Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN INTERNA REFERAT

November, 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

ANGINA PEKTORIS

Oleh :

Rolly Riksanto B, S.Ked


(105505403919)

Pembimbing :
dr. H. Zakaria Mustari, Sp.PD

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Interna)

FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Rolly Riksanto B, S.Ked
NIM : 105505403919
Judul Referat : Angina Pektoris

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Interna
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makasssar, November 2020

Pembimbing

dr. H. Zakaria Mustari, Sp.PD


BAB I

PENDAHULUAN

Suatu pola hidup yang tidak sehat tentunya akan menimbulkan berbagai
macam permasalahan kesehatan. Utamanya bagi sistem kardiovaskuler. Keluhan
utama yang sering terjadi pada gangguan sistem kardiovaskuler ialah nyeri dada,
berdebar-debar dan sesak napas. Keluhan tambahan lainnya yang mungkin
menyertai keluhan utama, ialah perasaan cepat lelah, kemampuan fisik menurun
dan badan sering terasa lemas, perasaan seperti mau pingsan (fainting) atau
sinkope, kaki rasa berat atau membengkak, perut kembung atau membuncit
disertai kencing yang berkurang, kadang-kadang terlihat kebiruan ( cyanotic
spells ), batuk atau hemoptisis dengan dahak yang kemerahan, sering berkeringat
dingin dan lemas dengan perasaan tidak enak pada perut bagian atas.1

Angina pektoris diakibatkan oleh ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan


oksigen miokard ketika peningkatan aktivitas atau tekanan emosional
meningkatkan beban kerja jantung atau "permintaan" dengan peningkatan yang
bersamaan dalam detak jantung, tekanan darah, dan kontraktilitas, yang pada
gilirannya menyebabkan peningkatan ketegangan dinding ventrikel kiri (LV);
tetapi arteri koroner mengalami stenosis sehingga tidak dapat meningkatkan
aliran antegrade atau "suplai" secara memadai sebagai respons terhadap
peningkatan permintaan ini. Ketidakseimbangan seperti itu secara klasik
menyebabkan ketidaknyamanan dada dengan intensitas dan durasi yang berbeda-
beda. Angina pektoris umumnya didefinisikan sebagai ketidaknyamanan di dada
atau area yang berdekatan yang terjadi secara terduga pada tingkat pengerahan
tenaga tertentu dan berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Angina pektoris adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan


sindrom klinis, biasanya ditandai dengan ketidaknyamanan dada, rahang,
bahu, punggung atau lengan yang disebabkan oleh iskemia miokard. Ini paling
sering terkait dengan plak ateromatosa di satu atau lebih dari satu arteri
koroner epikardial besar; Namun, iskemia miokard dapat terjadi tanpa adanya
penyakit arteri koroner obstruktif (CAD), seperti hipertensi yang tidak
terkontrol, penyakit mikrovaskuler, penyakit katup jantung, kardiomiopati
hipertrofik, kejang koroner, atau disfungsi endotel. Setiap situasi yang
menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard
dapat menyebabkan sindrom angina.1

Terjadinya serangan angina menunjukkan adanya iskemia. Iskemia yang


terjadi pada angina terbatas pada durasi serangan yang tidak menyebabkan
kerusakan permanen jaringan miokard. Namun angina merupakan hal yang
mengancam kehidupan dan dapat menyebabkan disritmia atau berkembang
menjadi infark miokard.1

B. Epidemiologi

Diperkirakan satu dari tiga orang dewasa di A.S. (sekitar 81 juta)


memiliki beberapa bentuk penyakit kardiovaskular. Berdasarkan survey
NHANES 2007-2010, diperkirakan 15,4 juta menderita penyakit jantung
koroner dimana 7,8 juta diantaranya menderita angina. Angina paling sering
terjadi pada pria paruh baya dan lanjut usia. Di antara orang berusia 60 hingga
79 tahun, sekitar 25% pria dan 16% wanita menderita penyakit jantung
koroner, dan angka ini meningkat menjadi 37% dan 23% di antara pria dan
wanita berusia> 80 tahun.

Insiden penyakit jantung koroner dan angina pada wanita setelah


menopause serupa dengan pria. Manifestasi awal penyakit jantung iskemik
adalah angina pektoris pada 50%, dan sekitar 50% pasien yang datang ke
rumah sakit dengan sindrom koroner akut telah mendahului angina. 1,2

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Angina pektoris dapat terjadi bila otot jantung memerlukan asupan
oksigen yang lebih pada waktu tertentu, misalnya pada saat bekerja, makan,
atau saat sedangmengalami stress. Jika pada jantung mengalami penambahan
beban kerja, tetapisupplai oksigen yang diterima sedikit, maka akan
menyebabkan rasa sakit pada jantung. Oksigen sangatlah diperlukan oleh sel
miokard untuk dapat mempertahankanfungsinya. Oksigen yang didapat dari
proses koroner untuk sel miokard ini, telahterpakai sebanyak 70 - 80 %,
sehingga wajar bila aliran koroner menjadi meningkat. Aliran darah koroner
terutama terjadi sewaktu diastole pada saat otot ventrikel dalamkeadaan
istirahat.
Faktor- faktor yang mempengaruhi pemakaian oksigen pada jantung,
adalah:
1. Denyut Jantung
Apabila denyut jantung bertambah cepat, maka kebutuhan oksigen
tiap menitnya akanbertambah.
2. Kontraktilitas
Dengan bekerja, maka akan banyak mengeluarkan katekolamin
(adrenalin dan noradrenalin) sehingga dapat meningkatkan kontraksi
pada jantung.
3. Tekanan Sistolik Ventrikel Kiri
Makin tinggi tekanan, maka akan semakin banyak pemakaian
oksigen.
4. Ukuran Jantung
Jantung yang besar, akan memerlukan oksigen yang banyak.
Faktor-faktor penyebab lainnya, antara lain adalah :
1. Aterosklerosis
2. Denyut jantung yang terlalu cepat
3. Anemia berat
4. Kelainan pada katup jantung, terutama aortic stenosis yang
disebabkan olehsedikitnya aliran darah ke katup jantung.
5. Penebalan pada di dinding otot jantung - hipertropi- dimana dapat
terjadi padapenderita tekanan darah tinggi sepanjang tahun
6. Spasme arteri koroner3.

D. Klasifikasi
Angina pectoris dapat diklasifikasikan menjadi :
a) Angina pectoris stabil
Angina pektoris stabil adalah nyeri dada atau chest discomfort
yang terjadi karena keadaan seperti olahraga atau stres emosional yang
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.4 Keluhan utama APS adalah
nyeri dada stabil, karakteristik nyeri dada pada APS dibagi atas angina
tipikal, angina atipikal dan nyeri dada non-angina. 5
Angina tipikal didefinisikan sebagai nyeri dada yang memenuhi
ketiga karakteristik berikut: 5
1) Rasa tidak nyaman pada substernal dada dengan kualitas dan
durasi tertentu
2) Diprovokasi oleh aktivitas fisik dan stres emosional
3) Hilang setelah beberapa menit istirahat dan atau dengan nitrat
Angina atipikal memiliki dua dari tiga karakter di atas, nyeri dada
non-anginal hanya memiliki satu atau tidak memiliki satu pun dari
ketiganya. Angina atipikal dapat memiliki karakteristik dan lokasi yang
sama dengan angina tipikal, juga responsif terhadap nitrat, namun tidak
memiliki faktor pencetus. Nyeri seringkali dimulai saat istirahat dari
intensitas rendah, meningkat secara gradual, menetap maksimal hingga
15 menit, kemudian berkurang intensitasnya. Gambaran karakteristik
ini harus mengingatkan klinisi pada kemungkinan vasospasme koroner.
Gejala angina atipikal lainnya adalah nyeri dada dengan lokasi dan
kualitas angina, yang dicetuskan oleh aktivitas dan tidak berpengaruh
terhadap nitrat. Gejala ini seringkali timbul pada pasien dengan angina
mikrovaskular. Nyeri dada non-angina memiliki karakteristik kualitas
yang rendah, meliputi sebagian kecil hemithorax kanan atau kiri,
bertahan selama beberapa jam atau bahkan hari. Nyeri non-angina ini
biasanya tidak hilang dengan nitrat. Penyebab non-kardiak harus
dievaluasi pada kasus-kasus ini.
Klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society digunakan untuk
menilai derajat severitas angina stabil Penting untuk diingat bahwa
sistem nilai ini secara eksplisit memperlihatkan bahwa nyeri pada saat
istirahat (rest pain) dapat muncul pada semua kelas sebagai manifestasi
vasospasme koroner. Kriteria kelas ini menunjukkan keterbatasan
aktivitas maksimum harian pasien.5
Klasifikasi Derajat Angina pada APS berdasarkan Canadian
Cardiovascular Society6

Kelas I Aktivitas biasa tidak menyebabkan angina, seperti berjalan


atau naik tangga. Angina muncul dengan mengejan atau
aktivitas cepat dan lama saat bekerja atau olahraga.

Kelas II Sedikit pembatasan pada aktivitas biasa. Angina saat


berjalan cepat atau naik tangga, berjalan atau naik tangga
setelah makan atau pada cuaca dingin, angina pada stress
emosional, atau hanya beberapa jam setelah bangun tidur.
Berjalan lebih dari dua blok atau menanjak lebih dari satu
tangga pada kecepatan dan kondisi normal.

Kelas III Pembatasan yang jelas pada aktivitas fisik biasa. Angina
muncul saat berjalan satu atau dua blok, naik satu lantai
pada kondisi dan kecepatan normal.

Kelas IV Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa


rasa tidak nyaman, angina dapat timbul saat istirahat.

b) Angina Prinzmetal
Angina prizmental terjadi karena vasospasme pembuluh darah
coroner,dimana nyeri terjadi ketika terjadi vasispasme dan dapat juga
Terjadi saat istirahat, biasa terjadi setelah paparan dingin. Temuan EKG
segmen ST elevasi episodik. Pasien lebih mungkin mengembangkan
aritmia ventrikel. Bentuk ini jarang terjadi dan biasanya timbul pada
saat istirahat, akibat penurunan suplai O2 darah ke miokard secara tiba-
tiba
c) Angina Pectoris Tidak Stabil
Istilah lain yang sering digunakan adalah Angina preinfark, Angina
dekubitus, Angina kresendo. Unstable angina (UA) adalah angina
pektoris setara dengan ischemic discomfort dengan 1 diantara 3 kriteria:
1. Muncul saat istirahat (atau Iatihan ringan), biasanya
berlangsung > 20 menit
2. Gejala berat dan baru pertama kali timbul, dan atau
3. Muncul dengan pola crescendo (lebih berat, panjang, dan sering
daripada sebelumnya)7,1.

E. Patofisiologi
Angina adalah ekspresi klinis yang paling sering dari iskemia miokard.
Iskemia, yang berkembang pesat ketika terjadi ketidaksesuaian antara
kebutuhan oksigen miokard dan suplai oksigen miokard, dapat
dimanifestasikan secara klinis dalam banyak hal selain angina, dari tanpa
gejala hingga angina tidak stabil, MI, atau kematian jantung mendadak.
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidak adekuatan
suplai oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri
dan penyempitan lumen arteri koroner (aterosklerosis koroner). Tidak
diketahui secara pasti apa penyebab ateriosklerosis, namun jelas bahwa tidak
ada faktor tunggal yang bertanggungjawab atas perkembangan
ateriosklerosis.2,8
Aterosklerosis merupakan penyakit arteri koroner yang paling sering
ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan
oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang
sehat maka arteri koroner berdilatasi dan megalirkan lebih banyak darah dan
oksigen ke otot jantung. Namun apabila arteri koroner mengalami kekakuan
atau menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon
terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik
(kekurangan suplai darah) miokardium.2,8
Karena adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi
NO (nitrat Oksida) yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang
reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos
berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan
lumen karena suplai oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini
belum menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75 %.
Bila penyempitan lebih dari 75 % serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka
suplai darah ke koroner akan berkurang. Sel-sel miokardium menggunakan
glikogen anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Metabolisme ini
menghasilkan asam laktat yang menurunkan pH miokardium dan menimbulkan
nyeri. Apabila kebutuhan energi sel- sel jantung berkurang, maka suplai
oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untuk
membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan
hilangnya asam laktat nyeri akan reda.2,8

F. Manifestasi Klinis
Untuk pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD) yang memiliki
episode gejala klasik yang dapat diprediksi, diagnosis angina pektoris sangat
mudah. Kebanyakan pasien menyadari tingkat pengerahan tenaga yang
biasanya menyebabkan gejala angina. Kebanyakan menggambarkan rasa sakit
atau rasa berat di dada bagian tengah mereka yang dapat menjalar atau tidak ke
rahang atau lengan kiri. Beberapa pasien menyangkal gejala nyeri dada sama
sekali dan malah mengeluhkan dispnea atau diaforesis saat aktivitas. Situasi
lingkungan seperti paparan dingin, stres emosional, atau makanan berat dapat
menyebabkan angina. Sistem klasifikasi Canadian Cardiovascular Society dan
New York Heart Association digunakan untuk menentukan tingkat keparahan
angina. Kedua sistem menggunakan skala I sampai IV, dengan angina ringan
(kelas I) mengacu pada episode yang terjadi dengan aktivitas ekstrim dan
angina berat (kelas IV) untuk episode yang terjadi dengan aktivitas ringan atau
tanpa aktivitas. Sistem klasifikasi ini berguna untuk stratifikasi risiko dan
untuk menilai kemanjuran terapi medis.9
Ada perbedaan gender yang jelas dalam gambaran klinis angina. Pleuritik,
nyeri tipe muskuloskeletal, nyeri noneksersional, dan nyeri nokturnal telah
dilaporkan sebagai anginal equivalents pada wanita. Kelelahan adalah salah
satu gejala yang paling umum untuk CAD pada wanita. Kunci diagnosis pada
pria dan wanita terletak pada riwayat holistik, yang harus selalu mencakup
kualitas, lokasi, aktivitas yang memprovokasi, dan durasi nyeri serta faktor-
faktor yang meredakan nyeri. Berdasarkan riwayat klinis rinci, beberapa
diagnosis banding dapat disingkirkan.9
Penilaian nyeri dada harus mencakup kualitas, lokasi, keparahan, dan
durasi nyeri; radiasi; gejala terkait; faktor pendukung; dan factor resiko. Nyeri
anginal dapat digambarkan sebagai rasa seperti "meremas", "seperti
mencengkeram", "tercekik", dan "terasa berat," tetapi jarang terasa tajam atau
menusuk dan biasanya tidak bervariasi dengan posisi atau pernapasan. Tanda
klasik Levine adalah meletakkan kepalan tangan di atas precordium untuk
menggambarkan rasa sakit. Banyak pasien, bagaimanapun, tidak
menggambarkan angina sebagai nyeri yang nyata tetapi sebagai sesak, tekanan,
atau rasa ketidaknyamanan. Pasien lain, khususnya wanita dan orang dewasa
yang lebih tua, dapat datang dengan gejala atipikal seperti mual, muntah,
ketidaknyamanan midepigastrik, nyeri dada tajam (atipikal), pusing, atau
sinkop.10
Nyeri iskemik lebih dari 20 menit. durasi harus meningkatkan perhatian
untuk kemungkinan sindrom koroner akut.10
Wanita lebih mungkin dibandingkan pria untuk melaporkan nyeri dada
atipikal atau ketidaknyamanan (65% dilaporkan dalam studi Women’s
Ischemic Syndrome Evaluation [WISE]).9
Lansia dan penderita diabetes mungkin melaporkan gejala selain nyeri
dada, seperti dispnea, kelelahan, atau diaphoresis.9
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang teliti masih merupakan landasan dalam diagnosis
nyeri dada. Karakteristik nyeri dada akibat iskemia miokard (angina
pektoris) dibagi menjadi 4 kategori berdasarkan lokasi, karakteristik nyeri,
durasi, dan keterkaitannya dengan aktivitas dan faktor yang memperparah
dan faktor yang melegakan nyeri. Rasa tidak nyaman yang disebabkan
oleh iskemia miokard umumnya berada pada dada, di dekat sternum,
namun juga dapat dirasakan di lain tempat dekat epigastrium hingga ke
rahang bawah maupun gigi bawah, di antara belikat atau di lengan hingga
pergelangan tangan dan jari-jari. Rasa tidak nyaman sering dideskripsikan
sebagai seperti ditekan, sesak, maupun terasa berat, terkadang terasa
seperti dicekik, diikat kuat, atau rasa terbakar. Perlu ditanyakan kepada
pasien secara langsung adanya rasa tidak nyaman tersebut, karena
beberapa pasien tidak merasakan rasa tertekan maupun nyeri seperti yang
dideskripsikan sebelumnya. Sesak nafas dapat diikuti dengan angina dan
rasa tidak nyaman pada dada juga dapat diikuti gejala-gejala lain yang
lebih tidak spesifik seperti fatigue, rasa mau pingsan, mual, terbakar,
gelisah, maupun rasa seperti mau mati. Sesak nafas dapat merupakan
gejala adanya APS dan terkadang sulit dibedakan dari sesak nafas yang
berasal dari penyakit bronkopulmonal.5
Durasi rasa tidak nyaman tersebut cepat, tidak lebih dari 10 menit
dalam sebagian besar kasus, namun nyeri dada yang sangat singkat dalam
hitungan detik juga kemungkinan bukan disebabkan angina. Karakteristik
pentingnya adalah keterkaitannya dengan aktivitas, aktivitas khusus, atau
stres emosional. Gejala umumnya diperberat dengan peningkatan
intensitas aktivitas seperti jalan menanjak atau saat udara dingin, dan cepat
hilang dalam hitungan menit jika faktor-faktor ini dihentikan atau
dihilangkan. Eksaserbasi gejala setelah makanan berat atau setelah bangun
tidur di pagi hari merupakan fitur klasik angina. Angina berkurang dengan
latihan lebih lanjut (walk-through angina) atau pada upaya pengerahan
tenaga kedua (warm-up angina). Nitrat bukal atau sublingual dapat dengan
cepat meredakan gejala angina. Ambang angina dan gejalanya dapat
bervariasi dari hari ke hari, bahkan pada hari yang sama.5
2. Pemeriksaan Fisis
Pada pasien yang dicurigai angina pektoris stabil penting untuk
dicari adanya tanda-tanda anemia, hipertensi, penyakit jantung valvular,
kardiomiopati hipertrofik obstruktif, atau aritmia. Pemeriksaan indeks
massa tubuh (IMT) dan bukti adanya penyakit vaskular non- koroner yang
seringkali asimptomatik juga perlu dilakukan. Tanda-tanda komorbid
lainnya seperti penyakit tiroid, penyakit ginjal, atau diabetes juga perlu
dicermati.5
Bagaimanapun juga, tidak ada tanda pemeriksaan fisik yang khas
dari angina pektoris. Selama dan segera setelah episode iskemia miokard,
bunyi jantung ketiga atau keempat dapat didengar dan insufisiensi mitral
dapat menjadi jelas saat iskemia. Namun demikian, tanda-tanda ini tidak
spesifik.5
3. Pemeriksaan Laboratorium
a) Skrining untuk hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia sesuai
pedoman rutin.9
b) Elektrokardiogram harus dilakukan selama nyeri dan pasien bebas
dari rasa tidak nyaman. Elektrokardiogram istirahat normal tidak
biasa pada pasien dengan SIHD; pada pasien yang datang dengan
nyeri dada, 1% sampai 6% yang memiliki MI akut akan menjalani
elektrokardiogram normal atau nondiagnostik.9
c) Foto toraks PA dan lateral, jika gejala menandakan gagal jantung,
penyakit perikardial, aneurisma / diseksi aorta.9
d) Cardio-CRP (hs-CRP): Elevasinya adalah prediktor PJK yang
relatif sedang, dan ini menambah informasi prognostik yang
disampaikan oleh skor risiko Framingham.9
4. Pemeriksaan EKG
Elektrokardiogram dasar (EKG) seringkali merupakan salah satu tes
awal yang diperoleh pada pasien dengan keluhan nyeri dada. Penelusuran
normal tidak mengecualikan diagnosis penyakit jantung iskemik. Lebih
dari 50% pasien dengan angina terdiagnosis memiliki EKG normal saat
istirahat. ECG dasar mungkin, bagaimanapun, menunjukkan bukti
gelombang Q patologis atau hipertrofi ventrikel kiri, salah satunya
meningkatkan probabilitas statistik CAD yang signifikan. Data
laboratorium dasar harus mencakup panel lipid puasa untuk membantu
menentukan profil faktor risiko pasien.11
5. Exercise Test (Stress Test)
Pengujian latihan digunakan untuk diagnosis sebagai serta prognosis
SIHD. Jika pasien secara fisik mampu melakukan setidaknya latihan fisik
sedang, tes stres latihan (Gbr. 1) berguna karena informasi prognostik
penting yang diperoleh dari kinerja olahraga dan respons hemodinamik.
Stratifikasi risiko berdasarkan pengujian non-invasif dirangkum dalam
table 2. Pasien yang memiliki kemungkinan CAD sedang, karena pasien
dalam kategori risiko rendah atau kemungkinan tinggi lebih cenderung
memiliki hasil positif palsu atau negatif palsu. Penilaian risiko juga
diindikasikan pada pasien dengan SIHD yang sedang dipertimbangkan
untuk revaskularisasi dari stenosis koroner yang diketahui dengan
signifikansi fisiologis yang tidak jelas. Tes latihan treadmill
dikontraindikasikan pada pasien dengan adanya depresi ST> 0,5 mm atau
sindrom WPW atau LBBB atau ritme alat pacu jantung pada EKG dasar.8
Gambar 1, Algoritma uji stres. ACS, sindrom koroner akut; BBB, blok cabang
bundel; DM, diabetes melitus; EKG, elektrokardiogram; gema, ekokardiografi; ED,
gawat darurat; GTX, tes latihan bertingkat; LVH, hipertrofi ventrikel kiri; NSTE,
elevasi segmen non-ST; NSTEMI, NSTE infark miokard; STE, elevasi segmen ST;
y / o, tahun.9
Ekokardiografi stres atau uji stres dengan pencitraan perfusi miokard
dapat digunakan ketika kelainan elektrokardiografi dasar hadir yang
membuat respons elektrokardiografik terhadap olahraga tidak dapat
diinterpretasikan. Ekokardiografi stres memiliki keunggulan spesifisitas
yang lebih tinggi dan biaya yang lebih rendah. Pencitraan perfusi
radionuklida stres memiliki sensitivitas yang lebih tinggi, terutama untuk
penyakit koroner pembuluh tunggal, dan memiliki tingkat keberhasilan
teknis yang lebih tinggi. Ketika pasien tidak dapat berolahraga secara
memadai, uji stres farmakologis (yaitu, dobutamin, adenosin,
regadenoson) dapat digunakan dengan modalitas pencitraan ini.9
Prediktor risiko yang baik untuk pasien dengan angina stabil adalah
skor treadmill Duke, yang menggabungkan status fungsional pasien
(METS atau waktu dalam menit selama protokol Bruce), depresi segmen
ST dalam milimeter, dan indeks angina. (ya atau tidak). Pasien dengan
skor Duke yang menguntungkan (> 5) memiliki tingkat kelangsungan
hidup 5 tahun> 97%; ini tidak tergantung pada faktor lain seperti anatomi
koroner dan Fungsi LV.10
Ekokardiografi diindikasikan pada pasien dengan murmur yang
menunjukkan stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, regulasi mitral,
prolaps katup mitral, MI sebelumnya, gelombang Q patologis, aritmia
ventrikel kompleks, gagal jantung, hipertensi, diabetes, dan EKG
abnormal.10
Cardiac computed tomography (CCTA; Gbr. 2) berguna untuk
mendeteksi CAD subklinis pada pasien asimtomatik dengan estimasi risiko
Framingham 10 tahun antara 10% sampai 20%. Mendeteksi dan mengukur
kalsium koroner dan mengevaluasi lumen dan dinding arteri koroner.
CCTA dapat berguna sebagai tes lini pertama untuk penilaian risiko pada
pasien dengan SIHD yang tidak dapat berolahraga dengan beban kerja
yang memadai terlepas dari interpretabilitas EKG. Juga dapat digunakan
saat uji fungsional memiliki hasil yang tidak pasti dan untuk menilai
patensi cangkok bypass atau patensi stent sebelumnya dengan diameter> 3
mm. Biaya CCTA CT dan paparan radiasi merupakan faktor pembatas
untuk merekomendasikan penggunaan rutin penanda ini secara luas.
CCTA memiliki nilai prediksi negatif yang sangat baik untuk
menyingkirkan CAD parah dalam pengaturan evaluasi nyeri dada aktif di
ruang gawat darurat (uji coba ROMICAT-II). Pada tahun 2018 uji coba
SCOT-HEART menunjukkan CTA koroner menghasilkan risiko infark
miokard nonfatal yang lebih rendah daripada perawatan standar saja (ETT)
pada pasien angina stabil.9
Gambar 2. Contoh penilaian kalsium arteri koroner di mana fokus kalsifikasi
diidentifikasi di dalam arteri koroner desenden anterior kiri (oranye; panah
tunggal) dan sirkumfleksa kiri (garis merah muda dengan garis biru; panah
ganda). Area wilayah (R-Ar) dan kepadatan rata-rata dalam satuan Hounsfield
(R-Av) ditampilkan dan digunakan dalam penghitungan skor kalsium kepadatan
area.9
Skor kalsium arteri koroner (KAK) adalah prediktor yang kuat
untuk kejadian CAD dan memberikan informasi prediktif pada pasien
dengan probabilitas pretes rendah hingga menengah dari CAD di luar yang
disediakan oleh faktor risiko standar. Skor di bawah 100 menunjukkan
risiko rendah, dan skor di atas 400 berisiko tinggi.9
Pencitraan resonansi magnetik jantung (CMRA), selain digunakan
untuk diagnosis displasia ventrikel kanan aritmogenik, juga dapat
digunakan untuk menilai perfusi dan viabilitas miokard serta fungsi pada
pasien yang tidak dapat berolahraga. Penelitian tambahan diperlukan untuk
menentukan efektivitas biaya penelitian ini pada pasien dengan
kardiomiopati iskemik.10
Angiografi koroner invasif tetap menjadi standar emas untuk
identifikasi CAD yang signifikan secara klinis. Angiografi dilakukan untuk
menentukan lokasi dan luasnya penyakit koroner; diindikasikan pada
pasien terpilih yang merupakan kandidat untuk revaskularisasi koroner
(baik operasi coronary artery bypass graft [CABG] atau angioplasti).10
Tes stres adalah alat skrining yang tepat untuk diagnosis awal
CAD, stratifikasi risiko setelah sindrom iskemik akut, dan penilaian
kemanjuran pengobatan. Jika memungkinkan, akan lebih menguntungkan
untuk mendapatkan tes stres olahraga daripada studi berbasis
farmakologis. Data prognostik tambahan yang diperoleh melalui latihan
meliputi respons tekanan darah, respons detak jantung, pemulihan detak
jantung, tingkat ekuivalen metabolik yang dicapai, dan penilaian EKG
segmen ST. Ada beberapa protokol latihan yang divalidasi yang
memberikan langkah-langkah stratifikasi risiko tambahan untuk hasil tes.9
Nilai prediksi tes stres treadmill latihan berkisar dari 40% untuk
penyakit pembuluh tunggal hingga 90% untuk penyakit tiga pembuluh
darah. Blokade cabang berkas kiri dasar, ritme yang cepat, aritmia atrium
yang tidak terkontrol dengan baik, atau hipertrofi ventrikel kiri dengan
perubahan iskemik sekunder sering membuat tes tidak meyakinkan saat
menilai perubahan iskemik. Namun, jika pengujian stres dilakukan untuk
pencapaian respons hemodinamik dan tingkat ekuivalen metabolik yang
dapat dicapai, kelainan EKG dasar ini mungkin terabaikan.9
Akurasi uji tekanan secara nyata ditingkatkan dengan
penambahan modalitas pencitraan seperti ekokardiografi atau pemindaian
perfusi nuklir. Sensitivitas dan spesifitas ekokardiografi stres dan
pencitraan nuklir stres adalah 85% hingga 90%. Ekokardiografi stres
diyakini lebih spesifik, dan pencitraan inti stres dianggap lebih sensitif.
Ekokardiogram stres juga memungkinkan penilaian fungsi sistolik
ventrikel kiri dan fungsi katup serta prediksi tekanan ventrikel kanan.
Dalam memutuskan uji stres mana yang akan dilakukan, seseorang harus
mengandalkan keahlian dari fasilitas pengujian dan keadaan pasien
individu.10

6. Tatalaksana
Lima Strategi Fundamental yang direkomendasikan9:
a) Pendidikan pasien: Dukung partisipasi aktif pasien dalam proses
pengambilan keputusan pengobatan mereka.
b) Manajemen kondisi komorbiditas itu berkontribusi atau
memperburuk SIHD.
c) Modifikasi agresif dari risiko yang dapat dicegah faktor-faktor
seperti berhenti merokok, penurunan berat badan pada pasien
obesitas, program latihan aerobik teratur (minimal 30 hingga 60
menit / hari selama 5 hari seminggu), koreksi defisiensi folat,
pengurangan asupan lemak jenuh (hingga <7% dari total kalori )
dan asam lemak trans (menjadi <1% dari total kalori), diet rendah
natrium (<2 g / hari), dan mengajarkan pentingnya kepatuhan
pengobatan. Biji-bijian utuh sebagai bentuk utama karbohidrat,
buah-buahan dan sayuran yang berlimpah, dan asam lemak omega-
3 yang cukup optimal untuk pencegahan SIHD.
d) Manajemen farmakologis berbasis bukti untuk meningkatkan
kualitas hidup dan kelangsungan hidup.
e) Gunakan prosedur revaskularisasi yang tepat untuk meningkatkan
kelangsungan hidup dan hasil jangka panjang pada pasien tertentu.
A. Terapi Farmakologis
Perawatan dapat diklasifikasikan berdasarkan obat untuk mencegah
Infark Miokard dan kematian.9
a) Aspirin mengurangi angka mortalitas dan morbiditas
kardiovaskular sebesar 20% sampai 25% di antara pasien
dengan CAD. Dosis yang tepat adalah 75 sampai 162 mg / hari
jika tidak ada kontraindikasi. Ini menghambat enzim
siklooksigenase dan sintesis tromboksan A2 dan mengurangi
risiko kejadian kardiovaskular yang merugikan sebesar 33%
pada pasien dengan angina tidak stabil. Pasien yang tidak
toleran terhadap aspirin dapat diobati dengan clopidogrel atau
dapat menjalani desensitisasi aspirin. Clopidogrel secara
permanen memblok reseptor adenosin difosfat P2Y12 pada
permukaan platelet, sehingga mengganggu aktivasi dan
penggabungan platelet. Clopidogrel dapat dikombinasikan
dengan ASA pada pasien berisiko tinggi dengan SIHD dengan
risiko rendah untuk komplikasi perdarahan atau dapat diberikan
sendiri pada pasien yang intoleran aspirin. Dosisnya 75 mg /
hari.9
b) Ticagrelor, inhibitor CTPT terbaru (antagonis P2Y12), dalam
PEGASUS-TIMI-54 mengurangi risiko kematian, MI
kardiovaskular, atau stroke pada pasien setelah 1 tahun MI.
Namun, ini terkait dengan peningkatan risiko perdarahan bila
dibandingkan dengan plasebo.9
c) Dipiridamol tidak direkomendasikan sebagai terapi antiplatelet
untuk pengobatan pasien SIHD.9
d) Penghambat beta-adrenergik, yang mencegah MI dan kematian,
merupakan terapi lini pertama dalam pengelolaan angina
pektoris. Mereka mencapai efek antianginal utama dengan
menurunkan kebutuhan oksigen miokard dalam mengurangi
denyut jantung dan produk tekanan darah sistolik, konduksi
nodus AV, dan kontraktilitas miokard, dengan cara ini
berkontribusi pada penurunan onset angina, dengan peningkatan
ambang iskemik selama latihan. dan selama aktivitas sehari-hari
biasa. Tanpa adanya kontra-indikasi, mereka harus dianggap
sebagai terapi awal untuk angina stabil untuk semua pasien.
Dosisnya umumnya harus disesuaikan untuk mengurangi detak
jantung istirahat menjadi 55 hingga 60 denyut / menit. Meskipun
ada perbedaan di antara beta-blocker yang tersedia, semuanya
tampaknya sama efektifnya dalam SIHD. Beta-blocker
direkomendasikan untuk setidaknya 2 sampai 3 tahun setelah
MI, dan seumur hidup untuk pasien dengan fraksi ejeksi LV
<40% dengan gagal jantung atau MI sebelumnya.9
e) Nitrat menyebabkan venodilatasi dan relaksasi otot polos
pembuluh darah; penurunan aliran balik vena dari venodilatasi
menurunkan ketegangan dinding ventrikel diastolik (preload)
dan dengan demikian mengurangi aktivitas mekanis (dan
konsumsi oksigen miokard) selama sistem. Relaksasi otot polos
pembuluh darah meningkatkan aliran darah koroner dan
mengurangi tekanan sistemik. Dilatasi dinding arteri tidak akan
dipengaruhi oleh plak, tetapi tidak bergantung pada endotel yang
utuh, menyebabkan penurunan resistensi di lumen yang
tersumbat. Nitrogliserin berkontribusi pada redistribusi aliran
darah koroner dengan meningkatkan aliran kolateral dan
menurunkan tekanan diastolik ventrikel dari area perfusi normal
ke zona iskemik. Nitrogliserin juga telah menunjukkan efek
antitrombotik dan antiplatelet. Nitrogliserin sublingual atau
semprotan nitrogliserin harus diresepkan untuk semua pasien
dengan SIHD untuk menghilangkan angina segera. Toleransi
terhadap nitrat dapat diminimalkan dengan menghindari kadar
darah berkelanjutan dengan periode bebas nitrat harian
(misalnya, penghilangan dosis isosorbida dinitrat oral sebelum
tidur atau 12 jam pada / 12 jam setelah terapi nitrogliserin
transdermal). Nitrat relatif dikontraindikasikan pada pasien
dengan kardiomiopati obstruktif hipertrofik, dan juga harus
dihindari pada pasien dengan steinosis aorta berat. Nitrat tidak
boleh digunakan dalam waktu 24 jam setelah sildenafil (Viagra)
atau vardenafil (Levitra) atau dalam waktu 48 jam setelah
tadalafil (Cialis) karena potensi hipotensi.9,11
f) Penghambat saluran kalsium adalah obat anti iskemik yang tidak
memiliki manfaat kematian yang terbukti pada SIHD. Mereka
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan mengurangi
resistensi pembuluh darah koroner dan menambah pembuluh
saluran epikardial dan aliran darah arteri sistemik. Permintaan
miokard berkurang dengan penurunan kontraktilitas miokard,
resistensi vaskular sistemik, dan tekanan arteri. Mereka adalah
pengobatan lini pertama ketika beta-blocker merupakan
kontraindikasi. Mereka memainkan peran utama dalam
mencegah dan menghentikan iskemia miokard yang disebabkan
oleh spasme arteri koroner. Mereka sangat efektif dalam
mengobati angina mikrovaskuler. Semua kelas penghambat
saluran kalsium mengurangi episode anginal, meningkatkan
durasi latihan, dan mengurangi penggunaan nitrogliserin
sublingual pada pasien dengan angina yang diinduksi oleh
upaya. Penghambat saluran kalsium kerja pendek harus
dihindari. Penghambat saluran kalsium (terutama non-
dihidropiridin) secara umum juga harus dihindari pada pasien
dengan CHF akibat disfungsi sistolik karena efek inotropik
negatifnya.9,11
g) Ranolazine, yang telah diuji dalam empat studi berbeda dengan
total 1737 pasien (MARISA, CARISA, RAN080, dan ERICA),
menghambat arus masuk natrium yang terlambat, secara tidak
langsung mengurangi arus kalsium yang bergantung pada
natrium selama kondisi iskemik dan menyebabkan peningkatan
tekanan diastolik ventrikel dan konsumsi oksigen. Sepertinya
begitu meningkatkan efisiensi produksi energi di jantung,
menjaga fungsi jantung. Efek antianginal dan anti iskemiknya
tidak bergantung pada penurunan denyut jantung atau tekanan
darah. Ini diindikasikan untuk pengobatan angina kronis yang
tidak terkontrol secara memadai dengan antianginal lain. Ini
mewakili kelas baru obat yang dikenal sebagai modulator
metabolik dan dapat berguna ketika diresepkan sebagai
pengganti beta-blocker atau dalam kombinasi dengan mereka
untuk menghilangkan gejala ketika pengobatan awal dengan
beta-blocker tidak berhasil atau merupakan kontraindikasi. Efek
sampingnya termasuk perpanjangan interval QT. Dosis rendah
diltiazem dan verapamil harus digunakan dengan ranolazine.
Persiapan pelepasan yang diperpanjang mengurangi frekuensi
angina, meningkatkan kinerja latihan, dan menunda
perkembangan angina yang diinduksi oleh latihan dan depresi
segmen ST.9
h) Penghambatan angiotensin-converting enzyme (ACE) melalui
perubahan keseimbangan fisiologis antara angiotensin II dan
bradikinin dapat berkontribusi pada penurunan LV dan
hipertrofi vaskular, progresi aterosklerosis, ruptur plak, dan
trombosis; perubahan yang menguntungkan dalam hemodinamik
jantung; dan peningkatan suplai / kebutuhan oksigen miokard.
Ini telah terbukti efektif dalam mengurangi kematian
kardiovaskular, MI, dan stroke pada pasien yang berisiko atau
yang memiliki penyakit vaskular. Mereka diindikasikan pada
pasien dengan hipertensi, diabetes, LVEF <40%, dan CKD.
Penghambat reseptor angiotensin (ARB) dapat diberikan kepada
pasien dengan SIHD yang tidak toleran terhadap ACEI dan
memenuhi syarat untuk mendapatkannya.9
i) Penggunaan obat statin intensitas tinggi direkomendasikan pada
semua pasien dengan CAD. Pada akhir 2018 American College
of Cardiology (ACC) merekomendasikan target LDL <70 mg /
dl untuk pencegahan sekunder penyakit kardiovaskular
aterosklerotik. Tidak ada tujuan LDL untuk pencegahan primer.
Penghambat PCSK9 (proprotein convertase subtilisin / kexin
type 9) yang disetujui FDA (Alirocumab dan Evolocumab)
untuk hiperkolesterolemia familial heterozigot pada mereka
yang dapat mentoleransi statin secara maksimal. Pedoman lipid
2018 yang lebih baru menyarankan untuk memulai penghambat
PCSK9 pada pasien penyakit kardiovaskular aterosklerotik
berisiko sangat tinggi yang tidak memenuhi tujuan LDL pada
statin dan ezetimibe intensitas tinggi. Seseorang harus selalu
mempertimbangkan untuk menambahkan ezetimibe ke statin
intensitas tinggi sebelum memulai penghambat PCSK9 karena
masalah biaya.9
j) Vaksin influenza direkomendasikan untuk pasien dengan SIHD
setiap tahun untuk mencegah semua penyebab mortalitas,
morbiditas, dan rumah sakit yang disebabkan oleh eksaserbasi
kondisi medis yang mendasari akibat influenza.9
B. Modalitas Baru untuk terapi Angina Pektoris Stabil Kronis
a) Meski banyak kemajuan telah dibuat dalam pengelolaan CAD
dengan intervensi koroner perkutan (PCI) dan CABG, banyak
pasien dengan kondisi tersebut memerlukan modalitas terapeutik
tambahan untuk meredakan gejala dan meningkatkan kualitas
hidup. Kelompok pasien ini termasuk mereka dengan CAD difus
yang tidak cocok untuk revaskularisasi, pasien dengan beberapa
PCI atau CABG sebelumnya yang membatasi kemungkinan
revaskularisasi lebih lanjut, kurangnya saluran vaskular untuk
CABG, disfungsi sistolik ventrikel kiri yang parah pada pasien
dengan CABG atau PCI sebelumnya. , dan komorbiditas yang akan
membuat pasien berisiko tinggi untuk revaskularisasi.9
b) Agen farmakologis berikut telah digunakan untuk pengelolaan
angina stabil dalam kombinasi dengan protokol standar nitrat, beta-
blocker, penghambat saluran kalsium, dan ranolazine: Terapi statin
dosis tinggi, trimetazidine, perhexiline, nicorandil, allopurinol,
ivabradine, fasudil , dan testosteron.9
c) Modalitas nonfarmakologis lainnya yang sangat eksperimental
termasuk terapi sel punca, angiogenesis terapeutik, dan terapi
mekanis seperti counterpulsation eksternal, stimulasi sumsum
tulang belakang, revaskularisasi laser transmyocardial, dan alat
pengurangan sinus koroner.9
d) Dalam TACT (Percobaan untuk Menilai Terapi Chelation), infus
intra vena Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) mengakibatkan
penurunan yang signifikan dalam kematian total, MI berulang,
stroke, revaskularisasi koroner, atau rawat inap untuk angina. Jadi
terapi khelasi ditingkatkan dari Kelas III (tidak direkomendasikan)
menjadi Kelas IIb dalam pedoman SIHD 2014. Allopurinol,
inhibitor xantin oksidase, terbukti mengurangi kebutuhan oksigen
miokard per unit curah jantung pada pasien dengan gagal jantung
dalam sebuah studi crossover kecil dari 65 pasien yang diberi 600
mg allopurinol setiap hari selama 6 minggu. Allopurinol
meningkatkan waktu median menjadi depresi ST dari 232 detik
pada awal menjadi 393 detik. Penelitian lebih lanjut dan lebih
besar diperlukan untuk merekomendasikan allopurinol sebagai
terapi tambahan untuk angina stabil.9
e) Testosteron meningkatkan disfungsi endotel dan mungkin menjadi
agen antigina yang efektif. Namun, mengingat potensi efek
samping, percobaan tambahan diperlukan untuk
merekomendasikan testosteron sebagai obat tambahan untuk
angina kronis.9
Nilai counterpulsation eksternal yang ditingkatkan, atau
EECP, dinilai dengan uji coba MUST-EECP, yang secara acak
menugaskan 139 pasien rawat jalan dengan angina, CAD yang
terdokumentasi, dan tes stres positif hingga 35 jam EECP aktif.
Hasilnya menunjukkan hal berikut tentang EECP: (1) Ditoleransi
dengan baik; (2) durasi latihan meningkat pada kedua kelompok;
(3) pasien EECP aktif mengalami peningkatan waktu yang
signifikan menjadi depresi segmen ST 1 mm, sementara tidak ada
perubahan pada kelompok tidak aktif; (4) lebih banyak pasien yang
menjalani EECP aktif mengalami penurunan episode angina, dan
lebih sedikit mengalami peningkatan gejala angina dibandingkan
dengan kelompok aktif. Data ini menguatkan data serupa dari
registri multicenter. The American Heart Association, American
College of Cardiology, Society for Cardiovascular Angiography
and Interventions, American Thoracic Society, dan Society of
Thoracic Surgeons, menyatakan bahwa EECP dapat
dipertimbangkan untuk meredakan angina refrakter.9,10
Perawatan berikut TIDAK terbukti bermanfaat dalam
mengurangi risiko kardiovaskular atau meningkatkan hasil klinis:
Terapi estrogen, vitamin C, vitamin E, dan suplementasi beta-
karoten; pengobatan peningkatan homosistein dengan folat atau
vitamin B6 dan B12; terapi kelasi; Bawang putih; koenzim Q10;
selenium; dan kromium.9,10
C. Terapi non-medikamentosa
1. Revaskularisasi
a) Intervensi Koroner Perkutan
IKP merupakan prosedur yang aman untuk diterapkan pada pasien
APS khususnya pada pasien yang memiliki anatomi koroner yang
sesuai. Risiko mortalitas IKP pada APS <0,5%. Efikasi IKP pada APS
dibandingkan dengan terapi medis dan BPAK akan dibahas lebih lanjut
dalam subab ini.5
- Tipe stent dan Terapi antiplatelet ganda
Bare Metal Stent (BMS) memiliki rekurensi 20-30% untuk
angiografi stenosis dalam 6-9 bulan setelah implantasi. Drug
eluting stent (DES) mengurangi insiden restenosis angiografi dan
iskemia akibat revaskularisasi berulang. DES generasi pertama
memiliki manfaat yang luas, walaupun terdapat sedikit
peningkatan insiden dari trombosis onset lambat yang berkaitan
dengan endotelialisasi yang terlambat, dan memerlukan terapi
antiplatelet ganda untuk mencegah trombosis dalam stent.
Perbandingan sirolimus-eluting stent (SES) dan pacitaxel-eluting
stents (PES) menunjukkan bahwa hasil agiografi lebih baik pada
SES. DES generasi kedua (lebih tipis dan dapat di biodegradasi
dengan polimer yang lebih biokompatibel) menunjukkan
keunggulan dalam hal luaran klinis, baik keamanan maupun
efikasiya jika dibandingkan dengan DES generasi pertama. DES
generasi kedua direkomendasikan sebagai pilihan pada pasien
APS yang tidak memiliki kontraindikasi untuk pemberian terapi
antiplatelet ganda. Uji meta-analisis mengkonfirmasi bahwa pra-
terapi CPG pada pasien APS yang menjalani IKP elektif tidak
mengurangi mortalitas maupun MACE (Major Adverse Cardiac
Events), sebagaimana dibandingkan dengan pemberian CPG pada
laboratorium kateterisasi jantung. IKP ad-hoc (revaskularisasi
dalam prosedur yang sama) tidak dianjurkan memberikan CPG
sebelum anatomi koroner diketahui. Manfaat yang didapatkan
dengan pemberian antiplatelet ganda sebelum kateterisasi jantung
tidak sebanding dengan resiko perdarahan yang akan didapatkan,
pada populasi yang tidak memerlukan stent (PJK yang tidak
signifikan atau PJK yang membutuhkan BPAK. Penggunaan
prasugrel atau ticagrelor tidak direkomendasikan pada pasien
APS yang menjalani terapi IKP, kecuali pada pasien dengan
resiko yang tinggi misalnya yang telah diketahui mengalami
trombosis dalam stent. Direkomendasikan untuk memberikan 6-
12 bulan terapi antiplatelet ganda setelah pemasangan stent
generasi pertama. Direkomendasikan untuk memberikan
antiplatelet ganda pada pasien APS yang menjalani IKP
menggunakan DES generasi terbaru selama 6-12 bulan, kecuali
pada pasien yang memiliki resiko perdarahan yang besar, boleh
diberikan 1-3 bulan.5
- Penilaian derajat stenosis
Jika pencitraan non-invasif dikontraindikasikan, tidak
tersedia, maupun non-diagnostik, pengukuran FFR selama infus
adenosine dapat membantu mengidentifikasi stenosis secara
fungsional atau hemodinamik, termasuk iskemia, dan justifikasi
revaskularisasi. Pada pasien dengan FFR >0,8, terapi medis
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
revaskularisasi cepat. Fractional Flow Reserve, walaupun
umumnya tidak bermanfaat untuk setiap lei derajat tinggi (>90%
pada angiografi), yang secara praktis pasti memiliki FFR≤0,8,
dapat membantu memutuskan waktu dilakukannya revaskularisasi
dalam kondisi klinis yang tidak menentu. Pengukuran FFR pada
penderita multivessel disease dapat mengubah pemilihan strategi
(IKP atau BPAK) dan revaskularisasi berdasarkan penilaian
fungsional dari stenosis pada lokasi koroner kritis. Situasi kritis
lain untuk dilakukanya revaskularisasi adalah stenosis pada LM.
FFR juga dapat bermanfaat untuk pasien pasca SKA. Setelah lesi
penyebabnya disembuhkan, pasien dipertimbangkan sebagai
pasien yang stabil. Pencitraan non-invasif segera setelah fase akut
bisa jadi tidak memungkinkan, kontraindikasi, maupun
berbahaya.5
Penggunaan Intravascular Ultrasound (IVUS) telah banyak
diteliti pada pasien APS dengan berbagai lesi. Tidak seperti FFR,
IVUS merupakan modalitas pencitraan diagnostik dan tidak
menghasilkan penilaian untuk keparahan fungsional dari stenosis.
IVUS lebih bagus dibandingkan dengan FFR, karena dapat
menampilkan karakterisasi dari lesi dari ukuran dan komposisi
plak dan dapat mengendalikan ekspansi plak. Optical Coherence
Tomography (OCT) telah dikembangkan sebagai modalitas
pencitraan intrakoroner dengan resolusi yang tinggi (<10μm)
dapat memberikan penilaian secara detail dari komponen yang
superfisial, termasuk ketebalan fibrous cap dan plak lipid.
Kegunaan OCT pada pasien APS dengan plak yang rentan belum
ditegakkan.5
b) Bedah Pintas Arteri Koroner5
- Cangkok arteri vs cangkok vena
Selama 25 tahun terakhir, teknik prinsip BPAK adalah
dengan menggunakan arteri mammaria interna ke arteri koroner
LAD dengan tambahan cangkok vena sebagaimana dibutuhkan.
Teknik ini memiliki perbaikan dalam pertahanan hidup dan
penurunan insiden infark miokard, angina yang rekuren, dan
kebutuhan revaskularisasi berulang. Beberapa studi angiografi
telah mengkonfirmasi keunggulan cangkok arteri mamaria
interna dibandingkan cangkok vena baik pada fase awal maupun
akhir setelah BPAK. Cangkok arteri mamaria interna bilateral
tidak meningkatkan mortalitas dini pasca-operasi dan atau
morbiditas. Tidak terdapat perbedaan signifikan dalam survival
10 tahun, insiden infark miokard, kematian maupun stroke pada
kelompok pasien dengan cangkok arteri mamaria interna
bilateral dibandingkan dengan cangkok arteri mamari interna
tunggal, namun terdapat peningkatan insiden sedikit lebih besar
pada kelompok cangkok arteri mamaia interna bilateral dalam
rekonstruksi luka bekas operasi pada sternum akibat dehisensi
(1,9% vs 0,6%). Arteri radialis juga telah diajukan sebagai
cangkok arteri kedua. Penelitian menunjukkan bahwa patensi
arteri radialis lebih superior secara signifikan dan setara dengan
cangkok vena. Tingkat patensi cangkok vena saphena magna
sedikit lebih rendah pada operasi off-pump dan ketika diambil
menggunakan endoskopi dibandingkan dengan menggunakan
teknik terbuka. Kenyataannya, cangkok vena lebih luas
digunakan dibandingkan dengan cangkok arteri (kecuali pada
kasus cangkok arteri mamaria interna ke arteri koroner LAD).
- Pembedahan dengan dan tanpa pompa5
Pembedahan off-pump telah dilakukan sekitar 3 dekade
lalu. Beberapa penelitian dan meta-analisis menunjukkan bahwa
tidak terdapat mortalitas yang signifikan dengan penggunaan
metode off-pump, terdapat penurunan angka stroke, transfusi,
operasi ulang dan perdarahan perioperatif dan komplikasi post-
operatif. Uji klinis skala besar (ROOBY dan CORONARY)
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada luaran prier selama 30 hari. Uji ROOBY mengungkapkan
luaran yang lebih buruk pada off-pump (9,9% vs 7,4%),
sedangkan uji CORONARY masih belum melaporkan hasilnya
saat panduan ini dibuat.5
2. Revaskularisasi vs Medikamentosa
a) Pasca Infark Miokard
Studi SWISSI II meneliti pasien dengan riwayat IMA-EST
maupun IMA-NEST, dan membandingkan terapi IKP dengan terapi
medikamentosa pada pasien yang stabil dengan iskemia miokard yang
tidak bergejala. Dalam periode 10 tahun, kejadian bebas kematian
kardiovaskular dan infark miokard non-fatal maupun revaskularisasi
secara signifikan ditemukan pada kelompok IKP. IKP juga secara
signifikan menurunkan kecepatan kematian kardiovaskular dan
kematian akibat sebab apapun. Bukti objektif iskemia juga ditemukan
pada kelompok yang menjalani revaskularisasi. Uji DANAMI
membandingkan pertangguhan strategi invasif IKP atau BPAK pada
503 pasien yang mengalami iskemia miokard yang telah mendapatkan
terapi trombolisis pada infark miokard pertamanya. Stress test
dilakukan saat pasien pulang, dan angiografi dilakukan dalam 2
minggu setelah stress test. Pasien dengan APTS telah dieksekusi.
Hasilnya, Angina dan iskemia terdapat pada 25%, angina saja pada
16%, dan 57% memiliki iskemia stabil pada stres test. Setelah diikuti
selama 2,5 tahun, strategi invasif terbukti berhubungan dengan
penurunan insiden re-infark dan gejala angina yang lebih jarang. Hal
ini tercatat pada pasien dengan iskemia simptomatis maupun non-
simptomatis. Sebaliknya, pada uji OAT (Occluded Artery Trial), IKP
rutin 28 hari setelah infark miokard tidak menunjukkan manfaat untuk
mengurangi kematian, re-infark, maupun gagal jantung pada 4 tahun
berikutnya. Studi-studi terkini menunjukkan IKP awal menurunkan
kematian maupun kejadian infark miokard.5
b) Disfungsi ventrikel kiri
Secara umum, revaskularisasi meningkatkan angka harapan hidup
pada pasien dengan klinis yang lebih berat, khususnya jika disertai
disfungsi ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri telah diketahui
sebagai indikator kuat untuk prognosis yang buruk. Beberapa studi
menunjukkan bahwa harapan hidup lebih baik pada pasien yang
menjalani BPAK dibandingkan dengan pemberian medikamentosa
saja pada pasien disfungsi sistolik ringan- sedang. Uji klinis CASS
yang membandingkan BPAK vs medikamentosa menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan signifikan dari harapan hidup, kecuali pada pasien
dengan fraksi ejeksi 0,35-0,49, dan berkaitan dengan 3 vessel disease.
Uji klinis STICH menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam
tahun pada kelompok BPAK vs terapi medis optimal pada populasi
fraksi ejeksi yang lebih rendah lagi (<0,35).5
c) Iskemia Luas
Studi observasional dari uji CASS dan metaanalisis menunjukkan
manfaat BPAK pada pasien 3 vessel disease (atau LM disease),
namun tidak ada perbedaan pada 1 atau 2 vessel disease, kecuali pada
pasien dengan keterlibatan LAD proksimal dengan tambahan 1 arteri
koroner mayor lainnya. Studi ini menunjukkan efikasi yang lebih baik
pada BPAK dibandingkan dengan terapi medikamentosa yang optimal
dalam hal peredaan gejala. Pada pasien dengan angina yang parah,
harapan hidup meningkat dengan meningkatnya fungsi ventrikel kiri.
Semakin besar julah stenosis proksimalnya, semakin besar manfaat
BPAK. Studi observasional juga menunjukkan keuntungan BPAK
pada pasien 2 vessel disease dengan adanya iskemia ekstensif maupun
iskemia yang berat. Manfaat revaskularisasi pada pasien dengan
iskemia ekstensif masih diteliti pada studi ISCHEMIA.5
d) Arteri coroner kiri utama
Peningkatan harapan hidup ditunjukkan pada pasien BPAK
dengan stenosis >50% atau stenosis pada LM. Rekomendasi kelas I
diberikan untuk revaskularisasi untuk stenosis pada LM >50%. 5
e) Revaskularisasi pada populasi risiko rendah
Uji COURAGE membandingkan IKP + terapi medis optimal
dengan terapi medis optimal saja pada pasien dengan APS atau
iskemia dan lesi koroner yang cocok untuk dilakukannya IKP. Target
populasi pada penelitian ini adalah pasien dengan angina pektoris
kronis dengan Kelas Canadian Cardiovascular Society I-III, pasien
pasca infark miokard yang stabil, dan pasien asimptomatis dengan
bukti objektif adanya iskemia miokard. Hasil dari penelitian ini adalah
tidak ada perbedaan signifikan pada infark miokard non-fatal dan
mortalitas selama follow-up 3 tahun. Uji BARI-2D mengevaluasi
perbedaan pasien yang dilakukan IKP atau BPAK dibandingkan
dengan terapi medis optimal. Pasien dengan stenosis >70% dengan
gejala angina dirandomisasi bahkan pada pasien tanpa iskemia yang
tercatat. Sebaliknya, sekitar 30% pasien asimptomatik dengan stres
test yang positif. Periode follow-up selama 5 tahun menunjukkan tidak
ada perbedaan angka mortalitas, kejadian stroke, maupun infark
miokard pada kedua kelompok. Pasien dengan gejala yang paling
berat dipilih untuk dilakukan BPAK dibandingkan dengan IKP, dan
kelompok yang beresiko lebih tinggi yang memiliki manfaat dari
revaskularisasi awal (penurunan kejadian infark miokard
dibandingkan dengan pasien yang diberikan medikamentosa saja).
Penurunan hospitalisasi dan re-admisi signifikan terjadi pada FFR
≤0,8 kelompok IKP dibandingkan dengan FFR ≤0,8 pada kelompok
medikamentosa optimal. Tidak terdapat perbedaan laju kematian atau
infark miokard pada kedua kelompok. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
pemberian medikamentosa optimal dapat memperbaiki luaran jangka
panjang pada pasien yang diterapi secara konservatif maupun pasien
yang menjalani revaskularisasi, menurunkan efek revaskularisasi
dalam peningkatan harapan hidup pasien non-SKA.5
Pada pasien APS resiko rendah, setelah terjadi iskemia dan
seleksi klinis dan angiografis, tatalaksana pemberian terapi medis
optimal merupakan pendekatan yang baik dan aman. Keputusan untuk
dilakukan tatalaksana konservatif khususnya pada pasien dengan
komorbiditas resiko tinggi, anatomi yang sulut, asimptomatik, atau
pada pasien tanpa iskemia ekstensif. Jika terapi medis optimal inisial
gagal dan pasien masih bergejala, atau ketika resiko iskemia
signifikan, pilihan revaskularisasi dapat dipertimbangkan.5
Indikasi untuk revaskularisasi pada pasien PJK stabil adalah
pasien yang telah mendapat terapi sesuai rekomendasi dengan gejala
yang masih persisten dan / atau untuk peningkatan prognosis. Dengan
pengecualian pada kasus stenosis subtotal pada pembuluh darah
utama, gambaran angiografi saja tidak cukup untuk menentukan
indikasi IKP, butuh adanya bukti iskemia. Tabel 2 memuat indikasi
revaskularisasi pada pasien PJK stabil. Ada dua strategi
revaskularisasi yang dapat dipilih dalam menangani PJK stabil, yaitu
Intervensi Koroner Perkutan (IKP) atau Bedah Pintas Arteri Koroner
(BPAK).5
Tabel 2.Indikasi revaskularisasi pada PJK stabil5
a. Dengan bukti iskemia yang didefinisikan dengan FFR < 0.8 atau IFR <0.89,
atau > 90% stenosis di pembuluh darah utama
b. FFR < 0.75 di pembuluh darah yang stenosis
c. >10%padaSPECT,atau>2/16segmentpadaCMR,atau>3segmenpadadobutamin
stress echo atau pasien dengan resiko tinggi (LVEF< 50% pada pemeriksaan
ekokardiografi, mortalitas KV > 3%/tahun berdasarkan Uji-latih EKG)
7. KOMPLIKASI
1. Penyakit arteri Koroner atau Jantung koroner (coronary artery disease)
Penyakit ini ditandai adanya endapan lemak yang berkumpul di
dalam sel yang melapisi dinding suatu arteri koroner dan menyumbat
aliran darah. Endapan lemak (ateroma) terbentuk secara bertahap dan
tersebar di percabangan besar dari kedua arteri koroner utama, yang
mengelilingi jantung dan menyediakan darah bagi jantung. Proses
pembentukan ateroma ini disebut aterosklerosis. Ateroma bisa
menonjol ke dalam arteri dan menyebabkan arteri menjadi sempit. Jika
ateroma terus membesar, bagan dari ateroma bisa pecag dan masuk ke
dalam aliran darah atau bisa terbentuk bekuan darah di permukaan
ateroma tersebut. Supaya bisa berkontraksi dan memompa secara
normal, otot jantung (miokardium) memerlukan pasokan darah yang
kaya oksigen dari arteri koroner. Jika penyumbatan arteri koroner
semakin memburuk, bisa terjadi iskemik (berkurangnya pasokan
darah) pada otot jantung, menyebabkan kerusakan pada jantung. Hal
ini akan mengakibatkan otot janrtung di daerah tesebut
mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan
komplikasi utama dari penyakit arteri koroner yaitu angina pectoris
(nyeri dada).
2. Aritmia
Terjadi akibat iskemia pada miokardium atau
ketidakseimbangan eletrolit akibat penurunan curah jantung.
Serangan jantung seringkali merusak sistem listrik jantung yang
mengontrol irama jantung. Hal ini dapat menyebabkan problem seperti
terjadi aritmia. Bila sistem listrik tersebut lenyap, kondisinya akan amat
berbahaya.
3. Infark Miokard
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa
serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala
pendahuluan Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri
angina tetapi lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak
sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin.
4. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi akibat kurang mampunya
ventrikel kiri / kanan memompa cukup banyak darah, sehingga
tekanan sistol rendah, perfusi perfier kurang dengan gejala kulit lembab
dan dingin, takikardia, bingung dan kurang menghasilkan urin. Di
perifer terjadi metabolisme anaerob yaitu asam laktat dan dapat
menimbulkan asidosis metabolik yang dapat berakhir fatal. Penyebab
syok kardogenik adalah infark miokard, namun kardiomiopati, distrimia
dan embloisme puolmonal dapat menekan fungsi miokard dapat
mencetus syok kardiogenetik.
8. PROGNOSIS
Makin luas arteri koroner yang terkena atau makin buruk
penyumbatannya, maka prognosisnya makin jelek.
BAB III

KESIMPULAN

Angina pektoris adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan


sindrom klinis, biasanya ditandai dengan ketidaknyamanan dada, rahang, bahu,
punggung atau lengan yang disebabkan oleh iskemia miokard akibat
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard ketika peningkatan
aktivitas atau tekanan emosional meningkatkan beban kerja jantung.
Penilaian nyeri dada harus mencakup kualitas, lokasi, keparahan, dan
durasi nyeri; radiasi; gejala terkait; faktor pendukung; dan factor resiko. Nyeri
anginal dapat digambarkan sebagai rasa seperti "meremas", "seperti
mencengkeram", "tercekik", dan "terasa berat," tetapi jarang terasa tajam atau
menusuk dan biasanya tidak bervariasi dengan posisi atau pernapasan.
Untuk mendiagnosis angina dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis dan exercise
test.
Makin luas arteri koroner yang terkena atau makin buruk
penyumbatannya, maka prognosisnya makin jelek.
DAFTAR PUSTAKA

1. Maheswara Satya Gangadhara Rao Golla  MD. Ferri's Clinical Advisor.


Book Chapter Angina Pectoris. Hal 119-125. Elsevier
(https://www.clinicalkey.com/service/content/pdf/watermarked/3-s2.0-
B978032371333700059X.pdf?locale=en_US&searchIndex=)
2. William E Bonden. 2020. Goldman Cecil Medicine Book Chapter 62
Angina pectoris and stable ischemic heart disease. Elsevier
(https://www.clinicalkey.com/service/content/pdf/watermarked/3-s2.0-
B978032353266200062X.pdf?locale=en_US&searchIndex=)
3. Corwin, EJ. 2009.Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
4. Panduan Praktik Klinis. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Kardiologi. Angina Pectoris Stabil. Hal 555-559
5. Panduan Talaksana Angina Pectoris Stabil. 2019. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia
6. Ginanjar, Eka & Rachman, A.Muin. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Angina Pektoris Stabil. Jilid II. Edisi VI. Jakarta : InternaPublishing.
Hal 555-559

7. Selwyn AP, Braunwald E. Ischemic Heart Disease, In Harrison’s


Principles of Internal Medicine, 16th ed. Editors; Kasper DL, Fauci AS, et
al. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.;. p. 1435-7
8. Ganghagara, Maheswara. 2020. Angina Pectoris in Ferri’s Clinical
Advisor 2021. Elsevier. P: 119-125
9. Tobin, Kenneth, et al. 2020. Angina Pectoris in Conn’s Current Therapy
2020. Elsevier. P: 94-101
10. Morrow, David, et al. 2019. Stable Ischemic Heart Disease in Braunwald’s
heart Disease 7th Ed. Elsevier. P: 1209-1270.

Anda mungkin juga menyukai