Anda di halaman 1dari 18

REFERENSI ARTIKEL

TERAPI CAIRAN PADA SYOK SEPTIK

DISUSUN OLEH:

BUNGA FATIMAH G991905014

PEMBIMBING :

dr. Andy Nugroho, Sp.An, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi Artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret / RSUD Dr. Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Terapi Cairan Pada Syok Septik

Hari, tanggal: , Desember 2019

Oleh:

Bunga Fatimah G991905014

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Andy Nugroho, Sp.An, M.Kes.


BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis merupakan kondisi yang sering ditemui pada fasilitas emergensi dan
sering menjadi penyebab kematian pada bagian Intensive Care Unit. Triase yang
tepat, pengenalan yang cepat, resusitasi awal, pemberian antibiotic, dan eradikasi
dari penyebab infeksi merupakan komponen kunci yang terdapat pada perawatan
pasien dengan sepsis.

Kondisi sepsis yang tidak tertangani dengan baik dapat mengarah ke syok
septik. Syok septik adalah bagian dari sepsis dimana terdapat kelainan sirkulasi dan
seluler/metabolik yang cukup dalam untuk secara substansial dapat meningkatkan
mortalitas. Kondisi ini memerlukan adanya agen vasopressor untuk
mempertahankan tekanan dan perfusi ke organ.

Pada pasien dengan syok septik, pemberian cairan merupakan inisial


resusitasi hemodinamik yang terus menjadi tantangan bagi tenaga medis. Resusitasi
hemodinamik awal dan optimal merupakan hal yang krusial pada syok septik.
Kekurangan atau kelebihan cairan pada pasien dengan syok septik dan mengarah
kepada hasil yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, evaluasi status dan respon
volume pasien merupakan hal yang penting pada manejemen pasien syok septik
khususunya di departemen emergensi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SYOK SEPTIK
a. Definisi
Syok adalah kondisi dimana tekanan darah turun sangat drastis
sehingga terjadi gangguan aliran darah pada tubuh. Tanda dan gejala
syok terdiri dari hipotensi, hiperventilasi, sianotik, oliguria, dan
ansietas. Syok muncul setelah cedera berat (Shiel Jr., 2018).
Syok septik merupakan kondisi sepsis bersamaan dengan hipotensi
meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan dan perfusi
organ (Sudoyo et al., 2014). Definisi ini diperjelas oleh Worapratya dan
Wuthisuthimethawee (2019) bahwa syok septik adalah kondisi dimana
diperlukan agen vasopressor untuk mempertahankan MAP (Mean
Arterial Pressure) pada angka 65 mmHg dan level serum laktat lebih
dari 2 mmol/L (>18 mg/dL) tanpa adanya hipovolemia. Pada Konsensus
Definisi untuk Sepsis dan Syok Septik yang diadakan pada tahun 2016,
definisi syok septik adalah bagian dari sepsis dimana terdapat kelainan
sirkulasi dan seluler/metabolik yang cukup dalam untuk secara
substansial dapat meningkatkan mortalitas (Howell & Davis, 2017).
Definisi sepsis sendiri awalnya adalah keadaan klinis yang berkaitan
dengan infeksi dengan manifestasi SIRS (Systemic inflammatory
response syndrome). SIRS adalah respon tubuh terhadap inflamasi
sistemik yang mencakup 2 atau lebih keadaan sebagai berikut: Suhu
lebih dari 38oC atau kurang dari 36oC, frekuensi jantung lebih dari 90,
frekuensi nafas lebih dari 20x/menit atau PaCO3 kurang dari 32 mmHg,
leukosit darah lebih dari 12.000/mm3 atau kurang dari 4.000 mm3 atau
terdapat neutrophil imatur lebih dari 10% (Sudoyo, 2014). Namun kini,
definisi sepsis memberi perhatian lebih pada disfungsi organ dan
hipoperfusi dibandingkan dengan inflamasi itu sendiri. Selanjutnya,
definisi sepsis menjadi kondisi dimana terdapat disfungsi organ yang
mengancam nyawa yang disebabkan oleh disregulasi respon pejamu
terhadap infeksi (Howell & Dawis, 2017). Hal ini dapat ditentukan oleh
nilai SOFA (Sequential Organ Failure Assessment) ≥ 2 (Seymour, et al.,
2016).
Definisi baru ini menekankan keunggulan respon nonhomeostatik
pejamu terhadap infeksi, potensi kematian yang jauh melebihi infeksi
langsung, dan perlunya pengenalan segera atau lebih awal. Seperti yang
dijelaskan kemudian, bahkan tingkat disfungsi organ sederhana ketika
infeksi pertama kali dicurigai berkaitan dengan kematian di rumah sakit
lebih dari 10%. Oleh karena itu, pengenalan kondisi ini layak mendapat
respons yang cepat dan tepat (Singer, et al., 2016).
SOFA adalah sistem skoring yang dikembangkan oleh European
Society of Intensive Care Medicine dan ditetapkan pada tahun 1994.
Skoring ini digunakan untuk mengukur disfungsi organ dengan 5 skala
(Tabel 1.) Untuk mempercapat penentuan awal apakah pasien
mengalami syok sepsis atau syok lainnya, direkomendasikan
penggunaan qSOFA (quick SOFA). Penilaian menggunakan qSOFA
dapat diterapkan ketika berada di luar rumah sakit, bagian emergensi,
atau ketika di bangsal. Pasein dewasa dengan curiga infeksi lebih
cenderung memiliki hasil buruk khas sepsis jika memiliki setidaknya
dua kriteria berikut: pernafasan lebih dari 22x/menit, penurunan
kesahatan, atau tekanan darah sistolik kurang dari atau sama dengan
100mmHg (Al-Khafaji & Pinsky, 2019). Namun, qSOFA tidak dapat
digunakan dalam penentuan sepsis dan tidak dapat dimasukkan dalam
definisi. qSOFA hanya merupakan alat bantu untuk mempermudah
penentuan terapi dan langkah selanjutnya pada saat keadaan emergensi
(Worapatya & Wuthisuthimethawee, 2019).
Tabel 1. Skor SOFA

SOFA score 0 1 2 3 4
Respirasi >400 <400 <300 <200 <100
PaO2/FiO2 atau 221 – 301 142 – 220 67 – 141 <67
SaO2/FiO2 mmHg
Koagulasi >150 <150 <100 <50 <20
Platelet 103/mm3
Liver <1.2 1.2 – 1.9 2.0 – 5.9 6.0 – 11.9 >12.0
Bilirubin (mg/dL)
Kardiovaskuler Tidak MAP < 70 Dopamin ≤5 Dopamine ≥ 5 Dopamine >
Hipotensi terdapat atau 15 atau
hipotensi norepinephrine norepinephrine
≤0.1 > 0.1
SSP 15 13 – 14 10 – 12 6–9 <6
Glasgow Coma Scale
(GCS)

Ginjal < 1.2 1.2 – 1.9 2.0 – 3.4 3.5 – 4.9 atau > 5.0 atau
Kreatinin (mg/dL) <500 <200
atau urin output
(mL/d)

Skor qSOFA:
- Penurunan kesadaran
- Frekuensi laju nafas ≥ 22x/menit
- Tekanan darah sistolik ≤ 100 mmHg

b. Patofisiologi
Sepsis digambarkan sebagai proses autodestruktif yang
memungkinkan perluasan respons patofisiologis normal terhadap
infeksi untuk melibatkan jaringan normal dan menghasilkan MODS
(Multiple Organ Dysfunction Syndrome). Disfungsi organ atau
kegagalan organ dapat merupakan tanda klinis pertama dari sepsis, dan
tidak ada sistem organ yang kebal dari konsekuensi inflamasi berlebih
dari sepsis. Mortalitas meningkat dengan meningkatnya kegagalan
organ. (Al-Khafaji & Pinsky, 2019)
Proses infeksi yang menyebabkan SIRS yang parah atau berlarut-
larut dapat berlanjut menjadi syok septik. Syok septik pada pasien rawat
inap biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif pada
genitourinary atau paru-paru. Pada 50% kasus sepsis berat, organisme
tidak dapat dibiakkan dari kultur darah. Hipotensi yang terjadi pada
pasien syok septik disebabkan oleh menurunnya volume intavaskuler
yang terjadi akibat bocornya pembuluh kapiler. (Butterworth, et al.,
2013).
Depresi myokard juga terjadi pada pasien syok septik. Aktivasi dari
platelet dan kaskade koagulasi dapat mengarah pada pembentukan
agregasi fibrin-platelet, yang kemudian dapat mengganggu aliran darah
ke jaringan. Hipoksemia yang disebabkan oleh ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome) menonjolkan adanya hipoksia jaringan.
Pelepasan zat vasoactive dan pembentukan mikrotrombus pada sirkulasi
pulmoner meningkatkan resisten pembuluh darah pulmoner
(Butterworth, et al., 2013).

Gambar 1. Patofisiologi sepsis dan kegagalan multiorgan


Syok septik merupakan keadaan emegensi yang memerlukan
intervensi segera. Terapi pada syok septik: (1) kontrol dan eradikasi
infeksi menggunakan antibiotik intravena yang tepat, debridemen
jaringan nekrotik, dan menghilangkan benda asing yang terinfeksi, (2)
pemberian cairan intravena dan agen vasopressor dan inotropic untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat, (3) tatalaksana suportif untuk
mengatasi komplikasi seperti ARDS, gagal ginjal, perdarahan
gastrointestinal dan DIC (Butterworth, et al., 2013).
Fisiologi syok septik disebabkan oleh peningkatan kehilangan
cairan yang tidak dapat diserap, perubahan kapasitas vena, dan
kebocoran vaskuler yang menghasilkan “hipovolemia relatif”
(Worapratya & Wuthisuthimethawee, 2019). Oleh karena itu,
managemen cairan pada sepsis dapat berbeda tergantung dari fase pada
syok septik, pemilihan cairan, dan volume resusitasi yang berpengaruh
pada hasil akhir pasien. (Worapratya & Wuthisuthimethawee, 2019).

B. TERAPI CAIRAN PADA SYOK SEPTIK


Pada pasien dengan syok septik, stabilisasi hemodinamik menggunakan
cairan intravena merupakan tantangan terapi yang besar seiring dengan
munculnya banyak pertanyaan mengenai tipe, dosis, dan waktu dari
pemberian cairan. Pada pasien ini, cairan memainkan peranan yang penting
untuk stabilisasi hemodinamik dan resusitasi. Sehingga pemberian cairan
pada pasien syok septik harus diberlakukan sama seperti pemberian obat
lainnya: pertimbangan indikasi dan kontraindikasi dari setiap tipe cairan.
(Malbrain, et al., 2018).
Fisiologi syok septik disebabkan oleh peningkatan kehilangan cairan
yang tidak dapat diserap, perubahan kapasitas vena, dan kebocoran vaskuler
yang menghasilkan “hipovolemia relatif” (Worapratya &
Wuthisuthimethawee, 2019). Oleh karena itu, manajemen cairan pada
sepsis dapat berbeda tergantung dari fase pada syok septik, pemilihan
cairan, dan volume resusitasi yang berpengaruh pada hasil akhir pasien.
(Worapratya & Wuthisuthimethawee, 2019).
a. Tatalaksana 1-hour bundle
1-hour bundle merupakan resusitasi dan manejemen awal segera
yang direkomendasikan oleh Surviving Sepsis Campaign (SSC) pada
tahun 2018. 1-hour bundle merupakan penggabungan dari 3-hour
bundle dan 6-hour bundle dari guideline sebelumnya. Penggabungan ini
dirasa tepat untuk keadaan klinis di lapangan pada pasien sepsis dan
syok septik, terutama pada pasien dengan hipotensi, dibanding
menunggu lebih lama atau memperpanjang langkah-langkah resusitasi
pada periode yang lebih lama. Lebih dari 1 jam dibutuhkan agar
resusitasi komplit, namun inisiasi dan tatalaksana seperti pengambilan
sampel darah untuk mengukur laktat dan kultur darah, pemberian terapi
cairan dan antibiotic, dan pada hipotensi yang mengancam nyawa,
pemberian vasopressor, kesemuanya dilakukan secara segera.

Gambar 2. 1-hour bundle


Tabel 2. 3-hour bundle guideline SSC 2012 dan 6-hour bundle guideline SSC
2008
3-hour bundle 6-hour bundle
i. Measure initial serum lactate i. Apply vasopressors (for
ii. Obtain blood cultures prior to hypotension unresponsive to initial
antibiotics fluid resuscitation) to maintain
iii. Administer broad-spectrum MAP more than or equal to 65
antibiotics mmHg
iv. Administer 30 ml/kg crystalloids for ii. In the event of persistent
hypotension or lactate more than or hypotension despite fluid
equal to 4 mmol/L resuscitation (septic shock) or
lactate ≥ 4 mmol/L, measure CVP
and ScvO2

- Pengukuran Level Laktat


Meskipun jumlah serum laktat bukan merupakan
pengukuran langsung untuk perfusi jaringan, peningkatannya dapat
mewakilkan kondisi hipoksia jaringan, peningkatan glikolisi
anaerobik yang disebabkan oleh stimulasi beta-adrenergik yang
luas, atau penyebab lainnya yang berhubungan dengan keluaran
yang buruk. (Levy, et al., 2018).
Apabila inisial laktat meningkat (> 2 mmol/L), pengukuran
ulang harus dilakukan dalam 2 – 4 jam untuk membantu resusitasi
dalam menormalkan jumlah laktat pasien dimana peningkatan
jumlah laktat sebagai penanda hipoperfusi jaringan (Levy, et al.,
2018).
- Kultur darah untuk pemberian antibiotik
Pengkulturan harus dilakukan sebelum pemberian antibiotik
agar hasil kultur optimal dalam menilai patogen dan meningkatkan
hasil akhir. Kultur darah setidaknya dilakukan 2 set (aerobik dan
anaerobik) (Levy, et al., 2018).
- Pemberian antibiotik spektrum luas
Pemberian antibiotik spektrum luas dengan satu atau lebih
antibiotik intravena untuk mengatasi patogen yang memungkinkan
harus dilakukan segera. Terapi antibiotik empiris harus disempitkan
ketika identifikasi dan sensitivitas patogen telah tersedia atau ketika
pasien ditetapkan tidak terdapat infeksi. (Levy, et al., 2018).
- Pemberian cairan intravena
Pemberian cairan intravena merupakan hal yang krusial
untuk stabilisasi pasien sepsis dengan hipoperfusi jaringan atau
pasien syok septik. Pemberian cairan inisial harus segera dilakukan
kemudian dilakukan pengenalan apakah sepsis disertai dengan
hipotensi dan peningkatan laktat, dalam waktu 3 jam. Guideline
merekomendasikan pemberian cairan kristaloid 30 ml/kg secara
intravena (Levy, et al., 2018).
Resusitasi kardiopulmoner dengan hydroxyethyl starches
(HES) meningkatkan risiko gagal ginjal akut dan memerlukan terapi
transplantasi ginjal. Hanya albumin yang terbukti aman dan sama
efektif dengan isotonik salin. Dengan pertimbangan harga dan isu
keamanan pemberian koloid, guideline SSC merkeomendasikan
kristaloid sebagai terapi pilihan inisial untuk resusitasi pada sepsis
berad dan syok septik (Gyawali, et al., 2018).
- Pemberian vasopressor
Pengembalian segera kecukupan perfusi ke organ vital
merupakan bagian kunci dari resusitasi. Hal ini tidak diperbolehkan
untuk ditunda. Apabila tekanan darah tidak kembali setelah
resusitasi cairan, agen vasopressor dapat diberikan pada satu jam
pertama untuk mencapai MAP ≥ 65 mmHg (Levy, et al., 2018).
Agen vasopressor yang sering digunakan adalah norepinephrine,
epinephrine, dopamine, phenylephrine, dan vaspressin. Guideline
SSC merekomendasikan norepinephrine sebagai vasopressor pilihan
pada pasien syok septik (Gyawali, et al., 2018).
b. 4 D pada terapi cairan
Saat memberikan terapi cairan pada pasien syok septik, komposisi,
farmakodinamik, dan farmakokinetik harus diperhatikan. Dalam
prakteknya, 4D dalam terapi cairan harus dipertimbangkan. 4D tersebut
adalah drug, dosing, duration, dan de-escalation. (Malbrain, et al.,
2018).
c. 4 Fase pada Terapi Cairan Syok Septik
Model terbaru mengenai syok septik mengidentifikasi adanya 4 fase
pada syok septik. 4 fase tersebut adalah resuscitation, optimization,
stabilization, dan de-escalation. Pada fase ini dapat menjadi
pertimbangan saat-saat dimana diperlukan pemberian terapi cairan
intravena dan saat dimana harus diberhentikan, serta saat dimana harus
dilaukan de-resusitasi atau pembuangan cairan secara aktif dan saat
dimana penghentian de-resusitasi dilakukan (Malbrain, et al., 2018).
• Fase Pertama: Resusitasi
Fase ini merupakan fase yang mengancam nyawa, muncul
dalam hitungan menit hingga jam. Fase ini dikarakteristikan
dengan vasodilatasi yang kuat dan menyebabkan hipotensi dan
berkurangnya perfusi organ (Worapratya &
Wuthisuthimethawee, 2019). Pada fase ini dapat disertai dengan
adanya cardiac output yang tinggi (sepsis, combustio,
pankreatitis berat akut, sirosis hepar, defisiensi tiamin, dll) atau
cardiac output yang rendah (syok septik dengan hipovolemia
atau syok septik dengan sepsis yang disebabkan oleh
kardiomyopati) (Malbrain et al., 2018).
Sepsis Campaign Guideline 2018 merekomendasikan
pemberian cairan kristaloid segera dengan dosis 30 mL/kg pada
seluruh pasien sepsis dengan hipotensi atau peningkatan level
laktat (Levy, et al., 2018). Target dari pemberian cairan haruslah
dilihat secara individual (Worapratya & Wuthisuthimethawee,
2019). Evaluasi dapat dilakukan dengan berbagai macam
metode seperti fluid challenge test, passive leg raise test, dan
end-expiratory occlusion test (Malbrain, et al., 2018).
Sebelumnya, Early goal-directed therapy (EGDT) merupakan
protokol yang direkomendasikan pada pasien syok septik.
Namun, hasil dari 3 penelitian multisenter intenasional
(ProCESS, ARISE, dan ProMISe) menunjukkan bahwa EGDT
tidak menurunkan angka mortalitas dibandingkan terapi
konvensional (Worapratya & Wuthisuthimethawee, 2019,
2019).
Pemberian cairan akan meningkatkan cardiac output secara
signifikan pada hampir semua kasus (Malbrain, et al., 2018).
• Fase Kedua: Optimasi
Fase optimasi juga biasa disebut sebagai fase iskemi dan
reperfusi. Fase ini munul dalam hitungan jam. Pada fase ini,
asesmen yang cermat pada status volume intravskular dan
penentuan tindakan berikutnya merupakan hal yang krusial
(Worapratya & Wuthisuthimethawee, 2019). Akumulasi cairan
dapat menunjukkan keparahan dari kondisi ini dan dapat
dipertimbangkan sebagai “biomarker”. Semakin besar
kebutuhan cairan, semakin buruk kondisi pasien dan semakin
memungkinkan muncul kegagalan organ (Malbrain, et al.,
2018).
Pemberian cairan harus dihentikan apabila indikasi respon
cairan menjadi negatif. Selain itu, keadaan klinis pasien juga
harus dipertimbangkan (Malbrain, et al., 2018).
Respon cairan ditentukan oleh perubahan pada stroke
volume atau cardiac output (CO) kurang lebih 12% - 15%
setelah pemberian cairan dosis bolus. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa passive leg raising test dan end-expiratory
occlusion test berpotensi untuk memprediksi respon volume.
Velocity time integral (VTI) juga merupakan parameter lain
yang dapat memprediksi respon volume pada pasien sepsis yang
dapat dilakukan dengan bedside ekokradiografi (Worapratya &
Wuthisuthimethawee, 2019).
Apabila status volume intravaskuler yang cukup sudah
terpenuhi, pemberian cepat terapi vasopressor meruapakan
intervensi waktu kritis. Inisiasi terapi vasopressor yang tertunda
dan mengarah pada resusitasi cairan yang berlebihan dan
meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Pilihan pemberian
vasopressor pada syok septik adalah norepinephrine, dimulai
dengan dosis 0.5 mcg/kg/menit (Worapratya &
Wuthisuthimethawee, 2019). Dopamine merupakan agen
vasopressor alternatif yang dapat diberikan pada beberapa
pasien tertentu (pasien dengan risiko rendah takiaritmia dan
bradikardi absolut atau relatif) (Rhodes, et al., 2017).
• Fase Ketiga: Stabilisasi
Fase stabilisasi muncul dalam beberapa hari setelah fase
optimasi diikuti dengan kondisi hemodinamik yang stabil.
Tujuan dari fase ini adalah mempertahankan volume
intavaskuler, mengganti kehilangan cairan, menunjang disfungsi
organ, dan menghindari bahaya iatrogenik dari pemberian cairan
intravena yang tidak diperlukan. Pada fase ini penilaian pada
kecukupan perfusi organ dan resusitasi mikrosirkulasi
merupakan hal yang penting (Worapratya &
Wuthisuthimethawee, 2019).
• Fase Keempat: De-eskalasi
Fase de-eskalasi dikarakteristikan sebagai pemulihan organ
dan penghentian dari ventilasi mekanis dan bantuan vasopressor.
Kelebihan cairan pada fase ini secara signifikan berhubungan
dengan mortalitas. Tujuan dari fase ini adalah mencapai
keseimbangan cairan negatif secara keseluruhan.
Strategi manajemen cairan moderat mencakup penghindaran
pemuatan cairan dan menyingkirkan kelebihan cairan
merupakan komponen kunci untuk peningkatan kelangsungan
hidup. Memulai penghilangan cairan harus dilakukan dengan
hati-hati tanpa menyebabkan hipotensi dan menurunkan CO.
Risiko dalam fase ini adalah terlalu agresif dalam penghentian
cairan yang dapat menyebabkan kerusakan hemodinamik. Untuk
menghindari hal ini, menguji respon preload dapat berguna
(Worapratya & Wuthisuthimethawee, 2019). Apabila cairan
dibutuhkan pada fase ini, penggunaan albumin nampaknya
memiliki efek positif pada integrase dinding pembuluh darah
yang dapat memfasilitasi terjadinya keseimbangan negatif cairan
pada hipoalbuminemia (Malbrain, et al., 2018).

Tabel 2. Konsep ROSE untuk menghindari kelebihan cairan


BAB III

SIMPULAN

Syok septik adalah bagian dari sepsis dimana terdapat kelainan sirkulasi dan
seluler/metabolik yang cukup dalam dapat meningkatkan mortalitas. Syok septik
memerlukan agen vasopressor untuk mempertahankan MAP dan level serum laktat.
Sepsis merupakan kondisi dimana terdapat disfungsi organ yang mengancam
nyawa, disebabkan oleh disregulasi respon pejamu terhadap infeksi. Penilaian
kegagalan organ dapat dilakukan menggunakan skoring SOFA≥2. Untuk
mempercepat penentuan awal, dapat digunakan skoring qSOFA. Penilaian qSOFA
terdiri dari penurunan kesadaran, laju nafas ≥22x/menit dan tekanan darah sistolik
≤100 mmHg.

Pada pasien dengan syok septik, cairan memainkan peranan yang penting
untuk stabilisasi hemodinamik dan resusitasi. Manajemen cairan pada sepsis dapat
berbeda tergantung dari fase pada syok septik, pemilihan cairan, dan volume
resusitasi yang berpengaruh pada hasil akhir pasien. Terdapat 4 hal yang harus
dipertimbangkan dalam terapi cairan pada syok septik yaitu drug, dosing, duration,
dan de-escalation.

Terdapat 4 Fase pada terapi cairan syok septik: Resusitasi, Optimasi,


Stabilisasi, dan De-eskalasi. Pada fase resusitas direkomendasikan pemberian
cairan kristaloid dengan dosis 30 mL/kg. Target pada fase ini sebaiknya dilihat
perindividu dan dapat dievaluasi menggunakan berbagai macam cara. Pada fase
optimasi, asesmen status volume intravaskular merupakan hal penting. Penghentian
pemberian cairan harus dilakukan berdasarkan indikasi respon cairan yang negatif
dan kondisi klinis pasien. Fase stabilisasi muncul setelah fase optimasi dengan
kondisi hemodinamik stabil. Fase ini ditujukan untuk mempertahankan volume
intavaskuler, mengganti kehilangan cairan dan menunjang disfungsi organ Fase de-
eskalasi merupakan fase pemulihan organ dan penghentian penggunaan ventilasi
mekanis dan bantuan vasopressor.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khafaji, Ali H., Pinsky, Michael R. 2019. Multiple Organ Dysfunction


Sydnrome in Sepsis. Medscape. [Diakses pada 25 Desember 2019]
https://emedicine.medscape.com/article/169640-overview#a3

Butterworth, John F., Mackey, David C., Wasnick, John D. 2013. Morgan &
Mikhail’s Clinical Anesthesiology. United States: McGrawHill

Gyawali, Bishal, Ramakrishna, Karan, Dhamoon, Amit S. 2018. Sepsis: The


evolution in definition, pathophysiology, and management. SAGE Open Medicine.
2018 (7). 1 – 13

Howell, Michael D., Davis, Andrew M. 2017. Management of Sepsis and Septic
Shock. JAMA. 2017(2). 847 – 848.

Levy MM, Evans LE, Rhodes A. The surviving sepsis campaign bundle: 2018
update. Crit Care Med. 2018;46(6):997–1000.
doi:10.1097/CCM.0000000000003119

Malbrain, Manu L. N. G., Regenmortel, Niels Van, Sauge, Bernd. 2018. Principles
of fluid management and stewardship in septic shock: it is time to consider the four
D’s and the four phases of fluid therapy. Annals of Intensive Care. 2018(8).

Rhodes A., Levy MM, et al. 2017. Guideline for sepsis and septic shock. Crit Care
Med. 2017(3). 503-506.

Seymour CW, Liu VX, Iwashyna TJ, et al. Assessment of clinical criteria for sepsis:
for the third international consensus definitions for sepsis and septic shock (Sepsis-
3). JAMA. 2016;315 (8):762–774. doi:10.1001/jama.2016.0288

Shiel Jr., William C. 2018. Medical Definition of Shock. [Diakses pada 25


Desember 2019]
https://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=5477
Singer, Mervyn, Deutschman, Clifford S., et al. 2016. The Third International
Consensus Definitions for Sepsis dan Septic Shock (Sepsis-3). JAMA.
2016:315(8):801-910

Sudoyo, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

Worapratya, P., Wuthisuthimethawee, P. 2019. Septic shock in the ER: diagnostic


and management challenges. Dove Press Journal. 2019:11 77 – 86.

Anda mungkin juga menyukai