Anda di halaman 1dari 14

Sepsis

Defenisi
Istilah sepsis berasal dari bahasa Yunani “sepo” yang artinya membusuk
dan pertama kali dituliskan dalam suatu puisi yang dibuat oleh Homer (abad 18 SM).
Kemudian pada tahun 1914 Hugo Schottmuller secara formal mendefinisikan
“septicaemia” sebagai penyakit yang disebabkan oleh invasi mikroba ke dalam aliran
darah. Walaupun dengan adanya penjelasan tersebut, istilah seperti “septicaemia:,
sepsis, toksemia dan bakteremia sering digunakan saling tumpang tindih.2 Oleh
karena itu dibutuhkan suatu standar untuk istilah tersebut dan pada tahun 1991,
American College of Chest Physicians (ACCP) dan Society of Critical Care
Medicine (SCCM) mengeluarkan suatu konsensus mengenai Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, dan sepsis berat. Sindrom ini
merupakan suatu kelanjutan dari inflamasi yang memburuk dimulai dari SIRS
menjadi sepsis, sepsis berat dan septik syok.1
Sepsis merupakan salah satu penyebab kematian utama pada pasien yang
dirawat di ruang intensif. Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan gangguan respon pejamu terhadap adanya infeksi,
dan Sepsis berat didefinisikan sebagai suatu keadaan sepsis yang disertai disfungsi
organ atau juga hipoperfusi jaringan, sedangkan syok septik merupakan sepsis berat
disertai dengan hipotensi yang tidak berespons dengan pemberian cairan. Sepsis berat
dan juga syok septik merupakan masalah kesehatan utama dan berhubungan dengan
peningkatan angka kejadian morbiditas dan juga mortalitas pada pasien yang akan
menjalani pembedahan.0,1,10,4,6,11,13,12
Defenisi sepsis tahun 1992-201612
Sepsis 2 Sepsis 3
Definisi Sepsis 1 (1992)
(2011) (2016)
Sepsis Sindrom respons Tidak ada Gangguan
inflamasi sistemik perubahan fungsi organ
(SIRS) yang definisi akibat respons
disebabkan infeksi tubuh terhadap
infeksi yang
mengancam
jiwa
Sepsis Sepsis disertai Tidak ada Definisi
berat salah satu gejala perubahan sepsis berat
gangguan fungsi definisi dihilangkan
organ,
hipoperfusi,
hipotensi, asidosis
laktat, oliguria,
atau gangguan
status mental akut

Renjatan/ Sepsis disertai Tidak ada Sepsis disertai


Syok hipotensi perubahan gangguan
sepsis walaupun telah definisi sirkulasi,
dilakukan terapi seluler, dan
cairan adekuat, metabolik yang
sepsis dengan mengancam
terapi obat jiwa
inotropik atau
vasopressor

Epidemiologi
Berdasarkan pernyataan dari WHO (World Health Organization) pada tahun
2010, sepsis adalah penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif pada
negara maju, dan insidensinya mengalami kenaikan. Setiap tahunnya terjadi 750.000
kasus sepsis di Amerika Serikat. Hal seperti ini juga terjadi di negara berkembang,
dimana sebagian besar populasi dunia bermukim.0,1,9
Insidensi lebih dari 1.665.000 kasus sepsis yang terjadi di Amerika Serikat
setiap tahunnya dengan angka kematian 20–50%, meningkat lebih dari 50% pada
pasien yang mengalami sakit berat. Sepsis berat sering terjadi pada usia tua,
penurunan sistem imunitas, pasien kritis, dan juga merupakan penyebab kematian
utama di Intensive Care Unit (ICU).4
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign, angka mortalitas pasien sepsis di
Intensive Care Unit (ICU) Amerika Serikat 28,3% dan Eropa 41,1%, sedangkan
angka mortalitas pasien sepsis berat di 150 ICU di 16 negara Asia adalah 44,5%.2
Penelitian yang dilakukan di ruangan ICU RSUP Prof Dr RD Kandou Manado pada
tahun 2016 terdapat 82,2% pasien sepsis, 11,4% pasien sepsis berat, dan 5,7% syok
sepsis. Jumlah kejadian sepsis di RSUP Dr M Djamil Padang meningkat sebesar
50%. Pada tahun 2010 adalah 351 pasien, 2011 adalah 512 pasien, 2012 adalah 757
pasien, dan 2013 adalah 734 pasien. Jumlah kejadian sepsis pada tahun 2016
sebanyak 995 pasien, dan bulan Januari sampai Desember 2017 sebanyak 718
pasien.5 Dengan demikian, sepsis masih menjadi masalah utama termasuk dalam 10
besar penyebab kematian.12
Derajat Sepsis
Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok septik berdasar kan
Konsensus Konfrensi ACCP/SCCM 1991.0,1

Istilah Kriteria
2 dari 4 kriteria:

Temperatur > 38 0C atau < 36 0C

Laju Nadi > 90x/ menit


SIRS
Hiperventilasi dengan laju nafas > 20x/ menit atau CO2 arterial
kurang dari 32 mmHg
Sel darah putih > 12.000 sel/uL atau < 4000 sel/ uL

Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah terbukti)


Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ

Syok septik Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi yang
adekuat

Pada tahun 2001, SCCM, ACCP dan European Society of Critical Care
Medicine (ESICM) merevisi definisi sepsis dan menambahkan tingkat dari sepsis
dengan akronim PIRO (Predisposition, Infection, Response to the infectious
challenge, and Organ dysfunction). Kemudian pada tahun 2016, SCCM dan ESCIM
mengeluarkan konsensus internasional yang ketiga yang bertujuan untuk
mengidentifikasi pasien dengan waktu perawatan di ICU dan risiko kematian yang
meningkat. Konsensus ini menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure
Assesment) dengan peningkatan angka sebesar 2, dan menambahkan kriteria baru
seperti adanya peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan cairan resusitasi
dan penggunaan vasopressor pada keadaan hipotensi. Istilah Sepsis menurut
konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang
disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Penggunaan kriteria
SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak membantu lagi. Kriteria
SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih, temperatur, dan laju nadi
menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya).
Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam
jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa
ditemukan adanya infeksi.1
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah
sepsis berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah
pengenalan dari respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok
septik, peningkatan skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan
quick SOFA (qSOFA) untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU.2 Walaupun
penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di ICU,
qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara
cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam
mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi
terapi.10 Dan septik syok didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas
sirkulasi dan selular/ metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara
signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis
dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean
arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah
diberikan resusitasi cairan yang adekuat.1

Sistem 0 1 2 3 4
Respirasi
<200 (26.7) < 100 (13.3)
PaO2/FIO2, ≥400 <400
<300 (40) dengan bantuan dengan bantuan
mmHg(kPa) (53.3) (53.3)
pernafasan pernafasan

Koagulasi
Platelet, x103/ ul ≥ 150 <150 <100 <50 <20

Liver
Bilirubin, mg/ dl <1.2 1.2-1.9 2.0-5.9 6.0-11.9 >12.0
(umol/L) (20) (20-32) (33-101) (102-204) (204)

Dopamin 5.1-15 / Dopamin >15 /


MAP MAP Dopamin < 5 /
epinefrin ≤ 0,1 / epinefrin > 0,1 /
Kardiovaskular ≥70 <70 dobutamine
norepinefrin ≤ 0,1 norepinefrin >
mmHg mmHg (ug/kg/min)
(ug/kg/min) 0,1 (ug/kg/min)

Sistem Saraf
Pusat
Glasgow Coma
15 13-14 10-12 9-Jun <6
Score

Ginjal
1,2-1.9
Kreatinin, mg/ dl <1.2 2.0-3.4 (171-
(110- 3.5-4.9 (300-440) >5.0 (440)
(umol/L) (110) 299)
170)

Laju Nafas ≥ 22x/mnt


Perubahan Status Mental

Tekanan Darah Sistolik ≤ 100 mmHg

Etiologi
Kondisi seperti standar hidup dan higienis yang rendah, malnutrisi, infeksi
kuman akan meningkatkan angka kejadian sepsis.1 Sepsis dan syok septik adalah
salah satu penyebab utama mortalitas pada pasien dengan kondisi kritis.2 Pada tahun
2004, WHO menerbitkan laporan mengenai beban penyakit global, dan didapatkan
bahwa penyakit infeksi merupakan penyebab tersering dari kematian pada negara
berpendapatan rendah.1
Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri Gram negatif (60-70% kasus).
Staphylococci, pneumococci, streptococci, dan bakteri Gram positif lain lebih jarang
menimbulkan sepsis dengan angka kejadian antara 20-40% dari seluruh angka
kejadian sepsis. Jamur oportunistik, virus, atau protozoa juga dilaporkan dapat
menimbulkan sepsis dengan kekerapan lebih jarang.12
Terdapatnya lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein yang
merupakan komponen utama dari membran terluar bakteri gram negatif berpengaruh
terhadap stimulasi pengeluaran mediator proinflamasi, kemudian menyebabkan
terjadi inflamasi sistemik dan jaringan. Peptidoglikan merupakan komponen dinding
sel kuman dilaporkan juga dapat menstimulasi pelepasan sitokin, juga berperan
penting dalam proses agregasi trombosit. Dari semua faktor diatas, faktor yang paling
penting adalah LPS endotoksin gram negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis
terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem imun selular dan humoral, yang
dapat menimbulkan perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai
sifat toksis, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung
jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor
nekrosis tumor (Tumor necrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8
yang merupakan mediator kunci dan sering meningkatkan sangat tinggi pada
penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.12

Patofisiologi
Sebagian besar sepsis menunjukan fokus infeksi jaringan sebagai sumber
bakteremia, atau yang disebutkan bakteremia sekunder. Sepsi gram negatif
merupakan komensal normal dlam saluran gastroinstetinal, yang kemudian menyebar
ke struktur yang berdekatan. Sedangkan gram positif biasanya timbul dari infeksi
kulit, saluran respirasi dan juga berasal dari luka terbuka (luka bakar).0
Inflasmis merupakan suatu tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai
macam stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya
tubuh untuk menghilangkan eradikasi organisme penyebab. Berbagai sel akan
terkaktivasi dan memproduksi berbagai mediator inflamasi termasuk yaitu sitokin.
Mediator inflamasi sangat banyak melibatkan banyak sel sehingga dapat
mempengaruhi satu dengan yang lain.0
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih
banyak faktorlain yang berperan dalam menentukan perjalanan penyakit. Berbagai
respon imun yang muncul dapat berupa macam-macam sitokin diantaranya yang
bersifat proinflamasi ((TNF,IL-1, interferon (IFN-g) yang bekerja membantu sel untk
menghancurkan mikroorhganisme infeksi)) dan antiinflamsi (interlekuin 1 reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, IL 10 yang bertugas memodulasi, kordinasi atau represi
terhadap respon berlebihan. Apabila keseimbangan proinflamasi dengan anti inflami
mediator tidak tercapai dengan sempurna maka dapat memberikan kerugian tubuh.0
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini
akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan
antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang
berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari
isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini
meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease,
leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet
activating factor, dan eikosanoid.Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α,
interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan
menghambat fibrinolisis.1,12
Sitokin inflamasi dan trombin dapat mengganggu potensi fibrinolitik endogen
dengan merangsang pelepasan inhibitor plasminogen-activator 1 (PAI-1) dari platelet
dan endothelium. PAI-1 merupakan penghambat. Rantai koagulasi dengan
dimulainya respons inflamasi, trombosis, dan fibrinolisis terhadap infeksi kuat
aktivator plasminogen jaringan, jalur endogen untuk melisiskan bekuan fibrin. Efek
lain dari trombin prokoagulan mampu merangsang jalur inflamasi multipel dan lebih
menekan sistem fibrinolitik endogen dengan mengaktifkan inhibitor fibrinolisis
thrombin-activatable (TAFI).12
Mekanisme kedua melalui aktivasi protein aktif C yang berkaitan dengan
respons sistemik terhadap infeksi. Protein C adalah protein endogen yang
mempromosikan fibrinolisis dan menghambat trombosis dan peradangan, merupakan
modulator penting koagulasi dan peradangan yang terkait dengan sepsis. Kondisi
tersebut memberikan efek antitrombotik dengan menginaktivasi faktor Va dan VIIIa,
membatasi pembentukan trombin.
Penurunan trombin akan berdampak terhadap proses inflamasi, prokoagulan,
dan antifibrinolitik. Menurut data in vitro menunjukkan bahwa protein aktif C
memberikan efek antiinflamasi dengan menghambat produksi sitokin inflamasi
(TNF-α, interleukin-1, dan interleukin-6) oleh monosit dan membatasi monosit dan
neutrofil pada endothelium yang cedera dengan mengikat selectin. Hasil akhir
respons jaringan terhadap infeksi berupa pengembangan luka endovaskuler difus,
trombosis mikrovaskuler, iskemia organ, disfungsi multiorgan, dan kematian.12

Respon tubuh terhadap infeksi yaitu inflamasi dan


prokoagulan merupakan hal yang saling terkait. Agen
penginfeksi dan sitokin inflamasi seperti tumor nekrosis
faktor α (TNF- α) dan interleukin-1 akan mengaktifasi rantai
koagulasi dengan menstimulasi pelepasan tissue factor dari
monosit dan endotelium yang akan memicu pembentukan
trombin dan fibrin clot

Sitokin inflamasi dan thrombin dapat Protein C yang teraktifasi dapat mengambil peran
menganggu proses fibrinolisis dengan pada berbagai jalur pada respon sistemik
menstimulasi pelepasan plasminogen- terhadap infeksi dengan menghasilkan efek
activator inhibitor 1 (PAI-1) dari platelet antitrombotik melalui penghambatan faktor Va
dan endotelium. PAI-1 merupakan inhibitor dan VIIIa yang akan membatasi produksi dari
poten dari tissue plasminogen activator thrombin.
Hasil akhir dari respon tubuh terhadap infeksi adalah terjadinya kerusakan
endotelial menyeluruh, trombosis mikrovaskular, iskemia organ, disfungsi
multiorgan, dan kematian

Prokoagulan thrombin juga Akibatnya, proses inflamasi, prokoagulan, dan


dapat menstimulasi berbagi respon antifibrinolitik yang diinduksi oleh trombin
macam jalur inflamasi dan akan menurun. Protein C yang teraktifasi akan
menekan sistem fibrinolitik menghasilkan efek antiinflamasi dengan
endogen dengan mengaktifkan menghambat produksi dari sitokin proinflamasi (TNF
thrombin-activatable fibrinolysis
-α, interleukin-1, interleukin-6) oleh monosit dan
menghambat pengikatan monosit dan neutrofil
dengan selectins.
Kriteria diagnosa
Pada tahun 2016, SCCM/ESICM mengevaluasi kriteria identifikasi pasien
sepsis, dengan membandingkan kriteria tradisional SIRS dengan metode lain, yaitu
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scoring (tabel 2). Berdasarkan analisis
direkomendasikan SOFA score untuk menilai derajat disfungsi organ pada pasien
sepsis.
Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut skor total SOFA
(Sequential (Sepsis- related) Organ Failure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi dari
adanya infeksi. Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ, yaitu respirasi, koagulasi, hepar,
kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan ginjal dipilih berdasarkan telaah literatur,
masing-masing memiliki nilai 0 (fungsi normal) sampai 4 (sangat abnormal) yang
memberikan kemungkinan nilai dari 0 sampai 24 (Tabel 3). Skoring SOFA tidak
hanya dinilai pada satu saat saja, namun dapat dinilai berkala dengan melihat
peningkatan atau penurunan skornya. Variabel parameter penilaian dikatakan ideal
untuk menggambarkan disfungsi atau kegagalan organ.
Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi sepsis segera
tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring qSOFA.
Sistem skoring ini merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-related) Organ Failure
Assessment (SOFA). qSOFA hanya terdapat tiga komponen penilaian yang masing-
masing bernilai satu. Skor qSOFA ≥2 mengindikasikan terdapat disfungsi organ. Skor
qSOFA direkomendasikan untuk identifikasi pasien beresiko tinggi mengalami
perburukan dan lama engalami perawatan di ICU maupun non-ICU Pasien
diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat dua atau lebih dari 3
kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan uji qSOFA
yang dilanjutkan dengan SOFA.

Manajemen Sepsis
Terdapat perubahan bermakna surviving sepsis campaign 2018 dari rangkaian
3 jam, 6 jam, menjadi rangkaian 1 jam awal. Tujuan perubahan ini adalah diharapkan
terdapat perubahan manajemen resusitasi awal, terutama mencakup penanganan
hipotensi pada syok sepsis.
Pengukuran Kadar Laktat
Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di antaranya
hipoksia jaringan, peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan peningkatan
stimulasi beta adrenergik atau pada beberapa kasus lain. Peningkatan kadar laktat
>2mmol/L harus diukur pada kondisi 2-4 jam awal dan dilakukan tindakan
resusitasi segera.17

Kultur Darah
Pengambilan kultur darah dilakukan segera, hal tersebut berguna untuk
meningkatkan optimalisasi pemberian antibiotik dan identifikasi patogen. Kultur
darah sebaiknya dalam 2 preparat terutama untuk kuman aerobik dan anaerobik.
Pengujian kultur juga dapat menyingkirkan penyebab sepsis, apabila infeksi patogen
tidak ditemukan maka pemberian antibiotik dapat dihentikan.18,19

Antibiotik Spektrum Luas


Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada
manajemen awal. Pemilihan antibitiotik disesuaikan dengan bakteri empirik yang
ditemukan.20,21,22

Cairan Intravena
Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, atau sepsis
dengan hipotensi dan peningkatan serum laktat. Cairan resusitasi adalah 30 ml/kgBB
cairan kristaloid; tidak ada perbedaan manfaat antara koloid dan kristaloid. Pada
kondisi tertentu seperti penyakit ginjal kronis, dekompensasi kordis, harus diberikan
lebih hati-hati. Beberapa teknik untuk menilai respon:5
1. Passive leg raising test. Penilaian ini untuk menilai pasien sepsis
kategori responder atau non-responder, dengan sensitivitas 97% dan spesifisitas 94%.
Bila pulse pressure bertambah > 10% dari baseline, dianggap responder. Penilaian ini
bertujuan untuk menilai peningkatan cardiac output dengan penambahan volume.
2. Fluid challenge test . Mengukur kemaknaan perubahan isi sekuncup
jantung (stroke volume) atau tekanan sistolik arterial, atau tekanan nadi (pulse
pressure). Pemberian cairan dapat mengembalikan distribusi oksigen dalam darah dan
perfusi ke organ vital untuk mencegah ganguan kerusakan organ.
3. Stroke Volume Variation (SVV). Penilaian variasi isi sekuncup
jantung akibat perubahan tekanan intra-toraks saat pasien menggunakan ventilasi
mekanik. Syarat penilaian responsivitas cairan dengan metode ini adalah:
a. Pasien dalam kontrol ventilasi mekanis
penuh
b. Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight),
c. Tidak ada aritmia. Pasien masuk kategori
responder bila SVV ≥12%.
Selain SVV, Pulse Pressure Variation (PPV) juga dapat dipergunakan untuk
menilai responsivitas cairan.

Pemberian Vasopressor
Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk

mengembalikan perfusi jaringan, terutama perfusi organ vital. Jika tekanan


darah tidak meningkat setelah resusitasi cairan, pemberian vasopressor tidak boleh
ditunda. Vasopressor harus diberikan dalam 1 jam pertama untuk mempertahankan
MAP >65 mmHg. Dalam review beberapa literatur ditemukan pemberian
vasopressor/inotropik sebagai penanganan awal dari sepsis.3

Pemilihan Vasopressor
Norepinefrin direkomendasi sebagai vasopresor lini pertama. Penambahan
vasopressin (sampai 0,03 U/menit) atau epinefrin untuk mencapai target MAP dapat
dilakukan.3
Dopamin sebagai vasopresor alternatif norepinefrin hanya direkomendasikan
untuk pasien tertentu, misalnya pada pasien berisiko rendah takiaritmia dan
bradikardi relatif. Penggunaan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal sudah
tidak direkomendasikan lagi. Dobutamin disarankan diberikan pada hipoperfusi
menetap meskipun sudah diberi cairan adekuat dan vasopresor. Dobutamin dapat
diberikan sampai dosis 20 ug/kgBB/menit atau ditambahkan bersama vasopresor lain
apabila terdapat: disfungsi miokard yang ditandai peningkatan tekanan pengisisan
jantung dan curah jantung yang rendah dan penurunan perfusi yang terus berlanjut
meskipun volume intravaskular dan tekanan rerata arteri adekuat telah tercapai.
Dobutamin tidak dipakai untuk meningkatkan indeks curah jantung sampai
supranormal. Steroid dapat digunakan apabila dengan norepinefrin target MAP masih
belum tercapai.3,6

INDIKATOR KEBERHASILAN RESUSITASI AWAL


Evaluasi Mean Arterial Pressure (MAP)
MAP merupakan driving pressure untuk perfusi jaringan atau organ terutama otak
dan ginjal. Batas rekomendasinya adalah 65 mmHg. Penetapan target MAP yang
lebih tinggi (85 mmHg dibandingkan 65 mmHg) justru meningkatkan risiko aritmia.
Target MAP lebih tinggi mungkin perlu dipertimbangkan pada riwayat hipertensi
kronis.3

Laktat
Laktat sebagai penanda perfusi jaringan dianggap lebih objektif dibandingkan
pemeriksaan fisik atau produksi urin. Keberhasilan resusitasi pasien sepsis dapat
dinilai dengan memantau penurunan kadar laktat, terutama jika awalnya mengalami
peningkatan kadar laktat.3,17

Tekanan Vena Sentral (CVP) dan Saturasi Vena Sen- tral (SvO2)
Tekanan CVP normal adalah 8-12 mmHg. CVP sebagai parameter panduan tunggal
resusitasi cairan tidak direkomendasikan lagi.15 Jika CVP dalam kisaran normal (8-
12 mmHg), kemampuan CVP untuk menilai responsivitas cairan (setelah pemberian
cairan atau fluid challenge) terbukti tidak akurat. Penggunaan target CVP secara
absolut seharusnya dihindari, karena cenderung mengakibatkan resusitasi cairan
berlebihan.3,6

CO2 gap (Perbedaan kadar karbondioksida arteri dan vena (Pv-a CO2)
Peningkatan produksi CO2 merupakan salah satu gambaran metabolisme anaerob.
Jika peningkatan kadar laktat disertai peningkatan Pv- aCO2 atau peningkatan rasio
Pv-aCO2 terhadap Ca-vO2, kemungkinan besar penyebabnya adalah hipoperfusi.3,6

Prognosis
Berdasarkan pada Guideline SSC 2018 prinsip penanganan sepsis (3 hour & 6 hour
bundle) digabung menjadi 1 hour bundle of care didasarkan atas penemuan bahwa
makain awal sepsis dideteksi dan diterapi maka makin akan memberikan outcome
pasien yang lebih baik.

Kesimpulan
Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan
oleh disregulasi dari respons tubuh terhadap adanya infeksi. Diagnosis dini dan
penanganan segera akan memberikan hasil yang baik. Disfungsi organ dapat
diidentifikasi sebagai perubahan akut pada skor total SOFA (Sequential (Sepsis-
related) Organ Failure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi dari adanya infeksi. Pada
Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2016, identifikasi sepsis segera tanpa menunggu
adanya hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring QSOFA. Kriteria
qSOFA merupakan kriteria cepat dalam tatalaksana dan resusitasi segera terutama
pada kasus syok sepsis.

Anda mungkin juga menyukai