Anda di halaman 1dari 41

HUBUNGAN KECACINGAN DENGAN STATUS GIZI PADA ANAK

SEKOLAH DASAR DI KELURAHAN WAY KANDIS,

TANJUNG SENANG, BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2020

Skripsi

Oleh :

LULU MAFRUDHOTUL ALIYAH

NPM. 17310154

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gizi merupakan bagian yang terpenting dalam proses kehidupan dan proses

tumbuh kembang pada anak. Sehingga pemenuhan kebutuhan gizi yang adekuat

turut menentukan tumbuh kembang pada anak sebagai sumber daya manusia

dimasa yang akan datang (Zaenal, 2007). Pentingnya gizi dalam pembangunan

kualitas hidup didasarkan pada beberapa hal yaitu: pertama keadaan gizi erat

hubungannya dengan tingginya angka kesakitan dan angka kematian; kedua

meningkatnya keadaan gizi penduduk merupakan sumbangan yang besar dalam

mencerdaskan bangsa; ketiga lebih baiknya status gizi dan kesehatan akan

memperbaiki tingkat produktifitas kerja penduduk (Rasmaliah, 2004).

Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat.

Masalah gizi di Indonesia pada umumnya masih di dominasi oleh Kurang Energi

Protein (KEP), defisiensi zat besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium

(GAKY), Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas. Salah satu contoh

kejadian kekurangan gizi di Indonesia yang merupakan masalah serius dan sedang

dihadapi yaitu balita pendek atau biasa disebut dengan stunting. Data Prevalensi

balita stunting  yang dikumpulkan World Health Organization (WHO)

menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan

prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).

Bila masalah ini bersifat kronis, maka akan memengaruhi fungsi kognitif yakni

tingkat kecerdasan yang rendah dan berdampak pada kualitas sumber daya

manusia. 

Masalah gizi pun sebenarnya tidak lepas juga dari konsep dasar timbulnya

penyakit, yaitu karena tidak seimbangnya berbagai faktor, baik dari sumber

penyakit (agent), pejamu (host) dan lingkungan (environment). Salah satu nya

adalah infeksi parasit yang dapat menyebabkan penyakit cacingan yang


berdampak pada status gizi pada anak.

Kecacingan merupakan masalah kesehatan yang masih banyak di temukan

di dunia. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) lebih dari satu

miliar orang terinfeksi Ascaris lumbricoides, 795 juta orang terinfeksi cacing

Trichiuris trichiura atau 740 juta orang terinfeksi cacing Hooworm. Infeksi

tersebar luas di daerah tropis dan subtropics, dengan jumlah tersebar luas di sub-

Sahara, Afrika, Amerika, Cina, dan Asia Timur. Pada beberapa daerah Indonesia

prevalensi infeksi kecacingan umumnya masih tinggi antara 60- 90%, terutama

terdapat pada anak-anak sekolah dasar dan golongan penduduk yang kurang

mampu dengan akses sanitasi yang terbatas. Tingginya prevalensi ini disebabkan

oleh kondisi iklim Indonesia yang tropis dengan kelembaban udara tinggi serta

kondisi sanitasi dan higiene yang buruk.

Infeksi kecacingan pada anak sekolah memberikan dampak yang kurang

baik, sehingga dapat menurunkan produktivitas yang pada akhirnya dapat

mempengaruhi kualitas anak di masa yang akan datang.

Way Kandis adalah salah satu kelurahan yang berada di kecamatan Tanjung

Senang, kota Bandar Lampung. Data Prevalensi penyakit kecacingan pada

masyarakat di Desa tersebut belum diketahui karena belum pernah dilakukan

survei sebelumnya. Tetapi masih terdapat program pemberian obat pencegahan

cacingan pada anak usia sekolah dan balita yang diberikan oleh pemerintah

kepada puskesmas Way Kandis minimal satu tahun sekali.

Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan antara kecacingan dengan status gizi di kelurahan Way Kandis Kota

Bandar Lampung. Serta mengetahui prevalensi kecacingan dan status gizi di

daerah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian dan latar belakang diatas dapat dirumuskan


masalah dalam penelitian ini yaitu : Apakah ada hubungan antara kecacingan

dengan status gizi pada anak sekolah dasar di kelurahan Way Kandis, Tanjung

Seneng, Kota Bandar Lampung.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara kecacingan dengan status gizi

pada anak sekolah dasar di kelurahan Way Kandis, Tanjung

Seneng, Kota Bandar Lampung.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk Mengetahui status gizi pada anak sekolah dasar di kelurahan

Way Kandis, Tanjung Seneng, Kota Bandar Lampung.

b. Untuk mengetahui Prevalensi kecacingan pada anak sekolah dasar di

kelurahan Way Kandis, Tanjung Seneng, Kota Bandar Lampung.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Institusi pemerintahan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi

yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka perbaikan dan

pengembangan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat khususnya pada anak sekolah dasar di kelurahan

Way Kandis, Tanjung Seneng, Kota Bandar Lampung.

1.4.2 Manfaat Ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu sumber

pengetahuan tentang teori dan konsep penyakit cacingan yang dapat

dikembangkan bagi peneliti selanjutnya.

1.4.3 Bagi Masyarakat umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait

dampak dari penyakit cacingan sehingga masyarakat lebih mewaspadai


dan menjaga kesehatannya.

1.4.4 Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan pengalaman berharga dalam upaya menambah

ilmu dan pengetahun tentang hal-hal yang berhubungan dengan

kejadian cacingan disamaping sebagai syarat memperoleh gelar sarjana

kedokteran pada Fakultas Kedokteran Umum Universitas Malahayati

Bandar Lampung.

1.5 Ruang Lingkup

1.5.1 Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan di kelurahan Way Kandis, Tanjung

Seneng, Kota Bandar Lampung.

1.5.2 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian akan dilakukan pada bulan Mei 2020 – selesai.

1.5.3 Ruang Lingkup Subyek

Subyek Penelitian ini adalah anak-anak sekolah dasar di kelurahan Way

Kandis Tanjung Seneng Bandar Lampung


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi Kecacingan

Kecacingan merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit

berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga

sering kali diabaikan walaupun pada kenyataannya memberikan gangguan pada

kesehatan. Tetapi dalam keadaan infeksi berat, kecacingan cenderung

memberikan analisa keliru ke arah penyakit lain dan tidak jarang yang dapat

berakibat fatal (Margono, 2008).

Definisi infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi satu

atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. Diantara

nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah atau biasa

disebut dengan cacing jenis STH yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus,

Trichuris trichiura dan Ancylostoma duodenale (Margono 2006). Kecacingan ini

umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis dan beriklim basah dimana

hygiene dan sanitasinya buruk. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi paling

umum menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah dan ditemukan pada

berbagai golongan usia (WHO 2011)

Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyai

saluran cerna yang berfungsi penuh, biasanya berbentuk silindris serta panjangnya

bervariasi dari beberapa milimeter hingga lebih dari satu meter. Nematoda usus

biasanya matang dalam usus halus, dimana sebagian besar cacing dewasa melekat

dengan kait oral atau lempeng pemotong. Cacing ini menyebabkan penyakit

karena dapat menyebabkan kehilangan darah, iritasi dan alergi (Margono, 2008).
2.2 Dampak Infeksi Kecacingan

Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat

mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Kecacingan dapat mengakibatkan

menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderita

sehingga secara ekonomi dapat menyebabkan banyak kerugian yang pada

akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Infeksi cacing pada

manusia dapat dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan

manipulasinya terhadap lingkungan (Wintoko, 2014).

Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan

pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing tambang

mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura

menimbulkan morbiditas yang tinggi (Satari, 2010).

Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat

badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5

juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Infeksi cacing tambang umumnya

berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap

darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila

terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan

dapat menyebabkan anemia berat (Margono, 2008).

2.3 Soil Transmitted Helminths (STH)

Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda)

yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur

ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab yang
terdapat di negara yang beriklim tropis maupun subtropis (Bethony et al., 2006).

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kontaminasi tanah oleh STH

antara lain adalah :

1. Tanah

Sifat tanah mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan telur dan daya

tahan hidup dari larva cacing. Tanah liat yang lembab dan teduh merupakan tanah

yang sesuai untuk pertumbuhan telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris

trichiura. Tanah berpasir yang gembur dan bercampur humus sangat sesuai untuk

pertumbuhan larva cacing tambang disamping teduh (Margono, 2008).

2. Iklim/Suhu

Iklim tropis merupakan keadaan yang sangat sesuai untuk perkembangan telur dan

larva STH menjadi bentuk infektif bagi manusia. Suhu optimum untuk

pertumbuhan telur Ascaris lumbricoides berkisar 25ºC, sedangkan telur Trichuris

trichiura suhu optimum untuk tumbuh adalah 30ºC. Larva Ancylostoma

duodenale akan tumbuh optimum pada suhu berkisar 23-25°C, sedangkan untuk

Necator americanus berkisar antara 28-32°C (Margono, 2008).

3. Kelembaban

Kelembaban yang tinggi akan menunjang pertumbuhan telur dan larva dari STH.

Pada keadaan kekeringan akan sangat tidak menguntungkan bagi pertumbuhan

STH. Kelembaban 80% sangat baik untuk perkembangan telur Ascaris

lumbricoides sedang telur Trichuris trichiura menjadi stadium larva maupun

bentuk infektif pada kelembaban 87% (Margono, 2008).

4. Angin

Angin dapat mempercepat pengeringan sehingga dapat mematikan telur dan larva.

Selain itu angin juga dapat menyebarkan telur STH dalam debu sehingga

mempermudah penularan infeksi STH. (Margono, 2008).


Berikut ini spesies-spesies Soil Transmitted Helminths (STH) yang paling seering

menyebabkan infeksi kecacingan adalah :

1. Ascaris lumbricoides

2. Trichuris trichiura

3. Necator americanus

4. Ancylostoma duodenale

Tabel 1. Taksonomi Soil Transmitted Helminths (STH)

Taksonomi Ascaris Trichuris Cacing

Cacing Lumbricoides Trichiura


Sub Kingdom Metazoa Metazoa Metazoa
Phylum Nemathelminthes Nemathelminthes Nemathelminthes
Kelas Nematoda Nematoda Nematoda
Sub Kelas Phasmidia Aphasmidia Phasmidia
Ordo Ascaridia Enoplida Rhabtidia
Super Famili Ascaridoidea Trichinellidae Rhabtitoidae dan

Ancylostomatitidae
Famili Ascaridea Trichuridae Ancylostomatitidae dan

Necator
Genus Ascaris Trichuris Ancylostoma dan
Necator

Spesies A. lumbricoides T. trichiura A. duodenale dan

N. Americanus
(Sumber : Zaman, 1997)

a. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

1) Morfologi

Ascaris lumbricoides merupakan cacing terbesar diantara Nematoda

lainnya. Cacing betina memiliki ukuran besar dan panjang. Manusia


merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30

cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, kadang-kadang sampai 39 cm

dengan diameter 3-6 mm. Pada stadium dewasa hidup di rongga usus

halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari,

terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam

lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk

infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Ascaris lumbricoides

memiliki 4 macam telur yang dapat dijumpai dalam feses yaitu telur fertil

(telur yang dibuahi), infertil (telur yang tidak dibuahi), decorticated (telur

yang sudah dibuahi tetapi kehilangan lapisan albuminnya) dan telur

infektif (telur yang megandung larva) (Prianto et al., 2006).

Gambar 2.1. Telur cacing Ascaris lumbricoides. (13) telur yang dibuahi,

(15) telur yang tidak dibuahi (Sumber : Russel, 2012)

Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dapat

dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2.2. Siklus hidup Ascaris

lumbricoides (Sumber : Zaman, 1997)


Keterangan :

 Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina

mampu menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar

bersama feses.

 Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective

setelah18 hari sampai beberpa minggu di tanah.

 Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab,

hangat, tempat teduh).

 Telur infektif tertelan.

 Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian

menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening dan aliran

darah dan terbawa sampai ke paru-paru.

 Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14),

menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya

terlelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi

cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi

sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2-3 bulan. Cacing dewasa

dapat hidup 1 sampai 2 tahun dalam tubuh (O’lorcain, 2006)

2) Patogenesis

Patogenesis berkaitan dengan jumlah organisme yang

menginvasi, sensitifitas individu, bentuk perkembangan cacing,

migrasi larva dan status nutrisi individu. Migrasi larva dapat

menyebabkan eosinophilia dan kadang-kadang reaksi alergi.

Bentuk dewasa dapat menyebabkan kerusakan pada organ akibat

invasinya dan mengakibatkan patogenesis yang lebih berat

(Soedarmo, 2010)

3) Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang dapat muncul akibat infeksi dari cacing Ascaris

lumbricoides antara lain rasa tidak enak pada perut, diare, nausea,

vomiting, berat badan menurun dan malnutrisi. Bolus yang

dihasilkan oleh cacing dapat menyebabkan obstruksi intestinal,

sedangkan larva yang migrasi dapat menyebabkan pneumonia dan

eosinophilia (Soedarmo, 2010).

4) Epidemiologi

Infeksi yang disebabkan oleh cacing A. lumbricoides disebut

Ascariasis. Di Indonesia kejadian Ascariasis tinggi, frekuensinya

antara 60% sampai 90% terutama terjadi pada anak-anak. A.

lumbricoides banyak terjadi pada daerah iklim tropis dan

subtropis khususnya negara-negara berkembang seperti Asia dan

Afrika (Soedarmo, 2010).

5) Diagnosis

Diagonsis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi adanya telur

pada feses dan kadang dapat dijumpai cacing dewasa keluar

bersama feses, muntahan ataupun melalui pemeriksaan radiologi

dengan kontras barium (Soedarmo, 2010).

6) Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana

pembuangan feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan

dengan tanah yaitu dengan cara cuci bersih tangan sebelum makan

dan sesudah makan, mencuci sayur-sayuran dan buah-buahan yang

ingin dimakan, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan

mengobati penderita (Soedarmo, 2010).

b. Trichuris trichiura ( Cacing Cambuk )

1) Morfologi
Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cacing dewasa

berbentuk cambuk dengan 2/5 bagian posterior tubuhnya tebal dan 3/5 bagian

anterior lebih kecil. Cacing jantan memiliki ukuran lebih pendek (3-4cm)

daripada betina dengan ujung posterior yang melengkung ke ventral. Cacing

betina memiliki ukuran 4-5 cm dengan ujung posterior yang membulat.

Memiliki bentuk oesophagus yang khas (Schistosoma oesophagus). Telur

berukuran 30-54 x 23 mikron dengan bentukan yang khas lonjong seperti tong

(barrel shape) dengan dua mucoid plug pada kedua ujung yang berwarna

transparan (Prianto et al., 2006).

Gambar 2.3.

Telur cacing

Trichuris

trichiura

(Sumber : Russel, 2012)

Cara infeksi adalah telur yang berisi embrio tertelan manusia, larva aktif

akan keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi dewasa dan

menetap. Telur yang infektif akan menjadi larva di usus halus pada

manusia. Larva menembus dinding usuu halus menuju pembuluh darah

atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung

menuju paru-paru (Onggowaluyo, 2002). Siklus hidup cacing Trichuris

trichiura, yaitu:
Gambar 2.4. Siklus hidup Trichuris trichiura

(Sumber : Safar, 2010)

2) Manifestasi Klinik

Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi karena

kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini erat

hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan

umum dari hospes (penderita). Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk

biasanya tanpa gejala pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat

menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual dan berat badan turun

(Onggowaluyo, 2002).

3) Epidemiologi

Penyebaran geografis T. trichuira sama A. lumbricoides sehingga seringkali

kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di

Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30%-90%.

Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak–anak. Faktor terpenting dalam

penyebaran trikuriasis adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung

telur. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh (Onggowaluyo,

2002).

4) Patogenesis

Cacing dewasa lebih banyak ditemukan di caecum tetapi dapat juga berkoloni di

dalam usus besar. Cacing ini dapat menyebabkan inflamasi, infiltrasi dan

kehilangan darah (anemia). Pada infeksi yang parah dapat menyebabkan rectal

prolapse dan defisiensi nutrisi (Soedarmo, 2010).

5) Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana pembuangan feses,

mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan dengan tanah yaitu dengan
cara cuci bersih tangan sebelum makan dan sesudah makan, mencuci sayur-

sayuran dan buah-buahan yang ingin dimakan, menghindari pemakaian feses

sebagai pupuk dan mengobati penderita (Soedarmo, 2010).


c. Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)

Terdapat dua spesies hookworm yang sangat sering menginfeksi manusia

yaitu: “The Old World Hookworm” yaitu Ancylostoma duodenale dan

“The New World Hookworm” yaitu Necator americanus (Hotez, 2004)

1) Morfologi

Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, cacing melekat pada

mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik.

Cacing ini berbentuk silindris dan berwarna putih keabuan. Cacing

dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm sedangkan betina berukuran

10 sampai 13 mm. Cacing N.americanus betina dapat bertelur ±9000

butir/hari sedangkan cacing A.duodenale betina dapat bertelur ±10.000

butir/hari. Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S

sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis

cacing ini besar. N.americanus mempunyai benda kitin, sedangkan pada

A.duodenale terdapat dua pasang gigi ( Safar, 2010).

Gambar 2.5 Cacing Ancylostoma duodenale dewasa

(Sumber : Zaman, 1997)

Gambar 2.6 Cacing Necator americanus dewasa

(Sumber : Zaman, 1997)


Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan

dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang.

Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron, berbentuk oval,

dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel.

Dalam waktu 1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka

keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium rhabditiform dari

cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing

dan mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae)

panjangnya 600-700 mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang

oesophagus 1/3 dari panjang badan (Margono, 2008).

Gambar 2.7 Telur Hookworm (Sumber : Russel, 2012)

Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva

filariorm yang ada di tanah. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000

butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm,

cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup

S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup

cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses,

setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva

rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva

filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8

minggu di tanah ( Safar, 2010).

Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke


paru- paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke

bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut tertelan

dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi

terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama

makanan (Margono et al., 2006). Gambaran umum siklus hidup

cacingAncylostoma duodenale dan Necator americanus dapat dilihat

pada gambar berikut ini :

Gambar 2.8 Siklus hidup Hookworm A.duodenale dan N.americanus

(Sumber : Safar, 2010)

Keterangan :

Larva cacing tambang pada suhu hangat dan lembab mengalami

pertumbuhan dalam 3 tahap. Pada tahap ahir, larva-larva ini akan naik

ke permukaan tanah. Dengan bentuk tubuh yang runcing di bagian

atas, larva ini akan masuk menembus kulit dan ikut ke dalam aliran

darah sampai ke organ hati. Melalui pembuluh darah larva ini akan

terbawa ke paru-paru. Larva cacing tambang kemudian bermigrasi ke

bagian kerongkongan dan kemudian tertelan. Larva kemudian menuju

usus halus dan menjadi dewasa dengan menghisap darah penderita.

Cacing tambang bertelur di usus halus yang kemudian dikeluarkan


bersama dengan feses ke alam dan akan menyebar kemana-mana

(Gracia, 2006).

2) Manifestasi Klinis

Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk

memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi

makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Secara praktis telur cacing

Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator

americanus. Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan

tekhnik pembiakan larva (Onggowaluyo, 2002). Larva cacing tambang

kemudian bermigrasi ke bagian kerongkongan dan kemudian tertelan.

Larva kemudian menuju usus halus dan menjadi dewasa dengan

menghisap darah penderita. Cacing tambang bertelur di usus halus yang

kemudian dikeluarkan bersama dengan feses ke alam dan akan menyebar

kemana- mana (Gracia, 2006).

3) Patogenesis

Larva cacing menembus kulit akan menyebabkan reaksi erythematous.

Larva di paru-paru akan menyebabkan perdarahan, eosinophilia, dan

pneumonia. Kehilangan banyak darah dapat menyebabkan anemia

(Soedarmo, 2010).

4) Epidemiologi

Hookworm menyebabkan infeksi pada lebih dari 900 juta orang dan

mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 7 Liter. Cacing ini ditemukan

di daerah tropis dan subtropis. Kondisi yang optimal untuk daya tahan

larva adalah kelembaban sedang dengan suhu berkisar 23°-33°C.

Kejadian infeksi cacing ini terjadi pada anak-anak (Soedarmo, 2010).

5) Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan memutus rantai lingkaran hidup


cacing sehingga dapat mencegah perkembangannya menjadi larva

infektif, mengobati penderita, memperbaiki cara dan sarana

pembuangan feses dan memakai alas kaki (Soedarmo, 2010).

2.4 Pengertian Status Gizi

Gizi adalah makanan yang dikonsumsi mengandung zat-zat gizi yang

seimbang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan tidak berlebihan

(Dia, K.2000).

Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan

penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara gizi buruk, kurang, sedang

dan baik (Sunita Atmatsier, hl. 3 2001)

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

Status gizi pada anak mempunyai pengaruh penting terhadap kesehatan

maupun tumbuh dan kembangnya, dibawah ini dijelaskan faktor-faktor

yang mempengaruhi status gizi:

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hal penting bagi perubahan prilaku,

karena prilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng

dari pada prilaku yang tiadak didasari pengetahuan (notoadmojo,

2002).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting sehingga

terbentuknya tindakan seseorang untuk mengkonsumsi gizi yang

seimbang.

2. Tingkat pendidikan

Menurut Soewarno, 1992 : dikutip oleh uraian Nursalam dan Siti

pariani, 2001. pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan


oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah

suatu cita-cita tertentu. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang

makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula

pengetahuan yang dimiliki mengenai gizi yang harus dikomsumsi

pada setiap keadaan seseorang.

3. Tingkat ekonomi

Pendapatan akan mempengaruhi untuk memenuhi kebutuhan,

terutama kebutuhan gizi tentang status gizinya. Sosioekonomi

juga mempengaruhi jenis dan kualitas makanan, misalnya : Orang

dengan status ekonomi rendah dan menengah kebawah tidak

sanggup membeli makanan, buah dan sayuran yang mahal dan

juga untuk mengkomsumsi ikan dan daging yang mahal dan

bermutu ( Elly. N. 2001 ).

4. Budaya

Banyak kepercayaan, kebiasaan dan istiadat yang berhubungan

dengan soal makan dan makanan, setiap individu mempunyai cara

sendiri dalam hal makanan yang dipilihnya. Demikian juga dalam

makanan untuk anak, ada yang dianggap baik dan ada yang

kurang baik (Hendrawan. N. 1997.24).

Cara perhitungan status gizi

Ada 2 jenis baku acuan: lokal dan internasional dan terdapat beberapa

baku acuan internasional : Harvard (Boston), WHO-NCHS, Tanner dan

Kanada. Salah satunya adalah Harvard dan WHO-NCHS adalah yang

paling umum digunakan di seluruh negara, distribusi data BB/U, TB/U

dan BB/TB yang dipublikasikan WHO meliputi data anak umur 0-18

tahun.
Data Reference (Baku Acuan) di Indonesia, sejak dekade 80-an Indonesia

menggunakan 2 baku acuan internasional: Harvard dan WHO-NCHS.

Data baku rujukan WHO-NCHS disajikan dalam 2 versi yaitu persentil

dan Z-skor. Data Reference (Baku Acuan) Waterlow, dkk 1977 (dalam

Gizi Indonesia Vol XV No.2 1990), penentuan status gizi anak:

1. Di negara yang populasinya relatif well nourished, distribusi

TB/U dan BB/TB sebaiknya digunakan persentil.

2. Di negara yang populasinya relatif undernourished, lebih baik

digunakan Z-skor sebagai pengganti persen terhadap median baku

rujukan. Tidak disarankan menggunakan indeks BB/U

Rumus perhitungan Z-skor:

Z-skor = Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan

Nilai Simpang Baku Rujukan

Berdasarkan Baku Harvard, status gizi dibagi menjadi 4:

1. Gizi lebih untuk overweight, termasuk kegemukan dan obesitas


2. Gizi baik untuk well nourished.
3. Gizi kurang untuk under weight, mencakup mild dan moderate PCM .
4. Gizi buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus, marasmik-
kwashiorkor dan kwashiorkor

Tabel 2.6 Status Gizi Berdasarkan Indeks Antropometri

Indeks
Status Gizi
BB/U TB/U BB/TB
Gizi Baik > 80% > 90% > 90%
Gizi Sedang 71%-80% 81-90% 81-90%
Gizi Kurang 61%-70% 71-80% 71-80%
Gizi Buruk = 60% = 70% = 70%
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan

rancangan cross sectional, yaitu dengan cara pengumpulan data sekaligus

pada suatu waktu dengan tujuan untuk mencari hubungan antara variabel

independen (infeksi kecacingan) terhadap variabel dependen (status gizi).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Pengambilan data berupa tinggi badan, berat badan, kuesioner dan sampel

feses yang dilakukan di Kelurahan Way Kandis Tanjung Seneng Bandar

Lampung pada anak sekolah dasar. Pemeriksaan sampel feses dilakukan di

Puskesmas Way Kandis Bandar Lampung.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2020.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Populasi target penelitian adalah seluruh siswa kelas 1, 2, 3, 4, 5 dan 6

yang memenuhi kriteria inklusi. Populasi terjangkau adalah siswa yang

mengalami kecacingan di Sekolah dasar Kelurahan Way Kandis Tanjung

Seneng Bandar Lampung.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan subjek yang diteliti

dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1, 2, 3, 4, 5 dan 6


dengan jumlah 70 siswa Sekolah Dasar, Kelurahan Way Kandis Tanjung

Seneng Bandar Lampung, pada bulan Juli 2020 yang memenuhi kriteria

inklusi.

3.3.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi sebagai berikut:

a. Siswa SD dan orang tua yang bersedia mengikuti penelitian

b. Siswa yang hadir saat pengukuran

c. Siswa yang mengumpulkan feses

d. Siswa yang 6 bulan terakhir tidak minum obat cacing

3.3.3 Teknik Sampling

Teknik sampling adalah proses seleksi sampel yang digunakan dalam

penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel yang akan

mewakili keseluruhan populasi yang ada. Penelitian ini dilakukan di

Kelurahan Way Kandis Tanjung Seneng Bandar Lampung. Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel secara total

sampling. Sampel diambil dari populasi penelitian dengan sejumlah sampel

yang ditemukan pada periode penelitian.

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel Bebas (Variabel Independen)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah status gizi pada siswa Sekolah

Dasar di Kelurahan Way Kandis Tanjung Seneng Bandar Lampung.

3.4.2 Variabel Terikat (Variabel Dependen)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah infeksi kecacingan pada anak

Sekolah Dasar di Kelurahan Way Kandis Tanjung Seneng Bandar

Lampung.

3.5 Definisi Operasional


Adapun definisi operasional dari variabel yang telah disebutkan diatas bisa

dijelaskan dalam tabel definisi sebagai berikut:

Tabel 2. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Skala Hasil Ukur


Variabel Independen

Status Keadaan sehat Timbangan Antropometri Kurus


1. Ordinal
gizi individu atau digital Menggunakan Normal
kelompok Microtoise Indeks Massa Gemuk
yang Tubuh Sangat
ditentukan (IMT/U) Gemuk
oleh derajat berdasarkan
kebutuhan tabel IMT/U
fisik akan usia 5-18
energi dan zat- tahun
zat lain yang
diperoleh dari
pangan dan
makanan yang
dampak
fisiknya
diukur secara
antropometri

Variabel Dependen
2. Infeksi Infestasi Mikroskop Melihat telur Nominal Positif
Cacing parasit Object cacing di =
manusia dan glass mikroskop ditemukan
hewan yang Cover dengan metode telur cacing
sifatnya glass apung. pada feses
merugikan Tabung anak
dimana NaCl jenuh
manusia Negatif =
merupakan tidak
hospes ditemukan
beberapa telur cacing
nematoda usus pada feses
yang diantara anak
sejumlah
spesiesnya
ditularkan
melalui tanah.

3.6 Pengumpulan Data

3.6.1 Jenis Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan pada saat penelitian. Data
primer meliputi data kuesioner, sampel feses dan pengukuran pada

siswa di SD Negeri Krawang Sari, Desa Talang Sawo, Kecamatan

Natar, Lampung Selatan.

b. Data Sekunder

Dalam penelitian ini yang menjadi data sekunder adalah data jumlah

siswa sekolah di SD Negeri Krawang Sari, Desa Talang Sawo,

Kecamatan Natar, Lampung Selatan.

3.6.2 Instrumen Penelitian

a. Alat tulis

Alat yang digunakan untuk mencatat, melaporkan hasil penelitian.

Alat tersebut adalah pulpen, kertas, pensil dan komputer.

b. Lembar identitas dan data responden

Alat yang digunakan untuk mencatat data sosiodemografi dan hasil

penelitian terhadap responden.

c. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Sebelum dilakukan penelitian kepada responden, terlebih dahulu

dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas dilakukan

dengan mengukur korelasi antara masing-masing item pertanyaan

dengan skor total menggunakan rumus korelasi Pearson product

moment (r), dengan ketentuan r hitung > r tabel, maka pertanyaan

valid dan jika nilai r hitung < r tabel, maka pertanyaan tidak valid.

Uji reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana

suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Dalam

penelitian ini teknik untuk menghitung indeks reliabilitas yaitu

menggunakan metode Cronbach Alpha dengan ketentuan jika r

Cronbach’ Alpha > r tabel maka dinyatakan reliabel dan jika

Cronbach’ Alpha < r tabel maka dinyatakan tidak reliabel.


3.7 Cara Pengumpulan Data

Pengambilan data berupa identitas responden, kuesioner, pengukuran dan

sampel feses. Pengambilan data dilaksanakan di SD Negeri Krawang Sari,

Desa Talang Sawo, Kecamatan Natar, Lampung Selatan pada bulan

September 2015 yang di tunjuk sebagai sampel. Adapun proses meliputi:

a. Permohonan izin mengambil data pasien kepada manger Litbang

b. Menentukan subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi

c. Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian

d. Informed Consent dan Pengisian form Informed Consent

e. Pengisian kuisioner oleh responden

f. Melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan serta

membagikan botol untuk sampel tinja

g. Pengambilan tinja dan melakukan pemeriksaan tinja dengan metode

apung yaitu dengan menggunakan NaCl jenuh

h. Menganalisis data yang telah diperoleh

i. Pengisian kuisioner oleh responden

j. Melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan serta

membagikan botol untuk sampel tinja

k. Pengambilan tinja dan melakukan pemeriksaan tinja dengan metode

apung yaitu dengan menggunakan NaCl jenuh

l. Menganalisis data yang telah diperoleh

m. Melakukan uji statistik terhadap variabel yang diteliti dengan


menggunakan perangkat lunak computer

n. Membaca dan menginterprestasikan hasil uji statistik ke dalam kalimat.

3.8 Cara Kerja

Adapun cara kerja dari penelitian ini adalah:


a. Tahap Persiapan

1. Meregister data murid SD yang diambil sampel.

2. Menyiapkan alat-alat yang diperlukan untuk penelitian seperti

timbangan dewasa, microtoice dan kuisioner.

3. Menyiapkan alat tulis untuk pencatatan hasil.

b. Tahap penelitian

1. Pengisian form Informed Consent

2. Pengisian kuesioner oleh responden.

3. Melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan.

4. Pengambilan data sampel feses murid untuk pemeriksaan cacing.

5. Pemeriksaan feses dilakukan di Puskesmas Way Kandis Bandar

Lampung

6. Hasil yang di dapat dicatat dengan membuat tabel data untuk

mempermudah melihat hasil pemeriksaan.

c. Tahap Perhitungan

Tahap ini dilakukan setelah diperoleh data tinggi badan, berat badan,

kuisioner dan sampel feses. Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan

menggunakan Program SPSS pada komputer.

3.8.1.1 Pengisian Kuesioner

Lembar kuesioner dibagikan kepada responden oleh tim peneliti. Setelah

lembar kuesioner di isi/jawab oleh responden, lembar tersebut

dikembalikan kepada tim peneliti.


3.8.1.2 Pemeriksaan Feses

Pot feses dibagikan kepada responden sehari sebelum dilakukan

pemeriksaan, kemudian pagi harinya dikumpulkan kembali lalu feses di

bawa ke Puskesmas. Adapun metode yang digunakan untuk menentukan

seseorang terinfeksi kecacingan atau tidak digunakan metode apung

(floatation methode) dengan sampel feses. Berdasarkan WHO (2011),

berikut ini adalah prosedur pemeriksaan feses:

1. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop,

kaca objek, penutup kaca objek, botol bermulut lebar 10 mL, aplikator

yang terbuat dari kayu, kasa, cawan petri, etanol 95%, eter, larutan

wilis (larutan natrium klorida), formaldehid 10%, tabung, jeli petrolum

dan lilin.

2. Prosedur

a. Pengambilan Spesimen

Ambil kira-kira 100 g feses dalam wadah yang bersih dan kering

tanpa pengawet. Wadah yang paling cocok adalah wadah yang

bertutup ulir. Hal-hal yang harus diperhatikan yaitu feses jangan

sampai terpapar udara dalam wadah tanpa penutup dan tidak boleh

tercampur urin. Feses harus diperiksa dalam 1-4 jam setelah

pengambilan.

b. Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan parasit

Spesimen harus ditambahkan bahan pengawet sebelum dikirim

untuk pemeriksaan. Pengawet dapat berupa formaldehid 10%

untuk spesimen basah, larutan lugol iodin 0,5%, larutan fiksatif

polvinil alkohol (PVA) dan larutan fiksatif tiomersal-iodin-


formaldehid (TIF) untuk spesimen basah. Feses yang diawetkan

dengan larutan formaldehid 10% dicampurkan dengan

perbandingan 1:3 dan ratakan campuran dengan batang pengaduk

sampai homogen. Larutan formaldehid dapat mengawetkan telur

dan kista parasit sampai jangka waktu yang tak terbatas bila wadah

spesimen tertutup rapat.

c. Pembuatan kaca objek bebas lemak

1. Campurkan 10 mL etanol 95% dan 10 mL eter dalam satu

tabung.

2. Tuang campuran tersebut ke dalam cawan petri. Selanjutnya,

masukkan 30 penutup kaca objek, satu per satu lalu goyang-

goyangkan cawan dan diamkan selama 10 menit

3. Angkat penutup kaca objek satu persatu, lalu keringkan dengan

kasa

4. Simpan dalam sebuah cawan petri yang kering

d. Konsentrasi parasit

1. Masukkan kira-kira 0,5 g spesimen feses ke dalam botol

bermulut lebar. Tuangkan larutan willis ke dalam botol sampai

batas 2,5 mL

2. Lunakkan spesimen feses dengan aplikator dan campurkan

larutan hingga merata. Selanjutnya, isi botol sampai penuh

dengan larutan willis, suspensi harus benar-benar homogen.

3. Letakkan penutup kaca objek dengan hati-hati diatas mulut

botol.

4. Pastikan bahwa penutup kaca objek bersentuhan dengan cairan,

tanpa gelembung udara. Diamkan selama 10 menit.


5. Angkat penutup kaca objek dengan hati-hati; setetes cairan

harus tersisa pada penutup kaca objek tersebut. Letakkan

penutup kaca objek diatas sebuah kaca objek dan amati

dibawah mikroskop dengan objektif 10x sesegera mungkin

karena preparat cepat mengering. Kalau tidak segera diperiksa,

penutup kaca objek dilapisi dengan jeli petroleum dan lilin.

Gunakan pengatur fokus halus mikroskop untuk mengamati setiap

objek dalam lapang pandang (telur-telur cenderung melekat pada

penutup kaca objek dan tidak segera terlihat pada mikroskop).

3. Hasil:
a. Feses : Positif (+) ditemukan telur cacing
1) Ascaris lumbricoides : bulat/oval, lapisan luar terdapat
albuminoid bergerigi dan warnanya coklat, lapisan tengah
berupa kitin serta lapisan dalam berupa membran vitellin.

Gambar 9. Telur Ascaris lumbricoides (CDC, 2013a)

2) Hookworm : oval, dinding luar (vitellin) tipis

Gambar 10. Telur Hookworm (CDC, 2013b)

3) Trichuris trichuria : berbentuk tempayan, pada kedua ujung


terdapat operkulum, jernih dan menonjol

Gambar 11. Telur Trichuris trichuria (CDC, 2013c)


b. Feses : Negatif (-) tidak ditemukan telur cacing

3.8.1.3 Status Gizi

Data status gizi diperoleh dengan menggunakan hasil pengukuran

antropometri dengan tabel IMT/U berdasarkan Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia 2010 tentang Standar Antropometri

Penilaian Status Gizi Anak:

1. Berat Badan

Diperoleh dengan cara penimbangan berat badan dengan

menggunakan timbangan injak dengan ketelitian 0,1 Kg yang telah

dikalibrasi. Pengukuran berat badan dilakukan tanpa menggunakan

alas kaki dan pakaian seminimal mungkin.

2. Tinggi Badan

Tinggi badan dilakukan dengan menggunakan alat Microtoise, yaitu

dengan memilih lantai yang rata dan tegak lurus dengan dinding 90

derajat kemudian pita ditarik sampai tepat angka nol (0) lalu diujung

pita dipaku pada tempat yang disediakan dengan kuat.

3.9 Pengolahan dan Analisis Data

3.9.1 Pengolahan Data

Dalam melakukan analisis, data terlebih dahulu diolah dengan tujuan

mengubah data informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh

dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan terutama dalam

pengujian hipotesis. Hidayat (2008) dalam proses pengolahan data

terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, diantaranya:


a. Editing

Proses pemeriksaan data di lapangan sehingga dapat menghasilkan

informasi yang benar.

b. Coding

Pada tahap ini dilakukan merupakan tahap pemberian kode pada

semua variabel agar mempermudah dalam pengolahan dan analisis

data.

c. Entry data

Data entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah

dikumpulkan ke dalam master table atau base computer, kemudian

membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga dengan

membuat table kontigensi.

d. Tabulating

Data dikumpulkan dan dikelompokkan dalam bentuk tabel.

Termasuk dalam kegiatan ini adalah memberikan skor terhadap

item-item yang perlu diberi skor dan memberi kode terhadap item-

item yang diberi skor.

e. Cleaning data

Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data

yang sudah dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak, sehingga

data siap dianalisa.

3.9.2 Analisa Data

Analisa statistik untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan

program Software statistik pada komputer dimana akan dilakukan dua

macam analisa data, yaitu analisa univariat dan analisa bivariat.


3.9.2.1 Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari variabel

bebas (personal hygiene dan status gizi) dan variabel terikat (infeksi

kecacingan) (Dahlan, 2014).

3.9.2.2 Analisa Bivariat

Analisa yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat hubungan

antara variabel independen dan dependen yaitu dengan menggunakan uji

statistik Chi Square dan uji alternatifnya adalah uji Fisher. Teknik analisa

yang dilakukan yaitu dengan analisa Chi Square dengan menggunakan

derajat kepercayaan 95% dengan α 5%, sehingga jika nilai p-value < 0,05

maka hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau menunjukkan

ada hubungan antara variabel dependen dan independen, dan apabila nilai

p value > 0,05 maka hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak

ada hubungan antara variabel dependen dan independen (Dahlan, 2014).


3.10 Alur Penelitian

Survei Pendahuluan dan Pembuatan


Proposal

Seminar
Proposal

Mengunjungi tempat penelitian pada Anak Sekolah


Dasar di Kelurahan Way Kandis Tanjung Seneng Bandar
Lampung

Menentukan sampel sesuai


dengan kriteria inklusi

Mengisi kuesioner dan memberikan botol


tempat tinja kepada siswa berjumlah 70 orang

Mengambil sampel tinja serta terkumpul sampel tinja


lalu melakukan pengukuran berat badan dan tinggi
badan pada anak sekolah dasar.

Sampel dibawa ke Puskesmas Way Kandis Tanjung Seneng


Bandar Lampung

Pengolahan data

Analisis data

Interprestasi hasil
penelitian
3.11 Penyajian Data

Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel.

3.12 Etika Penelitian


Penelitian ini telah melalui ethical clearance dengan nomor surat

2697/UN26/8/DT/2015 dan pelaksanaan di lapangan dengan

menggunakan informed consent.


1. Di negara yang populasinya relatif undernourished, lebih baik

digunakan Z-skor sebagai pengganti persen terhadap median baku

rujukan. Tidak disarankan menggunakan indeks BB/U

Rumus perhitungan Z-skor:

Z-skor = Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku


Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan

Berdasarkan Baku Harvard, status gizi dibagi menjadi 4:

1. Gizi lebih untuk overweight, termasuk kegemukan dan obesitas

2. Gizi baik untuk well nourished.

3. Gizi kurang untuk under weight, mencakup mild dan moderate PCM .

4. Gizi buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus, marasmik-

kwashiorkor dan kwashiorkor

Tabel 2.6 Status Gizi Berdasarkan Indeks Antropometri

Indeks
Status Gizi
BB/U TB/U BB/TB
Gizi Baik > 80% > 90% > 90%
Gizi Sedang 71%-80% 81-90% 81-90%
Gizi 61%-70% 71-80% 71-80%
Kurang
Gizi Buruk = 60% = 70% = 70%

Anda mungkin juga menyukai