Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Sejak Januari 2020, Corona Virus Disease-19 (COVID-19) telah


menginfeksi lebih dari 2.245.872 jiwa di seluruh dunia (WHO, 2020). Lebih dari
152.000 orang telah terkonfirmasi meninggal dunia karena virus ini (WHO,
2020). Oleh karena itu, tidak heran apabila pemimpin-pemimpin pemerintahan di
banyak negara berjuang untuk keluar dari wabah C OVID-19 dengan
pendekatannya masing-masing. Di China, misalnya, pemerintah merespons wabah
Covid-19 dengan menyediakan fasilitas kesehatan khusus pasien virus korona,
mengubah gedung olahraga, aula, sekolah, dan juga hotel menjadi rumah sakit
sementara, melalukan rapid-test ataupun polymerase chain reaction (PCR) pada
banyak warga, hingga mengimplementasikan metode mengisolasi kota
(lockdown). Di Daegu, Korea Selatan, pendeteksian dini melalui rapid test dila-
p+\kukan secara massal dengan tujuan melokalisasi individu yang terpapar Covid-
19 sebagai upaya preventif untuk meminimalkan penyebaran virus korona,
meliburkan sekolah dan kampus, dan juga melaksanakan lockdown. Indonesia
adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, respons Pemerintah
Indonesia terhadap krisis sangat lamban dan berpotensi menjadi episentrum dunia
setelah Wuhan. Kebijakan yang tidak responsif dan keliru tentu membahayakan
jutaan rakyat Indonesia. Hal ini tampak, misalnya pada. Hal ini ditandai dengan
pemerintah in donesia yang masih membuka jalur transportasi masuk dari negara-
negara luar, hal ini bertolak belakang dengan tindakan yang dilakukan oleh negara
luar yang mereka lakukan ialah dengan melakukan penutupan jalur transportasi
dari negara luar lebih khususnya jalur transportasi dari negara cina.1,2

Menurut WHO jalan keluar yang diperlukan dalam menangani covid-19


ilah dengan melakukan komunikasi masa. Berdasarkan pernyataan dari WHO
menyatakan bahwa masa pandemik yang terjadi di seluruh dunia ini akan
berlangsung sangat lama dan belum diketahui sampai kapan pandemic ini akan
berakhir. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi yang efektif. Komunikasi
adalah suatu proses penyampaian informasi yang berguna bagi pendengarnya.
Dalam hal tanggapan mengenai covid-19 diperlukan suatu komunikasi publik
yang baik. Komunikasi publik memerlukan sarana seperti media masa, media
online dan media cetak.3,4

Krisis komunikasi terjadi dikarenakan penyebaran covid-19 yang sangat


cepat dibandingkan dengan tanggapan pemerintah yang sangat lamban dalam
menangani covid-19. Hal ini membuat banyak informasi yang tidak vaalid
berdasarkan hasil penelitian dan banyak munculnya informasi hoax yang beredar
di masyarakat luas. Selain itu banyak pernyataan dari tokoh-tokoh publik yang
berpendapat tidak berdasrkan temuan ilmiah. Sehingga krisis ekonomi yang
terjadi mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
menurun. Dapat dilihat pada tanggal 2 maret 2020 di temukan adanya 2 orang
warga negara indonesia yang terkena virus corona untuk pertama kali, tetapi
tanggapan dari pemerintah masih belum bisa mengambil tindakan tegas seperti
pencegahan penularan. Konfirmasi yang buruk diberikan pemerintah
menimbulkan kepercayaan masyarakat umum menjadi berkurang. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana pada tanggal 10 April 2020 menetapkan kebijakan
PSBB. Ini merupakan suatu tindakan yang diambil sangat terburu-buru, hal ini
ditandai dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan masyarakat dan
didasarkan belum pahamnya dan kurangnya edukasi kepada masyarakat luas.4

Informasi pada awal muali beredarnya kasus covid-19 masih simpang siur
di Indonesia. Berdasarkan informasi yang telah dikemukakan oleh presiden Joko
Widodo yang menyataakan bahwa terdapat 2 orang yang pertama kali terkena
covid-19. Bertia ini banyak menimbulkan banyak informasi yang simpang siur di
kalangan masyarakat dikarenakan informasi yang diberikan kurang lengkap
seperti identitas korban yang belum terungkap. Hal ini membuat tingkat
kepercayaan masyarakat menurun terhadap pemerintah. Sehingga masyarakat saat
itu lebih percaya berita-berita dari internet dibandingkan dengan berita dari
kemenkes dan dari beberapa platform resmi pemerintahan.5

Banyakknya informasi yang beredar di masyarakat luas membuat


informasi yang beredar menjadi simpang siur dan tidak ada kepastiannya, hal ini
membuat gangguan psikosis (stres), sehingga berita hoaks sangat sulit di bendung
lagi. Berdasarkan data dari Kementrian Kominfo pada tanggal 8 April 2020
terdapat 474 kasus berita hoaks dari berbagai platform seperti instagram, twiter,
facebook dan youtube. Temuan kasus yang dilakukan oleh POLRI 30 Januari – 7
April 2020 didapatkan 81 kasus penyebaran berita hoaks mengenai covid-19.
Penelitian yang dilakukan oleh Ari Fahrizal Syam menyatakan bahwa terdapat
90% berita hoaks yang tersebar di masyarakat luas hal ini dilakukan dengan
survey. Dikarenakan berita hoaks dianggap lebih muda dimengerti dan lebih cepat
untuk mengaksesnya dibandingkan dengan informasi dari platform resmi seperti
kemenkes. Hoaks sangat berbahaya bagi masyarakat umum dikarenakan bisa
mendapatkan pemahaman yang salah sehingga menimbulkan perilaku yang
menyimpang dari yang seharusnya, untuk menganinya diperlukan suatu literasi.
Literasi dapat terjadi dengan perilaku masyarakat itu sendiri. Literasi dapat
dibantu dengan adanya edukasi kepada masyarakat yang belum paham mengenai
covid-19.7

METODOLOGI PENELITIAN
Jurnal ini memakai pendekatan kualitatif dengan metode deskripsi.
Pendekatan kualitatif diambil karena kemampuannya untuk mendaptkan arti yang
lebih terperinci dalam mengamati suatu penelitian. metode deskriptif di pakaidata
dan informasi yang diambil merupakan suatu masalah aktual yang berdasarkan
penyusunan, pengolahan dan kesimpulan. Hal ini dikarenakan keterbatasan
melakukan wawancara kepada narasumber dikarenakan adanya PSBB di setiap
kota. Studi kepustakaan yang dimaksud dalam penelitian ini ialah, data yang
diambil berdasarkan data yang diambil dari berbagai medai seperti buku, jurnal,
media masa, media online berkaitan dengan fenomena dan masalah yang dikaji.
Terakhir, teknik analisis data dalam penulisan artikel ini berangkat dari penjelasan
yang menumpukan tekniknya pada pengorganisasian data, pembacaan dan
memoing (pembuatan catatan), serta pendeskripsian, pengklarifikasian, serta
penafsiran data menjadi kode dan tema

HASIL DAN PEMBAHASAN


Krisis Komunikasi terhadap Tingkat Kepercayaan Masyarakat

Pada saat pemerintahan di seluruh dunia melakukan tindakan


antisipasi terhadap wabah covid-19 yang sudah tersebar luas di berbagai
negara dengan melakukan penutupan beberapa jalur transportasi dari
negara luar, di indonesia malah belum sama sekali melakukan suatu
tindakan yang sigap terhadap covid-19. Pemerintah indonesia lebih
mengambil tindakan yang pasif dan menganggap remeh masalah covid 19
seperti dengan pernyataan Menteri kesehatan pada awal Januari yang
menyatakan “Masyarakat tidak perlu panik mengenai penyebaran virus
corona, enjoy saja”. Selain itu pernyataan darii Menko Polhukam pada
awal februari 2020 menyatakan bahwa indonesia merupakan salah satu
negara asia yang belum terdapat korban akibat virus corona. Dari beberapa
pernyataan diatas maka dapat dilihat bahwa pemerintahan indonesia belum
sigap terhadap penyebaran virus corona. Akibat yang ditimbulkan ialah
lambannya pengambilan keputusan dan lambannya kebijakan yang di
terapkan dalam menangani kasus penyeberan virus corona. Hal yang
memperburuk ialah dengan lambannya kebijakan yang diambil
pemerintahan indonesia bahkan sampai pertengahan Februari, bahkan
belum ada satu pun tindakan yang diambil pemerintahan Indonesia
terhadap kasus penyebaran virus corona yang sudah tersebar luas di
berbagai negara. Berdasrkan penelitian yang dilakukan oleh seorang
Profesor epidemiologi dari Harvard T.H. Chan School of Public Health
(Harvard University), Profesor Marc Lipsitch, menyatakan bahwa sudah
masuknya virus corona ke wilayah Indonesia dan beliau menganggap
bahwa pemerintahan Indonesia telah gagal dalam menangani kasus Covid-
19. Hal ini langsung mendapatkan ditentang oleh menteri kesehatan
indonesia, dan meminta kepada profesor tersebut langsung membuktikan
teorinya tersebut. Narasi-narasi negatif juga disampaikan oleh Menteri
Koordinator Perekonomian (Menko Perekonomian) meski dalam konteks
berkelakar yang menyatakan, “Karena perizinan di Indonesia berbelit-
belit, maka virus korona pun tak bisa masuk (Penulis: ke Indonesia)”.
Menteri Perhubungan menyampaikan kelakarnya yang lain di tempat
berbeda, dengan menyatakan bahwa bangsa Indonesia kebal virus korona
karena doyan nasi kucing. Ini semua menunjukkan perilaku elite
pemerintah yang antisains, padahal beberapa waktu sebelumnya World
Health Organization (WHO) telah mendeklarasikan COVID-19 sebagai
epidemi dunia. Untuk mengantisipasi hal tersebut World Health
Organization (2020) menerbitkan panduan strategis dalam menghadapi
infeksi virus tersebut dengan tajuk “2019 Novel Coronavirus (2019-
nCoV): Strategic Preparedness and Reponse Plan”. Atas kesadaran inilah
banyak negara menyikapi secara serius untuk meminimalkan dan sedapat
mungkin menghentikan penyebaran virus yang mematikan tersebut.
Malangnya, tidak dengan Indonesia, terutama di awal-awalnya.1

Oleh karena itu Krisis komunikasi terkait Covid-19 juga


diakibatkan oleh kecepatan wabah infodemics yang menyebar lebih cepat
dan lebih luas dibandingkan informasi ilmiahnya. Kecurigaan satu sama
lain kian meningkat dan tak terhindarkan bersamaan dengan
kesimpangsiuran informasi tentang wabah. Pandemi tidak bisa dijawab
dengan perang opini. Dibutuhkan manajemen dan protokol komunikasi
yang lebih komprehensif untuk menghadapi krisis komunikasi Covid-19
sehingga informasi pemberitaan yang sifatnya sensasional, pemberitaan
yang kurang mendidik, dan bersifat konspiratif dapat ditekan. Sebab
hingga saat ini, masalah komunikasi masih mengalami kebuntuan karena
tingkat ketidak percayaan publik pada pemerintah.5

Terpaan Informasi Hoax terhadap Tingkat Kepercayaan Masyarakat

WHO menyatakan bahwa COVID-19 ini bukan hanya merupakan masalah


di sektor kesehatan saja, tetapi terkait dengan seluruh sektor, sehingga diharapkan
selueruh masyarakat bisa berpartisapasi melawan COVID-19, baik pemerintahan
dan masyarakatnya harus bekerja sama dalam menangani kasus COVID-19 ini,
yaitu dengan mengurangi tindakan penularan dan melakukan penanganan sesuai
dengan prosedur yang berlaku. Hal yang paling kerap di jumpai di indonesia
sendiri ialah berita yang simpang siur mengenai covid, sehingga membuat
kepanikan yang terjadi dan informasi yang tidak lengkap dari pemerintahan
membuat adanya kewaspadaan terhadap hal ini. Informasi pada awal muali
beredarnya kasus covid-19 masih simpang siur di Indonesia. Berdasarkan
informasi yang telah dikemukakan oleh presiden Joko Widodo yang menyataakan
bahwa terdapat 2 orang yang pertama kali terkena covid-19. Bertia ini banyak
menimbulkan banyak informasi yang simpang siur di kalangan masyarakat
dikarenakan informasi yang diberikan kurang lengkap seperti identitas korban
yang belum terungkap. Hal ini membuat tingkat kepercayaan masyarakat
menurun terhadap pemerintah. Sehingga masyarakat saat itu lebih percaya berita-
berita dari internet dibandingkan dengan berita dari kemenkes dan dari beberapa
platform resmi pemerintahan.5 Selain itu, terdapat pernyataan yang dikemukakan
oleh akun instagram @inaheartperki (2020).
Menyatakan bahwa virus corona menyebar lewat udara, tetapi hal ini di tentang
oleh WHO dan menyatakan bahwa informasi tersebut hoaks.

Dari postingan-postingan ini membuat masyarakat menjadi kebingungan,


maka dari itu munculnya kurangnya kepercayaan masyarakat berkurang. Oleh
karena itu tindakan yang harus sesegera mungkin diambil pemerintah ialah
komunikasi krisis. Ilmu komunikasi krsisi sangat membantu dalam mangatasi
masalah Covid-19.2

Pada penelitian yang dilakukan oleh Juditha C pada tahun 2020 dengan
judul perilaku masyarakat mengenai penyebaran berita hoax covid-19, hasil
penelitian ini ialah pengetahuan responden tentang Covid-19 ialah pengetahuan
responden pada penelitian ini memadai masuk dalam level 2 yang artinya
memahami. Hal ini dapat dilihat dari responden mampu membedakan kenapa itu
virus Corona dan yang hoaks. Berbagai informasi yang digunakan oleh responden
ialah seperti media sosial, media masa, media elektronik dan media online.
Terdapat beberapa responden yang menyebarkan hoaks menggunakan media
sosial dan pesan instan. Pada penelitian ini sebagian responden merasa ragu untuk
membedakan mana yang berita valid dan mana yang berita hoaks. Hal ini
dikarenakan berita hoaks yang terjadi di Indonesia sudah tidak terbendung lagi.
Responden yang menyebarkan berita hoaks dikarenakan mereka merasa berita
tersebut benar, dapat menyembuhkan dan didaptakan berita tersebut dari orang
yang sudah mereka percaya. Sedangkan responden yang tidak menyebarkan berita
hoaks, mereka merasa berita terebut tidak benar dan tidak valid, sehingga mereka
ingin menghentikan rantai penularan virus corona dari diri sendiri terlebih
dahulu.7

KESIMPULAN

Permasalahan saat ini yang lagi dialamin oleh WHO ialah masalah krisis
kepercayaan masyarakt dikarenakan terdapat beberapa informasi yang masih
belum valid. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan informasi dari WHO mengenai
penyebaran virus corona melalui udara yang merupakan kesalahan dikarenakan
human eror, dari hal ini dianggap bahwa WHO lalai dalam meberikan sebuah
informasi yang valid terhadap masyarakat luas.

Dalam penanggulangan berita hoaks yang sudah tersebar luas dan tidak
terbendung lagi, diperlukan adanya kerjasama antara lembaga pemerintahan,
tokoh masyarakat atau bahkan masyarakat itu sendiri saling membantu dalam
mencegah adanya berita hoaks yang sudah beredar luas di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai