Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat penduduk yang tinggi yaitu
pada urutan ke empat dan juga indonesia merupakan negara yang merupakan negara yang
kaya akan sumber daya alam dan terletak secara geografis yang merupakan tempat
transportasi duunia. Oleh sebab itu banyak perusahan luar atau investor luar yang banyak
menanam saham di Indonesia. Hal ini membuat pendapatan negara Indonesia akan
meningkat khususnya pada sektor pajak. Selain itu dengan peningkata pendapatan negara
yang baik maka Indonesia akan memaksimalkan pembangunan nasional dalam
merelasikan kesejahteraan rakyat. Dalam merencanakan hal tersebut dapat terlaksana maka
diperlukan kontribusi dari pemerintahan yakni pajak. (Bawazier, 2011)

Berdasarkan hasil yang didapatkan oleh Kementrian Keuangan melalui APBN pada
tahun 2019 terdapat peningkatan penerimaan pajak, yaitu target sebesar Rp. 1.786,4 triliun
atau 15,4 persen dari outlook APBN tahun 2014 dengan tx ratio sekitar 12,2 persen.
Sedangkan penerimaan perpajakan terhadap total pendapatan negara naik menjadi 82,5
persen. Target Penerimaan Kepabeanan dan Cukai tahun 2019 sebesar Rp.208,8 triliun
atau tumbuh 5,7 persen dari outlook APBN tahun 2018. Sedangkan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) tahun 2019 ditargetkan Rp.378,3 triliun atau tumbuh 8,3 persen dari
outlook APBN 2018 (www.kemenkeu.go.id). Dengan adanya peningkatan penerimaan
pajak yang signifikan dari tahun 2018 sampai 2019 , hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah telah berhasil mencapai target pajak pada tahun-tahun tersebut. Salah satu jenis
pajak yang memberikan kontribusi terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh), baik PPh
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) maupun PPh Wajib Pajak Badan. Kewajiban
membayar pajak diatur dalam surat At-Taubah ayat 29 dan Undang-undang Dasar 1945
Amandemen III pasal 23A. (Djayusman & Fatturroyhan, 2017)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa penerimaan pajak


pada tahun 2017 yang terealisasi sebesar Rp 1.339,8 triliun atau 91% dari APBN, hal ini
berbeda dengan dua tahun terakhir yang berkisar 83% dan juga dikatakan bahwa
penerimaan pajak terbesar berasal dari PPh nonmigas (Deny, 2018; Kementerian
Keuangan Republik Indonesia, 2018b; Kusuma, 2018). Rencana terealisasinya pendapatan
APBN 2018 dari penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 1.618,1 triliun dengan tax ratio
11,6% PDB. Rasio pajak (tax ratio) di Indonesia masih dinilai rendah (Afrianto, 2017).
Rasio pajak menunjukkan seberapa besar agresivitas pajak suatu negara dapat dilihat dari
kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pendapatan di sektor pajak. Menteri
Keuangan Bambang P.S. Brodojonegoro dalam konferensi pers mengatakan bahwa
realisasi pendapatan negara tercatat mencapai Rp.1.537,2 triliun atau 94 persen dari
rencana dalam APBN-P 2014 yang sebesar Rp1.635,4 triliun. Dari jumlah realisasi
pendapatan negara tersebut, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp1.143,3 triliun,
atau 91,7 persen dari target yang ditetapkan sebesar Rp1.246,1 triliun (Kementrian
Keuangan Republik Indonesia, 2015). (Prasetyo, 2018)

Pajak merupakan salah satu sektor penting yang menjadi sumber pendapatan bagi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbesar di Indonesia. Pajak
berkontribusi sebesar 70% dari seluruh penerimaan negara. Sumber pendapatan pajak di
Indonesia berasal dari dua wajib pajak, wajib pajak baik orang pribadi maupun wajib pajak
badan. Ketentuan mengenai perpajakan di Indonesia diatur dalam Pasal 23A UUD 1945
yang berbunyi: “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan Undang-Undang”. Pemerintah menggunakan pendapatan dari sektor pajak
ini untuk membiayai semua penyelenggaraan negara, termasuk pembangunan infrastruktur
untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. (RACHMAWATI,
2013)

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang berasal dari iuran
wajib rakyat, dan dimana ketentuan pungutannya diatur dalam pasal 23A Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “pajak dan pungutan lain yang bersifat
mamaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang”. (T. Putri et al., 2019)

Pernyataan tersebut didukung oleh Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal


Kementerian Keuangan RI yang menuliskan dalam artikelnya bahwa jika ditengok ke
belakang, dalam kurun 6 tahun terakhir penerimaan perpajakan sudah mengalami
permasalahan, yaitu tidak tercapainya target penerimaan pajak. Tahun 2009 misalnya,
realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 94,3% dari target, sedikit meningkat di tahun
2011 menjadi 97,2%, namun kembali mengalami penurunan di tahun 2012 menjadi 94,4%
dan kembali mengalami penurunan di tahun 2013 menjadi 92,4%. (Alfian, 2012)

Pada tahun 208 pemerintah kembali melakukan perubahan atas UU Pajak


Penghasilan (PPh) No 36 tahun 2008 guna meningkatkan penerimaan pajak tersebut.
Untuk mencapai misi pemerintah tersebut, maka melalui UU No 36 tentang Pajak
Penghasilan tahun 2008. pemerintah memberikan penurunan tarif Pajak Penghasilan
menjadi 28% pada tahun 2009 dan tarif tersebut menjadi 25% mulai berlaku sejak Tahun
Pajak 2010. Dengan demikian, adanya reformasi perpajakan tentunya juga dirancang agar
para wajib pajak tidak melakukan penghindaran pajak secara agresif. Pajak sebagai salah
satu sumber pendapatan terbesar negara merupakan hal yang krusial, baik itu dari segi
pelaksanaan, pemungutan maupun peraturan perundang-undangannya. Sementara bagi
perusahaan, pajak dianggap sebagai biaya yang akan mengurangi keuntungan perusahaan
dan memperkecil laba bersih. Kondisi itulah yang menyebabkan banyak perusahaan
berusaha mencari cara untuk mengurangi biaya pajak yang dibayar. Oleh karena itu, tidak
menutup kemungkinan perusahaan akan menjadi agresif dalam perpajakan. (Octovido,
2014)

Agresivitas pajak merupakan isu yang kini cukup fenomenal di kalangan


masyarakat. Agresivitas pajak terjadi hampir di semua perusahaan-perusahaan besar
maupun kecil di seluruh dunia. Tindakan agresivitas pajak ini dilakukan dengan tujuan
meminimalkan besarnya biaya pajak dari biaya pajak yang telah diperkirakan, atau dapat
disimpulkan dengan usaha untuk mengurangi biaya pajak. (Kamila, 2014)

Beberapa peneliti dan literatur mendefinisikan agresvitas pajak dalam berbagai


persepsi. Berdasrkan pendpata dari Chen tahun 2008 mendefinisikan agresivitas pajak
sebagai “downward management of taxable income trough tax planning activities”. Selain
itu pendapat dari Rego pada tahun 2009, menyatakan agresivitas pajak sebagai “downward
manipulation of taxable income trough tax planning thay may or may not be considered
fraudulent tax evation”. Definisi dari berbagai peneliti ini menimbulkan pemahaman
bahwa tindakan agresivitas dapat dilakukan melalui cara yang legal maupun illegal.
Beberapa peneliti lain seperti Mangunsong (2002), Mangoting (2009) dan Harari, dkk.,
(2012) juga menjelaskan bahwa tindakan agresivitas pajak dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu, tax avoidance (legal) dan tax evasion (illegal). (Suyanto & Supramono, 2012)

Lanis & Richardson pada tahun 20013 menyatakan salah satu dampak negatif yang
akan ditimbulkan dari kegiatan agresivitas pajak adalah munculnya image negatif yang
akan diberikan masyarakat terhadap perusahaan. Perusahaan yang melakukan agresivitas
pajak akan dianggap tidak adil dalam melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah.
Meskipun agresivitas pajak dapat dilakukan melalui cara yang legal maupun illegal, tetapi
tetap saja tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab karena
dapat merugikan negara dan menurunkan kemampuan negara dalam menjalankan
kewajibannya untuk menyejahterakan warga negaranya. (Hadi & Mangoting, 2014)

Berdasarkan pernyataan dari Frank pada tahun 2009 Agresivitas pajak adalah suatu
tindakan merekayasa pendapatan kena pajak yang dirancang melalui tindakan perencanaan
pajak baik menggunakan cara tergolong secara legal atau tidak tergolong secara ilegal.
Walau tidak semua tindakan yang melanggar peraturan, namun semakin banyak celah
yang digunakan ataupun semakin besar penghematan yang dilakukan maka perusahaan
tersebut diangga semakin agresif terhadap pajak. Tindakan agresivitas pajak ini merupakan
tindakan yang bertentangan dengan keinginan dan harapan dari lingkungan masyarakat.
Apabila perusahaan terbukti melakukan suatu tindakan agresivitas pajak akan memperoleh
pandangan negatif dari masyarakat. (Susanto et al., 2018)

Agresivitas pajak dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah
capital intensity atau intensitas modal menunjukkan besaran investasi yang dilakukan
perusahaan dalam bentuk aset tetap (modal). Aset tetap yang dimiliki perusahaan
memungkinkan perusahaan memotong pajak akibat dari penyusutan aset tetap perusahaan
setiap tahunnya. Hampir seluruh aset tetap akan mengalami penyusutan yang akan menjadi
beban penyusutan di dalam laporan keuangan. Sementara beben penyusutan ini adalah
beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan dalam perhitungan pajak perusahaan.
Semakin besar biaya penyusutan maka semakin kecil tingkat pajak yang harus dibayarkan
perusahaan. Sehingga tingginya jumlah aset yang ada diperusahaan akan meningkatkan
agresivitas pajak. Perusahaan yang memiliki proporsi yang besar dalam aset tetap akan
membayar pajaknya lebih rendah, karena perusahaan mendapatkan keuntungan dari
depresiasi yang melekat pada aset tetap yang dapat mengurangi beban pajak perusahaan.
(Novitasari et al., 2016)

Hasil penelitian mengenai capital intensity dilakukan oleh Seri pada 2017,
menyatakan bahwa capital intensity berpengaruh positif signifikan terhadap agresivitas
pajak. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha & Meiranto, pada tahun
2015, menyatakan bahwa capital intensity tidak berpengaruh signifikan terhadap
agresivitas pajak. (Gunawan, 2017)

Intensitas modal (capital intensity) dalam investasi aset tetap perusahaan


menggambarkan banyaknya kekayaan perusahaan yang diinvestasikan terhadap aset tetap.
Rodriguez dan Arias pada tahun 2012 menyatakan bahwa aset tetap yang dimiliki
perusahaan memungkinkan perusahaan memotong pajak akibat dari adanya depresiasi aset
tetap perusahaan setiap tahunnya. Hampir seluruh aset tetap akan mengalami penyusutan
yang akan menjadi biaya depresiasi dalam laporan keuangan perusahaan. Makin besar
investasi perusahaan terhadap aset tetap, maka semakin besar perusahaan akan
menanggung beban depresiasi. Beban depresiasi ini nantinya akan menambah beban
perusahaan yang mana akan menjadi pengurang dari penghasilan perhitungan pajak
perusahaan. Mulyani (2014) menjelaskan bahwa laba kena pajak perusahaan yang semakin
berkurang akan mengurangi pajak terutang perusahaan. Perusahaan yang memiliki
proporsi yang besar dalam aset tetap akan membayar pajaknya lebih rendah, karena
perusahaan mendapatkan keuntungan dari depresiasi yang melekat pada aset tetap yang
dapat mengurangi beban pajak perusahaan. Muzakki dan Darsono ( 2015 ) dalam
penelitiannya menemukan bahwa capital intensity memiliki pengaruh negatif terhadap
agresivitas pajak perusahaan. Sedangkan Andhari dan Sukartha (2017) menemukan bahwa
capital intensity berpengaruh positif terhadap agresivitas pajak perusahaan. (Setyawan et
al., 2019)

Corporate governance didefinisikan sebagai tata kelola perusahaan yang baik


dalam menentukan arah dan tujuan perusahaan sesuai dengan karakter dari pemimpin
perusahaan. Dengan etika professional yang dimiliki seorang pemimpin akan
mempengaruhi kinerja dan keputusan perusahaan, terutama keputusan untuk menghindari
agresivitas pajak. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tahun 2018
mendefinisikan corporate governance sebagai suatu sistem pengendali dan pengatur
perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang
mengatur perusahaan maupun ditinjau dari nilai-nilai yang terkandung dari mekanisme
pengelolaan itu sendiri. Pedoman mengenai corporate governance diterbitkan pada tahun
2006 oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dikarenakan adanya dorongan
kesadaran dari para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnisnya demi kelangsungan hidup
perusahaan, mementingkan kepentingan stakeholders dan menghindari cara-cara untuk
menciptakan keuntungan sesaat. (Ramadhani et al., 2020)

Penelitian yang dilakukan Fahriani dan Priyadi (2016) mengenai pengaruh


corporate governance terhadap tindakan pajak agresif menyatakan bahwa corporate
governance yang diproksikan melalui dewan komisaris, dewan direksi, dan komisaris
independen berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak, sedangkan komite audit
tidak berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak. Sepriani (2016) melakukan
penelitian mengenai pengaruh good corporate governance dan corporate social
responsibility terhadap tindakan pajak agresif. Dalam penelitian tersebut dihasilkan
kesimpulan corporate social responsibility dan corporate governance yang diproksikan
dengan dewan komisaris, kepemilikan manajerial, komite audit, dan kualitas audit
berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif. Dalam penelitian Wijayanti,
Wijayanti, Samrotun (2016) menghasilkan kesimpulan bahwa ukuran perusahaan dan
intensitas modal berpengaruh terhadap penghindaran pajak, sedangkan komisaris
independen, komite audit dan CSR tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak. (Dan
& Pajak, 2018)

Faktor lain yang dianggap dapat mempengaruhi agresivitas pajak perusahaan


adalah pertumbuhan penjualan (sales growth). Penjualan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap perusahaan, karena penjualan yang dilakukan oleh perusahaan harus
didukung dengan harta atau aset yang dimiliki. Weston dan Brigham (1991) menyatakan
bahwa bila penjualan ditingkatkan maka aset pun harus ditambah. Perusahaan dapat
menggunakan secara maksimal sumber daya atau aset yang dimiliki dengan tujuan agar
perusahaan dapat meningkatkan penjualannya. Perusahaan dapat memprediksi seberapa
besar keuntungan yang akan diperoleh dengan besarnya pertumbuhan penjualan. Dengan
semakin meningkatnya pertumbuhan penjualan maka akan berpengaruh terhadap
keuntungan yang diperoleh perusahaan. Apabila perusahaan memperoleh keuntungan yang
sangat besar karena adanya peningkatan atau pertumbuhan penjualan (sales growth) maka
perusahaan akan cenderung untuk melakukan praktik perlawanan pajak. Dalam
penelitiannya Dewinta dan Setiawan (2016) memberikan kesimpulan bahwa pertumbuhan
penjualan (sales growth) berpengaruh positif terhadap tax avoidance. (Fadli et al., 2016)

Manajemen laba merupakan langkah manajemen untuk menaikkan atau


menurunkan laba akuntansi secara sengaja dalam batasan yang diperbolehkan oleh prinsip
akuntansi. Scott (2000) menyatakan bahwa salah satu motivasi manajemen laba melakukan
manajemen laba adalah motivasi perpajakan. Hal ini terjadi karena perusahaan berusaha
untuk menurunkan pendapatan guna mengurangi beban pajak yang di tanggung. Semakin
agresif suatu perusahaan dalam melakukan manajemen laba, maka dapat dikatakan bahwa
tingkat agresivitas pajak dalam perusahaan tinggi karena beban pajak yang di tanggung
perusahaan semakin kecil. Penelitian ini dilakukan Nurhandono & Firmansyah (2017) dan
L. Kurniasih, Suranta & Sulardi (2017) menunjukan bahwa manjemn laba memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap agresivitas pajak. Sedangkan penelitian yang
berbeda ditunjukkan Yolanda P (2014) dan Yorke, Amidu, & Agyemin- Boateng (2016)
yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh antara manajemen laba dengan tindakan
agresivitas pajak. (Nurhandono & Firmansyah, 2017)

Perusahaan menggunakan manajemen laba untuk melakukan income decreasing


yang akan mengurangi penghasilan kena pajak. Semakin agresif perusahaan melakukan
manajemen laba, maka dapat dikatakan bahwa tingkat agresivitas pajak perusahaan juga
tinggi karena beban pajak semakin kecil. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Suryanto dan Supramono (2012) menemukan bahwa manajemen laba berpengaruh positif
terhadap agresivitas pajak perusahaan manufaktur. Oleh karenanya, peneliti merasa tertarik
untuk meneliti mengenai pengaruh manajemen laba terhadap agresivitas pajak perusahaan.
(L. T. Y. Putri, 2014)

Alasan lain dipilihnya manajemen laba sebagai salah satu variabel independen
adalah karena adanya perbedaan hasil antara beberapa penelitian sebelumnya. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Kamila dan Martani (2014) dan Suryanto dan Supramono
(2012) hasil penelitiannya membuktikan bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan
signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Namun hasil yang berbeda ditunjukan
pada penelitian yang dilakukan Amril, dkk. (2015) dan Putri (2014) yang menunjukan
bahwa manajemen laba tidak berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak
perusahaan. (Nurhandono & Firmansyah, 2017)

Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti untuk melakukan penelitian yang


berjudul: “Pengaruh Corporate Governance, Capital Intensity Ratio, Sales Growth
dan Manajemen Laba terhadap Agresivitas Pajak”

1.2 Rumusan Masalah

 Apakah corporate governace berpengaruh terhadap agresivitas pajak?


 Apakah sales growth berpengaruh terhadap agresivitas pajak?
 Apakah capital intensity berpengaruh terhadap agresivitas pajak?
 Apakah manajemen laba berpengaruh terhadap agresivitas pajak?

1.3 Tujuan Penelitian

 Menganalisis pengaruh corporate governace terhadap agresivitas pajak.


 Menganalisis pengaruh sales growth terhadap agresivitas pajak.
 Menganalisis pengaruh capital intensity terhadap agresivitas pajak.
 Menganalisis pengaruh manajemen laba terhadap agresivitas pajak.
1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Akademisi
 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan
mengenai pengaruh Corporate Governace, Capital Intensity, Sales Growth dan
Manajemen Laba terhadap agresivitas pajak.
 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk penelitian
selanjutnya dan memperkaya penelitian yang terkait pengaruh Corporate
Governace, Capital Intensity, Sales Growth dan Manajemen Laba terhadap
agresivitas pajak.
 Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
penulis terutama yang berkaitan dengan Corporate Governace, Capital
Intensity, Sales Growth dan Manajemen Laba terhadap agresivitas pajak.
2. Bagi Masyarakat
 Penelitian ini diharapkan dapat sebagai sarana informasi tentang aktivitas
agresivitas pajak yang terjadi di masyarakat, serta dapat menjadi sarana untuk
menambah pengetahuan akuntansi khususnya pajak.
3. Bagi Perusahaan
 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dampak dilakukannya
penghindaran pajak pada perusahaan, serta memberikan solusi alternatif untuk
mengontrol perilaku agresivitas pajak pada perusahaan.
4. Bagi Investor
 Sebagai bahan pertimbangan untuk mengevaluasi tanggung jawab sosial suatu
perusahaan yang dapat mempengaruhi sustainability dan image perusahaan
tersebut. Jadi makin baik perusahaan melakukan pengungkapan tanggung
jawab sosial perusahaan, maka investor akan mengetahui bahwa perusahaan
tersebut peduli terhadap lingkungan, dan untuk jangka waktu ke depan kondisi
perusahaan akan menjadi lebih baik berkaitan dengan lingkungan. Serta
investor akan bersedia menambah investasinya sehingga membuat nilai pasar
perusahaan menjadi lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai