TINJAUAN PUSTAKA
Hukum waris islam sering dikenal dengan beberapa nama seperti Faraid, Fikih
Mewaris dan Hukum al-Waris. Hukum waris islam sering membahas mengenai
tentang pergantian harta seseorang dari orang yang sudah meninggal kepada orang
yang masih hidup.(Fauzi, 2016)
Lafad “faraid” adalah bentuk jamak dari “faridhah” yang berarti “mafrudhah”
yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya (ketentuannya) karena saham-saham
yang telah dipastikan kadarnya.(Listyawati & Dazriani, 2015)
Definisi lain yang berkaitan dengan hukum waris Islam disampaikan oleh
Muhammad Asy-Syarbini yaitu Ilmu fiqhi yang berpautan dengan harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian
harta pusaka dan pengetahuan mengenai bagian-bagian wajib dari harta peninggalan
untuk setiap pemilik hak pusaka.(Muhammad Daud & Azahari, 2019)
Adapun penggunaan kata Mawarist lebih melihat kepada yang menjadi objek
hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup sebab kata
mawarist merupakam bentuk plural dan kata miwrats; harta yang diwarisi.
Berdasarkan berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum waris
Islam adalah hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan
pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan.(Noviardi & Rozi,
2017)
2.2 Pengertian Pewaris, Ahli Waris dan Harta Warisan
Pewaris
Berdasarkan pasal 171 butir b Kompilasi Hukum Islam menjelaskan
bahwa Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Maka berdasarkan pemaparan
diatas dapat disimpulkan bahwa pewaris merupakan seseorang yang telah
meninggal yang meninggalkan hartanya kepada orang yang masih hidup.
(Wulandari, 2017)
Ahli Waris
Ahli waris adalah seseorang yang tidak melanggar hukum pada saat
menjadi ahli waris dan mempunyai hubungan yang dekat dengan pewaris
yang sudah meninggal yang sudah diatur dalam pasal 171 butir c Kompilasi
Hukum Islam. Pengertian lain dikemukakan oleh Subchan Bashori dalam
penelitiannya pada tahun 2009 menyatakan bahwa ahli waris adalah individu
yang merupakan kenalan dekat dari pewaris dan yang masih hidup ketika
pewaris suddah meninggal, meskipun ketika warisan itu dibagi ahli waris
tersebut sudah meninggal yang beragama islam dan tidak melanggar hukum
untuk menjadi ahli waris.(Jamal, 2016a)
Harta Warisan
Harta warisan merupakan susuatu yang menjadi milik pewaris baik dari segi
aset, properti dan berbagai harta lainnya yang ditinggalkan oleh pewaris yang
diatur dalam pasal 171 butir d kompilasi Hukum Islam.(Wahyunadi & HJ
Azahari, 2015)
2.3 Dasar Hukum Waris Islam
Berdasarkan isi dari ayat yang telah dipaparkan maka dari ayat
ini bisa dijelaskan bahwa seorang pria dan wanita mempunyai hak
bagian dari harta peninggalan dari orang tau atau orang terdekat
mereka yang sudah diwariskan kepada mereka.
Berdasarkan isi dari ayat yang telah dipaparkan maka dari ayat
ini bisa dijelaskan bahwa dalam pembagian harta warisan kepada anak
atau ke kerabat terdekatnya harus mendapatkan pembagian yang adil
dan merata baik pria maupun wanita.
3. Ijma’
Ijma’ merupakan suatu kesepakatan dari para ulama mujtahi yang
bertujuan untuk mewujudkan keadilan.(Syariah et al., 2019)
4. Ijtihad
Ijtihad merupakan gagasan dari para ulama yang memenuhi syarat dalam
menangani permasalahan yang terjadi dan pada khususnya pada saat
pembagian warisan.(Taqiyuddin, 2020)
2. Prinsip Bilateral
Prinsip bilateral ialah bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat
mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan yakni pihak kerabat laki-
laki dan pihak kerabat perempuan. Sehingga dapat diakatakan bahwa jenis
kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi. Prinsip
bilateral ini secara umum dapat dilihat pada QS. An-Nisaa’ ayat 7. Sedangan
QS. An-Nisaa’ ayat 11, 12, dan 176 merinci lebih jauh mengenai siapa saja
yang dapat mewaris dan berapa besar bagiannya.(Walim, 2017)
3. Prinsip Individual
Dalam Hukum Islam membahas mengenai pembagian harta kewarisan,
dimana pada pembagiannya sudah dibagi berdasrkan hak-hak yang diperoleh
dari individu itu sendiri, sehingga ahli waris yang satu dengan yang lain tidak
saling berterikatan antara satu dengan yang lain. Dari jumlah total keseluruhan
harta warisan yang ada dibagi kepada setiap ahli waris yang bersifat
individual. Berdasarkan QS. An-Nisaa’: 7 mempunyai suatu hak dari orang
terdekatnya bahkan dari orangtuanya, diluar dari jumlah keseluruhan harta
dan bagian-bagian yang nanti akan dibagikan. Pada kasus penerima warisan
yang belum cukup umur atau belum dewasa untuk menerima warisan, maka
akan dititipkan pada walinya sampai pada saat penerima sah warisan tersebut
sudah cukup umur. Berdasrkan pemaparan diatas maka hukum ini tidak
bersifat kolektif, dan jika bersifat kolektif maka dapat menyalahi ketentuan
yang sudah ada dan tidak masuk dalam hukum islam.(Sukardi, 2014)
Selain itu berdasarkan pendapat dari Abrar Saleng pada tahun 2007 menyatakan
syarat kewarisan islam dalam hukum islam sebagai berikut:(Nova & Pamulang,
2021)
1. Meninggal dunianya pewaris.
2. Hidupnya ahli warisan
3. Mengetahui status kewarisan
Seseorang yang menjadi penerima harta warisan harus mempunyai status yang
jelas, misalnya hubungan keluarga atau kerabat dekat.
a) Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap muwaris
menyebabkan tidak dapat mewarisi harta peninggalan muwaris. Ini
bedasarkan hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ibn
Majah dan At-Tirmizi “Bahwa seseorang yang membunuh pewarisnya tidak
berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya itu”.32 Mengingat
banyaknya bentuk tindakan pembunuhan, para ulama berbeda pendapat
tentang jenis pembunuhan mana yang menjadi penghalang kewarisan.
(Akmaliyah, 2013)
Menurut ulama Syafiyah berpendapat bahwa segala bentuk tindakan
pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya menjadi
penghalang untuk mewarisi.33 Menurut ulama Hanafiyah pembunuhan yang
dapat menghalangi mewarisi ada empat macam yaitu Pertama pembunuhan
dengan sengaja yang sudah direncanakan sebelumnya, Kedua pembunuhan
mirip sengaja dengan menganiaya tetapi tidak bermaksut membunuh, Ketiga
pembunuhan karna khilaf yaitu pembunuhan yang tanpa sengaja membunuh,
Keempat pembunuhan dianggap khilaf misalnya tanpa sengaja barang berat
yang dibawa terjatuh menimpa dan yang tertimpa meninggal.
Menurut ulama Malikiyah pembunuhan yang menjadi penghalang
mewarisi yaitu pembunuhan dengan sengaja, mirip sengaja, pembunuhan
tidak langsung yang disengaja.35 Sedangkan menurut ulama Hanabilah
pembunuhan yang dapat penghalang mewarisi yaitu pembunuhan sengaja,
mirip sengaja, kerena khilaf, dianggap khilaf, tidak langsung dan pembunuhan
yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap untuk bertindak (anak kecil atau
orang gila).
b) Berlainan Agama
Berlainan agama merupakan penyebab hilangnya hak kewarisan
sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasuslullah dari Usman bin Zaid,
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah
yanng telah disebutkan bahwa seseorang muslim tidak menerima warisan dari
yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari
seorang muslim. Dari penjelasan hadis tersebut dapat diketahui bahwa
hubungan antara kekerabatan yang berbeda agama dalam kehidupan sehari-
hari hanya menyangkut pergaulan saja, Jadi sudah jelas bahwa berlainan
agama akan menjadi penghalang untuk saling mewarisi. Seseorang yang
murtad termasuk orang yang tidak medapatkan warisan dari keluarganya yang
muslim.(Ismail, 2020)
c) Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi bukan karena status
kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba
sahaya (budak). Status budak dianggap tidak cakap mengurusi harta dan putus
hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya, budak juga dipandang sebagai
harta milik tuannya. Sehinngga tidak dapat mewariskan harta peninggalannya,
sebab dirinya dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya.
(Muthmainnah & Santoso, 2019)
Daftar Pustaka
Islam, J. H., Islam, P. S., Cetak, M., & Online, M. (2020). Universitas Airlangga A .
PENDAHULUAN Hukum Islam atau secara yang disyariatkan oleh Allah
kepada menyangkut untuk aqidah , akhlak , terminologis Bahasa Arab disebut
Syariat adalah tata aturan atau hukum-hukum tersebut merupakan suatu pesan
menurut Al-Qur ’ an surah Al-Jasiyah ayat 18 Allah berfirman bahwa , Kami
merupakan suatu norma hukum dasar yang ditetapkan oleh Allah yang wajib
diikuti oleh umat Islam berdasarkan keyakinan disertai akhlak dalam suatu
hubungan manusia dengan Allah , dengan sesama manusia , dan dengan alam
semesta . 3 Syariat diperinci oleh Rasulullah S . A . W . dalam sunnah yang
diriwayatkan dalam hadist-hadist Beliau supaya umat Islam tidak tersesat
dalam perjalanan hidupnya karena umat Islam memiliki pegangan Al- Qur ’ an
dan sunah Rasulullah . Sejak didakwahkan oleh Nabi jadikan kamu berada
diatas suatu syariat ( peraturan ) dari urusan ( agama ) itu , maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-irang yang tidak
mengetahui ”. Berdasarkan ayat tersebut , ulama-ulama Islam memberi definisi
Syariat sebagai keseluruhan hukum yang diadakan Tuhan untuk hamba-hamba-
Nya , dibawa oleh seorang Nabi . 2 Syariat kemudian terbagi menjadi 2
himpunan hukum , yang berhubungan dengan tata cara pengadaan perbuatan
disebut sebagai hukum cabang dan amalan yang dipelajari dalam ilmu fiqih dan
yang memuat pokok cara Muhammad dan para sahabatnya , ajaran Islam
menyebar ke seluruh penjuru dunia . Dari Abu Umamah Al-Baahili ra
meriwayatkan dalam suatu hadist bahwa Rasulullah S . A . W . “ sesungguhnya
Allah dan para Malaikat , serta semua makhluk di langit dan di bumi , sampai
semut dalam lubangnya dan ikan ( di lautan ), benar-bernar bershalawat
mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan ( ilmu agama )
kepada manusia ”. Penyebaran tersebut kepercayaan mengadakan kepercayaan
( i ’ tiqad ) dalam suatu himpunan ilmu kalam . Pemisahan tersebut
dimaksudkan untuk memberi pemahaman bahwa Agama memiliki cakupan yang
luas , sedangkan syariat dapat berbeda-beda antar umat yang menganutnya
karena secara hakikat syariat. 2800(2016), 68–86.
Ismail, A. H. (2020). Jurnal Mercatoria. 13(16), 131–142.
Jamal, R. (2016a). Kewarisan Bilateral Antara Ahli Waris Yang Berbeda Agama
Dalam Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah,
14(1). https://doi.org/10.30984/as.v14i1.312
Naskur, N. (2018). Pembagian Harta Warisan Disaat Pewaris Masih Hidup Telaah
Pasal 187 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah,
15(1), 40–55. https://doi.org/10.30984/as.v15i1.473
Nova, L., & Pamulang, U. (2021). Hukum Waris Adat Di Minangkabau Ditinjau
Dari Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Perdata. 1(1), 34–41.
Noviardi, N., & Rozi, S. (2017). Penerapan nilai toleransi antar budaya dalam
pelaksanaan hukum kewarisan Islam pada masyarakat perbatasan di Rao
Pasaman Sumatera Barat. Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam Dan
Kemanusiaan, 17(1), 85. https://doi.org/10.18326/ijtihad.v17i1.85-112
Pongoliu, H. (2019). Dialektika Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam di Kota
Gorontalo. Jurnal Al-Himayah, 3(2), 145–172.
Silvia, E., Taufiq, M. S., Umami, A., & Metro, U. M. (2021). 18 | JUSTICE : Jurnal
Hukum. 1(1), 17–25.
Sukardi, D. (2014). Perolehan Dan Hak Waris Dari Istri Kedua, Ketiga Dan Keempat
Dalam Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia1 (Sebuah Pemahaman Dengan
Ilmu Hukum, Filsafat Hukum Dan Paradigmatik). Jurnal Hukum &
Pembangunan, 44(3), 435. https://doi.org/10.21143/jhp.vol44.no3.30
Syariah, J., Teraju, K., Tinggi, S., Islam, A., Abdurrahman, S., Riau, K.,
Abdurrahman, S. S., Sagita, H., Abdillah, Z., & Ismail, H. (2019). Pengantar
Edisi Perdana. 1(1).
Wahyunadi, Z., & HJ Azahari, R. (2015). Perubahan Sosial Dan Kaitannya Dengan
Pembagian Harta Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Islam
Futura, 14(2), 166. https://doi.org/10.22373/jiif.v14i2.328
Walim, W. (2017). Prinsip, Asas Dan Kaidah Hukum Waris Islam Adil Gender.
Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 3(1), 35. https://doi.org/10.35194/jhmj.v3i1.9
Zubair, A., & Lebba. (2008). Penggantian Ahli Waris Menurut Tinjauan Hukum
Islam. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah Dan Hukum, 42(2), 343–359.