dan ia menggangap bahwa hubungan S dengan B adalah hubungan yang short time
saja. A ingin agar dokter dapat memastikan apakah benar anak laki-laki B adalah
benar berasal dari hubungannya dengan suaminya. A juga meminta pendapat dokter,
apa yang harus dilakukannya agar dapat terlaksana pemeriksaan tersebut.
Berdasarkan kasus tersebut, maka pada kesempatan kali ini akan dibahas
mengenai forensik molekuler dan pemeriksaan DNA yang akan membantu proses
identifikasi suatu individu. Diharapan melalui makalah ini, mahasiswa FK Ukrida
dapat
lebih
mengerti
mengenai
hal-hal
tersebut
dan
kemudian
dapat
kewajiban berbudi dan berprilaku luhur, kewajiban menghormati hidup insani sejak
masih dalam kandungan, azas tidak serakah dan menyadari keterbatasan diri sendiri,
dan azas menjaga kerahasiaan pasien.6
Hubungan dokter-pasien merupakan tunjang praktek kedokteran dan asas kepada
etika kedokteran. Deklarasi Geneva menyatakan bahwa seorang dokter harus
meletakkan kesehatan pasiennya sebagai perkara yang paling utama. Kode Etik Medis
Internasional pula menyatakan bahwa seorang dokter wajib memberikan pelayanan
terbaik sesuai sarana yang tersedia atas kepercayaan yang telah diberikan pasien
kepadanya. Prinsip utama moral profesi adalah autonomy, beneficence, non
maleficence dan justice. Prinsip turunannya pula adalah veracity (memberikan
keterangan yang benar), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga
kerahasiaan).5
Hubungan dokter-pasien pada awalnya merupakan hubungan paternalistic dengan
memegang prinsip beneficence sebagai prinsip utama. Namun cara ini dikatakan
mengabaikan hak autonomy pasien sehingga sekarang lebih merujuk kepada teori
social contract dengan dokter dan pasien sebagai pihak bebas yang saling menghargai
dalam membuat keputusan. Dokter bertanggungjawab atas segala keputusan teknis
sedangkan pasien memegang kendali keputusan penting terutama yang terkait dengan
nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan dokter-pasien yang baik memerlukan
kepercayaan. Maka, dengan memegang pada dasar kepercayaan pasien terhadap
dokter yang merawatnya, seorang dokter tidak boleh menjalin hubungan di luar
bidang profesinya dengan pasien yang sedang dirawat.5
IV. Identifikasi Forensik1
Identifikasi forensik adalah upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu
penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering
merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menetukan
identifikasi personal dengan tepat sangat penting dalam penyidikan karena adanya
kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Peran ilmu kedokteran
forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang
membusuk, terbakar, dan bencana alam yang mengakibatkan banyak korban
meninggal, serta potongan tubuh manusia atau kerangka.
Dengan diketahuinya jati diri korban, pihak penyidik dapat melakukan peyidikan
untuk mengungkap kasus menjadi lebih terarah; oleh karena secara kriminologis pada
umumnya ada hubungan antara pelaku dengan korbannya. Dengan diketahuinya jati
diri korban, penyidik akan lebih mudah membuat satu daftar dari orang-orang yang
5
patut dicurigai. Daftar tersebut aan lebih diperkecil lagi bila diketahui saat kematian
korban serta alat yang dipakai oleh tersangka pelaku kejahatan.
Metode yang biasa digunakan terdiri dari:
1. Metoda visual, dengan memperhatikan dengan cermat atas korban, terutama
wajahnya oelh pihak keluarga atau rekan dekatnya, amka jati diri korban
dapat diketahui.
2. Pakaian, pencatatan yang teliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode serta
adaya tulisan-tulisan seperti: merek pakaian, penjahit, laundry atau intial
nama, dapat memberikan informasi yang berharga, milik siapakah pakaian
tersebut.
3. Perhiasan, anting-anting, kalung, gelang, serta cincin yang ada pada tubuh
korban, khususnya bila pada perhiasan itu terdapat initial nama seorang yang
biasanya terdapat pada bagian dalam dari gelang atau cincin; akan membantu
dokter atau pihak penyidik di dalam menentukan identitas korban.
4. Dokumen, kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, kartu
golongan darah, tanda pembayaran yang ditemukan dalam dompet atau tas
korban dapat menunjukkan jati diri korban.
5. Medis, pemeriksaan fisik secara keseluruhan, yang meliputi bentuk tubuh,
tinggi dan berat badan, warna tirai mata,adanya cacat tubuh serta kelainan
bawaan, jaringan parut bekas operasi serta adanya tatto, dapat memastikan
siapa jati diri korban.
6. Gigi, bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang,
sedemikian khususnya sehingga dapat diaktakan idak ada gigi atau rahang
yang identik pada dua orang yang berbeda, menjadikan pemeriksaan gigi ini
mempunyai nilai yang tinggi dalam hal penentuan jati diri seseorang.
7. Sidik jari, dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang mempunyai sidik
jari yang sama, walaupun kedua orang tersebut kembar satu telur.
8. Serologi, penentuan golongan darah yang diambil baik dari dalam tubuh
korban, maupun bercak darah yang berasal dari bercak-bercak yang terdapat
pada pakaian, akan dapat mengetahui golongan darah si korban.
9. Ekslusi, metoda ini umumnya hanya dipakai pada kasus dimana banyak
terdapat korban (kecelakaan masal), seperti peristiwa tabrakan kapal udara,
tabrakan kereta api atau angkutan lainnya yang membawa banyak
penumpang. Dari daftar penumpang (passanger list), pesawat terbang, akan
dapat diketahui siapa-siapa yang menjadi korban.
10. Analisis DNA, Forensik DNA merupakan alat pengidentifikasian yang
terkini. Di masa yang akan datang, DNA merupakan alat bukti yang pasti
6
dapat dijadikan sebagai marker (penanda) untuk tes DNA dalam upaya
mengidentifikasi hubungan kekerabatan secara maternal.8
Tes DNA pada umumnya digunakan untuk 2 tujuan yaitu: tujuan pribadi seperti
penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak (Tes Paternitas) dan
tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik, seperti identifikasi korban yang telah
hancur maupun untuk pembuktian kasus kejahatan semisal kasus pemerkosaan atau
pembunuhan. 8
Tes paternitas adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah
seorang pria adalah ayah biologis dari seorang anak. Metode tes paternitas terbagi atas
metode analisis DNA dan metode konvensional. Tes paternitas dengan menggunakan
analisis DNA merupakan analisis informasi genetik yang sangat spesifik dalam
membedakan ciri setiap individu, sehingga dapat memastikan (hampir 100%) bahwa
seseorang adalah ayah biologis si anak atau bukan. Sedangkan metode konvensional
dengan analisis fenotip dibagi menjadi tiga, yaitu 8
1. Sistem sel darah merah terdiri dari: sistem ABO, Rhesus (Rh), MNS, Kell (K),
Duffy (Fy), Kidd (Jk), Lutheran.
2. Sistem biokimia meliputi pemeriksaan plasma protein dan enzim sel darah
merah terdiri dari: haptoglobin (Hp), phosphoglucomrantaie (PGM), Esterase
D (EsD), Erythrocyte Acid Phosphatase (EAP), Glyoxalase (GLO), Adenosine
Deaminase (ADA), Adenylate Kinase (AK), Group specific Component (GC),
Gm dan KM.
3. Human Leucocyte Antigen (HLA) yang mengidentifikasi antigen pada
leukosit.
A. Sampel dan Penyiapan Sampel untuk Tes DNA9
Hampir semua sampel biologis tubuh seperti darah dan bercak darah, seminal,
cairan vaginal, dan bercak kering, rambut (baik rambut lengkap dengan akarnya
atau hanya batang rambut), epitel bibir (misal pada puntung rokok), sel buccal,
tulang, gigi, saliva dengan nukleus (pada amplop, perangko, cangkir), urine, feces,
kerokan kuku, jaringan otot, ketombe, sidik jari, atau pada peralatan pribadi dapat
digunakan untuk sampel tes DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah,
rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk
kasus-kasus forensik, sampel sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel
biologis lain yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan
sampel tes DNA.
Tahap pengambilan dan penyimpanan bahan atau sampel merupakan tahapan
yang vital, dan harus dilakukan dengan prinsip-prinsip di bawah ini:
1. Hindari tempat yang terkontaminasi DNA dengan tidak menyentuh objek
secara langsung dengan tangan, tidak bersin atau batuk di dekat barang
bukti.
2. Menggunakan sarung tangan bersih untuk pengumpulan barang bukti.
Sarung tangan harus diganti untuk setiap penanganan barang bukti yang
berbeda
3. Setiap barang bukti harus disimpan terpisah.
4. Bercak darah, bercak sperma, dan bercak lainnya harus dikeringkan dahulu
sebelum disimpan.
5. Sampel harus disimpan pada amplop atau kertas setelah dikeringkan. Jangan
menggunakan bahan plastik karena plastik dapat mempercepat degradasi
molekul DNA. Setiap amplop harus ditandai nomor kasus, nomor bukti,
waktu pengumpulan.
6. Bercak pada permukaan meja atau lantai dapat diambil dengan swab kapas
steril dan alkohol. Keringkan kapas tersebut sebelum dibawa.
7. Di laboratorium, sampel DNA disimpan dalam kulkas bersuhu 4 oC atau
dalam freezer bersuhu -20oC. Sampel yang akan digunakan dalam waktu
yang lama, dapat disimpan dalam suhu -70oC.
Secara umum DNA dapat rusak akibat pengaruh lingkungan seperti paparan
sinar matahari, terkena panas, bahan kimia, air dan akibat kerja enzim DNAase
yang terdapat dalam jaringan sendiri. Untuk itu terhadap berbagai bahan sampel
tersebut harus diberi perlakuan sebagai berikut:
1. Jaringan, organ dan tulang.
Bila masih segar, ambil tiap bagian dengan pinset lalu masukkan masingmasing bagian ke dalam wadah tersendiri. Beri label yang jelas dan tanggal
pengambilan sampel, simpan di pendingin lalu kirim ke laboratorium.
Namun bila sampel tidak lagi segar (busuk), ambil sampel, bungkus dengan
kerta alumunium, dan bekukan pada suhu -20oC. Beri label yang jelas dan
tanggal pengambilan sampel, lalu kirim ke laboratorium.
2. Darah dan bercak darah (seperti darah pada pakaian, karpet, tempat tidur,
perban).
- Darah
o Darah cair dari seseorang.
Ambil dengan menggunakan semprit.
Masukkan ke dalam tabung yang diberikan pengawet EDTA
1 ml darah.
Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, simpan
dalam termos es, lemari es atau kirim ke laboratorium.
o Darah cair di TKP.
Ambil dengan menggunakan semprit, pipet atau kain.
Masukkan ke dalam tabung yang berisikan pengawet EDTA.
Bila membeku, ambil dengan menggunakan spaltel.
Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, simpan
di termos es, lemari es, atau kirim ke laboratorium.
o Darah cair dalam air/salju/es.
Sesegera mungkin, ambil secukupnya, masukkan ke dalam
botol.
Hindari kontaminasi, beri label yang jelas dan tanggal
-
ke laboratorium.
Bercak sperma pada benda yang dipindah (misalnya pada celana).
a. Bila masih basah, keringkan.
b. Bila kering, potong pada bagian yang ada nodanya, dan masukkan
ke dalam amplop.
c. Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, lalu kirim
ke laboratorium.
Bercak sperma pada benda besar yang bisa dipotong (misalnya pada
karpet).
o Potong pada bagian yang bernoda.
o Masukkan ke dalam amplop.
o Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, lalu
kirim ke laboratorium.
Bercak pada benda yang tidak dapat dipindah dan tidak menyerap
(misal: lantai).
o Kerok bercaknya, lalu masukkan kertas.
o Lipat kertas hingga membungkus kerokan, masukkan ke dalam
amplop.
11
vitro dalam tabung reaksi sebesar 200 l. Walaupun dengan sampel DNA yang
sedikit atau sudah mulai terdegradasi, PCR mampu menggandakan atau
mengkopi DNA template hingga miliaran kali jumlah semula sehingga dapat
diperoleh informasi.
Sampel DNA yang disiapkan untuk metode PCR dapat dianalisa
menggunakan beberapa cara. Secara umum variasi per lokus sampel DNA
yang disiapkan melalui PCR lebih rendah daripada variasi pada RFLP. Dengan
demikian hasil dapat diperoleh dari sampel yang kurang secara kualitas
maupun kuantitas namun kekuatan diskriminasinya lebih rendah dengan
jumlah lokus yang sama. Kekuatan metode Analisa PCR adalah kemampuan
untuk menganalisa beberapa lokus secara bersamaan dengan proses yang
otomatis.
3. Short Tandem Repeats (STRs)
Metode STRs (Short Tandem Repeats) adalah salah satu metode analisis
yang berdasar pada metode Polymerase Chain Reaction (PCR). STRs (Short
Tandem Repeat) adalah suatu istilah genetik yang digunakan untuk
menggambarkan urutan DNA pendek (2 5 pasangan basa) yang diulang.
Genome setiap manusia mengandung ratusan STRs. Metode ini paling banyak
dikembangkan karena metode ini cepat, otomatis dan memiliki kekuatan
diskriminasi yang tinggi. Dengan metode STRs dapat memeriksa sampel DNA
yang rusak atau dibawah standar karena ukuran fragmen DNA yang
diperbanyak oleh PCR hanya berkisar antara 200 500 pasangan basa. Namun
metode STRs memiliki kelemahan yaitu mensyaratkan penggunaan tiga belas
lokus sedangkan DNA inti hanya memliki dua salinan molekul dalam setiap
sel. Hal ini menyulitkan untuk menganalisis ketigabelas lokus tersebut,
terutama pada laboratorium dengan prasarana sederhana.
4. Y-Short Tandem Repeats (Y-STRs)
Y-STRs adalah STRs yang ditemukan pada kromosom Y. Y-STRs dapat
diperiksa menggunakan jumlah sampel kecil dan rusak dengan metode dan
alat yang sama dengan pemeriksaan STRs pada kromosom autosomal. Karena
kromosom Y hanya terdapat pada pria maka Y- STRs dapat berguna untuk
menyaring informasi genetik yang spesifik dari pria yang yang menjadi
sampel.
5. Mitochondrial DNA (mt-DNA)
13
yang akan dianalisa pola STR nya. Tahap terakhir adalah DNA berada dalam
tahapan typing, proses ini dimaksudkan untuk memperoleh tipe DNA. Mesin PCR
akan membaca data-data DNA dan menampilkannya dalam bentuk angka-angka
dan gambar-gambar identifikasi DNA. Penetapan hasil tes DNA ini dilakukan
mencocokkan tipe DNA korban dengan tipe DNA pihak tercurigai atau dengan tipe
DNA yang telah tersedia dalam database. Jika dari pembacaan, diperoleh tingkat
homolog melebihi ambang yang ditetapkan (misal 90%), maka dapat dipastikan
korban adalah kerabat pihak tercurigai.
Pada kasus paternitas maupun maternitas, hasil analisis laboratorium (profil
DNA) akan terlihat berupa pita-pita DNA yang terdapat pada gel poliakrilamid.
Pita DNA anak kemudian dibandingkan dengan pita DNA ayah dan ibunya. Dapat
dilihat bahwa masing-masing orang memiliki dua pita sebagai representasi dua alel
yang menggambarkan DNA pada satu pasang kromosom. Salah satu pita pada
kolom DNA anak sama tinggi dengan salah satu pita ibu yang menunjukkan alel
tersebut berasal dari ibu, artinya pita anak yang kedua berasal dari pihak ayah
terlihat bahwa salah satu pita ayah sama tinggi dengan pita kedua anak. Kemudian
dilakukan perhitungan statistik sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pria
tersebut kemungkinan besar adalah ayah dengan kemungkinan sekian persen
dibandingkan dengan orang lain dalam ras yang sama.
VII. Metode Lain dalam Identifikasi Forensik11
A. Sistem ABO
Sistem penggolongan darah yang paling terkenal dan secara medis penting
dan pertama kali dimanfaatkan untuk tes paternitas adalah sistem ABO. Sistem
golongan darah ABO ditemukan pada tahun 1900 dan 1901 di Universitas
Vienna oleh Karl Landstainer.8 Dalam sistem ABO golongan darah
dikelompokkan menjadi empat yaitu golongan darah A, B, AB dan O.
Golongan darah didasarkan pada jenis antigen dan antibodi yang terkandung
dalam darahnya, sebagai berikut:
1. Golongan darah A memiliki sel darah merah dengan antigen A di
permukaan membran selnya dan menghasilkan antibodi terhadap
antigen B dalam serum darahnya.
2. Golongan darah B memiliki antigen B pada permukaan sel darah
merahnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen A pada serum
darahnya.
15
Anti B
Anti A
AB
AB
Golongan darah ABO diturunkan melalui gen pada kromosom 9 dan tidak
berubah oleh pengaruh lingkungan selama kehidupan berlangsung. Golongan
darah ABO seseorang ditentukan dengan mewarisi 1 dari 3 alel (A, B atau O)
dari tiap orang tua. Alel A dan B bersifat lebih dominan dari pada alel O. Hal
ini menyebabkan seseorang yang memiliki genotip AO akan
memiliki
AB
O
A
B
AB
O
O, A
O, B
A, B
O, A
O, A
O, A, B, AB
A, B, AB
O, B
O, A, B, AB
O, B
A, B, AB
A, B
A, B, AB
A, B, AB
A, B, AB
B. Sistem Rhesus
Jenis golongan darah lain yang cukup dikenal adalah dengan memanfaatkan
faktor rhesus atau faktor Rh. Golongan darah ini ditemukan oleh Landstainer
saat melakukan imunisasi terhadap kelinci menggunakan darah monyet dan
menemukan antisera yang tidak hanya mengaglutinasi sel darah merah monyet
tetapi juga mengaglutinasi sel darah merah dari 85 % populasi manusia.
Seseorang yang memiliki sel darah merah yang mengalami aglutinasi disebut
rhesus positif dan orang yang memiliki sel darah merah yang tidak mengalami
aglutinasi disebut rhesus negatif. Antibodi yang bertanggung jawab terhadap
reaksi tersebut disebut anti Rh. Golongan darah ini memiliki genetik paling
komplek dibandingkan sistem yang lain karena sistem ini melibatkan 45
antigen yang berbeda pada permukaan sel darah merah yang dikontrol oleh
gen pada kromosom satu.
Tiap orang memiliki sepasang gen darah faktor Rhesus yang dapat dites di
laboratorium untuk mengetahui adanya antigen Rhesus. Jika tes tidak
menemukan antigen, orang tersebut dikatakan memiliki tipe darah Rh negatif
(Rh -), dan jika hal yang sebaliknya terjadi maka dikatakan orang tersebut
memiliki tipe darah Rh positif (Rh +). Tabel berikut memperlihatkan
hubungan gen, genotip dan faktor Rhesus.
Tabel 3. Gen Rh, Genotip dan Faktor Rhesus
Gen
RhRh +
Rh+
Gen
RhRhRh+
Genotip
Rh-/RhRh+/RhRh+/Rh+
Faktor Rhesus
RhRh+
Rh+
17
: DD x DD
DD x Dd
Dd x Dd
Anak
DD atau Dd
DD atau dd
Orang tua
: DD x dd
Dd x dd
dd
Anak
DD atau dd
DD
Dd
dd
dd
18
Kesimpulan
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan
membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal
sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Identifikasi
forensik erperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi tertukar, atau
diragukan orang tuanya. Untuk meminimalisir kekeliruan maka diperlukan suatu
teknik identifikasi dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi di mana pemanfaatan
teknologi analisis DNA dapat dipertimbangkan sebagai alternatif.
Daftar Pustaka
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, dkk. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997.
2. Inman K, Rudin N. Principles and practice of criminalistics: the profession of
forensic science. Boca Raton: CRC Press;2002.h76-78.
3. Safitry O. Kompiasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran.
Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2014.
4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta:
Pustaka Diwpar;2005.
5. Hanafiah MJ. Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Ed 4. Jakarta:
EGC;2009.
6. Darwin E, dkk. Etika profesi kesehatan. Yogayakarta: Deepublish; 2014.
7. Cantor C, Spengler S. Primer on molecular genetiks.[Online]. Diunduh dari
http://www.ornl.gov/hgmis/publicat/primer/toc; pada 07 Januari 2016.
8. Kolbinsky L, Levine, Margolis-Nuno H. Analysis DNA forensik. New York:
Chelsea House of Publishing Infobase;2007.
9. Putu H. Pengumpulan dan cara pengiriman bahan pemeriksaan analisa DNA.
Bagian/Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik FK UNAIR RSU dr. Soetomo.
Surabaya.
10. Norah R,Keith I. Introduction to forensik DNA analysis. 2nd ed. London New York
Washington DC: CRC Press LLC, 2002.
11. Roberts JA, Fraser, Pembrey, Marcus E. Pengantar genetika kedokteran. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC;1995.
19