Anda di halaman 1dari 19

Peran Pemeriksaan DNA dalam Identifikasi Forensik

Ivanalia Soli Deo 102012359


B9
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Koresponden: ivanalia.deo@gmail.com
Pendahuluan
Ilmu kedokteran forensik disebut juga ilmu kedokteran kehakiman, merupakan
salah satu mata ajaran wajib dalam rangkaian pendidikan kedokteran di Indonesia,
dimana peraturan perundangan mewajibkan setiap dokter baik dokter, dokter spesialis
kedokteran forensik, spesialis klinik untuk membantu melaksanakan pemeriksaan
kedokteran forensik bagi kepentingan peradilan bilamana diminta oleh polisi
penyidik. Dengan demikian, dalam penegakan keadilan yang menyangkut tubuh,
kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal yang dimilikinya amat diperlukan.1
Saat ini, sub bidang dari ilmu kedokteran forensik yaitu ilmu kedokteran Forensik
Molekuler tengah berkembang. Ilmu kedokteran forensik molekuler merupakan
bagian dari ilmu kedokteran forensik yang memanfaatkan pengetahuan kedokteran
dan biologi pada tingkat molekul atau DNA.1 Dengan adanya ilmu kedokteran
forensik molekuler maka dapat membantu penyidik untuk menentukan identitas
personal dengan tepat.2
Pada kesempatan kali ini didapati kasus: seorang perempuan A datang ke Anda
dan menceritakan keluhannya. Ia seorang wanita karier dan telah bersuami S dengan
dua anak. Perkawinan telah berlangsung 12 tahun. Pada dua bulan yang lalu A telah
didatangi seorang perempuan muda B yang mengaku sebagai istri gelap suaminya
(S) dan ia mengatakan bahwa akibat hubungannya dengan S telah lahir seorang anak
laki-laki. B telah meminta agar S mau mengawininya secara sah demi untuk
kepentingan anak laki-lakinya, tetapi S tidak setuju. B meminta kepada A agar mau
menerimanya sebagai madunya atau setidaknya memberi nafkah bagi anak lakilakinya.
A kemudian telah berbicara secara baik-baik dengan S tentang hal ini. S
mengakui bahwa 2 tahun yang lalu, sewaktu A sedang bertugas keluar negeri selama 6
bulan, ia berkenalan dengan seorang wanita muda di sebuah cafe, yang dilanjutkan
dengan pertemuan di hotel beberapa kali. S yakin bahwa B bukanlah wanita baik-baik
1

dan ia menggangap bahwa hubungan S dengan B adalah hubungan yang short time
saja. A ingin agar dokter dapat memastikan apakah benar anak laki-laki B adalah
benar berasal dari hubungannya dengan suaminya. A juga meminta pendapat dokter,
apa yang harus dilakukannya agar dapat terlaksana pemeriksaan tersebut.
Berdasarkan kasus tersebut, maka pada kesempatan kali ini akan dibahas
mengenai forensik molekuler dan pemeriksaan DNA yang akan membantu proses
identifikasi suatu individu. Diharapan melalui makalah ini, mahasiswa FK Ukrida
dapat

lebih

mengerti

mengenai

hal-hal

tersebut

dan

kemudian

dapat

mengaplikasikannya dalam kasus yang diterima sehari-hari.


Pembahasan
I.

Aspek Hukum Medikolegal3


KUHP pasal 284
1.
Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan
a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya
c. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin
d. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 BW berlaku baginya
2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang
waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan
ranjang karena alasan itu juga.
3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan
belum dimulai.
5. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang
menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

II. Rahasia Kedokteran Forensik


Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap sebagai
norma dasar yang melindungi hubungan dokter dengan pasien.4 Profesi kedokteran
baru dapat berlangsug bila ada kerelaan pasien untuk mengungkapkan keadaan
dirinya, termasuk hal-hal yang amat pribadi. Bentuk pengungkapan diri pasien dalam
hubungannya dengan profesi kedokteran meliputi tindakan anamnesa (wawancara),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laborattorik. Hal ini berarti semua data pribadinya
diserahkan pada tangan dokter yang memeriksa (beserta staf medis lainnya).1
Kewajiban seorang dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran telah diatur
dalam PP no 10 tahun 1966. Dalam peraturan tersebut tidak dibedakan antara rahasia
jabatan kedokteran ataukah rahasia pekerjaan kedoktera. Tetapi dalam penjelasannya
ada kecenderungan bahwa yang diatur adalah kedua-duanya, karena subyek delik
yang diancam dalam pasar 322 KUHP adalah mereka yang membuka rahasia
pekerjaan maupun rahasia jabatan.1
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 memberikan batasan tentang
yang dimaksud dengan rahasia kedokteran yaitu segala sesuatu yang diketahui pada
waktu atau selama melakukan pekerjaan di lapangan kedokteran. Hal ini meliputi
segala fakta yang didapatkan selama menangani pasien, mulai dari emeriksaan dan
diagnosa sampai dengan penatalaksanaannya. Sehingga hal-hal yang diketahui tapi
tidak berhubungan dengan pekerjaan, bukanlah merupakan rahasia kedokteran.1,4
Karena peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 dapat diterapkan pada bidang
kedokteran forensik, maka untuk memnentukan siapa saja yang wajib menyimpan
rashasia kedokteran forensk dapat dipakai penjebaran pasal 3 PP No 10 tahun 1966
tersebut. Dengan demikian, yang diharuskan menyimpan rahasia adallah: dokter
spesialisasi kedokteran forensik, dokter (umum), dokter spesialis klinik, petugas
kamar operasi/ kamar pemeriksaan forensik, mahasiwa fakultas kedokteran yang
sedang menjalani kepanitraan, petugas kamar jenazah, petugas kamar bedah jenazah,
petugas laboratorium forensik, petugas administrasi Visum et Repertum, dan petugas
lainnya yang secara langsung atau tidak langsung mengetahui kegiatan pemeriksaan
forensik.1
Ketentuan pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan
dipidana oleh karena melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan undang-undang
memperkut peluang bagi tenaga kesehatan dalam keadaan dan situasi tertentu dapat
membuka rahasia kedokteran tanpa diancam pidana. Hal ini mengakibatkan
bebasnya para dokter tenaga administrasi kesehatan dalam membuat visum et
3

repertum dan dalam menyampakai pelaporn tenang statistik kesehatan, penyakit


wabah dan karantina.4
Alasan lain yang memperbolehkan membuka rahasia kedokteran adalah adanya
ijin atau persetujuan atau kuasa dari pasien itu sendiri, perintah jabatan, daya paksa,
dan dalam rangka membela diri. Selin tiu etika kedokteran umumya membenarkan
pembukaan rahasia kedokteran secara terbatas untuk kepentingan konsultasi
profesiaonal, pendidikan dan peneitian. Permenkes no 749a juga memberikan peluang
bagi penggunaaan rekam medis untuk pendidikan dan penelitian.4
III. Etika Profesi Kedokteran
Etik (Ethics) berasar dari kata Yunani ethos, yang berarti akhlak, adat kebiasaan,
watak, perasaan, sikap, yang baik, yang layak. Menurut KBBI, etika adalah ilmu
pengethuan tentang azas akhlak. Menurut Kamus Kedokteran, etika aalah pengethuan
tentang perilaku yang benar dalam satu prodesi. Dalam arti lebih sempit, pengertian
etika adalah pedoman atau aturan moral untuk menjalankan profesi. Istilah etika dan
etik sering dipertukarkan pemakaiannya dan tidak jelas pebedaan antara keduanya,
namun etik dapat diartikan sebagai seperangkat asas atau nilai yang berkaitan dengan
akhlak seperti dalam Kode Etik, semntara etika adalah ilmu yang mempelajari azas
akhlak.5
Profesi sendiri berasar dari bahasa latin professio, yang berarti pengakuan atau
pernyataan publik. Menurut Posner, profesi merupakan suatu pekerjaan yang tidak
hanya membutuhkan pengetahuan, pengalamn, dan kecerdasan umum, tetapi juga
penguasaan khusus yang merupakan abstraksi dari ilmu pengetahuan atau beberapa
bidang lain yang diyaki memiliki struktur intelektual. Dalam bidang kesehatan,
profesi kedokteran sudah dikenal sejak ada manusia yang merasa sakit.6
Praktik kedokteran dari dahulu sapai sekarang dipandu berdasarkan prinsip etik
yaitu nil nocere (do no harm) dan bonum facere (do good for the patients). Prinsip
etik tersebut telah diterapkan sebagai norma etik kedokterann, yang sebenarnya telah
dipergunakan sejak adanya orang dalam masyarakat yang mempunyai tugas
mengobati orang sakit. Walaupun tidak tertuis, norma ini menggariskan kelakukan
orang yang mengobati terhadap orang yang diobatinya.6
Diantara norma tersebut, norma tertua dan telah digariskan adalah sumpah dokter
Hindu yang ditulis pada tahun 1500 sebelum Masehi. Inti dari sumpah tersebut
adalah: jangan merugikan penderita yang sedang diobati. Setelah itu dikenal sumpah
Hippocrates yang memuat azas-azas etika medis yaitu kewajiban berbuat baik,
kewajiban untuk tidak menimbulkan cedera atau menimbulkan kerugian pada pasien,
4

kewajiban berbudi dan berprilaku luhur, kewajiban menghormati hidup insani sejak
masih dalam kandungan, azas tidak serakah dan menyadari keterbatasan diri sendiri,
dan azas menjaga kerahasiaan pasien.6
Hubungan dokter-pasien merupakan tunjang praktek kedokteran dan asas kepada
etika kedokteran. Deklarasi Geneva menyatakan bahwa seorang dokter harus
meletakkan kesehatan pasiennya sebagai perkara yang paling utama. Kode Etik Medis
Internasional pula menyatakan bahwa seorang dokter wajib memberikan pelayanan
terbaik sesuai sarana yang tersedia atas kepercayaan yang telah diberikan pasien
kepadanya. Prinsip utama moral profesi adalah autonomy, beneficence, non
maleficence dan justice. Prinsip turunannya pula adalah veracity (memberikan
keterangan yang benar), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga
kerahasiaan).5
Hubungan dokter-pasien pada awalnya merupakan hubungan paternalistic dengan
memegang prinsip beneficence sebagai prinsip utama. Namun cara ini dikatakan
mengabaikan hak autonomy pasien sehingga sekarang lebih merujuk kepada teori
social contract dengan dokter dan pasien sebagai pihak bebas yang saling menghargai
dalam membuat keputusan. Dokter bertanggungjawab atas segala keputusan teknis
sedangkan pasien memegang kendali keputusan penting terutama yang terkait dengan
nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan dokter-pasien yang baik memerlukan
kepercayaan. Maka, dengan memegang pada dasar kepercayaan pasien terhadap
dokter yang merawatnya, seorang dokter tidak boleh menjalin hubungan di luar
bidang profesinya dengan pasien yang sedang dirawat.5
IV. Identifikasi Forensik1
Identifikasi forensik adalah upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu
penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering
merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menetukan
identifikasi personal dengan tepat sangat penting dalam penyidikan karena adanya
kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Peran ilmu kedokteran
forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang
membusuk, terbakar, dan bencana alam yang mengakibatkan banyak korban
meninggal, serta potongan tubuh manusia atau kerangka.
Dengan diketahuinya jati diri korban, pihak penyidik dapat melakukan peyidikan
untuk mengungkap kasus menjadi lebih terarah; oleh karena secara kriminologis pada
umumnya ada hubungan antara pelaku dengan korbannya. Dengan diketahuinya jati
diri korban, penyidik akan lebih mudah membuat satu daftar dari orang-orang yang
5

patut dicurigai. Daftar tersebut aan lebih diperkecil lagi bila diketahui saat kematian
korban serta alat yang dipakai oleh tersangka pelaku kejahatan.
Metode yang biasa digunakan terdiri dari:
1. Metoda visual, dengan memperhatikan dengan cermat atas korban, terutama
wajahnya oelh pihak keluarga atau rekan dekatnya, amka jati diri korban
dapat diketahui.
2. Pakaian, pencatatan yang teliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode serta
adaya tulisan-tulisan seperti: merek pakaian, penjahit, laundry atau intial
nama, dapat memberikan informasi yang berharga, milik siapakah pakaian
tersebut.
3. Perhiasan, anting-anting, kalung, gelang, serta cincin yang ada pada tubuh
korban, khususnya bila pada perhiasan itu terdapat initial nama seorang yang
biasanya terdapat pada bagian dalam dari gelang atau cincin; akan membantu
dokter atau pihak penyidik di dalam menentukan identitas korban.
4. Dokumen, kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, kartu
golongan darah, tanda pembayaran yang ditemukan dalam dompet atau tas
korban dapat menunjukkan jati diri korban.
5. Medis, pemeriksaan fisik secara keseluruhan, yang meliputi bentuk tubuh,
tinggi dan berat badan, warna tirai mata,adanya cacat tubuh serta kelainan
bawaan, jaringan parut bekas operasi serta adanya tatto, dapat memastikan
siapa jati diri korban.
6. Gigi, bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang,
sedemikian khususnya sehingga dapat diaktakan idak ada gigi atau rahang
yang identik pada dua orang yang berbeda, menjadikan pemeriksaan gigi ini
mempunyai nilai yang tinggi dalam hal penentuan jati diri seseorang.
7. Sidik jari, dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang mempunyai sidik
jari yang sama, walaupun kedua orang tersebut kembar satu telur.
8. Serologi, penentuan golongan darah yang diambil baik dari dalam tubuh
korban, maupun bercak darah yang berasal dari bercak-bercak yang terdapat
pada pakaian, akan dapat mengetahui golongan darah si korban.
9. Ekslusi, metoda ini umumnya hanya dipakai pada kasus dimana banyak
terdapat korban (kecelakaan masal), seperti peristiwa tabrakan kapal udara,
tabrakan kereta api atau angkutan lainnya yang membawa banyak
penumpang. Dari daftar penumpang (passanger list), pesawat terbang, akan
dapat diketahui siapa-siapa yang menjadi korban.
10. Analisis DNA, Forensik DNA merupakan alat pengidentifikasian yang
terkini. Di masa yang akan datang, DNA merupakan alat bukti yang pasti
6

dijadikan standar utama oleh tim investigasi dalam mengungkap siapakah


korban maupun pelaku tindak pidana. Selanjutnya penerapan teknlogi DNA
akan dibahas di subbab selanjutnya.
V. Dasar Hukum Identifikasi Forensik3
Pasal 183 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan
bahwa: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam pasal 184 KUHAP mengatur sebagai berikut:
(1) Alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
VI. Tes DNA
Tes DNA adalah salah satu teknik biologi molekuler penanda genetik yang
dipakai untuk pengujian terhadap materi profil DNA, yaitu sehimpunan data yang
menggambarkan susunan DNA yang dianggap khas untuk individu yang menjadi
sampelnya. Hanya sebagian kecil berkas DNA yang dipakai untuk pengujian, seperti
bagian DNA yang berisi pengulangan urutan basa (variable number tandam repeats /
VNRT).7
Tes DNA ini sangat dipercaya dan sudah diakui keabsahannya dapat
mengidentifikasi seseorang dengan keakuratan mencapai 100 %, sehingga banyak
dimanfaatkan dalam analisis, pihak kepolisian maupun pengadilan khusunya untuk
membantu mengungkap suatu perkara. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola
DNA bisa terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, yaitu
dengan peluang satu diantara satu juta. Jikapun terdapat kesalahan itu disebabkan oleh
faktor human error terutama pada kesalahan interpretasi fragmen-fragmen DNA oleh
operator (manusia).7
DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah c-DNA dan mt-DNA. Sampel DNA
yang paling akurat digunakan dalam tes adalah c-DNA, karena inti sel tidak bisa
berubah. Sementara mt-DNA dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu
yang dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Namun, keunikan dari
pola pewarisan mt-DNA tersebut sekaligus menjadi kelebihannya, sehingga mt-DNA

dapat dijadikan sebagai marker (penanda) untuk tes DNA dalam upaya
mengidentifikasi hubungan kekerabatan secara maternal.8
Tes DNA pada umumnya digunakan untuk 2 tujuan yaitu: tujuan pribadi seperti
penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak (Tes Paternitas) dan
tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik, seperti identifikasi korban yang telah
hancur maupun untuk pembuktian kasus kejahatan semisal kasus pemerkosaan atau
pembunuhan. 8
Tes paternitas adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah
seorang pria adalah ayah biologis dari seorang anak. Metode tes paternitas terbagi atas
metode analisis DNA dan metode konvensional. Tes paternitas dengan menggunakan
analisis DNA merupakan analisis informasi genetik yang sangat spesifik dalam
membedakan ciri setiap individu, sehingga dapat memastikan (hampir 100%) bahwa
seseorang adalah ayah biologis si anak atau bukan. Sedangkan metode konvensional
dengan analisis fenotip dibagi menjadi tiga, yaitu 8
1. Sistem sel darah merah terdiri dari: sistem ABO, Rhesus (Rh), MNS, Kell (K),
Duffy (Fy), Kidd (Jk), Lutheran.
2. Sistem biokimia meliputi pemeriksaan plasma protein dan enzim sel darah
merah terdiri dari: haptoglobin (Hp), phosphoglucomrantaie (PGM), Esterase
D (EsD), Erythrocyte Acid Phosphatase (EAP), Glyoxalase (GLO), Adenosine
Deaminase (ADA), Adenylate Kinase (AK), Group specific Component (GC),
Gm dan KM.
3. Human Leucocyte Antigen (HLA) yang mengidentifikasi antigen pada
leukosit.
A. Sampel dan Penyiapan Sampel untuk Tes DNA9
Hampir semua sampel biologis tubuh seperti darah dan bercak darah, seminal,
cairan vaginal, dan bercak kering, rambut (baik rambut lengkap dengan akarnya
atau hanya batang rambut), epitel bibir (misal pada puntung rokok), sel buccal,
tulang, gigi, saliva dengan nukleus (pada amplop, perangko, cangkir), urine, feces,
kerokan kuku, jaringan otot, ketombe, sidik jari, atau pada peralatan pribadi dapat
digunakan untuk sampel tes DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah,
rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk
kasus-kasus forensik, sampel sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel

biologis lain yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan
sampel tes DNA.
Tahap pengambilan dan penyimpanan bahan atau sampel merupakan tahapan
yang vital, dan harus dilakukan dengan prinsip-prinsip di bawah ini:
1. Hindari tempat yang terkontaminasi DNA dengan tidak menyentuh objek
secara langsung dengan tangan, tidak bersin atau batuk di dekat barang
bukti.
2. Menggunakan sarung tangan bersih untuk pengumpulan barang bukti.
Sarung tangan harus diganti untuk setiap penanganan barang bukti yang
berbeda
3. Setiap barang bukti harus disimpan terpisah.
4. Bercak darah, bercak sperma, dan bercak lainnya harus dikeringkan dahulu
sebelum disimpan.
5. Sampel harus disimpan pada amplop atau kertas setelah dikeringkan. Jangan
menggunakan bahan plastik karena plastik dapat mempercepat degradasi
molekul DNA. Setiap amplop harus ditandai nomor kasus, nomor bukti,
waktu pengumpulan.
6. Bercak pada permukaan meja atau lantai dapat diambil dengan swab kapas
steril dan alkohol. Keringkan kapas tersebut sebelum dibawa.
7. Di laboratorium, sampel DNA disimpan dalam kulkas bersuhu 4 oC atau
dalam freezer bersuhu -20oC. Sampel yang akan digunakan dalam waktu
yang lama, dapat disimpan dalam suhu -70oC.
Secara umum DNA dapat rusak akibat pengaruh lingkungan seperti paparan
sinar matahari, terkena panas, bahan kimia, air dan akibat kerja enzim DNAase
yang terdapat dalam jaringan sendiri. Untuk itu terhadap berbagai bahan sampel
tersebut harus diberi perlakuan sebagai berikut:
1. Jaringan, organ dan tulang.
Bila masih segar, ambil tiap bagian dengan pinset lalu masukkan masingmasing bagian ke dalam wadah tersendiri. Beri label yang jelas dan tanggal
pengambilan sampel, simpan di pendingin lalu kirim ke laboratorium.
Namun bila sampel tidak lagi segar (busuk), ambil sampel, bungkus dengan
kerta alumunium, dan bekukan pada suhu -20oC. Beri label yang jelas dan
tanggal pengambilan sampel, lalu kirim ke laboratorium.

2. Darah dan bercak darah (seperti darah pada pakaian, karpet, tempat tidur,
perban).
- Darah
o Darah cair dari seseorang.
Ambil dengan menggunakan semprit.
Masukkan ke dalam tabung yang diberikan pengawet EDTA
1 ml darah.
Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, simpan
dalam termos es, lemari es atau kirim ke laboratorium.
o Darah cair di TKP.
Ambil dengan menggunakan semprit, pipet atau kain.
Masukkan ke dalam tabung yang berisikan pengawet EDTA.
Bila membeku, ambil dengan menggunakan spaltel.
Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, simpan
di termos es, lemari es, atau kirim ke laboratorium.
o Darah cair dalam air/salju/es.
Sesegera mungkin, ambil secukupnya, masukkan ke dalam
botol.
Hindari kontaminasi, beri label yang jelas dan tanggal
-

pengambilan sampel, simpan atau kirim ke lab.


Bercak darah basah.
o Ditemukan pada pakaian
Pakaian dengan noda ditempatkan pada permukaan bersih dan
keringkan.
Setelah kering, masukkan kantong kertas atau amplop.
Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, kirim ke
laboratorium.
o Ditemukan pada benda.
Bila benda kecil biarkan kering, tetapi pada benda besar, hisap
bercak tersebut dengan kain katun dan keringkan.

Masukkan amplop, beri label yang jelas dan tanggal


pengambilan sampel, dan kirim ke laboratorium.
o Ditemukan pada karpet atau benda yang dapat dipotong.
Potong bagian yang ada nodanya.
Tiap potongan diberi label yang jelas, sertakan potongan yang
tidak ada nodanya sebagai kontrol.
Kirim ke laboratorium.
o Percikan darah kering
Gunakan celotape, tempelkan pada percikan noda.
10

Masukkan celotape tersebut kedalam kantong plastik.


Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, kirim ke
laboratorium.
3. Sperma dan bercak sperma.
- Sperma cair.
a. Hisap dengan semprit, masukkan ke dalam tabung.
b. Atau dengan kapas, keringkan.
c. Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, lalu kirim
-

ke laboratorium.
Bercak sperma pada benda yang dipindah (misalnya pada celana).
a. Bila masih basah, keringkan.
b. Bila kering, potong pada bagian yang ada nodanya, dan masukkan
ke dalam amplop.
c. Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, lalu kirim

ke laboratorium.
Bercak sperma pada benda besar yang bisa dipotong (misalnya pada
karpet).
o Potong pada bagian yang bernoda.
o Masukkan ke dalam amplop.
o Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, lalu

kirim ke laboratorium.
Bercak pada benda yang tidak dapat dipindah dan tidak menyerap
(misal: lantai).
o Kerok bercaknya, lalu masukkan kertas.
o Lipat kertas hingga membungkus kerokan, masukkan ke dalam
amplop.

o Beri label yang jelas dan tanggal pengambilan sampel, lalu


kirim ke laboratorium.
4. Urine, saliva dan cairan tubuh yang lain.
- Sampel cair
a. Urine atau saliva dimasukkan ke dalam tempat steril.
b. Simpan di pendingin, beri label yang jelas dan tanggal
-

pengambilan sampel, lalu kirim ke laboratorium.


Bercak urine, saliva
a. Dugaan noda, dikerok atau potong lalu kumpulkan.
b. Masukkan amplop, beri label yang jelas dan tanggal

pengambilan sampel, lalu kirim ke laboratorium.


5. Rambut dan gigi.
- Rambut.
a. Cabut beberapa helai rambut (10-15 helai) dengan akarnya.
Hati-hati bila tercampur dengan darah

11

b. Tempatkan pada wadah, beri label yang jelas dan tanggal


-

pengambilan sampel. Kirim ke laboratorium.


Pulpa Gigi
a. Cabut gigi yang masih utuh. Sampel gigi sebaiknya tidak
dirusak oleh endodontia.
b. Masukkan ke dalam kantong plastik, beri label yang jelas dan
tanggal pengambilan sampel.

B. Teknik Tes DNA10


1. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
Teknik pertama yang digunakan analisa DNA dalam bidang forensik
adalah RFLP. Polimorfisme yang dinamakan Restriction Fragment Leght
Polymorphism (RFLP) adalah suatu polimorfisme DNA yang terjadi akibat
variasi panjang fragmen DNA setelah dipotong dengan enzim retriksi tertentu
menjadi fragmen Variable Number Of Tandem Repeat (VNTR). Teknik ini
dilakukan dengan memanfaatkan suatu enzim restriksi yang mampu mengenal
urutan basa tertentu dan memotong DNA (biasanya 4-6 urutan basa). Urutan
basa tersebut disebut sebagai recognition sequence.
Enzim restriksi ini dihasilkan oleh bakteri dan dinamakan menurut spesies
bakteri yang menghasilkannya. Enzim yang berbeda memiliki recognition
sequence yang berbeda, sehingga panjang segmen tersebut bervariasi pada tiap
orang, hal ini disebabkan karena titik potong enzim yang berbeda dan panjang
segmen antara titik potong juga berbeda.
Analisa yang dihasilkan adalah variasi pada panjang fragmen DNA yang
telah ditentukan. Setelah selesai, pola RFLP tampak seperti kode batang (bar
code). Saat membandingkan hasil analisa dua sampel, pola batang pada
autoradiograf dibandingkan untuk menentukan apakah kedua sampel tersebut
berasal dari sumber yang sama.
2. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode untuk
memperbanyak DNA template tertentu dengan enzim polymerase DNA.
Reaksi teknik ini didesain seperti meniru penggandaan atau replikasi DNA
yang terjadi dalam makhluk hidup, hanya pada segmen tertentu dengan
bantuan enzim DNA polymerase sebanyak 20 hingga 40 siklus (umumnya 30
siklus), dengan tingkat akurasi yang tinggi. Proses ini berlangsung secara in12

vitro dalam tabung reaksi sebesar 200 l. Walaupun dengan sampel DNA yang
sedikit atau sudah mulai terdegradasi, PCR mampu menggandakan atau
mengkopi DNA template hingga miliaran kali jumlah semula sehingga dapat
diperoleh informasi.
Sampel DNA yang disiapkan untuk metode PCR dapat dianalisa
menggunakan beberapa cara. Secara umum variasi per lokus sampel DNA
yang disiapkan melalui PCR lebih rendah daripada variasi pada RFLP. Dengan
demikian hasil dapat diperoleh dari sampel yang kurang secara kualitas
maupun kuantitas namun kekuatan diskriminasinya lebih rendah dengan
jumlah lokus yang sama. Kekuatan metode Analisa PCR adalah kemampuan
untuk menganalisa beberapa lokus secara bersamaan dengan proses yang
otomatis.
3. Short Tandem Repeats (STRs)
Metode STRs (Short Tandem Repeats) adalah salah satu metode analisis
yang berdasar pada metode Polymerase Chain Reaction (PCR). STRs (Short
Tandem Repeat) adalah suatu istilah genetik yang digunakan untuk
menggambarkan urutan DNA pendek (2 5 pasangan basa) yang diulang.
Genome setiap manusia mengandung ratusan STRs. Metode ini paling banyak
dikembangkan karena metode ini cepat, otomatis dan memiliki kekuatan
diskriminasi yang tinggi. Dengan metode STRs dapat memeriksa sampel DNA
yang rusak atau dibawah standar karena ukuran fragmen DNA yang
diperbanyak oleh PCR hanya berkisar antara 200 500 pasangan basa. Namun
metode STRs memiliki kelemahan yaitu mensyaratkan penggunaan tiga belas
lokus sedangkan DNA inti hanya memliki dua salinan molekul dalam setiap
sel. Hal ini menyulitkan untuk menganalisis ketigabelas lokus tersebut,
terutama pada laboratorium dengan prasarana sederhana.
4. Y-Short Tandem Repeats (Y-STRs)
Y-STRs adalah STRs yang ditemukan pada kromosom Y. Y-STRs dapat
diperiksa menggunakan jumlah sampel kecil dan rusak dengan metode dan
alat yang sama dengan pemeriksaan STRs pada kromosom autosomal. Karena
kromosom Y hanya terdapat pada pria maka Y- STRs dapat berguna untuk
menyaring informasi genetik yang spesifik dari pria yang yang menjadi
sampel.
5. Mitochondrial DNA (mt-DNA)
13

Aplikasi penggunaan mt-DNA dalam identifikasi forensik dimulai pada


tahun 1990. Mitokondria adalah partikel intraselular yang terdapat di luar
nukleus dalam sitoplasma sel. Mitokondria mengandung DNA kecil berupa
molekul berbentuk sirkular yang terdiri dari 16569 pasangan basa yang dapat
diidentifikasi. Setiap sel mengandung 100 1000 mitokondria.
6. CODIS (Combined DNA Index System)
CODIS merupakan analisis DNA yang baru dikembangkan FBI. FBI
memilih 13 STR yang digunakan sebagai deretan lokus utama standar dan
meningkatkan pengembangan kemampuan laboraturium untuk melakukan
pemeriksaan pada lokus tersebut. Laboratorium di seluruh dunia menggunakan
lokus yang sama. Pengumpulan 13 lokus utama meningkatkan kemampuan
diskriminasi. Kemungkinan ditemukan kecocokan antara dua orang yang tidak
berhubungan berdasarkan random di Caucasian Amerika adalah satu diantara
575 trilyun. Angka kemungkinan ini lebih kecil dibandingkan UK system. FBI
secara aktif dilibatkan dalam pengumpulan data frekuensi populasi pada grup
dan subgrup populasi yang berbeda. Populasi ini kemudian dibagi lagi,
misalnya data dari Jepang, Cina, Korea dan Vietnam. Pada dunia bagian barat
terdapat data untuk Bahamian, Jamaica dan Trinidadian.
C. Analisa Tes DNA
Analisis DNA untuk tes paternitas meliputi beberapa tahap yaitu tahap
pengambilan spesimen, tahap proses laboraturium, tahap perhitungan statistik dan
pengambilan kesimpulan. Untuk metode tes DNA di Indonesia, masih
memanfaatkan metode elektroforesis DNA. Intrepretasi hasilnya adalah dengan
cara menganalisa pola DNA menggunakan marka STR (short tandem repeats).
STR adalah lokus DNA yang tersusun atas pengulangan 2-6 basa. Dalam genom
manusia dapat ditemukan pengulangan basa yang bervariasi jumlah dan jenisnya.
Dengan menganalisa STR ini, maka DNA tersebut dapat diprofilkan dan
dibandingkan dengan sampel DNA terduga lainnya.
Ketika sampel DNA yang telah dimurnikan dimasukkan ke dalam mesin PCR)
sebagai tahapan amplifikasi, maka hasil akhirnya berupa copy urutan DNA lengkap
dari DNA sampel. Selanjutnya copy urutan DNA ini akan dikarakterisasi dengan
elektroforesis untuk melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang
berbeda, maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu
akan berbeda juga. Pola pita inilah yang disebut DNA sidik jari (DNA finger print)
14

yang akan dianalisa pola STR nya. Tahap terakhir adalah DNA berada dalam
tahapan typing, proses ini dimaksudkan untuk memperoleh tipe DNA. Mesin PCR
akan membaca data-data DNA dan menampilkannya dalam bentuk angka-angka
dan gambar-gambar identifikasi DNA. Penetapan hasil tes DNA ini dilakukan
mencocokkan tipe DNA korban dengan tipe DNA pihak tercurigai atau dengan tipe
DNA yang telah tersedia dalam database. Jika dari pembacaan, diperoleh tingkat
homolog melebihi ambang yang ditetapkan (misal 90%), maka dapat dipastikan
korban adalah kerabat pihak tercurigai.
Pada kasus paternitas maupun maternitas, hasil analisis laboratorium (profil
DNA) akan terlihat berupa pita-pita DNA yang terdapat pada gel poliakrilamid.
Pita DNA anak kemudian dibandingkan dengan pita DNA ayah dan ibunya. Dapat
dilihat bahwa masing-masing orang memiliki dua pita sebagai representasi dua alel
yang menggambarkan DNA pada satu pasang kromosom. Salah satu pita pada
kolom DNA anak sama tinggi dengan salah satu pita ibu yang menunjukkan alel
tersebut berasal dari ibu, artinya pita anak yang kedua berasal dari pihak ayah
terlihat bahwa salah satu pita ayah sama tinggi dengan pita kedua anak. Kemudian
dilakukan perhitungan statistik sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pria
tersebut kemungkinan besar adalah ayah dengan kemungkinan sekian persen
dibandingkan dengan orang lain dalam ras yang sama.
VII. Metode Lain dalam Identifikasi Forensik11
A. Sistem ABO
Sistem penggolongan darah yang paling terkenal dan secara medis penting
dan pertama kali dimanfaatkan untuk tes paternitas adalah sistem ABO. Sistem
golongan darah ABO ditemukan pada tahun 1900 dan 1901 di Universitas
Vienna oleh Karl Landstainer.8 Dalam sistem ABO golongan darah
dikelompokkan menjadi empat yaitu golongan darah A, B, AB dan O.
Golongan darah didasarkan pada jenis antigen dan antibodi yang terkandung
dalam darahnya, sebagai berikut:
1. Golongan darah A memiliki sel darah merah dengan antigen A di
permukaan membran selnya dan menghasilkan antibodi terhadap
antigen B dalam serum darahnya.
2. Golongan darah B memiliki antigen B pada permukaan sel darah
merahnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen A pada serum
darahnya.
15

3. Golongan darah AB memiliki sel darah merah dengan antigen A dan B


serta tidak menghasilkan antibodi terhadap antigen A maupun antigen
B.
4. Golongan darah O memiliki sel darah tanpa antigen tetapi
memproduksi antibodi terhadap antigen A dan B.
Pemeriksaan golongan darah ABO sangat mudah dilakukan dan tidak
mahal serta hanya membutuhkan sedikit sampel darah. Serum yang
mengandung antibodi anti A dicampur dengan sampel darah, serum lainnya
yang mengandung antibodi anti B dicampur dengan sisa sampel darah. Jika
sampel darah mengalami aglutinasi dengan penambahan antibodi anti A,
tetapi tidak mengalami aglutinasi dengan antibodi anti B berarti terdapat
antigen A tetapi tidak terdapat antigen B sehingga golongan darahnya adalah
A. Keterangan lengkap adanya antigen dan antibodi pada sistem ABO
terdapat pada tabel berikut.
Tabel 1. Antigen dan Antibodi Pada Sistem ABO
Group
O

Antigen pada Sel Darah Merah


-

Antibodi (Aglutinin) Serum


Anti A dan anti B

Anti B

Anti A

AB

AB

Golongan darah ABO diturunkan melalui gen pada kromosom 9 dan tidak
berubah oleh pengaruh lingkungan selama kehidupan berlangsung. Golongan
darah ABO seseorang ditentukan dengan mewarisi 1 dari 3 alel (A, B atau O)
dari tiap orang tua. Alel A dan B bersifat lebih dominan dari pada alel O. Hal
ini menyebabkan seseorang yang memiliki genotip AO akan

memiliki

fenotip A, dan seseorang yang memiliki genotip BO akan memiliki fenotip B


sedangkan orang yang memiliki genotip OO akan memiliki fenotip O. Alel
A dan B sama-sama dominan sehingga jika alel A diperoleh dari satu orang
tua dan alel B dari orang tua yang lain maka fenotip yang muncul adalah AB.
Dari hal tersebut diketahui bahwa golongan darah A memiliki dua fenotip
yaitu AA dan AO, golongan darah B juga memiliki 2 genotip yaitu BB dan
BO. Sedangkan golongan darah O dan AB hanya memiliki satu genotip.
16

Kemungkinan golongan darah anak yang diwariskan oleh persilangan


masing-masing golongan darah orang tua dijelaskan pada tabel berikut.
Tabel 2. Pewarisan Golongan Darah Kepada Anak
Ibu/Ayah

AB

O
A
B
AB

O
O, A
O, B
A, B

O, A
O, A
O, A, B, AB
A, B, AB

O, B
O, A, B, AB
O, B
A, B, AB

A, B
A, B, AB
A, B, AB
A, B, AB

B. Sistem Rhesus
Jenis golongan darah lain yang cukup dikenal adalah dengan memanfaatkan
faktor rhesus atau faktor Rh. Golongan darah ini ditemukan oleh Landstainer
saat melakukan imunisasi terhadap kelinci menggunakan darah monyet dan
menemukan antisera yang tidak hanya mengaglutinasi sel darah merah monyet
tetapi juga mengaglutinasi sel darah merah dari 85 % populasi manusia.
Seseorang yang memiliki sel darah merah yang mengalami aglutinasi disebut
rhesus positif dan orang yang memiliki sel darah merah yang tidak mengalami
aglutinasi disebut rhesus negatif. Antibodi yang bertanggung jawab terhadap
reaksi tersebut disebut anti Rh. Golongan darah ini memiliki genetik paling
komplek dibandingkan sistem yang lain karena sistem ini melibatkan 45
antigen yang berbeda pada permukaan sel darah merah yang dikontrol oleh
gen pada kromosom satu.
Tiap orang memiliki sepasang gen darah faktor Rhesus yang dapat dites di
laboratorium untuk mengetahui adanya antigen Rhesus. Jika tes tidak
menemukan antigen, orang tersebut dikatakan memiliki tipe darah Rh negatif
(Rh -), dan jika hal yang sebaliknya terjadi maka dikatakan orang tersebut
memiliki tipe darah Rh positif (Rh +). Tabel berikut memperlihatkan
hubungan gen, genotip dan faktor Rhesus.
Tabel 3. Gen Rh, Genotip dan Faktor Rhesus
Gen
RhRh +
Rh+

Gen
RhRhRh+

Genotip
Rh-/RhRh+/RhRh+/Rh+

Faktor Rhesus
RhRh+
Rh+
17

Sistem Rhesus terdiri dari sejumlah besar antigen yang berbeda-beda,


tetapi untuk keperluan praktis salah satu diantaranya yaitu Rhesus D yang
dianggap paling penting karena Rhesus D paling kuat dalam merangsang
pembentukan antibodi. Untuk menetapkan penggolongan darah digunakan
serum anti D dan untuk mengklasifikasikan individu-individu sebagai Rhesus
positif atau Rhesus negatif digunakan tanda D+ atau D-. D bersifat dominant
terhadap d karena anti d tidak pernah muncul. Rhesus positif dan rhesus
negatif ditentukan oleh gen D dan gen d. Golongan Rhesus positif mempunyai
dua macam genotip yaitu DD dan Dd, sedangkan golongan negatif hanya
mempunyai satu macam genotip yaitu dd. Berikut ini kemungkinan genotif
golongan darah anak dengan sistem Rhesus.
Orang tua

: DD x DD

DD x Dd

Dd x Dd

Anak

DD atau Dd

DD atau dd

Orang tua

: DD x dd

Dd x dd

dd

Anak

DD atau dd

DD

Dd

dd

dd

18

Kesimpulan
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan
membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal
sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Identifikasi
forensik erperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi tertukar, atau
diragukan orang tuanya. Untuk meminimalisir kekeliruan maka diperlukan suatu
teknik identifikasi dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi di mana pemanfaatan
teknologi analisis DNA dapat dipertimbangkan sebagai alternatif.
Daftar Pustaka
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, dkk. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997.
2. Inman K, Rudin N. Principles and practice of criminalistics: the profession of
forensic science. Boca Raton: CRC Press;2002.h76-78.
3. Safitry O. Kompiasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran.
Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2014.
4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta:
Pustaka Diwpar;2005.
5. Hanafiah MJ. Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Ed 4. Jakarta:
EGC;2009.
6. Darwin E, dkk. Etika profesi kesehatan. Yogayakarta: Deepublish; 2014.
7. Cantor C, Spengler S. Primer on molecular genetiks.[Online]. Diunduh dari
http://www.ornl.gov/hgmis/publicat/primer/toc; pada 07 Januari 2016.
8. Kolbinsky L, Levine, Margolis-Nuno H. Analysis DNA forensik. New York:
Chelsea House of Publishing Infobase;2007.
9. Putu H. Pengumpulan dan cara pengiriman bahan pemeriksaan analisa DNA.
Bagian/Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik FK UNAIR RSU dr. Soetomo.
Surabaya.
10. Norah R,Keith I. Introduction to forensik DNA analysis. 2nd ed. London New York
Washington DC: CRC Press LLC, 2002.
11. Roberts JA, Fraser, Pembrey, Marcus E. Pengantar genetika kedokteran. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC;1995.

19

Anda mungkin juga menyukai