Anda di halaman 1dari 41

BAKTEREMIA DAN SEPSIS

Dr. EDWIN AMBAR, Sp.PD


BAKTEREMIA
→Bakteremia adalah adanya bakteri didalam
darah berdasarkan hasil kultur darah positif.

→Didapatkannya bakteri dari kultur darah di


laboratorium dapat disebabkan oleh adanya
infeksi maupun non infeksi seperti
kontaminasi.

→Bakteremia yang merefleksikan infeksi (true


infection) akan menyebabkan respon fisiologis
yg mengindikasikan adanya infeksi berat,
seperti sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis.
SEPSIS
→ Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap
infeksi, saat patogen atau toksin dilepaskan ke dalam
sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi.

→Rangkaian patofisiologi sepsis didasari terjadinya inflamasi


sistemik yang melibatkan berbagai mediator inflamasi.

→Terjadinya gangguan pada sistem koagulasi juga sangat


berperan dalam timbulnya berbagai komplikasi yang
disebabkan oleh sepsis.

→ Komplikasi yang ditimbulkan oleh sepsis dapat berupa


systemic inflammatory response syndrome (SIRS),
disseminated intravascular coaglukosation (DIC), renjatan
septik dan gagal multi organ.
Dalam praktik klinis, sering terjadi kendala pada
aspek diagnosis sepsis. Hasil kultur darah baru
bisa didapatkan klinisi setelah beberapa hari
perawatan, sedangkan terapi empirik
antimikroba perlu segera diberikan.

Kultur hanya menunjukkan hasil positif pada 30-


50% sampel.

Pada pasien dengan penyakit penyerta seperti


diabetes melitus, penyakit ginjal kronik,
imunokompromais, serta pasien usia lanjut
seringkali manifestasi klinis sepsis tidak tampak,
sehingga sepsis seringkali lolos terdiagnosis.
Etiologi
Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri Gram
negatif (60-70% kasus).

Staphylococci, pneumococci, streptococci, dan


bakteri Gram positif lain lebih jarang
menimbulkan sepsis dengan angka kejadian
antara 20-40% dari seluruh angka kejadian
sepsis.

Jamur oportunistik, virus, atau protozoa juga


dilaporkan dapat menimbulkan sepsis dengan
kekerapan lebih jarang.
Terdapatnya lipopolisakarida (LPS) atau
endotoksin glikoprotein yang merupakan
komponen utama dari membran terluar
bakteri gram negatif berpengaruh terhadap
stimulasi pengeluaran mediator proinflamasi,
kemudian menyebabkan terjadi inflamasi
sistemik dan jaringan.

Peptidoglikan merupakan komponen dinding


sel kuman dilaporkan juga dapat menstimulasi
pelepasan sitokin, juga berperan penting
dalam proses agregasi trombosit.
Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic
Inflammatory Response Syndrome) ditambah
dengan adanya infeksi pada organ tertentu
berdasarkan hasil biakan positif pada tempat
tersebut.

Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis


merupakan respon sistemik terhadap infeksi
berdasarkan adanya SIRS ditambah dengan
adanya infeksi yang dibuktikan (proven) atau
dengan suspek infeksi secara klinis.
Berdasarkan Bone et al, SIRS (Systemic
Inflammatory Response Syndrome) adalah
pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria
sebagai berikut:
a) suhu >38° C atau <36° C,
b) denyut jantung >90 denyut/menit,
c) respirasi >20/menit atau PaC02 < 32mmHg,
d) hitung leukosit >12.000/mm3 atau
<4.000/mm3 atau >10% sel imatur.
Sepsis berat adalah sepsis ditambah dengan satu atau
lebih disfungsi organ seperti berikut:

1. Tekanan sistolik darah < 90mmHg atau MAP <70


mmHg yang berespon terhadap pemberian cairan
intravena.
2. Keluaran urin <0,5 mL/kg/jam untuk selama 1 jam
dengan resusitasi cairan,
3. Pa02/FI02 < 300,
4. Trombosit < 100.000,
5. pH <7,30 atau defisit basa >5,0 mEq/L dan laktat
plasma >1,5 kali batas atas nilai normal,
6. Adanya resusitasi cairan yang adekuat ditandai
dengan tekanan arteri paru >12mmHg atau tekanan
vena sentral >8mmHg.
Renjatan septik adalah sepsis dengan
hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau 40 mmHg lebih rendah dari tekanan
darah pasien yang biasa) selama kurang lebih
satu jam dengan resusitasi cairan adekuat
atau pasien memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan tekanan sistolik >90 mmHg
atau MAP >70 mmHg.
Bertolak dari keterbatasan dua kriteria
diagnosis sepsis yang telah dipublikasi
sebelumnya, pada tahun 2016 the European
Society of Intensive Care Medicine dan SCCM
merumuskan kriteria baru diagnosis sepsis
yang didasarkan pada perubahan definisi
sepsis yang menekankan pada terjadinya
disfungsi organ pada seorang yang terinfeksi.

Sistem skor Sequential Organ Failure


Assessment (SOFA) digunakan sebagai cara
penilaian disfungsi organ. Penambahan akut
dua atau lebih nilai SOFA sebagai akibat infeksi
digunakan sebagai dasar diagnosis sepsis.
Kelompok ahli juga mengajukan kriteria baru
yang dapat digunakan sebagai penapis pasien
sepsis yang dikenal dengan istilah quick SOFA
(qSOFA). Tiga kriteria qSOFA adalah laju napas
lebih dari sama dengan 22 napas/menit,
perubahan kesadaran, tekanan darah sistolik
kurang dari sama dengan 100 mmHg.
Definisi Sepsis berat
Patofisiologi
Infeksi bakteri Metabolit bakteri

Sel tubuh Aktivasi


mediator

Nekrosis Sel Aktivasi Termoregulator


Vasodilatasi

Nekrosis Jaringan Demam Hipotensi


Hipoperfusi

SYOK SEPSIS
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
• Menentukan apakah infeksi didapat dari komunitas atau
nosokomial atau apakah pasien imunokompromais
• Demam
• Sesak napas
• Disorientasi, bingung, perubahan status mental
• Perdarahan
• Mual, muntah, diare, ileus
 
Pemeriksaan Fisik
• Hipotensi
• Sianosis
• Nekrosis iskemik jaringan perifer, umumnya jari
• Selulitis, pustul, bula atau lesi hemoragik pada kulit
• Ikterik
• Pemeriksaan fisik lengkap untuk mencari sumber infeksi
 
Pemeriksaan Penunjang
• Darah perifer lengkap dengan hitung diferensial
• Urinalisis
• Gambaran koagulasi
• Glukosa darah
• Urea darah, kreatinin
• Tes fungsi hati
• Kadar asam laktat
• Analisis gas darah
• Kadar asam laktat
• Biakan darah (minimal 2 set dalam 24 jam), sputum,
urin dan tempat lain yang dicurigai terinfeksi
 
DIAGNOSIS BANDING
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
• Stabilisasi pasien (pemulihan airway, breathing,
circulation)
• Perawatan ICU
• Dialisis
• Nutrisi, pemantauan glukosa hingga <150
mg/dL setiap 1-2 jam hingga 4 hari
• Transfusi darah PRC apabila Hb<7 g/dL , TC
apabila trombosit < 5000 tanpa perdarahan
atau 5.000 - 30.000 dengan perdarahan
• Menghilangkan fokus infeksi (penyaluran
eksudat purulen, nekrotomi, drainase abses)
Farmakologis
• Cairan kristaloid atau koloid

• Obat-obatan vasoaktif untuk kondisi renjatan: dopamin (> 8


mcg/kg/menit), norepinefrin (0,03 - 1,5 mcg/kg/menit),
epinefrin (0,1 - 0,5 mcg/kg/menit) atau fenilefrin (0,5-8
mcg/kg/menit)

• Obat-obatan inotropik: dobutamin (2 - 28mcg/kg/menit),


dopamin (3-8 meg/ kg/menit), epinefrin (0,1 - 0,5/kg/menit)
atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon dan milrinon).

• Dalam 6 jam pertama, target resusitasi adalah; tekanan


vena sentral 8 - 12mmHg, MAP >65mmHg, keluaran urin
>0,5ml/kg/jam, saturasi oksigen vena sentral atau
campuran berturut-turut >70% atau >65%. Target tekanan
vena sentral pada penggunaan ventilasi mekanik atau
penurunan compliance ventrikel adalah 12 - 15mmHg.
Sodium bikarbonat bila pH <7,2 atau bikarbonat
serum <9meq/L.

Antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa


proton pada sepsis berat untuk mencegah
stress ulcer.

Kortikosteroid dosis rendah (hidrokortison 200 -


300 mg/hari terbagi dalam 3-4 dosis selama 7
hari) bila terbukti insufisiensi adrenal.
 Bila terdapat KID dan didapatkan bukti
terjadinya tromboemboli, dapat diberikan
heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus,
dilanjutkan 15-25 IU/kgBB/jam dengan infus
kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk
mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau
antikoagulan lainnya.
Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan
tempat infeksi, dugaan kuman penyebab, profil
antimikroba (farmakokinetik dan
farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal dan
fungsi hati.

Antimikroba definitif diberikan bila hasil kultur


mikroorganisme telah diketahui, antimikroba
dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan
mikroorganisme.
Antimikroba yang dipakai adalah yang
dianggap tidak menyebabkan pelepasan lebih
banyak lipopolisakarida (LPS) sehingga
menimbulkan masalah yang lebih banyak.

Antimikroba yang dianggap tidak


menyebabkan perburukan adalah:
karbapenem, seftriakson, sefepim,
glikopeptida, aminoglikosida, kuinolon.
Terapi Antibiotik Rasional
pada Sepsis
Pemberian antibiotik merupakan salah satu
terapi utama yang harus diberikan pada kasus
infeksi bakteri. Antibiotik didefinisikan sebagai
suatu substansi yang dihasilkan dari berbagai
jenis mikroorganisme seperti jamur dan
bakteri yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme lain.
Penggunaan antibiotik rasional, terdapat 3
aspek yang saling berkaitan erat, yaitu:
a. Aspek antibiotik
→Perhatikan aspek farmakokinetik dan
farmakodinamik antibiotik. Efek farmakokinetik
meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi. Aspek farmakodinamik antibiotik
dibagi menjadi dua, yaitu: antibiotik yang
bersifat bakteriostatik (menghambat
pertumbuhan mikroorganisme) dan antibiotik
yang bersifat bakterisidal (membunuh
mikroorganisme).
b. Aspek pejamu
→Derajat infeksi intensitas infeksi, tempat infeksi,
usia, berat badan, faktor genetik dan penyakit
komorbid, status imun, kehamilan atau laktasi,
riwayat alergi dan faktor sosial ekonomi.

c. Aspek bakteri
→Bakteri penyebab infeksi merupakan faktor
penting dipertimbangkan untuk menentukan
terapi kausatif. Studi epidemiologi mengenai
pola sensitivitas dan resistensi bakteri
merupakan hal sangat penting dilakukan dalam
kebijakan pemberian terapi antibiotik empiris.
Terapi Antibiotik pada
Mikroorganisme Resisten Antibiotik

a. Patogenesis Resistensi Bakteri Secara mikrobiologik,


resistensi bakteri dijelaskan sebagai berikut:

1). Resistensi alami


→ Kuman yang sejak awal memang tidak pernah sensitif
terhadap antibiotik tertentu dikatakan memiliki resistensi
alami, misalnya: Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap
kloramfenikol, dan sebagainya.

2). Resistensi didapat


→ Suatu keadaan dimana kuman yang awalnya sensitif
terhadap antibiotik tertentu mengalami perubahan sifat
menjadi resisten.
Berbagai macam bakteri patogen resisten saat
ini dikenal antara lain

→ Methicillin Resistant Staphylococcus aureus


(MRSA), Methicillin Resistant Staphylococcus
epidermidis (MRSE), Vancomycin Resistant
Staphylococcus aureus (VRSA), dan Multi Drug
Resistant Pseudomonas (MDR Pseudomonas).
Bakteri yang dapat memproduksi extended
spectrum beta lactamase (ESBL) antara lain:
Klebsiela pneumoniae dan Enterobacter (E.
coli).
b. Faktor Risiko Infeksi Bakteri Resisten Antibiotik
di Komunitas

Bila ditinjau dari segi lingkungan, pada tiga daerah di


Amerika Serikat Fridkin SK dkk. menemukan bahwa
infeksi MRSA mayoritas terjadi pada kalangan
masyarakat kulit hitam dengan sosio-ekonomi rendah.

Fridkin SK dkk. juga menemukan bahwa infeksi MRSA di


komunitas ternyata lebih banyak terjadi pada individu
kulit hitam berumur kurang dari 2 tahun. Hal ini
kemudian dikaitkan dengan aspek pejamu. Pada usia
kurang dari 2 tahun, status imun masih rendah.

Faktor endogen terjadi perubahan karakteristik bakteri


lebih menonjol, mengingat adanya kemungkinan terapi
antibiotik yang tidak diberikan secara tepat guna.
c. Faktor Risiko Infeksi Bakteri Resisten
Antibiotik di Rumah Sakit
Penggunaan antibiotik tidak tepat merupakan
sumber masalah terjadi mutasi endogenik pada
bakteri yang akhirnya menyebabkan timbul
bakteri berkarakteristik baru yang resisten
terhadap berbagai jenis antibiotik.

Penggunaan instrumen medis, seperti kateter


urin, naso-gastric tube (NGT), continuous
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) dalam
jangka lama juga merupakan faktor risiko terjadi
paparan infeksi bakteri patogen resisten.
d. Pemilihan Antibiotik pada Bakteri
Resisten Antibiotik
Saat ini antibiotik pilihan yang digunakan
untuk terapi pada infeksi MRSA adalah
vankomisin, teikoplanin, linezolid, ceftobiprol.

Vankomisin merupakan antibiotik yang


dihasilkan oleh Streptomyces orientalis,
bersifat bakterisidal kuat untuk stafilokokus
dan bekerja pada target dinding sel bakteri.
MDR Pseudomonas merupakan bakteri gram
negatif yang memproduksi betalaktamase.
Berbagai kepustakaan dan para ahli masih
berkesimpulan bahwa kepekaan antibiotik
golongan meropenem dan imipenem masih
tinggi terhadap MDR Pseudomonas, sehingga
digunakan dalam pengobatan infeksi
nosokomial disebabkan Pseudomonas spp.
Kepekaan ESBL masih tergolong cukup tinggi
terhadap antibiotik golongan karbapenem,
kuinolon, ceftazidim, piperacillin-tazobactam.
Sehingga karbapenem masih sebagai terapi
pilihan pada kasus individu dengan infeksi
ESBL. Pemberian antibiotik dengan antibeta
laktamase, seperti sulbatam, tazobactam dan
asam klavulanat juga merupakan terapi pilihan
yang dapat diberikan pada ESBL.
Pilihan antibiotik empiris menurut lokasi infeksi
→Berikut adalah pilihan antimikroba sesuai
sumber infeksi;
Pneumonia komuniti: 2 regimen obat, yaitu
sefalosporin generasi 3 (seftriakson 1x1 gram
selama 2 minggu] atau keempat (sefepim 2x2
gram selama 2 minggu) dan aminoglikosida
(gentamisin iv atau im 2mg/kgBB dilanjutkan
dengan 3x1,7 mg/kgBB atau 1x5 mg/kg BB
selama 14 - 21 hari atau amikacin 1x15
mg/kgBB atau tobramisin 1x1,7 mg/kgBB )
Pneumonia nosokomial: sefepim (2x2 gram
selama 2 minggu) atau imipenem - silastatin
(4x0.5 gram) dan aminoglikosida.

Infeksi abdomen: imipenem - silastatin (4x0.5


gram) atau piperasilin - tazobaktam (4 -
6x3,375 gram) dan aminoglikosida.
Infeksi abdomen nosokomial: imipenem -
silastatin (4x0.5 gram) dan aminoglikosida
atau piperasilin - tazobaktam (4-6x 3,3
75gram) dan amfoterisin B (dosis inisial 0,25 -
0,3 mg/kgBB/hari, tingkatkan perlahan-lahan
hingga mencapai dosis biasa 0,5 -1 mg/kgBB
atau hingga 1,5 mg/kgBB, pada keadaan
mengancam nyawa dosis inisial dapat
langsung diberikan 0,6 - 0,7 mg/kgBB)

Kulit/ jaringan lunak: vankomisin (2x15


mg/kgBB) dan imipenem - silastatin (4x0.5
gram) atau piperasilin - tazobaktam (4 - 6x
3,375gram)
Kulit/ jaringan lunak nosokomial: vankomisin
(2x15 mg/kgBB) dan sefepim (2x2 gram selama 2
minggu)

Infeksi traktus urinarius: siprofloksasin (2x400


mg) dan aminoglikosida Infeksi traktus urinarius
nosokomial: vankomisin (2x15 mg/kgBB) dan
sefepim (2x2 gram selama 2 minggu)

Infeksi SSP: vankomisin (2x15 mg/kgBB) dan


sefalosporin generasi ketiga atau meropenem
(3x1 gram)

Infeksi SSP nosokomial: meropenem (3x1 gram)


dan vankomisin (2x15 mg/kgBB)
KOMPLIKASI
Sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS)
Koagulasi intravascular diseminata (DIC)
Gagal ginjal akut (ARF)
Perdarahan usus » Gagal hati
Disfungsi sistem saraf pusat (SSP)
Gagal jantung
Kematian
 
PROGNOSIS
Sekitar 20 - 35% pasien dengan sepsis berat
dan 40 - 60% pasien dengan renjatan septik
meninggal dalam 30 hari.

Sistem stratifikasi prognosis seperti APACHE II


menunjukkan bahwa usia pasien, penyakit dasar
dan berbagai variabel fisiologi menentukan
risiko kematian pada sepsis berat.

 Pada pasien tanpa penyakit morbiditas


sebelumnya, case-fatality rate di bawah 10%
hingga usia dekade keempat, dan setelahnya
meningkat hingga 35%.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai