Anda di halaman 1dari 105

Laporan Belajar Mandiri

Minggu 5 Blok 3.2

oleh :
Kelompok 4 A :
Yasmin Nasywa 1810312062
Kamal Fariz 1810312061
Arifannisa Amril 1810311015
Nugraha Nata Guna 1810313042
Annisa Fitria Puja 1810312109
Habib El Binampiy Busnia 1810313039
Rahimi Ramadhani 1810311021
Faris Hadi Asri 1810312093
Suci Rahmayeni 1810313041
Claudia Novi Wijaya 1810312031

Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran


Universitas Andalas
MODUL 5
SKENARIO 5: Ani dan Kenalan Barunya
Ani, 17 tahun dirujuk dari Faskes 1 ke Faskes 2 dengan keluhan melihat ganda dan
kelopak mata sulit untuk dibuka terutama setelah pulang sekolah, dan keluhan membaik setelah
beristirahat. Dari pemeriksaan didapatkan keadaan umum sedang, sadar dan kooperatif. Test
Wartenberg (+) dan counting test juga positif. Kemudian dilakukan pemeriksaan X-Ray Thorax
dan hasilnya dalam batas normal. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, dokter di Faskes 2
merujuk Ani ke Faskes 3 untuk dilakukan beberapa pemeriksaan untuk memastikan diagnosis.
Sesampai di Faskes 3, Ani dianjurkan untuk pemeriksaan EMG dan pemeriksaan CT Thorax.
Saat Ani di periksa di Faskes 3, bersamaan dengan Ani datang juga Yanto, 20 tahun
untuk kontrol setelah pulang rawatan. Yanto mengalami kelemahan kaki kanan setelah kena
tusuk di punggung bagian kanan. Selain kaki kanannya lemah, Yanto juga kehilangan sensasi
rasa, kira-kira mulai dari setinggi pusar kiri sampai ke bawah ke kaki kiri, sedangkan kaki kanan
yang lemah itu sensasinya baik, ada rasa baal hanya di selingkar pusar bagian kanan saja. Ani
bertanya kepada dokter apakah penglihatannya dapat pulih seperti semula. Sebagai calon dokter,
jelaskanlah apa yang terjadi pada Ani dan Yanto !

STEP 1 Terminologi

1. Counting Test : pasien dimanta hitung 1 – 10 secara keras, biasanya digunakan untuk
menhitung kapasitas paru pasien.
2. Test Wertenberg : suatu pemeriksaan bertujuan kelemahan otot setelah pemeriksan
istirahat dikatakan positif jika kelopak mata atas turun.
3. Pemeriksaan EMG : Pemeriksaan elektromiografi untuk memeriksa saraf perifer dan otot
dengan melakukan aktivitas elektrik yang ditimbulkan pada suatu otot akibat kontraksi.
4. Rasa Baal : kondisi tidak dapat merasakan apapun, biasaya disertai rasa kesemutan atau
sensasi rasa terbakar, pada sebagian kasus terjadi pada jari, tangan, kaki, lengan, dan
telapak kaki.

STEP 2 : Rumusan Masalah

1. Mengapa Ani mengeluh keluhan melihat ganda dan kelopak mata sulit untuk dibuka
terutama setelah pulang sekolah, dan keluhan membaik setelah beristirahat?
2. Bagaimana interpretasi pemeriksaan Ani?
3. Mengapa dianjurkan pemeriksaan EMG dan CT thoraks?
4. Bagaimana pemeriksaan Tes Wertenberg dan CT Thoraks, apa pemeriksaan lain? Dan
mengapa dilakukan pemeriksaan?
5. Mengapa Ani dirujuk dari faskes 2 ke faskes 3?
6. Mengapa Yanto mengalami kelemahan kaki kanan setelah kena tusuk di punggung
bagian kanan?
7. Mengapa Yanto kehilangan mati rasa kira-kira mulai dari setinggi pusar kiri sampai ke
bawah ke kaki kiri, sedangkan kaki kanan yang lemah itu sensasinya baik,kenapa ada
rasa baal hanya di selingkar pusar bagian kanan saja?
8. Apa tata laksana pada Ani dan apakah penglihatannya bisa pulih seperti semula?
9. Pemeriksaan apa saja yang dapat menegakkan diagnosis pada Yanto?
10. Bagaimana komplikasi prognosis penyakit Ani dan Yanto?
11. Apa tata laksana terhadap Yanto?

STEP 3 Brainstorming

1. Kemungkinan ada gangguan pada kelopak mata dan otot penggerak bola mata. Bisa
karena ada miopati atau kelemahan pada otot tersebut, bisa juga karena adanya penyakit
neuromuscular
Keluhan melihat ganda  otot penggerak bola mata tidak sinergis, dimana ada salah satu
otot yang melemah, sehingga antara satu mata dengan mata yang lain tidak sama gerakan
matanya, sehingga tempat jatuh cahaya di bola matanya tidak sama  penglihatan ganda
(diplopia)
Kelopak mata sulit dibuka pada saat pulang sekolah  di sekolah aktivitas fisik berat 
otot mata kontraksi lebih banyak sehingga kerjanya lebih keras, sehingga otot tersebut
perlu bahan baku yang banyak untuk potensial aksi, karena kemungkinan ada penyakit
pada neuromuscular  potensial aksi terganggu  kelopak mata saat aktivitas berat sulit
terbuka.
Pada saat istirahat membaik  otot tidak perlu melakukan kerja yang lebih berat,
sehingga keluhan akan membaik.
Jenis diplopia :
a. Diplopia monocular  gangguan penglihatan ganda yang terjadi pada satu mata
b. Diplopia binocular  gangguan penglihatan ganda yang terjadi pada kedua bola
mata.
Penyebab diplopia  astigmatisme (kelengkungan abnormal permukaan depan kornea
mata), keratokonus ( kornea secara bertahap menjadi tipis dan berbentuk kerucut),
pterigyum (kondisi dimana tumbuhnya selapt lendir tipis yang menutupi bagian putih
bola mata, katarak (lensa tidak transparan), dislokasi lensa, kelopak mata bengkak, mata
kering, adanya masa pada retina.
Terjadi kelumpuhan dari nervus okulomotorius  menderita Myasthenia gravis, yaitu
merupakan penyakit autoimun yang menyerang hubungan antara system saraf (nervus)
dan system otot. Ditandai dengan adanya kelemahan otot dan kondisi cepat lelah akibat
adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR).
Pada neuromuscular junction, sel otot dan sel saraf tidak langsung berkontak satu sama
lain, namun ada neurotransmitter yang akan mengantarkan sinyal dari saraf dan otot,
yaitu asetilkolin, yang merupakan pembawa pesan kimiawi yang menghubungkan sel
saraf dan sel otot. Namun pada kasus Myasthenia gravis, jumlah dari reseptor menurun
akibat adanya antibody terhadap reseptor tersebut.
Myasthenia gravis  wanita <40 tahun, laki-laki >60 tahun
2. Dari pemeriksaan didapatkan keadaan umum sedang, sadar dan kooperatif.
Test Wartenberg (+)  Ini terjadi karena kelemahan m. Levator palpebra akan terlihat
bila pasien diminta untuk melihat ke atas selama 1 menit, kelemahan ini akan membaik
setelah pasien diminta untuk menutup mata secara maksimal
Counting test (+)  Kelemahan otot menelan (bulbair palsy), penderita di suruh
menghitung berurutan agak lama, angka-angka (1-50) akan terjadi kelemahan suara jadi
bindeng atau serak (Counting Test positif)
Dilakukan pemeriksaan X-Ray pada toraks  melihat kelainan pada timus, apakah
terdapat tymoma. Kelainan pada timus merupakan factor resiko pada kejadian autoimun.
Myasthenia gravis  timus berukuran abnormal
3. Pemeriksaan EMG dan CT Thorax
 EMG : Elektromiogram (EMG), untuk mengukur aktivitas listrik yang mengalir
dari saraf ke otot. Pada Myasthenia Gravis : Elektromiografi single-fiber : Single-
fiber Electromyography (EMG) merupakan metode yang lebih sensitif dalam
mendeteksi defek pada transmisi neuromuskuler. Pemeriksaan EMG dapat
menunjukkan inkonsistensi pada variasi interval atau blokade total antara unit
motoris dan serabut otot. Kecepatan konduksi saraf dan latensi motoris distal
biasanya masih intak kecuali terdapat polineuropati yang muncul bersamaan.
 CT Thorax : untuk menyingkirkan kemungkinan thymoma dan penyakit lainnya
yang menyertai myasthenia gravis. Hiperplasi limfofolikuler nonneoplastik pada
medulla timus terjadi pada 65%  atau lebih kasus myasthenia gravis, sedangkan
tumor timus terjadi pada 10 sampai 15%  pasien. Presentase ini menunjukkan
adanya hubungan antara organ timus dan terjadinya myasthenia gravis. Secara
struktural, kelainan pada timus mengakibatkan kelainan pada motor endplate.
Luas permukaan membran postsinaptik mengalami reduksi dan synaptic
cleft terkesan melebar tanpa adanya alterasi jumlah dan ukuran vesikel presinaps
serta jumlah neurotransmiter asetilkolin.
4. Pemeriksaan lain:
a. Ice pack ice test
b. Uji neostigmine
c. Pemeriksaan serologi  cek apakah memang ada antibodi terhadap AChR
Tes wertenberg memandang objek di atas bidang di antara kedua bola mata lebih dari 30
detik, jika otot mata melemah maka tes dikatakan positif
Counting test, pasien menghitung 1-20 1x nafas
Tes pita suara, pasien menghitung 1-100, suara akan menghilang secara bertahap 
dikatakan positif.
5. Faskes 1  puskesmas, klinik, atau dokter umum (faskes primer)
Faskes 2  pelayanan kesehatan spesialistik oleh dokter spesialis
Faskes 3  Rumah Sakit Umum
Dilakukan rujukan :
a. Pasien membutuhkan pelayanan spesialistik.
b. Keterbatasan alat maupun tenaga medis.
Faskes 1  anamnesis (curiga Myasthenia Gravis ), dirujuk ke faskes 2  pemeriksaan
fisik (wartenberg + dan counting test +) tetapi X ray normal (mungkin timoma tidak
terdeteksi), dirujuk ke faskes 3  CT scan, EMG, pemeriksaan darah, pemeriksaan
antibodi anti asetilkolin reseptor.
6. Cedera medulla spinalis/saraf tulang belakang merupakan salah satu jenis cedera fisik
yang sangat serius, dan dampaknya bisa bersifat jangka panjang. Informasi dari otak ke
seluruh bagian tubuh atau sebaliknya, akan terganggu bila terdapat cedera pada saraf
tulang belakang. Hal ini dapat menimbulkan penurunan kemampuan tubuh dalam
bergerak (motorik) dan merasa (sensorik), baik pada sebagian anggota tubuh maupun
seluruhnya.
Dampak cedera saraf tulang belakang bergantung pada derajat kerusakan yang terjadi.
Pada cedera ringan, mungkin gangguan pada saraf sensorik dan motorik belum terjadi.
Namun pada cedera saraf tulang belakang yang berat, dapat terjadi kerusakan saraf yang
menyebabkan kelemahan, mati rasa, hingga kelumpuhan pada bagian tubuh.
Cedera saraf tulang belakang bagian bawah, misalnya pada tingkat dada atau pinggang,
dapat menyebabkan kelumpuhan pada kedua tungkai kaki. Sedangkan cedera saraf
tulang belakang pada area leher, dapat menyebabkan kelumpuhan pada kedua lengan dan
tungkai kaki. Bahkan, bila cedera mengenai bagian atas leher, penderita dapat mengalami
kesulitan bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan.
7. Rasa baal  kemungkinan terkena dermatom thorakal 10, sehingga dari thorakal 10
sampai ke bawah hilang rasa sensasinya
Tusukan  kena dermatom thorakal 10, kemungkinan ditusuk di thorakal 10  akan
terkena sampai ke bawahnya, sehingga hilang semua sensasinya  rasa baal
Kaki kanan yang lemah sensasinya baik  karena itu adalah manifestasi klinis dari
Brown Squard Syndrome Kontralateral, dimana dia ditusuk di bagian kanan karena
melalui jaras spinotalamikus yang menyilang dari tempat masuk.
8. Tata laksana
a. Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis
parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk mengunyah,
menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan
mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4 jam/iv atau im.
Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada Miastenia gravis golongan
IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat,
lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek
samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian
propantelin bromida atau atropin.
b. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan bertahap
(5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral, kemudian
diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat berupa:
peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum,
katarak.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama- sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan.
d. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-
asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam
waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis
dari PE. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani
timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi. Jumlah dan
volume dari penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi umumnya
3-4 liter sebanyak 5x dalam 2 minggu.

e. Timektomi
Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan Miastenia
gravis generalisata. Walaupun timektomi merupakan terapi standar di berbagai pusat
pengobatan namun keeefektivitasannya belum dapat dipastikan oleh penelitian
prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi pada terapi awal pasien dengan
keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar.
Myasthenia gravis ocular  menetap lebih dri 2 tahun, hanya 10-20% yang berkembang
menjadi Myathenia Gravis generalisata. Penanganan dengan steroid dan imusupresi masi
kontroversial. Pada Miastenia gravis generalisata, membaik dengan pemberian
imunosupresi, timektomi, dan pemberian obat yang dianjurkan.
Myasthenia gravis tidak bisa disembuhkan, pengobatan dilakukan hanya untuk
mengurangi gejala. Gangguan penglihatan dapt pulih saat istirahat dan kambuh lagi saat
beraktivitas.
9. Pemeriksaan penunjang :
a. Foto segmen thorakolumbal  kalau curiga ada kelainan ditambah dengan proyeksi
lateral dan juga obliq
b. CT Scan dan juga MRI  mengetahui abnormalitas jaringan lunak
10. Komplikasi : Komplikasi myasthenia gravis yang paling berbahaya adalah myasthenic
crisis. Kondisi ini terjadi ketika otot tenggorokan dan diafragma terlalu lemah untuk
mendukung proses pernapasan, sehingga penderitanya mengalami sesak napas akibat
kelumpuhan otot-otot pernapasan. Myasthenic crisis dapat dipicu oleh beberapa faktor,
seperti infeksi saluran pernapasan, stres, atau komplikasi dari prosedur operasi.
Pada myasthenic crisis yang parah, penderita bisa berhenti bernapas. Dalam kondisi ini,
dibutuhkan alat bantu napas (ventilator) untuk membantu penderita bernapas, sampai
otot-otot pernapasan dapat kembali bergerak.
Selain henti napas, penderita myasthenia gravis juga berisiko tinggi mengalami penyakit
autoimun lain, seperti tirotoksikosis, lupus, dan rheumatoid arthritis.
Prognosis : bervariasi tergantung perjalanan penyakit. Penyebaran cepat dari satu ototo
ke otot yang lain terjadi pada beberapa kasus.
Yanto  tergantung golden period (8 jam), tidak dilakukan tata laksana yang baik dalam
rentang waktu 8 jam, maka akan menimbulkan prognosis yang buruk  lumpuh secara
sensorik, motorik, dan juga otonom dari seluruh bagian tubuh selama masa hidup.
11. Airway  cek patensi jalan napas, C spine control
Breathing  cek napas
Circulation  Cek tanda tanda shock, hentikan perdarahan bila ada
Disability  GCS
UMUM :
 Long spine board
 Intubasi bila henti napas
 Kateter untuk gangguan miksi
 Berikan anlgetik untuk anti nyeri sesuai VAS
KHUSUS :
 Golden period : 8 jam
 Injeksi metilprednisolon 30 mg/kgBB dalam 15 menit lanjutkan 5,4
mg/kgBB/jam dalam 23 jam  onset <3 jam
 Injeksi metil prednisolon 30 mg/kgBB dalam 15 menit lanjutkan 5,4
mg/kgBB/jam dalm 47 jam  onset 3-8 jam
STEP 4 Skema
STEP 5 : Learning Objective
1. Mampu menjelaskan Definisi dan Klasifikasi Penyakit Neuromuskular, Mielopati,
Radikulopati, Miopati, Neuropati, dan Spondylitis TB.

2. Mampu menjelaskan Epidemiologi, Etiologi, dan Faktor Resiko Penyakit


Neuromuskular, Mielopati, Radikulopati, Miopati, Neuropati, dan Spondylitis TB.

3. Mampu menjelaskan Patogenesis dan Patofisiologi Penyakit Neuromuskular, Mielopati,


Radikulopati, Miopati, Neuropati, dan Spondylitis TB.

4. Mampu menjelaskan Manifestasi Klinis Penyakit Neuromuskular, Mielopati,


Radikulopati, Miopati, Neuropati, dan Spondylitis TB.

5. Mampu menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Penyakit Neuromuskular,


Mielopati, Radikulopati, Miopati, Neuropati, dan Spondylitis TB.

6. Mampu menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Penyakit Neuromuskular, Mielopati,


Radikulopati, Miopati, Neuropati, dan Spondylitis TB.

7. Mampu menjelaskan Tata Laksana Penyakit Neuromuskular, Mielopati, Radikulopati,


Miopati, Neuropati, dan Spondylitis TB.

8. Mampu menjelaskan Komplikasi dan Prognosis Penyakit Neuromuskular, Mielopati,


Radikulopati, Miopati, Neuropati, dan Spondylitis TB.
STEP 6 : Belajar Mandiri
SPONDILITIS TB

1. Definisi
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan
oleh mikobakterium tuberkulosa.Tuberkulosis yang muncul pada tulang belakang
merupakan tuberkulosis sekunder yang biasanya berasal dari tuberkulosis ginjal.
Berdasarkan statistik, spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease paling sering ditemukan
pada vertebra torakalis segmen posterior dan vertebra lumbalis segmen anterior (T8-L3),
coxae dan lutut serta paling jarang pada vertebra C1-2. Tuberkulosis pada vertebra ini
sering terlambat dideteksi karena hanya terasa nyeri punggung/pinggang yang ringan.
Pasien baru memeriksakan penyakitnya bila sudah timbul abses ataupun kifosis.
2. Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia yang berkorelasi dengan
kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi social
ekonomi negara tersebut. Sepuluh persen dari total kasus tuberkulosis akan berlanjut
menjadi spondilitis. Area thorako-lumbal terutama thorakal bagian bawah (40-50%) dan
lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini
pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, diikuti dengan area
servikal dan sacral.
Tidak terdapat perbedaan signifikan kejadian Pott Disease antara laki-laki dan
perempuan (1,5:2). Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh faktor sosioekonomi yang buruk
dan riwayat pajanan dengan infeksi tuberkulosis. Di Amerika dan dibeberapa negara
berkembang, penderita umumnya adalah dewasa. Penderita dengan usia anak-anak dan
remaja ditemukan di negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang tinggi.
3. Etiologi
Spondilitis tuberculosis disebabkan oleh bakteri berbentuk basil yang tersering adalah
Mycobacterium tuberculosis. Spesies Mycobacterium yang lain dapat juga
bertanggungjawab sebagai penyebab antar a lain Mycobacterium africanum (penyebab
tuberculosis tersering di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, dan non-tuberculous
mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini
menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe
human dan  1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Namun,
Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan
sinar ultraviolet, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa
tahun.
4. Patogenesis
Penularan TBC terjadi karena menghirup udara yang mengandung Mikobakterium
tuberkulosis (M.Tb), di alveolus akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan dibunuh.
Tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan makrofag alveolus lemah maka M.Tb akan
berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan
ditarik secara kemotaksis ke arah M.Tb berada, kemudian memfagositosis M.Tb tetapi
tidak dapat membunuhnya. Makrofag dan M.Tb membentuk tuberkel yang mengandung
sel-sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel raksasa Langhans) dan limfosit. Tuberkel
akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga
terjadi kalsifikasi. Lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar limfe
hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan limfangitis akan
membentuk kompleks primer. Dari kelenjar limfe M.Tb dapat langsung menyebabkan
penyakit di organ-organ tersebut atau hidup dorman dalam makrofag jaringan dan dapat
aktif kembali bertahun-tahun kemudian. Tuberkel dapat hilang dengan resolusi atau
terjadi kalsifikasi atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag.
Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat berkembang biak ekstra selular sehingga dapat
meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi endobronkial, pleuritis atau Tb
milier. Juga dapat menyebar secara bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya.

5. Patofisiologi
Basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius.
Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi
basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati
limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga 8 minggu kemudian, respons imunologik timbul
dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau
mungkin sembuh sempurna.
Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini
paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih
dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial
korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan
osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise,
diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini
akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan
infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan
terus menghancurkan vertebra di dekatnya. Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum,
leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di
bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya.
Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang
garis ligament yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar
ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami
protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal.
Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum
pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat
menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses
pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada
daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah
ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah
krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum
skarpei atau regio glutea.
Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu:

1. Penekanan oleh abses dingin


2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis 
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :
1. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita 
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 
6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak- 
anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta 
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa 
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan 
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta 
kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di 
sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang 
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi 
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan
10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi
pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat
kerusakan paraplegia, yaitu :
a. Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan 
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi 
gangguan saraf sensoris.
b. Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya.
c. Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi 
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.
d. Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia  dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural
dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang
oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak
aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau
oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi
destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. 
Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di
sebelah depan.
Penyebaran basil ke vertebra menyebabkan spondilitis yang mengenai korpus
vertebra. Spondilitis tuberkulosis ditandai dengan destruksi progresif yang lambat
pada bagian anterior corpus vertebra disertai osteoporosis regional. Spondilitis
korpus vertebra ini dibagi menjadi 3 bentuk:
1. Bentuk sentral
Destruksi awal pada sentral korpus vertebra yang dekat dengan lempeng
subkondral (biasanya ditemukan pada anak-anak)
2. Bentuk paradiskus
Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus
intervertebralis (biasanya ditemukan pada orang dewasa)
3. Bentuk anterior
Lokus awal di korpus vertebra bagian anterior yang merupakan perjalanan per
kontinuitatum dari vertebra di atasnya.
Proses infeksi kadang disertai pembentukan banyak cairan yang nantinya mengalami
nekrosis. Nekrosis ini bisa menghasilkan massa seperti keju (limfadenitis kaseosa) yang
mencegah pembentukan tulang dan membuat tulang menjadi avaskuler sehingga timbul
tuberculous sequstra. Jaringan granulasi tuberkulosis masuk ke dalam korteks korpus
vertebra membentuk abses paravertebra yang meluas hingga ke beberapa vertebra, ke
atas, ke bawah, ligamen longitudinal anterior dan posterior.
Sering juga terjadi fistel tunggal atau multiple di kulit dari limfadenitis tuberkulosis di
leher atau di lipat paha. Bila spondilitis sudah mengenai vertebra torakal atau lumbal
maka nanahnya akan dikeluarkan melalui fasia otot psoas yang merupakan locus minoris
resistance sehingga terbentuk abses psoas. Abses ini dapat turun ke region inguinal dan
teraba sebagai benjolan. Abses yang terbentuk merupakan abses dingin tanpa disertai
tanda-tanda radang.
Abses juga dapat berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medulla
spinalis dan mengakibatkan Pott’s paraplegia. Gejala awal paraplegia dimulai dengan
kaki terasa kaku, lemah atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dari
penurunan daya kontraksi otot tungkai dan peningkatan tonusnya sehingga terjadi
spasme otot fleksor dan akhirnya terjadi kontraktur.
Paraplegia kebanyakan ditemukan di daerah torakal, bukan lumbal karena kanalis
lumbalis agak longgar dan kauda equine tidak mudah tertekan. Diskus intervertebralis
yang avaskuler resisten terhadap infeksi tuberkulosis, namun diskus di sekitarnya
menyempit karena dehidrasi bahkan dapat dirusak oleh jaringan granulasi tuberkulosis.
Destruksi progresif bagian anterior korpus vertebra menyebabkan kolapsnya bagian
tersebut sehingga terjadi kifosis.
6. Manifestasi Klinis
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun. Suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit
pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari (night
cries).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala.
Gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring.
Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal,
inguinal, poplitea atau bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita
datang dengan gejala-gejala paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan
tulang belakang akibat spasme atau gibus.
Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat
mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku. Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri
atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding
dada.
Di regio lumbal abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di
atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis
dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan
lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan
tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas
fleksi sendi panggul.
7. Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis
Didapatkan adanya nyeri kronis pada tulang belakang yang disertai hilangnya nafsu
makan, penurunan berat badan dan adanya riwayat kontak dengan penderita
tuberkulosis akan lebih memperkuat diagnosa.
b. Pemeriksaan fisik
1) Nyeri tekan pada tulang belakang yang terkena infeksi dan pergerakan yang
terbatas akibat nyeri dan spasme dari otot-otot paraspinal.
2) Ditemukan gibbus atau deformitas berupa kifosis atau teraba adanya fluktuasi
pada pinggang atau inguinal.
3) Adanya gangguan neurologis berupa gangguan motoris dari yang ringan sampai
yang paling berat.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium

 Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis


 Uji Mantoux positif
 Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
 Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
 Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
2) Pemeriksaan radiologis
 Pemeriksaan foto toraks
Untuk melihat adanya tuberkulosis paru
 Foto polos vertebra
Ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai
penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut dan
mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP,
abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (birrd’s
nets) di daerah torakal berbentuk bulbul dan pada daerah lumbal abses
terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra
yang hebat sehingga timbul kifosis.
 Pemeriksaan mielografi
Dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum tulang.
 Pemeriksaan CT scan
CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi 
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan 
kalsifikasi dari abses jaringan lunak.
 Pemeriksaan MRI
Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang
dan menunjukkan adanya penekanan saraf.
8. Diagnosis Banding
a. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan
adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang
berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial
lain.

b. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid).


Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.
c. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma,
aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma)
Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi
berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan.
Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus
sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
d. Scheuermann’s disease
Mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya penipisan
korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan
tidak terbentuk abses paraspinal.
9. Tata Laksana
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia. Prinsip
pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut:
a. Pemberian obat antituberkulosis
b. Dekompresi medulla spinalis
c. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi
d. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas:
1) Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest) untuk mencegah paraplegia
b. Memperbaiki keadaan umum penderita dan pemberian tuberkulostatik
c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun yang tidak
dioperasi. Dengan memberikan corset yang mencegah gerak
vertebrae/membatasi gerak vertebrae. Corset tadi dapat dibikin dari gips, dari
kulit/plastik, dengan corset tadi pasien dapat duduk/berjalan.
Obat-obatan yang diberikan terdiri atas:
a. Isoniazid (INH) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per hari dengan dosis
maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg berat badan.
b. Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.
c. Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anak-anak. Pada
orang dewasa 300-400 mg per hari.
d. Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi
e. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah terjadinya
kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka diberikan
kombinasi beberapa obat tuberkulostatik.
Regimen yang dipergunakan di Amerika dan di Eropa adalah INH dan
Rifampisin selama 9 bulan atau INH + Rifampisin + Etambutol diberikan
selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7
bulan. Di Korea diberikan kombinasi antar INH+ Rifampisin selama 6-12
bulan atau INH + Etambutol selama 9-18 bulan. Standar pengobatan di
Indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah:
Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan dalam dua
tahap, yaitu :
 Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg
dan Pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan
pertama (60 kali).
 Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat diberikan
tiga kaii seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).
Kategori 2
Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minuet obat selama lebih
sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang
diberikan dalam dua tahap. Yaitu :
 Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450
mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol 750 mg. Obat diberikan
setiap hari, Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan
obat lainnya selama 3 bulan (90 kali)
 Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol
1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan
(66 kali).

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila:

 Keadaan umum penderita bertambah baik


 Laju endap darah menurun dan menetap
 Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
 Gambaran radiologik ditemukan adanya union  pada vertebra

2) Terapi Operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita
tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan
penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi
tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
1) Abses dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat
terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik. Pada abses yang
besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara untuk menghilangkan lesi
tuberkulosa, yaitu:
a) Debrideman fokal
b) Kostotransveresektomi
c) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan
2) Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu pengobatan dengan
kemoterapi
a) Laminektomi
b) Kosto-transveresektomi
c) Operasi radikal
d) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
3) Kifosis
Operasi dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyal
tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif
dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.
Indikasi operasi:
a) Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap
spondilitis tuberkolusi diberikan obat tuberkulostatik.
b) Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan
sekaligus debrideman serta bone graft.
c) Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula
spinalis.
10.Komplikasi
Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah Pott’s paraplegia yang
apabila muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester, atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan bila muncul pada
stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau
perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis. Mielografi dan MRI sangatlah
bermanfaat untuk membedakan penyebab paraplegi ini. Paraplegi yang disebabkan oleh
tekanan ekstradural oleh pus ataupun sequester membutuhkan tindakan operatif dengan
cara dekompresi medulla spinalis dan saraf.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses paravertebra torakal ke
dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis, sedangkan pada vertebra
lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang
merupakan cold absces.
11.Prognosis
Prognosis spondilitis tuberkulosis tergantung pada cepatnya dilakukan terapi, sensitivitas
kuman tuberkulosis terhadap obat anti tuberkulosis dan ada tidaknya komplikasi
neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan
sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosisnya kurang
baik. Diagnosis sedini mungkin, dan dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik
meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan tidak teratur
atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat, yang dapat menyebabkan terjadinya
resistensi terhadap pengobatan.
SPONDILOSIS LUMBALIS
1. Definisi
Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis lumbalis
dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya
degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak,
atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak
di aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior
vertebra centralis (corpus).
Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan
diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra
tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang
lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam.2
Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang
terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya
terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali
mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan
ligamen (terutama ligamen flavum).
2. Epidemiologi
Nyeri pinggang di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang nyata. Kira-kira 80%
penduduk seumur hidup pernah sekali merasakan nyeri punggung bawah. Pada setiap
saat lebih dari 10 % penduduk menderita nyeri pinggang. Insidensi nyeri pinggang di
beberapa negara berkembang lebih kurang 15-20% dari total populasi, yang sebagian
besar merupakan nyeri pinggang akut maupun kronik, termasuk tipe benigna. Penelitian
kelompok studi nyeri Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)  Mei
2002 menunjukkan jumlah penderita nyeri pinggang sebesar 18,37% dari seluruh pasien
nyeri. Studi populasi di daerah pantai utara Jawa Indonesia ditemukan insidensi 8,2%
pada pria dan 13,6% pada wanita. Di rumah sakit Jakarta, Yogyakarta dan Semarang
insidensinya sekitar 5,4 – 5,8%, frekwensi terbanyak pada usia 45-65 tahun.
Dalam penelitian multisenter di 14 Rumah Sakit di Indonesia, yang dilakukan oleh
kelompok studi nyeri PERDOSSI pada bulan Mei 2002 menunjukkan jumlah penderita
nyeri sebanyak 4.456 orang (25%dari total kunjungan), dimana 1.598 orang (35,86%)
merupakan penderita nyeri kepala dan 819 orang (18,37%) adalah penderita nyeri
punggung bawah (NBP).
3. Etiologi dan Faktor Resiko
Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan
degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan
gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi
alkohol.
Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia 45
tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor
resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah:
a. Kebiasaan postur yang jelek.
b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan
gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.
c. Tipe tubuh
Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra
lumbal yaitu:
a. Faktor usia
Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan
merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada
tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans
atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun.
Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar
98% pada usia 70 tahun.
b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan
Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian
retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh,
beban pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek
yang terus menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya
merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan
spondylosis.
c. Peran herediter
Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus.
Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang
ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian
tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan
bahwa sekitar ½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan
lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance
training.
d. Adaptasi fungsional
Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada
diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin
terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa
pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional
terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.
4. Patofisiologi
Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang.
Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada
vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang
cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55%
kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40
tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat
dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada end-plates yang
melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus vertebra dan fraktur
end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis.
Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga
adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada
cartilaginous end-plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara
bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang
memisahkan diskus dari channel vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang
dengan penebalan pada pembuluh arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan
memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar.
Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan
harus mengandalkan difusi untuk nutrisi.

e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
Perubahan patologi yang terjadi pada diskus intervertebralis antara lain:
a. Annulus fibrosus  menjadi kasar, collagen fiber cenderung melonggar dan
muncul retak pada berbagai sisi.
b. Nucleus pulposus kehilangan cairan
c. Tinggi diskus berkurang
Perubahan ini terjadi sebagai bagian dari proses degenerasi pada diskus dan dapat
hadir tanpa menyebabkan adanya tanda-tanda dan gejala.
Sedangkan pada corpus vertebra, terjadi perubahan patologis berupa
adanya lipping yang disebabkan oleh adanya perubahan mekanisme diskus yang
menghasilkan penarikan dari periosteum dari annulus fibrosus. Dapat terjadi
dekalsifikasi pada corpus yang dapat menjadi factor predisposisi terjadinya crush
fracture.
Pada ligamentum intervertebralis dapat menjadi memendek dan menebal terutama
pada daerah yang sangat mengalami perubahan. Pada selaput meningeal, durameter
dari spinal cord membentuk suatu selongsong mengelilingi akar saraf dan ini
menimbulkan inflamasi karena jarak diskus membatasi canalis intervertebralis.
Terjadi perubahan patologis pada sendi apophysial yang terkait dengan perubahan
pada osteoarthritis. Osteofit terbentuk pada margin permukaan articular dan bersama-
sama dengan penebalan kapsular, dapat menyebabkan penekanan pada akar saraf dan
mengurangi lumen pada foramen intervertebralis.
4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang terjadi tergantung pada lokasi yang terjadi baik itu cervical,
lumbal dan thoracal. Untuk spondylosis daerah lumbal memberikan gambaran klinis
sebagai berikut:
a. Onset, biasanya awal nyeri dirasakan tidak ada apa-apa dan tidak menjadi
suatu masalah sampai beberapa bulan. Nyeri akut biasanya ditimbulkan dari
aktivitas  tidak sesuai.
b. Nyeri, biasanya nyeri terasa disepanjang sacrum dan sacroiliac joint. Dan
mungkin menjalar ke bawah (gluteus) dan aspek lateral dari satu atau kedua hip.
Pusat nyeri berasal dari tingkat L4, L5, S1.
c. Referred pain, nyeri mungkin saja menjalar ke arah tungkai karena adanya
iritasi pada akar persarafan. Ini cenderung pada area dermatomnya: Paha
(L1), Sisi anterior tungkai (L2), Sisi anterior dari tungkai knee (L3), Sisi medial
kaki dan big toe (L4), Sisi lateral kaki dan tiga jari kaki bagian medial (L5), Jari
kaki kecil, sisi lateral kaki dan sisi lateral bagian posterior kaki (S1), Tumit, sisi
medial bagian posterior kaki (S2).
d. Parasthesia, biasanya mengikuti daerah dermatom dan terasa terjepit dan
tertusuk, suatu sensasi ”kesemutan” atau rasa kebas (mati rasa).
e. Spasme otot, biasanya ada peningkatan tonus erector spinae dan m.
quadratus lumborum. Seringkali terdapat tonus yang berbeda antara abduktor hip
dan juga adductor hip. Kadang-kadang salah satu otot hamstring lebih ketat
dibanding yang lainnya.
f. Keterbatasan gerakan, semua gerakan lumbar spine cenderung terbatas.
Gerakan hip biasanya terbatas secara asimetrical. Factor limitasi pada umumnya
disebabkan oleh ketetatan jaringan lunak lebih dari spasm atau nyeri.
g. Kelemahan otot, terjadi biasanya pada otot abdominal dan otot gluteal.
Kelemahan mungkin terjadi karena adanya penekanan pada akar saraf
myotomnya. Otot-otot pada tungkai yang mengalami nyeri menjalar biasanya
lebih lemah dibandingkan dengan tungkai satunya.
h. Gambaran radiografi, terdapat penyempitan pada jarak discus dan
beberapa lipping pada corpus vertebra.
5. Pemeriksaan Penunjang
X-ray, CT scan, dan MRI digunakan hanya pada keadaan dengan
komplikasi. Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy absorptiometry scan
[DEXA]) memastikan tidak ada osteofit yang terdapat di daerah yang digunakan untuk
pengukuran densitas untuk pemeriksaan tulang belakang. Osteofit menghasilkan
gambaran massa tulang yang bertambah, sehingga membuat hasil uji densitas tulang
tidak valid dan menutupi adanya osteoporosis.
Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna untuk
menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina intervertebralis
dan facet joint, menunjukkan spondilosis, spondiloarthrosis, retrolistesis, spondilolisis,
dan spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau stenosis recessus lateralis tidak dapat
ditentukan dengan metode ini.
CT  adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada saat yang
sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan setebal 3 mm, ukuran dan
bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss
intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum juga terlihat.
MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non osseus dan
saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi canalis spinalis. Disamping
itu, di luar dari penampakan degradasi diskus pada T2 weighted image, biasanya tidak
dilengkapi informasi penting untuk diagnosis stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun
juga, dengan adanya perkembangan pemakaian MRI yang cepat yang merupakan metode
non invasif, peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini akan bertambah. Khususnya
kemungkinan untuk melakukan rangkaian fungsional spinal lumbalis akan sangat
bermanfaat.
6. Tata Laksana
a. Penatalaksanaan Medis
Terdiri dari pengobatan konservatif dan pembedahan. Pada pengobatan
konservatif, terdiri dari obat antiradang (NSAID), analgesik, obat pelemas otot,
dan memakai korset lumbal yang mana dengan mengurangi lordosis lumbalis
dapat memperbaiki gejala dan meningkatkan jarak saat berjalan. Percobaan dalam
3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan awal kecuali terdapat
defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif.
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-
gejala permanen khususnya defisit motorik.  Pembedahan tidak dianjurkan pada
keadaan tanpa komplikasi. Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala
klinis, dan sebagian karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis
lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:
Operasi dekompresi,Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak
yang tidak stabil, dan Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil.
b. Penatalaksanaan Fisioterapi
Tujuan tindakan fisioterapi pada kondisi ini yaitu untuk meredakan nyeri,
mengembalikan gerakan, penguatan otot, dan edukasi postur. Pada pemeriksaan
(assessment) yang perlu diidentifikasi adalah:
 Gambaran nyeri
 Faktor pemicu pada saat bekerja dan saat luang
 Ketidaknormalan postur
 Keterbatasan gerak dan faktor pembatasannya.
 Hilangnya gerakan accessories dan mobilitas jaringan lunak dengan
palpasi.
Program intervensi fisioterapi hanya dapat direncanakan setelah melakukan
assessment tersebut. Adapun treatment yang bias digunakan dalam kondisi ini,
adalah sebagai berikut:
1) Heat , heat pad dapat menolong untuk meredakan nyeri yang terjadi pada
saat penguluran otot yang spasme.
2) Ultrasound, sangat berguna untuk mengobati thickening yang terjadi pada
otot erector spinae dan quadratus lumborum dan pada ligamen (sacrotuberus
dan saroiliac).
3) Corsets, bisa digunakan pada nyeri akut
4) Relaxation,  dalam bermacam-macam posisi dan juga pada saat istirahat,
maupun bekerja. Dengan memperhatikan posisi yang nyaman dan support.
5) Posture education, deformitas pada postur membutuhkan latihan pada
keseluruhan alignment tubuh.
6) Mobilizations, digunakan untuk stiffness pada segment lumbar spine,
sacroiliac joint dan hip joint.
7) Soft tissue technique, pasif stretching pada struktur yang ketat sangat
diperlukan, friction dan kneading penting untuk mengembalikan mobilitas
supraspinous ligament, quadratus lumborum, erector spinae dan glutei.
8) Traction, traksi osilasi untuk mengurangi tekanan pada akar saraf tetapi harus
dipastikan bahwa otot paravertebral telah rileks dan telah terulur.
9) Hydrotherapy, untuk relaksasi total dan mengurangi spasme otot. Biasanya
berguna bagi pasien yang takut untuk menggerakkan spine setelah nyeri yang
hebat.
10) Movement,  hold relax bisa diterapkan untuk memperoleh gerakan fleksi.
Bersamaan dengan mobilitas, pasien melakukan latihan penguatan untuk otot
lumbar dan otot hip. 
11) Advice , Tidur diatas kasur yang keras dapat menolong pasien yang memiliki
masalah sakit punggung dan saat bangun, kecuali pada pasien yang nyeri nya
bertambah parah pada gerakan ekstensi. Jika pasien biasanya tidur dalam
keadaan miring, sebaiknya menggunakan kasur yang lembut.
7. Komplikasi
Skoliosis merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada penderita nyeri
punggung bawah karena Spondilosis. Hal ini terjadi karena pasien selalu memposisikan
tubuhnya kearah yang lebih nyaman tanpa mempedulikan sikap tubuh normal. Hal ini
didukung oleh ketegangan otot pada sisi vertebra yang sakit.
SPONDYLOLISTHESIS
1. Definisi
Kata spondylolisthesis berasal dari bahsa Yunani yang terdiri atas kata “spondylo” yang
berarti tulang belakang (vertebra) dan “listhesis” yang berarti bergeser. Maka
spondilolistesis adalah suatu pergeseran korpus vertebrae (biasanya kedepan) terhadap
korpus vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya terjadi pada pertemuan
lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan tetapi hal
tersebut dapat terjadi pula pada tingkat vertebra yang lebih tinggi.
2. Epidemiologi
Spondilolistesis mengenai 5-6 % populasi pria, dan 2-3 % wanita. Karena gejala yang
diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering ditandai dengan nyeri pada
bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan tungkai. Sering penderita
mengalami perasaan tidak nyaman dalam bentuk spasme otot, kelemahan dan
ketegangan otot betis. Meskipun demikian, banyak penelitian menyebutkan bahwa
terdapat predisposisi kongenital dalam terjadinya spondilolistesis dengan prevalensi
sekitar 69 % pada anggota keluarga yang terkena. Lebih lanjut, kelainan ini juga
berhubungan dengan meningkatnya insidensi spina bifida sacralis.
Kira-kira 82 % kasus isthmic spondilolistesis terjadi di L5-S1. 11,3 % terjadi di L4-L5.
Kelainan kongenital seperti spina bifida occulta berkaitan dengan munculnya isthmic
spondilolistesis.
Degenarative spondilolistesis terjadi lebih sering seiring bertambahnya usia. Vertebra
L4-L5 terkena 6-10 kali lebih sering dibanding lokasi lainnya. Sakralisasi L5 sering
terlihat pada degenerative spondilolistesis L4-L5. Tipe ini biasanya muncul 5 kali lebih
sering pada wanita dibanding pria, dan sering pada usia lebih dari 40 tahun.
Spondilolistesis kongenital (tipe displastik) terjadi 2 kali lebih sering pada wanita dengan
permulaan gejala muncul pada usia remaja. Tipe ini biasanya terjadi sekitar 14-21 % dari
semua kasus spondilolistesis.
3. Etiologi dan Klasifikasi
Etiologi spondylolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak pada
spondilolistesis tipe 1 dan 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan stres/ tekanan
konsentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam terjadinya pergeseran
tersebut. Terdapat 5 tipe utama spondilolistesis :
a. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik (kongenital) dan terjadi akibat
kelainan kongenital. Biasanya pada permukaan sacral superior dan permukaan L5
inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.
b. Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus atau
pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna pada
individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa adanya
pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra
mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut
dengan spondilolistesis. Tipe II dibagi dalam tiga subkategori :

1) Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress spondilolistesis
dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur rekuren yang disebabkan oleh
hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fraktur pars interarticularis dan
paling sering terjadi pada laki-laki.

2) Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars interartikularis.
Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars interartikularis masih
tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur mengisinya dengan tulang
baru.

3) Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada bagian
pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam menegakkan
diagnosis kelainan ini.

c. Tipe III, merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai akibat


degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan sendi tersebut
akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe
spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III, spondilolistesis
degenerative pergeseran vertebra tidak melebihi 30 %.
d. Tipe IV, spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan dengan
fraktur pada bagian pars interartikularis.
e. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya.
4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe pergeseran
dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran klinisnya berupa low back pain
yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong, terutama selama aktivitas
tinggi. Gejala jarang berhubungan dengan derajat pergeseran (slippage), meskipun sangat
berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda neurologis berhubungan
dengan derajat pergeseran dan mengenai system sensoris, motoric dan perubahan reflex
akibat dari pergeseran serabut saraf. Progresifitas listesis pada individu dewasa muda
biasanya terjadi bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa :

1) Terbatasnya pergerakan tulang belakang


2) Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh
3) Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal
4) Hiperkifosis lumbosacral junction
5) Kesulitan berjalan
6) Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis)
Pasien dengan spondilolistesis degenerative biasanya pada orang tua dan muncul dengan
nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio neurogenic atau gabungan
beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling sering terjadi pada L4-5 dan jarang
terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis dan hipertrofi
ligamen atau herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan
kelemahan otot ekstensor halluces longus. Penyebab gejala klaudikasio neurogenic
selama pergerakan adalah bersifat multifactorial. Nyeri berkurang ketika pasien
memfleksikan tulang belakang dengan duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal dengan
menegangkan ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina dan pembesaran
foramen. Hal tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi
nyeri yang timbul.
5. Penegakkan Diagnosis
Pada kebanyakan kasus, jarang ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik pasien
spondilolistesis. Pasien biasanya mengeluh nyeri di bagian punggung yang disertai
dengan nyeri intermitten pada tungkai. Spondilolistesis sering menyebabkan spasme otot,
atau kekakuan pada betis.
Spondilolistesis mudah didiagnosis dengan menggunakan foto polos tulang belakang. X-
ray lateral akan menunjukkan kelainan apabila terdapat vertebra yang bergeser ke depan
dibandingkan dengan vertebra di dekatnya. Spondilolistesis dibagi berdasarkan
derajatnya berdasarkan persentase pergeseran vertebra dibandingkan dengan vertebra di
dekatnya, yaitu:
1) Derajat I: pergeseran kurang dari 25%
2) Derajat II diantara 26-50%
3) Derajat III diantara 51-75%
4) Derajat IV diantara 76-100%
5) Derajat V, atau spondiloptosis terjadi ketika vertebra telah terlepas dari
tempatnya
Jika pasien mengeluh nyeri, kebas-kebas, kelemahan pada tungkai, pemeriksaan
penunjang tambahan mungkin diperlukan. Gejala-gejala ini dapat disebabkan stenosis
atau penyempitan ruang tempat lewatnya saraf pada tungkai. CT scan atau MRI dapat
membantu mengidentifikasi kompresi saraf yang berhubungan dengan spondilolistesis.
Pada keadaan tertentu, PET scan dapat membantu menentukan adanya proses akftif pada
tulang yang mengalami kelainan. Pemeriksaan ini juga berperan dalam menentuskan
terapi pilihan untuk spondilolistesis.
6. Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang diagnosis spondilolisthesis:
a. X-ray
Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral, dan spot view
radiograffi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto oblik dapat memberikan
informasi tambahan, namun tidak rutin dilakukan. Foto lumbal dapat memberikan
gambaran dan derajat spondilolistesis tetapi tidak selalu membuktikan adanya
isolated spondilolistesis.
b. SPECT
SPECT dapat membantu dalam pengobatan. Jika SPECT positif maka lesi tersebut
aktif secra metabolik.
c. Computed tomography (CT) scan
CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat memeberikan
gambaran yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan juga dapat membantu
menegakkan penyebab spondilolistesis yang lebih serius.
d. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut. MRI juga dapat
menentukan adanya kompresi saraf spinal akibat stenosis dadri kanalis sentralis.
e. EMG
EMG dapat mengidentifikasi radikulopati lainnya atau poliradikulopati (stenosis),
yang dapat timbul pada spondilolistesis.
7. Tata Laksana
a. Nonoperatif
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan non operative
diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit neurologis
yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan, stretching exercise,
pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam manajemen
pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.
b. Operatif
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas, yang gagal
dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila radiologis tidak
stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray disarankan untuk operasi
stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu
diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun tanpa
gejala, fusi tetap harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien
dengan simptom oleh karena neural kompresi. Bila manajemen operative dilakukan
pada dewasa muda maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip
yang bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia
muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm
pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi level disease,
motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse. Pada habitual
tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun. Brown dkk mencatat pseudoarthrosis
(surgical non union) rate 40% pada perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu
dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan:
 Anterior approach
 Posterior approach (yang paling sering dilakukan)
 Posterior lateral approach
8. Komplikasi
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun penarikan (traction)
pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang membutuhkan
penanganan dengan pembedahan untuk menstabilkan spondilolistesis, dapat terjadi
komplikasi seperti nerve root injury (<1%), kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%),
kegagalan melakukan fusi (5%-25%), infeksi dan perdarahan dari prosedur pembedahan
(1%-5%). Pada pasien yang perokok, kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat
melakukan fusi ialah (>50%). Pasien yang berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih
tinggi untuk menderita spondilolistesis isthmic atau congenital yang lebih progresif.
Radiografi serial dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui
perkembangan pasien ini.
9. Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan akan
kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan perubahan vertebra
yang progresif dan degenerative kemungkinan akan mengalami gejala yang sifatnya
intermiten. Resiko untuk terjadinya spondilolistesis degenerative meningkat seiring
dengan bertambahnya usia, dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30%
pasien. Bila pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat
dan menyebabkan penekanan pada saraf (nerve compression) atau sciatica hal ini akan
membutuhkan pembedahan dekompresi.
NEUROGENIC BLADDER
1. Definisi
Neurogenic bladder adalah gangguan pada saluran kemih bagian bawah (ginjal, ureter,
kandung kemih, dan uretra) yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf. Neurogenic
bladder biasanya mempengaruhi otot sfingter (otot yang mengatur dalam pengosongan
kandung kemih). Kandung kemih yang kurang aktif akan kehilangan kemampuannya
untuk mengosongkan urin sebagaimana mestinya dan mengisinya melewati kapasitas
normal. Terkait dengan hal tersebut, tekanan urin pada kandung kemih secara berlebihan
akan membuat otot sfingter tidak bisa menahannya dan urin akan merembes keluar.
Sedangkan, kandung kemih yang terlalu aktif dapat melakukan pengisian dan
pengosongan tanpa kendali karena berkontraksi dan mengendur tanpa disadari, sehingga
seseorang bisa merasakan keinginan untuk buang air secara tiba-tiba atau pergi ke kamar
kecil lebih sering dari biasanya.
2. Etiologi
Beberapa penyebab dari neurogenic bladder ini antara lain penyakit infeksius yang akut
seperti myelitis transversal, kelainan serebral (stroke, tumor otak, penyakit Parkinson,
multiple sclerosis, demensia), alkoholisme kronis, penyakit kolagen seperti SLE,
keracunan logam berat, herpes zoster, gangguan metabolik, penyakit atau trauma pada
medulla spinalis dan penyakit vaskuler. Dari beberapa penyebab tersebut, yang tersering
adalah penyakit infeksius yang akut, kelainan serebral, gangguan metabolik, dan
penyakit atau trauma pada medula spinalis.
Penelitian yang dilakukan oleh European Association of Urology (EAU) melaporkan
bahwa neurogenic bladder terjadi pada 24% pasien tumor otak, 28- 48% pasien
demensia, 12-65% pasien retardasi mental, dan 30-40% cerebral palsy. Pada
cerebrovascular pathology disertai hemiplegia dengan remnant incontinence, neurogenic
bladder dilaporkan terjadi pada 20-50% pasien. Penyakit pada diskus dilaporkan
menyebabkan neurogenic bladder pada 28-87% pasien. Pada SLE, prevalensi dari
neurogenic bladder termasuk jarang, sedangkan insidennya 1%. Neurogenic bladder
terjadi pada 12% yang terinfeksi HIV. Sedangkan reseksi abdominoperineal dari rektum
menyebabkan neurogenic bladder pada lebih dari 50% pasien (Pannek, et al., 2013).

3. Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan


Neuroanatomi Traktus Urinarius
Serabut saraf eferen simpatis ke kandung kemih dan uretra berasal dari the
intermediolateral gray column dari segmen T10-L2 ke ganglia paravertebral simpatis
lumbal serabut postganglion di nervus hipogastrikus untuk bersinaps di reseptor alfa dan
beta adrenergik pada kandung kemih dan uretra. Neurotransmiter postganglion utama
untuk sistem simpatis adalah norepinefrin.
Eferen simpatis menstimulasi fasilitasi penyimpanan kandung kemih. Reseptor beta
adrenergik mempersarafi fundus kandung kemih. Stimulasi reseptor ini menyebabkan
relaksasi otot polos sehingga dinding kandung kemih berelaksasi. Reseptor alfa
adrenergik mempersarafi sfingter interna dan uretra posterior. Stimulasi pada reseptor ini
menyebabkan kontraksi otot polos pada sfingter interna dan uretra posterior,
meningkatkan resistensi saluran keluar dari kandung kemih dan uretra posterior. Hal ini
bertujuan agar tidak terjadi kebocoran selama fase pengisian urin.
Eferen parasimpatik (motorik) berasal dari medulla spinalis di S2-S4 ke nervus pelvikus
dan memberikan inervasi ke otot detrusor kandung kemih. Reseptor parasimpatik
kandung kemih disebut kolinergik karena neurotransmiter postganglion utamanya adalah
asetilkolin. Reseptor ini terdistribusi di seluruh kandung kemih. Peranan sistem
parasimpatik pada proses berkemih berupa kontraksi otot detrusor kandung kemih.
Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di kornu anterior medula
spinalis S2-S4 yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot skeletal sfingter
uretra eksterna dan otot-otot dasar panggul.
Perintah dari korteks serebri secara disadari menyebabkan terbukanya sfingter uretra
eksterna pada saat berkemih. Sistem aferen (sensoris) berasal dari otot detrusor, sfingter
uretra dan anal eksterna, perineum dan genitalia, melalui n.pelvikus dan n.pudendus ke
conus medullaris; dan melalui n.hipogastrikus ke medula spinalis thoracolumbal. Aferen
ini terdiri atas dua tipe: A-delta (small myelinated A-delta) dan serabut C (unmyelinated
C fibers). Serabut A-delta berespon pada distensi kandung kemih dan esensial untuk
berkemih normal. Serabut C atau silent C-fibers tidak berespon terhadap distensi
kandung kemih dan tidak penting untuk berkemih normal. The silent C fibers
memperlihatkan firing spontan ketika diaktifkan secara kimia atau iritasi temperatur
dingin pada dinding kandung kemih. Serabut C berespon terhadap distensi dan stimulasi
kontraksi kandung kemih involunter pada hewan dengan CMS suprasakral.
Fasilitasi dan inhibisi berkemih berada di bawah 3 pusat utama yaitu pusat berkemih
sakral (the sacral micturition center), pusat berkemih pons (the pontine micturition
center), dan korteks serebral. Pusat berkemih sakral pada S2-S4 merupakan pusat refleks
dimana impuls eferen parasimpatik ke kandung kemih menyebabkan kontraksi kandung
kemih dan impuls aferen ke sacral micturition center menyediakan umpan balik terhadap
penuhnya kandung kemih. The pontine micturition center terutama bertanggung jawab
terhadap koordinasi relaksasi sfingter ketika kandung kemih berkontraksi. CMS
suprasakral menyebabkan gangguan sinyal dari pontine micturition center, sehingga
terjadi dissinergi detrusor sfingter. Efek korteks serebral menginhibisi sacral micturition
center. Karena CMS suprasakral juga mengganggu impuls inhibisi dari korteks serebral,
sehingga CMS suprasakral seringkali memilki kapasitas kandung kemih yang kecil
dengan kontraksi kandung kemih involunter.
Fisiologi Proses Miksi (Rangsangan Berkemih)
Distensi kandung kemih oleh urin dengan jumlah kurang lebih 250 cc akan merangsang
reseptor tekanan yang terdapat pada dinding kandung kemih. Akibatnya akan terjadi
refleks kontraksi dinding kandung kemih oleh otot detrusor, pada saat yang sama terjadi
relaksasi sfingter internus, diikuti oleh relaksasi sfingter eksternus, dan akhirnya terjadi
pengosongan kandung kemih.
Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi sfingter interus
dihantarkan melalui serabut-serabut parasimpatik. Kontraksi sfingter eksternus secara
volunter bertujuan untuk mencegah atau menghentikan miksi. Kontrol volunter ini hanya
dapat terjadi bila saraf-saraf yang menangani kandung kemih uretra medula spinalis dan
otak masih utuh. Bila terjadi kerusakan pada saraf-saraf tersebut maka akan terjadi
inkontinensia urin (kencing keluar terus-menerus tanpa disadari) dan retensi urin
(kencing tertahan). Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh torako
lumbar dan kranial dari sistem persarafan otonom. Torako lumbar berfungsi untuk
relaksasi lapisan otot dan kontraksi spinter interna (Guyton & Hall 2013).
4. Patofosiologi
Pada disfungsi uninhibited neurogenic bladder, terjadi lesi otak di atas pusat mikturisi
pontin sehingga terjadi penurunan kesadaran dari penuhnya kandung kemih dan
kapasitas kandung kemih yang rendah. Karena pusat mikturisi pontin intak, tonus
detrusor dan sfingter tetap terjaga sehingga tidak ada tekanan kandung kemih tinggi yang
dapat memicu kerusakan saluran urin bagian atas.
Disfungsi upper motor neuron neurogenic bladder ditandai dengan adanya dissinergi
detrusor-sfingter, dimana kontraksi destrusor dan sfingter menimbulkan tekanan tinggi
pada kandung kemih. Tekanan ini dapat mengakibatkan refluks
vesikoureteral yang dapat mengakibatkan kerusakan ginjal. Lesi pada medula spinalis
dapat mengakibatkan spastik pada kandung kemih dan sfingter, terutama jika lesi berada
di atas T10 (di atas system saraf simpatetik untuk kandung kemih). Kapasitas kandung
kemih biasanya berkurang karena tingginya tonus detrusor (overaktivitas detrusor).
Studi pada hewan menunjukkan overaktivitas detrusor pada neurogenic bladder dapat
terjadi karena aktivasi reseptor prejunction M1 yang memfasilitasi pelepasan asetilkolin,
sehingga terjadi pelepasan neutrotransmiter berlebih.. Ketika tekanan detrusor melebihi
tekanan sfingter internal/eksternal pada uretra proksimal, inkontinensia urin akan terjadi.
Pada mixed type A neurogenic, kerusakan pada nukleus detrusor akan mengakibatkan
flaccid detrusor (detrusor areflexia), sedangkan nukleus pudendal yang masih intak akan
menyebabkan hipertoni dari externar sfingter. Kandung kemih menjadi besar dan
memiliki tekanan yang rendah, sehingga akan terjadi retensi urin. Karena tekanan
detrusor rendah, maka tidak terjadi kerusakan saluran urin bagian atas dan inkontinensia
jarang terjadi.
Mixed type B neurogenic bladder ditandai oleh sfingter eksternal yang flaccid karena lesi
nucleus pudendal, sedangkan kandung kemih akan menjadi spastik karena nucleus
detrusor yang tidak terhambat. Kapasitas kandung kemih akan menjadi rendah, tetapi
tekanan vesikuler tidak meningkat, sehingga karena ada sedikit tahanan pengeluaran urin
akan menyebabkan inkontinensi.
Pada lower motor neuron neurogenic bladder, kerusakan terjadi pada pusat mikturisi
maupun saraf tepi sedangkan sistem saraf simpatetik pada sistem urin masih intak.
Kapasitas kandung kemih besar sedangkan tonus detrusor rendah (detrusor areflexia) dan
inervasi sfingter internal intak. Meskipun tekanan detrusor rendah, inkontinesia urin dan
infeksi saluran urin jarang terjadi.
5. Klasifikasi Neurogenic Bladder
Beberapa klasifikasi digunakan untuk mengelompokkan jenis-jenis dari neurogenic
bladder, masing-masing tipe memiliki potensi kegunaan klinis tersendiri. Klasifikasi
dapat berdasarkan penemuan urodinamik, kriteria neurologi atau fungsi saluran kemih
bawah.Klasifikasi berdasarkan tipe kerusakan membagi neurogenic baldder menjadi :
a. Neurogenic Bladder Tipe Flaksid
Kerusakan terjadi pada saraf tepi atau medula spinalis yaitu pada level S2- S4 yang
mengakibatkan hilangnya kontraksi otot detrusor. Hal ini menyebabkan tekanan
menjadi rendah walaupun volume urin banyak. Setelah kerusakan akut, flaksid inisial
dapat diikuti dengan flaksid berkepanjangan atau spastik.
b. Neurogenic Bladder Tipe Spastik
Kerusakan terjadi pada otak dan medula spinalis diatas level T12. Hal ini
menyebabkan kontraksi involunter kandung kemih yang diikuti dengan kehilangan
koordinasi akibat dissinergi sfingter-detrusor. Kontraksi kandung kemih akan
memicu pengeluaran urin walaupun volume urin masih sedikit.
c. Neurogenic Bladder Tipe Campuran
Disebabkan oleh banyak gangguan seperti sifilis, diabetes militus, tumor otak atau
medulla spinalis, stroke, intervertebral disc rupture, dan gangguan degeneratif
(multiple sclerosis, amytrophic lateral sclerosis).
6. Manifestasi Klinis Neurogenic Bladder
Berdasarkan tipenya kerusakannya, neurogenic bladder memiliki manifestasi klinis yang
bervariasi. Berikut perbedaan manifestasi klinis pada masing-masing tipe dari neurogenic
bladder :
a. Neurogenic Bladder Tipe Flaksid
Pada tipe ini, manifestasi yang akan muncul diantaranya :
 Inkontinensia overflow
 Berkurangnya tonus sfingter ani
 Distensi hebat kandung kemih yang disertai rasa penuh pada kandung kemih.
b. NeurogenicBladderTipeSpastik
Manifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut :
 Urinasi involunter atau urinasi yang kerapkali hanya sedikit tanpa rasa penuh
pada kandung kemih.
 Kemungkinan spasme spontan lengan dan tungkai.
 Peningkatan tonus sfingter ani
c. Neurogenic Bladder Tipe Campuran
Manifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut:
 Tumpulnya persepsi akan kandung kemih yang penuh.
 Berkurangnya kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih.
 Gejala urgensi yang tidak dapat dikembalikan
7. Diagnosis
Dalam mendiagnosis neurogenic bladder dapat dilakukan dengan tiga tahap seperti
mendiagnosis penyakit yang lain yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Walaupun sebagian besar pemeriksaan yang dilakukan pada ketiga jenis
neurogenic bladder sama, akan tetapi perlu dilakukan pemeriksaan khusus agar dapat
menegakkan diagnosis sehingga dapat diberikan terapi yang tepat.
a. Diagnosis Neurogenic Bladder Tipe Flaksid
Anamnesis yang dilakukan mengacu pada Sacred Seven dan Basic Four. Beberapa
hal penting yang perlu ditanyakan kepada pasien antara lain mengenai kondisi
genitourinary, riwayat berkemih, dan riwayat pengobatan (Ginsberg, 2013). Pada
pasien yang mengalami neurogenic bladder tipe flaksid akan mengalami gejala sulit
berkemih. Sehingga saat anamnesis dapat ditanyakan apakah terdapat kesulitan saat
berkemih atau mengenai jumlah berkemih dalam sehari serta volume saat berkemih.
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah pemeriksaan neurologis yang
meliputi status mental, kekuatan, sensasi, dan refleks pada area urogenital.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan urinalisis,
serum Blood Urea Nitrogen (BUN), serum kreatinin, Postvoid Residual Urine (PVR),
Uroflow Rate, Filling Cystometrogram (CMG), Voiding Cystometrogram (Pressure-
Flow Study), Cystogram, Electromyography (EMG), dan Cystoscopy.
Pemeriksaan CT scan pada bagian sakral sangat penting dilakukan karena pasien
neurogenic bladder tipe flaksid mengalami kerusakan pada saraf tepi atau sumsum
tulang belakang, yaitu pada bagian S2-S4 (Merk Sharp & Dohme Corporation 2016).
b. Diagnosis Neurogenic Bladder Tipe Spastik
Anamnesis spesifik yang perlu dilakukan adalah menanyakan apakah terdapat
riwayat sering berkemih dalam satu hari atau mengalami inkontinensia karena
penderita penyakit ini mengalami kontraksi kandung kemih yang diikuti dengan tidak
adanya koordinasi otot sfingter yang memicu pengeluaran urin walaupun urin masih
sedikit. Selain menanyakan adanya inkontinensia, ditanyakan pula berapa volume
urin saat berkemih.
Pemeriksaan neurologik yang dilakukan meliputi status mental, kekuatan, sensasi dan
refleks pada area yang dipersarafi oleh saraf spinal diatas T12 karena kerusakan
terjadi pada medula spinalis diatas level T12 (Patrick J, 2014). Untuk pemeriksaan
laboratorium dapat dilakukan Postvoid Residual Urine (PVR), Uroflow Rate, Filling
Cystometrogram (CMG), Voiding Cystometrogram (Pressure-Flow Study),
Cystogram, Electromyography (EMG), dan Cystoscopy.
Pemeriksaan CT scan yang dapat dilakukan selain CT scan servikal dan torakal juga
dilakukan CT scan kepala karena spastik juga bisa terjadi akibat kerusakan pada otak.
c. Diagnosis Neurogenic Bladder Tipe Campuran
d. Anamnesis tentang riwayat berkemih tiap hari pada pasien dapat memberikan
informasi mengenai pola berkemih dari pasien itu sendiri (waktu berkemih, volume
berkemih, jumlah berkemih, dan inkontinensia) (Ginsberg, 2013) Pemeriksaan fisik
yang dilakukan harus berfokus pada status neurologi dan anatomi pelvis pasien.
Pemeriksaan laboratorium umum yang dilakukan yaitu Postvoid Residual Urine
(PVR), Uroflow Rate, Filling Cystometrogram (CMG), Voiding Cystometrogram
(Pressure-Flow Study), Cystogram, Electromyography (EMG), dan Cystoscopy.
Sedangkan untuk CT scan kepala dan badan juga dapat dilakukan.
8. Manajemen Neurogenic Bladder
Secara umum, terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien neurogenic
bladder adalah perubahan gaya hidup. Perawatan ini adalah suatu perubahan yang pasien
dapat lakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengontrol gejala. Perubahan gaya
hidup meliputi :
 Bladder diary : rekomendasi total asupan cairan dan formasi urin per hari sekitar
1.800 ml dan 1.600 ml. Hal ini dapat dilakukan dengan cara minum 400 ml pada
setiap makan dan tambahan 200 ml pada pukul 10.00 pagi, 02.00 siang, dan 04.00
sore.
 Diet : mempertahankan berat badan ideal dan membatasi asupan makanan
maupun minuman yang dapat mengiritasi kandung kemih dapat membantu.
 Terapi neurogenic bladder dapat diterapkan berdasarkan klasikifasi tipe
kerusakan dan gejala yang ditimbulkan yaitu :
a. Neurogenic Bladder Tipe Flaksid
Gejala yang di timbulkan pada kerusakan tipe flaksid ialah kehilangan kontraksi otot
detrusor. Pengobatan yang dapat diberikan yaitu kateterisasi interminten. Intervensi
ini diberikan pada pasien jika hasil USG menunjukan adanya volume residu urine
sebanyak 100 ml, atau lebih dari sepertiga kapasitas kandung kemih pasien. Jadwal
kateterisasi dimulai segera sesaat bangun di pagi hari, setiap 3-4 jam sepanjang hari,
dan saat sebelum tidur.
b. Neurogenic Bladder Tipe Spastik
Tipe kerusakan yang ditimbulkan dapat menyebabkan kontraksi involunter kandung
kemih yang diikuti dengan kehilangan koordinasi akibat dissinergi sfingter-detrusor.
Pengobatan dengan antimuskarinik dapat menurunkan reflex involunter aktivitas
detrusor. Antimuscarinik : oxybutynin merupakan pilihan obat pertama untuk
pengobatan bladder detrusor overactivity. Sediaan berupa oral, transdermal, dan
topikal gel. Untuk lansia, dosis awal 2,5-5 mg, 2x/hari dapat ditingkatkan sampai 5
mg. Anak-anak di atas 5 tahun, adanya ketidakstabilan kandung kemih neurogenik,
2,5 mg 2x/hari dapat ditingkatkan sampai 5 mg 2x/hari, maksimal 5 mg, 3x/hari.
(Cameron, 2016). Efek samping yang ditimbulkan seperti mulut kering, bingung, dan
mata kering. Terapi lain seperti alpha-2 adrenergic agonis dapat digunakan pada
disfungsi kandung kemih neurogenik ketika sfingter mengalami spastik dan terjadi
dissinergi pada saraf motorik atas. Selain pengobatan diatas, adapula pengobatan non
farmakologis yaitu bladder retraining. Pasien dapat memulai dengan menetapkan
interval waktu selama 15 menit lebih lama dari interval waktu yang telah ditetapkan
sebelumnya. Jika pasien merasakan dorongan untuk berkemih sebelum tambahan 15
menit maka alihkan perhatian dengan cara kontraksikan otot panggul. Kontaksi ini
dikenal sebagai latihan Kegel.
c. Neurogenic Bladder Tipe Campuran
Tipe kerusakan campuran dapat disebabkan oleh banyak gangguan, salah satunya
trauma pada medula spinalis. Terapi yang dapat digunakan ialah clonidine dan
tizanidine yang termasuk golongan alpha-2 agonis. Efek samping yang ditimbulkan
seperti kelelahan, pusing, dan mulut kering (Dorsher & McIntosh 2012). Terapi obat
lainnya seperti urecholine dapat mendorong kontraksi detrusor pada tipe campuran
atau pada saraf motorik bawah. Urecholine dapat diberikan pada pasien dengan asma,
penyakit paru kronik obstruktif, hipertiroid, obstruksi jalur kemih, dan penyakit arteri
koronari atau Parkinson. Efek samping yang di timbulkan seperti hipotensi,
bradikardi, bronkokontraksi, mual/muntal, serta diare.
Pembedahan merupakan alternatif terakhir. Terapi pembedahan yang dapat dilakukan
adalah sistoplasti augmentasi, miomektomi detrusor/ autoaugmentasi, dan diversi
urin.
9. Prognosis Neurogenic Bladder
Prognosis dari pasien neurogenic bladder cenderung baik karena adanya alat medis yang
modern, staff medis terlatih, dan kemajuan dalam pengetahuan medis. Jika tidak
ditangani dengan baik, neurogenic bladder dapat menimbulkan:
 Disfungsi Permanen
Dengan adanya dari disfungsi secara permanen maka prognosis dari pasien
cenderung buruk.
 Kerusakan Ginjal Pasien
Dengan neurogenic bladder yang sudah mengalami kerusakan pada kedua ginjal
memiliki prognosis yang cenderung buruk.
 Kerusakan pada Dinding Uretra
Pasien dengan neurogenic bladder namun mengalami kerusakan pada dinding
uretra memiliki prognosis yang cenderung buruk.
MIASTENIA GRAVIS

1. Definisi Miastenia Gravis

Miastenia Gravis berasal dari 2 kata yaitu miastenia dan gravis. Miastenia berarti kelemahan otot
motorik tertentu yang berfluktuasi, terutama yang diinervasi oleh nukleus motorik di batang otak
seperti otot mata, otot kelopa mata, otot pengunyah, dan otot wajah. Gravis sendiri berasal dari
kata “grave” yang berarti buruk. Miastenia gravis adalah penyakit kelemahan otot motorik yang
berfluktuasi dan prognosisnya buruk. Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan kelemahan patologis yang berfluktuasi dengan remisi dan eksaserbasi yang
melibatkan kelompok otot satu atau beberapa rangka, terutama disebabkan oleh antibodi
terhadap reseptor asetilkolin (ACHR) di lokasi pasca sinaptik dari sambungan neuromuskuler
tanpa adanya gangguan sensorik.

2. Etiologi Miastenia Gravis

MG adalah idiopatik pada kebanyakan pasien. Meskipun penyebab utama di balik


perkembangannya masih bersifat spekulatif, hasil akhirnya adalah kekacauan regulasi sistem
kekebalan tubuh. MG jelas merupakan penyakit autoimun dimana antibodi spesifik telah
ditandai sepenuhnya. Dalam sebanyak 90% kasus umum, IgG terhadap ACHR terbukti. Bahkan
pada pasien yang tidak mengembangkan miastenia klinis, anti-antibodi ACHR kadang-kadang
dapat ditunjukkan.
Pasien yang negatif untuk antibodi anti-ACHR mungkin seropositif untuk antibodi
terhadap MuSK (Muscle-Specific Kinase). biopsi otot pada pasien ini menunjukkan tanda-tanda
miopati dengan kelainan mitokondria menonjol yang bertentangan dengan fitur neurogenik dan
atrofi sering ditemukan pada pasien positif MG untuk anti-ACHR. Penurunan mitokondria bisa
menjelaskan keterlibatan anti MuSK positif MG okulobulbar.

Sejumlah temuan telah dikaitkan dengan MG. Misalnya, perempuan dan orang dengan
leukosit antigen tertentu manusia (HLA) jenis memiliki kecenderungan genetik terhadap
penyakit autoimun. Profil histokompatibilitas kompleks meliputi HLA-B8, HLA-DRw3, dan
HLA-DQw2 (meskipun ini belum terbukti berhubungan dengan bentuk ketat okular MG). Kedua
SLE dan RA mungkin berhubungan dengan MG.
Sensitisasi terhadap antigen asing yang memiliki reaktivitas silang dengan reseptor AcH
nikotinat telah diusulkan sebagai penyebab miastenia gravis, tetapi antigen pemicu belum
diidentifikasi.
Berbagai obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk yang berikut:
a. Antibiotik (misalnya aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin, eritromisin, dan
ampisilin)
b. Penisilamin - Ini dapat menyebabkan miastenia sejati, dengan tinggi anti-ACHR titer
antibodi terlihat pada 90% kasus, namun, kelemahan ringan, dan pemulihan penuh
dicapai minggu sampai bulan setelah penghentian obat
c. Beta-adrenergik reseptor memblokir agen (misalnya, propranolol dan oxprenolol)
d. Lithium
e. Magnesium
f. Procainamide
g. Verapamil
h. Quinidine
i. Klorokuin
j. Prednisone
k. Timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaukoma)
l. Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)
m. Agen memblokir neuromuscular (misalnya, vecuronium dan curare) - Ini harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien myasthenic untuk menghindari blokade
neuromuskuler yang berkepanjangan
n. Nitrofurantoin juga telah dikaitkan dengan perkembangan MG okular dalam 1 laporan
kasus; penghentian pemberian obat mengakibatkan pemulihan lengkap.

Kelainan timus yang umum, dari pasien dengan MG, 75% memiliki penyakit timus, 85%
memiliki hiperplasia timus, dan 10-15% mengalami timoma. Tumor Ektratimik mungkin
termasuk sel kanker paru-paru kecil dan penyakit Hodgkin. Hipertiroidisme hadir dalam 3-8%
pasien dengan MG dan memiliki hubungan tertentu dengan MG okular.

3. Patofisiologi Miastenia Gravis

Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor end plate, molekul
asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui neuromuscular junction dan
kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs) di membrane postsinaptik. Kanal-
kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na + dan kation lain untuk masuk ke dalam serat otot
dan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan berkumpul menjadi
satu, dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya potensial
aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan kontraksi. Pada miastenia gravis
(MG), ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor endplate atau mendatarnya lipatan
pada membran postsinaptik yang menyebabkan pengurangan jumlah reseptor pada motor
endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor endplate lebih sedikit dan tidak
terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir. Hasilnya adalah sebuah transmisi neuromuskuler tidak
efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari penelitian antara lain:auto antibodies terhadap
reseptor AChR dan menginduksi endositosis, sehingga terjadi deplesi AChR pada membran
postsinaptik, autoantibodies sendiri menyebabkan gangguan fungsi AChR dengan memblokir
situs-situs tempat terikatnya asetilkolin dan auto antibodies menyebabkan kerusakan pada motor
endplates sehingga menyebabkan hilangnya sejumlah AChR.

Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka memiliki
antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam pathogenesis myasthenia
gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari pasien myasthenia gravis (MG) memiliki
beberapa derajat kelainan timus (misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15%
kasus). Mengingat fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan
tindakan timektomi, timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun, stimulus
yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi.

4. Manifestasi klinis Miastenia Gravis


Keluhan awal yang biasanya terjadi adalah kelemahan otot spesifik bukan kelemahan otot yang
umum dan kondisinya memburuk biasanya berfluktuasi selama beberapa jam. Tidak terlalu
terlihat pada pagi hari dan biasanya memburuk seiring berjalannya hari.

Sering terjadi Otot-otot Gejala


Ocular Ptosis dan penglihatan
ganda
Wajah Kesulitan mengunyah,
menelan, dan berbicara
Leher Kesulitan mengangkat
kepala saat posisi telentang
Ekstremitas proksimal Kesulitan mengangkat
lengan setinggi bahu dan
kesulitan berdiri dari posisi
duduk dengan bantuan
tangan
Pernapasan Gangguan pernapasan dan
kesulitan untuk bangundari
posisi tertidur 
Ekstremitas distal Kelemahan saat
Jarang terjadi mengenggam dan
kelemahan
pada pergelangan dan kaki

Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan diplopia.
Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular. Mungkin ptosis
unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata. Ocular MG dikategorikan sebagai
kelemahan dan kelelahan yang tersembunyi dan membahayakan yang dapat terjadi pada satu
atau kedua kelopak mata atau otot bola mata . Jika meliputi kelopak mata yang jatuh biasanya
dikenal sebagai ptosis ; yang mengenai otot extraocular maka pasien akan melihat dobel pada
arah otot yang lemah.
Kebanyakan pasien MG mempunyai keluhan diplopia pada saat onset penyakit mereka.
Pasien merasakan penglihatan kabur yang berfluktuasi, biasanya tidak terlihat beberapa saat
setelah bangun tidur. Diplopia terjadi saat pasien melihat kearah lateral dan ke atas, biasanya
memburuk saat pasien menyetir, menonton tv, atau saat sore hari. Gejala tersebut hilang apabila
satu mata ditutup. Gejala terjadi mungkin disebabkan oleh kelemahan pada satu otot
ekstraokular atau beberapa kombinasi otot. Ptosis biasanya yang paling menonjol dan terjadi
setelah berkedip beberapa kali. Dalam kasus ptosis unilateral, mata yang tidak ptosis akan
mengalami ptosis jika mata yang ptosis di buka dengan menggunakan jari (Hering fenomena).
Keterlibatan otot luar mata tidak mengikuti pola tertentu. Setiap gangguan motilitas okular yang
didapatkan dengan ptosis dan reflek pupil didapatkan normal, harus mengarahkan kecurigaan
pada myasthenia gravis MG.
Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya
kedua gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah terganggu, lesi yang mempengaruhi saraf
kranial seperti karsinoma nasofaring harus dicurigai. Dengan adanya sensasi wajah normal.
Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah sangat memperlihatkan gejala MG.
Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat.
Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat umum dari MG yaitu
ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan kelopak mata tertutup atas terhadap upaya
pemeriksa untuk membukanya. Sebuah usaha dari pasien meskipun terjadi kelemahan kelopak
mata akan memperlihatkan adanya fenomena Bell, rotasi bola mata ke atas selama penutupan
kelopak mata. Karena pasien dengan blefarospasme dari otot-otot orbicularis oculi mungkin
mengeluh kesulitan menjaga mata terbuka, kondisi ini kadang-kadang bingung dengan
kelemahan myasthenic. Biasanya tidak ada diplopia atau fotofobia dengan blefarospasme, dan
penutupan kelopak mata adalah spasmodik dan dipaksa dengan elevasi simultan pada kelopak
mata bawah. Kelemahan Orbicularis Oris merupakan ketidakmampuan pasien untuk mencegah
keluarnya udara melalui kerutan bibir ketika pemeriksa menekan pipi adalah pertanda
kelemahan wajah. Tertawa mengungkapkan apa yang disebut " myasthenic sneer". Pasien
tersebut tidak dapat bersiul, menyedot melalui sedotan, atau meledakkan balon.

Bicara cadel dan kesulitan menelan dapat disebabkan oleh kelemahan lidah, yang paling
mudah dinilai oleh kekuatan mendorong lidah pada satu pipi bagian dalam. Dalam kasus ringan
MG, bicara cadel dapat terdeteksi hanya selama berbicara berkepanjangan, seperti menjelang
akhir wawancara dengan dokter. Suara serak atau berbisik tidak khas pada MG. Otot lidah
rentan terhadap atrofi di MG dan lidah berkerut merupakan manifestasi dari atrofi ini.
Beberapa pasien dengan MG mungkin mengalami kesulitan dalam mengunyah karena
kelemahan penutupan rahang (terutama otot-otot masseter), sedangkan pembuka rahang tetap
kuat. Ketika kelemahan parah, rahang mungkin tetap terbuka dan harus dimanipulasi dengan
tangan selama mengunyah. Salah satu gejala paling serius dari myasthenia adalah disfagia
karena kelemahan otot lidah dan faring posterior. Jika kelemahan otot faring muncul, cairan
lebih sulit untuk ditelan dari yang padat, dan makanan panas lebih sulit daripada makanan
dingin. Adakalanya pasien untuk menggunakan es batu untuk meminum cairan yang dibutuhkan.
regurgitasi cairan ke hidung dapat menjadi masalah jika ada kelemahan otot palatal.
Ketidakmampuan untuk menelan air liur adalah konsekuensi paling parah kelemahan faring dan
membutuhkan suktion mulut.. Setelah disfagia mencapai tingkat keparahan ini, sebuah sonde
diperlukan tidak hanya untuk pemberian obat oral dan juga untuk suplemen gizi.
Nyeri otot bukan merupakan gejala umum dari MG, tapi kekejangan otot yang
menyakitkan dapat terjadi pada MG ketika otot leher yang lemah diminta untuk menahan kepala
ke atas. Fleksor leher lebih sering terlibat dalam MG daripada ekstensor leher. Pasien telentang
sangat mengalami kesulitan dalam mengangkat kepala dari bantal. Jalan napas dapat menjadi
terhambat oleh penutupan glotis, yang disebabkan oleh kelemahan otot rangka yang memegang
pita suara. Hal tersebut dapat dideteksi dengan adanya “stridor”, selama dalam usaha inspirasi
dan dapat meramalkan keadaan darurat medis yang berkembang kearah pasien membutuhkan
intubasi endotrakeal.
Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. pasien myasthenic dengan
insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas paten
dikatakan crisis. kelumpuhan Vokal dapat menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran
udara terhambat oleh sekresi pasien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu lemah.
Batuk membutuhkan penggunaan paksa otot-otot ekspirasi dan batuk berulang terutama dengan
cepat dapat menjadi tidak efektif pada MG. Bahkan jika jalan napas paten, otot yang digunakan
untuk inspirasi, seperti interkostalis dan diafragma, mungkin terlalu lemah untuk menciptakan
sebuah kekuatan inspirasi yang cukup (-50 cm H20) atau kapasitas vital (> 20 ml / kg berat
badan). Pasien tersebut harus diintubasi dan dibantu dengan respirasi mekanis. Karena
kurangnya ekspresi wajah pasien, penderita MG dalam masa krisis tidak mungkin terlihat
tertekan namun akan gelisah dengan nafas dangkal dan cepat. Biasanya, pasien duduk
membungkuk ke depan untuk memaksimalkan efek gravitasi pada diafragma. Bahkan pasien
yang tidak menyadari mempunyai masalah pernapasan mungkin memiliki kelemahan otot
pernapasan yang mengganggu tidur mereka dan dengan demikian menyebabkan mereka menjadi
lelah dan kurang perhatian pada siang hari. Terkadang sebuah penelitian tidur berguna dalam
mengidentifikasi masalah tersebut.
Kelemahan otot panggul adalah aspek yang sering diabaikan dari kelemahan otot pada
MG. Namun, beberapa pasien MG wanita dengan inkontinensia urin mengklaim bahwa itu
diringankan oleh obat antikolinesterase. Demikian juga, reseksi transurethral rutin jaringan
prostat pada pria myasthenic sering menyebabkan inkontinensia. Jika, seperti biasanya
dilakukan, sphincter proksimal akan dihapus selama operasi, suatu sfingter eksternal yang lemah
mungkin tidak dapat melakukan kontraksi refleks selama batuk atau regangan.
Mungkin karena otot lebih hangat memiliki cadangan yang kurang untuk transmisi
neuromuskuler, otot proksimal cenderung lebih terlibat dari otot distal pada MG, meskipun
beratnya keterlibatan biasanya asimetris. Kelemahan otot ekstrimitas atas proksimal di mana
kesulitan dalam mengangkat lengan untuk mencuci atau menyikat rambut, berpakaian, memakai
kosmetik, atau mencukur menunjukkan kelemahan bahu dan lengan. kelelahan otot ekstremitas
atas dapat diuji secara semikuantitatif dengan kemampuan timing pasien untuk menahan lengan
ke depan saat ekstensi. Atrofi otot skapula dan lengan bawah adalah karakteristik dari
congenital slow-channel myasthenic syndrome.
Kelemahan otot ektrimitas bawah dimana kesulitan dalam berjalan menaiki tangga atau
berjalan jarak jauh juga sering terjadi pada MG. kelelahan otot tungkai dapat diuji dengan
meminta pasien untuk mengangkat satu kaki di atas yang lain hingga 50 kali, penilaian langsung
dari kekuatan fleksor pinggul akan memperlihatkan peningkatan kelemahan dari otot-otot aktif
pada MG, dibandingkan dengan sisi tidak aktif.

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan yang
terjadi pada otot-otot ekstremitas lebih menyerupai kelemahan pada miopati proksimal dari pada
kelemahan otot distal. Kelemahan otot-otot ekstremitas pada khususnya yang timbul sebagai
sebuah gejala jarang terjadi dan prevalensinya hanya 10% saja.

Beberapa faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk:

a. Kelelahan, kurang tidur 


b. Stres, kecemasan, Depresi
c. Kelelahan, gerakan berulang
d. Rasa takut yang muncul secara tiba-tiba, kemarahan ekstrim
e. Sinar matahari atau lampu terang (mempengaruhi mata)
f. Beberapa obat, termasuk beta blocker, calcium channel blockers, dan beberapaantibiotik 
g. Minuman beralkohol
h. Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah
i. Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan mungkin
tetaptimbul sebentar setalah penyakit / infeksi tersebut sembuh.
j. Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk.

5. Klasifikasi Miastenia gravis

Klasifikasi miastenia gravis menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA).


Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat
Kelas I
menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal

Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta


adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.


Kelas IIa
Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau


Kelas IIb keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot
aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan


Kelas III otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan
tingkat sedang

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau


Kelas III a keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau


keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
Kelas III b
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan


Kelas IV dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami
kelemahan dalam berbagai derajat

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan


Kelas IV a atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau


keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan
Kelas IV b pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube
tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Terdapat klasifikasi menurut osserman dimana miastenia gravis dibagi menjadi :


1. Ocular miastenia
terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada
kematian
2. Generalized myiasthenia
a) Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan
bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
b) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak
memuaskan.
3. Severe generalized myasthenia
Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya
komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita
terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma
4. Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis
dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon
terhadap obat dan prognosis jelek
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada
waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih
jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.

6. Diagnosis Miastenia Gravis


A. Pemeriksaan Fisik
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut:
a. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan
terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita
menjadi anartris dan afonis.
b. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan
akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis,
maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali
baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
c. Uji kelelahan otot
Pada MG okuler, tes kelelahan dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk
berkedip berulang kali atau menatap ke atas selama beberapa saat (uji Simpson).
Meningkatnya penurunan kerja otot adalah tanda kelelahan. Peningkatan fenomena ptosis
dapat ditunjukkan pada pasien dengan ptosis bilateral dengan meninggikan dan menjaga
kelopak mata yang lebih ptosis dalam posisi yang tetap. Kelopak mata
berlawanan perlahan jatuh dan mungkin akan menutup sepenuhnya. Tanda kedutan
kelopak mata merupakan cara lain untuk menguji kelelahan otot. Pasien diarahkan untuk
melihat ke bawah selama 10-15 detik dan kemudian kembali dengan cepat dalam posisi
semula. Pengamatan pada gerak kelopak mata yang lebih keatas ditambah dengan
kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke kondisi ptosis, mengidentifikasi kelelahan
yang mudah terjadi dan pemulihan yang lambat dari otot. Tanda mengintip terjadi ketika
fisura palpebral melebar setelah periode penutupan kelopak mata secara volunter.
Muscle Grading Chart
Musle Gradation Description
5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh
4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang
3-sedang ROM penuh melawan gravitasi
2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi
1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi
0-nol Tanpa kontraksi
Tes Lainnya :
a. Tensilon atau Prostigmin tes
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi
maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon
disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,
maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. Pada tes
Prostigmin suntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila
perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan
lain tidak lama kemudian akan lenyap.
b. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi
(masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.
Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik
tidak  bertambah berat.
B. Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,
dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil
tes anti-asetilkolinreseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia
gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi.

b. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkanhasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia
kurang dari 40 tahun.Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-
SM Ab dapat menunjukkanhasil positif.
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK
Ab.
d. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi
yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR).
Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia
muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan
adanya thymoma pada pasienmuda dengan miastenia gravis.
C. Imaging
a. Chest x-ray
foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada
roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum.
Hasil roentgen belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil,
sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk mengidentifikasi thymoma
pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
b. MRI

Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat
digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

7. Differensial diagnosis Miastenia Gravis

Gangguan dari neuromuskuler junction (NMJ) secara klinis heterogen. Ekspresi klinis dari
gangguan ini adalah fitur miasthenik dalam bentuk kelemahan otot variabel dan
kelelahan.Miasthenik sindrom (MS) diberikan kepada sekelompok gangguan dari NMT
dengan patofisiologi yang berbeda dari yang ada pada myasthenia gravis autoimun.
1. Lambert-Eaton miasthenik sindrom (LEMS)
2. Botulisme

8. Penatalaksanaan Miastenia Gravis

Meskipun tidak ada penelitian tentang obat yang telah dilaporkan dan tidak ada konsensus yang
jelas pada strategi pengobatan, myasthenia gravis (MG) adalah salah satu gangguan neurologis
yang paling dapat diobati. Beberapa faktor (misalnya, tingkat keparahan, distribusi, kecepatan
perkembangan penyakit) harus dipertimbangkan sebelum terapi dimulai atau diubah.
Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen imunosupresif, seperti
kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan immune globulin intravena (IVIG).
Plasmapheresis dan thymectomy juga digunakan untuk mengobati MG. Mereka bukan
merupakan terapi tradisional imunomodulasi medis, tetapi mereka berfungsi dengan cara
memodifikasi sistem kekebalan tubuh. Thymectomy merupakan pilihan pengobatan yang
penting untuk MG, terutama jika terdapat thymoma.
MG adalah penyakit kronis yang dapat secara akut akan memburuk selama beberapa hari
atau minggu. Pengobatan memerlukan evaluasi kembali yang terjadwal dan hubungan dokter-
pasien yang dekat. Pasien dengan MG memerlukan perawatan ketat bekerja sama dengan dokter.
Intubasi dan unit perawatan intensif (ICU) biasanya dilakukan pada pasien myasthenic
krisis dengan gagal pernapasan. Kegagalan pernapasan yang cepat dapat terjadi jika pasien tidak
diawasi dengan benar. Pasien harus diawasi sangat hati-hati, terutama pada eksaserbasi, dengan
mengukur kekuatan inspirasi negatif dan kapasitas vital. Setelah pasien dengan dugaan MGC
telah diidentifikasi, langkah segera harus diambil untuk mengintubasi pasien. Hal ini harus
dilakukan melalui intubasi oral cepat. Pasien harus disiapkan O2 mask sampai saturasi oksigen
arteri 97%. IV normal saline harus tetes cepat untuk menghindari hipotensi yang berhubungan
dengan intubasi. Pemantauan tekanan darah terus menerus adalah wajib. Etomidate adalah agen
anestesi umum digunakan pada dosis IV bolus 0,2 hingga 0,3 mg / kg. Agen paralitik harus
dihindari kecuali mutlak diperlukan karena pasien MG sensitif terhadap efek mereka. Jika perlu,
agen nondepolarizing seperti vecuronium lebih bagus. Pengaturan ventilator harus dioptimalkan
untuk memungkinkan pasien istirahat dan mambantu ekspansi paru. Disarankan mulai dengan
kontrol assist (AC) dengan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) 5 cm H2O, volume tidal
rendah (6 mL / kg berat badan ideal), dan tingkat pernapasan 12 sampai 16/min. Meskipun
dahulu, tidal volum yang besar (12 ml / kg) direkomendasikan untuk pasien MG, literatur baru
menunjukkan bahwa tidal volume rendah (6 mL / kg) dan frekuansi pernapasan yang lebih cepat
(12-16 napas / menit) dapat membantu menghindari cedera paru pada pasien yang terintubasi.
Alur penatalaksanaan Miastenia Gravis.

Diagnosis MG

MG okular MG generalisata MG krisis

Antikolinesterase
MRI kepala (pyridostigmine) Intensive care unit
(+)→ reasses

Antikolinesterase Evaluasi untuk thimektomi


(pyridostigmine) Indikasi : thimoma atau MG
generalisata
Evaluasi resiko operasi, FVC

Jika tidak
Resiko bagus Resiko jelek Plasmaparesis atau
memuaskan
FVC bagus FVC jelek IVIg

Thimektomi Tidak ada


perbaikan
perbaikan

Evaluasi status klinis,


immunosupresan bila ada
indikasi

Imunosupresan

A. Kolinesterase inhibitor
a. Pyridostigmine
Pyridostigmine bekerja pada otot polos, sistem saraf pusat (SSP), dan kelenjar
sekretori, di mana kerjanya memblok AChE. agen intermediate-acting, lebih disukai
dalam penggunaan klinis daripada “short-acting” bromida neostigmine dan “long
acting” klorida ambenonium. bekerja dalam 30-60 menit, efek berlangsung 3-6 jam.
MG tidak mempengaruhi semua otot rangka yang sama, dan semua gejala mungkin
tidak dapat dikendalikan tanpa efek samping. Pada pasien kritis atau pasca operasi,
obat diberikan secara intravena (IV). Di Amerika Serikat, pyridostigmine tersedia
dalam 3 bentuk: 60-mg tab, 180-mg timespan tablet, dan 60 mg / 5 ml sirup. Efek
dari tablet timespan bertahan 2,5 kali lebih lama. Bentuk timespan adalah sebagai
adjuvan pyridostigmine reguler untuk mengontrol gejala myasthenic pada malam
hari. Penyerapan dan bioavailabilitas tablet timespan bervariasi antara pasien.
b. Neostigmine
Neostigmine menghambat penghancuran AcH oleh AChE, sehingga memfasilitasi
transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor short-acting yang tersedia dalam
bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang sesuai untuk jalur IV, intramuskular
(IM), atau subkutan (SC). Waktu paruhnya 45-60 menit. Obat ini sulit diserap dalam
saluran gastrointestinal (GI) dan harus digunakan hanya jika pyridostigmine tidak
ada.
c. Edrophonium
Edrophonium terutama digunakan sebagai alat diagnostik untuk memprediksi respon
terhadap long-acting cholinesterase inhibitor. Seperti cholinesterase inhibitor lain,
edrophonium menurunkan metabolisme AcH, meningkatkan efek kolinergik di NMJ.
B. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah agen anti-inflamasi dan imunomodulasi digunakan untuk
mengobati idiopatik dan gangguan autoimun. Obat ini termasuk di antara para agen
imunomodulasi yang pertama kali digunakan untuk mengobati MG dan masih sering
digunakan dan efektif. Obat ini biasanya digunakan dalam kasus sedang atau berat yang
tidak merespon terhadap AChE inhibitor dan thymectomy. Pengobatan jangka panjang
dengan kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan remisi atau menyebabkan
perbaikan pada kebanyakan pasien. Perburukan mungkin terjadi awalnya, perbaikan
klinis ditunjukkan setelah 2-4 minggu. Agen ini biasanya diberikan lebih dari 1 atau 2
tahun. Remisi didapatkan 30% dan perbaikan 40%. Kortikosteroid bekerja di kedua MG
baik ocular MG maupun MG generalisata. Mereka dapat dikombinasikan dengan obat
imunosupresif lainnya untuk efek yang lebih baik dengan dosis lebih rendah dan durasi
yang lebih singkat.
a. Prednisone
Prednisone adalah kortikosteroid yang paling umum digunakan di Amerika Serikat.
Beberapa ahli percaya bahwa administrasi jangka panjang dari prednison bermanfaat,
tetapi yang lain menggunakan obat hanya selama eksaserbasi akut untuk membatasi
efek yang merugikan dari penggunaan steroid lama. Prednisone efektif dalam
mengurangi eksaserbasi MG dengan menekan pembentukan autoantibodi. Namun,
efek klinis sering tidak terlihat selama beberapa minggu. Peningkatan signifikan,
yang mungkin berhubungan dengan titer antibodi menurun, biasanya terjadi pada 1-4
bulan.
b. Methylprednisolone
Methylprednisolone dapat digunakan pada pasien yang diintubasi dan pada mereka
tidak dapat mentoleransi asupan oral. Ini mengurangi inflamasi dengan menekan
migrasi sel polimorfonuklear (PMN) dan membalikkan peningkatan permeabilitas
kapiler.
C. Imunosupresan
a. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan. Karena efek samping kortikosteroid, klinisi dan
dokter seringkali menggunakan steroid-sparing medications, misalnya: azathioprine,
dengan dosis yang ditingkatkan secara bertahap sampai 2-3 mg/KgBB/hari PO.
Perbaikan maksimal dicapai dalam waktu 1-2 tahun, karena kerja azathioprine yang
lebih lambat daripada kortikosteroid. Azathioprine digunakan bersama-sama dengan
kortikosteroid, bukan sebagai monoterapi.
b. Mycophenolate mofetil
sebagai suatu monoterapi yang bersifat adjunctive atau corticosteroid-sparing
therapy, dengan dosis 1-1,5 g PO dua kali sehari. Selama mimum obat ini,
disarankan untuk menghindari paparan sinar ultraviolet. Manfaat (perbaikan) klinis
dapat dirasakan setelah 1-2 bulan, sedangkan efek maksimal obat ini biasanya
dirasakan sekitar 6 bulan. Penggunaan mycophenolate mofetil bersama-sama dengan
azathioprine tidak dianjurkan.
c. Cyclosporine
Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2 x sehari; setelah 4
minggu, dosis dapat dinaikkan 0,5 mg/KgBB/hari dengan interval 2 minggu, sampai
dosis maksimum 4 mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide dapat digunakan oleh
dokter yang benar-benar paham efek samping dan dapat memonitor (tekanan darah,
CBC, asam urat, potassium, lipid, magnesium, serum creatinine dan BUN) pasien
secara ketat (setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama terapi, lalu setiap bulan jika
pasien sudah stabil).
D. Imunoglobulin
IVIG direkomendasikan untuk MG krisis, pada pasien dengan kelemahan berat yang
kurang terkontrol dengan agen lainnya, atau sebagai pengganti dari pertukaran plasma
dengan dosis 1 g / kg. IVIG efektif dalam MG sedang atau berat yang memburuk
menjadi krisis. Dosis tinggi IVIG berhasil pada MG, meskipun mekanisme kerja tidak
diketahui. Hal ini digunakan dalam manajemen krisis (misalnya, myasthenic krisis dan
periode perioperatif) bukan atau dalam kombinasi dengan plasmapheresis. Seperti
plasmapheresis, ia memiliki onset yang cepat, tetapi efek berlangsung hanya dalam
waktu singkat.
E. Plasmaparesis
Plasmapheresis (pertukaran plasma) dipercaya bekerja dengan menghilangkan faktor
humoral (yaitu, anti-ACHR antibodi dan kompleks imun) dari sirkulasi. Hal ini
digunakan sebagai tambahan untuk terapi imunomodulator lain dan sebagai alat untuk
manajemen krisis. Seperti IVIG, plasmaferesis umumnya digunakan untuk myasthenic
krisis dan kasus-kasus refrakter. Perbaikan terjadit dalam beberapa hari, tetapi tidak
berlangsung lebih dari 2 bulan. Plasmaferesis merupakan terapi efektif untuk MG,
terutama dalam persiapan untuk operasi atau jangka pendek pengelolaan eksaserbasi.
Plasmapheresis jangka panjang teratur setiap minggu atau bulanan bisa digunakan bila
pengobatan lain tidak dapat mengendalikan penyakit ini. Komplikasi terutama terbatas
pada komplikasi intravena (IV) akses (misalnya, penempatan garis pusat) tetapi juga
dapat mencakup gangguan hipotensi dan koagulasi (meskipun jarang).
F. Thimektomi
Thimektomi merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam myasthenia gravis
(MG),terutama jika ditemukan adanya thymoma. Telah diusulkan sebagai terapi lini
pertama pada kebanyakan pasien dengan myasthenia gravis (MG) umum. Thimectomi
dapat menyebabkan remisi. American Association of Neurology merekomendasikan
thimectomi untuk nonthymomatous pasien myasthenia gravis (MG) autoimun.
Thimectomi direkomendasikan sebagai pilihan untuk meningkatkan kemungkinan remisi
atau perbaikan.

9. Prognosis Miastenia Gravis


a. Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
b. MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
c. 40% hanya gejala okuler.
Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, > 50% kasus berkembang ke myasthenia gravis
(MG) umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan <10%. Sekitar 15-17% pasien akan tetap
mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-pasien ini
disebut sebagai myasthenia gravis (MG) okular. Sisanya mengembangkan kelemahan umum dan
disebut sebagai generalized myasthenia gravis (MG). Sebuah studi dari 37 pasien myasthenia
gravis (MG) menunjukkan bahwa kehadiran thymoma terkait dengan gejala yang lebih buruk.
Neuropati
1. Definisi
Neuropati adalah keadaan dengan gangguan fungsi dan struktur pada saraf tepi.

2. Epidemiologi
Neuropati dapat mengenai semua umur, terbanyak pada usia 30 – 50 tahun, laki – laki
relatif lebih banyak daripada wanita.

3. Etiologi
Neuropati dapat disebabkan oleh infeksi (endotoksin difteria, sindrom Guillain-Barre),
gangguan metabolik (defisiensi vitamin B1 dan B12, keracunan logam berat, obat-obatan),
gangguan endokrin (diabetes mellitus), alergi, trauma, gangguan vaskular dan kompresi.

4. Gejala Klinis
Pada umumnya neuropati menimbulkan gangguan campuran sensorik dan motoriks, kadang
– kadang gangguan fungsi otonom, dan mungkin pula terjadi kelainan motorik lebih menonjol
seperti pada sindrom Guillain-Barre, neuropati porfiria dan difteri. Gangguan sensorik lebih
menonjol pada defisiensi, diabetes mellitus, amiloidosis dan kusta. Gejala gangguan otonom
lebih menonjol pada neuropati diabetika, amiloidosis dan sindrom disautonomia familial.
Gejala sensorik biasanya mulai pada ujung – ujung jari kaki dan tangan, berupa parestesi
(perasaan kesemutan, baal) atau perasaan hiperestesi. Penderita dengan neuropati sensorik yang
menahun sering tidak merasa dan tidak mengenal bentuk benda dengan jari – jarinya, sering
mengalami berbagai luka tanpa mengetahuinya. Gangguan otonom merupakan gejala – gejala
hipotensi, perubahan trofik kulit, impotensi, atoni vesika urinaria dan diare waktu malam. Gejala
hiporefleksia atau arefleksia biasanya ditemukan secara umum pada penderita neuropati.
(Markam, 2008)
Kelainan motorik mengenai otot – otot kaki dan tungkai terlebih dahulu dan pada umumnya
lebih berat, kemudian baru mengenai otot – otot tangan dan lengan. Pada kasus ringan dapat
hanya mengenai kaki saja. Kelemahan dapat berlanjut ke arah otot – otot trunkus dan tengkuk.
Paralisis brakhialis jarang ditemukan. Kelemahan otot – otot wajah dan saraf kranialis kadang –
kadang dijumpai, terutama pada sindrom Guillain-Barre. Atrofi otot terjadi secara perlahan –
lahan setelah beberapa minggu atau bulan, bergantung berat atau ringannya kerusakan serabut
saraf. (Harsono, 2011)
5. Klasifikasi
Berdasarkan jumlah saraf yang terkena, neuropati dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
(Harsono, 2011)
A. Mononeuropati
Lesi bersifat fokal pada saraf tepi atau lesi bersifat fokal majemuk yang terpisah – pisah
dengan gambaran klinis yang simetris atau tidak simetris. Penyebabnya adalah proses fokal
misalnya penekanan pada trauma, tarikan, luka,penyinaran, berbagai jenis tumor, infeksi fokal
dan gangguan vaskular. Mononeuropati yang sering terjadi antara lain:
a. Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
Sindrom ini terjadi akibat kompresi nervus medianus pada pergelangan tangan saat saraf ini
melalui terowongan karpal. Nervus medianus tersusun oleh belahan fasikulus lateralis dan
belahan fasikulus medialis. Nervus ini membawa serabut-serabut radiks ventralin dan dorsalis
C6, C7, C8 dan T1. Otot – otot yang disarafinya antara lain m. pronator teres, m. pronator
kuadratus, mm. lumbikales, mm. fleksor digitorum profundus dan mm. interosease sisi radial,
m. oponens polisis dan m. abductor polisis brevis. Gambaran klinis CTS adalah : (Ginsberg,
2005; Mardjono dan Sidharta, 2009)
1) Nyeri di tangan atau lengan, terutama pada malam hari atau saat bekerja
2) Pengecilan dan kelemahan otot – otot eminensia tenar
3) Hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nevus medianus
4) Parestesia seperti kesemutan pada distribusi nervus medianus saat dilakukan perkusi pada
telapak tangan daerah terowongan karpal (tanda Tinel)
5) Kondisi ini sering bilateral

Gambar 1. Carpal Tunnel Syndrome, akibat kompresi pada n. medianus sehingga menyebabkan nyeri,
parestesi dan hipestesi pada distribusi n. medianus
Carpal Tunnel Syndrome seringkali berhubungan dengan kondisi medis, seperti deformitas
lokal (misalnya sekunder akibat osteoartritis,fraktur), diabetes mellitus, artritis rheumatoid,
miksedema, akromegali dan amiloidosis. Diagnosis dapat dipastikan secara elektrodiagnostik.
Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab meliputi kadar glukosa darah, laju endap darah
dan fungsi tiroid. Pilihan terapi dapat meliputi : (Ginsberg, 2005)
1) Balut tangan, terutama pada malam hari, pada posisi ekstensi parsial pergelangan tangan
2) Injeksi lokal terowongan karpal dengan kortikosteroid
3) Dekrompesi n. medianus pada pergelangan tangan dengan pembedahan pada divisi fleksor
retinakulum.
b. Neuropati ulnaris
Nervus ulnaris rentan terhadap kerusakan akibat tekanan pada beberapa tempat di sepanjang
perjalanannya, tetapi terutama pada siku. N. ulnaris mensarafi otot – otot m. fleksor karpi
ulnaris, m. digitorum profundus sisi ulnar, m. palmaris brevis, m. lumbrikalis sisi ulnar, keuda
m. interosei dorsalis sisi ulnar, m. abductor polisis dan m. fleksor polisis brevis. Karena
kelumpulan otot – otot tersebut, maka tangan yang lumpu memperlihatkan sikap khas yang
disebut sebgai “claw hand”. Gejala klinis neuropati ulnaris meliputi: (Ginsberg, 2005; Mardjono
dan Sidharta, 2009)
1) Nyeri dan/atau parestesia seperti kesemutan yang menjalar ke bawah dari siku ke lengan
sampai batas ulnaris tangan
2) Atrofi dan kelemahan otot – otot intrinsic tangan
3) Hilangnya sensasi tangan pada distribusi n. ulnaris
4) Deformitas berupa claw hand yang khas pada lesi kronik.

Gambar 2.
Neuropati ulnaris, area parestesi dan claw hand pada distribusi n. ulnaris

Pemeriksaan konduksi saraf dapat menentukan lokasi lesi sepanjang perjalanan n. ulnaris.
Lesi ringan dapat membaik dengan balutan tangan pada malam hari, dengan posisi siku ekstensi
untuk mengurangi tekanan pada saraf. Untuk lesi yang lebih berat, dapat dilakukan dekompresi
bedah atau transposisi n. ulnaris, namun belum dapat dijamin keberhasilannya. Tetapi operasi
diperlukan jika terdapat kerusakan n. ulnaris terus – menerus, yang ditunjukkan dengan gejala
nyeri persisten dan/atau gangguan motorik progresif. (Ginsberg, 2005)
c. Palsi radialis
Otot – otot yang disarafi n. radialis ialah m. triseps, m. ankoneus, m. brakioradialis, m.
ekstensor karpi radialis longus, m. ekstensor karpi radialis brevis, m. supinator, m. digitorum, m.
ekstensor digiti kuniti, m. ekstensor karpi ulnaris, ketiga m. ekstensor polisis dan m. ekstensor
indiksis. Tekanan pada n. radialis di lengan atas menyebabkan wrist drop akut dan kadang
hilangnya sensasi pada distribusi n. radialis superfisial. Umumnya, n. radialis sering mengalami
trauma pada 1/3 bagian bawah, sehingga m. triseps dan m. brakioradialis tidak lumpuh.
(Mardjono dan Sidharta, 2009)
Lesi yang sering merusak bagian atas n. radialis adalah fraktur tulang humerus, terutama
bagian n. radialis yang melilit dari bagian dorsomedial tulang humerus ke bagian
ventrolateralnya. Bagian ini sering juga terkena penekanan dan kehilangan fungsi sementara.
Umumnya hal ini terjadi akibat kelainan postur lengan atas dalam waktu lama, misalnya tidur
sambil duduk dengan menempatkan ketiak pada sandaran kursi, terutama jika tidur nyenyak
karena intoksikasi alkohol, sering disebut juga sebagai “Saturday night palsy”. Tangan menjadi
menjulai dan tidak dapat didorsofleksikan (wrist drop / drop hand). Semua otot yang disarafi n.
radialis tidak dapat digerakkan, tetapi defisit sensorik yang mengiringi hanya terbatas pada kulit
dorsum manus selebar metacarpus pertama dan kedua. (Mardjono dan Sidharta, 2009)

Gambar 3. Palsi radialis, menyebabkan wrist drop dan hilangnya sensasi pada distribusi n. radialis.
B. Polineuropati
Neuropati jenis ini menyebabkan kelainan fungsional yang simetris, biasanya disebabkan
oleh kelainan – kelainan difus yang mempengaruhi seluruh susunan saraf pusat seperti gangguan
metabolik, keracunan, keadaan defisiensi, dan reaksi imuno-alergik. Bila gangguan hanya
mengenai akar saraf spinalis maka disebut poliradikulopati dan bila saraf spinalis juga ikut
terganggu makan disebut poliradikuloneuropati. Gangguan fungsi saraf tepi terutama bagian
distal tungkai dan lengan, senosrik dan motorik. Tungkai terkena terlebih dahulu. Gangguan
saraf otak otak dapat terjadi pada polineuropati yang berat seperti kelumpuhan nervus facialis
bilateral dan saraf – saraf bulbar misalnya pada poliradikuloneuropati (sindrom Guillain-Barre).
(Harsono, 2011)
Polineuropati dapat disebabkan oleh infeksi (lepra, difteri, penyakit Lyme, HIV), inflamasi
(sindrom Guillain-Barre, polineuropati demielinasi kronik, sarkoidosis, sindrom Sjorgen,
vaskulitis-lupus, poliartritis), neoplastik (paraneoplastik, paraproteinemik), metabolik (diabetes
mellitus, uremia, miksedema, amiloidosis), nutrisi ( defisiensi vitamin, teruata tiamin, niasin dan
B12), toksik (alkohol, timbal, arsen, emas, merkuri, talium, insektisida, heksana) dan obat-
obatan (isoniazid, vinkristin, sisplastin, metronidazole, nitrofurantoin, fenitoin, amiodaron).
Polineuropati yang sering ditemukan adalah: (Ginsberg, 2005)
a. Neuropati Diabetika
Neuropati diabetika adalah sekumpulan gejala yang disebabkan oleh degenerasi saraf
perifer atau otonom sebagai akibat diabetes mellitus. Neuropati merupakan komplikasi tersering
pada diabetes mellitus. Neuropati DM dapat bersifat akut dan reversibel sampai dengan bentuk
kronis dan ireversibel. Umumnya neuropati diabetika terjadi setelah adanya intoleransi glukosa
yang cukup lama.
Patofisiologi adalah pada diabetes mellitus, peranan insulin memobilisasi glukosa sangat
minimal. Dalam kondisi hiperglikemik glukosa diubah oleh aldose reduktase menjadi sorbitol.
Akumulasi sorbitol dapat terjadi 24 – 48 jam setelah hiperglikemia, terutama pada neuron, lensa,
pembuluh darah dan eritrosit. Sorbitol bersifat higroskopik, sehingga akan meningkatkan
tekanan osmotik sel. Mio-inositol merupakan bagian plasma dan membrane sel. Pada diabetes
mellitus, mio inositol banyak diekskresikan melalui urin dan sebaliknya akumulasi sorbitol dan
fruktosa dalam sel mempengaruhi pengambilan mio-inositol. Rendahnya kadar mio-inositol ini
menyebabkan gangguan fungsi aTP-ase, sehingga terjadi gangguan konduksi saraf. Mio-inositol
merupakan precursor polifosfo-inositida yang penting dalam mengatur aksi potensial saraf.
Penimbunan sorbitol dan penurunan mio-isonitol menyebabkan gangguan pada sel Schwan dan
akson. Proses ini menyebabkan terjadinya demielinisasi dan degenerasi akson. (Harsono, 2011)
Gambaran klinik neuropati terlihat pada 20% penderita diabetes mellitus, tetapi dengan
pmeriksaan elektrofisiologi pada diabetes mellitus asimtomatik tampak bahwa penderita sudah
mengalami neuropati subklinik. Pada kasus yang jarngan, neuropati mungkin merupakan tanda
awal suatu diabetes mellitus. Bentuk-bentuk gambaran klinik neuropati diabetika adalah sebagai
berikut: (Harsono, 2011)
1) Polineuropati sensorik – mototrik simetris
Bentuk ini paling sering dijumpai, keluhan dapat dimulai dari adanya rasa tebal atau
kesemutan, terutama pada tungkai bawah dan menurunnya serta hilangnya refleks tendon
Archilles. Kadang – kadang ada rasa nyeri di tungkai. Nyeri ini dapat mengganggu penderita
pada waktu malam hari, terutama pada waktu penderita sedang tidur. Kadang – kadang
penderita mengeluh sukar berjinjit dan sulit berdiri dari posisi jongkok.
2) Neuropati otonom
Keluhan ini bermacam – macam, bergantung pada saraf otonom mana yang terkena.
Penderita dapat mengeluh diare yang bergantian dengan konstipasi, dialtasi lambunng atau
disfagia. Gangguan pengosongan kandung kemih disebabkan oleh kaarena mukosanya
kurang peka lagi. Impotensi lebih sering dijumpai dan ini semakin nyata apabila neuropati
bentuk lain sudah terjadi. Impotensi terjadi secara perlahan – lahan, mulai dari gangguan
ereksi sampai gangguan ejakulasi. Gangguan berkeringat dapat dalam bentuk hyperhidrosis,
berkeringan hanya keluar banyak di sekitar wajah, leher dan dada bagian atas, terutama
sesudah makan. Sementara itu, gangguan lain dapat berbentuk hipotensi ortostatik dan
bahkan sinkop yang sulit diatasi.
Diagnosis dibuat berdasarkan ditemukan tanda dan gejala klinik suatu neuropati pada
penderita diabetes mellitus. Pemeriksaan laboratorium terutama pemeriksaan darah untuk
glukosa dalam keadaan puasa dan 2 jam sesudah makan. Untuk konfirmasi diagnosis neuropati
dilakukan pemeriksaan ENMG.

b. Sindrom Guillain-Barre
Sindrom Guillain-Barre adalah suatu demielinasi polineuropati akut. Insidensinya sekitar 1
hingga 2 kasus per 100.000 orang per tahun. Etiologi tidak diketahui, dan penyakit ini dapat
muncul spontan atau setelah suatu prodoma virus, infeksi Mycoplasma, reaksi alergi, tindakan
bedah, diduga kuat terdapat suatu dasar imunologis. Keadaan pencetus yang paling sering
dilaporkan adalah infeksi Campylobacter jejuni, yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan
demam. (Price dan Wilson, 2006)
Patofisiologinya ialah adanya suatu kejadian pencetus (virus atau proses inflamasi)
mengubah sel dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sel tersebut sebagai sel asing.
Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan makrofag akan menyerang myelin. Selain itu,
limfosit T menginduksi limfosit B untuk menghasilkan antibodi yang menyerang bagian tertentu
dari selubung myelin, menyebabkan kerusakan myelin. Demielinasi akson saraf perifer
menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif. Gejala positif adalah nyeri dan parestesia
yang berasal dari aktivitas impuls abnormal dalam saraf sensoris atau “cross-talk” listrik antara
akson abnormal yang sudah rusak. Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot,
hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi. (Price dan Wilson, 2006)
Pasien memperlihatkan kelemahan motorik yang progresif cepat dan asendens serta dapat
menyebabkan kematian akibat kegagalan otot pernapasan. Keterlibatan sensorik biasanya jauh
lebih ringan daripada disfungsi motorik. Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer dengan
distribusi sarung tangan dan kaus kaki (gloves and stocking pattern), tetapi kadang – kadang
gangguan tampak segmental. Hipotoni dan hiporefleksi selalu ditemukan. Temuan
histopatologik dominan adalah infiltrasi saraf perifer oleh makrofag dan limfosit reaktif, dan
demielinisasi segmental. Cairan serebrospinal biasanya memperlihatkan peningkatan kandungan
protein, tetapi reaksi selnya minimal.
Terdapat beberapa varian GBS yaitu polineuropati demielinatif inflamatori akut (AIDP),
neuropati aksonal motor akut (AMAN), dan sindroma Miller-Fisher (MFS). AIDP merupakan
90 % dari GBS yang gejalanya dimulai dengan parestesia pada jari-jari kaki dan ujung jari
tangan, diikuti kelemahan dan arefleksia yang memberat dengan cepat. Kelemahan mencapai
plato (menetap) dalam empat minggu, setelahnya dimulai pemulihan. Beberap kasus adalah
ganas, lengkap dalam satu atau dua hari. Pada puncak penyakit ini, kebanyakan pasien lumpuh
lengkap dan tidak dapat bernafas. Bahkan dengan perawatan intensif modern, sekitar 5 % pasien
tewas karena paralisis nafas, henti jantung (mungkin karena disfungsi otonom), sepsis, dan
komplikasi lain. Sepuluh persen dari yang pulih memiliki kelemahan residual. Walau mudah
mendiagnosis jenis yang klasik ini, GBS sering terlalaikan karena tampilan klinis yang atipik
seperti oftalmoplegia, ataksia, kehilangan sensori, dan disotonomia.
Dua kelainan laboratorium utama pada GBS adalah penurunan kecepatan konduksi saraf
atau blok konduksi serta peninggian protein CSS dengan relatif sedikit sel (dissosiasi
albuminositologik). Saraf tepi memperlihatkan sel mononuklir perivenular, demielinasi (protein
mielin adalah sumber peninggian protein CSS), dan makrofag. Kerusakan aksonal, yang
berperan pada defisit permanen bervariasi dan mungkin berat. Kelainan patologi paling berat
pada akar dan pleksus spinal serta kurang nyata pada saraf yang lebih distal. Pada fase
pemulihan, saraf memiliki selubung mielin tipis, menunjukkan regenerasi mielin. AMAN
memperlihatkan kerusakan akson dengan sedikit inflamasi.
Plasmaferesis / penggantian plasma dan immunoglobulin intravena adalah terapi terpilih.
Pengobatan ini telah terbukti dapat mempercepat penyembuhan sehingga mengurangi resiko
komplikasi. Prednisone oral 60mg/hari efektif pada kasus sedang, sedangkan ACT 120 ug/hari
dapat diberikan pada kasus berat. Sindrom Guillain-Barre biasanya merupakan penyakit
monofasik, dengan 80% pasien akhirnya menunjukkan pemulihan yang baik. Akan tetapi, waktu
untuk mencapai kembali pemulihan sempurna dapat memakan waktu berbulan – bulan, yang
bisa disertai nyeri, ansietas dan depresi yang seringkali tidak disadari. Kematian terjadi pada 5 –
10% pasien akibat disritmia jantung, emboli paru atau sepsis yang menyebabkan imobilitas.
Lebih dari 10% mengalami kecacatan permanen dan beberapa mengalami relaps. Indicator untuk
prognosis yang buruk mencakup: (Ginsberg, 2005)
1) Usia pasien yang meningkat
2) Onset kelemahan yang cepat
3) Kebutuhan ventilasi
4) Antibodi antigangliosida
5) Penyakit diare yang mendahului
6) Parameter elektrofisiologis menunjukkan degenerasi aksonal yang signifikan.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan elektrofisiologik
Pemeriksaan EMG dan kecepatan hantar saraf merupakan cara diagnostik khusus dalam
penentuan diagnosis neuropati. Cara ini dapat memberitahukan tempat gangguannya, apakah
di otot, saraf tepi atau sel kornu anterior. Pmeriksaan kecepatan hantaran saraf dapat
menentukan derajat gangguan serta perkembangan selanjutnya secara objektif.
b. Pemeriksaan likuor serebrospinalis
Pemeriksaan likuor serebrospinalis (LCS) perlu dilakukan dalam beberapa keadaan yang
mirip dengan neuropati. Kadar protein dalam LCS dapat naik secara tajam pada keadaan
tertentu seperti misalnya sindrom Guillain-Barre. Di samping kadar protein penentuan
jumlah sel, kadar gula dan klorida juga diperlukan.
c. Pemeriksaan histologik
Biopsi saraf hanya dilakukan pada kasus tertentu. Histologis gangguan neuropati dapat
dibagi dalam gangguan primer di akson, sel Schwann atau jaringan interstial.
7. Penatalaksanaan
Terapi ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab. Kemudian koreksi dilakukan
terhadap keadaan – keadaan metabolik yang abnormal seperti diabetes mellitus dan defisiensi
vitamin serta menghilangkan kompresi pada saraf. Sebagai terapi simptomatik, untuk mengatasi
nyeri dapat diberikan analgesik yang dapat dikombinasi dengan neuroleptic atau karbamazepin.
Akhir – akhir ini terdapat kecenderungan untuk memakai obat – obat yang dapat merangsang
proteosintesis sel Schwan untuk regenerasi. Obat yang sudah dipakai adalah metikobalamin,
suatu derivat vitamin B12 dengan dosis 1500 mg/hari selama 6 – 10 minggu. Obat lain ialah
gangliosid yang merupakan komponen intrinsik dari membran sel neuron, dengan dosis 2 x 200
mg intramuskularis selama 8 minggu. Terapi vitamin diberikan pada kasus – kasus defisiensi
yang lazimnya berupa neurotonika yaitu kombinasi vitamin B1, B6 dan B12 dosis tinggi.
Pemberian kortison dan ACTH tetap kontroversial, namun pemberiannya dapat
dipertimbangkan pada neuropati yang kronis atau pada neuropati yang residif, kecuali ada
kontraindikasi. Selanjutnya dilakukan pencegahan decubitus dan kontraktur dengan memberikan
fisioterapi yang intensif, kemuda mobilisasi dan masase otot – otot dan gerakan sendi.
TRAUMA MEDULLA SPINALIS

1. Definisi

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf
pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra. Ketika
terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari
tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali.
Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula
spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.

2. Epidemiologi

Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami
cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai
203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara tersebut.

Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak berdayaan,
rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang tinggi. Pada tahun
2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk mengetahui epidemiologi
penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis di Amerika Serikat.

Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000 orang
melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang digunakan dalam
survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang
dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula spinalis.

Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak di
Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%),
menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%). Penyebab cedera medula spinalis di
negara berkembang bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas
mencakup sebesar 49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30%
di Taiwan.

3. Etiologi

Cedera medulla spinalis di bedakan atas 2 jenis, yaitu:

a) Cedera medulla spinalis traumatik : terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti
yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi
traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis.
Sesuai dengan
American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal
Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan
kontusio dari kolum vertebra.

b) Cedera medulla spinalis non-traumatik : terjadi ketika kondisi kesehatan seperti


penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan
yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor
penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati
spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
4. Klasifikasi

Klasifikasi Menurut American Spinal Injury Association :

Grade A Hilangnya seluruh fungsi morotik dan


sensorik dibawah tingkat lesi

Grade B Hilangnya seluruh fungsi motorik dan


sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat
lesi.

Grade C Fungsi motorik intak tetapi dengan


kekuatan di bawah 3.

Grade D Fungsi motorik intak dengan kekuatan


motorik di atas atau sama dengan 3.

Grade E Fungsi motorik dan sensorik normal.

Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel


Score.

Frankel Score A kehilangan fingsi motorik dan sensorik


lengkap (complete loss).

Frankel Score B Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik


utuh.

Frankel Score C Fungsi motorik ada tetapi secara praktis


tidak berguna (dapat menggerakkan
tungkai tetapi tidak dapat berjalan).

Frankel Score D Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan


tetapi tidak dengan normal ”gait”).

Frankel Score E Tidak terdapat gangguan neurologik.


Sedangkan lesi pada medulla spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas :

a) Paraplegia : suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik karena
kerusakan pada segmen torako-lumbo-sakral.
b) Quadriplegia : suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik
karena kerusakan pada segmen servikal.
Spesifik Level

C1–C2 Quadriplegia, kemampuan bernafas


(-).

C3–C4 Quadriplegia, fungsi nervus


phrenicus (-), kemampuan bernafas
(-)

C5–C6 Quadriplegia, hanya ada gerak


kasar lengan

C6–C7 Quadriplegia, gerak biceps (+),


gerak triceps (-)

C7–C8 Quadriplegia, gerak triceps (+),


gerak intrinsik lengan (-)

T1–L1 Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak


intercostalis tertentu (-), fungsi
tungkai (-), fungsi seksual (-)

Di bawah L2 Termasuk LMN, fungsi sensorik (-


), bladder & bowel (-), fungsi
seksual tergantung radiks yang
rusak.

Sindroma cedera medulla spinalis menurut American Spinal Injury Association


(ASIA), yaitu :

Nama Sindroma Pola dari lesi Kerusakan

saraf

Central cord syndrome Hematomielia, 1. Paresis lengan >


Trauma spinal tungkai
2. Gangguan sensorik
bervariasi di ujung distal
lengan

3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi,
defekasi, dan seksual

Brown- Sequard Trauma tembus, 1. Paresis UMN ipsilateral


Kompresi di bawah lesi dan LMN
Syndrome
setinggi lesi
2. Gangguan eksteroseptif
(nyeri dan suhu)
kontralateral
3. Gangguan proprioseptif
(raba dan tekan) ipsilateral
Anterior cord Cedera yang 1. Paresis LMN setinggi
menyebabkan lesi, UMN dibawah lesi
syndrome
HNP pada T4-6 2. Dapat disertai disosiasi
sensibilitas
3. Gangguan
eksteroseptif, proprioseptif
normal
4. Disfungsi spinkter

Posterior cord Trauma, infark 1. Paresis ringan


arteri spinalis 2. Gangguan eksteroseptif
syndrome
posterior punggung, leher, dan
bokong
3. Gangguan propioseptif
bilateral

Conus medullaris Trauma lower 1. Gangguan motorik


sacral cord ringan, simetris
syndrome
2. Gangguan sensorik,
bilateral, disosiasi
sensibilitas
3. Nyeri jarang, relative
ringan, simetris, bilateral
pada perineum dan paha
4. Refleks Achilles -,
patella +, bulbocavernosus -
, anal –
5. Disfungsi spinkter,
ereksi, dan ejakulasi.

Cauda equine Cedera akar saraf 1. Gangguan motorik


lumbosakral sedang sampai berat,
syndrome
asimetris
2. Gangguan sensibilitas,
asimetris, tidak ada disosiasi
sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat,
asimetris
4. Gangguan reflex
bervariasi
5. Gangguan spinkter
timbul lambat, ringan,
jarang terdapat disfungsi
seksual

Gambaran Potongan Melintang Medulla Spinalis


5. Patofisiologi

Trauma pada tulang belakang dapat menimbulkan fraktur atau dislokasi. Tetapi
sewaktu-waktu tidak tampak ada kelainan tulang belakang yang jelas, namun penderita
menunjukkan kelainan neurologic yang nyata. Fraktur tulang belakang bias berupa fraktur
corpus vertebra (misanya fraktur kompresi korpus vertebra), fraktur pada lamina, pedikel,
dan pada prosesus transverses. Bersama-sama dengan patahnya tulang belakang,
ligamentum longitudinalis posterior dan duramater dapat ikut sobek: bahkan kepingan
tulang belakang ini dapat menusuk canalis vertebralis dan menimbulkan sobekan atau
laserasi pada medulla spinalis. Kepingan tulang ini dapat ula terselip di antara duramater
dan kolumna vertebralis dan menimbulkan penekanan atau kompresi pada medulla
spinalis. Arteri dan vena yang melayani medulla spinalis dapat ikut terputus, misalnya
arteria radikularis magna (adam kiwicz) yang jalannya bersama-sama dengan radiks saraf
spinalis thorakal bagian bawah atau lumbal bagian atas. Keadaan ini akan menimbulkan
deficit sensorimotorik pada dermatom dan miotom yang bersangkutan.

Keadaan tersebut dapat pula menimbulkan hematoma ekstrameduler traumatic yang


menekan pada medulla spinalis. Fraktur tulang belakang dapat terjadi di semua tempat di
sepanjang kolumna vertebra tetapi lebih sering terjadi di daerah servikal bagian bawah dan
di daerah lumbal bagian atas.
Pada dislokasi akan tampak bahwa kanalis vertebralis di daerah dislokasi tersebut
menjadi sempit, keadaan ini akan menimbulkan penekanan atau kompressi pada medulla
spinalis atau radiks saraf spinalis.

6. Manifestasi Trauma Medulla Spinalis

Lesi trauma medulla spinalis akibat trauma pada tulang belakang dapat berupa :

a) Komosio Medulla Spinalis

Yaitu kelainan pada medulla spinalis yang bersifat sementara akibat trauma yang
sembuh seteah beberapa jam atau beberapa hari tanpa meninggalkan gejala sisa.
Kerusakan reversible yang mendasari komosio medulla spinalis, beruapa edema,
perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada inspeksi
makroskopis, medulla spinalis tampak utuh. Lesi reversibel ini biasanya disebabkan
trauma tidak langsung.

b) Kontusio Medulla Spinalis

Lesi ini sering dijumpai sebagai akibat fraktur atau dislokasi tulang belakang atau dapat
juga akibat hiperekstensi, hiperflexi atau rotasi tulang belakang tanpa adanya kelainan
tulang belakang pada pemeriksaan foto rontgen. Pada keadaan ini terdapat perdarahan
interstitial dalam substansi medulla spinalis dengan tanpa tampak ada terputusnya
kontinuitas medulla spinalis dan piameter. Kerusakan yang timbul bersifat permanen dan
meninggalkan gejala-gejala sisa.

Pungsi lumbal dalam stadium permulaan dapat memperlihatkan likuor yang bercampur
sedikit dengan darah dengan test quekenstedt yang positif. Kontusio medulla spinalis
merupakan manifestasi terbanyak dari trauma medulla spinalis

c) Laserasio Medulla Spinalis


Pada keadaan ini medulla spinalis menjadi robek. Ini biasanya disebabkan trauma
langsung misalnya kena peluru, tertusuk benda tajam atau fragmen tulang. Pada pungsu
lumbal ditemukan likuor yang bercampur banyak darah.

d) Kompresi Medulla Spinalis


Keadaan ini dapat disebabkan oleh dislokasi tulang belakang, hematom ekstramedullar
traumatic dan dapat pula oleh karena medulla spinalis itu tertekan kepingan tulang
belakang yang patah dan terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis. Pada pungsi
lumbal ditemukan sindrom froin, yaitu likuor yang berwarna xantokrom, quekenstedt yang
negative atau memperlihatkan stop parsial, kadar protein dalam likuor yang meningkat
dengan jumlah sel /mm3 yang normal.

e) Hematomelia
Ditemukan hematom di medulla spinalis. Hematom ini biasanya berbentuk lonjong dan
berkedudukan di substansia grisea. Trauma yang menimbulkannya dapat berupa trauma
gerak lecut, jatuh dari tempat yang tinggi dengan sikap badan berdiri, jatuh terduduk,
terlempar karena eksploitasi atau pula karena fraktur atau dislokasi tulang belakang.
Hiperekstensi, hiperflexi, dislokasi, fraktur dan trauma gerak lecut, dapat mengakibatkan
tertariknya radiks saraf spinalis sehingga timbul gejala nyeri radikular spontan yang
bersifat hiperparatia. Keadaan ini disebut neuralgia radikularis traumatic yang bersifat
reversibel. Pada trauma whisplash keadaan ini sering mengenai radiks C5-7. Radiks saraf
spinalis dapat pula terputus sehingga menimbulkan defisit sensorik dan motorik yang
bersifat radikular.

Gejala-gejala trauma medulla spinalis bergantung pada komplit atau tidak


komplitnya lesi dan juga tingginya lesi tersebut. Lesi yang mengenai separuh segmen kiri
atau kanan medulla spinalis akan menimbulkan sindrom brown sequard. Hematomieli
menimbulkan gejala-gejala siringiomieli, sedang lesi yang komplit akan menimbulkan
paralisis atau anastesi total dibawah tempat lesi. Bila lesi komplit itu berada di daerah
torakalis, kita akan mendapatkan paraplegia dengan gangguan sensibilitas di bawah lesi.
Sehingga bila lesi komplit itu berada di daerah servikal maka akan timbul tetraplegia
dengan anastesi dibawah lesi. Di samping itu aka nada pula gangguan vegetative. Lesi di
daerah servikal bagian atas yaitu C1-C4 merupakan keadaan yang sangat berbahaya karena
timbulnya paralisis pada nervus frenikus. Ini akan menyebabkan lumpuhnya otot-otot
diafragma sehingga dapat menimbulkan kematian dengan cepat. Lesi di daerah di daerah
C8-T1 dapat disertai adanya gejala sindrom horner. Lesi di daerah konus medularis,
disamping konus, sering kali pula kauda equine ikut terkena sehingga di samping gejala-
gejala paraplegia/paraparesis, gangguan sensibilitas dan vegetative, aka nada juga tanda
laseque yang positif. Lesi dapat juga hanya mengenai kauda equine sehingga menimbulkan
gejala gangguan motorik dan sensorik yang bersifat perifer dengan tanda laseque yang
positif

7. Penegakan Diagnosis

Anamnesis

a) Keluhan Utama : pada kasus cedera medula spinalis, pasien datang dengan
keluhan kelemahan pada ekstremitas. tanyakan keluhan sudah berapa lama dirasakan
b) Riwayat Penyakit Sekarang : kaji kelemahan pada bagian ekstremitas mana saja
(paraplegia atau tetraplegia), kelemahan timbul secara tiba-tiba atau perlahan, gejala
semakin parah atau tidak, timbul setelah makan atau tidak, obat-obatan yang telah
digunakan untuk mengurangi gejala, adakah keluhan tambahan contoh : nyeri (lokasi, terus
menerus atau hilang timbul, menjalar atau tidak, kapan nyeri memberat dan kapan
membaik), kesemutan, sesak, nyeri pada perut, keluhan BAK (inkontinensia atau retensi
urin), BAB (konstipasi), hilangnya sensasi rasa, dan disfungsi seksual.
c) Riwayat Penyakit Dahulu : tanyakan apakah pasien pernah alami keluhan yang
sama, riwayat trauma, riwayat kelainan tulang belakang, riwayat DM, HT, alergi, low back
pain, osteoporosis, osteoartritis, riwayat operasi, dan riwayat infeksi TBC
d) Riwayat Penyakit Keluarga : riwayat kelainan tulang belakang pada keluarga,
osteoporosis, riwayat infeksi TBC
e) Riwayat Sosial Ekonomi : tanyakan kegiatan sehari-hari pasien (apakah pasien suka angkat
berat), pola BAB dan BAK sebelum sakit.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan awal dimulai dengan penilaian kondisi jalan nafas,


pernafasan dan sirkulasi darah. Pada kasus cedera, sangat penting diperiksa keadaan jalan
nafas dan pernafasannya karena pada trauma C1-C4.

a) Inspeksi : Inspeksi adalah pemeriksaan secara visual tentang kondisi serta


kemampuan gerak dan fungsinya. Apakah ada oedem pada anggota gerak, pengecilan otot
( atropi ), warna, dan kondisi kulit sekitarnya, kemampuan beraktifitas, alat bantu yang
digunakan untuk beraktifitas, posisi pasien, dll.
b) Palpasi : Palpasi adalah pemeriksaan terhadap anggota gerak dengan
menggunakan tangan dan membedakan antara kedua anggota gerak yang kanan dan kiri.
Palpasi dilakukan terutama pada kulit dan subcutaneus untuk mengetahui temperatur,
oedem, spasme, dan lain sebagainya.
c) Pemeriksaan Fungsi Gerak : Dalam hal ini meliputi fungsi gerak aktif,
gerak pasif, dan gerak isometrik. Pada pemeriksaan ini umumnya pada pasien ditemukan
adanya rasa nyeri, keterbatasan gerak, kelemahan otot, dan sebagainya.
d) Pemeriksaan Fungsional : Dalam pemeriksaan fungsional meliputi kemampuan
pasien dalam beraktifitas baik itu posisioning miring kanan-kiri ( setiap 2 jam ), transfer
dari tidur ke duduk, dari tempat tidur ke kursi roda, dan sebaliknya.
e) Pemeriksaan Khusus :
1. Kekuatan otot : Pengukuran ini digunakan untuk melihat kekuatan otot dari
keempat anggota gerak tubuh. Dan dilakukan dengan menggunakan metode manual
muscle testing (MMT)
2. ROM (lingkup gerak sendi) : Pemeriksaan ROM dilakukan dengan menggunakan
goniometer dan dituliskan dengan menggunakan metode ISOM (International Standar Of
Measurement).
3. Pemeriksaan nyeri dengan VAS : VAS merupakan salah satu metode pengukuran
nyeri yang dapat digunakan untuk menilai tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pasien
diminta untuk menunjukan letak nyeri yang dirasakan pada garis yang berukuran 10 cm,
dimana pada ujung sebelah kiri (nilai 0) tidak ada nyeri, dan pada ujung sebelah kanan
(nilai 10) nyeri sekali.
4. Pemeriksaan sensoris : Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan sensori level.
Sensori level adalah batas paling kaudal dari segment medula spinalis yang fungsi
sensorisnya normal. Tes ini terdiri dari 28 tes area dermatom yang diperiksa dengan
menggunakan tes tajam tumpul dan sentuhan sinar, dengan penilaiannya sebagai berikut :
• Nilai 0 : tidak dapat merasakan (absent)
• Nilai 1 : merasakan sebagian (impaired) dan hiperestesia
• Nilai 2 : dapat merasakan secara normal
• NT (not testable) : diberikan pada pasien yang tidak dapat merasakan karena
tidak sadarkan diri dan tidak kooperatif.
5. Pemeriksaan motorik : Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan motorik
levelnya. Motorik level adalah batas paling kaudal dari segment medula spinalis yang
fungsi motoriknya normal. Identifikasi kerusakan motorik lebih sulit, karena menyangkut
innervasi dari beberapa otot. Tidak adanya innervasi, berarti pada otot tersebut terjadi
kelemahan atau kelumpuhan. Pemeriksaan kekuatan otot tersebut bisa menggunakan
pemeriksaan dengan Manual Muscle Test (MMT), dengan skala penilaian sebagai berikut :
Nilai Huruf Skala Definisi
• Zero : tidak ditemukan kontraksi dengan palpasi
• Trace (Tr) : ada kontraksi dengan palpasi tapi tidak ada gerakan
• Poor (P) : gerakan dengan ROM penuh, tidak dapat melawan gravitasi
• Fair (F) : gerakan penuh melawan gravitasi
• Good (G) : gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan
• Normal (N) : gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan secara
maksimal
Pada pemeriksaan motorik dengan menggunakan manual muscle testing (MMT)
biasanya dilakukan pada daerah miotom, antara lain :

• C5 : fleksi siku (m.biceps dan m.brachialis)


• C6 : ekstensi pergelangan tangan (m.ekstensor carpi radialis longus dan
brevis)
• C7 : ekstensi siku (m.triceps)
• C8 : fleksi digitorum profundus jari tengah (m.fleksor digitorum profundus)
• T1 : abduksi digiti minimi (m.abduktor digiti minimi)
• L2 : fleksi hip (m.iliopsoas)
• L3 : ekstensi lutut (m.quadriceps)
• L4 : dorso fleksi pergelangan kaki (m.tibialis anterior)
• L5 : ekstensi ibu jari kaki (m.ekstensor hallucis longus)
• S1 : plantar fleksi pergelangan kaki (m.gastrocnemius dan m.soleus)
Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium
1) Osteokalsin : suatu protein tulang yang disekresi oleh osteoblast
2) B-cross : parameter untuk proses resorpsi (penyerapan tulang) untuk
mengetahui fungsi osteoklas
3) Elektrolit : untuk mengetahui kalsium total
4) Darah lengkap : untuk mengetahui Hb, Ht, Leukosit, dan Trombosit
5) Kimia darah : untuk mengetahui nilai G2JPP dan GDP
b. Radiologi
1) Foto polos vertebra : Merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-
kelainan yang melibatkan medula spinalis, kolumna vertebralis dan jaringan di
sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada
cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral. Foto polos posisi
antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma
akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi.
Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu
dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
2) CT-Scan vertebra : Dapat melihat struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam
potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk mendeteksi cedera
fraktur pada tulang belakang
3) MRI vertebra : MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal medula
spinalis dalam sekali pemeriksaan serta untuk melihat jaringan lunak.
4) Pungsi lumbal : Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit
peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan
Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi
perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati,
karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah
terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan
terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
5) Mielografi : Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari
trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.
8. Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis pada trauma/cedera medulla spinalis, diperlukan


anamnesis yang lengkap, dimana keluhan dan riwayat adanya trauma atau kelainan tulang
belakang ataupun adanya osteoporosis merupakan resiko terjadinya cedera medulla
spinalis. Selain itu, dilakukannya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
lengkap diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Dengan menggunakan panduan dari
American Spinal Injury Scale (ASIA) maka diagnosis dapat ditegakkan atau ditegakkan
sementara bila hasil pemeriksaan penunjang belum keluar.

Apabila medulla spinalis tiba-tiba mengalami cedera, maka aka nada 3 kelainan
yang muncul, yaitu :
a. Semua pergerakan volunteer dibawah lesi hilang secara mendadak dan bersifat
permanen
b. Sensasi sensorik refleks fisiologis bisa menghilang atau meningkat
c. Terjadi gangguan fungsi otonom
Trauma/cedera medulla spinalis dapat menghasilkan satu atau lebih tanda-tanda klinis
dibawah ini, yaitu :

a. Nyeri menjalar
b. Kelumpuhan atau hilangnya pergerakan atau adanya kelemahan

c. Hilangnya sensasi rasa


d. Hilangnya kemampuan peristaltik usus
e. Spasme otot atau bangkitan refleks yang meningkat
f. Perubahan fungsi seksual
9. Penatalaksanaan

Sebelumnya perlu dikemukakan bahwa prognosis lesi medulla spinalis (kecuali


komosio medulla spinalis) adalah buruk, hal itu disebabkan oleh karena daya regenerasi
serabut-serabut saraf di medulla spinalis sangat sedikit. Pada pengobatan lesi medulla
spinalis akibat trauma terdapat dua kemungkinan, yaitu :

1. Tindakan Pembedahan
2. Pengobatan Konservatif
Tindakan Pembedahan

Pembedahan dimaksudkan untuk mengadakan dekompresi, kadang-kadang untuk maksud


fiksasi vertebra dan juga bila mungkin reposisi suatu dislokasi. Tindakan pembedahan
jarang dilakukan bila waktu trauma tidak lebih dari 2 bulan dan bila tidak terdapat
indikasi. Indikasi untuk melakukan tindakan pembedahan adalah :

a. Bila terdapat halangan pada jalan likour serebrospinalis, yang dapat diketahui
dengan percobaan quekenstedt pada pungsi lumbal
b. Adanya pecahan-pecahan tulang yang masuk dalam kanalis vertebralis
c. Adanya fraktur terbuka
d. Bila gejala bertambah hebat secara progresif
Pengobatan Konservatif

Dalam keadaan ini diutamakan adalah perawatan dan fisioterapi

a. Untuk kelainan postural reduction


Untuk ini diperlukan tempat tidur alas keras, kasur yang lunak dan elastic dan ganjal kaki.
Untuk daerah lumbal, dan daerah servikal di butuhkan bantal servikal. Pada subluksasio di
daerah servikal dapat dipertimbangkan untuk melakukan traksi dengan lis glisson, dan
pemasangan gips di sekeliling leher.

b. Mencegah lesi yang ada bertambah besar


Penderita jangan diangkat tanpa perhatian khusus terhadap kelainan tulangnya/frakturnya,
badannya jangan dibungkukkan, terutama pada hari-hari pertama. Juga pengambilan foto
rontgen harus secara hati-hati dan hendaknya dilakukan di tempat tidur penderita.

10. Prognosis

Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan untuk
sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang
untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien
mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90%
penderita cedera medulla spinalis dapat sembuh dan mandiri.
LAMBERT EATEN SYNDROM

DEFINISI

Suatu gangguan transmisi neuromuscular yang disebabkan oleh kegagalan presinaps


melepaskan neurotransmitter Asetilkholin.

Pertama kali di diskripsikan oleh Lee McKendre Eaton (1905-1958), seorang neurologis
Amerika, bersama dengan Edward H Lambert dan E D Rooke.

EPIDEMIOLOGI

Kasus yang jarang

Diperkirakan prevalensinya 1/250,000-1/333,300.

Laki-laki : Perempuan = 2 : 1

Biasanya muncul pada usia dewasa, namun ernah dilaporkan terjadi pada masa anak.

PATOGENESIS

Impuls listrik yang terjadi akan menjalar disepanjang serabut saraf dan di ujung serabut, akan
mencetuskan pengeluaran neurotransmiter kimia, seperti asetilkolin.

Asetilkolin harus bisa menyeberangi celah sinaps, untuk bisa merangsang otot, agar otot
berkontraksi.

Pada kasus ini, antibodi menghambat pelepasan asetilkolin yang memadai untuk
menimbulkan impuls saraf yang kuat pada otot. Jadi asetilkolin yang dilepas, tidak adekuat
untuk bisa merangsang kontraksi otot

Terjadi akibat reaksi auto-immun terhadap subtipe P/Q dari voltage-gated calcium channels
(VGCCs) pada presinapt

Channel ion ini juga ditemukan dalam jumlah yang cukup besar pada sel-sel tumor yang
berhubunga dengan LES, seperti small cell cancer (SCCL) dari paru

FAKTOR RESIKO
Carsinoma , terutama Smal Cell Carcinoma Paru, ditemukan pada 50% kasus

Perokok jangka panjang dengan timbulnya LES setelah usia 50 tahun , risiko tinggi untuk
memiliki kanker paru-paru

PENYEBAB

Pada kasus karsinoma, penyebabnya diduga karena tubuh berusaha melawan karsinoma,
namun sebaliknya menyebabkan gangguan pada ujung serabut saraf (presynaptic calcium
channels)

Pada kasus non karsinoma, penyebabnya belum diketahui.

rogresifitas – tergantung pada apakah kasus ini terjadi pada karsinoma atau bukan.

Dapat di obati pada hampir semua bentuk

Inheritance – mempunyai predisposisi genetik untu autoimmun desease.

MANIFESTASI KLINIS

Kelemahan otot proksimal , refleks tendon menurun

Gejala biasanya dimulai pelan-pelan (insidiously), banyak pasien tidak terdiagnosis selama
beberapa bulan atau tahun . Kelemahan adalah gejala utama - biasanya , pada otot proksimal
ekstremitas bawah . Otot mungkin sakit dan menjadi lembut . Orofaringeal dan okular otot
sedikit terpengaruh . • bulbar dan otot pernapasan biasanya terhindar . • gejala otonom -
mulut kering , impotensi pada laki-laki dan hipotensi postural dapat ditemukan .

Meurunnya kekuatan bagian proksimal dari otot paha dan lengan, sehingga pasien susah
untuk jalan (waddling gait),

kelopak mata ptosis dan diplopia ringan telah dilaporkan ( 23 % dan 20,5 % masing-masing
dalam satu studi ) .

Kadang kesulitan untuk mengunyah , berbicara atau menelan

Reflek tendon jauh berkurang atau tidak ada. Pemeriksaan sensorik normal , kecuali ada
neuropati perifer bertepatan terkait dengan kanker yang mendasari .
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk membedakan myasthenia gravis dan LES adalah mendeteksi antibodi reseptor ACh
karakteristik myasthenia gravis , atau menemukan adanya keganasan.

RNS menggunakan 50 Hz memiliki sensitivitas 97 % untuk diagnosis LES dan spesifisitas 99


% di termasuk myasthenia gravis.

Tes serum untuk voltage gated calcium channel antibodi. Antibodi ini telah dilaporkan pada
lebih dari 90 % pasien dengan LES

CT scan atau MRI dada untuk menyingkirkan keganasan di paru.

Antibodi reseptor ACh kadang-kadang ditemukan dg titer rendah pada pasien dengan LES.

Bronkoskopi mungkin diperlukan jika hasil pencitraan normal tetapi risiko SCCL tinggi.

DIAGNOSIS

Adanya gejala otonom (dry mouth, constipation, impotence and bladder urgency) dan
menonjolnya kelemahan tungkai pada kasus ini, membantu kita untuk dapat membedakan
dengan MG.

Pemeriksaan elektrodiagnostik menunjukan peningkatan respon otot pada perangsangan


berulang (Repetitive nerve stimulation)

Pada sebagian besar kasus bisa ditemukan adanya anti-VGCC antibodies (voltage-gated
calcium channel ) pada darah.

TATALAKSANA

Prinsip-prinsip umum

Ketika diagnosis LES dibuat, pencarian ekstensif untuk kanker yang mendasari harus
dilakukan.

Terapi awal harus ditujukan untuk mengobati neoplasma apapun. Pengobatan yang efektif
dari tumor yang mendasarinya sering menghasilkan peningkatan yang nyata dalam kekuatan
otot
FARMAKOLOGI

3,4-Diaminopyridine (amifampridine) yang secara signifikan meningkatkan kekuatan otot.

Imunosupresi direkomendasikan untuk kasus yang parah: sept prednisolon dan steroid-
sparing agent seperti azathioprine, mycophenolate mofetil, siklosporin, atau metotreksat

Penggunaan intravena (IV) imunoglobulin.

Plasmapharesis adalah pilihan lain tetapi memiliki kurang bukti.


GUILLAINE BARRE SYNDROME
1. Definisi
Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang di tubuh anda, sistem
kekebalan tubuh menyerang saraf Anda. GBS adalah penyakit yang biasanya terjadi satu atau
dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau
setelah vaksinasi atau prosedur bedah. Untungnya, GBS relatif jarang terjadi, hanya
mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya
merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan
seluruh tubuh.
Parry mengatakan bahwa, Gullaine Barre Syndrom adalah suatu polineuropati yang
bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Japardi, 2002).
Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang
diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh
menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik,
dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan
karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi,
dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS yang
melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat
menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa (Judarwanto, 2009).
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre
Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang
sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi
kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan
sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi
menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem
otot terhadap kerja sistem syaraf.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic
polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis,
Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl
Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
2. Etiologi
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum
dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit ini
sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan dan
saluran pencernaan. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada
dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre menjadi
suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30%
penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.
Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada
ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling
sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan Herpes
Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni.
Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh
adanya kelainan autoimun.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa
minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
 Infeksi
 Vaksinasi
 Pembedahan
 Diare
 Peradangan saluran nafas atas
 Kelelahan
 Demam
 Kehamilan/ dalam masa nifas
 Penyakit sistematik:
- keganasan
- systemic lupus erythematosus
- tiroiditis
- penyakitAddison

3. Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah
saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB,
gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh
mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari
serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus
dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini
didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh
manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus
infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson.
Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid
GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T
merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di
daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran
impuls saraf.
4. Patofisiologi

Gambar 4.1. Bagan patofisiologi GBS (www.nature.com)


Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem
imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.  
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang
saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf,
sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin.
Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi
melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal
sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin
bersifat insulator  dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik
kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan.  Sebagai contoh, sinyal dari otak
ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,
yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan
diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin
banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang
bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel
leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret
kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak
penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada
waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan
serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,
sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita.
Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.  Untungnya, fase ini bersifat sementara,
sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien
akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla
spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan
saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis,
menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan
sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat
progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung
myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe
aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi
pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan
diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis
pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala
diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan
waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-
saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf
kranialis dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif 
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif
dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat
serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang
sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju
fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus
pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan
tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki
fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring
tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis.
Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat
saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu
proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin
bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan 
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan
myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi
pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk
menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari
sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Duchenne Muscular Dystrophy (DMD)
Pengertian Duchenne Muscular Dystrophy
Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) adalah salah satu jenis penyakit distrofi otot yang
paling umum terjadi. Distrofi otot merupakan kondisi melemahnya otot sehingga
penderitanya bisa mengalami disabitilas atau cacat.

Terdapat sembilan jenis penyakit distrofi otot. DMD merupakan penyakit genetik yang
menyebabkan kelemahan pada otot volunter atau otot yang bekerja secara sadar. DMD
biasanya lebih parah dibandingkan tipe penyakit distrofi otot lainnya.

Gejala DMD terjadi pada usia anak-anak dan penderita biasanya mencapai usia dewasa muda
(20 atau 30 tahunan). Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki.

Penyebab Duchenne Muscular Dystrophy


Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) merupakan penyakit genetik yang dapat diturunkan di
dalam keluarga. Penderita biasanya memiliki mutasi gen yang berhubungan dengan protein
otot yang disebut dystrophin.
Fungsi protein tersebut adalah membuat sel otot tetap utuh. Gangguan terhadap protein
tersebut atau ketiadaannya akan menyebabkan kerusakan otot secara cepat ketika anak
penderita DMD bertumbuh.

Memiliki riwayat keluarga dengan DMD akan meningkatkan risiko untuk terkena penyakit
ini. Namun, DMD juga dapat terjadi walaupun tidak ada riwayat penyakit tersebut dalam
keluarga. Dalam hal ini keluarga dapat menjadi pembawa (silent carrier) DMD.

Anak laki-laki juga memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap DMD dibandingkan anak
perempuan. Anak perempuan yang mendapat turunan gen DMD akan menjadi pembawa yang
asimptomatik. Sedangkan anak laki-laki yang mendapat turunan gen DMD akan menjadi
penderitanya.

Diagnosis Duchenne Muscular Dystrophy


Kemungkinan diagnosis Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) akan ditelusuri dari gejala
distofi otot. Pemeriksaan rutin akan membuktikan adanya gejala kelemahan otot. Anak-anak
juga akan menunjukkan kurangnya koordinasi otot.

Pemeriksaan penunjang yang dapat mengonfirmasi diagnosis DMD adalah pemeriksaan


darah dan biopsi otot. Tes darah yang dilakukan berupa tes kreatinin fosfokinase. Enzim
tersebut akan dikeluarkan tubuh ketika otot memburuk. Sedang biopsi otot dilakukan untuk
menentukan tipe dari distrofi otot.

Gejala Duchenne Muscular Dystrophy


Gejala Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) biasanya baru muncul pada usia anak-anak
sekitar dua hingga enam tahun. Penderita terlihat normal pada masa bayi.

Gejala DMD bervariasi, meliputi:

 kesulitan berjalan atau bahkan tidak bisa berjalan sama sekali


 betis yang membesar
 tidak bisa belajar (terjadi pada sepertiga penderita DMD)
 kurangnya perkembangan keterampilan motorik
 kondisi fatik atau kelelahan berat
 kelemahan pada tangan, kaki, panggul, dan leher yang memburuk secara cepat
Pengobatan Duchenne Muscular Dystrophy
Penyakit Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) tidak dapat disembuhkan. Pengobatan
bertujuan untuk mengurangi gejala, mencegah semakin memburuknya kondisi penderita, dan
memperpanjang harapan hidup penderita. Penderita DMD akan kehilangan kemampuan
untuk berjalan sekitar usia 12 tahun. Alat bantu yang dapat diberikan pada mereka adalah
penyangga kaki atau kursi roda.

Terapi fisik juga bisa dilakukan untuk menjaga otot pada kondisi terbaiknya. Obat-obatan
steroid atau anti radang bisa diberikan untuk memperpanjang fungsi otot. Pada tahap akhir,
kemampuan otot paru-paru pasien juga akan berkurang sehingga penderita membutuhkan alat
ventilator untuk membantunya bernapas.

Pencegahan Duchenne Muscular Dystrophy


Mencegah Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) sulit untuk dilakukan karena penyakit ini
berhubungan dengan kelainan genetik. Perjalanan memburuknya penyakit ini juga biasanya
cepat terjadi sehingga cukup sulit untuk dikendalikan.
PERIODIK PARALISIS

1. DEFINISI
 Kelemahan akut anggota gerak
 Serangan berulang-ulang
 Tidak mengenai otot-otot kranial dan otot pernafasan
 Kelumpuhan keempat anggota gerak yang bersifat flaksid.
 Mutlak mengenai motorik serta timbul secara berkala
2. ETIOLOGI
 Patofisiologi belum jelas tetapi secara klinis ber hubungan dengan elektrolit kalium
 Serangan dicetuskan oleh rendahnya kadar K dalam darah.
 Fluktuasi kadar K tidk menimbulkan gangguan pada orang normal, tapi menimbulkan
kelemahan pada familial periodik paralisis hypokalemia
3. EPIDEMIOLOGI
 Mengenai anak dan dewasa muda, sering serangan pertama pada usia menjelang 16
th.
4. KLASIFIKASI
Dikenal 3 jenis yaitu

 Periodik paralisis hipokalemik familial


 Periodik paralisis hiperkalemik
 Periodik paralisis normokalemik
1. HIPOKALEMIK PERIODIK PARALISIS
 Hipokalemi periodik paralisis (HypoKPP)  salah satu bentuk primer dari periodik
paralisis , disebabkan oleh satu atau lebih mutasi pada channel ion calcium, sodium
dan potasium di membran otot.
 Serangan akut, tiba2 potasium masuk kedalam sel, sehingga kadarnya rendah
diplasma, bisa mencapai kurang dari 1,5 meq/L.
 Sering dicetuskan oleh : istirahat setelah latihan, stres, atau makan tinggi karbohidrat
 Hipokalemia sering disertai hipophosphatemia dan hipomagnesemia.
 Ada 2 bentuk HypoKPP :
o Bentuk paralitik
 Lebih sering
 Serangan secara episodik, bervariasi (fattique hingga flaksid).
 Serangan dicetuskan oleh turunnya kadar K di serum.
 Faktor pencetus utama : berkeringat, makanan tinggi CHO dan
natrium, tidur dan istirahat setelah exercise
 Sekitar 25% jatuh ke tipe miopatik atau permanent muscle weakness
(PMW)
o Bentuk miopatik
 Serangan tidak bervariasi
 Kelemahan dirasakan setelah aktivitas berlebihan (pada masa anak)
dan setelah usia pertengahan jadi permanent muscle weakness
(PMW).
 Pasien tidak pernah mengalami serangan lumpuh yang episodik
 Penyakit ini diturunkan secara autosomal dominant
 1/3 kasus sporadik dan tidak ada riwayat keluarga
 Mutasi tersering ditemukan pada channel calsium kromosom 1
 Sering ditemukan juga pada hipertiroid
5. DIAGNOSIS
 Riwayat kelemahan yang periodik
 Kadar potasium (kalium) serum yang rendah
 Kadar Creatine phosphokinase (CPK) meningkat saat serangan.
 ECG menunjukkan sinus bradikardi dan tanda2 hipokalemi (gel T datar, gel U tinggi
di lead II, V2, V3, and V4, dan depresi segmen ST)
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Elektrofisiologis
o Amplitudo aksi potensial otot menurun disaat serangan, sering ditemukan pada
hypokalemic PP.
o Konduksi saraf sensorik normal.
o Bila ditemukan gangguan konduksi saraf , perlu dipikirkan, apakah ada
penyakit penyerta seperti neuropati yg berhubungan dengan tirotoxicosis.
7. TATALAKSANA
 Bila kadar K plasma sangat rendah, bisa langsung di koreksi secara intravena dengan
kecepatan pemberian 10 meq/ jam
 Dikoreksi dengan rumus : [K normal – Kpasien] x 1/3 BB
PENCEGAHAN

 Pemberian preparat KCl oral 60 – 120 meq


 Makanan yang mengandung K seperti Pisang, semangka, korma dll
2. HIPERKALEMIK PERIODIK PARALISIS
 Muncul selalu setelah bekerja
 Kelumpuhan tidak berlangsung lama
 Kadar kalium serum > 4,2 mEk/L
 Bisa diberikan asetazolamid (Diamox) dengan dosis 2 x 500 mg
3. NORMOKALEMIK PERIODIK PARALISIS
 Sukar di diagnosis maupun di terapi
 Merupakan variant dari hiperkalemia
 Serangan kelumpuhan menyerupai jenis hipokalemik tapi berlangsung lama sekali
 Pemberian kalium memperburuk keadaan
HAL YANG MENCETUSKAN SERANGAN

 Makan tinggi karbohidrat


 Makan tinggi NaCl
 Obat Epinefrin
 Exercise
 Udara dingin
 Anestesi
 Alkohol
 Electromagnetic fields

Anda mungkin juga menyukai