Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Thalassemia merupakan kelompok kelainan genetik yang ditandai dengan


berkurangnya sintesis salah satu dari dua tipe rantai polipeptida alfa atau beta (-α atau –
β) yang membentuk molekul normal hemoglobin manusia dewasa (HbA, α 2β2) dengan
manifestasi klinis berupa anemia (Aji et al, 2009). Penurunan kecepatan sintesis atau
kemampuan produksi satu atau lebih rantai globin α atau β ataupun rantai globin
lainnya, dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian (parsial) atau menyeluruh
(komplit) rantai globin tersebut. Akibatnya, terjadi thalassemia yang jenisnya sesuai
dengan rantai globin yang terganggu produksinya (Atmakusuma dan Setyaningsih,
2014). Abnormalitas dapat terjadi pada setiap gen yang menyandi sintesis rantai
polipeptida globin, tetapi yang mempunyai arti klinis hanya gen-α dan gen-β. Gangguan
pada sintesis rantai-α dikenal dengan thalassemia-α , sedangkan gangguan pada sintesis
rantai-β dikenal dengan thalassemia-β (Ganie, 2008).

Dilihat dari distribusi geografiknya thalassemia β banyak di jumpai di

Mediterania, Timur Tengah, India/Pakistan dan Asia sedangkan thalassemia-α lebih

banyak dijumpai di Asia Tenggara (Bakta, 2006). Berdasarkan penelitian World Health

Organization (WHO) 2006 diperkirakan sebesar 5% penduduk dunia adalah carrier dari

300-400 ribu bayi thalassemia yang baru lahir pertahunnya. Frekuensi gen thalassemia

di Indonesia berkisar 3-10%, berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita

baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia. Di Indonesia sendiri jumlah penderita

hingga tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 8,3% dari jumlah penderita yang

tercatat tahun 2006 (Nuarti, 2016).


Prevalensi carrier thalassemia di Indonesia sekitar 3-8%, artinya 3-8 dari 100

orang Indonesia membawa sifat thalassemia. Dari total populasi pembawa sifat

genetik thalassemia, 7% ditemukan di Palembang, 3,4% di Jawa dan 8% di

Makasar. Apabila diasumsikan terdapat 5% carrier dan angka kelahiran 23 per mil

dari total populasi 240 juta jiwa, maka diperkirakan terdapat 3.000 bayi penderita

thalassemia setiap tahunnya. Secara keseluruhan di Indonesia diperkirakan prevalensi

carrier thalassemia alfa kira-kira 1-10% dan thalassemia β adalah 3,7% (Ganie, 2008).

Kelainan dasar thalassemia α sama dengan thalassemia-β yakni ketidak-

seimbangan sintesis rantai globin. Namun hal yang berbeda adalah karena rantai α

dimiliki bersama oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa (tidak seperti pada thalassemia

β), maka thalassemia-α bermanifestasi pada masa fetus sedangkan thalassemia-β dapat

ditemukan pada usia dewasa (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2014). Thalassemia-β

memberikan gambaran klinik yang beraneka ragam mulai dari anemia yang paling berat

sampai yang paling ringan sehingga dapat digolongkan menjadi thalassemia β mayor,

intermedia dan minor atau trait. Thalassemia-β mayor merupakan thalassemia dengan

gambaran klinik anemia yang berat yang bergantung pada transfusi darah (Bakta, 2006).

Walaupun transfusi darah penting bagi penderita, namun apabila dilakukan

terus-menerus dapat mengakibatkan penumpukan besi pada tubuh karena tidak adanya

sistem dari tubuh yang secara fisiologis mengatur pengeluaran besi berlebih. Kapasitas

transferin serum sebagai protein transport yang utama untuk mengikat dan

mendetoksifikasi zat besi dapat terlampaui dan menyebabkan peningkatan fraksi non

transferin terikat besi dalam plasma yang dapat mencetuskan radikal bebas hidroksil dan

kerusakan jaringan akibat oksigen. Kelebihan zat besi sangat beracun untuk semua sel
tubuh dan menyebabkan kerusakan organ yang serius dan tidak dapat kembali

(Mishra,2013).

Beberapa organ yang dapat mengalami kerusakan akibat penimbunan besi dalam

tubuh diantaranya jantung, hati, limpa, pankreas dan kelenjar endokrin. Penumpukan

besi di jantung dapat menimbulkan kardiomiopati, irama jantung yang tidak teratur dan

berakhir pada gagal jantung. Pada pankreas, besi akan terakumulasi di pulau-pulau

Langerhans dan menyebabkan diabetes. Pada hati dan limpa menyebabkan

hepatosplenomegali, fibrosis hepatis dan sirosis hati. Gangguan pertumbuhan dan

terhambatnya kematangan seksual serta hipotiroidisme juga dapat terjadi akibat

kerusakan kelenjar endokrin. Selain itu, kulit penderita thalassemia juga dapat

mengalami pigmentasi sehingga kulit berwarna perak keunguan atau kehitaman.

Tingginya besi pada tubuh juga meningkatkan risiko terjadinya infeksi karena keadaan

tersebut sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri (Lokeshwar, 2013).

Thalassemia dianggap sebagai salah satu penyakit kronik yang ditemukan di

Indonesia disamping asma bronkiale dan sindrom nefrotik. Anak yang didiagnosis

penyakit kronik dapat mengalami stress mental, rasa ingin marah, kegalauan dan dapat

menyebabkan gangguan pada hubungan interpersonal. Mengalami penyakit kronik

merupakan hal sulit bagi seorang anak bukan saja karena ketakutan terhadap

penyakitnya, tetapi juga pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dianggap

menyakitkan dan berulang (Hendarto, 2014).

Sebuah penelitian di India menunjukan bahwa sebagian besar penderita

thalassemia (74%) ternyata memiliki kualitas hidup yang buruk. Tidak hanya itu,

masalah psikologis seperti gejala cemas, depresi dan gangguan perilaku juga ditemukan
sebanyak 44% (Shaligram, 2007). Penelitian serupa juga dilakukan di Pusat

Thalassemia Departemen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah

Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada bulan Juli 2009 didapatkan bahwa setengah

dari subjek (50,5%) memiliki kualitas hidup yang buruk (Aji et al., 2009). Menurut

penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soediran Mangun Soemarso

Wonogiri bulan Mei sampai Juli 2015 tercatat penderita thalassemia β mayor

mengalami kelemahan fisik, pucat dan secara fisiologi sering merasa kurang percaya

diri dan merasa berbeda dibanding teman seusianya (Sumiarsih, 2016).

Salah satu cara untuk mengevaluasi kelebihan besi pada thalassemia-β mayor

dapat digunakan pemeriksaan ferritin serum (Mishra,2013). Kadar ferritin yang tinggi

mengindikasikan adanya terapi transfusi jangka panjang yang berdampak pada

gangguan fungsi kerja organ dalam tubuh (Supartini, 2013). Feritin serum diperiksa

untuk mengetahui hasil terapi dan menentukan prognosis. Target kadar feritin adalah

sekitar 1.000 ng/mL yang dianggap ambang batas efek toksik pada penderita yang

melakukan transfusi seumur hidup (Ikram, 2004). Sesuai dengan penelitian

Charafeddine (2008) yang menyatakan bahwa penderita dengan kadar ferritin <1.500

ng/mL menunjukkan risiko terjadinya komplikasi yang lebih rendah dibandingkan

dengan yang memiliki kadar ferritin >1.500 ng/mL (p< 0,024). Tingginya kadar ferritin

(>1.500 ng/mL) dihubungkan dengan peningkatan risiko gagal jantung. Walaupun

penderita terdiagnosa secara cepat dan terapi kelasi besi diberikan sedini mungkin,

komplikasi akibat penimbunan besi masih dapat terjadi.

Penelitian mengenai kualitas hidup penderita thalassemia β mayor masih sedikit

dipublikasikan di Indonesia khususnya di Lampung. Beberapa penelitian mengenai

kualitas hidup yang sudah dilakukan antara lain oleh Bulan (2009) mengenai faktor-
faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak thalassemia β mayor. Penelitian

tersebut dilakukan di RS. Dr. Kariadi Semarang dengan jumlah sampel 55 anak

penderita thalassemia β mayor didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara

kualitas hidup dengan kadar Hb, status ekonomi dan pendidikan orangtua sedangkan

untuk kadar ferritin dan ukuran limpa tidak berhubungan dengan kualitas hidup. Hal

tersebut berbeda dengan penelitian oleh Ansari (2014) dengan judul Quality of Life in

Patients With Thalassemia Major yang dilakukan di Universitas Guilan di Iran dengan

51 sampel didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara kualitas hidup dengan

kadar ferritin serum penderita (p=0,05 r= -0,10).

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadaan

penimbunan besi yang dialami oleh penderita thalassemia β mayor yang merupakan

komplikasi yang tidak bisa dihindari dan menjadi konsekuensi dilakukannya transfusi

jangka panjang dapat dinilai melalui pengukuran kadar feritin serum penderita. Untuk

itu, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Hubungan kadar ferritin serum

terhadap kualitas hidup penderita thalassemia β mayor anak di RSUD Abdul Moeloek

Lampung tahun 2020”.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah “Adakah hubungan antara kadar feritin

serum terhadap kualitas hidup pada penderita thalassemia-β mayor anak di RSUD

Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2020?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui hubungan antara kadar feritin serum terhadap kualitas hidup

penderita thalassemia β mayor anak di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun

2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita thalassemia β mayor anak

berdasarkan usia dan jenis kelamin di RSUD Abdul Moeloek Provinsi

Lampung tahun 2020.

2) Untuk mengetahui kadar feritin serum pada penderita thalassemia β mayor

anak di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2020.

3) Untuk mengetahui kualitas hidup penderita dengan thalassemia β mayor

anak di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2020.

4) Untuk mengetahui hubungan antara kadar feritin serum terhadap kualitas

hidup penderita thalassemia β mayor anak di RSUD Abdul Moeloek

Provinsi Lampung tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Rumah Sakit

Sebagai informasi dan bahan masukan dalam menyusun kebijakan dan strategi

kesehatan yang berhubungan dengan kadar feritin serum maupun kualitas hidup

penderita thalassemia β mayor.

1.4.2 Masyarakat

Menambah pengetahuan mengenai hubungan kadar feritin serum dengan

kualitas hidup penderita thalassemia β mayor.


1.4.3 Peneliti

Penelitian ini merupakan pengalaman ilmiah yang sangat berharga untuk

peningkatan pengetahuan mengenai hubungan antara kadar feritin serum terhadap

kualitas hidup penderita thalassemia β mayor anak di RSUD Abdul Moeloek Provinsi

Lampung tahun 2020.

1.4.4 Peneliti Selanjutnya

Dapat menambah pengetahuan dan informasi tentang hubungan antara kadar

feritin serum terhadap kualitas hidup penderita thalassemia β mayor anak di RS Abdul

Moeloek Bandar lampung tahun 2020.

1.5 Ruang Lingkup

1.5.1 Ruang Lingkup Subjek

Subjek penelitian ini adalah penderita thalassemia β mayor anak yang


mendapatkan perawatan di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2020.

1.5.2 Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini dilakukan di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

1.5.3 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2020.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Thalassemia-β Mayor

2.1.1 Definisi

Thalassemia adalah penyakit genetik kelainan darah akibat kekurangan atau


penurunan produksi atau pembentukan hemoglobin (Hoffbrand, 2008). Thalassemia β
merupakan kelainan genetik di mana sintesis rantai β terhenti atau berkurang. Apabila
sintesis terhenti sama sekali disebut varian β 0, apabila masih ada sintesis rantai β maka
disebut varian β+ (Bakta, 2006).

Penyakit thalassemia memiliki gejala klinis dari yang paling ringan (bentuk

heterozigot) yang disebut thalassemia minor atau thalassemia trait (carrier=pembawa)

yang diturunkan oleh salah satu orang tuanya, hingga yang paling berat (bentuk

homozigot) yang diturunkan oleh kedua orang tua yang mengidap thalassemia disebut

thalassemia mayor (Ganie, 2008).

2.1.2 Etiologi

Thalassemia terjadi karena adanya gangguan berupa tidak seimbangnya sintesis

kedua jenis rantai globin. Hemoglobin merupakan molekul pengikat oksigen yang

terdapat di dalam sel eritrosit. Hemoglobin normal orang dewasa adalah HbA yang

terdiri atas 4 subunit yaitu 2 rantai α-globin dan 2 rantai β-globin. Masing masing

subunit yang tersusun oleh rantai polipeptida dinamakan rantai globin mengikat gugus

hem. Gugus hem merupakan pigmen yang mengandung unsur besi (Fe). Gugus hem

inilah yang mengikat oksigen ketika darah berada di dalam paru-paru. Rantai α-globin
dan rantai β-globin mempunyai bentuk struktur rantai polipeptida yang berbeda. HbA

dapat dituliskan dengan rumus α2β2 sedangkan Hb janin hingga lahir berjenis HbF

dengan rumus α2γ2. Pada saat lahir, darah terdiri dari 70% HbF dan 30% HbA. Pada

orang dewasa, darah terutama mengandung HbA dengan 1% HbF (Kresnowidjojo,

2014).

Kejadian mutasi gen β-globin yang lebih banyak daripada mutasi gen α-globin

menyebabkan thalassemia. Mutasi gen β-globin berdampak pada 50% struktur rantai β-

globin , sedangkan mutasi gen α-globin hanya berdampak pada 25% struktur rantai α-

globin. Di lain pihak, mutasi gen β-globin tidak menimbulkan efek prenatal, karena γ-

globin yang menyerupai β-globin memang merupakan kandungan utama sebelum lahir.

Gen-gen tersebut mempunyai lokus pada kromosom nomor 11. Thalassemia β

disebabkan karena adanya mutasi pada satu gen β-globin, sedangkan thalassemia β

mayor disebabkan adanya mutasi 2 gen β-globin (Kresnowidjojo, 2014).

2.1.3 Faktor Resiko

Jika kedua orang tua menderita β-thalassemia, pasangan tersebut memiliki

keturunan dengan peluang risiko 25% thalassemia β mayor dan 50% β-thalassemia.

Namun jika salah satu orang tua menderita β-thalassemia dan yang lain memiliki

triplikasi gen α-globin, pasangan ini juga mempunyai risiko keturunan 25% menderita

β-thalassemia mayor (Kresnowidjojo, 2014).


2.1.4 Klasifikasi

Thalassemia β dapat diklasifikasikan berdasarkan temuan klinis menjadi 5

kategori sebagai berikut (Yaish et al, 2015) :

1. Silent carrier β thalassemia: pasien biasanya tidak memiliki gejala

2. Βeta thalassemia trait: pasien mengalami anemia ringan, sel darah merah

abnormal, Hb abnormal, pada pemeriksaan darah perifer biasanya ditemukan

hipokrom dan mikrositosis.

3. Thalassemia intermedia: kondisi ini biasanya berhubungan dengan keadaan

heterozigot yang menghasilkan anemia tetapi tidak mengalami ketergantungan

transfusi darah.

4. Βeta thalassemia berhubungan dengan variasi struktur dari rantai β : Kondisi

paling signifikan dalam kelompok sindrom thalassemia ini adalah Hb E / β

thalassemia.

5. Thalassemia β mayor (Cooley anemia’s): pada kondisi ini memerlukan transfusi

darah yang terus menerus, splenomegali yang berat, deformitas dari tulang dan

keterlambatan pertumbuhan. Hasil pemeriksaan darah tepi pada pasien

ditemukan hipokromik mikrositik, polikromasia dan leukosit yang imatur.

Selanjutnya Cao A et al. (2002) mengelompokkan thalassemia β mayor secara klinis

menjadi 3 kategori sebagai berikut:

1. Thalassemia β ringan

Pada derajat ringan, biasanya tidak menunjukkan masalah yang bermaksa secara

klinis dan tidak memerlukan pengelolaan. Kadar Hb biasanya sekitar 8-10 g/dl.

2. Thalassemia β sedang
Thalassemia β sedang merupakan mayoritas thalassemia β dengan kadar Hb

sekitar 6-7 gr/dl. Secara klinis gejala mirip dengan thalassemia intermedia dan

secara normal tidak memerlukan transfusi darah kecuali penderita mengalami

infeksi akibat anemia.

3. Thalassemia β berat

Manifestasi klinis thalassemia β berat sama dengan thalassemia mayor dengan

kadar Hb sekitar 4-5 gr/dl.

2.1.5 Patofisiologi

Thalassemia β mayor adalah bentuk yang paling parah dari thalassemia di mana

terjadi keadaan tubuh tidak dapat membuat hemoglobin dewasa yang normal, yang

terdiri dari jumlah yang sama dari rantai α dan β, dan sebagai konsekuensinya tidak

dapat menghasilkan sel darah merah normal. Pada individu dengan thalassemia β

mayor, setiap sel darah merah mengandung jauh lebih sedikit hemoglobin, karena gen

β-globin tidak bekerja atau berfungsi dengan baik dan dengan demikian tidak atau

menghasilkan jumlah rantai β yang sangat sedikit. Akibatnya, ada jauh lebih sedikit sel

darah merah dari kisaran normal sehingga menyebabkan anemia (Thalassaemia

International Federation, 2016).

Rantai α yang berlebihan pada thalassemia-β akan berpresipitasi pada prekursor

sel darah merah dalam sumsum tulang dan sel progenitor pada darah tepi karena rantai

tersebut tidak dapat berikatan dengan rantai globin lainnya. Presipitasi ini yang

menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan eritropoiesis yang tidak

efektif sehingga umur eritrosit menjadi pendek dan menimbulkan anemia. Anemia akan

menyebabkan proliferasi eritroid yang terus menerus pada sumsum tulang yang tidak
Presipitasi rantai alfa
intra medular
efektif dan menimbulkan ekspansi sumsum tulang. Ekspansi sumsum tulang

menyebabkan deformitas skeletal dan berbagai gangguan pertumbuhan dan

metabolisme. Selanjutnya, anemia juga dapat dtimbulkan kembali akibat adanya

hemodilusi darah karena sumsum tulang yang berekspansi dan juga oleh adanya

splenomegali. Pada limpa yang membesar semakin banyak sel darah merah abnormal

yang terjebak untuk kemudian dihancurkan oleh sistem fagosit (Atmakusuma dan

Setyaningsih, 2014).

Thalassemia β
Hemolisis
Ekses rantai α dan
Hb A menurun
Presipitasi rantai α
pada eritrosit

ANEMIA Eritropoesis inefektif

Transfusi Absorpsi Fe meningkat

Splenomegali & Deposit Fe dalam jaringan


hipersplenisme meningkat

Gagal jantung
Gagal endokrin Hemokromatosis jaringan
Kerusakan hati

Sumber : Bakta, 2006

Gambar 2.1 Patofisiologi Thalassemia β


2.1.6 Pemeriksaan fisik

Gambaran klinis thalassemia β mayor biasanya ditemukan pada anak berusia 6

bulan sampai 2 tahun dengan klinis anemia berat (Atmakusuma, 2014). Gambaran

klinik pada thalassemia β mayor dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu (Bakta, 2006):

1. Yang mendapat transfusi yang baik sebagai akibat pemberian hipertransfusi

maka produksi HbF dan hiperplasia eritroid menurun sehingga anak tumbuh

normal sampai dekade ke 4-5. Setelah itu timbul gejala “iron overload” dan

penderita meninggal karena diabetes melitus atau sirosis hati.

2. Yang tidak mendapatkan transfusi yang baik maka timbul gejala anemia

yang khas yaitu Cooley’s anemia. Gejala muncul mulai saat bayi berumur 3-

6 bulan, pucat, anemis, kurus, hepatosplenomegali dan ikterus ringan.

Terjadi juga gangguan pada tulang yang menggambarkan thalassemic face,

gangguan pertumbuhan, dan gejala iron overload seperti pigmentasi kulit,

diabetes mellitus, sirosis hati atau gonadal failure.

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis β-thalassemia bergantung pada pengukuran indeks sel darah merah

yang mengungkapkan anemia hipokromik, berinti sel darah merah pada apusan darah

tepi, analisis hemoglobin yang mengungkapkan penurunan jumlah HbA dan

peningkatan jumlah HbF setelah usia 12 bulan, dan keparahan klinis anemia

(Thalassaemia International Federation, 2016). Thalassemia mayor memberikan

gambaran hematologik sebagai berikut:

1. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan anemia berat dengan Hb dapat < 7 g/dl,

Mean Corpuscular Volume (MCV) < 70 fl dan Mean Corpuscular Haemoglobin


(MCH) < 20 pg dan pada apusan darah tepi didapatkan anemia mikrositik

hipokromik (Galleno dan Origa, 2010).

2. Terdapat juga retikulositosis, hiperplasia eritroid dan cadangan besi meningkat

pada pemeriksaan sumsum tulang, masa hidup sel darah merah memendek,

elektroforesis hemoglobin terdiri atas HbF meningkat (10-98%), Hb A bisa ada

(pada β+), bisa tidak ada (pada β0), HbA2 sangat bervariasi dan pada analisis

sintesis rantai globin dalam retikulosit akan dijumpai sintesis rantai β menurun

dengan rasio α/β meningkat (Bakta, 2006)

3. Pemeriksaan besi juga diperlukan (Serum Iron/SI, Transferin Iron Binding

Capacity/TIBC, Feritin serum). Kadar besi serum meningkat, tetapi kemampuan

mengikat besi hanya sedikit. Pemeriksaan sumsung tulang menunjukkan

gambaran hyperplasia eritroid, dengan rasio eritroid dibanding myeloid 20:1

atau lebih tinggi dari semestinya (Gallanelo, 2003).

2.1.8 Tata Laksana

Thalassemia β mayor merupakan bentuk anemia berat yang tergantung pada

transfusi darah (blood transfusion dependent). Pada dasarnya terapi thalassemia mayor

terdiri atas:

1. Pemberian transfusi teratur

Usaha untuk mengatasi penurunan Hb sehingga dapat mencapai kadar

Hb normal atau mendekati normal maka dilakukan transfusi darah secara teratur.

Saat ini digunakan teknik hipertransfusi di mana untuk mencapai Hb di atas 10

g/dl diberikan transfusi darah 2-4 unit setiap 4-6 minggu dengan tujuan menekan

produksi Hb yang abnormal (Bakta, 2006) Pemberian transfusi sel darah

merah yang teratur, mengurangi komplikasi anemia dan eritropoesis yang tidak
efektif, membantu pertumbuhan dan perkembangan selama masa anak-anak dan

memperpanjang ketahanan hidup pada thalassemia mayor. Pemberian transfusi

berdasarkan pada kadar Hb < 6 g/dl dalam interval 1 bulan selama 3 bulan

berturut-turut yang berhubungan dengan petumbuhan yang terganggu,

pembesaran limpa dan atau ekspansi sumsum tulang (Permono dan Ugrasena,

2012).

2. Pemberian kelasi besi

Tujuan utama terapi kelasi besi adalah mencapai kadar besi tubuh yang

aman. Terapi kelasi besi dimulai apabila kadar feritin serum mencapai 1000

ng/mL, yaitu kira-kira setelah 10-20 kali transfusi untuk mencegah kerusakan

jaringan (Gatot et al., 2007) Kelasi besi dapat digunakan untuk

menyeimbangkan jumlah akumulasi besi yang diakibatkan transfusi darah

berulang dengan cara meningkatkan eksresi besi melalui urin dan feses.

Terdapat 3 jenis kelator besi, yaitu:

a. Deferoxamine (Desferal)

Deferoxamine (DFO) adalah kelator hexadentate yang dapat mengikat

besi dengan rasio 1:1, sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi toksik. Sesuai

dengan berat molekul yang relatif tinggi dan sifat hidrofilik, DFO tidak mudah

masuk kedalam banyak jenis sel kecuali hepatosit. DFO mempunyai

bioavailabilitas oral yang buruk dan waktu paruh yang pendek (Poggiali, 2012).

Sehingga deferoxamine dapat diberikan secara subkutan, intravena, atau kadang-

kadang secara intramuskular. Infus DFO dilakukan dalam 8-12 jam, selama 5-7

hari per minggu. Deferoxamine mempunyai keamanan yang sangat baik, selain
itu defroxamine meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan angka kesakitan.

Secara umum, besi akan hilang ketika pemberian infus deferoxamine dalam

waktu yang lebih lama (Gatot, D., 2007).

b. Deferasirox (Exjade)

Deferasirox (DFX) atau ICL 670 adalah molekul tridentat yang

molekulnya akan membentuk ikatan 2 kelator dengan 1 atom besi (2:1). Afinitas

deferasirox terhadap besi sangat tinggi, mudah diabsorpsi,dan dapat bersirkulasi

selama beberapa jam. Hal ini terjadi karena konsentrasi puncak plasma dicapai

dalam waktu 2 jam, dan masih dapat terdeteksi selama 24 jam; rerata waktu

paruh eliminasi antara 11-16 jam. Dengan demikian deferasirox dapat diberikan

hanya dosis tunggal untuk mencapai kadar terapi. Ekskresi utama deferasirox

adalah melalui feses (Gatot, D., 2007).

c. Deferiprone

Deferiprone (DFP) adalah molekul lipofilik yang kecil (3-

hydroxypyridin-4-1), dimana akan mengikat besi dengan rasio 3:1 dan dapat

masuk kedalam miosit dan dapat menangkap besi plasma labil yang terdapat

pada kardiomiosit dan makrofag. DFP mempunyai waktu paruh yang pendek (3-

4 jam) dan harus diberikan tiga kali dalam sehari. (Poggiali, 2012).

Kelasi besi pertama kali dimulai dengan Deferoksamin (DFO) dengan

ketentuan sebagai berikut (Pudjiadi et al, 2010) :

a. Dewasa dan anak ≥ 3 tahun : 30-50 mg/kgBB/hari, 5-7 kali seminggu

secara subkutan selama 8-12 jam dengan syringe pump.

b. Anak usia < 3 tahun : 15-25 mg/kgBB/hari dengan monitoring ketat

terhadap efek samping.


c. Pasien dengan gangguan fungsi jantung : 60-100 mg/kgBB/hari IV

kontinu selama 24 jam.

d. Pemakaian deferoksamin dihentikan pada pasien yang sedang hamil,

kecuali pasien menderita gangguan jantung yang berat dan diberikan

kembali pada trimester akhir 20-30 mg/kgBB/hari.

e. Ibu menyusui tetap dapat menggunakan kelasi besi ini.

f. Jika tidak ada syringe pump dapat diberikan bersama NaCl 0,9% 500

ml melalui infus selama 8-12 jam.

Pemberian kelasi besi dapat berupa dalam bentuk parenteral

(deferoksamin) atau oral (derefiprone/ deferasirox) ataupun kombinasi. Terapi

kombinasi hanya diberikan pada keadaan ferritin ≥ 3.000 ng/ml yang bertahan

selama minimal 3 bulan, adanya gangguan fungsi jantung atau kardiomiopati

akibat kelebihan besi, dan diberikan untuk jangka waktu tertentu (6-12 bulan)

bergantung kadar ferritin dan fungsi jantung saat evaluasi (Pudjiadi et al, 2010).

Selain pemantauan efek samping pengobatan, pasien thalassemia

memerlukan pemantauan rutin yaitu (Pudjiadi et al, 2010) :

a. Sebelum transfusi melakukan pemeriksaan darah perifer lengkap dan

fungsi hati.

b. Setiap 3 bulan mengukur pertumbuhan (berat badan, tinggi badan).

c. Setiap 6 bulan melakukan pengukuran ferritin.

d. Setiap tahun melakukan deteksi tumbuh kembang, status besi, fungsi

jantung, fungsi endokrin, visual, pendengaran dan serologi virus.

3. Pemberian asam folat 5 mg/hari secara oral untuk mencegah krisis megaloblastik

(Bakta, 2006)
4. Splenektomi

Splenektomi dilakukan jika splenomegali cukup besar serta terbukti adanya

hiperslenisme (Bakta, 2006)

5. Transplantasi sumsum tulang

6. Rekayasa genetik

2.1.9 Komplikasi

2.1.9.1 Komplikasi endokrin

Kejadian yang tinggi pada disfungsi endokrin telah banyak dilaporkan pada

anak, remaja dan dewasa muda yang menderita talasemia mayor. Pituirari anterior

disebut memiliki peranan yang sangat sensitif terhadap kelebihan besi yang berdampak

pada gangguan sekresi hormonal antara lain disfungsi gonad. Beberapa hal yang

menyebabkan keterlambatan pubertas pada thalassemia mayor adalah keadaan

hemosiderosis, anemia kronik dan pemberian terapi kelator yang tidak adekuat

(Anggororini, 2010)

Pasien thalassemia mayor seringkali mengalami pubertas terlambat dan

hipogonadism akibat disposisi besi pada sel-sel hipotalamus-hipofisis, gonad atau

keduanya. Secara histologis hipogonadotropik hipogonadism ditemukan deposisi besi

selektif pada sel-sel gonadotroph hipofisis (Arimbawa, 2011).

2.1.9.2 Komplikasi jantung

Penumpukan besi merupakan faktor utama yang berkontribusi terjadinya

kelainan pada jantung. Risiko terkena penyakit jantung meningkat seiring dengan

peningkatan kadar ferritin serum penderita (Malik et al, 2009). Fungsi jantung secara
normal bergantung pada aktivitas sel-sel di jantung yang saling terkoordinasi. Ketika

terjadi penimbunan besi yang meningkatkan spesies oksigen reaktif, sel miosit

mengalami kerusakan dan kematian yang dapat menimbulkan gagal jantung kongestif.

Sedangkan dapat juga menyebabkan aritmia jantung apabila menyerang sel-sel pada

sistem konduksi (Prabhu, 2009). Besi bebas juga dapat terakumulasi pada tiap lapisan

jantung, namun yang tersering pada epikardium daripada lapisan dalam (endocardium).

Deposisi besi bebas di miokardium dapat menyebabkan hipertrofi dan pembesaran

ruang jantung (Prabu, 2009)

2.1.9.3 Komplikasi metabolik

Kelainan metabolik yang sering terjadi pada penderita thalassemia yaitu

rendahnya masa tulang yang disebabkan oleh hilangnya pubertas spontan, malnutrisi,

disfungsi multiendokrin dan defisiensi vitamin D, kalsium dan zink dengan pengukuran

Bone Mineral Density (BMD) melalui x-ray (Malik et al, 2009).

2.1.9.4 Komplikasi hepar

Penimbunan besi yang berlebih menyebabkan pembentukan kolagen dan fibrosis

setelah dua tahun dari transfusi pertama kali. Penyakit hati yang tersering yaitu

hepatomegali dan dampak lain juga berkaitan dengan transfusi adalah penularan infeksi

Hepatitis (Malik et al, 2009). Dengan adanya penimbunan besi, sel hepatosit diserang

terus menerus akibat adanya spesies oksigen reaktif dan kemudian menyebabkan

kematian sel. Sel-sel yang mati akan digantikan dengan sel fibroblast. Akibatnya,

kolagen akan terbentuk dan menyebabkan fibrosis hati dan kemudian sirosis (Prabhu,

2009)

2.1.9.5 Komplikasi neurologik


Komplikasi neurologis dikaitkan dengan beberapa faktor yaitu hipoksia kronis,

ekspansi sumsum tulang, kelebihan zat besi dan adanya dampak neurologik dari

pemberian desferrrioxamine. Temuan kelainan fungsi pendengaran, potensi

somatosensorik terutama disebabkan oleh efek neurotoksisitas desferrioxamine (Malik

et al, 2009). Adanya besi bebas yang terakumulasi pada otak ditambah keadaan anemia

kronik menyebabkan stress oksidatif dan dapat mempercepat proses degenerasi sel pada

otak yang berujung pada gangguan fungsi kognitif (Ma’ani, 2015).

2.2 Ferritin serum

Plasma mengandung 2-3 mg besi yang terikat pada sebuah protein yang disebut

transferrin, yang merupakan molekul utama pengangkutan besi untuk digunakan pada

eritropoiesis di sumsum tulang dan digunakan oleh sel lain yang membutuhkan. Ketika

kapasitas pengikat serum transferrin berlebih, besi mulai bergabung dengan protein

plasma dan molekul lain seperti citrate. Besi ini dinamakan non-transferrin bound iron

(NTBI). NTBI sangat mudah diambil oleh hepatosit dan parenkim sel lainnya, dan

akumulasi intraseluler besi pada sel secara cepat menyebabkan kerusakan reaksi

oksidasi. Dalam sel, besi yang normal tersimpan menjadi ferric (Fe3+ ) yang bergabung

dengan sebuah protein globular kompleks yang disebut ferritin (Leecharoenkiat, 2016).

Ferritin serum merupakan suatu ukuran simpanan besi retikuloendotelial dengan

kadar normal berkisar antara 20 – 200 ng/L dengan 1 ng/L ferritin serum mewakili 10

mg simpanan besi (Suhandi, 2001). Sebagai pertanda utama yang digunakan untuk

mengetahui kelebihan besi pada tubuh, ferritin disekresikan ke dalam plasma dalam

jumlah sedikit. Konsentrasi ferritin dalam plasma atau serum berhubungan dengan total
kelebihan besi pada tubuh. Normal konsentrasi ferritin bergantung pada jenis kelamin

dan usia (Mishra,2013). Pada pria kadar normal ferritin sekitar 20-300 ng/ml sedangkan

pada wanita sekitar 15-120 ng/ml (Ikram, 2004). Adapula yang menyatakan kadar

ferritin normal pada pria berkisar antara 15 – 400 ng/L dan pada wanita 10 – 106 ng/L

(Rodak et al, 2012).

Pada beban besi yang berlebihan kadar ferritin serum bisa mencapai 1000 ng/L
(Adrianto dan Gunawan, 2015). Walaupun kadar ferritin serum tidak selalu dapat
dijadikan tolak ukur karena sebagai reaktan fase akut, nilai ferritin serum dipengaruhi
juga oleh beberapa faktor seperti kelainan inflamasi, kelainan hati, dan keganasan,
pengukuran serum ferritin secara berkala masih dipercaya dan menjadi metode yang
paling mudah dilakukan untuk mengukur kelebihan besi tubuh dan efektivitas terapi
kelasi besi (Galleno dan Origa, 2010). Target kadar feritin adalah sekitar 1.000 ng/mL
(Ikram, 2004).

2.3 Kualitas Hidup

2.3.1 Definisi

Kualitas hidup diartikan sebagai kapasitas untuk melakukan kegiatan sehari-hari

sesuai dengan usia seseorang dan/atau peran utamanya di masyarakat. Kesehatan adalah

keadaan fisik, mental dan kesejahteraan sosial yang baik, bukan sekedar bebas dari

penyakit di dalam diri (WHOQOL, 2012). Pengukuran kualitas hidup mempunyai

manfaat yaitu sebagai perbandingan beberapa alternatif pengelolaan, data penelitian

klinis, penilaian manfaat suatu intervensi klinis, uji tapis dalam mengidentifikasi anak-

anak dengan kesulitan tertentu dan membutuhkan tindakan perbaikan secara medis

ataupun bantuan konseling (Bulan, 2009).

2.3.2 Komponen
World Health Organization (WHO) menyatakan komponen dilihat dari seluruh

kualitas hidup dan kesehatan secara umum: (1) Kesehatan fisik, meliputi penyakit dan

kegelisahan, tidur dan beristirahat, energi dan kelelahan, mobilitas, aktivitas sehari-hari,

ketergantungan pada obat dan bantuan medis, dan kapasitas pekerjaan; (2) Psikologis,

meliputi perasaan positif, berfikir, belajar, mengingat, dan konsentrasi, self-esteem,

penampilan dan gambaran jasmani, perasaan negatif, dan kepercayaan individu; (3)

Hubungan sosial, meliputi pribadi, dukungan sosial, dan aktivitas seksual; (4)

Lingkungan, meliputi kebebasan, keselamatan fisik (WHOQOL, 2012)

Kualitas hidup anak secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:

(1) Kondisi global, meliputi lingkungan makro yang berupa kebijakan pemerintah dan

asas-asas dalam masyarakat yang memberikan perlindungan anak; (2) Kondisi

eksternal, meliputi lingkungan tempat tinggal (cuaca, musim, polusi, kepadatan

penduduk), status sosial ekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan orang tua; (3)

Kondisi interpersonal, meliputi hubungan sosial dalam keluarga (orangtua, saudara

kandung, saudara lain serumah dan teman sebaya); (4) Kondisi personal, meliputi

dimensi fisik, mental dan spiritual pada diri anak sendiri, yaitu genetik, umur, kelamin,

ras, gizi, hormonal, stress, motivasi belajar dan pendidikan anak serta pengajaran agama

(Bulan, 2009).

Anak dengan penyakit fisik kronik seperti thalassemia beta mayor mudah

terkena masalah emosional dan perilaku. Permulaan penyakit, rutinitas pengobatan dan

frekuensi ketidakhadiran di sekolah membuat tingginya ketergantungan emosional dan

hubungan anak dengan keluarganya. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 80% anak

dengan thalassemia beta mayor mungkin sekali memiliki masalah psikososial misalnya
sikap menentang, kecemasan, dan depresi. Pemeriksaan kualitas hidup dengan masalah

psikiatrik mengindikasikan adanya dampak pada kualitas hidup (Sadowski, 2002)

2.3.3 Kuesioner Peds QL (Pediatric Quality of Life InventoryTM)

Pediatric Quality of Life Inventory TM (Peds QL) merupakan salah satu

instrument pengukur kualitas hidup anak, dikembangkan selama 15 tahun oleh Varni

dkk (1999). Peds QL mempunyai 2 modul yaitu umum dan spesifik penyakit. Peds QL

kategori umum didesain untuk digunakan pada berbagai keadaan kesehatan anak,

instrumen ini dapat membedakan kualitas hidup anak sehat dengan anak yang menderita

suatu penyakit akut atau kronik. Sedangkan Peds QL spesifik penyakit dikembangkan

untuk asma, arthritis, kanker, diabetes, penyakit jantung, diabetes dan lainnya.

Konsep Peds QL generik adalah menilai kualitas hidup sesuai dengan persepsi

penderita terhadap dampak penyakit dan pengelolaan pada berbagai bidang penting

kualitas hidup anak yang terdiri dari 6 bidang dengan 23 pertanyaan yaitu: fisik (8

pertanyaan), emosi (5 pertanyaan), sosial (5 pertanyaan), sekolah (5 pertanyaan).

2.4 Hubungan Ferritin Serum dengan Kualitas Hidup

Kandungan besi tubuh normal adalah 3-5 g namun pada penderita thalassemia

sekitar 0,75 g/kgBB. Normalnya setiap orang menyerap 1 mg besi perhari dari

pencernaan, pada penderita thalassemia sekitar 10 mg/hari. Setiap 1 unit darah segar

atau sebanyak 450 ml mengandung 200-250 mg besi. Setiap cm kubik packed cell

mengandung 1-1,6 mg besi, dengan rata-rata transfusi pertahun dibutuhkan 180

cc/kg/packed cell, tubuh mengakumulasi 200 mg/kgBB besi setiap tahun. Kadar ferritin

serum pada penderita thalassemia β mayor meningkat dan ini mencerminkan jumlah

kadar cadangan besi pada penderita tersebut (Lokeshwar, 2013).


Penimbunan besi yang dialami oleh pasien thalassemia β mayor, merupakan

komplikasi yang tidak bisa dihindari dan menjadi konsekuensi dilakukannya transfusi

jangka panjang. Transfusi darah penting bagi penderita, namun apabila dilakukan terus-

menerus dapat mengakibatkan penumpukan besi pada tubuh karena tidak adanya sistem

dari tubuh yang secara fisiologis mengatur pengeluaran besi berlebih (Mishra,2013).

Besi yang tidak terikat oleh molekul pengikat seperti transferrin atau ferritin atau

obat kelasi besi, mencetuskan berbagai macam reactive oxygen species (ROS) , yang

tersering adalah radikal hidroksil. Hal ini menyebabkan di dalam sel terjadi peningkatan

besi tidak terikat pada plasma dan terakumulasi sebagai cadangan besi (ferritin dan

hemosiderin). ROS menyebabkan terjadinya peroksidase lipid, kerusakan organel dan

DNA, serta gangguan mekanisme pengaturan kematian sel secara apoptosis dan

meningkatkan risiko neoplasia seperti hepatoma. Besi bebas juga menyebabkan

mudahnya mikroorganisme untuk masuk dan meningkatkan risiko infeksi.

(Thalassemia International Federation, 2016)

Penimbunan besi akibat transfusi menyebabkan penumpukan besi di jantung

yang dapat menimbulkan kardiomiopati dan irama jantung yang tidak teratur. Pada

pankreas, besi akan terakumulasi di pulau-pulau Langerhans dan menyebabkan

diabetes. Pada hati dan limpa menyebabkan hepatosplenomegali, fibrosis hepatis dan

sirosis hati. Penimbunan besi pada kelenjar pituitari menyebabkan gangguan

pertumbuhan dan terhambatnya kematangan seksual. Selain itu besi yang berlebih di

dalam kelenjar tiroid dan paratiroid dapat menyebabkan penurunan fungsi organ

tersebut dan pada kulit dapat menyebabkan pigmentasi sehingga kulit berwarna perak

keunguan atau kehitaman. Tingginya besi pada tubuh juga meningkatkan risiko
terjadinya infeksi karena keadaan tersebut sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri atau

juga dapat terjadi karena terganggunya sistem fagositosis mononuklear akibat

penghancuran sel darah merah yang berlebihan (Lokeshwar, 2013).

Pasien dengan pemberian transfusi terus-menerus dapat mengembangkan


Kematian sel
manifestasi klinis dari kelebihan besi pada tubuh yaitu hipogonadisme (35-55% dari

pasien), hipotiroidisme (9-11%), hipoparatiroidisme (4%), diabetes (6-10%), fibrosis

hati dan gagal jantung (33%) (Borgna, 2004). Pada pasien yang tidak sering

mendapatkan transfusi darah pun, tetap terjadi absorpsi besi abnormal yang

menyebabkan penumpukan besi berkisar 2 – 5 gram per tahun. (Gatot et al, 2007).

Terapi kelasi besi - Besi bebas + Transfusi darah

Peningkatan absorpsi besi


Infeksi ROS

Kerusakan DNA Peroksidase lipid

Ketidakstabilan Kerusakan organel Kerapuhan


gemometrik lisosom

Kebocoran
enzim

Sumber: Thalassemia International Federation, 2016

Gambar 2.2 Mekanisme Patologis dan Konsekuensi dari Kelebihan Besi


Charafeddine (2008) menyatakan bahwa penderita dengan kadar ferritin <1.500

ng/mL menunjukkan risiko terjadinya komplikasi yang lebih rendah dan kualitas hidup

yang lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki kadar ferritin >1.500 ng/mL (p <

0,024).

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai hubungan kadar ferritin serum

dengan kualitas hidup penderita thalassemia yang telah dilakukan adalah sebagai

berikut:

Tabel 2.1 Keaslian Penelitian

No. Peneliti Judul Penelitian Dimuat Kesimpulan


1. Sandra Faktor-faktor Universitas Tidak terdapat hubungan
Bulan yang berhubungan Diponegoro Semarang antara kadar ferritin serum
(2009) dengan kualitas dengan kualitas hidup (r=
hidup anak -0,200 p=0,143)
thalassemia β
mayor

2. Supartini Kualitas hidup FKUI RSCM Tidak terdapat hubungan


(2013) penderita antara kadar ferritin serum
thalassemia dengan kualitas hidup
(p=0,863)

3. Ansari Quality of life in Pediatric Hematologist Terdapat hubungan antara


(2014) patients with – Oncologist Growth kadar ferritin serum dengan
thalassemia Disorders Research kualitas hidup (p=0,05 r=
mayor Centre Guilan -0,10)
University Iran

Sumber: Bulan (2009) , Supartini (2013) dan Ansari (2014)


2.5 Kerangka Teori

Thalassemia β mayor

Transfusi darah rutin secara Peningkatan absorpsi besi


terus menerus

Penimbunan besi bebas


(hemokromatosis sekunder)

Ferritin serum meningkat

Toksisitas pada sel miosit dan lapisan


jantung, sel hepatosit, kelenjar
endokrin, hipofisis anterior, sel otak

Hepatosplenomegali, gagal jantung, gangguan pubertas, gangguan tumbuh


kembang , gangguan fungsi kognitif dan pigmentasi kulit

Fungsi Fisik Fungsi Sosial Fungsi Emosi Fungsi Sekolah

Kualitas Hidup

Keterangan :

= Diteliti

= Tidak diteliti

Sumber: Prabhu, 2013, Lokeshwar, 2013 dan Ma’ani, 2015.

Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian


2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam suatu penelitian adalah kerangka yang berhubungan

antara konsep-konsep akan diteliti atau diukur melalui penelitian yang akan di lakukan.

Variabel Independent Variabel Dependent

Feritin Serum Kualitas Hidup

2.7 Hipotesis

Ha : Terdapat hubungan antara kadar feritin serum terhadap kualitas hidup

penderita thalassemia β mayor di RSUD Abdul Moeleok Provinsi

Lampung tahun 2020.

Ho : Tidak terdapat hubungan antara kadar feritin serum terhadap kualitas hidup

penderita thalassemia β mayor di RSUD Abdul Moeleok Provinsi

Lampung tahun 2020.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik yang bertujuan untuk menggali


bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan terjadi. Kemudian melakukan analisis
dinamika korelasi antara fenomena atau antara faktor risiko dengan faktor efek
(Notoatmodjo, 2012).
3.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan cross sectional untuk melihat hubungan

antara kadar feritin serum terhadap kualitas hidup pada penderita thalassemia-β mayor

anak di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung (Notoatmodjo, 2012).

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada bulan

Maret 2020.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoadmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita thalasemia

β mayor anak yang rutin melakukan perawatan berupa transfusi darah di RSUD Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2020.

3.4.2 Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti yang

dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2012) Sampel pada penelitian ini

diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling ini

dilakukan dengan menggunakan pertimbangan tertentu yang dibuat sendiri oleh peneliti

(Notoatmodjo, 2012).

A. Kriteria inklusi :

Kriteria inklusi adalah subjek penelitian dapat mewakili sampel penelitian yang

memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini penulis

menentukan kriteria inklusi sebagai berikut :

a. Telah menerima transfusi darah minimal 20 kali

b. Anak usia 8-18 tahun dan bersekolah

c. Bersedia menjadi subjek penelitian

d. Memiliki data pemeriksaan ferritin serum

B. Kriteria eksklusi:

Kriteria eksklusi adalah subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena

tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Notoatmodjo, 2012). Pada

penelitian ini penulis menentukan kriteria eksklusi sebagai berikut :

a. Responden memiliki kelainan atau penyakit hati

b. Dalam perawatan penyakit kritis maupun infeksi di rumah sakit

c. Berdasarkan data catatan medik atau anamnesis diketahui menderita

retardasi mental dan mempunyai cacat fisik seperti kelumpuhan yang

dapat mengganggu aktifitas sehari-hari


3.4.3 Besar Sampel

Perkiraan besar sampel pada penelitian ini menggunakan rumus uji hubungan.

Apabila diperkirakan derajat korelasi kadar ferritin serum dengan kualitas hidup

thalassemia β mayor anak adalah derajat sedang dengan koefisien korelasi (r=0,4), nilai

kesalahan tipe I (α)=0,05 maka Zα=1,96, nilai kesalahan tipe II (β)=0,2 maka Z β=0,842

dan kekuatan penelitian adalah 80%, maka besar sampel penelitian adalah sebagai

berikut (Sastroasmoro, 2011) :

= 46,7 ≈ 47

Maka besar sampel minimal penelitian ini adalah 47 anak. Apabila diperkirakan terjadi

drop out sebesar 10% maka besar sampel dengan koreksi drop out adalah 58 anak

dengan perhitungan sebagai berikut:

Keterangan :

n : Ukuran sampel

r : Koefisien korelasi derajat sedang (0,4)

Zβ : Kekuatan penelitian (80% = 0,842)

Zn : Deviat baku normal α 0,05 (1,96)

ndo : ukuran sampel dengan koreksi drop out (10%)


3.5 Objek Penelitian (Variabel)

Variabel merupakan ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu

kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok yang lain (Notoatmodjo,

2012) .

3.5.1 Variabel Dependent

Disebut variabel tergantung, akibat, terpengaruh karena variabel ini dipengaruhi

oleh variabel bebas (Notoatmodjo, 2012). Variabel dependent pada penelitian ini adalah

kualitas hidup.

3.5.2 Variabel Independent

Variabel independent disebut juga variabel bebas, sebab atau mempengaruhi

(Notoatmodjo, 2012). Variabel bebas pada penelitian ini adalah kadar ferritin serum.

3.6 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Skala
Definisi Alat Ukur Hasil Ukur
Penelitian Ukur

Variabel
terikat

Kualitas hidup Kapasitas untuk Kuesioner PedsQLTM 4.0 0-100 Numerik


melakukan kegiatan Generic Core Scale
sehari-hari sesuai Rentang nilai 0-100
dengan usia seseorang Dengan nilai total kualitas
dan/atau peran hidup anak normal 81,38±15,9
utamanya di Kualitas hidup anak normal
masyarakat. jika PedsQL ≥ -1SD
Kategori normal ≥ 65,48
Kategori berisiko < 65,48
Tersusun atas 23 items yang
terdiri dari:
1. Fungsi fisik
2. Fungsi sosial
3. Fungsi emosi
4. Fungsi sekolah
Variabel
bebas

Ferritin serum Ferritin serum Rekam medic 0: ≤1500 Kategorik


merupakan suatu ng/mL
ukuran simpanan besi (Tidak
retikuloendotelial berisiko)
(ng/mL)
Kadar normal: 1: >1500
Laki-laki: 20-300 ng/mL
ng/mL Perempuan: 15- (berisiko)
120 ng/Ml

Sumber : Ikram, 2004, Carrafedine, 2008 , Bulan, 2009 dan Notoatmodjo, 2012

3.7 Alat Pengumpulan Data

Peds QLTM 4.0 kategori umum (Generic core score) didesain untuk digunakan

pada berbagai keadaan kesehatan anak, instrumen ini dapat membedakan kualitas hidup

anak sehat dengan anak yang menderita suatu penyakit akut atau kronik. Peds QL

praktis untuk digunakan karena pengisian 23 pertanyaan hanya memerlukan waktu

kurang dari 5 menit, rasio kehilangan data sekitar 0,01%, penilaian sangat mudah

dengan memberi nilai 0-4 pada setiap jawaban pertanyaan dan secara mudah

dikonversikan dalam skala 0-100 untuk interpretasi standar. Pengisian kuesioner dapat

diwakili orang tua pada anak usia 2-18 tahun dan pengisian sendiri pada anak umur 5-18

tahun, pengisian sendiri oleh anak umur 5-7 tahun dibantu oleh interviewer, pertanyaan

pada kedua bentuk ini prinsipnya sama, perbedaannya hanya pada bentuk kalimat tanya

untuk orang pertama atau ketiga.

Skala pengukuran kualitas hidup pada kuesioner Peds QLTM 4.0 kategori umum

berupa pertanyaan tertutup yang dijawab dengan memilih jawaban yang tersedia.

Penilaian diberikan dengan skor 0-4 disetiap item pertanyaan.

a. 0 : tidak pernah ada masalah pada item pertanyaan


b. 1 : hampir tidak pernah ada masalah pada item pertanyaan

c. 2 : kadang-kadang ada masalah pada item pertanyaan

d. 3 : sering ada masalah pada item pertanyaan

e. 4 : selalu ada masalah pada item pertanyaan

Pada setiap jawaban dikonversikan kedalam skala 0-100. Untuk menyamakan

persepsi jawaban ditentukan sebagai berikut (Agung, 2012) :

a. Hampir selalu : setiap hari

b. Sering : 1 kali dalam seminggu

c. Kadang-kadang : 1 kali dalam sebulan

d. Hampir tidak pernah : 1 kali dalam 2 atau 3 bulan

e. Tidak pernah : dalam 3 bulan terakhir tidak pernah

Keandalan instrumen ini telah diuji sebelumnya dengan konsistensi internal yang

baik dengan koefisien alfa secara umum berkisar antara 0,70-0,92. Kesahihannya

ditunjukan pada analisis tingkat bidang maupun pertanyaan yang memberikan

penurunan nilai sehubungan dengan adanya penyakit dan pengelolaan, yang tidak hanya

mewakili penyakit kronis saja (Agung, 2012). Untuk itu pada penelitian kali ini peneliti

tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas kembali.

Berdasarkan penelitian Varni et al (2002) nilai total kualitas hidup anak sehat

secara umum adalah 81,38 ± 15,9. Nilai kualitas hidup yaitu -1 SD populasi normal

adalah 65,48. Dikatakan normal apabila nilai kualitas hidup ≥ 65,48 dan berisiko bila <

65,48 (Bulan, 2009).


3.8 Pengolahan Data

Pengolahan data dimulai setelah pengumpulan data primer dengan tahapan

sebagai berikut (Notoatmodjo, 2012):

1. Editing

Memeriksa kembali data - data yang telah dikumpulkan apakah ada

kesalahan atau tidak.

2. Coding

Pada tahapan coding dilakukan penulisan memberikan kode tertentu pada tiap

data sehingga memudahkan penulis dalam melakukan analisa data.

3. Processing

Proses pengetikan data ke program atau software komputer sehingga menjadi

suatu data dasar yang dapat di analisa.

4. Cleaning

Pada tahapan ini dilakukan pengecekan kembali untuk melihat kemungkinan

adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya. Kemudian data

digolongkan, diurutkan dan disederhanakan sehingga mudah dibaca dan

diinterprestasikan.

3.9 Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah dalam

bentuk tabel, kemudian data diolah dengan menggunakan program software statistik

pada komputer SPSS 16.0. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik analisis kuantitatif, yaitu :

3.9.1 Analisis Univariat


Analisis data dalam penelitian ini diawali dengan analisis univariat sebagai

deskripsi distribusi dan frekuensi masing-masing variabel (Notoatmodjo,

2012).

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui interaksi dua variabel.

Analisis bivariat pada penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar feritin

serum dan hubungannya dengan kualitas hidup. Untuk menguji hipotesis

hubungan antara variabel bebas (ferritin serum) dengan variabel terikat

(kualitas hidup) menggunakan uji korelasi Spearman. Uji ini merupakan uji

non parametrik dengan syarat data tidak terdistribusi normal dan data dependen

dan independen berbentuk kategorik atau kategorik-numerik. Pengujian

analisis dilakukan dengan menggunakan program software statistik pada

komputer dengan tingkat kesalahan 5%. Apabila didapatkan nilai p ≤0,05 maka

Ho ditolak, dan Ha diterima yaitu terdapat hubungan bermakna antara dua

variabel yang diuji. (Dahlan, 2011). Selain itu ditentukan pula nilai koefisien

korelasi (r) untuk mengetahui kekuatan hubungan antara dua variabel dengan

ketentuan kekuatan koefisien korelasi sebagai berikut:

Tabel 3.2 Kekuatan Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Kekuatan Hubungan


0,00-0,25 Tidak ada hubungan/ hubungan lemah
0,26-0,50 Hubungan sedang
0,51-0,75 Hubungan kuat
0,76-1,00 Hubungan sangat kuat
Sumber : Amirus, 2012
Setelah diketahui ada atau tidaknya hubungan dan besar koefisien korelasi yang

menentukan kekuatan hubungan, ditentukan juga arah hubungan antara dua

variabel. Arah korelasi + (positif/ searah) diartikan bahwa semakin besar nilai

satu variabel semakin besar pula nilai variabel lainnya sedangkan arah korelasi –

(negatif/ berlawanan) berarti semakin besar nilai satu variabel semakin kecil nilai

variabel lainnya (Dahlan, 2011)

3.10 Alur Penelitian

Persiapan Penelitian

Subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Kuesioner dibagikan dan diisi oleh


responden

Catat jumlah variabel bebas dan


terikat

Input data ke program SPSS

Analisis hubungan antar variabel bebas dan


terikat menggunakan uji korelasi

Kesimpulan

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Anda mungkin juga menyukai