Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hukum Kewarisan Islam

Hukum waris islam sering dikenal dengan beberapa nama seperti Faraid, Fikih
Mewaris dan Hukum al-Waris. Hukum waris islam sering membahas mengenai
tentang pergantian harta seseorang dari orang yang sudah meninggal kepada orang
yang masih hidup.(Fauzi, 2016)

Lafad “faraid” adalah bentuk jamak dari “faridhah” yang berarti “mafrudhah”
yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya (ketentuannya) karena saham-saham
yang telah dipastikan kadarnya.(Listyawati & Dazriani, 2015)

Definisi lain yang berkaitan dengan hukum waris Islam disampaikan oleh
Muhammad Asy-Syarbini yaitu Ilmu fiqhi yang berpautan dengan harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian
harta pusaka dan pengetahuan mengenai bagian-bagian wajib dari harta peninggalan
untuk setiap pemilik hak pusaka.(Muhammad Daud & Azahari, 2019)

Adapun penggunaan kata Mawarist lebih melihat kepada yang menjadi objek
hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup sebab kata
mawarist merupakam bentuk plural dan kata miwrats; harta yang diwarisi.
Berdasarkan berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum waris
Islam adalah hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan
pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan.(Noviardi & Rozi,
2017)
2.2 Pengertian Pewaris, Ahli Waris dan Harta Warisan

 Pewaris
Berdasarkan pasal 171 butir b Kompilasi Hukum Islam menjelaskan
bahwa Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Maka berdasarkan pemaparan
diatas dapat disimpulkan bahwa pewaris merupakan seseorang yang telah
meninggal yang meninggalkan hartanya kepada orang yang masih hidup.
(Wulandari, 2017)

 Ahli Waris
Ahli waris adalah seseorang yang tidak melanggar hukum pada saat
menjadi ahli waris dan mempunyai hubungan yang dekat dengan pewaris
yang sudah meninggal yang sudah diatur dalam pasal 171 butir c Kompilasi
Hukum Islam. Pengertian lain dikemukakan oleh Subchan Bashori dalam
penelitiannya pada tahun 2009 menyatakan bahwa ahli waris adalah individu
yang merupakan kenalan dekat dari pewaris dan yang masih hidup ketika
pewaris suddah meninggal, meskipun ketika warisan itu dibagi ahli waris
tersebut sudah meninggal yang beragama islam dan tidak melanggar hukum
untuk menjadi ahli waris.(Jamal, 2016a)

 Harta Warisan
Harta warisan merupakan susuatu yang menjadi milik pewaris baik dari segi
aset, properti dan berbagai harta lainnya yang ditinggalkan oleh pewaris yang
diatur dalam pasal 171 butir d kompilasi Hukum Islam.(Wahyunadi & HJ
Azahari, 2015)
2.3 Dasar Hukum Waris Islam

Dasar hukum waris islam diantaranya sebagai berikut:

1. Al ‘Quran, merupakan sebagian sumber hukum waris yang banyak


menjelaskan ketentuan-ketentuan faraid tiap-tiap ahli waris, seperti tercantum
pada:(SURYATI, 2000)

o Q.S. an-Nisa’(4) ayat 7, yang artinya:


“bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak
dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu bapak dan kerbatanya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.

Berdasarkan isi dari ayat yang telah dipaparkan maka dari ayat
ini bisa dijelaskan bahwa seorang pria dan wanita mempunyai hak
bagian dari harta peninggalan dari orang tau atau orang terdekat
mereka yang sudah diwariskan kepada mereka.

o Q.S. An-Nisa’(4) ayat 11, yang artinya:

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka)


untuk anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua anak perepuan dan jika anak itu semuanya
perempuan dan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak dan ia diwarisi bapak ibunya
saja, maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
Pembagian-pembagian tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan
anak-anakmu, mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang”.

Berdasarkan isi dari ayat yang telah dipaparkan maka dari ayat
ini bisa dijelaskan bahwa dalam pembagian harta warisan kepada anak
atau ke kerabat terdekatnya harus mendapatkan pembagian yang adil
dan merata baik pria maupun wanita.

o Q.S. An Nisa’ (4) ayat 12, yang artinya:


“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari
hartayangditinggalkan oleh istri-istrimu, jia mereka tidak mempunyai
anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
sudah mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yangmereka buat dan sesudah dibayar
hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tingalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik
lak-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudaraitu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-
benar dari Allah dan Allah Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
Pembagian waris pada ayat diatas boleh dilakukan setelah wasiat si
peninggal ditunaikan dan hutang-hutangnya dilunasi. Dan syarat
wasiat yang dibolehkan adalah wasiat untuk kemaslahatan, bukan
untuk menghalangi seseorang mendapat bagiannya dari harta tersebut
atau untuk mengurangi bagian ahli waris yang lain, yaitu seperti
berwasiat dengan lebih dari 1/3 harta yang ditinggalkannya.
Pembagian waris yang dimaksud dalam surat An Nisa’ ayat 11, 12
diatas setelah dikeluarkan wasiat dan hutang.

o Q.S. AN Nisa’ (4) ayat 176, yang artinya:


“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah.
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu), jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya
yang perempun itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan,
maka bagian seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui dari segala
sesuatu”. Ayat ini menjelaskan agar manusia tidak salah dalam
pembagian warisan atau tidak terjadi kedzaliman pada salah
satu atau sebagian ahli waris terutama bila didalamnya terdapat
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan wanita.

2. Al-Hadits, yang antara lain diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA yang


artinya:(Silvia et al., 2021)
o Dari Abdullah bin Abbas RA dari Nabi SAW bersabda,
“Berikanlah orang-orang yang mempunyai bagian tetap
sesuai dengan bagiannya masing-masing, sedangkan kelebihannya
diberikan kepada ashabah yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki
yang lebih utama”.

o Dalam satu riwayat disebutkan:


“Bagilah harta warisan di antara para ahli waris yang berhak
berdasarkan kitab Allah. Adapun sisana dari harta warisan
makan untuk orang laki-laki yang berhak”.

Berdasarkan ketentuan dari Allah SWT yag mengkehendaki


agar membagikan harta warisan secara adil dan merata yang sesuai
dengan hak yang mereka terima. Jika setelah pembagian harta tetapi
masih ada sisanya maka dapat di bagi kepada saudara laki-laki yang
memiliki hubungan darah terdekat. Hail ini dikarenakan saudara laki-laki
yang memiliki hubungan darah terdekat merupakan ta’shib.

3. Ijma’
Ijma’ merupakan suatu kesepakatan dari para ulama mujtahi yang
bertujuan untuk mewujudkan keadilan.(Syariah et al., 2019)
4. Ijtihad
Ijtihad merupakan gagasan dari para ulama yang memenuhi syarat dalam
menangani permasalahan yang terjadi dan pada khususnya pada saat
pembagian warisan.(Taqiyuddin, 2020)

2.4 Prinsip Hukum Kewarisan Islam


Berikut Prinsip hukum kewarisan Islam diantaranya sebagai berikut:
1. Prinsip Ijbari
Dalam hukum Islam, peralihan harta dari orang yang telah meninggal
kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang
akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara peralihan seperti
ini disebut secara ijbari. Unsur “memaksa” (ijbari=compulsory) dalam hukum
waris Islam itu terlihat, terutama, dri kewajiban ahli waris Islam itu terlihat,
terutama, dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpindahan harta
peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan
oleh Allah di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris yaitu
orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu
merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karea
dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli
warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan.(Jamhir, 2019)

2. Prinsip Bilateral
Prinsip bilateral ialah bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat
mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan yakni pihak kerabat laki-
laki dan pihak kerabat perempuan. Sehingga dapat diakatakan bahwa jenis
kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi. Prinsip
bilateral ini secara umum dapat dilihat pada QS. An-Nisaa’ ayat 7. Sedangan
QS. An-Nisaa’ ayat 11, 12, dan 176 merinci lebih jauh mengenai siapa saja
yang dapat mewaris dan berapa besar bagiannya.(Walim, 2017)

3. Prinsip Individual
Dalam Hukum Islam membahas mengenai pembagian harta kewarisan,
dimana pada pembagiannya sudah dibagi berdasrkan hak-hak yang diperoleh
dari individu itu sendiri, sehingga ahli waris yang satu dengan yang lain tidak
saling berterikatan antara satu dengan yang lain. Dari jumlah total keseluruhan
harta warisan yang ada dibagi kepada setiap ahli waris yang bersifat
individual. Berdasarkan QS. An-Nisaa’: 7 mempunyai suatu hak dari orang
terdekatnya bahkan dari orangtuanya, diluar dari jumlah keseluruhan harta
dan bagian-bagian yang nanti akan dibagikan. Pada kasus penerima warisan
yang belum cukup umur atau belum dewasa untuk menerima warisan, maka
akan dititipkan pada walinya sampai pada saat penerima sah warisan tersebut
sudah cukup umur. Berdasrkan pemaparan diatas maka hukum ini tidak
bersifat kolektif, dan jika bersifat kolektif maka dapat menyalahi ketentuan
yang sudah ada dan tidak masuk dalam hukum islam.(Sukardi, 2014)

4. Prinsip Keadilan Berimbang


Adil atau al-‘adlu merupakan suatu hal yang seimbang antara hak dan
kewajiban yang diperoleh. Dalam hal ini maka dapat dilihat tidak adanya
pembagian yang tidak merata baik dari segi jenis kelamin pria dan wanita atas
hak memperoleh harta warisan yang sudah diwariskan. Selain itu dari aspek
jumlah harta yang dibagikan memang sebenarnya tidak akan sama. Hal ini
dikarenakan dalam aspek agama islam tidak mengukur dari segi jumlah yang
akan diperoleh tetapi dilihat juga dari aspek fungsi dan kebutuhannya.
(Pongoliu, 2019)

5. Prinsip Adanya Kewarisan karena Kematian


Hukum waris islam dapat terjadi jika seorang pewaris tersebut
meninggal dunia, maksudnya harta dari pewaris dapat diwariskan jika pewaris
tersebut sudah meningal dunia dan walaupun beliau mempunyai hak untuk
mengurus hartanya tetapi harta tersebut hanya berupa keperluan pada saat
masih hidup. Maka dapat disimpulkan hukum kewarisan Islam lebih bersifat
kewarisan ab intestato (warisan dikarenakan kematian).(Dahwal, 2019)

2.5 Syarat Kewarisan Hukum Islam


Berdasrkan penelitian dari Nurhayati Abbas pada tahun 2007 membagikan
beberapa syarat mewaris sebagai berikut:(Islam et al., 2020)
1. Harta dapat diwariskan jika pewarisnya sudah meninggal.
2. Pada saat peralihan harta warisan, seorang penerima harta warisan harus
dalam keadaan hidup.
3. Penerima harta warisan sudah cukup ummur dan bertanggung jawab untuk
mengelola harta yang diwariskan.
4. Ada sesuatu yang mau diwariskan

Selain itu berdasarkan pendapat dari Abrar Saleng pada tahun 2007 menyatakan
syarat kewarisan islam dalam hukum islam sebagai berikut:(Nova & Pamulang,
2021)
1. Meninggal dunianya pewaris.
2. Hidupnya ahli warisan
3. Mengetahui status kewarisan
Seseorang yang menjadi penerima harta warisan harus mempunyai status yang
jelas, misalnya hubungan keluarga atau kerabat dekat.

2.6 Sebab Kewarisan


Menurut para mufassirin, sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam Al
‘Quran ada tiga. Sebab-sebab itu adalah:
 Perkawinan, yang dimaksudkan ialah perkawinan sah antara suami dan istri
bahkan bagi sepasang suami-istri yang belum melakukan hubungan intim
sekalipun. Terdapat 2 syarat yang membuat perkawinan menjadi sebab
kewarisan:(Jamal, 2016b)
1. Akad perkawinan,
Yang dimaksudkan ialah baik kedua suami istri telah berkumpul
maupun belum, ketentuan ini berdasarkan keumuman ayat-ayat
mawaris dan tindakan Rasulullah SAW bahwa beliau “telah
memutuskan kewarisan Barwa’ binti Wasyiq. Suaminya telah
meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan belum
menetapkan mas kawinnya”. Putusan Rasulullah ini menunjukkan
bahwa pernikahan antara Barwa’ dengan suaminya adalah sah.
2. Ikatan perkawinan antara suami-istri itu masih utuh atau dianggap
masih utuh, suatu perkawinan dianggap masih utuh apabila
perkawinan itu telah diputuskan dengan talaq raj’i. Lain halnya
dengan talaq ba’in yang membawa akibat putusnya ikatan
perkawinan sejak talaq dijatuhkan.
 Hubungan kekerabatan, kekerabatan adalah suatu hubungan antara pewaris
dengan penerima warisan berdasarkan kelahiran. Kekerabatan merupakan hal
yang sangan penting dan tidak dapat dihilangkan. Lain halnya dengan
pernikahan yang dapat bersifat cerai sehingga dapat hilang atau tidak terjadi
pewarisan.(Naskur, 2018)
 Hubungan memerdekakan budak (wala’ ), wala ’ dalam pengertian syaria
adalah kekerabatan yang timbul karena membebaskan (memberi hak
emansipasi) budak, kekerabatan yang timbul karena adanya perjanjian
tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang
lain. Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak)
adalah 1/6.(Jamal, 2016b)
2.7 Penghalang Mewaris
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan
hak seseorang untuk mewarisi kerena adanya sebab atau syarat mewarisi, namun
karena sesuatu hal sehingga tidak mendapatkan hak waris. Hal-hal yang dapat
menghalangi ahli waris mendapatkan hak warisnya adalah sebagai berikut.

a) Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap muwaris
menyebabkan tidak dapat mewarisi harta peninggalan muwaris. Ini
bedasarkan hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ibn
Majah dan At-Tirmizi “Bahwa seseorang yang membunuh pewarisnya tidak
berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya itu”.32 Mengingat
banyaknya bentuk tindakan pembunuhan, para ulama berbeda pendapat
tentang jenis pembunuhan mana yang menjadi penghalang kewarisan.
(Akmaliyah, 2013)
Menurut ulama Syafiyah berpendapat bahwa segala bentuk tindakan
pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya menjadi
penghalang untuk mewarisi.33 Menurut ulama Hanafiyah pembunuhan yang
dapat menghalangi mewarisi ada empat macam yaitu Pertama pembunuhan
dengan sengaja yang sudah direncanakan sebelumnya, Kedua pembunuhan
mirip sengaja dengan menganiaya tetapi tidak bermaksut membunuh, Ketiga
pembunuhan karna khilaf yaitu pembunuhan yang tanpa sengaja membunuh,
Keempat pembunuhan dianggap khilaf misalnya tanpa sengaja barang berat
yang dibawa terjatuh menimpa dan yang tertimpa meninggal.
Menurut ulama Malikiyah pembunuhan yang menjadi penghalang
mewarisi yaitu pembunuhan dengan sengaja, mirip sengaja, pembunuhan
tidak langsung yang disengaja.35 Sedangkan menurut ulama Hanabilah
pembunuhan yang dapat penghalang mewarisi yaitu pembunuhan sengaja,
mirip sengaja, kerena khilaf, dianggap khilaf, tidak langsung dan pembunuhan
yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap untuk bertindak (anak kecil atau
orang gila).

b) Berlainan Agama
Berlainan agama merupakan penyebab hilangnya hak kewarisan
sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasuslullah dari Usman bin Zaid,
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah
yanng telah disebutkan bahwa seseorang muslim tidak menerima warisan dari
yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari
seorang muslim. Dari penjelasan hadis tersebut dapat diketahui bahwa
hubungan antara kekerabatan yang berbeda agama dalam kehidupan sehari-
hari hanya menyangkut pergaulan saja, Jadi sudah jelas bahwa berlainan
agama akan menjadi penghalang untuk saling mewarisi. Seseorang yang
murtad termasuk orang yang tidak medapatkan warisan dari keluarganya yang
muslim.(Ismail, 2020)

c) Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi bukan karena status
kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba
sahaya (budak). Status budak dianggap tidak cakap mengurusi harta dan putus
hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya, budak juga dipandang sebagai
harta milik tuannya. Sehinngga tidak dapat mewariskan harta peninggalannya,
sebab dirinya dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya.
(Muthmainnah & Santoso, 2019)

2.8 Penggantian Tempat dalam Kewarisan Islam


Istilah penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti, secara harfiah
terdiri dari kata waris dan kalimat pengganti. Kata-kata ahli waris adalah mereka
yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewarisnya. Kemudian kalimat
pengganti berasal dari kata ganti yang diberi awalan yang berarti orang yang
menggantikan pekerjaan, jabatan orang lain sebagai wakil.(Zubair & Lebba, 2008)
Dalam Kamus Hukum disebutkan penggantian tempat ahli waris/ahli waris
pengganti adalah pengganti dalam pembagian warisan bilamana ahli waris tersebut
lebih dahulu meninggal dari pada si pewaris, maka warisannya dapat diterima kepada
anak-anak waris yang meninggal.(Kemalasari, 2015)
Menurut Hazairin, cucu yang terlebih dahulu orangtuanya meninggal dari
kakek dan neneknya, secara umum (dengan tanpa membedakan jenis kelamin) dapat
menggantikan kedudukan orang tuanya dalam memperoleh warisan secara umum
(dengan tanpa membedakan jenis kelamin) pula. Pemahaman Hazairin tentang
adanya penggantian tempat ahli waris/pemahaman kata mawali.48 Dalam Q.S An-
Nisa (4):33 yang berbunyi: ”Yang terjemahannya menurut Hazarin : “Bagi setiap
orang Allah SWT mengadakan mawali bagi harta peninggalan orang tua dari keluarga
dekat, dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,
maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah SWT menyaksikan
segala sesuatu.”(Abdul Qodir Zaelani, 2020)

Daftar Pustaka

Abdul Qodir Zaelani. (2020). KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI


( PLAATSVERVULLING ) DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN
PEMECAHANNYA Abdul Qodir Zaelani. 2, 91–105.
https://doi.org/10.37876/adhki.v2i1.32

Akmaliyah, M. (2013). 済無 No Title No Title. Journal of Chemical Information and


Modeling, 53(9), 1689–1699.

Dahwal, S. (2019). Hubungan Hukum Keluarga Dan Hukum Kewarisan. Supremasi


Hukum :Jurnal Penelitian Hukum, 28(1), 17–32.

Fauzi, M. (2016). Legislasi Hukum Kewarisan Di Indonesia. Ijtimaiyya, 9(2), 53–76.


https://doi.org/10.24042/ijpmi.v9i2.949

Islam, J. H., Islam, P. S., Cetak, M., & Online, M. (2020). Universitas Airlangga A .
PENDAHULUAN Hukum Islam atau secara yang disyariatkan oleh Allah
kepada menyangkut untuk aqidah , akhlak , terminologis Bahasa Arab disebut
Syariat adalah tata aturan atau hukum-hukum tersebut merupakan suatu pesan
menurut Al-Qur ’ an surah Al-Jasiyah ayat 18 Allah berfirman bahwa , Kami
merupakan suatu norma hukum dasar yang ditetapkan oleh Allah yang wajib
diikuti oleh umat Islam berdasarkan keyakinan disertai akhlak dalam suatu
hubungan manusia dengan Allah , dengan sesama manusia , dan dengan alam
semesta . 3 Syariat diperinci oleh Rasulullah S . A . W . dalam sunnah yang
diriwayatkan dalam hadist-hadist Beliau supaya umat Islam tidak tersesat
dalam perjalanan hidupnya karena umat Islam memiliki pegangan Al- Qur ’ an
dan sunah Rasulullah . Sejak didakwahkan oleh Nabi jadikan kamu berada
diatas suatu syariat ( peraturan ) dari urusan ( agama ) itu , maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-irang yang tidak
mengetahui ”. Berdasarkan ayat tersebut , ulama-ulama Islam memberi definisi
Syariat sebagai keseluruhan hukum yang diadakan Tuhan untuk hamba-hamba-
Nya , dibawa oleh seorang Nabi . 2 Syariat kemudian terbagi menjadi 2
himpunan hukum , yang berhubungan dengan tata cara pengadaan perbuatan
disebut sebagai hukum cabang dan amalan yang dipelajari dalam ilmu fiqih dan
yang memuat pokok cara Muhammad dan para sahabatnya , ajaran Islam
menyebar ke seluruh penjuru dunia . Dari Abu Umamah Al-Baahili ra
meriwayatkan dalam suatu hadist bahwa Rasulullah S . A . W . “ sesungguhnya
Allah dan para Malaikat , serta semua makhluk di langit dan di bumi , sampai
semut dalam lubangnya dan ikan ( di lautan ), benar-bernar bershalawat
mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan ( ilmu agama )
kepada manusia ”. Penyebaran tersebut kepercayaan mengadakan kepercayaan
( i ’ tiqad ) dalam suatu himpunan ilmu kalam . Pemisahan tersebut
dimaksudkan untuk memberi pemahaman bahwa Agama memiliki cakupan yang
luas , sedangkan syariat dapat berbeda-beda antar umat yang menganutnya
karena secara hakikat syariat. 2800(2016), 68–86.
Ismail, A. H. (2020). Jurnal Mercatoria. 13(16), 131–142.

Jamal, R. (2016a). Kewarisan Bilateral Antara Ahli Waris Yang Berbeda Agama
Dalam Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah,
14(1). https://doi.org/10.30984/as.v14i1.312

Jamal, R. (2016b). KEWARlSAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ISLAM,


HUKUM PERDATA DAN HUKUM ADAT. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, 4(2).
https://doi.org/10.30984/as.v4i2.203

Jamhir. (2019). Hukum Waris Islam Mengakomodir Prinsip Hukum Yang


Berkeadilan Gender. Jurnal Studi Gender Dan Islam Serta Perlindungan Anak
UIN Ar-Raniry Banda Aceh, VIII(I), H. 1. https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php

Kemalasari, D. (2015). Analisis Yuridis Penerapan Khi dalam Penggantian Tempat


Ahli Waris/Ahli Waris Pengganti pada Masyarakat Kecamatan Banda Sakti Kota
Lhokseumawe. Premise Law Journal, 3, 14032.

Listyawati, P. R., & Dazriani, W. (2015). Perbandingan Hukum Kedudukan Ahli


Waris Pengganti Berdasarkan Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum
Kewarisan Menurut KUHPerdata. Jurnal Pembaharuan Hukum, II(3), 335–344.

Muhammad Daud, Z. F., & Azahari, R. B. (2019). Menyoal Rekontruksi Maqashid


Dalam Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura,
18(1), 1. https://doi.org/10.22373/jiif.v18i1.2843

Muthmainnah, M., & Santoso, F. S. (2019). Akibat Hukum Harta Bersama


Perkawinan Dalam Pewarisan Di Indonesia Analisis Komparatif Hukum Islam
Dan Hukum Adat. Ulumuddin : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 9(1), 81–96.
https://doi.org/10.47200/ulumuddin.v9i1.286

Naskur, N. (2018). Pembagian Harta Warisan Disaat Pewaris Masih Hidup Telaah
Pasal 187 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah,
15(1), 40–55. https://doi.org/10.30984/as.v15i1.473
Nova, L., & Pamulang, U. (2021). Hukum Waris Adat Di Minangkabau Ditinjau
Dari Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Perdata. 1(1), 34–41.

Noviardi, N., & Rozi, S. (2017). Penerapan nilai toleransi antar budaya dalam
pelaksanaan hukum kewarisan Islam pada masyarakat perbatasan di Rao
Pasaman Sumatera Barat. Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam Dan
Kemanusiaan, 17(1), 85. https://doi.org/10.18326/ijtihad.v17i1.85-112

Pongoliu, H. (2019). Dialektika Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam di Kota
Gorontalo. Jurnal Al-Himayah, 3(2), 145–172.

Silvia, E., Taufiq, M. S., Umami, A., & Metro, U. M. (2021). 18 | JUSTICE : Jurnal
Hukum. 1(1), 17–25.

Sukardi, D. (2014). Perolehan Dan Hak Waris Dari Istri Kedua, Ketiga Dan Keempat
Dalam Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia1 (Sebuah Pemahaman Dengan
Ilmu Hukum, Filsafat Hukum Dan Paradigmatik). Jurnal Hukum &
Pembangunan, 44(3), 435. https://doi.org/10.21143/jhp.vol44.no3.30

SURYATI. (2000). Keadilan Dalam Hukum Waris Islam. 34(1), 1–14.

Syariah, J., Teraju, K., Tinggi, S., Islam, A., Abdurrahman, S., Riau, K.,
Abdurrahman, S. S., Sagita, H., Abdillah, Z., & Ismail, H. (2019). Pengantar
Edisi Perdana. 1(1).

Taqiyuddin, H. (2020). Hukum Waris Islam Sebagai Instrumen Kepemilikan Harta.


Asy-Syari’ah, 22(1), 1–20. https://doi.org/10.15575/as.v22i1.7603

Wahyunadi, Z., & HJ Azahari, R. (2015). Perubahan Sosial Dan Kaitannya Dengan
Pembagian Harta Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Islam
Futura, 14(2), 166. https://doi.org/10.22373/jiif.v14i2.328

Walim, W. (2017). Prinsip, Asas Dan Kaidah Hukum Waris Islam Adil Gender.
Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 3(1), 35. https://doi.org/10.35194/jhmj.v3i1.9

Wulandari, A. S. risky. (2017). Studi Komparatif Pembagian Harta Warisan Terhadap


Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum. Jurnal Cahaya
Keadilan, 5(2), 1. https://doi.org/10.33884/jck.v5i2.794

Zubair, A., & Lebba. (2008). Penggantian Ahli Waris Menurut Tinjauan Hukum
Islam. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah Dan Hukum, 42(2), 343–359.

Anda mungkin juga menyukai