+ 2x/min
Ekstremitas:
Edema
tungkai -/-
Follow up ruang perawatan hari ke 2
Tanggal S/ O/ A/ P/
07/09/2019 Penurunan KU: TSB Suspect CVD non IVFD RL 20TPM/24jam
kesadaran GCS: Hemoragik Diet: SV 6x100 cc
E3M4V2
TB Paru Curiga Relaps Medikamentosa:
Pro Kes: Delirium
Peritonitis generalisata Ranitidin 2x1 C (PO)
Laparotomi TD: 100/40
ec perforasi hollow Sanmol 500mg tab 3x1 (PO)
Eksploartif N: 100x/m
viscus organ Sucralfat Syr 3x1 C (PO)
Hari ini RR: 28x
S: 37.5C Hipokalemi Citicolin 500 mg (PO)
Pindah ke Neurologis: Acetylcisteine 3x200mg (PO)
Hemiparese
ICU post Miniaspi (STOP)
dextra, N.VII
laparotomi SNL dextra Inhalasi Ventolin 3x/hr
mendatar ,
+ pasang Acc Form TS Bedah
babinski +/+
CVC
Instruksi dr. Doddy, Sp.An post op:
Leher:
Observasi ICU
KGB teraba
IVFD:
membesar
-RL I D10%
Thorax:
Retraksi (+), -Analgetik fentanyl 200 mcg/24jam
Lab:
AGD
PH 7,001
PCO2 106,4
PO2 61,6
SaO2 76,4%
BE -6,7
HCO3 26,5
TCO2 29,8
Konsentrasi
O2 14,7%
Na 150
K 4,5
Cl 108
Lab Darah
GDS 174
Hb 13,4
Ht 40,8
Tr 207
Leu 6,7
Masa
Perdarahan
1,3min
Masa
Pembekuan
14min
Masa
Protrombin
15s
Leher: KGB
teraba
membesar
Thorax:
Retraksi (+),
Otot bantu
nafas (+)
BND
vesikuler
Rhonki +/+
basal paru,
Wheezing -/-
BJ I&II
reguler
murmur -
gallop -
Abdomen:
Supel,
Nyeri Tekan +
BU+ 4x/min
Ekstremitas:
Edema
tungkai -/-
Cairan
Intake: 1150
cc
Output
Drain: 50cc
Urine: 570 cc
IWL: 525cc
Balance
cairan : +5
cc
Follow Up Hari ke- 2 ICU
Tanggal S/ O/ A/ P/
09/09/2019 Kontak (+) KU: TSS SNH IVFD :
GCS: Peritonitis perforasi - II NS 0,9% /24 jam
E2M4Vett - I aminofluid/24 jam
(post laparotomi
Kes:
TB paru aktif curiga - Sp fentanyl 200 mcg/24 jam
soporocoma
relaps 2,1 ml/jam
HT gr 1 - Sp Midazolam 2mg/jam
TD: 112/78
- Sp NE 0,05 mcg/KgBB/jam
N: 124x
RR: 22x
Diet: D5% 6x100cc
S: 36.7C Mm/
SO2: 98% - Ceftriaxon 2 x 2 gr IV
Neurologis: - Levofloxacin 1 x 750 mg IV
Hemiparese
dextra - As. traneksamat 500gr/8 jam
Leher: KGB IV
teraba - Transamin 3 x 500mg IV
membesar
- Vit K 1x1 IV
- Omeprazol 2 x 40 mg IV
Thorax:
- Sucralfat 3x1C
Retraksi (+),
- Bisoprolol tab 1 x 5mg
Otot bantu
nafas (+) - Paracetamol 3 x 500mg tab
Abdomen:
Supel
Nyeri Tekan +
BU+ 4x/min
Ekstremitas:
Edema
tungkai +/+
+/+
Lab:
AGD
PH:7,291
PCO2:51
PO2:158
SaO2:99,0%
BE:-0,5
HCO3:26
TCO2:28
Konsentrasi
O2:17,2%
Elektrolit
Na:145
K:4,4
Cl:110
Ca:7,05
GDS: 87
Albumin: 2.5
Protein
total:4.9
Ur: 104
Cr: 2.92
Cairan
Intake: 2245
cc
Output
Drain: 50cc
Urine: 700 cc
IWL:500cc
Balance
cairan : +995
cc
Intake: 3726
cc
Output
Urine: 5050
cc
IWL:750cc
Balance
cairan :
-2074 cc
BJ I&II
reguler VISIT dr Frans Sp.p
murmur - OAT MASUK
gallop - Streptomycin 1x1g
Abdomen: 2FDC 1x3 Tab
Supel
Nyeri Tekan + Etambutol 1x2 Tab
BU+ 1x/min
Ekstremitas:
Edema
tungkai -/-
Akral Dingin
Cairan
Intake: 3713
cc
Output
Urine: 3400cc
IWL:750cc
Balance
cairan :-473
cc
Follow Up Hari Ke-6 ICU
Tanggal S/ O/ A/ P/
13/09/2019 Kontak (-) KU: TSB SNH (perbaikan) IVFD :
Gerak GCS: Peritonitis perforasi I triofusin 1000cc/24 jam
ekstremitas E2M4Vtt
(post laparotomi I aminofluid 1000cc/24 jam
(+) Kes: delirium
eksplorasi) Sp Ca Gluconas 2amp/24jam
Penurunan TD: 160/90
TB paru aktif curiga Sp fentanyl 200mcg/24jam
kesadaran, N: 120x
relaps, susp. TB usus Sp Midazolam 2mg/jam
Gelisah RR: 36x
HT gr 1 Sp Kcl 100meq/24jam
S: 40 C
SO2:98%
Inj cefoperazone sulbactan 2x1gr
Inj metronidazole 3x500mg
Thorax: Inj lanzoprazole 2x30mg
BND Streptomisin 1x1gr (IM)
vesikuler Diet: D5% 5x50cc
Rhonki +/+ Mm/
basal paru, Domperidone 3x10mg
Wheezing -/-
Sucralfat syr 3x1
BJ I&II
Asetil sistein 3x200mg
reguler
Albumin 3x2caps
murmur -
Bisoprolol tab 1 x 2,5mg
gallop -
Diltiazem 1x30mg
PEMBAHASAN
adalah nomor 7, hal ini sesuai dengan teori untuk laki-laki dewasa adalah nomor
mode yang digunakan pada pasien ini adalah SIMV yang menandakan bahwa
pada pasien ini dapat bernafas spontan tetapi belum normal sehingga masih
memerlukan bantuan.
1. Feeding: diet D5% 6x100cc pipa NGT. Pemberian secara eneteral atau
parenteral.
2. Sedasi dan Analgesia: untuk pemberian sedasi dan analgesi pada pasien ini
4. Head of bed: kepala pasien diposisikan 30 derajat. Hal ini sesuai dengan