Anda di halaman 1dari 41

Referat Forensik

HUKUM KESEHATAN DAN


HUKUM KEDOKTERAN
Oleh:
Deasy Nataliani, S.Ked Kemala Andini, S.Ked
Dewangga Panji, S.Ked Maulia Sari Khairunnisa, S.Ked
Erika Sandra, S.Ked Odie Devananda, S.Ked
Hestika Deliana, S.Ked Pratika Dea Waryuni, S.Ked

Pembimbing: dr. Indra, Sp.F


DEFINISI
Menurut Prof Dr. H.J.J Leenen,
Hukum kesehatan  suatu bidang hukum yang mencakup seluruh aturan
hukum yang berhubungan langsung dengan bidang pemeliharaan kesehatan/
pelayanan kesehatan dan penetapan dari hukum perdata, hukum administrasi
dan hukum pidana dalam hubungan tersebut.
Hukum Kedokteran  ketentuan-ketentuan hukum yang menyangkut bidang
medis baik profesi medis dokter maupun tenaga medis dan para medis
lainnya. Hukum Kedokteran dalam arti sempit yaitu ketentuan-ketentuan
hukum yang hanya berkaitan dengan profesi dokter saja, dan biasa disebut
dengan Hukum Profesi Dokter.
Hukum Kedokteran
 Hukum Kedokteran akan membahas hubungan dokter dengan pasien,
dimana dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan kepada pasien,
sedangkan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh dokter.
 Hubungan hukum antara dokter dan pasien dapat terjadi melalui dua
bentuk, yaitu:
 Berdasarkan persetujuan
 Berdasarkan undang-undang
Hukum Kedokteran dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
 Hukum Kedokteran dalam arti luas (medical law)
 ketentuan-ketentuan hukum yang menyangkut bidang medis baik
profesi medis dokter maupun tenaga medis dan para medis lainnya.
 Hukum Kedokteran dalam arti sempit (artzrecht)
 ketentuan-ketentuan hukum yang hanya berkaitan dengan perofesi
dokter saja, dan biasa disebut dengan Hukum Profesi Dokter.
Hubungan antara Dokter dan Pasien
(Transaksi Terapeutik)
Pengertian Perjanjian Terapeutik menurut Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor 434/Men.Kes/X/1983
 hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling
percaya (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan,
dan kekhawatiran mahkluk insan.

Syarat sahnya perjanjian terapeutik dalam Pasal 1320 KUHPerdata:


 Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya
 Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan
 Mengenai suatu hal tertentu untuk suatu sebab yang halal / diperbolehkan
Tiga pola hubungan hubungan dokter dan pasien:
 Activity – passivity
 Disini Dokter seolah-olah dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa
campur tangan pasien dengan suatu motivasi altruistis.
 Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya
terancam, atau sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.
 Guidance-Cooperation
 Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat.
 Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta kemauan
sendiri, ia berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerja
sama.
 Mutual participation
 Hubungan ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya seperti
medical check up atau pada pasien penyakit kronis.
 Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya.
II. Dokter dan Pasien
A. Definisi
 Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran Pasal 1 (satu)
Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi,dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi
baik di dalam maupun di luar negri yang diakui oleh Pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
 Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran, Pasal 1 (satu)
Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperolah pelayanan kesehatan yang diperlukan
secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
B. Hak dan Kewajiban Dokter
 Hak Dokter Sesuai undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktek Kedokteran Pasal 50:
 Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional.
 Memberikan pelayanan menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional.
 Memperolah informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya.
 Menerima imbalan jasa.
B. Hak dan Kewajiban Dokter
 Kewajiban Dokter Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran Pasal 51:
 memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
 merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan
 merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien tersebut meninggal dunia;
 melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
 menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi
C. Hak dan Kewajiban Pasien

 Hak Pasien Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang


Praktek Kedokteran Pasal 52:
 Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
 Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
 Menolak tindakan medis
 Mendapatkan isi rekam medis
C. Hak dan Kewajiban Pasien

 Kewajiban Pasien Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004


tentang Praktek Kedokteran Pasal 53:
 Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
 Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
 Mematuhi ketentuan yang berlaku di dalam sarana pelayanan kesehatan
 Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
III. Imbalan Jasa Dokter
 Dalam pasal 3 KODEKI dinyatakan bahwa “dalam melakukan pekerjaan
kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang
mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi”.
 Imbalan jasa untuk dokter secara garis besar berpedoman pada:
 Kemampuan pasien/keluarga: dinilai dari latar belakang sosioekonomi
pasien, kelas ruang rawat di rumah sakit, dan apakah ditanggung oleh
asuransi atau perusahaan tempat pasien bekerja.
 Sifat pertolongan yang diberikan: pelayanan kedokteran yang memerlukan
alat-alat yang canggih tentu memerlukan biaya yang lebih besar. imbalan
jasa diperingan atau dibebaskan pada pertolongan pertama pada
kecelakaan. Imbalan jasa dapat pula ditambah jika dokter dipanggil ke
rumah pasien.
 Waktu pelayanan: pada hari libur atau pada malam hari imbalan dokter
dapat ditambahkan. Sebaliknya, pasien yang dirawat terlalu lama di rumah
sakit, imbalan jasa sewajarnya dikurangi.
IV. Rekam Medis
Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis / Medical
Record.
Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien.

Pasal 13 Permenkes Rekam Medis menyatakan : Rekam medis dapat dipakai


sebagai :
 Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;
 Alat bukti dalam proses penegakan hukum;
 Keperluan penelitian dan pendidikan;
 Dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan.
 Data statistik kesehatan.
V. Informed Consent (Persetujuan
Tindakan Medik)
Menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989,
Persetujuan Tindakan Medik adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
V. Informed Consent (Persetujuan
Tindakan Medik)
 Fungsi dari Informed Consent :  Tujuan dari Informed Consent:

 Promosi dari hak otonomi perorangan;  Yang bertujuan untuk penelitian (pasien
diminta untuk menjadi subyek
 Proteksi dari pasien dan subyek;
penelitian).
 Mencegah terjadinya penipuan atau
 Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
paksaan;
 Yang bertujuan untuk terapi.
 Menimbulkan rangsangan kepada profesi
medis untuk mengadakan introspeksi
terhadap diri sendiri;

 Promosi dari keputusan-keputusan rasional;

 Keterlibatan masyarakat (dalam


memajukan prinsip otonomi sebagai suatu
nilai social dan mengadakan pengawasan
dalam penyelidikan biomedik.
VII. Surat-Surat Keterangan Dokter

Sebagai pedoman dalam memberikan surat-surat keterangan dokter,


digunakan:
 BAB I Pasal 7 KODEKI: “Seorang dokter hanya memberi keterangan dan
pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”.
 BAB II Pasal 12 KODEKI: “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien
meninggal dunia”.
 Paragraf 4, Pasal 48 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran: kepentingan
kesehatan pasien, rahasia kedokteran hanya dapat dibuka untuk memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum, atas permintaan pasien atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
VIII. Malpraktik Kedokteran

 Malapraktik berasal dari kata “mal” yang artinya salah dan “praktik” yang artinya
tindakan. Jadi secara harfiah malpraktik berarti tindakan yang salah.
 Malpraktik medis adalah isu medico-legal, tentang kerugian atau cidera yang
dialami pasien dan disebabkan oleh atau terkait dengan sistem pelayanan
kesehatan ditempat ia mendapat asuhan klinis.
VIII. Malpraktik Kedokteran

 Aspek Hukum Malpraktik


Pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP sudah lazim digunakan untuk
mendakwa dokter atas dugaan malprakek kedokteran, selanjutnya pasal
359 jika ada kematian dan pasal 360 jika ada luka.
 Unsur-unsur dalam pasal 360 ayat 1 yakni :
 Adanya kelalaian
 Adanya wujud perbuatan
 Adanya akibat luka berat
 Adanya hubungan causal antara luka berat dengan wujud perbuatan
VIII. Malpraktik Kedokteran

 Jenis-jenis Malpraktik Medik


A. Malpraktik Etik
Malpraktik etik  dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
kedokteran. Sedangkan Etika Kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku
untuk dokter.
VIII. Malpraktik Kedokteran

 Jenis-jenis Malpraktik Medik


B. Malpraktik Yuridis
 Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum sehingga
menimbulkan kerugian kepada pasien.
 Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice)
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat
akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hatihati. Atau kurang cermat
dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia
atau cacat tersebut.

 Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)


VIII. Malpraktik Kedokteran

 Jenis-jenis Malpraktik Medik


B. Malpraktik Yuridis
 Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)
Malpraktik administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktek dokter tanpa izin praktek, melakukan tindakan
yang tidak sesuai dengan izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang
sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
XII. Reproduksi Manusia
 Abortus
 Kontrasepsi
 Teknologi Reproduksi Buatan
 Seleksi Kelamin Anak
 Rekayasa Genetik
 Klonasi pada Manusia
 HIV dalam Kehamilan
X. Euthanasia
 Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu
berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati.
 Euthanasia sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, akan tetapi
untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang
menghadapi kematiannya.
 Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”
 Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang
dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah”
X. Euthanasia
 Jenis-Jenis Euthanasia
 Euthanasia Aktif
 Perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup
pasien yang dilakukan secara medis.
 Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat
dan mematikan.
 Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera
mematikan.

 Euthanasia Pasif
 Perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan
yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia.
 Di lakukan bila penderita gawat darurat tidak diberi obat sama sekali,
sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan
dihentikan.
X. Euthanasia
 Jenis-Jenis Euthanasia
 Euthanasia Volunteer
 Euthanasia volunter (Euthanasia secara sukarela) adalah penghentian
tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri.
 Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari
pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.

 Euthanasia Involunteer
 Dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin
untuk menyampaikan keinginannya.
 Dalam hal ini dianggap keluarga pasien yang bertanggung jawab atas
penghentian bantuan pengobatan.
X. Euthanasia
 Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun”
 Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang
dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah”
 Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia
tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri.
XI. Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh

 Transplantasi menurut UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Bab I


Pasal I Ayat 5 adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ
atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh
sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau
jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
XI. Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh

 Berdasarkan sifat pemindahan organ atau jaringan tubuh yang dipindahkan ke


tubuh yang lain, transplantasi dibedakan atas:
 Autograft
Pemindahan organ jaringan atau organ dari satu tempat ke tempat lain dalam
tubuh pasien sendiri. Misalnya, operasi bibir sumbing, misalnya dari
pantatnya atau dari pipinya.
 Allograft
Pemindahan jaringan atau organ dari tubuh ke tubuh yang lain yang sama
spesiesnya, yakni antara manusia dengan manusia.
 Xenograft
Pemindahan jaringan atau organ dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak
sama spesiesnya, misalnya anatar spesies manusia dengan binatang. Yang
sudah terjadi contohnya pencangkokan hati manusia dengan hati baboon,
meskipun tingkat keberhasilannya masih kecil.
XI. Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh
 Transplantasi menurut UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Bab I Pasal I Ayat 5 adalah rangkaian tindakan medis untuk
memindahkan organ atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk
menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
 Berdasarkan sifat pemindahan organ atau jaringan tubuh yang dipindahkan ke tubuh yang lain, transplantasi dibedakan
atas:
 Autograft, yaitu:
 Pemindahan organ jaringan atau organ dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh pasien sendiri. Misalnya, operasi bibir
sumbing, misalnya dari pantatnya atau dari pipinya.
 Allograft, yaitu:
 Pemindahan jaringan atau organ dari tubuh ke tubuh yang lain yang sama spesiesnya, yakni antara manusia dengan
manusia.
 Transplantasi ‘allograft’ yang sering terjadi dan tingkat keberhasilannya tinggi antara lain: transplantasi ginjal, dan kornea
mata. Di samping itu juga sudah terjadi transplantasi hati, meskipun keberhasilannya belum tinggi.
 Xenograft, yaitu:
 Pemindahan jaringan atau organ dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama spesiesnya, misalnya anatar spesies manusia
dengan binatang. Yang sudah terjadi contohnya pencangkokan hati manusia dengan hati baboon, meskipun tingkat
keberhasilannya masih kecil.
 Dari sudut penerima transplantasi dapat dibedakan menjadi:
 Auto-transplantasi, yaitu: Pemindahan suatu jaringan atau organ untuk ke tempat lain dari tubuh orang itu sendiri.
 Homo-transpalantasi, yaitu: Pemindahan suatu organ atau jaringan dari tubuh seseorang ke tubuh orang lain.
 Hetero transplantasi, yaitu: Pemindahan suatu jaringan atau organ dari suatu spesies ke tubuh spesies lainnya.
Hukum Kesehatan
Definisi Hukum Kesehatan
 Menurut PERHUKI (Perhimpunan  Menurut Rumusan Tim Pengkajian
untuk Hukum Kedokteran Indonesia), Hukum Kesehatan BPHN Depkes RI
Hukum Kesehatan adalah semua Hukum Kesehatan adalah ketentuan-
ketentuan hukum yang berhubungan ketentuan hukum yang mengatur tentang
langsung dengan hak dan kewajiban, baik dari tenaga
kesehatan dalam melaksanakan upaya
pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan kesehatan maupun dari individu atau
penerapannya serta hak dan kewajiban masyarakat yang menerima upaya
baik dari perorangan dan segenap kesehatan tersebut dalam segala
lapisan masyarakat sebagai penerima aspeknya yaitu aspek promotif, preventif,
pelayanan kesehatan maupun dari pihak kuratif, rehabilitatif dan diperhatikan pula
penyelenggara pelayanan kesehatan aspek organisasi dan sarana. Pedoman-
pedoman medis internasional, hukum
dalam segala aspek organisasi, sarana, kebiasaan dan hukum otonom di bidang
pedoman-pedoman medik, ilmu kesehatan, ilmu pengetahuan dan literatur
pengetahuan kesehatan dan hukum medis merupakan pula sumber hokum
serta sumber-sumber hukum lainnya. kesehatan.”
Landasan Hukum Kesehatan

 Hermien Hadiati Koeswadji (1998), menyatakan pada asasnya hukum


kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak
dasar sosial (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar
individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to information) dan
hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).
 Roscam Abing (1998) mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk
sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan
mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan
dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya..
Batasan Hukum Kesehatan
 Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan
langsung pada pemberian layanan kesehatan dan penerapannya pada
hubungan perdata, hokum administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan
disini tidak hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan,
hukum yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan & kepustakaan dapat juga
merupakan sumber hukum.
 Sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis,
yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan
mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.
Sumber Hukum Kesehatan
Bentuk hukum tertulis atau peraturan undang- Peraturan-peraturan daerah yang terkait
undang mengenai hukum kesehatan diatur
dalam: dengan kesehatan, misalnya :
 Undang-Undang  Peraturan Daerah (Perda)
 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang  Keputusan Gubernur, Wali Kota atau
Praktik Kedokteran
Bupati
 (selanjutnya disebut UU No. 29 Tahun 2004).
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang  Keputusan Kepala Dinas Kesehatan
Kesehatan (selanjutnya disebut UU No. 36 Tahun
2009).
 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (selanjutnya disebut UU No. 44
Tahun 2009).
 Peraturan Pemerintah.
 Keputusan Presiden.
 Keputusan Menteri Kesehatan.
 Keputusan Dirjen/Sekjen.
 Keputusan Direktur/Kepala Pusat.
Ruang Lingkup Hukum Kesehatan
 Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan disebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spiritual maupun social yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
 Hukum kesehatan memiliki cakupan yang lebih luas daripada hukum
medis (medical law). Hukum kesehatan meliputi, hukum medis (medical
law), hukum keperawatan (nurse law), hukum rumah sakit (hospital law),
hukum pencemaran lingkungan (environmental law) dan berbagai macam
peraturan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan manusia.
Pokok-pokok Pengaturan Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Problematikanya
 Upaya Kesehatan
Menurut UU No. 36 Tahun 2009, upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk
pemeliharaan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat.
 Kegiatan-kegiatan penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan
sebagai berikut :
 pelayanan kesehatan;  pelayanan kesehatan pada bencana;

 pelayanan kesehatan tradisional;  pelayanan darah;

 peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;  kesehatan gigi dan mulut;

 penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan


 penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
pendengaran;
 kesehatan reproduksi;  kesehatan matra;
 keluarga berencana;  pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;

 kesehatan sekolah;  pengamanan makanan dan minuman;

 kesehatan olahraga;  pengamanan zat adiktif; dan/atau

 bedah mayat.
Pokok-pokok Pengaturan Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Problematikanya

 Pengaturan berkaitan dengan tenaga kesehatan


 Tenaga kesehatan juga merupakan salah satu faktor yang memiliki peran
pentingdalam pelaksanaan penyelenggaraan kesehatan.
 Tanpa adanya tenaga kesehatan, mustahil penyelenggaraan kesehatan
akan terlaksana.
 Dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 dimaksud sebagai tenaga
kesehatan adalah: “setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”

Pokok-pokok Pengaturan Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Problematikanya

 Pengaturan berkaitan dengan sarana kesehatan


 Pengertian umum mengenai sarana kesehatan tidak disebut secara tegas
dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
 Namun disebutkan tentang penempatan jumlah tenaga kesehatan
dengan pemerataan sarana pelayanan kesehatan.
Pokok-pokok Pengaturan Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Problematikanya

 Pengaturan berkaitan dengan Obat dan Alat Kesehatan


 Pengaturan tentang Obat
Berkaitan dengan sediaan farmasi adalah bahan obat, obat tradisional,
dan kosmetika.
 Pengaturan tentang Alat Kesehatan
Dalam Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tentang
ketentuan umum disebutkan bahwa alat kesehatan merupakan sumber
daya di bidang kesehatan.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai