2 SEPSIS
3.2.1 DEFINISI
Sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi respons tubuh terhadap
terjadinya infeksi. Kondisi sepsis merupakan gangguan yang menyebabkan kematian.
Syok sepsis merupakan abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler.6 Definisi baru
untuk sepsis dan syok septik telah direkomendasikan oleh SCCM (Society of Critical
Care Medicine)/ESICM (the European Society of Intensive Care Medicine) dalam
konsensus internasional ke-3 (Sepsis-3) pada tahun 2016. Sepsis didefinisikan sebagai
disfungsi organ yang mengancam jiwa, disebabkan oleh ketidakmampuan respon
pejamu terhadap infeksi. Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut
sebagai konsekuensi infeksi yang dirumuskan dalam skor sequential (sepsis related)
organ failure assessment (SOFA) ≥2. Penekanan pada disfungsi organ yang
mengancam jiwa konsisten dengan pandangan bahwa cacat seluler mendasari kelainan
fisiologik dan biokimia sistem organ spesifik. Skor SOFA ≥2 mencerminkan risiko
mortalitas rata-rata 10% untuk pasien yang dirawat di rumah sakit dengan tersangka
infeksi.7
Syok septik merupakan bagian dari sepsis dengan disfungsi peredaran darah dan
selular/metabolik yang mendasari, dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian.
Pasien syok septik dapat diidentifikasi secara klinis yaitu sepsis dengan disertai
hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan agar tekanan
arteri rata-rata ≥65 mmHg dan konsentrasi laktat darah >2 mmol/L (>18mg/dL)
meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat. Risiko mortalitas pasien yang
dirawat menjadi >40%.7
3.2.2 ETIOLOGI
Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri Gram negatif (60-70% kasus).
Staphylococci, pneumococci, streptococci, dan bakteri Gram positif lain lebih jarang
menimbulkan sepsis dengan angka kejadian antara 20-40% dari seluruh angka kejadian
sepsis. Jamur oportunistik, virus, atau protozoa juga dilaporkan dapat menimbulkan
sepsis dengan insidensi yang lebih jarang.7 Masuknya mikroba ke aliran darah bukan
merupakan sesuatu yang mendasar terhadap timbulnya sepsis berat, karena infeksi lokal
dengan penyebab bakteri yang menghasilkan produk patogen seperti eksotoksin, dapat
juga memicu respon inflamasi sistemik sehingga menimbulkan disfungsi organ di
tempat lain dan hipotensi.7
Kultur darah yang positif hanya ditemukan pada sekitar 20-40% kasus sepsis berat
dan persentasenya meningkat seiring tingkat keparahan dari sepsis, yaitu mencapai 40-
70% pada pasien dengan syok septik. Bakteri Gram negatif atau positif mencakup
sekitar 70% isolat, dan sisanya ialah jamur atau campuran mikroorganisme. Pada pasien
dengan kultur darah negatif, agen penyebab sering ditegakkan berdasarkan kultur atau
pemeriksaan mikroskopik dari bahan yang berasal dari fokus infeksi.7
3.2.4 PATOFISIOLOGI
Respons inflamasi dan prokoagulan terhadap infeksi berkaitan sangat erat. Beberapa
agen infeksi dan sitokin inflamasi seperti tumor necrosis factor α (TNF-α) dan
interleukin-1 mengaktifkan sistem koagulasi dengan cara menstimulasi pelepasan
tissue factor dari monosit dan endothelium yang memicu pembentukan thrombin dan
bekuan fibrin. Sitokin inflamasi dan thrombin dapat mengganggu potensi fibrinolitik
endogen dengan merangsang pelepasan inhibitor plasminogen-activator 1 (PAI-1) dari
platelet dan endothelium. PAI-1 merupakan penghambat kuat aktivator plasminogen
jaringan, jalur endogen untuk melisiskan bekuan fibrin. Efek lain dari trombin
prokoagulan mampu merangsang jalur inflamasi multipel dan lebih menekan sistem
fibrinolitik endogen dengan mengaktifkan thrombin-activated fibrinolysis inhibitor
(TAFI).9
Mekanisme kedua melalui aktivasi protein aktif C yang berkaitan dengan respons
sistemik terhadap infeksi. Protein C adalah protein endogen yang menginduksi
fibrinolisis dan menghambat trombosis dan peradangan, merupakan modulator penting
koagulasi dan peradangan yang terkait dengan sepsis. Kondisi tersebut memberikan
efek antitrombotik dengan meng-inaktivasi faktor Va dan VIIIa, membatasi
pembentukan trombin. Penurunan trombin akan berdampak terhadap proses inflamasi,
prokoagulan, dan antifibrinolitik. Menurut data in vitro menunjukkan bahwa protein
aktif C memberikan efek antiinflamasi dengan menghambat produksi sitokin inflamasi
(TNF-α, interleukin-1, dan interleukin-6) oleh monosit dan membatasi monosit dan
neutrofil pada endothelium yang cedera dengan mengikat selectin. Hasil akhir respon
jaringan terhadap infeksi berupa jejas endovaskuler difus, trombosis mikrovaskuler,
iskemia organ, disfungsi multiorgan, dan kematian.9
Gambar. Patofisiologi Sepsis dan Syok Sepsis
3.2.5 DIAGNOSIS
Identifikasi awal secara tepat merupakan hal yang krusial. Skrining awal dan cepat
dapat dilakukan di setiap unit gawat darurat. Kriteria sepsis mengalami sejumlah
perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Kriteria baru sepsis menggunakan
Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA). SOFA melakukan evaluasi terhadap fungsi fisiologis, respirasi, koagulasi,
hepatik, sistem saraf pusat, dan ginjal. Makin tinggi skor SOFA akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas sepsis (tabel 3.1)
Syok sepsis dapat diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis dengan hipotensi
menetap. Kondisi hipotensi membutuhkan pemerian tambahan vasopressor untuk
mempertahankan MAP >65mmHg dan laktat serum >2mmol/L walaupun telah
dilakukan resusitasi.
Tabel 3.4 Kriteria SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Sepsis
Istilah Kriteria
SIRS 2 dari 4 kriteria:
1. Temperature >38̊C atau <36̊C
2. Laju nadi >90x/menit
3. Hiperventilasi dengan laju nafas >20x/menit atau
CO2 arterial <32mmHg
4. Sel darah putih >12.000sel/uL atau <4.000sel/uL
Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah terbukti)
Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ
3.2.6 Penatalaksanaan
Terdapat perubahan bermakna surviving sepsis campaign 2018 dari rangkaian 3
jam, 6 jam, menjadi rangkaian 1 jam awal (hour-1 bundles). Tujuan perubahan ini
adalah diharapkan terdapat perubahan manajemen resusitasi awal, terutama mencakup
penanganan hipotensi pada syok sepsis. Resusitasi dini dan efektif merupakan kunci
kesuksesan pasien syok sepsis. Komponen penting yang harus ditekankan pada saat
resuitasi awal adalah terapi cairan yang tepat dan terapi vasopresor untuk mencapai
target MAP 65 mmHg sesegera mungkin.