Disusun Oleh :
Nedya Asnurianti 1610711003
Risma Awalia Permana 1610711017
Kris Prihatin 1610711020
Ulfa Aeni 1610711021
Aggita Cahyani 1610711027
Selvy Juwita Sari 1610711042
A. Defenisi
didefinisikan sebagai sepsis plus, sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau
terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat di jabarkan
assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan
B. Kriteria Sepsis
of Critical Care Medicine’s pada tahun 2016, ditetapkan kriteria sepsis yang
Lama Baru
SIRS Takikardi (>90x/menit)
Takipnea (>
20x/menit)
Temperatur (<36°c atau -
>38°c)
Peningkatan leukosit >
11.000 µL-1 atau < 4.000 µL-
1
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Lama Baru
Sepsis SIRS Suspek atau dengan
+ infeksi
fokal Infeksi +
2 dari 3 tanda qSOFA
Hipotensi (tekanan darah
sistol ≤ 100 mmHg)
penurunan kesadaran
(GCS≤13)
takipnea (≥22x/menit)
atau
Peningkatan skor SOFA
≥2
Sepsis berat Sepsis + Disfungsi
organ Laktat > 2
mmol/L
Kreatinin > 2 mg/dL -
Bilirubin > 2 mg/dL
Trombosit <100.000 µL
Koagulopati (INR > 1.5) Sepsis
Syok Sepsis Sepsis +
+ Vasopresor untuk
Hipotensi mencapai MAP > 65
setelah mendapatkan cairan mmHg
resusitasi adekuat +
Laktat > 2 mmol/L
setelah mendapatkan
cairan resusitasi adekuat
C. Epidemiologi
pertahun di Amerika Serikat. Insidensi sepsis berat dan syok septik meningkat
selama 20 tahun terakhir, dan jumlah kasus >700.000 per tahun (3 per 1000
penduduk). Sekitar dua pertiga kasus terjadi pada pasien dengan penyakit
terdahulu. Kejadian sepsis dan angka kematian meningkat pada penderita usia
usia lanjut menyebabkan meningkatnya pasien dengan penyakit kronis, dan juga
akibat berkembangnya sepsis pada pasien AIDS. Meluasnya penggunaan obat
2008).
berat atau syok septik di Amerika Serikat. Sepsis dapat menyebabkan kematian
akibat miokard akut infark, syok septik dan komplikasi sepsis yang paling umum
tindakan operasi yang lebih agresif, organisme yang ada semakin resisten, dan
penurunan daya tahan tubuh akibat penyakit dan penggunaan obat imunosupresan.
2004). Studi terbaru menunjukkan bahwa Amerika Afrika memiliki insiden yang
lebih tinggi dari sepsis berat dibandingkan kulit putih (6 banding 3,6 per 1000
penduduk) dan angka kematian yang tinggi di UPI (32.1%) (Russell, 2012).
D. Patofisiologi Sepsis
menginisiasi respons sepsis; aktivasi sel pejamu tergantung pada adanya protein
pengikat LPS (LPB, LPS binding protein) dan reseptor opsonik CD14. Meskipun
aktivasi monosit oleh LPS, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa sel ini
juga berperanan dalam aktivasi oleh komponen-komponen dinding sel gram
2006)
dalam memahami respons pejamu terhadap LPS, fakta bahwa mCD14 tidak
mempunyai ekor intraselular berarti bahwa masih belum jelas bagaimana ligasi
promotor gen sitokin. Saat ini telah diidentidikasi 10 TLR yang mempunyai
spesifisitas ligan luas, termasuk protein bakterial, fungal dan khamir, dengan TLR
4 merupakan resptor LPS, TLR2 terutama untuk mengenali struktur dinding sel
gram positif, TLR5 merupakan reseptor flagelin dan TLR9 mengenali elemen
2. Amplifikasi Awal
Setelah terjadi interaksi awal antara pejamu dan mikroba, terjadi aktivasi
sitokin pro-inflamasi klasik seperti IL-1, IL-6 dan TNFα, namun juga beberapa
sitokin lainnya seperti IL-12, IL-15 dan IL-18 serta juga beberapa molekul-
molekul kecil dilepaskan. TNFα dan IL-1 merupakan sitokin inflamasi prototipik
Sitokin-sitokin ini dilepaskan pada 30-90 menit setelah paparan terhadap LPS,
mengaktifkan kaskade inflamasi derajat dua termasuk sitokin, mediator lipid dan
aktivasi setelah paparan dengan LPS atau mediator inflamasi berikutnya. Diantara
dalam monosit pada pasien septik tetap stabil, meskipun ditemukan produksi
menunjukkan bahwa regulasi menurun yang dijumpai pada pasien dengan sepsis
berat dan syok sepsis hal ini terkait dengan jalur intraselular dan bukan karena
menunjukkan hal ini, dengan menggunakan LPS terbiotinilasi dan flow cytometry
untuk mempelajari interaksi LPS-monosit dan aktivasi selular terinduksi LPS pada
darah pasien sepsis. Lebih jauh lagi, kelompok yang sama telah memperlihatkan
respons makrofag dan tidak terkait dengan ekspresi TLR. (Saba et al 2006;
Damas P,1992)
Gambar 2.2Mekanisme Utama yang Menghubungkan Stres Oksidatif pada MSOF selama sepsis.
(Salvemini, dkk 2002)
reseptor umpan seperti reseptor IL-1 tipe II, inaktivator kaskade komplemen dan
reaksi ini, respons pejamu terhadap trauma termasuk perubahan nyata pada
induksi protein fase akut dan aktivasi endotelial dengan regulasi meningkat
molekul-molekul adhesi dan pelepasan prostanoid serta faktor aktivasi trombosit
Sisi lain dari regulasi menurun sistem imunitas yang timbul pada sepsis
menunjukkan adanya deplesi selektif limfosit B dan CD4+. Proses ini dan akibat
luas, dikarakteristikkan dengan hiporesponsif sel T dan anergi, yang timbul pada
sebagian besar pasien sepsis dan dipandang sebagai respons keseimbangan (dan
balik sebagai penyebab perhatahan pejamu yang inadekuat terhadap infeksi dan
kDa. Sitokin diproduksi oleh beberapa sel pada daerah inflamasi atau trauma, sel
disimpan sebagai molekul. Sel yang berbeda dapat menghasilkan sitokin yang
sama, namun satu macam sitokin dapat memberikan pengaruh terhadap beberapa
macam sel yang berbeda, atau yang disebut pleitropi. Sitokin berperan dalan
regulasi produksi dan aktifitas sitokin lain, contoh pada respon proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin inflamasi termasuk didalamnya IL-1, 2,6,7 dan TNF.
Sitokin antiinflamasi termasuk IL-2, IL-10, IL-13, dan TGFβ (Oliveira et al,
2011).
NF-kB ini akan memediasi ekspresi beberapa gen yang berperan dalam proses
inflamasi dan imun, termasuk IL-1, IL-6, IL-8, TNF-α, dynorfin, dan lain-lain
hepatosit, dan sel glia. Interleukin-6 dapat diinduksi produksinya oleh TNF-α dan
Interleukin-6 merupakan salah satu sitokin yang muncul dini dan merupakan
mediator induksi dan kontrol pada sintesis protein fase akut yang dilepaskan oleh
hepatosit selama stimuli nyeri seperti trauma, infeksi, operasi, dan luka bakar.
Setelah terjadi trauma, konsentrasi IL-6 dalam plasma dapat dideteksi dalam 60
menit dan puncaknya antara 4-6 jam, dan dapat bertahan hingga 10 hari.
Interleukin-6 ini merupakan penanda yang paling sesuai dengan derajat kerusakan
maturitas makrofag, dan diferensiasi sitotoksik limfosit T dan natural killer cells.
Selain itu juga mengaktifasi astrosit dan mikroglia (Oliviera et al, 2011).
kerusakan jaringan atau infeksi, pengaruh langsung pada reseptor spesifik pada
kemokin, prostanoid, nurotropin, NO, kinin, lipid, adenosin triphosphat (ATP) dan
jalur komplemen lain, yang nantinya elemen-elemen ini yang nantinya akan
menyebabkan proliferasi sel glia, hipertrofi pada sistem saraf pusat dan pelepasan
sitokin proinflamasi TNF-α, IL-1β, dan IL-6 yang membentuk suatu kompleks
menuju hiperalgesia, hal ini tergantung dari aktifasi mikroglia dan astrosit di
spinal cord. Secara anatomi astrosit dan mikroglia jelas diaktifasi oleh inflamasi
perifer, hal ini terbukti dengan meningkatnya ekspresi dari aktifasi glia-spesific
marker. Pelepasan sitokin IL-6 diduga terlibat dalam aktifasi mikroglia ini (Jun-
Regulasi efek PGE2 terhadap sintesis IL-6 telah dilaporkan oleh beberapa
penelitian terutama pada in vitro dan in vivo. Diduga bahwa PGE2 menginduksi
produksi dari IL-6 melalui subtipe reseptor prostaglandin yaitu EP yang akan
mengaktifkan NF-κβ. Produksi IL-6 dipengaruhi oleh reseptor agonis PG, dengan
sementara reseptor EP2 dan EP4 adalah receptor G-protein-coupled yang dapat
mengaktifasi kadar cAMP selanjutnya akan mengaktifasi NF-κβ dan akan
Gambar 2.3 Perbandingan waktu dan kepekatan prokalsitonin disbanding dengan beberapa
penanda sepsis lain. (Buchori, 2006)
penyakit autoimun tidak menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam
menurun dalam 48 sampai 72 jam, sedangkan CRP tidak terdapat dalam 6 jam,
meningitis, pneumonia dan infeksi saluran kemih dan sangat sensitif sebagai
inflamasi lainnya, seperti TNF α, IL- 6, IL- 1 dan CRP dalam hal memprediksi
prognosis pada pasien penyakit kritis. Pengukuran PCT secara berkala dapat
Peningkatan nilai PCT atau nilai yang tetap konsisten tinggi menunjukkan
HES merupakan jenis cairan koloid yang digunakan secara luas untuk
intravascular untuk waktu yang panjang. Didapati hasil dari penelitian Chen, dkk
bahwa resusitasi cairan dengan HES pada fase awal SAP dapat merubah prognosis
menjadi lebih baik. Sebagai tambahan juga, resusitasi dengan HES dapat
Selain itu juga Feng, dkk melaporkan bahwa HES menghambat aktivasi dari
nuclear factor-kB dan migrasi serta adhesi neutrofil. (Chen, dkk 2016)
Stress oksidatif yang disebabkan oleh reactive oxygen species (ROS) dapat secara
aktivasi dari neutrofil. Neutrofil yang telah teraktivasi akan mengeluarkan ROS
merupakan peningkatan respon inflamatori sistemik dan MOF ( Chen, dkk 2013).
Menurut Tian, dkk tahun 2003, bahwa HES dapat mensupresi aktivasi NF-
kB yang diinduksi oleh LPS pada sel mononuclear darah perifer dan neutrofil,
peningkatan ekspresi dari CD11b dari neutrofil, dan mereduksi sekuestrasi dari
neutrofil di paru-paru, jantung, dan hati. Kebanyakan dari efek HES yang
ditemukan pada konsentrasi 3.75 dan 7.5 ml/kg, tetapi tidak dijumpai pada
G. Diagnosis
Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai
mengidentifikasi jenis dan lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan
dimulai lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit perhatikan jalan nafas
nadi), sirkulasi (denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena jugularis, perfusi
Sistem pernapasan adalah sumber yang paling umum infeksi pada pasien
masalah tenggorokan dan nyeri telinga harus dicari. Kedua, adanya pneumonia
dan temuan takipnea atau hipoksia telah terbukti merupakan alat prediksi
skoring qSOFA (Sequential Organ Failure Assessment) yang dapat dilihat pada
H. Peranan Biomarker
dapat diberikan terapi secara dini pula, maka perlu suatu biomarker untuk
mendeteksi sepsis secara dini. Biomarker ideal untuk infeksi harus sensitif bahkan
pada pasien tanpa respon imun, dan harus spesifik, yaitu bisa membedakan infeksi
atau non infeksi, dapat diukur secara cepat dan mudah serta mempunyai nilai
prognostik. Biomarker yang potensial antara lain protein fase akut seperti CRP
atau PCT, sitokin seperti IL-6, IL-8, IL-10 dan kadar endotoksin, gelombang
Sepsis Campaign membuat kriteria dengan diagnosis sepsis, sepsis berat dan syok
septik agar bila dijumpai tanda- tanda dan gejala tersebut bisa segera terdeteksi
(PERDACI, 2014).
Pada pasien sepsis juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
Pemeriksaan
Temuan Uraian
Laboratorium
Hitung Leukositosis atau leukopenia Endotoxemia menyebabkan
leukosit leukopenia
Hitung Trombositosis atau Peningkatan jumlahnya
trombosit trombositopenia diawal menunjukkan respon
fase akut; penurunan
jumlah trombosit
menunjukkan DIC
Kaskade Defisiensi protein c; Abnormalitas dapat diamati
koagulasi Defisiensi antitrombin; sebelum kegagalan organ
peningkatan D-dimer; dan tanpa pendarahan
pemanjangan PT dan PTT
Kreatinin Peningkatan kreatinin Indikasi gagal ginjal akut
Asam laktat As.laktat>4mmol/L(36mg/dl) Hipoksia jaringan
Enzim hati Peningkatan alkaline Gagal hepatoselular akut
phosphatase, AST, ALT, disebabkan hipoperfusi
bilirubin
Serum fosfat Hipofosfatemia Berhubungan dengan level
cytokin proinflammatory
C-reaktif Meningkat Respon fase akut
protein (CRP)
termasuk protein C reaktif (CRP), endotoksin (komponen dinding sel bakteri gram
terbatas, oleh karena hasil pemeriksaan saat ini masih mengalami batasan dalam
akurasi, kemampuan prognostik dan waktu, namun suatu saat nanti penanda-
penanda ini akan menyediakan pemeriksaan klinis yang dapat membantu
pasien-pasien kritis ini. Sistem ini termasuk the Acute Physiology and Chronic
Health Score (APACHE) II dan III, Simplified Acute Physiology Score (SAPS),
Score. Saat ini akan dibahas salah satu sistem yang telah dikembangkan dan
terbukti sahih serta dapat diandalkan untuk memprediksi mortalitas dan derajat
keberatan penyakit pada sepsis, yakni sistem skoring SOFA. (Ferreira, 2001)
efektif mengenai dinamika penyakit termasuk efek terapi yang diberikan, apabila
dibandingkan dengan model prediksi tradisional pada saat awal rawat intensif.
Tabel 2.4 Skor SOFA ( Sepsis-related Organ Failure Assasment) pada Sepsis
Skor SOFA merupakan alat yang berguna untuk menstratifikasi dan
kegagalan jaringan yang timbul pada awal rawat inap, mendemonstrasikan derajat
disfungsi atau kegagalan yang mungkin terjadi pada saat perawatan dan juga skor
SOFA total maksimum dapat mewakili disfungsi organ kumulatif yang dialami
pasien. Mereka juga menunjukkan adanya korelasi kuat diantara semua parameter
Pengetahuan bahwa skoring SOFA yang menurun dikaitan dengan perbaikan hasil
akhir maka harus dilakukan terapi agresif, yang dapat menurunkan mortalitas.
Penelitian lain menunjukkan bahwa terjadinya kegagalan organ dapat timbul pada
awal rawat intensif, dan suatu sistem skoring yang memungkinkan pemantauan
fungsi organ secara rutin sangat diperlukan. Kecenderungan skor SOFA selama 48
jam pertama rawat intensif dapat memberikan suatu sistem seperti di atas dan
merupakan suatu indikator hasil akhir yang sensitif, sebagaimana fakta bahwa
adanya penurunan nilai dikaitkan dengan penurunan mortalitas dari 50% menjadi
Menariknya, lama rawat tidak terkait dengan prediksi hasil akhir dan juga
skor SOFA rerata memberikan nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan
dengan variabel turunan SOFA lainnya. Hal ini oleh karena pasien dengan
disfungsi organ terbatas dan lama rawat intensif panjang tetap memiliki
SOFA selama rawat ICU merupakan suatu indikator prognostik yang baik
(terutama skor SOFA rerata dan puncak). Nilai awal independen, peningkatan
skor SOFA selama 48 jam pertama rawat intensif dapat memprediksikan laju
I. Terapi
Target pertama EGDT (early goal directed therapy) pada kasus sepsis
dimulai dengan bolus 500 cc secara cepat dan berulang baik cairan kristaloid
ataupun koloid sampai tercapai volume cairan resusitasi 20-40 cc/kgBB, sehingga
memberikan hasil yang lebih baik. Penelitian baru melibatkan pasien gawat
darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis untuk membandingkan resusitasi
oksigen pada kasus-kasus sepsis berat atau syok sepsis pada 6 jam pertama rawat
gawat darurat. Strategi ini mentargetkan tercapainya hantaran oksigen adekuat
vena sentral (CVP – central venous pressure), tekanan darah (afterload) dengan
2007)
inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid bolus 20 mL/kgbb selama 5-10
menit, dititrasi dengan pemantauan klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini
meliputi denyut jantung, produksi urin, waktu pengisian kapiler, dan derajat
memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb, namun dapat mencapai hingga 200
pasien, ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru, atau bertambahnya berat
badan lebih dari 10%. Untuk mengatasinya dapat diberikan diuretik. Tindakan
lain untuk mengatasi overload cairan yaitu dengan dialisis peritoneal bila
digunakan sebagai alat untuk menilai adekuatnya terapi cairan yang diberikan
pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik. (Dellinger RP, 2008).
2. Cairan Resusitasi
pada resusitasi. Penelitian di India yang dilakukan oleh Upadhyay tahun 2005
dijumpai tidak adanya perbedaan outcome pasien syok septik yang diresusitasi
Roberts, bahwa resusitasi dengan cairan koloid dapat menyebabkan efek samping
berupa gangguan hemostasis. Pada saat ini penelitian klinis banyak dilakukan
Ringer laktat adalah cairan yang isotonis didalam darah yang merupakan
cairan pengganti, ini tergolong larutan kristaloid. Pada umumnya digunakan untuk
luka bakar, syok, dan cairan preload pada operasi. Cairan ini memiliki komposisi
elektrolit mirip dengan plasma. Satu liter cairan ringer laktat memiliki kandungan
130 mEq ion natrium setara dengan 131 mmol/L, 111 mEq ion klorida setara
dengan 109 mmol/L, 28 mq laktat setara dengan 29 mmol/L, 4 mEq ion kalium
setara dengan 4 mmol/L, 3 mEq ion kalsium setara dengan 1,5 mmol/L. Anion
laktat yang terdapat dalam ringer laktat akan dimetabolisme di hati dan diubah
baik untuk mengkoreksi asidosis. Laktat dalam ringer laktat sebagian besar
menemukan cairan yang paling tepat. Cairan pengganti yang diberikan pada
pasien harus memiliki kadar elektrolit yang mendekati kadar elektrolit plasma
Ringer asetat malat berbeda dengan ringer laktat. Cairan ini mengandung anion
asetat dan malat yang dapat dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat. Asetat dan
malat akan dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat, satu mol asetat akan diubah
menjadi satu mol bikarbonat sedangkan satu mol malat akan dirubah menjadi dua
mol bikarbonat. Malat bekerja dalam waktu lebih lama dibandingkan asetat, oleh
karena itu kombinasi asetat dan malat merupakan pilihan yang baik dalam suatu
cairan. B.Braun mengatakan bahwa ringer asetat malat lebih baik dari ringer laktat
karena ringer asetat malat lebih isotonis. Ringer asetat malat memiliki kadar
natrium, kalium dan magnesium yang hampir sama dengan plasma, sedangkan
konsentrasi klorida memilki kadar yang sedikit lebih tinggi dalam rangka
2. Isotonis
bikarbonat dalam bentuk anion metabolisasi asetat dan malat yang akan
dan membentuk bikarbonat. Asetat melepaskan satu mol bikarbonat tiap satu mol
asetat, sedangkan malat melepaskan dua mol bikarbonat tiap satu mol malat.
Berbeda dengan laktat yang menghasilkan satu mol bikarbonat tiap satu mol
laktat. Ringer asetat malat mengandung asetat dan malat berbeda dengan laktat,
laktat tidak selalu disarankan untuk digunakan dalam larutan infus, karena : (Mc
1. Laktat tidak boleh digunakan dalam kasus insufisiensi hati, karena laktat ini
atau asidosis laktat. Hiperlaktasidemia dan asidosis laktat adalah tanda tanda
dari ratio diprosporsional antara produksi asam laktat dan metabolime hepar
yang terganggu. Konsumsi yang oksigen dipicu oleh laktat cukup besar dan
kombinasi unik dari asetat dan malat. Cairan ini berisi 24 mmol/l asetat dan 5
mmol/l malat, dimana total asetat dan malat melepaskan 34 mmol/l bikarbonat.
Asetat dan malat lebih disukai daripada laktat, karena metabolismenya tidak
Braun,2009).
Hubungan antara terapi antimikrobial yang tepat waktu dan sesuai dengan
perbaikan morbiditas dan mortalitas telah banyak dibuktikan dalam keadaan rawat
signifikan pada saat antibiotika diberikan dalam waktu 4 sampai 8 jam pertama
6. Obat-obatan Vasoaktif
ditunjukkan secara fisiologis ekuivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Obat-
vasopresor lini pertama pada kasus-kasus sepsis. Oleh karena takikardia dapat
kuat (seperti noradrenalin dan penilefrin) dapat lebih dipilih pada pasien dengan
7. Terapi Steroid
oleh karena RAI biasanya hilang seiring dengan perbaikan syok sepsis. Pasien
dengan RAI oleh karenanya tidak memerlukan terapi penggantian steroid setelah
Ringer Laktat
SEPSI Interleukin-
S 6
Ringer Asetat
Malat
SEPSIS
LPS
TLR4
N ROS CYTOKINES
O
PRO- ANTI-INFLAMASI
INFLAMASI
-tnfα
-IL-1
Il-
6
LIPID INACTIVATION
PEROXYDATION OF
CATHECOLAMI
N