”Angina Pectoris”
Disusun Oleh :
Kelompok : 1
Kelas : C
I. Latar Belakang
Jantung merupakan organ vital manusia yang berperan dalam memompa aliran
darah keseluruh tubuh. Jantung yang sehat adalah jantung yang dapat bekerja secara
normal tanpa ada gangguan apapun. Jantung yang tidak sehat akibat beberapa faktor
dapat mengakibatkan ketidak optimalan jantung dalam mengalirkan darah keseluruh
tubuh yang dapat mengakibatkan stroke, gagal jantung bahkan kematian. Dari survey
Sample Regristration System pada tahun 2014 di Indonesia menyatakan bahwa Penyakit
Jantung Koroner (PJK) adalah penyebab kematian tertinggi tanpa memandang usia
setelah stroke. Melihat survey tersebut maka setiap orang harus waspada dengan
kesehatannya dan pola hidup harus lebih sehat dan teratur. Pasien dengan riwayat
penyakit hipertensi bisa jadi salah satu faktor peyebab PJK, Angina Pektoris bahkan
Stroke maka dari itu pemantauan obat pasien dengan penyakit hipertensi harus diawasi
kepatuhan meminum obatnya.
Angina adalah rasa sakit atau ketidak nyamanan yang biasanya terjadi di bagian
depan dada dan disebabkan karena aktivitas fisik serta kondisi stress emosional. Angina
adalah gejala utama manifestasi iskemia miokard, yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara suplai darah miokard dan kebutuhan oksigen. Angina secara
klinis diklasifikasikan menjadi angina stabil dan angina tidak stabil. Strategi perawatan
pada kedua jenis angina tersebut berbeda.Angina stabil adalah kondisi medis kronis yang
tujuan terapinya yaitu menghilangkan atau meminimalkan gejala, meningkatkan kualitas
hidup, dan mengurangi morbiditas jangka panjang dan mortalitas, sedangkan angina tidak
stabil adalah sindrom koroner akut, yang harus diperlakukan sebagai keadaan darurat.
Angina yang tidak stabil merupakan istilah sindrom koroner akut.Masalah
kesehatan publik yang setiap hari mempengaruhi sebagian besar populasi menjadi
penyebab utama kematian di seluruh dunia.Tanda-tanda dan gejala sindrom koroner akut
harus disadari karena penyebab nyeri dada yang dirasakan pasien berbeda-beda.
Seringkali pasien akan datang ke ruang gawat darurat, namun sindrom koroner akut dapat
dilihat pada pengaturan rawat jalan. Selama bertahun-tahun, sejumlah besar penelitian
telah dilakukan untuk menentukan modalitas pengobatan yang tepat dan paling efektif,
serta alat diagnostik yang tersedia, dalam mengevaluasi angina tidak stabil dan varian
lain dari sindrom koroner akut.
2. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah.Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak
dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti
oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus
yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang
pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi
mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal.
Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium.Pasokan oksigen yang berhenti selama
kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark
miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel).Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas.Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria
epikardial (Angina Prinzmetal).Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi
Koroner Perkutan (IKP).Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia,
tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada
pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
Ateriosklerosis merupakan penyakit arteri koroner yang paling sering ditemukan.
Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen juga
meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat maka arteri
koroner berdilatasi dan megalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot
jantung,namun apabila arteri koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat
ateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan
kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik (kekurangan suplai darah)
miokardium.
Angina pektoris adalah nyeri hebat yang berasal dari jantung dan terjadi sebagai
respon terhadap suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel miokard di jantung.
Nyeri angina dapat menyebar ke lengan kiri, ke punggung, rahang, dan daerah
abdomen. Pada saat beban kerja suatu jaringan meningkat, kebutuhan oksigen juga
akan meningkat. Apabila kebutuhan oksigen meningkat pada jantung yang sehat,
maka arteri-arteri koroner akan berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak oksigen
kepada jaringan. Akan tetapi jika terjadi kekakuan dan penyempitan pembuluh darah
seperti pada penderita arteosklerotik dan tidak mampu berespon untuk berdilatasi
terhadap peningkatan kebutuhan oksigen.Terjadilah iskemi miokard, yang mana sel-
sel miokard mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan
energinya. Proses pembentukan ini sangat tidak efisien dan menyebabkan
terbentuknya asam laktat. Asam laktat kemudian menurunkan pH miokardium dan
menyebabkan nyeri pada angina pektoris. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung
berkurang (istirahat, atau dengan pemberian obat) suplai oksigen menjadi kembali
adekuat dan sel-sel otot kembali melakukan fosforilasi oksidatif membentuk energi
melalui proses aerob. Dan proses ini tidak menimbulkan asam laktat, sehingga nyeri
angina mereda dan dengan demikian dapat disimpulkan nyeri angina adalah nyeri
yang berlangsung singkat.
3. Diagnosis
Diagnosa harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan didasarkan pada tiga kriteria,
yaitu; gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi
biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal
pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian
besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan
mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda
awal dalam pengelolaan pasien SKA. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai
berikut :
Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk,
rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan dapat juga ke
lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas.
Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut. Gejala yang
tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di
epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes
dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko
kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.
Tabel 1. 3 Penampilan Klinis Umum
Elektrokardiografi
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang dilakukan saat
sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah : 1. Depresi
segmen ST > 0,05 mV 2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi
gelombang T yang simetris di sandapan prekordial Perubahan EKG lainnya termasuk
bundle branch block (BBB) dan aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG
harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal
pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI. Tiga Penampilan Klinis Umum
Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan yang
terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut, dengan berbagai ciri
dan katagori:
Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T,
kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai gelombang Q.
Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T
Semua pasien dengan kecurigaan atau diagnosis pasti SKA harus dikirim dengan ambulan dan
fasilitas monitoring dari tanda vital. Pasien harus diberikan penghilang rasa sakit, nitrat dan
oksigen nasal. Pasien harus ditandu dengan posisi yang menyenangkan, dianjurkan elevasi
kepala 40 derajat dan harus terpasang akses intravena. Sebaiknya digunakan ambulan/ambulan
khusus.
.
6. Tata Laksana di Rumah Sakit
A. Instalasi Gawat Darurat
Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu dengan
waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih baik.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya
infark dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
a. Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
b. Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,
c. Berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,
d. Pasang monitoring EKG secara kontiniu,
e. Pemberian obat:
Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi
(kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia (< 50
kali/menit), dan takikardia.
Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan
dipiridamol, tiklopidin atau klopidogrel.
f. Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5
menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol
25-50 mg intravena.
Tidak ada perbedaan bermakna dalam memanfaatkan klinis dari berbagai jenis
penghambat-β (oral atau intravena, bekerja jangka pendek atau jangka
panjang).Penggunaan penghambat-β harus berhati-hati terhadap kemungkinan
adanya kontraindikasi dan bila ada kemungkinan ini maka harus dipilih obat
penghambat-β dengan masa kerja pendek. Terapi oral ditujukan untuk mencapai
target denyut jantung 50-60/ menit.
C. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium mengurangi influks kalsium yang melalui membrane sel. Obat ini
menghambat kontraksi miokard dan otot polos pembuluh darah, melambatkan
konduksi AV dan depresi nodus SA. Efek vasodilatasi, inotoropik, blok AV dan
depresi nodus SA. Efek vasodilatasi, inotoropik, blok AV dan depresiasi nodus SA
bervariasi pada antagonis kalsium yang berbeda. Penggunaan dihidropiridin yang
lepas cepat dan kerja singkat (seperti nifedipine) berkaitan dengan peningkatan risiko
pada pasien tanpa penghambatan beta yang adekuat dan harus dihindari.Indikasi :
Nama Lama
Dosis
obat kerja
Diltiazem Lepas cepat : 30 – 120
Singkat
mg 3x/hari
Verapami Lepas lambat : 100-
l 360 mg 1x/hari
Lama
Lepas cepat : 40-160
Singkat
mg 3x/hari
Lama
Lepas lambat : 120-
480 mg ax/hari
Angina prinzmetal (angina varian).
D. Morfin
Morfin adalah analgetik dan anxiolitik poten yang mempunyai efek
hemodinamik.Diperlukan monitoring tekanan darah yang seksama.Obat ini
direkomendasikan pada pasien dengan keluhan menetap atau berulang setelah
pemberian terapi anti-iskemik.
ii. Klopidogrel
Obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang lebih baru bekerja
dengan menekan aktivitas kompleks glikoprotein IIb/IIIa oleh ADP
dan menghambat agregasi trombosit secara efektif.Klopidogrel
mempunyai efek samping lebih sedikit dari tiklopidin.Klopidogrel
dapat dipakai pada pasien yang tidak tahan dengan aspirin dan dalam
jangka pendek dapat dikombinasi dengan aspirin untuk pasien yang
menjalani pemasangan stent.
No
Keunggulan
.
1 Mengurangi ikatan pada protein pengikat heparin
2 Efek yang dapat diprediksi lebih baik
C. 3 Tidak membutuhkan pengukuran APTT
4 Pemakaian subkutan, menghindari kesulitan dalam pemakaian secara IV
5 Risiko perdarahan kecil
6 Risiko yang berkaitan dengan HIT (heparin induced thrombocytopenia)
7 Secara ekonomis lebih hemat
Antitrombin Direk
Berbeda dengan obat antitrombin indirek (seperti UFH atau LMWH) yang bekerja
dengan cara menghambat faktor IIa dan faktor Xa, antitrombin direk langsung
menghambat pembentukan trombin tanpa berpengaruh terhadap aktivitas antitrombin
III dan terutama menekan aktivitas trombin.Termasuk dalam golongan ini misalnya
hirudin, hirulog, argatroban, efegatran dan inogatran.
D. Antikoagulan Oral
Terapi antikoagulan oral monoterapi (misalnya warfarin) pasca-infark jantung paling
tidak sama efektifnya dengan aspirin dalam mencegah serangan infark jantung
berulang dan kematian. Akan tetapi apakah kombinasi warfarin dan aspirin dapat
memperbaiki prognosis pada SKA masih belum jelas.
Pada penyelidikan Antithrombotic Therapy In Acute Coronary Syndromes
terapi kombinasi aspirin dan antikoagulan (heparin diikuti oleh warfarin, dengan
target INR 2.0-3.0 selama 12 minggu) dijumpai penurunan primary end points angina
berulang dengan perubahan EKG, infark jantung, kematian atau ketiganya dalam 14
hari, dibandingkan dengan terapi aspirin saja. Setelah 3 bulan kejadian iskemik turun
50% dan kecenderungan pendarahan hanya sedikit lebih tinggi pada terapi kombinasi
dibandingkan dengan terapi aspirin tunggal.
Walaupun demikian pada penyelidikan coumadin aspirin reinfarction study
tidak dijumpai manfaat lebih besar terapi kombinasi aspirin dan warfarin dengan
dosis tetap (1 atau 3 mg, tanpa disesuaikan dengan INR) dibandingkan dengan
aspirin saja. Pada penyelidikan lain, terapi kombinasi dengan target INR 2.0-2.5
selama 10 minggu setelah terjadinya APTS memberikan hasil baik secara klinik dan
angiografik dibandingkan monoterapi aspirin tanpa disertai kecenderungan
pendarahan yang meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Damay Vito, Pranata R, et al. 2019. Recurrent acute coronary syndrome in a patient with
right coronary artery ectasia: a case report. Journal of Medical Case Reports. 13:78.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut edisi III. Indonesia. Centra Communication.
3. R. S. Wright, J. L. Anderson, and C. D. Adams, “2012 ACCF/AHA focused update of the
guideline for the management of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial
infarction (updating the 2007 guideline and replacing the 2011 focused update): a report of
the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines,” Journal of the American College of Cardiology, vol. 60, no. 7, pp. 645–
681, 2012.
4. Corwin, Elizabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
5. Standar Kompetensi Dokter. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006. ISBN 979-15546-
4-1.
6. Kloner RA, Chaitman B. Angina and Its Management. J Cardiovasc Pharmacol Ther. 2017;
22(3):199–209.
7. Direktorat bina farmasi komunitas dan klinik. 2006. Pharmaceutical care untuk pasien penyakit
jantung koroner. Depkes, Jakarta.