Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

BAGIAN ILMU BEDAH FEBRUARI, 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KATETERISASI URIN

Oleh:
Rolly Riksanto B, S. Ked

Pembimbing:
dr. Abdul Azis, Sp.U

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Bedah)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama : Rolly Riksanto B, S. Ked
Judul Refarat : Kateterisasi Urin

telah menyelesaikan refarat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2021


Pembimbing,

dr. Abdul Azis, Sp.U

i
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul
“Kateterisasi Urin” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat senantiasa
tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang
memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr. Abdul Azis,
Sp.U, yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat berharga
dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dengan niat dan kesungguhan yang
penuh serta usaha yang maksimal dalam menyusun referat ini, masih banyak celah
yang dapat diisi untuk menyempurnakan referat ini, baik dari isi maupun
penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis
harapkan.
Demikian, semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.
Wassalamu Alaikum Wr.Wb.

Makassar, Februari 2021

Rolly Riksanto B, S.Ked

ii

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING......................................................i


KATA PENGANTAR........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
A. ANATOMI............................................................................................ 3
B. FISIOLOGIS FUNGSI BERKEMIH .................................................. 10
C. DEFINISI.............................................................................................. 12
D. JENIS KATETER................................................................................. 15
E. UKURAN KATETER.......................................................................... 18
F. PROSEDUR PEMASANGAN KATETER.......................................... 19
G. PROSEDUR KATETERISASI............................................................ 20
H. INDIKASI PEMASANGAN KATETER............................................. 23
I. INDIKASI UNTUK PENGHAPUSAN............................................... 25
J. KONTRAINDIKASI PEMASANGAN KATETER............................ 25
K. PENGGUNAAN KATETER DALAM KEHAMILAN....................... 25
L. EFEK SAMPING.................................................................................. 27
M...............................................................................................................KO
MPLIKASI............................................................................................ 32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 36

iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Pemasangan kateter urin merupakan tindakan memasukkan selang plastik


atau karet ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan membantu
memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan.
Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada pasien yang
tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi.
Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji pengeluaran urin per jam pada klien
yang status hemodinamiknya tidak stabil.1

Kateterisasi kandung kemih dilakukan untuk tujuan terapeutik dan


diagnostik. Berdasarkan dwell time, kateter urin bisa intermiten (jangka pendek)
atau menetap (jangka panjang). Ada tiga jenis kateter urin berdasarkan pendekatan
penyisipan. Kateter eksternal menempel pada genitalia eksterna pada pria atau
area kemaluan pada wanita dan mengumpulkan urin. Mereka berguna untuk
manajemen inkontinensia urin. Kateter uretra dimasukkan melalui uretra, dengan
ujung dimasukkan ke dasar kandung kemih.2

Kateter suprapubik dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui


pembedahan melalui pendekatan suprapubik. Kateterisasi uretra paling sering
dilakukan dalam praktik klinis rutin. Pemasangan kateter urin merupakan tindakan
memasukkan selang plastik atau karet ke dalam kandung kemih melalui uretra
yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai
pengambilan bahan pemeriksaan. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji
pengeluaran urin per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil.
Agen sebelum kateterisasi uretra bervariasi dan bergantung pada kesehatan, jenis
kelamin, dan keadaan hidup spesifik pasien individu serta pada indikasi
kateterisasi.2

Risiko infeksi setelah satu kali kateterisasi uretra adalah 1% hingga 2%


pada wanita domisili yang sehat; namun, risiko ini meningkat secara signifikan

1
pada pasien rawat inap. Penggunaan jangka panjang kateter uretra yang menetap
sering terjadi pada pasien rawat inap dan dikaitkan dengan peningkatan risiko
kolonisasi bakteri, dengan kejadian bakteriuria 3% hingga 10% per hari kateter
dalam satu penelitian dan 100% kejadian bakteriuria dengan kateterisasi jangka
panjang (> 30 hari). Pemberian profilaksis agen antimikroba selama kateterisasi
umumnya tidak direkomendasikan karena resistensi bakteri dapat berkembang
dengan cepat dan mempersulit pengobatan antimikroba selanjutnya.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
1. Vesica Urinaria
Vesica urinaria adalah sebuah kantong yang dibentuk oleh jaringan
ikat dan otot polos, berfungsi sebagai tempat penyimpanan urine. Apabila
terisi sampai 200 – 300 cm maka timbul keinginan untuk melakukan
miksi. Kandung kemih merupakan organ otot berongga yang berfungsi
sebagai tempat penampungan air seni. Pada wanita, dinding posterior dan
kubahnya di invaginasi oleh rahim. Kandung kemih orang dewasa
biasanya memiliki kapasitas 400-500 mL. Miksi adalah suatu proses
yang dapat dikendalikan, kecuali pada bayi dan anak-anak kecil
merupakan suatu reflex. Bentuk, ukuran, lokalisasi dan hubungan dengan
organ-organ di sekitarnya sangat bervariasi, ditentukan oleh usia, volume
dan jenis kelamin. Dalam keadaan kosong bentuk vesica urinaria agak
bulat. Terletak di dalam pelvis. Pada wanita letaknya lebih rendah
daripada pria. 4
Dalam keadaan terisi penuh vesica urinaria dapat mencapai
umbilicus. Perubahan bentuk mengikuti tahapan pengisian, mula-mula
diameter transversal yang bertambah, lalu dikuti peningkatan diameter
longitudinal. Dalam kondisi terisi penuh, maka kedua ukuran tadi adalah
sama.Dalam keadaan kosong vesica urinaria mempunyai empat buah
dinding, yaitu facies superior, fascies infero-lateralis (dua buah) dan
facies posterior. Facies superior berbentuk segitiga dengan sisi basis
menghadap ke arah posterior. Facies superior dan facies infero-lateralis
bertemu di bagian ventral membentuk apex vesicae. Antara apex vesicae
dan umbilicus terdapat ligamentum umbilicale medium, yang merupakan
sisa dari urachus.4
Facies infero-lateral satu sama lian bertemu di bagian anterior
membentuk sisi anterior yang bulat, dan di bagian inferior membentuk
collum vesicae. Collum vesicae dapat bergerak dengan bebas dan

3
difiksasi oleh diphragma urogenitale.2 Facies posterior membentuk
fundus vesicae (= basis vesicae). Sudut inferior dari fundus berada pada
collum vesicae. Bagian yang berada di antara apex vesicae, di bagian
ventral, dan fundus vesicae di bagian dorsal, disebut corpus vesicae.
Facies superior dan bagian superior dari basis vesicae ditutupi oleh
peritoneum, yang membentuk reflexi (lipatan, lengkungan) dari dinding
lateral dan dari dinding ventral abdomen, di dekat tepi cranialis
symphysis osseum pubis. Dalam keadaan vesica urinaria terisi penuh
maka peritoneum ditekan ke arah cranial sehingga reflexi tadi turut
terangkat ke cranialis. Di sisi lateral vesica urinaria reflexi peritoneum
membentuk fossa para vesicalis. 4
Di sebelah dorsal vesica urinaria peritoneum membentuk reflexi ke
arah uterus pada wanita dan rectum pada pria. Facies superior vesica
urinaria mempunyai hubungan dengan organ-organ di sekitarnya,melalui
peritoneum, yaitu dengan intestinum tenue dan colon sigmoideum. Pada
wanita, vesica urinaria dalam keadaan kosong berada di sbelah caudal
corpus uteri. Di antara symphysis osseumpubis dan vesica urinaria
terdapat spatium retopubis (= spatium praevesicale Retzii ), berbentu
huruf U, dan berisi jaringan ikat longgar, jaringan lemak dan plexus
venosus. Spatium ini dibatasi oleh fascia prevesicalis dan fascia
transversalis abdominis. Facies infero-lateral vesicae dipisahlan dari
m.levator ani dan m.obturator internus oleh fascia pelvis. 4
Di sebelah dorsal dari vesica urinaria feminina terdapat uterus dan
vagina. Reflexi peritoneum dari permukaan superior vesica urinaria
meluas sampai pada facies anterior uterus setinggi isthmus, sehingga
corpus uteri terletak di sebelah cranial dari vesica yang kosong. Celah
yang terdapat di antara corpus uteri dan facies superior vesica yang
kosong. Celah yang terdapat di antara corpus uteri dan facies superior
vesica urinaria dinamakan spatium uterovaginalis. Di antara basis vesica
urinaria dengan vagina dan corpus uteri terdpat jaringan ikat longgar.
Collum vesica urinaria difiksasi oleh penebalan fascia pelvis, disebut

4
ligamentum pubovesicalis, pada facies dorsalis symphysis osseum pubis,
dan melanjutkan diri menjadi ligamentum pubocervicale yang
memfiksasi cervix uteri serta bagian cranial vagina pada symphysis
osseum pubis. 4
Pada pria peritoneum yang menutupi facies superior vesica urinaria
meluas ke posterior membungkus ductus deferens dan bagian superior
vesicula seminalis, lalu melengkung pada permukaan anterior rectum,
membentuk spatium retrovesicalis, suatu celah yang berada di antara
rectum dan vesica urinaria, berisi interstinum tenue. Ke arah postero-
lateral peritoneum membentuk plica sacrogenitalis, yang berjalan ke
dorsal mencapai tepi lateral os sacrum. Basis vesica urinaria terletak
menghadap ke dorsal dan agak ke caudal. Bagian caudalnya dipisahkan
dari rectum oleh vesicula seminalis dan bentuk ductus deferens. 4
Collum vesicae mempunyai hubungan dengan facies superior atau
basis prostat, difiksasi oleh ligamentum puboprostaticum mediale dan
ligamentum puboprostaticum laterale. lIgamentum puboprostaticum
mediale melekat pada pertengahan symphysis osseum pubis dan pada
pihak lain melekat pada capsula prostatica, membentuk lantai spatium
retropubicum. Lig. puboprostaticum laterale melekat pada ujung anterior
arcus tendineus fascia pelvis dan meluas ke arah medial dan dorsal
menuju ke pars superior capsula prostatica. Pada kedua jenis kelamin
masih terdapat ligamentum lateral yang merupakan penebalan dari fascia
pelvis, yang meluas dari sisi laterale vesica urinaria menuju ke arcus
tendineus fasciae pelvis. 4
Pembuluh-pembuluh darah vena dari plexus venosus vesicalis
berjalan ke dorsal dari basis vesicae menuju ke vena iliaca interna,
dibungkus oleh jaringan ikat longgar dan disebut ligamentum posterior.
Dari apex vesicae sampai ke umbilicus terdapat ligamentum umbilicale
medianum, yang merupakan sisa dari urachus. Sisa arteria umbilicalis
membentuk ligamentum umbilicale laterale. Ketiga ligamenta tersebut
dibungkus oleh peritoneum parietale, membentuk plica umbilicalis media

5
dan plica umbilicalis lateralis, tetapi tidak berfungsi untuk memfiksasi
collum vesicae. 4
Struktur vesica urinaria terdiri atas jaringan ikat dan otot-otot
polos. Mucosa vesica urinaria berwarna agak kemerah-merahan, dan
bervariasi sesuai dengan tingkat volumenya. Dalam keadaan kosong
mucosa membentuk lipatan-lipatan yang disebabkan oleh karena
perlekatannya pada lapisan otot menjadi longgar. Mucosa pada fundus
vesicae melekat erat pada lapisan otot dan membentuk sebuah segitiga
dengan permukaan yang licin, berwarna lebih gelap, disebut trigonum
vesicae Lieutaudi. Sisa-sisa dari segitiga ini berukuran 2,5 – 5 cm dan
bertambah panjang mengikuti volume vesica urinaria. 4
Pada sudut craniodorsal dari trigonum vesicae terdapt ostium
ureteris, yang adalah muara ureter berbentuk elips, dan pada sudut di
sebelah caudal (apex) terdapat ostium urethrae internum yang merupakan
pangkal dari urethra. Di sebelah dorsal ostium uretrae internum terdapat
penonjolan yang disebut uvula vesicae, yang dibentuk oleh lobus medius
prostat. Di sebelah superior trigonum vesicae, berada diantara kedua
muara ureter, terdapat plica interurterica, berwarna pucat, dibentuk oleh
serabut-serabut transversal otot polos dinding vesica urinaria. Serabut-
serabut otot ini adalah lanjutan dari stratum longitudinale internum dari
ureter. Muara ureter pada vesica urinaria membentuk lipatan pada
dinding vesica, berada di sebelah lateralnya, dan disebut plica ureterica. 4

Gambar 1. Anatomi Vesica Urinaria4

6
2. Urethra
Merupakan suatu saluran fibromuscular yang dilalui oleh urine
keluar dari vesica urinaria. Saluran ini menutup apabila kosong. Pada
pria urethra dilalui juga oleh semen (spermatozoa). Ada beberapa
perbedaan antara urethra feminina dan urethra masculina. 4.5
1) Urethra Feminina4.5
a. Morfologi dan Lokalisasi : Panjang 4 cm, terletak di bagian
anterior vagina. Muaranya disebut ostium urethrae
externum, berada didalam vestibulum vaginae, di ventralis
dari ostium vaginae, di antara kedua ujung anterior labia
minora. Berjalan melalui diaphragma pelvis dan
diaphragma urogenitale. Pada dinding dorsal terdapat suatu
lipatan yang menonjol, membentuk crista urethralis. Urethra
difiksasi pada os pubis oleh serabut-serabut ligamentum
pubovesicale.
b. Vascularisasi dan Aliran Lymphe : Pars cranialis mendapat
suplai darah dari arteria vesicalis inferior. Pars medialis
mendapat suplai darah dari cabang-cabang arteria vesicalis
inferior dan arteria uterina. Sedangkan pars caudalis
mendapat vascularisasi dari cabang-cabang arteria pudenda
interna. Aliran darah venous dibawa menuju ke plexus
venosus vesicalis dan vena pudenda interna. Pembuluh-
pembuluh lymphe berjalan mengikuti arteria pudenda
menuju ke lymphonodi iliaci interni.
c. Innervasi : Pars cranialis urethrae dipersarafi oleh cabang-
cabang dari plexus nervosus vesicalis dan plexus nervosus
uterovaginalis. Pars caudalis dipersarafi oleh nervus
pudendus.

7
Gambar 2. Urogenitalia wanita4

2) Urethra Masculina
Dimulai pada collum vesicae, mempunyai ukuran panjang
20 cm, berjalan menembusi glandula prostat, diaphragma pelvis,
diaphragma urogenitale dan penis ( radix penis, corpus penis
dan glans penis ). Dibagi menjadi tiga bagian, yaitu4.5 :
a. pars prostatica
b. pars membranacea
c. pars spongiosa

Urethra pars prostatica berjalan menembusi prostata, mulai


dari basis prostatae sampai pada apex prostatae. Panjang kira-
kira 3 cm. Mempunyai lumen yang lebih besar daripada di
bagian lainnya. Dalam keadaan kosong dinding anterior bertemu
dengan dinding posterior. Dinding anterior dan dinding lateral
membentuk lipatan longitudinal. Pada dinding anterior dan
dinding lateral membentuk lapisan longitudinal. Pada dinding
posterior di linea mediana terdapat crista urethralis, yang ke arah
cranialis berhubungan dengan uvula vesicae, dan ke arah caudal
melanjutkan diri pada pars membranacea. 4,5

8
Pada crista urethralis terdapat suatu tonjolan yang
dinamakan collicus seminalis (=verumontanum ), berada pada
perbatasan sepertiga bagian medial dan sepertiga bagian caudal
urethra pars prostatica. Pada puncak dari collicus terdapat
sebuah lubang, disebut utriculus prostaticus, yang merupakan
bagian dari suatu diverticulum yang menonjol sedikit kedalam
prostata. Bangunan tersebut tadi adalah sisa dari pertemuan
kedua ujung caudalis ductus paramesonephridicus ( pada wanita
ductus ini membentuk uterus dan vagina ). Di sisi-sisi utriculus
prostaticus terdapat muara dari ductus ejaculatorius (dilalui oleh
semen dan secret dari vesicula seminalis). Saluran yang berada
di sebelah lateral utriculus prostaticus, disebut sinus prostaticus,
yang pada dinding posteriornya bermuara saluran-saluran dari
glandula prostat (kira-kira sebanyak 30 buah). 4.5
Urethra pars membranacea berjalan ke arah caudo-ventral,
mulai dari apex prostatae menuju ke bulbus penis dengan
menembusi diaphragma pelvis dan diaphragma urogenitale.
Merupakan bagian yang terpendek dan tersempit, serta kurang
mampu berdelatasi. Ukuran panjang 1 –2 cm, terletak 2,5 cm di
sebelah dorsal tepi caudal symphysis osseum pubis. Dikelilingi
oleh m.sphincter urethrae membranaceae pada diaphragma
urogenitale. Tepat di caudalis diaphragma urogenitale, dinding
dorsal urethra berjalan sedikit di caudalis diaphragma. Ketika
memasuki bulbus penis urethramembelok ke anterior
membentuk sudut lancip. Glandula bulbourethralis terletak di
sebelah cranial membrana perinealis, berdekatan pada kedua sisi
urethra. 4.5
Saluran keluar dari kelenjar tersebut berjalan menembusi
membrana perinealis, bermuara pada pangkal urethra pars
spongiosa. Urethra pars spongiosa berada didalam corpus
spongiosum penis, berjalan di dalam bulbus penis, corpus penis

9
sampai pada glans penis. Panjang kira-kira 15 cm, terdiri dari
bagian yang fiks dan bagian yang mobil. Bagian yang difiksasi
dengan baik dimulai dari permukaan inferior membrana
perinealis, berjalan di dalam bulbus penis. Bulbus penis
menonjol kira-kira 1,5 cm di sebelah dorsal urethra. Bagian
yang mobil terletak di dalam bagian penis yang mobil. Dalam
keadaan kosong, dinding urethra menutup membentuk celah
transversal dan pada glans penis membentuk celah sagital. 4.5
Lumen urethra pars spongiosa masing-masing di dalam
bulbus penis, disebut fossa intrabulbaris, dan pada glans penis,
dinamakan fossa navicularis urethrae. Lacunae urethrales (=
lacuna Morgagni ) adalah cekungan-cekungan yang terdapat
pada dinding urethra di dalam glans penis yang membuka ke
arah ostium urethrae externum, dan merupakan muara dari
saluran keluar dari glandula urethrales. Ostium urethrae
externum terdapat pada ujung glans penis dan merupakan bagian
yang paling sempit.

Gambar 3. Uretra pria4,5

B. FISIOLOGIS FUNGSI BERKEMIH


Sistem kemih yang terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra
terlibat dalam produksi, penyimpanan, dan ekskresi urin. Dalam kondisi

10
normal, pada orang dewasa, ginjal menghasilkan kurang lebih 1500 ml urine
dalam sehari. Setelah melewati ureter, urine disimpan di dalam kandung
kemih. Kapasitas kandung kemih bisa bervariasi antara 350 ml - 500 ml.
Secara normal, urin orang dewasa diproduksi oleh ginjal secara terus menerus
pada kecepatan +120 ml/jam (1200 ml/hari) atau 25 % dari curah jantung.
Volume urin normal minimal adalah 0,5-1 ml/kgBB/jam, dimana produksi
urin dikatakan abnormal atau jumlah sedikit diproduksi oleh ginjal (oliguria)
adalah sekitar 100 – 500 ml/hari.6
Kandung kemih adalah organ penampung urin. Selain itu, berfungsi
pula mengatur pengeluarannya. Proses berkemih dimulai dari tekanan
intramural otot detrusor. Tekanan ini dahulu dianggap semata-mata akibat
persarafan, akan tetapi pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa tekanan
intramural otot detrusor lebih ditentukan oleh keadaan fisik kandung kemih
(berisi penuh atau tidak), dimana stimulasi ini diterima oleh stretch
receptorpada kandung kemih. Otot polos kandung kemih disebut otot
detrusor. Serat-serat ototnya meluas ke segala arah dan bila berkontraksi,
dapat meningkatkan tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60
mmHg. 6
Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting
untuk mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor
terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah
dari satu sel otot ke sel otot lainnya. Oleh karena itu, potensial aksi dapat
menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya,
sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih dengan segera. Jika
kandung kemih terisi cukup dan mengembang, sementara tekanan intravesika
tetap, maka sesuai dengan hukum Laplace, tekanan intramural otot detrusor
akan meningkat. 6
Peningkatan sampai titik tertentu akan merangsang stretch receptor,
sehingga timbul impuls dari medulla spinalis sakralis 2-3-4 yang akan
diteruskan ke pusat refleks berkemih di korteks serebri lobus frontalis pada
area detrusor piramidal. Penelitian terakhir menyatakan bahwa kontrol

11
terpenting terutama berasal dari daerah yang disebut Pontine Micturition
Centre. Sistem ini ditunjang oleh system refleks sakralis yang disebut Sacralis
Micturition Centre. Jika jalur persarafan antara pusat berkemih pontin dan
sakralis dalam keadaan baik, maka proses berkemih akan berjalan dengan
baik juga. 6
Fungsi kandung kemih normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi
antara sistem saraf otonom dan somatik. Jalur persarafan yang terdiri dari
refleks fungsi detrusor dan refleks sfingter uretra meluas dari lobus frontalis
samapi ke medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab dari gangguan
fungsi berkemih neurogenik dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai
tingkatan jalur persarafan. Proses berkemih menghasilkan serangkaian
kejadian berupa relaksasi otot lurik uretra (rhabdosfingter), kontraksi otot
detrusor kandung kemih dan pembukaan dari leher kandung kemih dan
uretra.6
Selain saraf otonom dan somatik, proses berkemih fisiologis juga
dipengaruhi oleh rasa tenang dan rasa takut nyeri. Perasaan subyektif ini
melibatkan emosi yang diatur oleh sistem limbik pada sistem saraf pusat.
Tingkah laku merupakan fungsi sistem saraf pusat yang melibatkan emosi.
Tingkah laku khusus yang berhubungan dengan emosi, dorongan motorik dan
sensoris bawah sadar, serta perasaan intrinsik mengenai rasa nyeri dan rasa
tenang diatur oleh sistem saraf pusat yang dilakukan oleh struktur sub
kortikal yang terletak di daerah basal otak yang disebut sistem limbik.
Struktur sentral serebri basal dikelilingi korteks serebri yang disebut korteks
limbik. Korteks limbik berfungsi sebagai daerah asosiasi untuk pengendalian
fungsi tingkah laku tubuh dan penyimpan informasi yang menyimpan
informasi mengenai pengalaman seperti rasa tenang, rasa nyeri, nafsu makan,
bau, dan sebagainya. 6
C. DEFINISI
Pemasangan kateter urin merupakan tindakan memasukkan selang
plastik atau karet ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan
membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan

12
pemeriksaan. Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan
pada pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang
mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji pengeluaran
urin per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil.1
Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya.
Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk
berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih. Terdapat
beberapa kateter yang digunakan, sebagai berikut.1
1) Kateter Nelathon/ kateter straight/ kateter sementara.
Kateter urin yang berguna untuk mengeluarkan urin sementara
atau sesaat. Kateter jenis ini mempunyai bermacam-macam ukuran,
semakin besar ukurannya semakin besar diameternya dengan
pemasangan melalui uretra. Pemasangan kateter sementara dilakukan
dengan cara kateter lurus yang sekali pakai dimasukkan sampai
mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk mengeluarkan urin.
Tindakan ini dapat dilakukan selama 5 sampai 10 menit. Pada saat
kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar,
pemasangan kateter intermitten dapat dilakukan berulang jika
tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang
meningkatkan resiko infeksi. Pemasangan kateter sementara
dilakukan jika tindakan untuk mengeluarkan urin dari kandung
kemih pasien dibutuhkan.1
2) Kateter balon/kateter Folley, Kateter Indwelling/ Kateter Tetap.
Kateter yang digunakan untuk mengeluarkan urin dalam sistem
tertutup dan bebas hama, dapat digunakan untuk waktu lebih lama (±
5 hari). Kateter ini terbuat dari karet atau plastik yang mempunyai
cabang dua atau tiga dan terdapat satu balon yang dapat
mengembang oleh air atau udara untuk mengamankan/ menahan
ujung kateter dalam kandung kemih. Kateter dengan dua cabang,
satu cabang untuk memasukkan spuit, cabang lainnya digunakan

13
untuk mengalirkan urin dari kandung kemih dan dapat disambung
dengan tabung tertutup dari kantung urin, sedangkan kateter dengan
tiga cabang, kedua cabang mempunyai fungsi sama dengan kateter
diatas, sementara cabang ketiga berfungsi untuk disambungkan ke
irigasi, sehingga cairan irigasi yang steril dapat masuk ke kandung
kemih, tercampur dengan urin, kemudian akan keluar lagi.
Pemasangan kateter jenis ini bisa melalui uretra atau suprapubik.1,7
3) Kateter suprapubik dengan bungkus Silver alloy
Kateter paling baru yang dibungkus dengan perak bagian luar
maupun bagian dalamnya. Perak mengandung antimikroba yang
efektif, tetapi karena penggunaan perak sebagai terapi antimikroba
belum sistematik, maka penggunaan jenis kateter inipun masih
terbatas dan belum jelas keakuratannya. Pemasangan kateter,
sementara ini baru dapat dilakukan oleh dokter urologi dalam kamar
operasi sebagai tindakan bedah minor.
4) Kateter kondom
Kateter yang paling sering digunakan untuk laki-laki usia tua
dengan dementia. Tidak terdapat selang yang dimasukkan ke dalam
penis, melainkan digunakan sejenis kondom yang digunakan untuk
menutupi penis. Terdapat selang yang menghubungkan kondom
tersebut ke urine bag. Kondom tersebut harus diganti setiap hari.5
Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih
lama. Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk
beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter.
Pemasangan kateter ini dilakukan sampai klien mampu berkemih
dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran urin akurat
dibutuhkan. Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem
kontinu ataupun penutupan berkala (clamping). Pemakaian kateter
menetap ini banyak menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila
menggunakan kateter menetap, maka yang dipilih adalah penutupan
berkala oleh karena kateterisasi menetap yang kontinu tidak

14
fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan
mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya
atrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih. 1,7
Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double lumen)
dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen
yang lain berfungsi untuk mengisi balon dari luar kandung kemih.
Tipe triple lumen terdiri dari tiga lumen yang digunakan untuk
mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk
memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga
dipergunakan untuk melakukan irigasi pada kandung kemih dengan
cairan atau pengobatan. 1,7
D. JENIS KATETER
1) One-way catheter
Kateter hanya memiliki satu saluran untuk drainase, tidak memiliki
balon dan tersedia dalam versi coated dan versi uncoated. Kateter ini
sering disebut sebagai kateter ”straight”. Jenis kateter tidak dimaksudkan
untuk tetap berada di kandung kemih untuk jangka waktu yang panjang
tapi digunakan untuk1,7 :
a. kateterisasi intermiten dan koleksi perwakilan urin kandung
kemih
b. Menangani striktur uretra
c. Pemasukkan obat (Luer-lock)
d. Investigasi urodynamic dan lainnya
e. Kateterisasi suprapubik tanpa balon

15
Gambar 4. One-way catheter

2) Two-way catheter
Jean Francois Reybard mengembangkan kateter pertama dengan
balon untuk mengamankan tempatnya di dalam kandung kemih. Satu
saluran digunakan untuk urin dan satu untuk balon. Dr Frederick Foley
didesain ulang kateter ini dan kateter Foley saat ini yang paling sering
digunakan untuk penanganan adanya disfungsi urinarisasi. 1,7

Gambar 5. Two-way catheter dengan balon yang terisi dan tidak

3) Three-way catheter
Kateter ini merupakan jenis kateter dengan saluran ketiga untuk
memfasilitasi irigasi berkala untuk vesica urinaria. Kateter ini terutama
digunakan setelah operasi urologi atau dalam kasus perdarahan dari
kandung kemih atau prostat tumor dan kandung kemih mungkin perlu

16
irigasi terus-menerus atau intermiten irigasi untuk membersihkan bekuan
darah atau debris. 1,7

Gambar 6. Three-way catheter dengan saluran irigasi

4) Kateter suprapubik
Kateter suprapubik adalah sebuah alternatif untuk kateter uretra
dan dimasukkan ke dalam kandung kemih secara invasif, sering di bawah
anestesi lokal. Di beberapa negara prosedur ini dilakukan oleh dokter dan
di negara-negara lain dengan spesialis perawat klinis. Kateter suprapubik
dapat dibagi dalam berbagai jenis1,7 :
a. Foley balon kateter; mirip dengan yang untuk uretra kateterisasi.
b. Kateter tanpa balon; membutuhkan jahitan untuk mengamankan
di tempat.
c. Foley balon kateter dengan ujung terbuka.

Gambar 7. Kateter suprapubik dengan balon

17
Gambar 8. Kateter suprapubik tanpa balon

Gambar 9. Kateter folley dengan ujung terbuka.

E. UKURAN KATETER
Ukuran diameter kateter diukur dalam Charrière (Ch atau CH) juga
dikenal sebagai Gauge Perancis (F, Fr atau FG) dan menunjukkan diameter
eksternal. 1 mm = 3 Ch. Ukuran kateter menggunakan skala French (Fr),
sehingga 1Fr berdiameter 0,33 mm. Kateter bervariasi dari 12Fr (kecil)
hingga 28 Fr (besar). Di indonesia, pemakaian kateter menggunakan satuan
Fr terutama untuk Folley kateter. Fr merupakan satuan untuk menentukan
diameter kateter yang akan digunakan. Fr (gauge France) menunjukkan
diameter dalam satuan mm, dimana 1 Fr = 1/3 mm atau 3 Fr= 1 mm.7
Diameter yang digunakan indonesia berkisar 5Fr, 6fr, 8fr 10fr, 12fr,
14fr, 16fr, 18fr, 20fr, 22fr, 24fr, 26fr. Semakin tinggi nomor kateter, maka
semakin besar diameter kateter. Oleh karena 1 Fr = 1/3 mm maka jika ukuran
kateter adalah 24 Fr maka ukuran diameter sebenarnya adalah 8 mm. 7

1. Kateterisasi Anak

18
Untuk kateterisasi anak, ukuran yang bisa dipakai adalah 5, 6, 8,
10Fr. atau lebih kecil tergantung pada ukuran dari uretra dan usia anak.
Jarang kateter straight, biasanya mereka intermiten dan digunakan untuk
mendapatkan sampel urin steril untuk rule-out infeksi. 7
2. Kateterisasi Pria
Pada pria, biasa digunakan kateter dengan ukuran 18Fr. Pada laki-
laki akan sangat membantu untuk menggunakan Urojet (jarum suntik
dengan lidokain jelly) untuk meminimalkan ketidaknyamanan dengan
kateterisasi. Pria dengan hematuria gross membutuhkan Three-way folley
catheter dengan diameter terbesar yang dapat dengan aman dimasukkan.
(22Fr atau 24Fr). Kateter harus melekat pada paha atas bagian dalam
dengan pelekat untuk meminimalkan ketidaknyamanan dan mencegah
kateter ditarik keluar masuk. 7
3. Kateterisasi Perempuan
Kateter pada wanita dapat digunakan sesuai dengan umur pasien
yaitu 12fr., 14Fr.or 16Fr. Posisi adalah penting untuk memvisualisasikan
uretra pada wanita. Jika pasien dengan hematuria gross gunakan Three-
way catheter yang lebih besar. 7
F. PROSEDUR PEMASANGAN KATETER
Sebelum memulai pemasangan kateter, diperlukan beberapa alat dan
bahan, yaitu7 :
 Foley kateter (ukuran tertentu sesuai dengan yg dibutuhkan)
 Kantong urin
 Povidon iodine
 Gel lubrica
 Lidokain 1%
 Spuit 10cc
 Aquadest (hidrosteril)
 Sarung angan steril
 Kassa steril

19
Pilih ukuran kateter terkecil yang mampu menyediakan drainase urin
yang memadai, umumnya:4
 Ukuran 12-14 Fr bagi perempuan untuk urine yang clear
 Ukuran 14-16 Fr untuk pria untuk urine yang clear
 Ukuran 16-18 Fr untuk pasien dengan debris atau lendir dalam urin
mereka
 Ukuran lebih dari 18 Fr untuk pasien dengan hematuria, kecuali
ditentukan lain oleh dokter
 Ukuran 22 Fr untuk irigasi terus menerus kandung kemih (CBI),
kecuali ditentukan lain oleh dokter
Setelah kateter berhasil dimasukkan, biasanya sampai ke gagang, balon
tidak boleh digelembungkan sampai urine habis, untuk memastikan posisi
yang benar. Balon harus digelembungkan dengan air steril sesuai
rekomendasi pabrik (10-30ml). Ada berbagai ukuran balon7 :
 5ml - balon pediatrik
 10ml - untuk penggunaan standar
 30ml - untuk penggunaan pasca operasi
Jangan gunakan yang berikut ini untuk mengembang balon7 :
 Udara - dapat menyebabkan balon mengapung di kandung kemih
dan dengan demikian drainase yang buruk
 Air tidak steril - mungkin mengandung kotoran dan bakteri yang
dapat masuk ke kandung kemih melalui difusi
 Saline - garam dapat mengkristal di saluran pemompa atau balon
itu sendiri, yang dapat menyebabkan masalah saat mengempiskan
balon.
G. PROSEDUR KATETERISASI
1. Perempuan
1) Tempatkan pasien dalam posisi terlentang dengan lutut tertekuk dan
dipisahkan dan kaki datar di tempat tidur, sekitar 60 cm. Jika posisi
ini tidak nyaman, anjurkan pasien baik untuk melenturkan hanya satu
lutut dan menjaga kaki lainnya datar di tempat tidur, atau kakinya

20
terpisah sejauh mungkin. Sebuah posisi lateral dapat juga digunakan
untuk pasien tua atau cacat.
2) Dengan jari jempol, tengah dan telunjuk tangan non-dominan,
memisahkan labia majora dan labia minora. Tarik sedikit ke atas
untuk menemukan meatus urethra. Pertahankan posisi ini untuk
menghindari kontaminasi selama prosedur.
3) Dengan tangan dominan Anda, membersihkan meatus urethra,
menggunakan larutan pivodine iodine
4) Tempatkan kateter bag yang berisi kateter antara paha pasien.
5) Angkat kateter dengan tangan dominan Anda.
6) Masukkan ujung kateter dilumasi dengan gel ke dalam meatus
urethra
7) masukkan kateter sekitar 5-5,75 cm, sampai kencing mulai mengalir
kemudian majukan kateter lebih lanjut 1-2 cm.
8) Masukkan air kedalam kateter menggunakan jarum suntik.
Disarankan untuk mengembang balon 5cc dengan 7-10cc aquades,
dan untuk mengembang balon 30cc dengan 30-35cc aquades.
9) balon yang tidak cukup mengembang dapat menyebabkan kesulitan
drainase dan kebocoran.
10) Perlahan tarik kembali kateter sampai balon tertahan di bladder neck
2. Laki-laki
1) Baringkan pasien dengan posisi supine dan nyaman
2) Preputium (jika ada) disibakkan sepenuhnya dan sekalian dengan
glans dan meatus yang dibuka, dibersihkan dengan seksama dengan
larutan antiseptik.
3) Lakukan drapping dngan kain steril disekitar penis
4) Masukan gel, lidokain 1%, dan sedikit providon iodine ke dalam
spuit kemudian campurkan
5) Semprotkan kedalam urethra dan ditahan agar tetap berada didalam
urethra selama 5 menit dengan menggunakan penjepit penis yang
steril atau dengan jari

21
6) Kateter dipegang dengan tangan yang mengenakan sarung tangan
atau didorong masuk dengan teknik tanpa sentuhan, baik dengan
menggunakan selubung polyethylen sebelah dalam yang
membungkus kateter maupun dengan pertolongan sepasang forceps
7) Penis sebaiknya sedikit ditarik dengan tangan yang lain guna
meluruskan lipatan-lipatan selaput lendir.
8) Kapanpun hendaknya jangan melakukan pemaksaan
9) Dorong masuk kateter hingga ke pangkal
10) Balon pada kateter dikembangkan dengan cara mengisinya dengan
air steril menggunakan spuit dalam jumlah yang tepat melalui
cabang kateter yang telah disediakan
11) Sambungkan dengan kantong urin yang telah disiapkan
12) Ingatlah untuk mengembalikan preputium ke muka pada akhir
tindakan guna mencegah terjadinya paraphimosis
13) Amankan kateter ke paha. Hindari ketegangan pada kateter.

Singkatnya, pada Pria: Anestesi lokal dan pelumas harus digunakan


dengan murah hati. Gel pelumas harus diperah secara proksimal dengan
uretra distal dikompresi ke oklusi. Penis dipegang dengan tangan nondominan
yang diarahkan ke langit-langit atau pusar. Kateter dimasukkan ke dalam
meatus uretra dengan tangan dominan sampai Y dari kateter berada di meatus
uretra. Kembalinya urin di kantong terlampir adalah tanda penempatan yang
benar ke dalam kandung kemih. Balon kateter kemudian dipompa
menggunakan air steril. Jumlah air yang digunakan untuk inflasi berbeda-
beda sesuai dengan rekomendasi pabrikan. 7,8,18
Pada Wanita : Setelah meatus uretra terbuka, ujung kateter yang
dilumasi dimasukkan ke dalam meatus sampai ada kembalinya urin secara
spontan. Balon kateter kemudian digelembungkan sesuai rekomendasi
pabrikan. Pada pasien obesitas morbid, mengekspos meatus mungkin
memerlukan bantuan dari orang kedua atau menempatkan pasien dalam posisi
Trendelenburg. Usap yang memadai dengan povidone-iodine membantu
memvisualisasikan meatus. Jika kateter dimasukkan ke dalam vagina, kateter

22
harus dibiarkan di sana sampai kateter steril baru berhasil dimasukkan ke
dalam meatus. Analgesia tidak terbukti digunakan secara klinis pada wanita.
Jeli pelumasan harus dioleskan ke ujung kateter. Penerapan pelumas pada
meatus uretra dikaitkan dengan kesulitan pemasangan kateter. 7,8,18
H. INDIKASI PEMASANGAN KATETER
Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang
klien yang mengalami cidera medulla spinalis, degenerasi neuromuscular,
atau kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril,
pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakan
rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih. Menurut Hidayat,
kateterisasi sementara diindikasikan pada klien yang tidak mampu berkemih
8-12 jam setelah operasi, retensi akut setelah trauma uretra, tidak mampu
berkemih akibat obat sedative atau analgesic, cidera pada tulang belakang,
degerasi neuromuscular secara progresif dan pengeluaran urin residual.
Kateterisasi menetap (foley kateter) digunakan pada klien paskaoperasi uretra
dan struktur di sekitarnya (TUR-P), obstruksi aliaran urin, obstruksi uretra,
pada pasien inkontinensia dan disorientasi berat.9
Terapi kateter dapat digunakan untuk dekompresi kandung kemih pada
pasien dengan retensi urin akut atau kronis sebagai akibat dari kondisi seperti
obstruksi infravesicular saluran kemih atau neurogenik bladder. Untuk
diagnostik, kateterisasi uretra dapat dilakukan untuk mendapatkan sampel
urin untuk pengujian mikrobiologis, untuk mengukur output urin pada pasien
sakit kritis atau selama prosedur bedah, atau untuk mengukur volume urin
sisa setelah berkemih. Retensi urin pada wanita paling mungkin terjadi pada
periode post partum atau setelah pembedahan pelvis. 9
1) Terapeutik9
1. Retensi urin
Retensi urin bisa akut atau kronis. Penyebab retensi urin bisa jadi :
 Obstruktif: Obstruksi saluran kemih dapat bersifat intrinsik
(dalam sistem saluran kemih) atau ekstrinsik. Hiperplasia
prostat jinak (BPH), batu, striktur, stenosis, atau tumor dapat

23
menyebabkan obstruksi intrinsik. BPH adalah penyebab paling
umum dari retensi urin. Jika penyumbatan berasal dari patologi
di luar kandung kemih, itu diklasifikasikan sebagai ekstrinsik.
Organ perut atau panggul yang membesar dapat menekan leher
kandung kemih yang mengakibatkan obstruksi ekstrinsik.
 Infeksi & Peradangan: Sistitis, uretritis, prostatitis (penyebab
infeksi yang umum pada pria), dan vulvovaginitis pada wanita
dapat menyebabkan retensi urin.
 Farmakologis: Obat dengan sifat agonis antikolinergik atau
alfa-adrenergik.
 Neurologis: Cedera otak atau sumsum tulang belakang,
kecelakaan serebrovaskular, multiple sclerosis, penyakit
Parkinson, dan demensia dapat menyebabkan retensi urin.
 Lainnya: Trauma, psikogenik, sindrom Fowler pada wanita.

2) Perioperatif9,10
Kateterisasi kandung kemih dilakukan perioperatif di sebagian besar
operasi abdominopelvic, seperti prosedur urologis dan ginekologi. Dalam
kasus pembedahan pada struktur yang berdekatan dengan saluran
genitourinari, kateter selubung direkomendasikan. Kateterisasi kandung
kemih juga berguna pada pasien bedah yang membutuhkan pengeluaran
urin intraoperatif yang ketat. Selain itu, hal ini membantu untuk
manajemen retensi urin pasca operasi karena anestesi, dan untuk mencapai
kontrol nyeri pasca operasi yang lebih baik.
 Disfungsi kandung kemih neurogenik
 Inkontinensia urin
 Alasan sosial dan kebersihan
 Pasien sakit akut yang membutuhkan pengukuran output urin yang
dekat
 Pemberian obat kemoterapi
 Irigasi kandung kemih
3) Diagnostik9

24
1. Pengukuran urodinamika
2. Pengumpulan sampel untuk urinalisis
3. Studi radiografi (cystogram)

I. INDIKASI UNTUK PENGHAPUSAN


Kebutuhan akan kateter kandung kemih harus dinilai setiap hari dan
harus dihilangkan jika tujuan pemasangan kateter telah tercapai. Untuk
operasi kolorektal intraperitoneal, kateter dapat dilepas pada hari pertama
pasca operasi. Dalam kasus operasi rektal sedang hingga rendah, kateter dapat
dilepas antara 3-6 hari pasca operasi berdasarkan risiko retensi urin.
Pengangkatan awal kateter urin membantu ambulasi dan pemulihan pasca
operasi yang lebih baik. Untuk pasien dengan retensi urin kronis dan evakuasi
kandung kemih yang tidak lengkap, kateterisasi intermiten berguna. 7,9,10
J. KONTRAINDIKASI PEMASANGAN KATETER
Kontraindikasi kateterisasi kandung kemih meliputi11 :
 Darah di meatus. Pemasangan kateter dapat memperburuk cedera
yang mendasarinya.
 Gross Hematuria
 Bukti infeksi uretra
 Nyeri atau ketidaknyamanan uretra
 Volume kandung kemih rendah
 Penolakan pasien
K. PENGGUNAAN KATETER DALAM KEHAMILAN
Kateter dalam kehamilan dapat digunakan untuk manajemen urin dan juga
untuk menginduksi persalinan. Dalam manajemen urin, terbagi dalam
intrapartum dan postpartum.12

1. Intrapartum
Penanganan urine yang adekuat dalam persalinan dapat
mengurangi distensi kandung kemih yang berlebihan sehingga tidak
menghalangi proses persalinan. Berikut hal-hal yang perlu dilakukan
atau pertimbangkan pada pemakaian kateter intrapartum.12

25
 Pengosongan kandung kemih pada pasien intrapartum perul
didokumentasikan dengan memasukkan kedalam partogram
 Jumlah volume urin yang dikeluarkan perlu dicatat untuk
mengetahui ada tidaknya retensi urin
 Jika pasien tidak dapat mengosongkan kandung kemih sendiri,
maka perlu dilakukan kateterisasi setiap 4 jam
 Pada pasien wanita dengan analgesia epidural maka perlu
kateter yang tetap terpasang hingga 6 jam setelah efek epidural
habis.
 Pasien yang akan dioperasi sesar perlu menggunakan kateter
selama dilaksanakan operasi dan setidaknya 12 jam sesudah
operasi
2. Induksi Persalinan
Dalam proses persalinan, terdapat metode induksi mekanis yang
dapat dilakukan, yaitu dengan penggunaan kateter. Kateter yang
digunakan adalah Folley kateter yang akan memberikan tekanan pada
os serviks interna sehingga meregangkan segmen bawah rahim dan
meningkatkan pelepasan prostaglandin lokal.
Untuk pengunaan kateter sebagai alat induksi kehamilan, maka
kateter yang digunakan adalag folley kateter dengan ukuran 18 Fr.
Kateter dimasukkan kedalam vagina hingga tempat inflasi balon
mencapai intraservikal yaitu ostium interna. Setelah itu isi kateter
dengan akuades 30 sampai 66 cc hingga balon membesar. Kateter
dibiarkan sehingga kateter keluar sendiri secara spontan atau sampai 24
jam. Penggunaan kateter sebagai alat induksi ini memiliki
kontraindikasi absolut yaitu letak plasenta rendah atau plasenta previa.
Kontraindikasi relatif adalah perdarahan antepartum, pecah ketuban dan
adanya infkesi saluran kemih dengan risiko rendah.13
3. Penanganan Retensi Urin Post Partum
Pengawasan terhadap pasien post partum di ruang perawatan nifas
tidak boleh dianggap sederhana, keluhan rasa sakit di perut bawah

26
bagian tengah menunjukkan adanya endometritis atau mungkin bisa
disebabkan kandung kemih yang terisi penuh akibat retensio urin.
Oleh karena itu harus ditanyakan apakah sudah buang air kecil.
Dan yang paling penting adalah, apakah besar uterus atau tinggi fundus
uteri sesuai dengan proses involusio yang normal atau tidak.
Pada penilaian involusio uteri, tingginya fundus terhadap umbilicus
menjadi sangat tinggi pada kasus dengan kandung kemih yang penuh,
jadi tinggi fundus uteri dinilai setelah pasien baru berkemih yaitu pada
buli-buli yang kosong.
Masa nifas dini adalah masa nifas dari hari pertama sampai hari ke
10 – 14 post partum. Pada masa ini pasien berkemih banyak sekali,
mengeluarkan urin setiap harinya kurang lebih 3 - 4 liter. Pada nifas
hari pertama terjadi apa yang dinamakan ”Harnflut”. Cairan tubuh yang
selama masa kehamilan sangat banyak terdapat didalam jaringan,
sekarang melalui ginjal kembali dikeluarkan dari dalam tubuh.
Peningkatan pembentukan urine selama masa nifas dini sangat
banyak, setiap hari dikeluarkan 2-4 liter. Akan tetapi sebaliknya
pengalaman pasien menunjukkan bahwa pada hari pertama post partum
sering sekali mengalami gangguan miksi berupa kesulitan untuk
berkemih. Untuk pertama kalinya berkemih spontan post partum harus
sudah terlaksana dalam waktu 6 jsm sesudah melahirkan. Apabila buli-
buli penuh dan pasien tidak dapat berkemih untuk mengosongkannya
maka hal tersebut dinamakan: Retensio urin masa nifas.
L. EFEK SAMPING
Efek samping dari penggunaan kateter ini berupa pembengkakan pada
uretra, yang terjadi saat memasukkan kateter dan dapat menimbulkan infeksi.
Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara yang dikemukakan
oleh Japardi antara lain6,17 :
1) Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi
yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing
dipertahankan seoptimal mungkin

27
2) Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala
seakan-akan berfungsi normal.
3) Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis,
maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis
sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara
4) Teknik yang mudah dan klien tidak terganggu kegiatan sehari
harinya Universitas Sumatera Utara Kerugian kateterisasi
sementara ini adalah adanya bahaya distensi kandung kemih, resiko
trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang,
resiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari
ujung distal uretra (flora normal)
Setelah mengetahui bahwa kateter Foley sangat diperlukan dalam
praktik klinis modern untuk meredakan retensi urin sementara, lingkungan
yang kering untuk pasien inkontinensia atau koma dan pengukuran yang
akurat dari keluaran urin pada mereka yang sakit parah, intervensinya
menambah momentum untuk publikasi kontribusi besar yang mencakup
hampir setiap aspek subjek. Efek samping utama — beberapa di antaranya
serius — yang menjadi tanggung jawab kateter Foley adalah sebagai
berikut6,17 :
1. Kolonisasi bakteri
Aliran urin melalui kateter yang menetap mungkin terus
menerus atau terputus-putus. Pengenalan kateter Foley tanpa hasil
katup dalam drainase terus menerus dan, dengan demikian,
menekan proses normal dimana penumpukan bakteri dihambat
oleh pembilasan berkala. Pembilasan berkala biasanya difasilitasi
oleh pinch atau rotary valve yang dioperasikan secara manual. Ini
juga dapat disediakan oleh "drainase pasang surut", yang
memungkinkan kandung kemih untuk mengisi dan mengosongkan
secara otomatis.
Dengan menaikkan ketinggian pipa drainase yang
mengarah dari kateter ke beberapa sentimeter di atas ketinggian

28
kandung kemih, kandung kemih mengisi ke tekanan hidrostatis
yang sesuai sebelum sebuah sifon terbentuk yang mengosongkan
kandung kemih, setelah itu siklus diulang.
Bakteri dapat menyerang kandung kemih dengan
bermigrasi di sepanjang bagian dalam dan luar kateter. Dengan
kateterisasi jangka pendek, tingkat infeksi harian adalah 5% ,
sehingga 95% pasien yang di kateterisasi menderita invasi bakteri
setelah 1 bulan. Infeksi saluran kemih memerlukan penggunaan
antibiotik, yang terlalu sering belum teruji melawan bakteri
tertentu dan akibatnya sering terbukti tidak efektif sampai bakteri
yang tepat ditemukan melalui proses trial and error. Ini menambah
biaya manajemen klinis, serta menjadi beban bagi pasien dan
pengasuh.
2. Resistensi antibiotik
Penggunaan antibiotik untuk mengontrol infeksi yang
diinduksi oleh kateter memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pengembangan strain yang resisten, dimana Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan keprihatinan yang
serius. WHO secara khusus merujuk pada tujuh bakteri: yang
pertama, Escherichia coli, sangat terkait dengan infeksi saluran
kemih. Di lima dari enam wilayah WHO, ditemukan bahwa obat
antimikroba yang digunakan gagal pada 50% atau lebih kasus yang
diselidiki. Bakteri kedua dalam daftar, Klebsiella pneumonia, yang
juga ditemukan pada infeksi saluran kemih, juga resisten.
Mengingat ancaman yang semakin serius terhadap kesehatan
masyarakat global yang diidentifikasi oleh WHO, kurangnya minat
dalam penelitian yang bertujuan untuk menemukan alternatif yang
lebih baik untuk kateter Foley mengganggu dan tidak dapat
dimaafkan.
N. Infeksi kronis

29
Balon kateter Foley menempati dasar kandung kemih,
menghalangi lubang uretra internal, sehingga 10–100 ml urin tetap
berada di kandung kemih saat alirannya berhenti. Gumpalan sisa
urine ini kemungkinan besar akan terinfeksi, sehingga urine yang
tidak terinfeksi yang turun dari ginjal juga akan cepat terinfeksi,
mengakibatkan infeksi kronis pada kandung kemih.
O. Kerusakan ginjal dan kandung kemih
Invasi kandung kemih oleh bakteri penghasil urease,
terutama Proteus mirabilis, menghasilkan konversi urea dalam urin
menjadi amonia. Peningkatan akibat alkalinitas urin menyebabkan
fosfat menjadi nukleasi keluar dari larutan, membentuk kristal
struvite (magnesium amonium fosfat) dan hidroksiapatit (bentuk
kalsium fosfat terhidroksilasi di mana beberapa gugus fosfat
digantikan oleh karbonat). Meningkatkan asupan cairan dengan
minuman yang mengandung sitrat meningkatkan pH di mana
kristal terbentuk dalam urin dan terdapat bukti bahwa hal ini dapat
digunakan untuk mengontrol laju terjadinya kerak kateter
P. Batu kandung kemih
Kristal struvite akibat infeksi Proteus mirabilis bertindak
sebagai inti pembentukan batu di dalam kandung kemih. Batu
kandung kemih menjebak bakteri Proteus mirabilis dan, dengan
demikian, mempertahankan infeksi. Penyumbatan kateter yang
berulang menimbulkan kecurigaan yang tinggi bahwa mungkin ada
batu kandung kemih. Teknik transurethral endoskopi digunakan
untuk menghilangkan batu kandung kemih: fragmentasi dengan
menghancurkan (litholapaxy), ultrasonografi gelombang kejut atau
probe laser mungkin diperlukan untuk memecahnya menjadi
partikel yang cukup kecil untuk dikeluarkan dari kandung kemih
melalui uretra.
Q. Pseudopolyps

30
Pemasukan kateter yang keras dan keras ke uretra, dengan
balon dan ujungnya yang menonjol dilubangi oleh mata drainase,
mengubah proses alami drainase berselang. Ketika katup drainase
di ujung distal kateter dibuka, hambat kateter kental yang rendah
memungkinkan urin mengalir dengan cepat, didorong oleh
kandung kemih yang runtuh dan tekanan negatif dari kolom
hidrostatik ke ujung kateter yang terbuka. Menjelang akhir proses
drainase, ketika dinding kandung kemih mengalami kontak
traumatis dengan ujung kateter, lapisan mukosa dapat tersedot ke
dalam mata drainase
R. Keracunan darah
Trauma fisik yang disebabkan oleh ujung kateter dan
pengisapan pada mata drainase dapat merusak penghalang bakteri
yang biasanya tidak dapat ditembus yang disediakan oleh lapisan
urothelial kandung kemih. Ini memberikan akses langsung bagi
bakteri ke dinding kandung kemih dan aliran darah (bakteremia),
dengan risiko tinggi septikemia. Selain itu, refluks urin yang
terinfeksi melalui ureter dapat menyebabkan infeksi ginjal
(pielonefritis) dan septikemia. Jika tidak ditangani secara memadai,
septikemia bisa berakibat fatal
S. Trauma uretra
Proses memasukkan kateter membutuhkan keterampilan
dan latihan, jika trauma uretra ingin dihindar. Salah satu masalah
dengan kateter yang berdiam dengan balon silikon adalah, ketika
air dikeluarkan dari balon dengan semprit sebelum kateter ditarik,
fenomena yang dikenal sebagai creep dapat menyebabkan balon
gagal sepenuhnya. Hal ini dapat menyebabkan pelek kecil yang
menyulitkan atau tidak mungkin untuk melepaskan kateter. (Hal ini
menimbulkan masalah khusus dalam kasus kateter suprapubik
karena kateter ini melewati jalur berserat yang kaku ke dalam
kandung kemih, bukan melalui uretra dengan dinding otot yang

31
lebih elastis.) Kerusakan yang lebih serius dapat terjadi jika kateter
sengaja ditarik keluar saat balon masih mengembang, seperti yang
dapat dilakukan oleh pasien yang mengalami disorientasi atau
demensia. Pada wanita dengan kondisi neurologis seperti multiple
sclerosis, kateter dapat dikeluarkan secara spontan oleh kontraksi
kandung kemih yang tiba-tiba tidak tepat. Dalam keadaan ini,
uretra melebar oleh balon dan, jika sering diulang, mekanisme
sfingter bisa menjadi tidak kompeten.
T. Fragmen balon
Ada risiko balon kateter bisa pecah, baik selama penyisipan
atau penarikan (terutama oleh pasien demensia atau disorientasi)
atau saat berdiam. Jika ini terjadi, fragmen harus dikeluarkan,
biasanya dengan bantuan sistoskop, karena jika tidak maka dapat
menyebabkan pembentukan batu atau penyumbatan kateter.

M. KOMPLIKASI
Komplikasi kateterisasi uretra meliputi14 :
1. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah komplikasi paling umum yang
terjadi akibat kateterisasi jangka panjang. Aliran urin normal
mencegah kenaikan mikroba dari kulit periuretra untuk menghindari
infeksi. Perubahan mekanisme pertahanan dari kateter menyebabkan
peningkatan risiko ISK. Escherichia coil dan Klebsiella pneumonia
adalah organisme paling umum yang terlibat dalam ISK. ISK berulang
dikaitkan dengan peningkatan resistensi antibiotik.
2. Infeksi kandung kemih kronis dapat terjadi dari stasis urin (10-100 ml)
di dasar kandung kemih, yang terhalang oleh balon kateter.
3. Nyeri akibat traksi pada kantong drainase.
4. Sensasi menyengat sementara umum terjadi pada pria yang sering
terjadi selama pelumasan dan dapat diminimalkan dengan
mendinginkan gel hingga 4 ° C.
5. Paraphimosis
6. Cedera uretra

32
7. Obstruksi kateter dapat terjadi akibat penumpukan sedimen pada
penderita bakteriuria subklinis. Pembilasan seringkali dapat
meredakan penyumbatan. Jika penggantian kateter yang tidak berhasil
mungkin diperlukan.
8. Kebocoran urin dari meatus uretra ekstrinsik ke kateter dapat terjadi
akibat kejang kandung kemih. Kejang ini bisa menyakitkan dan bisa
diatasi dengan obat antikolinergik seperti oxybutynin.
9. Efek negatif pada kualitas hidup, terutama untuk pasien dengan
kateter yang menetap dalam jangka panjang.
Karena komplikasi ini, indikasi kateterisasi kandung kemih harus
ditinjau dengan cermat sebelum prosedur. Kateterisasi kandung kemih adalah
prosedur rumah sakit yang umum dilakukan. Oleh karena itu, dokter dan
perawat harus menyadari indikasi, kontraindikasi, dan memahami skenario di
mana konsultasi urologi diperlukan. Kebutuhan kateter kandung kemih harus
dievaluasi setiap hari. Pengangkatan kateter dengan segera mengurangi risiko
infeksi saluran kemih.15

Infeksi saluran kemih terkait kateter (CAUTI) adalah infeksi terkait


perawatan kesehatan yang paling umum dan menyumbang lebih dari $ 131
juta pengeluaran medis setiap tahun. 70% dari UTI terkait perawatan
kesehatan dikaitkan dengan kateter. Risiko kolonisasi bakteri pada kateter
meningkat dengan durasi mulai dari 3-10% per hari hingga 100% pada kateter
yang menetap dalam jangka panjang. Menurut National Healthcare Safety
Network (NHSN), diagnosis CAUTI dipertimbangkan pada pasien dengan
demam dan bakteriuria, yang memiliki kateter selama setidaknya dua hari.
15,16

IDSA (Infectious Diseases Society of America) merekomendasikan


untuk mempertimbangkan CAUTI sebagai diagnosis eksklusi pada pasien
demam. Terapi antibiotik untuk bakteriuria asimtomatik tidak tepat dan
dikaitkan dengan resistensi obat dan peningkatan risiko infeksi Clostridium
difficile. Saat merawat ISK terkait kateter, kateter yang menetap selama lebih

33
dari dua minggu harus dilepas. Pencegahan CAUTI dimungkinkan dengan
menghindari pemasangan kateter yang tidak perlu dan dengan sering menilai
kebutuhan dan bertujuan untuk pengangkatan lebih awal. Retensi urin akut
adalah keadaan darurat yang membutuhkan kateterisasi urin. Striktur uretra
adalah salah satu penyebab utama retensi urin pada pasien yang berusia
kurang dari lima puluh tahun. 15,16

Kateterisasi uretra dapat menjadi tantangan dengan adanya striktur


uretra dan harus dilakukan dengan kateter Prancis 14. Jika obstruksi ditemui,
kateter tidak boleh dipaksa masuk ke uretra. Darah di meatus bisa disebabkan
trauma uretra. Upaya insersi kateter yang berulang dapat meningkatkan risiko
cedera dan pembuatan saluran yang salah. Urologi harus segera
dikonsultasikan dalam kasus kateterisasi urin yang menantang. 15,16

Bakteriuria asimtomatik (ASB) didefinisikan oleh setidaknya ≥ 100.000


unit pembentuk koloni [CFU] / mL atau ≥100.000.000 CFU / L dari bakteri
yang diisolasi dari spesimen urin kosong tanpa tanda atau gejala ISK. Terapi
antimikroba tidak boleh diresepkan untuk ASB karena peningkatan risiko
resistensi antimikroba dan efek samping. Skrining dan pengobatan bakteriuria
asimtomatik diindikasikan pada wanita hamil dan pada pasien yang
diharapkan menjalani prosedur endoskopi urologi yang berhubungan dengan
trauma mukosa. 15,16

BAB III

KESIMPULAN

34
Kateter urin adalah tabung panjang yang dapat dibuat dari sejumlah
polimer yang berbeda, dengan silikon biasanya digunakan, dan karet lateks juga
umum. Bila diperlukan, kateter urin dimasukkan ke dalam uretra sejauh yang
dibutuhkan sampai urin mulai mengalir. Ini dikenal sebagai kateterisasi
transurethral. Kateter juga dapat dimasukkan oleh seorang profesional medis
melalui pembuatan jalur buatan antara kandung kemih dan dinding perut, yang
dikenal sebagai kateterisasi suprapubik. Kateter urin dapat menjadi solusi
sementara atau jangka panjang tergantung pada mobilitas pribadi pasien dan
prognosisnya.

Jika pasien memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan medisnya


sendiri, kateterisasi sementara dapat menjadi pilihan terbaik dan dilakukan dengan
mudah. Untuk pasien yang tidak menggunakan kateterisasi sendiri, kateter yang
terpasang menjadi kebutuhan untuk mempertahankan fungsi sistem saluran kemih
yang tepat. Kateter urin yang paling umum digunakan di dunia adalah kateter
Foley yang ditemukan oleh ahli urologi Amerika bernama Frederic Foley. Kateter
Foley terdiri dari sebuah tabung yang berisi dua saluran; saluran yang lebih besar
memungkinkan aliran urin dari kandung kemih, dan saluran yang lebih kecil
memungkinkan penggelembungan balon tepat di bawah ujung kateter yang,
setelah dipompa, menahan kateter di tempatnya sampai dilepas.

Dalam kondisi optimal, kateter urin dapat tetap terpasang hingga sekitar
12 minggu. Namun, hal ini sering tidak terjadi karena pengerasan kulit dan infeksi
bakteri dapat menghalangi kateter atau menyebabkan komplikasi medis.

DAFTAR PUSTAKA

35
1. Lachance CC, Grobelna A. Management of Patients with Long-Term
Indwelling Urinary Catheters: A Review of Guidelines. Canadian Agency
for Drugs and Technologies in Health; Ottawa (ON): May 14, 2019.
2. Tan E, Ahluwalia A, Kankam H, Menezes P. Urinary catheterization 1:
indications. Br J Hosp Med (Lond). 2019 Sep 02;80(9):C133-C135
3. Schaeffer AJ, Achaeffer EM. Infections and Inflammation. In : Campbell-
Walsh. Urology. 10th Edition, Elsevier. 2012. p: 281
4. McAninch JW, Lue TF, In : Anatomy Of The Genitourinary Tract. Smith
and Tanagho’s. General Urology. 18th Ed. 2013. p: 7
5. Standring, Susan. Bladder, Prostate and Urethra. In : Gray’s Anatomy: The
Anatomical Basis of Clinical Practice, Thirty-Ninth Edition. Elsevier. 2008.
6. Feneley RC, Hopley IB, Wells PN. Urinary catheters: history, current status,
adverse events and research agenda. J Med Eng Technol. 2015 Nov 17;
39(8): 459–470.
7. Haider MZ, Annamaraju P. Bladder Catheterization. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
8. Kang S, Yoon JS, Lee CH, et.al. A feasibility study using cadaver: Efficacy
and safety of the novel automatic urinary catheterization device. Medicine
(Baltimore). 2018 Dec;97(51):e13631.
9. Averbeck MA, Krassioukov A, Thiruchelvam N, et.al. The impact of
different scenarios for intermittent bladder catheterization on health state
utilities: results from an internet-based time trade-off survey. J Med
Econ. 2018 Oct;21(10):945-952.
10. Clayton JL. Indwelling Urinary Catheters: A Pathway to Health Care-
Associated Infections. AORN J. 2017 May;105(5):446-452.
11. Vainrib M, Stav K, Gruenwald I,et.al. [Position Statement For Intermittent
Catheterization Of Urinary Bladder]. Harefuah. 2018 Apr;157(4):257-261
12. Anonymous. Clinical Guideline For Intrapartum And Post Partum Bladder
Care. NHS. Royal Cornwall Hospitals.
13. Leduc D, dkk. Induction of Labour. J Obstet Gynaecol Can 2013;35(9)

36
14. Chen HK, Mackowski A. Traumatic catheterisation: a near miss. BMJ Case
Rep. 2015 Apr 15;2015 .
15. Sampathkumar P. Reducing catheter-associated urinary tract infections in
the ICU. Curr Opin Crit Care. 2017 Oct;23(5):372-377
16. Advani SD, Fakih MG. The evolution of catheter-associated urinary tract
infection (CAUTI): Is it time for more inclusive metrics? Infect Control
Hosp Epidemiol. 2019 Jun;40(6):681-685
17. Ontario. Intermittent Catheters for Chronic Urinary Retention: A Health
Technology Assessment. Ont Health Technol Assess Ser. 2019; 19(1): 1–
153.
18. Tan E, Ahluwalia A, Kankam H, Menezes P. Urinary catheterization 2:
technique and managing failure. Br J Hosp Med (Lond). 2019 Sep
02;80(9):C136-C138.

37

Anda mungkin juga menyukai