Anda di halaman 1dari 28

ISU-ISU ETIK DAN HUKUM DALAM PELAYANAN KEDOKTERAN

Tugas : Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp.F

Disusun : dr. Alwi Qatsir

NPM : 2307601020008

Prodi : Ilmu Penyakit Dalam

Dokter dalam pelayanan medis harus tunduk pada etika profesi (standar etika profesi), dan
juga harus tunduk pada ketentuan hukum, peraturan perundang-undangan. Pelayanan kedokteran
yang baik adalah pelayanan kedokteran yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, bermutu,
serta terjangkau. Untuk memberikan pelayanan kedokteran paripurna bermutu (preventif, promotif,
kuratif dan rehabilitatif) tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga
ditentukan oleh perilaku (professional behaviour), etik (bioethics) dan moral serta hukum.

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang
sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan
rahasia kedokteran, profesionalisme, dan lain-lain. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik
seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang
telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai
etika.

Pelayanan kesehatan juga sangat sarat dengan kemunculan dilema etik, atau sengketa
hukum. Nuansa hukum kesehatan/kedokteran juga sangat kental dalam pelayanan kesehatan dengan
adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh orang-orang yang terlibat didalamnya yang
kalau tidak berhati-hati dalam bertindak akan sangat rawan terhadap tuntutan dan gugatan. Oleh
karena itu sangat diperlukan pemahaman mengenai prinsip-prinsip etika dan hukum dalam profesi
kedokteran agar tuntutan dan gugatan tersebut dapat dihindari.

Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip
moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan
bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan
medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut
sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat
keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang
medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan
latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy
(menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan
tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk
kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien)
dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai
konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu
hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral profesi.

Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama yaitu :

 Prinsip autonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination).
 Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien.
 Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “ do no harm”.
 Prinsip Justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
autonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty rights dan
individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk
memutuskan nasibnya sendiri, sedangkan John S Mills berkata bahwa kontrol sosial atas seseorang
individu hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk melindungi hak orang lain.

Skenario
Seorang pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien lama
dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya dengan dokter
tersebut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah melakukan hubungan
dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap berhubungan dengan istrinya.
Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa alat kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri.
Setelah diperiksa ternyata ia menderita GO. Pasien tidak ingin diketahui istrinya tahu, karena bisa
terjadi pertengkaran diantaranya keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada
pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh karena ia telah berhubungan juga dengan istrinya maka mungkin
istrinya juga sudah tertular.Istrinya juga harus diobati.
Aspek Hukum
Pada kasus skenario, seorang laki-laki yang sudah menikah tetapi mengaku bahwa sudah
pernah berhubungan dengan wanita lain ingin melakukan pemeriksaan dengan keluhan kencing
nanah, setelah diperiksa hasilnya positif menderita GO dan ia tidak ingin istrinya tahu, tetapi karena
telah berhubungan intim dengan istrinya, dia curiga bahwa istrinya juga telah terkena.

Rahasia medis mengikat hubungan dokter dan pasien dengan didasari oleh berbagai peraturan.
Sumpah Dokter Indonesia butir 4 menyatakan bahwa “Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang
saya ketahui karena keprofesian saya”. Hal itu ditegaskan oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia
Tahun 2012 (Kodeki) pada Pasal 16 yang menyatakan “Setiap dokter wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia” 5
dan selaras dengan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 48 ayat 1 yang
menyebutkan “Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran”.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 seorang dokter wajib menyimpan
rahasia kedokteran tersebut terhadap orang lain bahkan isterinya, kecuali: karena daya paksa, diatur
dalam pasal 48 KUHP :“Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena pengaruh daya paksa,tidak
dapat dipidana”, karena menjalankan perintah UU: diatur dalam pasal 50 KUHP: “Barangsiapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”, dan karena
menjalankan perintah jabatan, diatur dalam pasal 51 KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan
untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana”.
Tetapi apabila dokter membuka rahasia kedokteran tersebut, dapat dikenai sanksi pidana penjara
paling lama sembilan bulan berdasarkan pasal 322 KUHP.

Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu (tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan
pasien misalnya, dokter, dokter gigi, perawat. ) dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban
untuk : menghormati hak pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien,
memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, meminta
persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan, membuat dan memelihara rekam medis.

Dasar hukum.

Pasal 322 KUHP

(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut
atas pengaduan orang itu
Pasal 170 KUHP

(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi,
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. pasal 48
KUHP Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
PP. No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 22

(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu (Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan tertentu
dalam ayat ini adalah tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien misalnya,
dokter, dokter gigi, perawat. ) dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk :

a. menghormati hak pasien;

b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;

c. memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan;

d meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;

e. membuat dan memelihara rekam medis. ,

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 24

(1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai
dengan standar profesi tenaga kesehatan (Perlindungan hukum di sini misalnya rasa aman
dalam melaksanakan tugas profesinya, perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang
dapat mengancam keselamatan atau jiwa baik karena alam maupun perbuatan manusia)

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta
Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008, maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang
dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Setelah dokter menentukan diagnosis dokter wajib memberikan informed consent tentang
penjelasan mengenai penyakit apa yang sedang dideritanya. Sebaiknya penjelasan tentang penyakit
ini dengan menggunakan bahasa yang awam dan dapat dipahami oleh masyarakat biasa.
Selanjutnya perlu dijelaskan juga terapi medis apa saja yang menjadi pilihan pengobatan pasien
berserta keuntungan dan kerugian dari terapi tersebut. Pasien diberi kewenangan sepenuhnya untuk
memilih terapi yang akan dijalaninya.
Untuk langkah pengobatan, diperlukan juga persetujuan dari pasien apakah bersedia untuk
melakukan pengobatan tertentu. Dokter juga perlu menjelaskan kepada pasien prognosis dari
penyakit, dimana pada kasus ini apabila dilakukan pengobatan yang teratur dan mengubah perilaku
dalam hal ini adalah berhubungan sexual dengan bukan istrinya sebagai sumber penularannya, serta
mau mengajak istrinya ikut serta pada jadwal pengobatan berikutnya. Karena apabila si pasien telah
berhubungan dengan istrinya, maka akan sulit untuk sembuh secara total karena akan kembali
tertular oleh istrinya yang tidak diobati bersama.
Pada penjelasan tindakan medis kasus tersebut, pasien laki-laki harus dijelaskan mengenai
keuntungan dan kerugian jika ia menjalani pengobatan tanpa mengobati juga sang istri yang
kemungkinan sudah terkena gonorrhea. Jika dokter tidak meberikan penjelasan terlebih dahulu,
dokter tersebut tidak memenuhi kewajiban dokter yang tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 5
Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989, yang menuntut dokter untuk menjelaskan atau
memberikan informasi yang adekuat kepada pasien sebelum melakukan tindakan medis.
Di lain pihak, jika dokter tidak menjelaskan kepada pasien bahwa penting untuk
memberitahu kepada istri pasien untuk menjalani pengobatan, tetapi dokter tersebut yang
menyampaikan informasi secara langsung kepada istri pasien tanpa persetujuan dari pasien, dokter
telah melanggar hak pasien atas rahasia rekam medis pasien.
DILEMA ETIKA DALAM KASUS KLINIK
Tugas Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp. F

Nama: dr. Tara Aulianova


NPM: 2307601020002
Prodi: Ilmu Penyakit Dalam

Dokter dalam hal menjalankan praktik kesehariannya sering kali menemukan isu etik yang dapat
berkembang menjadi suatu dilema etik. Dan senantiasanya, seorang dokter akan selalu dihadapkan
dengan suatu keputusan klinis yang berkaitan dengan etik dalam mengambil suatu keputusan klinis.
Dalam hal Sejarah etik kedokteran, diawal tahun 60-an saat kemajuan bidang ilmu dan teknologi
kedokteran berdampak pada hasil dari pengobatan dan kualitas hidup pasien yang lebih baik.
Praktik kedokteran yang berkembang di masyarakat dan berubah sejalan dengan keinginan dan
kebutuhan dalam masyarakat.

Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang
menentukan perilaku manusia dalam kehidupannya. Dalam metode filsafat, etika dikaitkan dengan
kandungan didalamnya yang berhubungan dengan permusyawaratan dan argument eksplisit untuk
membenarkan suatu tindakan tertentu dan juga membahas asas-asas yang mengatur karakter
manusia ideal atau kode etik profesi tertenu.

Prinsip-prinsip bioetika pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsip etika dalam bidang
kedokteran dan Kesehatan. Etika kedokteran terapan dibagi menjadi dua kategori besar, Principlism
(mementingkan prinsip etik dalam bertindak), Alternative principlism (etika komunitarian, etika
naratif, dan etika kasih sayang).
Menurut Beauchamp dan Childress pada tahun 2001, terdapat empat kaidah dasar bioetik:
1. Autonomy (menghormati autonomi pasien)
Dasar dari respect for autonomy terkait erat dengan dasar mengenai rasa hormat terhadap
martabat manusia dengan segala karakteristik yang dimilikinya karena ia adalah seorang
manusia yang memiliki nilai dan berhak untuk meminta.

2. Beneficence (berbuat baik)


Dasar dari beneficence mengandung dua elemen, yaitu keharusan secara aktif untuk
kebaikan berikutnya dan tuntutan untuk melihat berapa banyak aksi kebaikan berikutnya dan
berapa banyak kekerasan yang terlibat.
3. Non-maleficence (tidak merugikan orang lain)
Tujuan prinsip ini adalah untuk melindungi seseorang yang tidak mampu (cacat) atau orang
yang non-autonomy.
4. Justice (keadilan)
Dasar teori justice ini sangat erat kaitannya dengan sikap adil seseorang pada orang lain,
seperti memutuskan siapa yang membutuhkan pertolongan kesehatan terlebih dahulu dilihat
dari derajat keparahan penyakitnya.

Sebagai contoh kasus yang sering di temukan adalah “Do not Resuscitate” (DNR). DNR
merupakan kondisi yang sarat dengan pro dan kontra dan sering dijumpai pada pasien-pasien
terminal baik itu bertempat di IGD maupun ICU. Pasien DNR ini banyak ditemui pada pasien yang
mengidap penyakit kronis dan sudah menjalani pengobatan dengan jangka waktu yang telalu lama,
seperti pasien-pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Dimana DNR merupakan perintah untuk
tidak melakukan resusitasi jantung paru pada pasien henti jantung. Pada beberapa negara
menetapkan secara hukum bahwa telah dilakukan pelarangan terhadap DNR ini. Sedangkan melalui
aspek lain berupa etik dan agama, DNR masihlah hal yang harus dikaji terlebih dahulu.

Pada pengkajian bioetik terhadap DNR, dari segi Beneficence adalah memiliki keuntungan dalam
upaya pemulihan terhadap pasien dimana RJP dipandang sebagai Upaya untuk memulihkan organ
untuk meringankan kesakitan dan penderitaan pasien. Dari segi Non-Maleficence atau Do No Harm
adalah mencegah terjadinya kesakitan pasien yang meningkat akibat terapi yang diberikan, dimana
RJP berkepanjangan atau diberikan terlambat menyebabkan kesakitan lebih lanjut pada pasien, dan
kemungkinan pasien dapat bertahan hidup tetapi dalam kondisi koma (status vegetatif). Dari segi
Aoutonomy adalah hak pasien harus dihormati secara etik bahkan legal, pada kondisi
kegawatdaruratan dan pasien belum sempat mengambil keputusan maka pilihan yang bijaksana
adalah dokter memberikan perawatan medis sesuai standar. Dari segi Justice adalah dengan
mengedepankan prinsip keadilan menjamin semua pasien henti jantung mendapatkan RJP dan hak-
hak pasien terpenuhi secara pribadi dan mendapatkan manfaat yang paling baik.
ISU-ISU ETIK DAN HUKUM DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Tugas Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp. F

Nama : dr.Meutia Nailan Edward


NPM : 2307601020005
Prodi : Ilmu Penyakit Dalam

Contoh Kasus
“Skenario dr.J bertugas di IGD RS daerah terpencil dan bertugas pada bagian triase, pada saat itu
sedang terjadi peningkatan kasus rawatan di instalasi gawat darurat dikarenakan sedang terjadi
peningkatan kasus demam dengue dan campak. Saat itu tempat tidur yang tersisa di IGD hanya 2
bed, sedangkan di triase sedang menangani 5 pasien yang memerlukan perawatan. Setiap pasien
mengharapkan diperlakukan sama dan mengharapkan didahulukan sesuai urutan kehadiran atau
sesuai kelas BPJS yang pada saat itu kelima pasien datang dengan keluhan yang sama berupa
demam. Setelah memeriksa pasien tersebut dokter J memberikan penjelasan sesuai hasil
pemeriksaan dan memberikan edukasi serta pemberian obat sesuai klinis pasien. dr.J melakukan
anamnesis secara cepat dan melakukan pemeriksaan fisik secara singkat dan memberitahukan pada
pasien mengenai kondisi fasilitas RS tersedia dan memprioritaskan kondisi pasien berdasarkan
diagnosis dan klinis yang mendukung yang memerlukan penanganan segera”.

Prinsip bioetik yang terkandung dalam kasus ini adalah:


Beneficience
 Mengutamakan altrusime (menolong tanpa pamrih) bersedia bekerja di daerah terpencil dan
melayani masyarakat disana hingga malam hari
 Paternalisme bertanggungjawab atau kasih sayang
 Kewajiban menolong pasien gawat darurat siap melayani masyarakat yang sakit dari pagi
hingga malam
 Memandang pasien tidak hanya sejauh menguntungkan dokter
Justice
 Menghargai hak sehat pasien ( affordebility, equality, accesibility,availability, quality)
 Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien,tidak memberikan
perlakukan dan obat-obatan yang bermacam-macam

Landasan Teori
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian
pelayanan kesehatan. Landasan utama bagi para dokter untuk melakukan tindakan medis terhadap
pasiennya adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan
dan pelatihan. Pengetahuan tersebut harus terus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri (Depkes, 2008).
Etik kedokteran mengatur masalah yang berhubungan dengan sikap para dokter terhadap
sejawat, para pembantunya serta terhadap masyarakat dan pemerintah, dan yang sangat penting
adalah mengatur tentang sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi
tanggung jawabnya. Etika kedokteran diperlukan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, karena
itu disebut juga etika klinik. Filosofi moral dari etika kedokteran tertuang dalam empat Prinsip
Dasar Etika Kedokteran sebagai berikut:
1. Autonomy: Pasien berhak menentukan apa yang dilakukan terhadap tubuhnya, artinya
pasien berhak untuk mendapat informasi dan pelayanan yang terbaik, ikut serta pada
penentuan tindakan klinik dalam kedudukan yang setara. Orang dewasa yang kompeten
dapat menolak atau menerima perawatan dan obat-obatan atau tindakan operasi karena
mereka bebas dan rasional. Keputusan itu harus dihormati, bahkan jika keputusan tersebut
tidak dalam kepentingan yang terbaik untuk pasien.
2. Beneficence: Semua penyedia layanan kesehatan harus berusaha untuk meningkatkan
kesehatan pasien, dengan melakukan yang paling baik untuk pasien dalam setiap situasi.
Walaupun apa yang baik untuk satu pasien mungkin tidak baik bagi pasien yang lain,
sehingga setiap situasi harus dipertimbangkan secara individual. Artinya apapun yang
dilakukan oleh seorang dokter kepada pasiennya, hanya demi kebaikan pasien tersebut
3. Non malficence: "Pertama, tidak membahayakan" adalah landasan etika kedokteran. Dalam
setiap situasi, penyedia layanan kesehatan harus menghindari tindakan yang menyebabkan
kerugian kepada pasien. Dokter juga harus menyadari doktrin efek ganda, di mana
pengobatan yang ditujukan untuk kebaikan, dapat saja secara tidak sengaja menyebabkan
kerugian. Artinya walaupun tindakan yang dilakukan adalah dengan niat baik, tapi tetap
harus dijaga agar tidak merugikan pasien
4. Justice: Keadilan pemberian pelayanan kesehatan
Kesamaan merupakan inti dari justice, tetapi aristoteles mengemukakan bahwa justice lebih
daripada kesamaan, karena seorang dapat merasa tidak diperlakukan secara semestinya walaupun
telah diperlakukan sama satu dengan yang lain. Dalam dunia kedokteran, fondasi moral hubungan
dokter pasien adalah inti etika kedokteran. Konsep hubungan ini akan lebih mempertajam
keputusan-keputusan klinis yang akan dibuat oleh dokter dalam berbagai situasi, sehingga akan
tersusun standar perilaku profesional.
Justice adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakuan yang adil
untuk semua pasien. Dalam hal ini,dokter dilarang membeda-bedakan pasiennya berdasarkan
ekonomi,agama,suku,kedudukan sosial dsb. Diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan
perawatan medis dengan adil agar ada kesamaan dalam perlakuan kepada pasien. Contoh dari
justice misalnya saja: dokter yang harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan seseorang
untuk merawat orang tersebut. Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk
kelayakan minimal dalam memberikan pelayanan medis, harus dinilai juga dari seberapa penting
masalah yang sedang dihadapi oleh pasien. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek dari pasien,
diharapkan seorang dokter dapat berlaku adil.
Profesi kesehatan mempunyai perbedaan sudut pandang mengenai persamaan dan hak-hak
pasien. Satu sisi dokter paham bahwa tidak boleh ”membiarkan pertimbangan usia, penyakit atau
kecacatan, keimanan, etnik, jenis kelamin, nasionalitas, keanggotaan politik, ras, orientasi seksual,
atau posisi sosial mengintervensi tugas saya dan paien saya” (Deklarasi Jenewa). Pada saat yang
sama dokter juga mengklaim bahwa mereka berhak menolak atau menerima pasien kecuali dalam
keadaan gawat. Walaupun pembenaran penolakan ini berhubungan dengan keseluruhan praktek
atau kurangnya spesialisasi dan kualifikasi pendidikan, namun jika dokter tidak memberikan alasan
penolakan tersebut maka dengan mudah dikatakan dokter telah melakukan diskriminasi. Dalam hal
ini hati nurani pasien mungkin satu-satunya cara mencegah pelecehan terhadap hak-hak orang lain,
bukan hukum ataupun penegak disiplin.
Bahkan walaupun dalam memilih pasien dokter tetap menghargai dan memandang sama,
dokter dapat saja tidak melakukan hal sama dalam hal perilaku dan perawatan yang diberikan
kepada pasien. Kasus yang diberikan pada skenario diatas menggambarkan hal tersebut.Belas kasih
merupakan salah satu nilai inti dari pengobatan juga merupakan elemen pokok dalam hubungan
terapi yang baik. Belas kasih berdasarkan pada penghargaan terhadap kehormatan pasien dan nilai
yang ada, dan lebih jauh lagi menghargai dan merespon terhadap kerentanan pasien dalam hal
penyakit da/atau kecacatan. Jika pasien merasakan belas kasih dan penghargaan dokter, mereka
akan lebih percaya terhadap dokter untuk bertindak berdasarkan kepentingan terbaik pasien dan
kepercayaan ini dapat menjadi andil terhadap proses penyembuhan.
Banyak dokter, terutama yang bekerja di sektor publik, sering tidak mempunyai kemampuan
untuk memilih pasien yang akan mereka rawat. Beberapa pasien dapat saja berbahaya dan dapat
mengancam keselamatan dokter, yang lainnya tidak menyenangkan karena sifat anti sosialnya serta
perilakunya. Apakah pasien-pasien seperti ini masih berhak mendapatkan hak untuk dihargai dan
diperlakukan sama, ataukah dokter diharuskan melakukan tindakan lebih atau bahkan heroik untuk
menciptakan dan menjaga hubungan terapi mereka? Jika berhubungan dengan pasien seperti ini,
dokter harus menyeimbangkan tanggung jawab terhadap keselamatan dan kebaikan diri mereka dan
juga staf-stafnya dengan tugasnya untuk menyembuhkan. Dokter harus berusaha mencari jalan agar
kedua kewajiban tersebut dapat terpenuhi, dan jika tidak mungkin, harus dicari alternatif perawtan
pasien.
Tantangan lain terhadap prinsip penghargaan dan perlakuan yang sama bagi pasien muncul
dalam perawatan pasien infeksi. Fokusnya sering kali pada pasien HIV/AIDS, tidak hanya karena
penyakitnya yang mengancam jiwa namun juga karena hal itu sering dikaitkan dengan prasangka
sosial. Namun ada banyak penyakit infeksi lain yang lebih mudah ditularkan kepada pekerja
kesehatan dibanding HIV/AIDS. Beberapa dokter ragu dalam melakukan prosedur invasif terhadap
pasien dengan kondisi tersebut karena kemungkinan dokter dapat tertular. Namun demikian, kode
etik kedokteran tidak membuat perkecualian terhadap pasien infeksi karena memang kewajiban
dokter untuk memperlakukan semua pasien secara sama. Berikut adalah Statement on the
Professional Responsibility of Physicians in Treating AIDS Patient yang dikeluarkan oleh WMA:
 Pasien AIDS harus mendapatkan perawatan yang tepat dengan belas kasih dan penghargaan
martabat manusia.
 Seorang dokter tidak boleh menolak secara etis untuk melakukan tindakan terhadap pasien
yang kondisinya dalam kompetensi dokter, hanya karena pasien tersebut seropositif.
 Etika kedokteran tidak membenarkan deskriminasi berdasarkan kategori tertentu terhadap
pasien hanya karena seropositif tersebut. Seorang yang menderita AIDS memerlukan
perawatan yang tepat dan dengan belas kasih.
 Seorang yang menderita AIDS memerlukan perawatan yang tepat dan dengan belas kasih.
Dokter yang tidak sanggup memberikan perawatan dan pelayanan yang diperlukan oleh
pasien AIDS harus membuat rujukan yang sesuai terhadap dokter atau fasilitas yang dapat
memberikan pelayanan yang diperlukan. Sampai rujukan didapatkan, dokter harus terus
merawat pasien berdasarkan kemampuan terbaik yang dimilikinya.
DILEMA ETIKA PADA KASUS KLINIK

Tugas Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp. F

Nama : Muhammad Yusuf

NPM :2307601020010

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Dokter merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap pada kesejahteraan
manusia, yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat maupun yang sakit untuk
menjalankan kehidupan sehari-hari. Salah satu yang mengatur hubungan antara dokter dan pasien
adalah etika. Dokter adalah profesi yang selalu berhubungan dan berinteraksi dengan masyarakat,
baik itu individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Sehingga dokter di tuntut mampu
memahami dan berperilaku sesuai dengan etika kedokteran.

Dalam praktek sehari-hari sering di jumpai dilema etika pada kasus-kasus klinik. Dokter
harus mengetahui masalah yang melibatkan dua atau lebih landasan moral dan tidak dapat
dilakukan keduanya. Untuk pengambilan keputusan, prinsip-prinsip etika yang relevan harus
dipertimbangkan ketika dilema etika muncul. Dokter harus menghargai otonomi setiap orang.
otonomi yang dimaksud yaitu kebebasan dalam memilih atau menerima suatu tanggung jawab
terhadap pilihannya sendiri. Selain itu adanya kebebasan, kebenaran, keadilan, tidak
membahayakan, kemurahan hari (yaitu melakukan hal-hal baik untuk orang lain).

Menyelesaikan masalah dalam dilema etika pada kasus-kasus klinik bagi seorang dokter
bisa dengan melakukan informed consent. Kompetensi seorang dokter mengacu pada kemampuan
dokter dalam memahami informasi tentang usulan dalam tindakan yang ingin dilakukan. Pasien
yang akan dilakukan tindakan harus meberikan persetujuan secara sukarela, tanpa paksaan atau
penipuan. Ada pula keputusan mengenai tindakan mempertahankan hidup. Keputusan yang diambil
oleh dokter harus sesuai dengan keinginan dan keputusan yang disepakati dengan keluarga. Jika
pasien dalam keadaan keritis menjelang ajal atau kematian, penjelasan ke keluarga harus segera
dilakukan, untuk mendapatkan pengajuan secara resmi yang biasa ada yaitu surat perintah untuk
melakukan DNR, perintah menghetikan kehidupan, surat wasiat, dll.

Kita ambil sebuah contoh kasus “ Tn. M, umur 49 tahun, adalah seorang wiraswasta.
Dalam kehidupan sehari-hari, mempunyai kebiasaan hidup yang sembarangan. Artinya Tn. M selalu
mengkonsumsi makanan yang manis dan tinggi kolesterol. Riwayat kontrol kesehatan juga tidak
pernah dilakukan. Sehingga dalam beberapa minggu terakhir mulai muncul keluhan sering kencing-
kencing malam, mudah haus dan juga ada penurunan berat badan. Mulai muncul luka pada kaki dan
semakin menghitam. Tn. M akhirnya memutuskan untuk berobat ke dokter dan didapatkan bahwa
dia menderita Diabetes Melitus dengan gangrene pada kaki nya. Dokter menyarankan untuk
dilakukan tindakan amputasi pada kakinya dikarenakan jaringan pada kaki sudah mati. 2 hari
menjelang operasi, Tn. M hanya terdiam, cemas dan bingung dengan rencana operasi yang akan
dijalaninya. Dokter hanya menjelaskan bahwa Tn. M harus dioperasi karena tidak ada tindakan lain
yang dapat dilakukan dan dokter memberitahu perawat kalau Tn. M atau keluarganya bertanya,
sampaikan operasi adalah jalan terakhir. Dan jangan dijelaskan tentang apapun, tunggu saya yang
menjelaskan. Saat menghadapi hal tersebut, Tn. M berusaha bertanya kepada perawat ruangan yang
merawatanya. Tn. M bertanya kepada perawat , yaitu : “ apakah saya masih ada acara lain selain
operasi “, perawat pun menjawab dengan singkat , “ bapak kan sudah diberitahu dokter bahwa ibu
harus operasi”.

Perawat pun memberikan surat persetujuan operasi untuk ditandatangani, tetapi Tn. M
mengatakan “saya menunggu istri saya dulu suster”. Perawat mengatakan “ secepatnya ya pak…
besok bapak akan dioperasi” tanpa penjelasan lain, perawat meninggalkan Tn. M. sehari sebelum
operasi Tn. M berunding dengan istrinya dan memutuskan menolak operasi dengan alasan, Tn. M
dan istrinya masih ingin berobat dengan alternatif yang lain selain operasi. Tn. M masih ragu akan
penjelasan dokter dan perawat tentang rencana operasi yang akan dilakukan.

Pada kasus ini dapat kita analisa bahwa nilai-nilai etika, prinsip moral dalam professional
dokter, dan hak-hak pasien harus dilihat masalah-masalah yang mungkin merupakan pelanggaran
etik yang terjadi dan merupakan perinsip-prinsip moral/etik dalam peraktek kedokteran.

Prinsip otonomi menjelaskan bahwa seseorang mempunyai kemerdekaan untuk


menentukan keputusan dirinya menurut rencana pilihannya sendiri. Bagian dari apa yang diperlukan
dalam menghormati keputusan seseorang, merupakan prinsip untuk menerima bahwa individu harus
memperhatikan pilihan untuk kepentingannya. Penolakan Tn. M dan keluarga untuk dilakukan
operasi merupakan hak pasien. Tetapi, hak dan kewajiban dokter juga dapat memberikan asuhan
dalam mengoptimalkan dengan membantu penyembuhan pasien yaitu dengan jalan melakukan
tindakan operasi.

Dokter seharusnya menjelaskan secara lebih rinci dan mendukung pasien agar dapat
mempunyai keyakinan terhadap tindakan yang akan dilakukan untuk pengobatan pasien secara
tindakan operasi. Dokter dapat memberikan informasi dan komunikasi yang baik terhadap pasien.
Pasien berhak memdapatkan penjelasan yang rinci tentang penyakit yang dialaminya, tentang
pemeriksaan yang dilakukan serta tindakan pengobatan yang akan dilakukan atau didapatkan pasien
tersebut.

Dalam suatu dilema etik, tidak ada jawaban yang benar atau salah. Mengatasi dilema etik,
tim kesehatan perlu perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling menguntungkan atau paling
tepat untuk pasien. Kalau keputusan sudah ditetapkan, secara konsisten keputusan tersebut
dilaksanakan dan apapun yang diputuskan untuk kasus tersebut, itulah tindakan etik dalam
membuat keputusan pada keadaan tersebut. hal penting lagi sebelum membuat keputusan dilema
etik, perlu menggali dahulu apakah niat/ untuk kepentingannya siapa semua dilakukan. Apakah
dilakukan untuk kepentingan pasien atau kepentingan asuhan. Niat inilah yang berkaitan dengan
moralitas etis yang dilakukan.
ISU-ISU ETIK DAN HUKUM DALAM PELAYANAN Nama : dr. Wendy Ardiansyah
KEDOKTERAN NPM : 2307601020009
Pengajar : Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp.F
Prodi : Ilmu Penyakit Dalam

A. Kasus
Seorang pasien wanita, usia 20 th datang ke klinik dengan keluhan utama ingin
menggugurkan kandungannya. Usia kehamilannya 10 minggu. Pasien tersebut masih kuliah dan
belum menikah. Pasien mengaku dipaksa berhubungan badan dengan pacarnya di hotel. Pasien
merasa sangat sedih dan takut setelah kejadian tersebut. Saat itu dokter langsung menolak
permintaan pasien untuk menggugurkan kandungannya karena bertentangan dengan kode etik
kedokteran dan sumpah dokter.

B. Sudut Pandang dari Segi Etik dan Hukum dalam Pelayanan Kedokteran
Masalah etika dalam kedokteran klinis adalah pelanggaran etik, masalah etik serta keputusan
etik. Pelanggaran etik dapat bersifat medis atau non medis. Tindakan medis yang menyimpang
dari sumpah dan kode etik kedokteran termasuk bersifat medis. Sedangkan pelecehan seksual,
penipuan, kekerasan dan lain-lain termasuk bersifat non medis. Faktor-faktor yang berpotensi
menimbulkan masalah etik yaitu indikasi medis, pilihan pasien, kualitas hidup pasien dan faktor
eksternal (psikis,sosial, adat, budaya dan ekonomi). Indikasi medis seringkali bertentangan
dengan salah satu atau lebih dari faktor-faktor yang lain.
Isu etik kedokteran dan hukum mengenai tindakan aborsi menjadi topik yang menarik untuk
saya angkat dalam tulisan ini. Menurut bahasa latin aborsi berasal dari kata abortio
ialah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur pada umur di mana janin itu belum
bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Secara medis aborsi berarti pengeluaran
kandungan sebelum berumur 24 minggu dan mengakibatkan kematian. Tindakan aborsi
merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memperihatinkan. Keprihatinan itu
bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan
efek negatif baik untuk diri pelaku maupun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena
aborsi menyangkut norma, moral serta hukum suatu kehidupan bangsa.
Topik mengenai aborsi bukanlah hal yang tabu untuk dibicarakan saat ini. Hal ini
dikarenakan aborsi dapat terjadi dimana-mana serta bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan.
Tindakan aborsi bisa dilakukan oleh para remaja atau orang dewasa yang terlibat pergaulan
bebas. Namun tidak sedikit juga banyak orang dewasa yang merasa terbebani lahirnya anak
bahkan ada pasangan yang membuang janin yang masih dalam kandungan tanpa pertimbangan
nurani manusia.
Pengaturan tindakan aborsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan
tegas melarang aborsi dengan alasan apapun. Sementara dalam Undang-Undang Kesehatan
nomor 17 tahun 2023 yang terbaru pada pasal 429 menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan aborsi atas indikasi medis maupun adanya korban perkosaan tidak bisa
dipidana. Hal tersebut juga bertentangan dengan kode etik kedokteran dan sumpah dokter yang
mana akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Hingga saat ini masih ada perdebatan mengenai persepsi atau pemahaman tentang isi
dari Undang-Undang Kesehatan yang terbaru. Hal tersebut akan menimbulkan permasalahan
yang kompleks dan akan membuat banyak timbul praktik aborsi yang dilakukan baik oleh tenaga
medis. Dalam memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu dilihat
kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Aborsi pada umumnya dianggap
oleh masyarakat sebagai tindak pidana. Namun dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi
pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan abortus provocatus medicalis.
Sedangkan aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai abortus
provocatus criminalis. Masih terdapat perdebatan dan pertentangan mengenai undang-undang
yang ada sampai saat ini. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Kesehatan,
Peraturan Pemerintah Kode Etik Kedokteran, Sumpah Dokter maupun peraturan perundang-
undangan terkait lainnya.
Mengenai legalisasi terhadap korban perkosaan dan legalisasi aborsi di Indonesia masih
menuai berbagai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Masyarakat yang pro menilai aborsi yang
dilakukan oleh korban perkosaan merupakan hal yang bisa dilakukan jika memang nantinya anak
yang dilahirkan akan membawa tekanan psikis terhadap wanita tersebut dan aborsi sah saja
dilakukan karena memang tidak merugikan orang lain karena yang merasakan sakit adalah
wanita tersebut. Sedangkan janin yang timbul karena perkosaan tidaklah bersalah dan tetap
mempunyai hak untuk hidup dan dilindungi. Anak tersebut harus tetap dilahirkan, dan kalau
memang anak tersebut akan mengingatkan ibu pada perkosaan anak tersebut bisa dijauhkan
dari ibu. Mengenai legalisasi aborsi, menurut pandangan masyarakat tidak boleh dilakukan
kecuali karena indikasi kedauratan medis, karena janin di dalam kandungan punya hak untuk
hidup dan jika aborsi dilegalkan maka akan menggeser norma dalam masyarakat.
Ketika berbicara mengenai aborsi tentu erat kaitannya dengan tenaga kesehatan terutama
dokter selaku yang melakukan aborsi terhadap pasiennya. Sebelum menerima gelar dokter akan
mengucapkan lafal sumpahnya yang berbunyi; ”saya akan menghormati hidup insani mulai dari
saat pembuahan” ada yang menyebutkan bahwa sejak 1983 lafal tersebut telah diubah oleh World
Medical Associaltion (WMA) menjadi ”sejak kehidupan itu mulai”. Undang-Undang tentang
Kesehatan yang terbaru memberikan penegasan mengenai pengaturan pengguguran
kandungan (abortus provocatus). Tetapi perubahan ini belum atau tepatnya tidak
diberlakukan di Indonesia sampai pada saat ini, sehingga lafal Sumpah Dokter kita masih tetap
seperti setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani
dalam buku Kode Etik Kedokteran Indonesia yang diterbitkan oleh Ikatan Dokter Indonesia,
disebutkan dalam bagian penjelasan Pasal 10 yakni: Seorang dokter tidak boleh melakukan
abortus provocatus dan euthanisia. Pada bagian lain dari penjelasan itu juga disebutkan
bahwa aborsi provocatus dapat dibenarkan sebagai pengobatan, apabila merupakan satu-
satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya maut (aborsi provokatus therapeuticus). Jadi
etika kodokteran sendiri memang sudah tidak mengizinkan para dokter di Indonesia untuk
melakukan aborsi kecuali atas indikasi kedaruratan medis.
Prinsip Etika Profesi

Tugas Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp. F

Nama : dr. Misbah

NPM : 2307601020003

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Tugas : Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp.F

Prinsip etika profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama yaitu prinsip autonomi,
beneficence, non-maleficence dan justice. Beneficence dan non maleficence adalah dua prinsip
umum etik kedokteran yang seringkali berhubungan, karena prinsipnya dalam berbuat baik dan
tidak merugikan. Beneficence dan non maleficence, bila dilaksanakan dengan benar sudah
menggambarkan kompetensi klinik, sedangkan autonomy dan justice adalah gambaran niat, sikap
dan perilaku dokter dalam menyampaikan kompetensi klinis tersebut secara manusiawi, yang
merupakan ciri kompetensi etik.

Beneficence adalah prinsip bioetik dimana seorang dokter melakukan suatu tindakan untuk
kepentingan pasiennya dalam usaha untuk membantu mencegah atau menghilangkan bahaya atau
hanya sekedar mengobati masalah-masalah sederhana yang dialami pasien. Lebih
khusus, beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik, menghormati
martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Point
utama dari prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa seorang dokter harus
mengambil langkah atau tindakan yang lebih bayak dampak baiknya daripada buruknya sehingga
pasien memperoleh kepuasan tertinggi.

Prinsip non maleficence mewajibkan dokter untuk melakukan tindakan yang aman dan tidak
merugikan pasien. Non-maleficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter tidak melakukan
suatu perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien. Dokter haruslah memilih tindakan
yang paling kecil resikonya. “Do no harm” merupakan point penting dalam prinsip non-
maleficence.

Contoh kasus seorang nenek umur 70 tahun berobat ke praktek dokter penyakit dalam
dengan keluhan nyeri kepala, nyeri lutut, nyeri perut dan tidak bisa tidur. Pasien berobat dibawa
oleh tetangga dikarenakan anak pasien yang tinggal berjauhan. Selama ini pasien tinggal seorang
diri. Dokter melakukan anamnesa singkat dan langsung memberikan obat omeprazole, antasida,
sucralfat sirup, natrium diclofenac, metilprednisolon, cefixime, alprazolam, ranitidine,
mecobalamin, glukosamin dan b complex.

Dikarenakan pasien terlalu banyak, dokter tidak melakukan anamnesa lengkap dan tidak
melakukan pemeriksaan fisik. Dokter langsung memberikan resep tanpa pemeriksaan fisik lengkap.
Dokter tidak mencari penyebab permasalahan pada pasien tersebut. Padahal jika ditinjau lebih baik,
dokter bisa mendapatkan inti permasalahan yang dihadapi pasien. Jika dokter memeriksa pasien
secara rinci, bisa jadi keluhan yang pasien rasakan hanya psikosomatis dikarenakan kurangnya
perhatian dari anak- anak. Dan tidak perlu meresepkan banyak obat. Dokter sudah melanggar
prinsip beneficence dan non maleficence. Dokter memberikan obat berlebihan tanpa indikasi yang
jelas. Polifarmasi harusnya sangat diperhatikan untuk pasien lansia. Memberikan obat haruslah
rasional yaitu obat yang digunakan sesuai dengan kebutuhan medis, dengan dosis yang tepat, pada
waktu yang tepat, dan untuk jangka waktu yang sesuai dengan kondisi pasien.

Pemberian obat atau pemeriksaan yang tidak diperlukan pasien akan berdampak negatif bagi
kondisi pasien, dan juga bertentangan dengan prinsip beneficence dan non-maleficence. Pemberian
obat yang tidak dibutuhkan berisiko menyebabkan efek negatif, baik dalam hal reaksi obat yang
tidak terduga, interaksi obat, penurunan efektivitas pengobatan, dan peningkatan resistensi obat
tertentu. Pemberian obat yang tidak diperlukan dapat merugikan pasien dari segi ekonomi, termasuk
biaya dan waktu.
Pada kasus diatas, harusnya dokter membatasi pasien perharinya agar pelayanan terhadap
pasien dapat dilakukan secara komprehensif. Dokter juga harusnya lebih memperhatikan indikasi
obat yang diresepkan. Obat yang diberikan dapat menyebabkan efek samping yang mungkin
memerlukan obat resep lain untuk mengatasinya. Prinsip beneficence dan non maleficence haruslah
dimiliki seorang dokter. Sebagai dokter yang baik haruslah memiliki niat memberikan manfaat dan
menjauhkan mudharat.
PASIEN MEMILIKI HAK, DOKTER HARUS MENGHORMATI
Tugas Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp. F

Nama : dr. Randika Gundra Pratama


NPM: 2307601020006
Prodi: Ilmu Penyakit Dalam

Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat manusia, sudah dikenal hubungan
kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan
ini disebut hubungan kesepakatan terapeutik antara dokter dan penderita (pasien) yang dilakukan
dalam suasana saling percaya mempercayai serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan, dan
kekhawatiran makhluk insani.
Didalam kaidah sadar bioetik terkandung prinsip-prinsip dasar bioetik yang harus selalu
diperhatikan. Terdapat 4 prinsip yang senantiasa harus dipegang oleh seorang dokter yaitu :
a. Beneficence
b. Non-Maleficence
c. Autonomy
d. Justice
Dalam hal ini, penulis fokus kepada prinsip autonomy. Dalam prinsip autonomy ini, seorang
dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia, terutama hak untuk menentukan nasibnya
sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sesuai dengan
keinginannya sendiri. Apa yang menjadi keputusan pasien atas prinsip autonomy harus dihormati.
Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien tersebut tertuang dalam pasal 7c KODEKI. Namun,
perlu diperhatikan juga, penerapan prinsip ini dibutuhkan pada pasien yang masih atau mampu
berkomunikasi dan pasien dewasa guna menyetujui ataupun menolak tindakan atau perlakuan medis
terhadap dirinya.
Pasien dapat menyetujui suatu tindakan medis secara tertulis melalui informed consent.
Namun perlu diingat, informed consent ini menyaratkan bahwa pasien harus terlebih dahulu
menerima dan memahami informasi yang akurat tentang kondisi dirinya, jenis Tindakan apa yang
akan dilakukan, resiko apa saja yang dapat terjadi, dan manfaat apa yang diharapkan didapat dari
tindakan medis tersebut. Secara legal, informed consent menandakan bahwa pasien telah
mendapatkan informasi yang relevan baginya untuk bisa mengambil keputusan dan bahwa mereka
telah memberikan izin bagi pelayan kesehatan untuk melakukan tindakan medis.
Informed consent harus dibuat berdasarkan autonomy pasien, dengan kebebasan tanpa atau
tidak dibawah tekanan atau paksaan dan informasi yang diberikan adalah benar, dia mengerti dan
secara sadar memberikan wewenang tersebut. Sebaliknya jika pasien mengerti, berdasarkan
otonominya, dan secara sadar namun menolak memberikan persetujuan, maka pasien memberikan
informed refusal. Maka, tidak boleh ada intervensi medis apapun bagi pasien yang kompeten tanpa
adanya persetujuan pasien tersebut setelah ia mendapatkan informasi medis yang ia butuhkan.
Sebagai contoh, seorang pasien datang dengan luka di kaki nya yang semakin meluas dan
bernanah. Luka tersebut didapatkan saat ia bekerja disawah 1 minggu sebelumnya. Dari hasil
pemeriksaan, luka pasien sudah digolongkan dalam luka infeksi disertai simptom yang ada pada diri
pasien. Tindakan seharusnya yang diberikan yaitu tatalaksana medikamentosa dan melakukan
pembersihan dan perawatan luka pasien.
Namun, setelah dokter menjelaskan tindakan yang dilakukan, resiko yang dapat terjadi serta
manfaatnya kepada pasien secara jelas, pasien menolak untuk dilakukan perawatan dan
pembersihan luka kakinya. Pasien juga diberi kesempatan untuk bertanya dan memahami penuh
informasi yang diberikan agar pasien dapat memiliki hak berfikir untuk kepentingan kondisi
medisnya. Jika pasien tetap menolak, maka tindakan medis yang tidak disetujui oleh pasien tersebut
harus dihindari atau tidak boleh dilakukan dengan pertimbangan autonomy pasien terhadap
tubuhnya sendiri yang harus dihormati oleh dokter.
Dalam kasus ini, pasien berhak memperoleh informasi tentang tindakan medis yang akan
dilakukan terhadapnya, resiko yang mungkin terjadi, manfaat dari tindakan medis tersebut. Dokter
memiliki kewajiban memberikan seluruh informasi tersebut dengan sebenar-benarnya tanpa
memberi paksaan atau tekanan terhadap pasien. Jika setelah informasi diberikan, pasien menolak
untuk suatu hal atau tindakan medis dilakukan terhadap dirinya, maka dokter harus menghormati
hak pasien yang menolak tindakan medis atas tubuh pasien sendiri. Hal tersebut termasuk adalam
prinsip etika autonomy.
PEMBAHASAN KASUS KEDOKTERAN BERDASARKAN PRINSIP BIOETIKA

TUGAS DR. dr. Taufik Suryadi, Sp.F

NAMA : dr. PUTRI LIYONI SUCI

NPM : 2307601020001

PRODI : ILMU PENYAKIT DALAM

Dokter Fathima, sebagai dokter jaga di Rumah Sakit Umum Daerah sedang dinas malam di Unit
Gawat Darurat (UGD) pada saat itu. Pukul 03.00 pm datang seorang pasien laki-laki usia 68 tahun bersama
salah seorang keluarganya, dengan keluhan lemas disertai BAB cair dengan frekuensi lebih dari 10 kali
perhari, tidak disertai darah, air lebih banyak dari pada ampas dan sudah dialami 3 hari ini. Disertai dengan
nafsu makan menurun, mual dan nyeri ulu hati. Berdasarkan pemeriksaan dokter Fathima, pasien
dianjurkan untuk dirawat di opname untuk dilakukan pendekatan diagnostik dan tata laksana lanjutan.
Akan tetapi, karena masalah biaya, kartu jaminan kesehatan pasien sudah tidak dibayar selama 5 tahun,
serta alasan tidak ada yang menjaga pasien dirumah sakit, pasien dan keluarganya menolak untuk dirawat.
Akhirnya Dokter Fathimah memberikan obat-obatan yang bisa dibawa pulang dan dikonsumsi dirumah
untuk meringankan gejala yang diderita pasien. Selain itu, pasien juga diberikan nasehat agar minum obat
yang teratur, istirahat yang cukup, jangan banyak pikiran, dan makan-makanan yang tidak pedas dan
makan nasi lembek. Tak lupa demi kemaslahatan pasien dan dokter yang bertugas, Dokter Fathima
memberikan lembaran pernyataan menolak opname untuk ditandatangani oleh dokter, pasien, keluarga
dan perawat yang bertugas saat itu dengan memberikan penjelasan bahwa apabila keadaan pasien
memburuk, itu diluar tanggung jawab dokter

Berdasarkan kasus diatas dapat ditemukan beberapa prinsip bioetik yaitu Beneficence dan
Autonomy. Prinsip pertama yaitu Beneficence yang merupakan prinsip bioetik dimana seorang dokter
melakukan suatu tindakan untuk kepentingan pasiennya dalam usaha untuk mencegah atau menghilangkan
bahaya atau hanya sekedar mengobati masalah-masalah sederhana yang dialami pasien. Dalam kasus
diatas, Dokter Fathimah mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
keburukannya yaitu menganjurkan opname karena hal itu dirasa lebih perlu, dan memberikan obat-obatan
pulang berobat jalan untuk meredakan gejala pasien. Paternalisme atau berkasih sayang dengan tetap
melayani pasien dengan baik walaupun di saat pukul 03.00 pagi dimana waktu orang-orang beristirahat,
namun Dokter Fathimah tetap melayani pasien dengan baik. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan atau
preferensi pasien tidak hanya maksimalisasi terapi tidak hanya memberikan obat-obat pulang juga
memberikan nasihat apa-apa yang bisa mengurangi gejala yang dirasakan oleh pasien. Menghargai hak-hak
pasien secara keseluruhan yaitu dengan menghargai keputusan pasien dan keluarga nya untuk menolak
opname. Selain itu Dokter Fathima juga tidak memandang pasien untuk menguntungkan dokter yaitu
dengan memaksa pasien atau menakut-nakuti pasien untuk di opname karena akan menguntungkan
Dokter Fathima akan dapat jasa lebih besar dibandingkan pasien berobat jalan.

Prinsip bioetik yang kedua yaitu Autonomy, dalam prinsip ini seorang dokter wajib menghormati
hak dan martabat manusia, terutama hak dalam menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk
berpikir secara logis dan membuat keputusan sesuai dengan keinginan sendiri. Pada kasus diatas Dokter
Fathima menerapkan prinsip ini dengan menghargai keputusan pasien dan keluarganya untuk menolak
opname, serta menghargai rasionalitas pasien yaitu dengan alasan menolak opname karena terkendala
biaya, bpjs yang sudah tidak aktif serta tidak ada yang menemani pasien apabila diopname. Autonomy ini
juga berkaitan dengan Informed Consent yang diistilahkan sebagai persetujuan setelah penjelasan. Dalam
hal ini, pasien dan keluarga juga harus menadatangani lembaran penolakan tindakan medis, diketahui oleh
dokter dan juga perawat yang bertugas saat itu. Karena Dokter Fathima sudah memberikan Informasi
terkait keadaan pasien dan tatalaksana yang harus diberikan, pasien dan keluarga mengerti tentang
penjelasan tersebut, namun tetap memilih untuk tidak diopname. Dokter Fathima sangat menghormati
keputusan itu karena setiap manusia yang bebas berhak menentukan sendiri apa yang akan dibuat ataupun
yang tidak dibuat. Selain itu, Gunanya penandatanganan penolakan Informed Consent yaitu untuk
membentengi diri (baik pasien maupun pelayan Kesehatan) melawan paksaan dan penipuan serta campur
tangan pihak ketiga dalam memperkeruh suasana apabila ternyata keadaan pasien memburuk saat
dirumah atau diluar penanganan dokter di Rumah Sakit.
EUTANASIA

Pengajar : Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp.F


Nama: dr. Aulia Rizky Amri

NPM : 2307601020004

Prodi: Ilmu Penyakit Dalam

A. Kasus

Pasien perempuan berusia 45 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran dialami sejak 5
hari yang lalu di ruang intensive care unit RSU. Dan pasien didiagnosis dengan penyakit stroke iskemik,
hipertensi dan diabetes melitus tipe 2. Namun dokter sudah melakukan segala upaya akan tetapi keluarga
pasien meminta untuk diberhentikan segala pengobatan yang diberikan oleh dokter.

B. Segi Pandangan Medis dan Hukum

Euthanasia merupakan suatu kata yang masih terdengar awam dikalangan masyarakat sebab
euthanasia merupakan hal yang statusnya masih ilegal khususnya di Indosesia dan tidak diperbolehkan oleh
pemerintah. Euthanasia sampai saat ini masih merupakan masalah yang menarik untuk dikaji. Istilah
euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Eu-thanatos”. Eu artinya baik, dan Thanatos artinya mati.
Secara keseluruhan kata tersebut dapat diartikan sebagai “kematian yang senang dan wajar” John Suryadi
dan S. Koencoro mengemukakan bahwa menurut arti bahasa euthanasia itu adalah obat untuk mati dengan
tenang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa, euthanasia secara etimologi
berarti mati gampang atau mati mudah. Sedangkan secara terminologi euthanasia berarti tindakan
mengakhiri dengan sengaja kehidupan manusia yang sakit keras atau luka parah dengan kematian yang
tenang dan mudah atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Dengan demikian menurut KBBI euthanasia
yaitu suatu tindakan yang mempermudah seseorang yang sakit keras dan tidak dapat disembuhkan kembali
dengan cara memperingan rasa sakit yang di deritanya secara perlahan dengan cara medis atas dasar rasa
belas kasihan terhadap pasien atas dasar pertimbangan kemansusiaan.

Dari kasus diatas sesuai dalam Kode Etik Kedokteran yaitu pasal 7c bahwa "seorang dokter harus
menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan pasien". Hak pasien yang dimaksud pada pasal tersebut salah satunya adalah hak untuk hidup
dan hak atas tubuhnya sendiri. Tetapi pada pasal 7d menyatakan bahwa "setiap dokter harus senantiasa
mengingat kewajiban melindungi hidup insani". Artinya dalam tindakan medis yang dilakukan oleh dokter
bertujuan untuk memelihara kesehatan kesehatan dan mempertahankan hidup pasien. Sehingga dokter
tidak boleh melakukan tindakan yang tidak memelihara atau mempertahankan hidup pasien salah satunya
adalah Euntanasia.

Terjadi ketidakharmonisan antara pasal 7c dengan pasal 7d Kode Etik Kedokteran Indonesia apabila
dikaitkan dengan Eutanasia, yaitu berdasarkan pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien
untuk dilakukan Eutanasia sesuai dengan hak pasien atas hidup dan tubuhnya sendiri. Menurut pasal 7d
seorang dokter harus memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup seorang pasien.

Beberapa tantangan etika kedokteran meliputi penetapan norma-norma etika


kedokteran, otonomi pasien, janin manusia dan euthanasia. Mengenai kasus euthanasia,
sampai saat ini masih menimbulkan dilema antara etika kedokteran dan problem hidup yang sangat sulit
diselesaikan.

C. Jenis Eutanasia

 Dari segi permintaan :

- Eutanasia volunter

dilakukan oleh petugas medis berdasarkan permintaan pasien sendiri. permintaan ini dilakukan
oleh pasien dalam kondisi sadar dan berulang-ulang tanpa tekanan dari siapapun.

- Eutanasia involunter

dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang tidak sadar. biasanya permintaan untuk
dilakukannya eutanasia ini berasal dari pihak ketiga yaitu keluarga pasien dengan berbagai alasan, antara
lain: biaya perawatan yang mahal sehingga tidak bisa ditanggung lagi oleh keluarga pasien, kasihan
terhadap penderitaan pasien, dan beberapa alasan lainnya.

 Dari segi pelaksanaan

- Eutanasia aktif

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara medis melalui intervensi atau tindakan aktif oleh
seorang petugas medis (dokter), bertujuan untuk mengakhiri hidup pasien, misalnya : memberikan obat
bertakaran tinggi (overdosis) atau cara lain yang dapat mengakibatkan kematian.

- Eutanasia pasif

Menghentikan segala tindakan pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan


hidupnya. Menurut kamus hukum, Eutanasia pasif adalah pihak dokter menghentikan segala obat yang
diberikan kepada pasien, kecuali obat untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atas permintaan
pasien sendiri.

D. SEGI PANDANGAN ISLAM

Pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila penderita dapat diharapkan
kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan
sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para
ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seseorang pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib.
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam media
pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau menggunakan alat
pernafasan bantuan dan peralatan medis dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak
ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana di
fatwakan oleh Syeik Yusuf Al-Qardhawi dalam fatwa Mu'ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni
tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.

Dengan demikian memudahkan proses kematian (tafsir al-maut) semacam ini dalam kondisi sudah
tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma (membiarkan perjalanan menuju kematian
karena belas kasihan), karena dalam kasus ini dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya
bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat
dikenai sanksi hukum menurut syari'at maupun hukum positif (Eutanasia aktif). Tindakan eutanasia pasif
oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan dibenarkan syari'at apabila keluarga pasien
mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.

E. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan diatas, akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan,

Eutanasia adalah tindakan untuk mempercepat kematian seseorang yang sedang dalam keadaan
kesakitan atau menderita penyakit yang sangat berat dan sulit di sembukan bahkan menjelang kematian.
Tindakan ini dilakukan atas dasar permintaan dari pasien atau dari keluarga ataupun dokter. Tindakan
eutanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan dibenarkan syari'at apabila
keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.
Seorang Dokter harus menjaga dan melindungi hidup seseorang insan, Dan dokter dilarang
mengambil sikap eutanasia aktif karena mendapatkan sanksi pidana. Eutanasia aktif ini dikategorikan
perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan diancam oleh Allah SWT.
Prinsip – prinsip Dasar dalam Pemecahan Dilema Etika pada kasus – kasus klinik
Tugas Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp.F

Nama : dr. Prisillia Wizari


NPM : 2307601020007
Prodi : Ilmu Penyakit Dalam

Di dalam kaidah dasar bioetik terkandung prinsip-prinsip dasar bioetik yang harus selalu
diperhatikan adalah empat prinsip etik (beneficence, non-maleficence, auotonomy, dan justice)
yang dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prinsip etik ini dapat bervariasi antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan yang lainnya. Di Indonesia sendiri, ada 4 prinsip berkaitan dengan
bioetik yang harus selalu dipegang oleh seorang dokter. Keempat prinsip tersebut adalah:
1. Beneficence
Beneficence adalah prinsip bioetik dimana seorang dokter melakukan suatu tindakan untuk
kepentingan pasiennya dalam usaha untuk membantu mencegah atau menghilangkan bahaya atau
hanya sekedar mengobati masalah-masalah sederhana yang dialami pasien. Lebih khusus,
beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Point utama dari
prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil langkah
atau tindakan yang lebih bayak dampak baiknya daripada buruknya sehingga pasien memperoleh
kepuasan tertinggi.
2. Non-maleficence
Non-malficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter tidak melakukan suatu
perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien. Dokter haruslah memilih tindakan yang
paling kecil resikonya. “Do no harm” merupakan point penting dalam prinsip non-maleficence.
Prinsip ini dapat diterapkan pada kasus - kasus yang bersifat gawat atau darurat.
3. Autonomy
Dalam prinsip ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia, terutama
hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat
keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri. Autonomy pasien harus dihormati secara etik, dan di
sebagain besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dibutuhkan
pasien yang dapat berkomunikasi dan pasien yang sudah dewasa untuk dapat menyetujui atau
menolak tindakan medis. Melalui informed consent, pasien menyetujui suatu tindakan medis secara
tertulis.Informed consent menyaratkan bahwa pasien harus terlebih dahulu menerima dan
memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka, jenis tindakan medik yang diusulkan,
resiko, dan juga manfaat dari tindakan medis tersebut.
4. Justice
Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung dalam bioetik. Justice
adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakukan yang adil untuk semua
pasiennya. Dalam hal ini, dokter dilarang membedabedakan pasiennya berdasarkan tingkat
ekonomi, agama, suku, kedudukan sosial, dsb. Diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan
perawatan medis dengan adil agar ada kesamaan dalam perlakuan kepada pasien. Contoh dari
justice misalnya saja: dokter yang harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan seseorang
untuk merawat orang tersebut. Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk
kelayakan minimal dalam memberikan pelayaan medis, harus dinilai juga dari seberapa penting
masalah yang sedang dihadapi oleh pasien. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek dari pasien,
diharapkan seorang dokter dapat berlaku adil.

Berikut contoh penerapan prinsip bioetik yang terkandung dalam kasus ini adalah :
”Seorang dokter yang bertugas saat itu mendahulukan pasien yang di antar oleh banyak
orang dengan kondisi pasien memprihatinkan, dokter pun mempersilahkan pasiennya masuk,
Dokter tersebut terkejut karena serombongan orang memaksa masuk sambil menggotong seorang
pemuda yang lemas. Dokter meminta kesediaan orang yang mengantar pasien untuk menunggu di
luar karena dokter akan lebih dulu memberi pertolongan pada pemuda tersebut.
Pemuda tersebut telapak kaki sebelah kananya tertusuk paku dan mengalami luka robek di
sekitarnya setelah terjatuh dari pohon yang ia panjat. Dokter mendapati bahwa telapak kaki pemuda
tersebut telah tertusuk paku cukup dalam disertai luka robek dengan perdarahan yang banyak dan
terasa nyeri oleh pasien, sehingga dokter harus melakukan tindakan penjahitan luka robek dan
pembersihan luka untuk mengeluarkan paku tersebut. Dokter pun meminta izin kepada salah
seorang perempuan yang ada di dekat si pasien yang merupakan istrinya, dengan terlebih dahulu
memberi penjelasan berkaitan dengan keadaan telapak kaki kanan suaminya dan tindakan yang
harus dilakukan.
Setelah mendapat persetujuan, Dokter melaksanakan proses tindakan. Setelah selesai, ia
melihat kondisi pasien yang baik dan stabil, hingga akhirnya si pasien di perbolehkan pulang
dengan diberi beberapa macam obat dan anjuran agar besok datang kembali untuk control.”

Maka prinsip bioetik dalam kasus ini adalah:


1.Benefience :
 Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
keburukannya : memutuskan untuk melakukan penjahitan luka robek dan pembersihan luka
dari paku tersebut
 Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan pasien : setelah tindakan, dokter tetap memberikan
obat dan meminta agar esok hari pasien datang untuk untuk melakukan kontrol ulang guna
melihat hasil / perbaikan dari pasien
 Minimalisasi akibat buruk : dengan melakukan Tindakan dengan cepat tanggap
 Kewajiban menolong pasien gawat darurat

2.Non-maleficence :
 Menolong pasien emergensi
 Pasien dalam keadaan darurat
 Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
 Manfaat dari pasien lebih banyak daripada kerugian dokter (hanya mengalami risiko
minimal)
 Mengobati pasien yang luka
 Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthansia)
 Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalalaian.

3.Autonomy :
 Menghargi hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
 Berterus terang

4. Justice :
 Bijak dalam makroalokasi : mendahulukan si pasien yang darurat

Anda mungkin juga menyukai