Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN INTERNA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN November, 2020


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

GRAVES’ DISEASE

Oleh :

Yusqadriani Yusbar, S.Ked


(105505403819)

Pembimbing :
dr. H. Zakaria Mustari, Sp.PD

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Interna)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Yusqadriani Yusbar, S.Ked

NIM : 105505403819

Judul Referat : Graves’ Disease

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Interna
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makasssar, November 2020

Pembimbing

dr. H. Zakaria Mustari, Sp.PD


BAB I

PENDAHULUAN

Kelenjar thyroid merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam
sistem endokrin pada manusia. Kelenjar ini memiliki bentuk seperti kupu-kupu
dan memiliki fungsi yang penting pada pertumbuhan normal pada masa bayi dan
anak-anak.(1)

Tiroid menghasilkan dua hormon, L-thyroxine (T4, tetraiodothyronine) dan


L-triiodothyronine (T3), yang memiliki fungsi untuk meningkatkan laju metabolik
dasar, meningkatkan responsifitas terhadap katekolamin, meningkatkan kecepatan
jantung dan kekuatan kontraksi sehingga curah jantung meningkat, serta berperan
dalam proses pertumbuhan normal. Adapun kelainan yang terjadi pada ke;enjar
tiroid, misalnya pada graves’ disease, akan mengganggu fungsi dari kelenjar ini.
(1)(2)

Graves’ disease pertama kali dikenal pada abat ke-19 Masehi dan
dideskripsikan oleh Robert James Graves yang memiliki gejala dan tanda yang
mencakup goiter, palpitasi (takikardia), dan abnormalitas okular (exophthalmus).
(3)(4)

Graves’ disease merupakan penyebab paling sering dari kejadian


hipertiroidisme (60-80%) secara global.(5)(6)(7) Graves’ disease dapat
menyerang siapa saja, namun kemungkinan wanita terkena lebih besar daripada
pria dengan resiko 3% untuk wanita dan 0.5% untuk pria. (8)(9)
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Graves’ disease merupakan penyakit hipertiroid autoimun yang


melibatkan kelenjar tiroid yang disebabkan adanya autoantibodi terhadap
reseptor TSH yang menyerupai aktivitas TSH dan mengaktifkan reseptor
TSH pada sel epiteloid tiroid. (8)(10)(11)

B. EPIDEMIOLOGI

Graves’ disease merupakan penyebab paling sering dari kejadian


hipertiroidisme (60-80%) secara global.(5)(6)(7) Graves’ disease dapat
menyerang siapa saja, namun kemungkinan wanita terkena lebih besar
daripada pria dengan resiko 3% untuk wanita dan 0.5% untuk pria. (8)(9)

Epidemiological study mengindikasikan bahwa insiden dari graves’


disease pertahun adalah 20-40 kasus/100.000 penduduk.(5) Graves’ disease
biasanya terjadi saat umur sekitar 20-50 tahun. (5)(8)

C. FAKTOR RISIKO

1. Genetik

Kembar monozigot memili concordance rate 0.29-0.36, lebih tinggi


dibandinkan kembar dizigot yang memiliki concordance rate sebesar
0.00-0.04, yang menandakan bahwa lebih tinggi kemungkinan pada
kembar monozigot untuk memiliki penyakit yang sama dibandingkan
kembar dizigot.(5)(9)

Mutasi pada gen FOXP3 pada X chromosome yang memiliki peran


dalam diferensiasi dan fungsi dari Treg cell, menyebabkan
immunodysregulation polyendocrinopathy enteropathy X-linked (IPEX)
syndrome yang merupakan suatu autoimmune disease sistemik yang
memiliki tanda immunologis berupa hilangnya Treg cell dan manifestasi
klinis berupa eczema, entropathy, dan autoimmune endocrinopathy, yang
kemungkinan mencakup hipotiroidisme dan hipertiroidisme.(12)(13)

2. Jenis Kelamin

Graves’ disease terjadi 5-10 kali lebih sering pada wanita


dibandingkan pria, hal ini diakibatkan karena adanya kemungkinan
keterlibatan X chromosome.(5)

Skewed X-chromosome inactivation diduga memiliki keterkaitan


dengan risiko terjadinya graves’ disease. Meski pun belum jelas
bagaimana cara skewed X-chromosome inactivation mempengaruhi
graves’ disease, namun diduga hal ini menyebabkan menurunnya
ekspresi X chromosome-dependent selfantigens di timus dan
menyebabkan apoptosis pada T cell tidak adekuat.(9)(12)

3. Infeksi

Potensi pengaruh dari berbagai infeksi (misalnya pada infeksi


Epstein-Barr virus (EBV)) pada karakteristik epigenetik dari berbagai
gen yang rentan menjadi hipotesis dari etiologi graves’ disease.(5)

EBV setelah menginfeksi host, maka virus ini akan dormant di


dalam tubuh host. Terdapat hipotesis bahwa EBV dapat memicu alergi
dan autoimmune disease. Pada eksperimen secara in vitro dari reaktivasi
EBV menyebabkan produksi dari thyrotropin receptor autoantibodies
(TRAbs) pada B cell yang terinfeksi EBV dengan TRAbs pada
permukaan sel-nya. (14)

4. Usia

Graves’ disease biasanya terjadi pada rentan umur 30-60 tahun.. (15)
(16) Pada penelitian yang dilakukan oleh Bano et al. menunjukkan bahwa
pada pada golongan umur <55 tahun memiliki keterkaitan antara
tingginya tingkat TRAbs dan tingginya konsentrasi hormon tiroid serta
meningkatnya risiko relapse. Diduga hal ini terjadi dikarenakan pada
orang tua, TSHR dan glandula tiroid kurang merespon pada stimulasi
TRAbs.(17)

5. Kehamilan

Pada masa kehamilan normal, glandula tiroid mengalami


pembesaran dan kadar hormon tiroid meningkat. Kadar TSH pada masa
kehamilan cenderung sedikit menurun dikarenakan Human chorionic
gonadotropin (hCG) hormone yang tinggi bereaksi dengan reseptor TSH.
(16)

Hormon hCG dan TSH mengandung alpha subset serta beta subset,
dan alpha subset padayang terkandung pada kedua hormon tersebut
adalah sama, sehingga akibat kemiripan biokimia dari hormon hCG dan
TSH ini menyebabkan hCG dapat berikatan dengan TSH reseptor dan
menyebabkan sedikit kenaikan pada T4 dan menurunnya kadar TSH pada
ibu hamil. Hipertiroidisme yang terjadi kemudian berinteraksi dengan
sistem imunitas dan akan memperburuk autoimunitas pada graves’
disease.(16)(18)

Insiden graves’ disease pada kehamilan sering terjadi pada trimester


awal dan jarang terjadi pada trimester akhir. Hal ini kemungkinan
memiliki keterkaitan dengan stimulasi tiroid pada awal kehamilan oleh
hormon hCG yang tinggi, sehingga kemungkinan terjadi hipertiroidisme
ringan. (18)

D. PATOFISIOLOGI

Pada penderita graves’ disease ditemukan penebalan pada kelenjar tiroid,


sel folikel mengalami hipertrofi dengan produksi aktif tiroglobulin dan coloid
drop intraseluler mengandung tiroglobulin. Kelenjar menunjukkan adanya
adanya infiltrasi oleh sel T dan sel B, meskipun tak sebanyak pada tiroiditis
hasimoto. Diduga penyebab utama dari sekresi dari autoantibodi terhadap
reseptor TSH adalah infiltrasi dari sel T dan sel B ini, hal ini dikarenakan sel
folikel yang paling aktif ditemukan pada tempat yang paling banyak
mengandung infiltrat.(5)

Hipertiroidisme disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH


(TRAbs) yang meniru aksi ligan alaminya (TSH). Fitur biokimia graves’
disease ditandai oleh tingginya sirkulasi hormon tiroid bebas (TH) yang
menyebabkan penekanan TSH, karena umpan balik negatif dari TH pada
kelenjar pituitari. Konsentrasi FT3 serum yang ditemukan di graves’ disease
terutama disebabkan oleh peningkatan konversi intrathyroidal dari T4
menjadi T3 oleh deiodinase tipe 2 (DIO2). (10)

E. MANIFESTASI KLINIS

1. Symptoms
 Palpitasi
 Agitasi
 Fatigue
 Heat intolerant
 Tremor
 Napsu makan meningkat
 Kehilangan berat badan
 Menstrual disorder (oligomenorrhea atau amenorrhea)
 Mudah haus dan poliuria
 Kehilangan keinginan seksual
 Neck fullness
 Gejala pada mata (swelling, nyeri, kemerahan, double vision)(3)
2. Sign
 Hiperaktivitas
 Takikardia
 Atrial fibrilasi
 Systolic hypertension
 Kulit hangat dan lembab
 Hyper-reflexia
 Muscle weakness
 Diffuse, palpable goiter and thyroid bruit
 Kerontokan rambut
 Opthalmopathy
 Localized dermopathy
 Acropathy(3)
F. DIAGNOSIS BANDING

1. Toxic Nodular Goitres

Toxic nodular goitres terjadi ketika single nodule atau multiple


nodules pada tiroid tumbuh dan memproduksi hormon tiroid secara
otonom yang menyebabkan hipertiroidisme. Hal ini sangat sering terjadi
di area yang memiliki kadar iodine yang kurang, stimulasi terus-menerus
pada kelenjar tiroid oleh TSH menyebabkan terbentuknya folikel baru
yang selanjutnye berkembang menjadi otonom. Faktor yang
menyebabkan otonomi pada folikel ini di antaranya defisiensi iodine dan
mutasi TSHR.(19)

Penyakit ini dapat bersifat asimptomatik. Manifestasi klinis yang


dapat muncul dapat berupa teraba nodul pada tiroid, heat intolerant,
palpitasi, tremor, berkeringat, kehilangan berat badan, peningkatan bowel
movement, atrial fibrilasi atau takikardia, kelemahan, emosi yang labil,
ekstensi retrostenal (kemungkinan dapat menyebabkan dyspnea,
dysphagia, atau stridor), suara yang parau, serta pembengkakan pada
vena yang berada di wajah dan dada.(19)
2. Subacute Tiroiditis

Subacute Tiroiditis adalah radang yang terjadi pada kelenjar tiroid


yang biasanya mengikuti infeksi saluran pernapasan bagian atas atau
nyeri pada tenggorokan yang menunjukkan adanya infeksi virus. Pasien
biasanya datang dengan pembengkakkan tiroid yang sangat nyeri. Dapat
terjadi paresis pada vocal cord yang bersifat sementara. Terkadang nyeri
hanya dirasakan pada satu lobus saja, namun kemudian menyebar dengan
cepat ke seluruh kelenjar tiroid. Nyeri biasanya menjalar ke rahang atau
telinga. Malaise, kelelahan, mialgia, dan artralgia sering terjadi.
Kemungkinan akan terjadi demam ringan sampai sedang, namun
terkadang dapat didapatkan demam tinggi yang mencapai 40o C. Penyakit
biasanya mencapai puncknya dalam waktu 3-4 hari dan mereda lalu
menghilang dalam waktu seminggu, tetapi biasanya onsetnya meluas
sampai 1-2 minggu dan berlanjut dengan intensitas yang berfluktuasi
selama 3-6 minggu. Kelenjar tiroid biasanya membesar, licin, kencang,
dan lembut saat dipalpasi. Biasanya pasien datang pada minggu-minggu
pertama penyakit dengan gejala tirotoksikosis. Selanjutnya penderita
sering mengalami hipotiroid sebelum kembali normal.(20)

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Serologi

a. TSH, FT4, FT3

Pemeriksaaan TSH serum memiliki sensitivitas dan spesifitas


yang tinggi dan menunjukkan terjadi penurunan pada TSH. Pada
graves’ disease yang terlihat nyata, diikuti peningkatan FT3 dan
FT4, namun pada hipertiroidisme yang lebih ringan, kadar FT3 dan
FT4 dapat menunjukkan hasil normal, sedangkan dapat terjadi
peningkatan hanya pada FT3 dengan tidak terdeteksinya serum TSH.
(15)
b. TRAb

Merupakan biomarker spesifik pada penyakit graves’ disease.


Pengukuran TRAb merupakan pemeriksaan yang sensitif dan
spesifik untuk mendeteksi graves’ disease secara cepat dan akurat.
(15)

c. Fine needle aspiration biopsy (FNAB)

FNAB diperlukan jika ditemukan nodul di tiroid, untuk


membedakan nodul jinak atau ganas yang mungkin terjadi.
Direkomendasikan melakukan USG-guided FNAB.(7)

2. Pencitraan

Jika terdapat nodul > 2 cm pada pemeriksaan USG tiroid, maka


dilakukan pemeriksaan isotop scan, namun jika tidak, makan
pemeriksaan serologi saja sudah cukup.(15)

H. PENATALAKSANAAN

1. Medikamentosa

Obat yang digunakan adalah antithyroid drug (ATD). Terdapat 2


golongan yang digunakan yaitu thiouracil dan imidazoles.(15)(7)(21)

a. Thiouracil

Obat yang digunakan adalah PTU (propylthiouracil) yang


digunakan jika terdapat kondisi tertentu, seperti trimester pertama,
thyroid storm atau thyroid crisis, memiliki riwayat alergi atau
intoleransi terhadap antithyroid drug, serta yang menolah
pengobatan dengan radioactive iodine atau terapi bedah.(7) Adapun
penilaian dari thyroid storm atau thyroid crisis dapat menggunakan
burch-wartofsky point scale.(22)
Tabel 1. Burch-Wartofsky Point Scale
Variables Score Variables Score
Thermoregulatory dysfunction Cardiovascular tachycardia
(℃) (bpm)
37.2–37.7 5 90–109 5
37.8–38.3 10 110–119 10
38.4–38.8 15 120–129 15
38.9–39.3 20 130–139 20
39.4–39.9 25 ≥140 25
Gastrointestinal-hepatic
≥40 30
dysfunction
Atrial fibrillation Absent 0
Absent 0 Mild 10
Present 10 Moderate 20
Central nervous system
Congestive heart failure
disturbance
Absent 0 Absent 0
Mild 5 Mild 10
Moderate 10 Moderate 20
Severe 15 Severe 30
Precipitating event
Absent 0 Present 10
Thyroid storm ≥
: 45
Impending storm : 25-44
Storm unlikely : <25

Dosis awal yang diberikan adalah 100 mg per 8 jam dan daily
maintenance dose yang diberikan adalah 50-100 mg, dapat juga
diberikan 25 mg/hari.(15)(21)

b. Imidazoles

Obat yang sering digunakan pada penatalaksanaan graves’ dease


dari golongan imidazoles adalah carbimazole (CBZ), dan
methimazole (MMI). Dosis awal yang diberikan pada methimazole
adalah 10–30 mg dan carbimazole diberikan 15–40 mg/hari).
Sedangkan untuk daily maintenance dose digunakan pada pemberian
methimazole adalah 2.5–10 mg dan 5 mg/hari pada pemberian
carbimazole.(15)
Golongan imidazol dapat menyebabkan embryopathy, di
antaranya, dysmorphic facies, aplasia cutis, choanal or esophageal
atresia, abdominal wall defects, umbilicocele, dan ventricular septal
defect, terutama jika digunakan pada usia kehamilan 6-10 minggu.
(15)

Penggunaa antithyroid drug (ATD) dapat dihentikan jika (1) kadar


TSH, fT4, dan TRAb berhasil dinormalkan atau (2) keadaan eutiroid
dapat dipertahankan selama 6 bulan dengan konsumsi maintenance dose
minimal dari ATD (MMI = 2.5 mg/hari, carbimazole = 5 mg/ hari, dan
PTU = 25 mg/hari).(21)

Pasien graves’ disease dengan thyroid storm dapat diberikan


pengobatan ATD, glucocorticoid administration, beta-adrenergic
blockade, selimut pendingin, resusitasi cairan, dukungan nutrisi, dan
perawatan di ICU.(15)

Pada pasien dengan graves’ opthalmopathy (GO) harus segera


ditangani dengan menggunakan ATD dan menjaga stabilisasi
eutiroidisme.(15)

Pada penderita graves’ disease yang mengalami hipotiroid pasca


terapi dapat diberikan levotiroksin dalam dosis rendah.(23)

2. Radioactive Iodine

Efek seluler dari ionizing radiation menyebabkan kerusakan genetik,


mutasi, atau kemarian sel. Kerusakan DNA akibat radasi menyebabkan
memiliki efek langsung yaitu terlepasnya ikatan molekul, dan efek tidak
langsung berupa pembentukan radikal bebas. Hal ini menyebabkan
penurunan fungsi kelenjar tiroid dan ukuran kelenjar tiroid mengalami
reduksi.(15)

Indikasi pemberian radioactive iodine adalah pada pasien yang


mengalami efek samping atau kekambuhan setelah menjalani terapi
menggunakan ATD, cardiac arrhythmias, dan thyrotoxic periodic
paralysis. Biasanya fungsi tiroid menjadi normal setelah 3-12 bulan
melakukan terapi radioactive iodine pada 50-90% pasien.(15)

Pada tahun pertama setelah menjalani terapi radioactive iodine,


incidence rate pada kejadian hipotiroidisme adalah 5-50%, dan ini
memiliki keterkaitan dengan dosis yang digunakan pada saat melakukan
terapi. Terapi ini juga tidak memiliki kontraindikasi pada goiter yang
besar, bahkan hingga separuh retrosternal atau intrathoracis. Penggunaan
ATD harus dihentikan pada seminggu sebelum dan sesudah melakukan
terapi radioactive iodine.(15)

3. Bedah

Tiroidektomi adalah pilihan terapi yang paling jarang dipilih pada


kasus yang baru terdiagnosis. Terapi pembedahan ini efektif pada goiter
yang besar, adanya hiperparatiroid atau diduga adanya nodul yang
malignant, dan pada pasien yang ingin menghindari efek samping dari
penggunaan ATD dan radioactived iodine, atau tidak tersedianya
peralatan radioactived iodine.(15)

Jika pilihan terapi beedah dipilih, maka tiroidektomi total merupakan


prosedur pilihan yang diambil, karena tingkat komplikasi yang sama
dengan yang dialami oleh pasien yang menjalani tiroidektomi subtotal
bilateral, sedangkan tingkat kekambuhan hipertiroidismenya lebih rendah
dibandingkan tiroidektomi subtotal bilateral.(15)

Komplikasi yang dapat terjadi pada terapi ini adalah hipotiroidisme,


laryngeal nerve palsy, infeksi luka, dan hemorrhage. Untuk
meminimalkan risiko intra- atau eksaserbasi tirotoksikosis pasca operasi,
hipertiroidisme harus dikontrol secara adekuat dengan pengobatan ATD
sebelum operasi.(15)
I. PROGNOSIS

Pada pasien dengan terapi ATD memiliki risiko relaps sebesar 52.7%,
jauh lebih besar dibandingkan pasien yang menjalani terapi radioactive iodine
(15%) dan bedah (10%). Sebesar 13% menunjukkan side-effect dari obat-
obatan ATD.(15)
BAB III

KESIMPULAN

Graves’ disease merupakan penyakit hipertiroid autoimun yang melibatkan


kelenjar tiroid yang disebabkan adanya autoantibodi terhadap reseptor TSH yang
menyerupai aktivitas TSH dan mengaktifkan reseptor TSH pada sel epiteloid
tiroid. Gejala dan tanda yang dapat muncul pada penderita graves’ disesase
adalah palpitasi, agitasi, fatigue, heat intolerant, tremor, napsu makan meningkat,
kehilangan berat badan, menstrual disorder (oligomenorrhea atau amenorrhea),
mudah haus dan poliuria, kehilangan keinginan seksual, neck fullness, gejala pada
mata (swelling, nyeri, kemerahan, double vision), hiperaktivitas, takikardia, atrial
fibrilasi, systolic hypertension, kulit hangat dan lembab, hyper-reflexia, muscle
weakness, kerontokan rambut, opthalmopathy, localized dermopathy, dan
acropathy.

Pemeriksaan yang diperlukan untuk diagnosis graves’ disease adalah


pemeriksaan serologi dan pencitaan. Pada penatalaksanaan pasien graves’ disease,
dapat dilakukan pemberian ATD, radioactive iodine, dan pembedahan.

Pada pasien dengan terapi ATD memiliki risiko relaps sebesar 52.7%, jauh
lebih besar dibandingkan pasien yang menjalani terapi radioactive iodine (15%)
dan bedah (10%). Sebesar 13% menunjukkan side-effect dari obat-obatan ATD.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jawad AH, Alsayed R, Ibrahim AE, Hallab Z, Al-Qaisi Z, Yousif E.


Thyroid Gland and Its Rule in Human Body. Res J Pharm Biol Chem Sci.
2016;7(6):1336–43.

2. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. 9th ed. Suryono YJ,
Iskandar M, Isella V, Susanti F, editors. Jakarta: EGC; 2018.

3. Smith TJ, Hegedüs L. Graves’ Disease. new Engl J o f Med.


2017;375(16):1552–65.

4. Subekti I, Pramono LA. Current Diagnosis and Management of Graves’


Disease. Acta Med Indones - Indones J Intern Med. 2028;50(2):177–82.

5. Davies TF, Andersen S, Latif R, Nagayama Y, Barbesino G, Brito M, et al.


Graves’ disease. Nat Rev | Dis Prim. 2020;6(52):1–23.

6. Liu J, Fu J, Xu Y, Wang G. Antithyroid Drug Therapy for Graves’ Disease


and Implications for Recurrence. Int J Endocrinol. 2017;1–8.

7. The Indonesian Society of Endocrinology. Indonesian Clinical Practice


Guidelines for Hyperthyroidism. Indones Clin Pract Guidel
Hyperthyroidism. 2012;27(1):34–9.

8. Pokhrel B, Bhusal. K. Graves Disease. In: StatPearls [Internet]. StatPearls


Publishing; 2020.

9. Antonelli A, Ferrari SM, Ragusa F, Elia G, Ruffilli I, Patrizio A, et al.


Graves’ disease: Epidemiology, genetic and environmental risk factors and
viruses. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab. 2020;34(101387):1–17.

10. Campi I, Salvi M. Graves’ Disease. In: Encyclopedia of Endocrine


Diseases. 2nd ed. Elsevier; 2018. p. 1–4.

11. Ham MF, Saraswati M, editors. Sistem Endokrin. In: Buku AJar PAtologi
Dasar Robins. 10th ed. Elsevier; 2020. p. 750–1.
12. Struja T, Kutz A, Fischli S, Meier C, Mueller B, Recher M, et al. Is Graves’
disease a primary immunodeficiency? New immunological perspectives on
an endocrine disease. BMC Med. 2017;15(174):1–15.

13. Charbonnier L-M, Cui Y, Victor E, Harb H, Lopez D, Bleesing JJ, et al.
Functional Reprogramming of Regulatory T cells in the absence of Foxp3.
Nat Immunol. 2019;20(9):1208–1219.

14. Dittfeld A, Gwizdek K, Michalski M, Wojnicz R. A possible link between


the Epstein-Barr virus infection and autoimmune thyroid disorders. Cent
Eur J Immunol. 2016;41(3):297–301.

15. Kahaly GJ, Bartalena L, Hegedüs L, Leenhardt L, Poppe K, Pearce SH.


2018 European Thyroid Association Guideline for the Management of
Graves’ Hyperthyroidism. Eur Throid J. 2018;7(67–186).

16. Rad RR, Pazokian M. Graves’ Disease in Pregnancy: A Systematic


Review. Int J Med Rev. 2016;3(3):489–493.

17. Bano A, Gan E, Addison C, Narayanan K, Weaver JU, Tsatlidis V, et al.


Age May Influence the Impact of TRAbs on Thyroid Function and
Relapse-Risk in Patients With Graves Disease. J Clin Endocrinol Metab.
2019;104(5):1378–1385.

18. Laurberg P, Andersen SL. Pregnancy and the incidence, diagnosing and
therapy of Graves’ disease. Eur J Endocrinol. 2016;175(5):219–30.

19. Wangnoo SK, Ahmad J, Siddiqui mohammad a, editors. Principles and


Practices of Thyroid Gland Disorder. 1st ed. Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd; 2017.

20. Hennessey J v. Subacute Thyroiditis. In: Endotext [Internet] [Internet].


USA: National Center for Biotechnology Information, U.S. National
Library of Medicine; 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279084/
21. Park S, Song E, Oh H-S, Kim M, Jeon MJ, Kim WG, et al. When should
antithyroid drug therapy to reduce the relapse rate of hyperthyroidism in
Graves’ disease be discontinued? Endocrine. 2019;

22. Bacuzzi A, Dionigi G, Guzzetti L, Martino AI De, Severgnini P, Cuffari S.


Predictive features associated with thyrotoxic storm and management.
Gland Surg. 2017;6(5):546–51.

23. Setiati S, Alwi I, Sudoyo aru w, K marcellus simadibrata, Setiyohadi B,


Syam ari fahrial, editors. Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta Pusat:
Interna publishing; 2014.

Anda mungkin juga menyukai