Anda di halaman 1dari 20

Referat

ANGINA PEKTORIS STABIL

Oleh :

Dwi Restiva Sari 1110312117


Eldisha Nofityari 1840312422
Fanny Permata Andriani 1840312264
Fauzul Azhim 1010312101
Frissia Dwi Agseptya 1840312427

Preseptor :

dr. Rita Hamdani, SpJP

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


RS Dr. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2018
DAFTAR ISI

Cover
DAFTAR ISI 2
DAFTAR TABEL 3
DAFTAR GAMBAR 4
BAB 1 PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Tujuan Penulisan 6
1.3 Manfaat Penulisan 6
1.4 Metode Penulisan 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7
BAB 3 KESIMPULAN 18
DAFTAR PUSTAKA 19

2
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 : Klasifikasi angina berdasarkan CCS (Canadian 8
Cardiovascular Society)

3
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 : Pembentukan plak aterosklerosis 11

Gambar 2.2 : Algoritma untuk manajemen farmakologis pasien 15


dengan angina stabil, yang bertujuan untuk
mengurangi gejala dan iskemia.

Gambar 2.3 : PCI dan CABG 16

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi klinis dari penyakit
jantung iskemik. Penyakit jantung iskemik adalah sebuah kondisi dimana aliran darah
dan oksigen ke salah satu bagian myocardium tidak adekuat. Hal ini sering terjadi
saat terjadi imbalansi antara oksigen supply and demand pada myocardium. Penyebab
utama hal ini yang paling sering adalah karena terjadinya aterosklerosis pada arteri
koronaria. Penyakit jantung iskemik menyebabkan lebih banyak kematian dan biaya
yang dikeluarkan di negara – negara berkembang.1
Penyakit jantung iskemik adalah kondisi yang serius, seringkali kronis, dan
mengancam jiwa. Di Amerika Serikat, 13 juta orang memiliki penyakit jantung
iskemik, lebih dari 6 juta memiliki angina pektoris stabil, dan lebih dari 7 juta dengan
infark miokard. Diet tinggi lemak dan kalori, merokok, dan gaya hidup yang
sedentary sangat berkaitan dengan terjadinya penyakit jantung iskemik ini. Di
Amerika dan Eropa, penyakit jantung iskemik lebih sering terjadi pada kelompok
masyarakat dengan penghasilan rendah daripada kelompok masyarakat dengan
tingkat penghasilan menengah ke atas (yang melakukan gaya hidup sehat).1
Obesitas, resistensi insulin, dan diabetes mellitus tipe 2 meningkatkan
kejadian dan merupakan faktor risiko yang kuat untuk penyakit jantung iskemik.
Dengan banyaknya urbanisasi di negara berkembang, prevalensi dari faktor
risikopenyakit jantung iskemik meningkat tajam di daerah dengan penghasilan
menengah ke bawah. Hal ini terjadi pada masyarakat di negara – negara Asia Selatan
terutama India. Melihat banyaknya insidensi penyakit jantung iskemik di seluruh
dunia, penyakit jantung iskemik diprediksi akan menjadi penyebab kematian utama di
seluruh dunia pada tahun 2020.1
Penyakit Jantung Koroner merupakan jenis penyakit yang menjadi masalah
penting baik di negara maju ataupun berkembang. Di Indonesia, angka kematian
akibat PJK sangat tinggi. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
Nasional (SKRTN), dalam 10 tahun terakhir angka tersebut cenderung mengalami
peningkatan. Pada 1991, angka kematian akibat PJK adalah 16 persen. Pada 2001
angka tersebut melonjak menjadi 26,4 persen. Angka kematian akibat PJK
diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di tanah air.1

5
1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan


pemahaman tentang angina pektoris stabil.

1.3 Manfaat Penulisan


Referat ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang
angina pektoris stabil.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan referat ini dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan
dengan merujuk kepada berbagai literatur.

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Angina pektoris adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan suplai
aliran darah koroner.1 Angina pektoris stabil adalah suatu sindrom klinis yang
ditandai dengan rasa tidak nyaman di dada, rahang, bahu, punggung atau lengan,
biasanya muncul saat aktivitas atau stres emosional dan berkurang dengan istirahat
dan pemberian nitrogliserin.2

2.2 Epidemiologi

Oleh karena angina stabil sangat beraneka ragam, prevalensi dan kejadiannya
sulit untuk dinilai dan jumlahnya bervariasi antar studi, tergantung pada definisi yang
telah digunakan. Untuk tujuan epidemiologi, angina stabil pada dasarnya merupakan
diagnosis berdasarkan riwayat dan oleh karena itu bergantung pada penilaian klinis.
Kueisioner tentang angina yang dikembangkan oleh Rose memiliki spesifisitas 80-
95%, tetapi sensitivitasnya bervariasi secara substansial dari 20-80% jika
dibandingkan dengan diagnosis klinis, penemuan EKG, dan angiografi koroner.1
Prevalensi angina dalam studi berbasis populasi meningkat seiring
bertambahnya usia pada kedua jenis kelamin, 5-7% pada wanita berusia 45-64 tahun
hingga 10-12% pada wanita berusia 65-84 tahun dan dari 4-7% pada pria berusia 45-
64 tahun hingga 12-14% pada pria berusia 65-84 tahun. Prevalensi angina lebih
banyak pada wanita paruh baya daripada pria, hal ini kemungkinan disebabkan
karena prevalensi penyakit jantung koroner fungsional (seperti angina mikrovaskuler)
yang lebih tinggi pada wanita.1 Disamping itu, tingginya insiden penyakit
kardiovaskular terutama penyakit jantung koroner pada wanita juga dapat dikaitkan
dengan berbagai faktor, diantaranyapenggunaan terapi medis berbasis bukti
(evidence-based medical therapies) yang masih kurang, keterlambatan dalam
munculnya gejala, diagnosis, dan pengobatan, dan kurangnya data spesifik gender
mengenai tatalaksana yang tepat dari penyakit jantung koroner pada wanita.3

2.3 Klasifikasi

Berdasarkan klinisnya,nyeri dada dapat dibedakan menjadi nyeri dada tipikal,


nyeri dada atipikal, dan nyeri dada non kardiak. Nyeri dada tipikal memiliki tiga
karakteristik yakni rasa tidak nyaman di daerah substernal yang sesuai kualitas

7
karakteristik dan durasi, dicetuskan oleh aktivitas fisik dan stress emosional, dan
berkurang dengan aktivitas dan/atau penggunaan notrogliserin. Angina atipikal
apabila hanya memenuhi dua karakteristik tersebut. Nyeri dada nonkardiak apabila
hanya memenuhi satu kriteria atau tidak sama sekali. Sedangkan berdasarkan
severitas nyerinya, angina pektoris stabil dikelompokkan menjadi empat kelas
berdasarkan Canadian Cardiovascular Society (CSS).1
Tabel 2.1 Klasifikasi angina berdasarkan CCS (Canadian Cardiovascular Society)1
Kelas I angina tidak timbul pada aktivitas sehari-hari, seperti berjalan, dan
menaiki tangga. Angina timbul pada saat latihan berat, tergesa-gesa,
dan berkepanjangan.
Kelas II dijumpai pembatasan aktivitas sehari-hari, seperti jalan cepat atau
menaiki tangga, jalan mendaki, aktivitas setelah makan, hawa dingin,
dalam keadaan stress emosional, atau hanya timbul beberapa jam
setelah bangun tidur.
Kelas III adanya tanda-tanda keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari, angina
timbul jika berjalan sekitar 100-200 meter, menaiki tangga satu
tingkat pada kecepatan dan kondisi yang normal
Kelas IV ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik apapun tanpa keluhan rasa
nyaman atau angina saat istirahat.

Beberapa jenis angina pektoris stabil:

a. Exertional angina
Iskemia yang terjadi saat kebutuhan miokard meningkat (saat aktivitas/stres
emosional). Keluhan nyeri akan hilang saat istirahat karena stenosis koroner yang ada
tidak menimbulkan gangguan saat istirahat. Jenis angina inilah yang termasuk ke
dalam angina pektoris stabil tipikal.1
b. Prinzmetal’s angina
Prinzmetal’s angina disebut juga dengan variant angina adalah bentuk angina
pektoris yang menunjukkan elevasi ST-segmen yang bersifat sementara pada
elektrokardiogram selama serangan nyeri dada. Hal ini berkaitan dengan vasospasme
dari arteri koroner.Vasospasme menyebabkan gangguan suplai koroner yang pada
akhirnya menimbulkan nyeri dada.4
c. Anginal equivalent syndrome
Keluhan pasien muncul dalam bentuk sesak nafas saat aktivitas (exertional
dyspneu), bukan nyeri dada.Jenis dispnea ini diduga berhubungan dengan
peningkatan sementara pada tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang disebabkan
oleh iskemia miokard yang tumpang tindih dengan berkurangnya kemampuan
adapatasi dari ventrikel kiri.5
Beberapa studi telah melakukan penelitian terkait perbedaan dalam
manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner pada pria dan wanita. Sebagian besar

8
pasiendengan penyakit jantung koroner datang dengan gejala-gejala khas seperti nyeri
atau tekanan pada dada sentral, sedangkan pada wanita lebih banyak
mengalamiangina equivalent dengan keluhan seperti kelelahan, sesak nafas,
gangguan pencernaan, atau nyeri pada rahang.3 Anginal equivalent syndrome juga
sering dialami oleh pasien usia tua dan pada pasien yang menderita diabetes melitus
tipe 2. Keluhan yang sering muncul pada pasien ini adalah sesak nafas, kelelahan,
diaforesis, sinkop, mual, dan muntah.6,7
d. Syndrome X Angina
Syndrome X angina atau disebut juga angina merupakan salah satu jenis
disfungsi mikrovaskular koroner yang secara luas didefinisikan sebagai angina
dengan angiografi koroner yang menunjukkan tidak adanya stenosis arteri koroner
lebih dari 50%. Terdapat beberapa kriteria diagnostik yang telah dibuat dan sebagian
besar kriteria tersebut mencakup unsur-unsur berikut: (i) exertional angina atau
angina equivalent; (ii) cardiac stress test positif untuk iskemia miokardial; (iii) hasil
angiografi koroner normal (tidak adanya stenosis pada arteri koroner yang lebih dari
50%); (iv) tidak ditemukannya spasme pada arteri koroner.8
Angina mikrovaskuler ditandai dengan adanya hipersensitivitas terhadap
rangsangan vasokonstriktor dan vasodilatasi koroner yang abnormal yang
menyebabkan gangguan aliran darah koroner, hal ini disebabkan karena adanya
disfungsi endotel.8,9
e. Silent ischemia
Silent ischemia didefinisikan sebagai adanya bukti objektif dari iskemia
miokard namun tidak ditemukannya keluhan iskemia seperti perasaan tidak nyaman
atau nyeri dada ataupun keluhan anginal equivalent lainnya.Bukti objektif tersebut
diantaranya perubahan pada segmen ST (biasanya depresi), abnormalitas pada
gerakan dinding regional yang bersifat reversibel, dan adanya defek perfusi pada
studi skintigrafi.10 Silent ischemia atau iskemia asimptomatik adalah kejadian iskemik
yang paling sering ditemukan pada penyakit jantung koroner (80% kasus).11

2.4 Faktor Resiko


Faktor risiko untuk angina pektoris stabil sama dengan faktor resiko untuk
penyakit kardiovaskular lainnya. Faktor resiko tersebut secara garis besar dibagi atas
dua kelompok, yaitu:12
Faktor yang bisa dimodifikasi
 Hipertensi
 Hiperkolesterolemia
 Merokok

9
 Diabetes
 Overweight atau obesitas
 Kurangnya aktivitas fisik
 Dietyang tidak sehat
 Stres emosional
a. Faktor yang tidak bisa dimodifikasi
 Usia (semakin bertambah usia semakin meningkatkan risiko)
 Jenis kelamin (laki-laki umumnya berisiko lebih besar terhadap
penyakit arteri koroner)
 Riwayat keluarga dan balapan
 Ras

2.5 Etiopatofisiologi

Angina disebabkan oleh adanya iskemia miokardial. Penyebab utama dari


proses iskemia ini adalah aterosklerosis. Penyebab lain dari iskemia miokardial antara
lain kardiomiopati hipertrofi, stenosis aorta, vasopasme koroner, vaskulitis koroner,
aneurisma aorta, anomali arteri koroner, dan anemia.1
Beberapa mekanisme dasar yang mendasari terjadinya angina pektoris stabil
meliputi: (i) obstruksi yang berhubungan dengan adanya plak pada arteri epikardial;
(ii) spasme fokal atau difus dari arteri normal atau arteri yang telah memiliki plak;
(iii) disfungsi mikrovaskular dan (iv) disfungsi ventrikel kiri yang disebabkan oleh
nekrosis miokardial akut sebelumnya dan/atau hibernasi (kardiomiopati iskemik).
Mekanisme-mekanisme ini bisa bekerja tunggal ataupun kombinasi.1

10
Gambar 2.1 Pembentukan plak aterosklerosis13

Proses aterosklerosis diawali dengan adanya stimulasi (hipertensi,


hiperkolesterolemia) yang menyebabkan kerusakan endotel arteri koroner. Saat
endotel mengalami kerusakan, makrofag akan menginfiltrasi endotel. Molekul low
density (LDL) juga dapat masuk ke lapisan dinding pembuluh darah, kemudian LDL
tersebut diikat oleh makrofag, membentuk foam cell. Foam cell merupakan dasar
pembentukan plak aterosklerosis. Plak yang melekat pada dinding endotel arteri
koroner akan terus membesar dan mengalami kalsifikasi. Jika plak tersebut
mengalami ruptur, maka akan timbul reaksi inflamasi lokal, vasokontrisi koroner,
aktivasi trombosit serta pengaktifan sistem koagulasi sebagai respon terhadap ruptur
atau erosi plak.13
Plak aterosklerosis ini kemudian menyebabkan stenosis/penyempitan lumen
arteri koroner. Pada aterosklerotik koroner terjadi penurunan kemampuan relaksasi
endotel atau tonus pembuluh darah yang mengakibatkan vasokonstriksi arteri koroner
yang sempit.1
Rasa tidak nyaman pada angina pektoris berhubungan dengan oksigenasi
miokardium yang tidak adekuat. Umumnya ini menunjukkan adanya aterosklerotik
koroner yang mengenai setidaknya 50% diameter lumen sehingga mengurangi aliran
darah saat beraktivitas. Ketika beraktivitas terjadi peningkatan denyut jantung,
kontraktilitas, dan stres dinding pembuluh darah untuk memenuhi kebutuhan energi
tubuh yang berakibat peningkatan oksigenasi otot jantung. Kaskade iskemik ini

11
ditandai dengan kejadian beruntun yakni gangguan metabolik, ketidakseimbangan
perfusi, dan pada akhirnya disfungsi sistolik dan diastolik baik regional maupun
global, perubahan elektrokardiogram, dan angina.1
Adenosin yang dihasilkan pada saat iskemik di miokardium dianggap sebagai
pencetus utama timbulnya nyeri dada. Stimulasi adenosin pada reseptor A1 pada
ujung-ujung saraf aferen kemudian disampaikan ke kornu dorsal neuron spinalis.
Aferen kardiak tersebar dari neuron spinal T1 sampai T4 bersama neuron spinalis
lainnya menuju thalamus dan kemudian ke korteks untuk dilakukan penafsiran sesuai
faktor fisik, emosi, dan lainnya. Bagian aferen yang terletak pada pembuluh darah
koroner dan miokardium ini sensitif terhadap regangan dan iritasi yang dipicu oleh
stimulus kimia lokal. Sesak napas yang dikeluhkan pada sebagian besar pasien
dengan nyeri dada diakibatkan disfungsi sistolik ataupun diastolik ventrikel kiri
ataupun akibat regurgitasi mitral sementara.1

2.6 Manifestasi Klinis

Nyeri dada yang khas :14

 Lokasi nyeri dada tersering dirasakan di daerah substernal kiri dan dapat
menjalar dari epigastrium hingga ke rahang bawah atau gigi, bahu, punggung,
lengan sampai dengan pergelangan tangan dan jari-jari tangan.
 Durasi yang dirasakan kecil dari 20 menit.
 Karakteristik nyeri dada berupa rasa yang tidak nyaman seperti tertekan,
tertindih, tercekik, atau rasa panas. Intensistas nyeri bervariasi mulai dari rasa
tidak nyaman hingga rasa nyeri yang hebat.
 Nyeri muncul saat beraktivitas trutama aktivitas dipagi hari atau stres
emosional dan dapat pulih dengan istirahat atau pemberian nittrogliserin
sublingual.

Klasifikasi nyeri dada15

 Nyeri dada tipikal : Memiliki 4 gejala klinis yang ada.


 Nyeri dada atipikal : Memilki minimal 2 gejala klinis.
 Nyeri dada nonkardak : Jika hanya memiliki satu gambaran klinis saja.

2.7 Diagnosis

Pendekatan diagnosis dapat dilakukan dengan16

1. Riwayat klinis

12
a. Usia dan jenis kelamin

b. Gejala nyeri dada angina pektoris yang khas

c. Riwayat infark sebelumnya

d. Faktor resiko hipertensi, PPOK, sindroma metabolik

2. Pemeriksaa fisik

Umumnya dalam batas normal kecuali terdapat komplikasi atau


komorbid.17 Bisa ditemukan bunyi S3 gallop, S4 transient dan bunyi mitral
regurgitasi.16

3. Pemeriksaan penunjang.

a. Restting elektrokardiogram

b. Pemeriksaan Rongen thorak.

c. Pemeriksaan EKG treadmill

d. Stress Nuclear Scan

e. Kateterisasi jantng dan Angiografi.

2.8 Tatalaksana

Tindakan pencegahan nonfarmakologis harus dianggap sebagai landasan


pengelolaan pasien dengan angina stabil. Khususnya, penghentian merokok dan
penyesuaian tingkat latihan individual adalah yang paling penting. Selain itu, tujuan
pengobatan dari Gugus Tugas Kelima dari ESC pada pencegahan penyakit
kardiovaskular dalam praktik klinis (misalnya tingkat lipid dan hipertensi yang
sesuai) harus dianggap wajib bagi pasien dengan angina stabil.18

Terapi Farmakologis pada Pasien Angina Pektoris Stabil


1. Beta Blocker (BB)
Beta-blocker memperbaiki iskemia dan gejala terutama dengan mengurangi
konsumsi oksigen. Efek protektif antiiskemik yang diberikan oleh terapi beta-
blocker sebagian besar dimediasi oleh blokade adrenoceptor beta-1. Beta-1 selektif
beta-blocker metoprolol (target dosis 100 mg, 2 x/hari), atenolol (target dosis 100
mg, 1x/hari atau 50 mg, 2x/hari), dan bisoprolol (dosis target 10 mg 1x/hari) telah
digunakan secara luas untuk angina stabil.18
2. Calcium Channel Blocker (CCB)

13
Calcium Channel Blocker (CCB) mengurangi angina dengan menghambat
masuknya kalsium melalui membran sel di banyak jaringan, termasuk jaringan
konduksi jantung, miokardium, dan sel otot polos pembuluh darah baik di arteri
koroner maupun pembuluh perifer. CCB yang paling umum digunakan untuk
pengobatan angina stabil adalah amlodipin, diltiazem, felodipin, verapamil, dan
nifedipin.18 Diltiazem digunakan jika angina tidak dikontrol dengan nitrat dan
beta-bloker.16
3. Nitrat
Nitrat telah terbukti mengurangi serangan angina, meningkatkan toleransi
latihan, dan dengan demikian meningkatkan kualitas hidup. Meskipun data ini
diakui oleh pedoman ESC dan dikenal baik oleh mayoritas ahli jantung, nitrat
digunakan secara berlebihan pada pasien dengan penyakit jantung iskemik stabil,
mungkin karena biaya rendah dan ketersediaan yang luas.18
Nitrat mengakibatkan vasodilatasi arteridan vena koroner, yang merupakan
dasar dalam mengatasi gejala angina. Nitrat short-acting untuk mengatasi angina
akut. Nitrogliserin sublingual adalah terapi awal standar untuk mengatasi angina.
Ketika angina dimulai, pasien harus beristirahat duduk (berdiri dapat
mengakibatkan sinkop, sedangkan berbaring dapat meningkatkan darah balik vena
dan kerja jantung) dan mengambil nitrogliserin sublingual (0,3-0,6 mg) setiap 5
menit sampai rasa sakit hilang atau maksimal 1,2 mg dalam 15 menit. Nitrogliserin
semprot bekerja lebih cepat. Nitrogliserin dapat digunakan secara profilaksis
ketika angina dapat diperkirakan, seperti aktivitas setelah makan, stres emosional,
aktivitas seksual dan dalam cuaca dingin. Isosorbide dinitrate (5 mg sublingual)
membantu mengatasi serangan angina selama sekitar 1 jam. Karena dinitrat
membutuhkan konversi di hati menjadi mononitrat. Onset kerja antiangina (dalam
waktu 3-4 menit) lebih lambat dibandingkan dengan nitrogliserin. Setelah
konsumsi oral, efek hemodinamik dan antiangina bertahan selama beberapa jam,
memberikan perlindungan lebih lama terhadap angina daripada nitrogliserin
sublingual.Nitrat long-acting untuk profilaksis angina. Nitratlong-acting efektif
jika secara teratur digunakan dalam waktu interval 8-10 jam.1
4. Ivabradin
Ivabradine adalah agen penurun detak jantung yang selektif menghambat
pemicuan sinus node I (f) yang sedang berlangsung, sehingga menurunkan
kebutuhan oksigen miokard tanpa mempengaruhi inotropisme atau tekanan darah.
Hal ini disetujui oleh European Medicines Agency (EMA) untuk terapi angina
stabil kronis pada pasien yang tidak dapat dikontrol oleh BB dan detak jantungnya
>60x/menit. (dalam irama sinus). Ivabradine sama efektifnya dengan atenolol atau

14
amlodipine pada pasien APS. Penambahan ivabradine 7,5 mg dua kali sehari untuk
terapi atenolol memberikan kontrol yang lebih baik terhadap detak jantung dan
gejala angina. Efeknya dominan pada pasien dengan denyut jantung ≥70 bpm.
Dengan demikian, Ivabradine merupakan agen antiangina yang efektif, sendiri
atau dalam kombinasi dengan BB.1
5. Ranolazin
Ranolazine adalah inhibitor selektif dari natrium dengan sifat antiiskemik dan
metabolik. Dosis 500-2000 mg per hari mengurangi angina dan meningkatkan
kapasitas latihan tanpa perubahan denyut jantung atau tekanan darah. Ranolazine
yang disetujui EMA pada tahun 2009 untuk pengobatan tambahan pada angina
stabil pada pasien yang tidak sanggup dikontrol dengan agen lini pertama (BB
dan/atau CCB).1

Gambar 2.2 Algoritma untuk manajemen farmakologis pasien dengan angina


stabil, yang bertujuan untuk mengurangi gejala dan iskemia.1

1. Nitrat short-acting dapat digunakan saat dibutuhkan dengan semua obat berikut.
Namun, efektivitasnya berkurang pada pasien yang menerima nitrat long-acting.
2. Digunakan dalam kasus hipertensi, hindari dalam kasus gagal jantung karena
disfungsi sistolik dari ventrikel kiri. Jika CCB dikontraindikasikan atau tidak
ditoleransi, ikuti algoritma berdasarkan denyut jantung.
3. Digunakan dalam kasus fibrilasi atrium.
4. Hanya untuk pasien dengan irama sinus, digunakan pada kasus gagal jantung sistolik.

Terapi Invasif pada Pasien Angina Pektoris Stabil


Pasien APS membutuhkan berbagai tingkat intensitas perawatan. Baik terapi
medis maupun revaskularisasi koroner telah terbukti memperbaiki gejala dan efek

15
pada pasien tersebut. Berdasarkan data yang lebih baru, revaskularisasi koroner tidak
boleh dibatasihanya jika terapi medis saja dianggap tidak cukup. Kambuhnya gejala
atau tanda dasar risiko tinggi yang menunjukkan iskemia miokard luas harus
mendorong pendekatan invasif.19
Terapi invasif pada pasien APS dapat berupa PCI (percutaneus coronary
intervention) dan CABG (coronary artery by pass grafting). Pasien dengan penyakit
koroner yang lebih luas mendapatkan lebih banyak manfaat dari CABG. PCI efektif
dalam mengurangi angina pada pasien dengan angina kronis. Revaskularisasi harus
dipertimbangkan untuk pasien yang memiliki angina berkelanjutan meskipun terapi
medis yang memadai. Untuk pasien yang memiliki angina dan dirawat secara medis
tanpa revaskularisasi, rujukan ke program rehabilitasi jantung terstruktur harus
dipertimbangkan.20

Gambar 2.3 PCI dan CABG20

PCI atau CABG efektif dilakukan jika ditemukan bukti iskemik dari
pemeriksaan penunjang disertailesi signifikan berdasarkan pemeriksaan angiografi
koroner. Kriteria lesi signifikan : LM stenosis 50%, LAD stenosis di osteal/proksimal
>50%, LAD stenosis di mid-distal > 70%, LCx stenosis > 70%, dan RCA stenosis
>70%. Pada lesi-lesi non signifikan yang dijumpai bukti adanya iskemia yang luas
memerlukan pemeriksaan menggunakan FFR (flow fraction ration). Nilai FFR < 0,8
menunjukkan lesi signifikan. Pada tempat yang tidak memiliki fasilitas FFR maka
pemeriksaan iskemik stress test dapat membantu apakah lesi sebagai penyebab
iskemik. Indikasi CABG: Lesi multiple stenosis (> 2 pembuluh koroner) dengan atau
tanpa diabetes mellitus. Pada kasus-kasus multivessel disease dimana CABG
mempunyai risiko tinggi (Fraksi ejeksi rendah, usia >75 tahun atau pembuluhdistal
kurang baik untuk grafting) maka dapat dilakukan PCI selektif dan bertahap
(selectiveand Stagging PCI) dengan mempertimbangkan kondisi klinis pasien, lama
radiasi, jumlahzat kontras dan lama tindakan. PCI lanjutan dapat dikerjakan dalam
kurun waktu 1-3 bulan kemudian jika kondisi klinis stabil. PCI lanjutan harus
dipercepat jika terdapat keluhan bermakna (simptomatik).17

16
2.9 Prognosis
Prognosis penyakit APS dipengaruhi oleh fungsi ventrikel kiri, jumlah
pembuluh darah koroner dengan stenosis yang signifikan, dan luas miokard yang
dipengaruhi oleh iskemia. Selain itu, Gaya hidup agresif dan manajemen faktor risiko
tetap menjadi kunci dalam prognosis jangka panjang pasien APS.19

17
BAB 3
KESIMPULAN

Angina pektoris adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan suplai
aliran darah koroner. Angina pektoris stabil adalah suatu sindrom klinis yang
ditandai dengan rasa tidak nyaman di dada, rahang, bahu, punggung atau lengan,
biasanya muncul saat aktivitas atau stres emosional dan berkurang dengan istirahat
dan pemberian nitrogliserin.
Prevalensi angina dalam studi berbasis populasi meningkat seiring
bertambahnya usia pada kedua jenis kelamin, 5-7% pada wanita berusia 45-64 tahun
hingga 10-12% pada wanita berusia 65-84 tahun dan dari 4-7% pada pria berusia 45-
64 tahun hingga 12-14% pada pria berusia 65-84 tahun.
Tindakan pencegahan nonfarmakologis harus dianggap sebagai landasan
pengelolaan pasien dengan angina stabil. Khususnya, penghentian merokok dan
penyesuaian tingkat latihan individual adalah yang paling penting. Selain itu,
pencegahan penyakit kardiovaskular dalam praktik klinis (misalnya tingkat lipid dan
hipertensi yang sesuai) harus dianggap wajib bagi pasien dengan angina stabil. Terapi
farmakologis terdiri dari obat-obatan yang memperbaiki iskemik dan gejala. Pasien
dengan penyakit koroner yang lebih luas mendapatkan lebih banyak manfaat dari
CABG. PCI efektif dalam mengurangi angina pada pasien dengan angina kronis.
Revaskularisasi harus dipertimbangkan untuk pasien yang memiliki angina
berkelanjutan meskipun terapi medis yang memadai. Untuk pasien yang memiliki
angina dan dirawat secara medis tanpa revaskularisasi, rujukan ke program
rehabilitasi jantung terstruktur harus dipertimbangkan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Montalescot G, Sechtem U, Achenbach S, Andreotti F, Arden C, Budaj A, et


al. ESC guidelines on the management of stable coronary artery disease: The
task force on the management of stable coronary artery disease of the
european society of cardiology. European Heart Journal. 2013; 34: 2949-
3003.
2. Andrikopoulos G, Parissis J, Filippatos G, Nikolaou M, Pantos K, Voudris V,
et al. Medical management of stable angina. Hellenic J Cardiol. 2014; 55(4):
272-80.
3. Perdoncin E, Duvernoy C. Treatment of coronary artery disease in women.
Methodist Debakey Cardiovasc J. 2017; 13(4): 201-8
4. Kusama Y, Kodani E, Nakagomi A, Otsuka T, Atarashi H, Kishida H, et al.
Variant angina and coronary artery spasm: the clinical spectrum,
pathophysiology, and management. J Nippon Med Sch. 2011; 78(1): 4-12
5. Paudel R, Beridze N, Aronow WS, Ahn C, Sanaani A, Agarwal P, et al.
Association of chest pain versus dyspnea as presenting symptom for coronary
angiography with demographics, coronary anatomy, and 2-year
mortality.Arch Med Sci. 2016; 12(40): 742-6
6. Dagenais GR, Lu J, Faxon DP, Bogaty P, Adler D, Fuentes F, et al. Prognostic
impact of the presence and absence of angina on mortality and cardiovascular
outcomes in patients with type 2 diabetes and stable coronary artery disease. J
Am Coll Cardiol. 2013; 61(7): 702-11
7. Devon HA, Penckover S, Larimer K. The association of diabetes and older
age with the absence of chest pain during acute coronary syndromes. West J
Nurs Res. 2008; 30(1): 130-44]
8. Mumma B, Flacke N. Current diagnostic and therapeutic strategies in
microvascular angina. Curr Emerg Hosp Med Rep. 2015; 3(1): 30-7
9. Chen C, Wei J, AlBadri A, Zarrini P, Merz NB. Coronary microvascular
dysfunction: Epidemiology, pathogenesis, prognosis, diagnosis, risk factors
and therapy-. Circ J. 2016; 81(1): 3-11
10. Ahmed AH, Shankar KJ, Eftekhari H, Munir MS, Robertson J, Brewer A, et
al. Silent myocardial ischemia: Current perspectives and future directions.
Exp Clin Cardiol. 2007; 12(4): 189-96.
11. D’Antono B, Dupuis G, Arsenault A, Burelle D. Silent ischemia: Silent after
all?. Can J Cardiol. 2008; 24(4): 285-91

19
12. Hajar R. Risk factors for coronary artery disease: Historical perspectives.
Heart Views. 2017; 18(3): 109-14
13. Rafieian-Kopaei M, Setorki M, Doudi M, Baradaran A, Nasri H.
Atherosclerosis: Process, indicators, risk factors and new hopes.Int J Prev
Med. 2014; 5(8): 927-46

14. Yuniadi Y, Dhoni YH, Anna UR. Buku Ajar Kardiovaskuler FK UI. Jakarta :
Bala penerbit FKUI. 2017.

15. PERKI. Pedoman tatalaksana sindroma koroner akut edisi 4. Jakarta. Centra
Comunication. 2018.

16. Rampengan Starry Homentar. Buku Praktis Kardiologi. Jakarta: Bada penerbit
FKUI. 2014.

17. PERKI. Buku panduan praktik klinis dan Clinical pathway penyakit jantung
dan pembuluh darah edisi pertama. Jakarta: 2016.

18. Andrikopoulos G, Parissis J, Filippatos G, Nikolaou M, Pantous K, Voudris V


et al. Expert perspective: medical management of stable angina. Hellenic J
Cardiol 2014;55:272-280.
19. Valgimigli M, Biscaglia S. Stable angina pectoris. Curr Atheroscler Rep
2014;16:422.
20. Ohman EM. Clinical practice: chronic stable angina. N Engl J Med
2016;374:1167-76.

20

Anda mungkin juga menyukai