Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

HIPERTIROIDISME

Oleh:

Hilya Itsnain Mumtaza

182011101031

Pembimbing:

dr. Intan Noha B, Sp.PD

LAB/KSM ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

2020
REFERAT
HIPERTIROIDISME

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Hilya Itsnain Mumtaza
NIM 182011101031

Dokter Pembimbing:
dr. Intan Noha B, Sp. PD

LAB/KSM ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

2020
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..................................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................
2.1 Definisi ......................................................................................................
2.2 Epidemiologi .............................................................................................
2.3 Patofisiologi ..............................................................................................
2.4 Etiologi.......................................................................................................
2.5 Manifestasi Klinis......................................................................................
2.6 Klasifikasi..................................................................................................
2.7 Diagnosis..................................................................................................
2.8 Tatalaksana...............................................................................................
2.9 Komplikasi...............................................................................................
2.10 Prognosis..................................................................................................
BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................

0ii
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertioridisme adalah kondisi klinis dikarenakan peningkatan sintesis dan


sekresi hormon kelenjar tiroid yang mempengaruhi seluruh tubuh. Tirotoksikosis
adalah manifestasi klinis yang berhubungan dengan peningkatan level hormon
tiroid. Hipertiroidisme tetap menjadi kelainan tiroid mayor di Indonesia (The
Indonesian Society of Endrocinology, 2012). Hipertiroidisme merupakan penyakit
hormonal yang menempati urutan kedua terbesar di Indonesia. Berdasarkan
Riskedas 2013, prevalensi diabetes melitus dan hipertiroid di Indonesia secara
berturt-turut yaitu sebesar 1,5% dan 0,4% (Juwita, D.A., dkk., 2018). Berdasarkan
hasil pemeriksaan TSH pada Riskesdas 2007 mendapatkan 12,8% laki-laki dan
14,7% perempuan memiliki kadar TSH rendah yang menunjukkan kecurigaan
adanya hipertiroid. Namun menurut hasil Riskesdas 2013, hanya terdapat 0,4%
penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun atau lebih yang berdasarkan
wawancara mengakui terdiagnosis hipertiroid. Meskipun secara persentase kecil,
namun secara kuantitas cukup besar. Jika pada tahun 2013 di Indonesia jumlah
penduduk usia ≥ 15 tahun sebanyak 176.689.336 jiwa, maka terdapat lebih dari
700.000 orang terdiagnosis hipertiroid, di jawa timur jumlah pasien terdiagnosis
hipertiroid 173.135 dan merupakan jumlah kasus tertinggi dibanding provinsi
Indonesia yang lain (Kemenkes RI, 2015).
Hipertiroid dapat terjadi terjadi karena Grave Disease, toxic multinodular
goiter, subakut tiroiditis, toxic adenoma, postpartum tiroiditis, dan lain-lain. Di
Amerika Serikat penyebab tirotoksikosis yaitu 60 – 80% karena GD, 15 – 20%
karena sukakut tiroiditis, 10 – 15% karena toxic multinodular goiter, dan 3- 5%
karena TA. Pasien tirotoksikosis dapat berkembang menjadi badai tiroid sebesar 1
– 2% (Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014). Pada hipertiroid terjadi kelebihan
hormon tiroid yang menyebabkan proses metabolik dalam tubu berlangsung
dengan cepat. Gejala dan tanda dari hipertiroid bisa mencakup beberapa organ
yaitu sistem saraf (iritabel, sulit tidur), mata (eksoftalmus), pembesaran kelenjar
tiroid, kardiopulmoner (sesak nafas, hipertensi, aritmia, takikardia), saluran cerna
(lapar, sering buang air besar, berat badan turun), sistem reproduksi (menstruasi

1
berkurang), sistem muskuloskeletal (osteoporosis, tremor, refleks menigkat), dan
kulit (keringat berlebih) (Kemenkes RI, 2015). Diagnosis tiroid bisa ditegakkan
berdasarkan tanda dan gejala, pemeriksaan laboratorium berupa kadar TSH,
hormon tiiodotironin / T3, dan hormon tiroksin / T4 (Kemenkes RI, 2015).
Tatalaksana pada hipertiroid juga bisa berupa farmakologi dengan obat anti tiroid
(ATD) serta beta bloker, terapi radioaktif iodine, dan pembedahan (Ross, D.S.,
dkk., 2016).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Hipertioridisme adalah kondisi klinis dikarenakan peningkatan sintesis dan
sekresi hormon kelenjar tiroid yang mempengaruhi seluruh tubuh. Tirotoksikosis
adalah manifestasi klinis yang berhubungan dengan peningkatan level hormon
tiroid (The Indonesian Society of Endrocinology, 2012).
Hipertiroidisme didefinisikan sebagai kelebihan produksi dan pelepasan
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid yang menyebabkan peningkatan hormon tiroid
pada serum yang tidak sesuai sehingga menyebabkan peningaktan laju metabolik.
Tirotoksikosis juga disebut sebagai kondisi hipermetanolisme yang dihasilkan dari
peningkatan jumlah hormon tiroid di sirkulasi, namun termasuk yang dikarenakan
ekstratiroid seperti penigkatan intake atau pelepasan hormon yang sebelumnya
disimpan (Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014).

2.2 Epidemiologi
Grave’s disease (GD) adalah etiologi tersering dari hipertiroidisme kurang
lebih 60 – 80% dari semua kasus tirotoksikosis di seluruh dunia. Dan juga lebih
sering ditemui pada perempuan dengan rasio perempuan dan laki-laki adalah 8 : 1
dan biasanya bermanifestasi pada dekade ketiga dan keempat kehidupan (The
Indonesian Society of Endrocinology, 2012).
Grave’s disease (GD) terjadi pada usia 30 – 40 tahun. Terdapat
predisposisi familial sering berkaitan dengan bentuk endrokinopati autoimun
lainnya (Price, A.S. dan Wilson, L.M., 2005). Prevalensi tirotoksikosis di
Amerika Serikat yaitu 1,2% dengan 0,5% simptomatis dan 0,7% subklinis. Dapat
terjadi pada semua usia, namun gejala terlihat pada usia antara 20 dan 50 tahun.
Toxic multinodular goiter cenderung terjadi diatas usia 50 tahun, sedangkan toxic
adenoma (TA) terjadi pada usia muda. Di Amerika Serikat penyebab
tirotoksikosis yaitu 60 – 80% karena GD, 15 – 20% karena sukakut tiroiditis, 10 –
15% karena toxic multinodular goiter, dan 3- 5% karena TA. Pasien tirotoksikosis

3
dapat berkembang menjadi badai tiroid sebesar 1 – 2% (Devereaux, D. dan
Tewelde, S.Z. 2014).
2.3 Patofisiologi
Produksi dan pelepasan hormon tiroid diregulasi oleh negative feedback
yang sensitif yang berkaitan dengan hipotalamus, kelenjar pituitari, dan kelenjar
tiroid. Hipotalamus melepaskan thyroid-releasing hormone (TRH), yang
menstimulasi pelepasan thyroid-stimulating hormone (TSH) yang berfungsi
menstimulasi kelenjar tiroid untuk melepaskan hormon tiroid, T4 dan T3.
Peningkatan produksi hormon tiroid normalnya disebabkan inhibisi pelepasan
TRH dan TSH oleh hipotalamus dan kelenjar pituitari. Gangguan pada sistem ini
menyebabkan penambahan produksi dan pelepasan hormon tiroid dan kemudian
hipertiroidisme (Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014).

Gambar 1. Regulasi produksi dan pelepasan hormon tiroid oleh negative feedback
(Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014)

Produksi hormon tiroid dalam kelenjar tiroid juga bergantung pada iodine.
Iodide pada makanan dibawa ke dalam sel dan dikonversi menjadi iodine. Lalu
iodine berikatan dengan thyroglobulin oleh thyroid peroxidase dan kemudian
membentuk monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT). Kemudian DIT
dan MIT berpasangan membentuk T4 dan T3. T3 secara biologis lebih aktif dan

4
terbentuk di perifer dengan konversi T4 menjadi T3. Di serum, hormon tiroid
cenderung berikatan dengan protein dan menjadi inaktif. Adanya proses yang
meningkatkan jumlah hormon tiroid yang tidak berikatan (bebas) memiliki
potensi menyebabkan tirotoksikosis (Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014).

Gambar 2. Patofisiologi Otonom Tiroid (Leo, S.D., dkk., 2016)

2.4 Etiologi
Pada umumnya tirotoksikosis dapat terjadi jika (Ross, D.S., dkk., 2016):
(i) tiroid secara berlebihan distimulasi oleh faktor-faktor trofik;
(ii) aktivasi terus-menerus sintesis dan sekresi hormon tiroid
menyebabkan pelepasan hormon tiroid berlebihan secara bebas;
(iii) penyimpanan hormon tiroid secara pasif terlepas pada jumlah yang
berlebih disebabkan autoimun, infeksi, kimia, atau gangguan mekanis;
(iv) adanya paparan hormon tiroid yang berasal dari ekstratiroid, dimana
bisa endogen (struma ovarium, metastasis karsinoma tiroid) atau
eksogen (tiroid buatan).
Hipertiroidisme endogen paling banyak disebabkan oleh GD atau penyakit
tiroid nodular. GD/morbus basedow/struma difusa toxica adalah kelainan
autoimun dimana thyrotropin receptor antibodi (TRAb) menstimulasi reseptor

5
TSH, meningkatkan produksi dan pelepasan hormon tiroid (Ross, D.S., dkk.,
2016). GD merupakan penyebab paling umum dari hipertiroidisme pada negara
berkembang. Hal ini merupakan kondisi autoimun dimana antibodi yang berikatan
dengan reseptor TSH menyebabkam stimulasi pada kelenjar tiroid sehingga
menyebabkan produksi berlebih dari T4 dan T3, pembesaran kelenjar tiroid, dan
penignkatan uptake iodide. Negative feedback tidak efektif karena antibody
langsung berlawanan dengan reseptor TSH. Individu dengan riwayat keluarga
hiertiroidisme atau penyakit autoimun lain seperti anemia pernisiosa, miastenia
gravis, diabetes melitus tipe I, dan penyakit celiac mempunyai kecenderungan
mengembangkan GD (Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014).
Toxic multinodular goiter (TMNG)/Plummer’s disease adalah penyebab
penting dari hipertiroidisme. Hal ini dikarenakan pelepasan hormon tiroid yang
tidak diketahui dari nodul multipel yang berfungsi otonom pada kelenjar tiroid.
Kondisi ini bebas dari efek negative feedback. Hal ini lebih sering terjadi pada
area dengan intake iodine yang rendah dan pada orang tua (nutrisi buruk). Kondisi
ni memiliki perkembangan dan gejala yang lambat dan cenderung ringan dengan
sedikit penignkatan dari hormon tiroid diatas normal. TMNG lebih umum
dibanding GD pada orang tua (Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014).
Subakut tiroiditis adalah inflamasi dari kelenjar tiroid yang sering diikuti
infeksi virus sistem pernapasan atas dan menyebabkan penambahan pelepasan
hormon tiroid. Pada kondisi ini biasanya didahului lelah, sakit tenggorokan, dan
gejala ISPA diikuti demam, sakit leher, dan leher bengkak. Pada inflamasi ini
menyebabkan kebocoran hormon tiroid pada sirkulasi dan terjadinya
tirotoksikosis. Penyakit ini biasanya self limiting disease tapi juga bisa
menyebabkan persisten hipotiroidisme (Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014).
Pada TA/toxic nodular goiter, produksi hormon otonom dikarenakan
aktivasi dari mutasi gen yang meregulasi hormon tiroid dan sintesis hormon.
Mutasi pada gen yang mengkode reseptor TSH menyebabkan hipertiroidisme
sporadis atau familial non-autoimun yang berhubungan dengan pembesaran difus
dari kelenjar tiroid. (Ross, D.S., dkk., 2016). Hal ini merupakan hasil dari nodul
single pada kelenjar tiroid yang merupakan adenoma hiperfungsi dan

6
menyebabkan peningkatan hormon tiroid. Hal ini juga sering terjadi pada daerah
dengan defisiensi iodine (Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014).
Ada beberapa penyebab tirotoksikosis yang jarang namun memerlukan
perhatian lebih seperti iodine-induced hipertirodisme. Hal ini disebabkan satu atau
lebih area pada jaringan tiroid berfungsi secara otonom setelah pemberian iodine.
Kelebihan iodine menyebabkan peningkatan produksi hormon tiroid. Hal ini lebih
sering terjadi pada area dengan endemik goiter dan defisiensi iodine. Iodine juga
bisa berfungsi sebagai stimulator imun menyebabkan penyakit tiroid autoimun
sehingga hipertiroidisme. Penggunaan iodine yang tinggi juga berhbungan dengan
peningkatan prevalensi GD dengan manifestasi painless goiter (Devereaux, D.
dan Tewelde, S.Z. 2014). Tiroiditis painless disebabkan dapat terjadi karena
lithium, sitokin (interferon-α), atau terapi inhibitor tirosin kinase, dan periode post
partum (post partum tiroiditis) (Ross, D.S., dkk., 2016).
Postpartum tiroiditis adalah inflamasi tiroid pada kelenjar tiroid setelah
melahirkan. Hal ini merupakan bentuk transien dari hipertiroidisme yang dapat
berkembang selama 6 minggu hingga 6 bulan post partum dengan kekambuhan
yang signifikan. Pasien biasanya memiliki goiter dan secara signifikan memiliki
riwayat keluarga dengan penyakit autoimun. Supurative tiroiditis adalah infeksi
kelenjar tiroid yang disebabkan oleh abkteri tapi jugabisa disebabkan oleh jamur,
mycobakteria, atau parasit. Hal ini sering terjadi pada pasien imunokompromis
atau dengan individu yang memiliki penyakit tiroid. Ditandai dengan massa
dengan eritema lunak pada leher anterior, demam, disfagia, dan disfonia
(Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014).
Peningkatan B-HCG juga bisa menyebabkan tirotoksikosis dengan
menstimulasi reseptor TSH. Pasien dengan B-HCG tinggi seperti mola hidatidosa,
koriokarsinoma dapat menyebabkan tirotoksikosis. Karsinoma tiroid folikular,
tumot pituitari, dan struma ovarii dapat menyebabkan tirotoksikosis.
Tirotoksikosis facitia adalah tirotoksikosis eksogen karena menngkonsumsi
hormon tiroid, secara kebetulan atau disengaja. Dan ada juga pasien yang
mengkonsumsi hormon tiorid dengan tujuan menurunkan berat badan (Devereaux,
D. dan Tewelde, S.Z. 2014).

7
Gambar 3. Etiologi Hipertiroidisme (Topliss, D.J. dan Eastman C.J., 2004)

2.5 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala dari hipertiroidisme sangat bervariasi dan cenderung
ditentukan berdasarkan usia dan adanya kelainan organ sebelumnya. Pada pasien
muda biasanya mengeluhkan gejala saraf simpatis yang berlebihan seperti gelisah,
hiperaktifitas, dan tremor. Sedangkan pada pasien tua sering mengeluhkan gejala
kardiovaskular (kardiomiopati, aritmia) dan penurunan berat badan yang tidak
jelas.
Gejala yang banyak terjadi pada tirotoksikosis adalah cemas dan gelisah,
keringat berlebih, kulit hangat dan intoleransi panas, iritabilitas, palpitasi,
hiperdefekasi, mudah lelah, penurunan berat badan dengan penigkatan nafsu
makan (paradoks Von Muller) dan kelainan menstruasi.
Tanda klinis yang sering diamati adalah hipertropi kelenjar tiroid atau
struma, hiperaktifitas, takikardi atau fibrilasi atrium, hipertensi sistolik, kulit
hangat dan peningkatan presipitasi, tremor, kelemahan otot, kelainan bola mata
seperti tanda Mobius (konvergensi mata abnormal), tanda Von Graefe (kegagalan
kelopak mata atas dalam mengikuti gerakan bola mata ke bawah), tanda Joffroy
(otot wajah tetap diam ketika bola mata melihat ke atas), tanda Stellwag
(mengedipkan mata yang tidak teraut dan tidak lengkap), ketertinggalan kelopak

8
mata (kelopak mata atas tertiinggal di atas tepi iris ketika melihat ke bawah),
eksoftalmus dan lain-lain seperti konjungtivitis, ulkus kornea, edema palpebra,
neuritis optik, dan atropi optik.

Gambar 4. Tabel Gejala Hipertiroidisme (Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z., 2014)

2.6 Klasifikasi
Hipertiroidisme secara umum terdiri dari Hipertiroidisme jelas dan
subklinis, bergantung keparahan biokimia dari hipertiroidisme meskipun
kenyataannya penyakit ini menunjukkan overaktifitas fungsi tiroid secara terus-
menerus. Hipertiroidisme jelas didefinisikan sebagai serum TSH subnormal
(biasanya tak terdeteksi) dengan peningkatan serum T3 dan/atau T4 bebas.

9
Hipertiroidisme subklinis didefinisikan sebagai serum TSH rendah/tak terdeteksi
dengan nilai normal pada serum T3 dan T4 bebas. Hipertiroidisme jelas dan
subklinis dapat menyebabkan tanda dan gejala, meskipun subklinis memiliki
gejala yang lebih ringan (Ross, D.S., dkk., 2016). Hipertiroidisme subklinis
sendiri terbagi menjadi 2 yaitu grade 1 / ringan yaitu nilai serum TSH rendah (0,1
– 0,4 µU/mL) dan grade 2 / berat yaitu nilai serum TSH tertekan (< 0,1 µU/mL).
Grade 1 pada hipertiroidisme subklinis terjadi 3 hingga 4 kali lebih sering
dibanding hipertiroidisme subklinis grade 2. Perkembangan penyakit
hipertiroidisme subklinis grade 1 ke hipertiroidisme jelas sangat rendah,
sedangkan kemungkinan hipertiroidisme subklinis gade 2 menajdi hipertiroidisme
jelas yaitu 2 – 5% (Palacios, dkk., 2012).
Hipertiroidisme dapat ditandai dengan radioaktif iodine uptake normal
atau tinggi (tirotoksikosis dengan hipertiroidisme atau true hipertiroidisme). Hal
ini sering disebabkan karena kekurangan iodine pada GD sebesar 80%, serta
TMNG dan TA sebesar 50% yang sering terjadi pada orang tua. Penyebab yang
jarang adalah thyrotropin-induced thyrotoxicosis dan tumor trofoblastik, dimana
TSH reseptor terstimulasi karena kelebihan TSH dan B-HCG (Leo, S.D., dkk.,
2016).
Sedangkan tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme disebabkan oleh sumber
ekstratiroidal atau pelepasan hormon tiroid yang tersimpan kedalam sirkulasi
dengan radioaktif iodine uptake rendah. Tirotoksikosis tipe ini cenderung jarang
dan pada umumnya bersifat transien. Hal ini terjadi pada pasien dengan silent
tiroiditis, post partum tiroiditis, atau subakut painful tiroiditis, dikarenakan
kerusakan pada tirosit menyebabkan pelepasan hormon tiroid yang tersimpan ke
dalam sirkulasi. Adanya lithium, interferon-α, dan amiodaron pada umumnya
termasuk disfungsi tiroid karena obat. Tirotoksikosis eksogen merupakan buatan
atau iatrogenik, berkembang setelah mengkonsumsi hormon tiroid yang berlebih,
dan berhbungan dengan konsentrasi tiroglobulin yang rendah. Hipertiroidisme
ektopik sangat jarang terjadi, termasuk metastasis karsinoma tiroid fugnsional dan
struma ovarii (tumor ovarium yang berisi jaringan tiroid) (Leo, S.D., dkk., 2016).

2.7 Diagnosis

10
Untuk membedakan hipertiroidisme dan penyebab lain tirotoksikosis,
maka radioactive iodine uptake (RAIU) harus dilakukan. Hipertiroidisme
memiliki nilai RIAU yang tinggi sedangkan penyebab lain memiliki nilai yang
rendah atau mendekati tidak ada. Penilaian manifestasi hipertiroidisme, dan
khususnya potensi komplikasi kardiovaskular dan neuromuskular, merupakan hal
penting yang perlu dipertimbangkan untuk membuat rencana terapi.
a. Evaluasi Klinis
Evaluasi biokimia dari TSH an hormon tiroid adalah tes diagnosis awal
yang penting untuk individu yang curiga memiliki hipertiroidisme atau
krisis tirotoksikosis berdasarkan manifestasi klinis. Ketika tidak ada
konsistensi antara manifestasi klinis dan gejala, atau ketika manifestasi
klinis lemah, atau uji konfirmasi biokimia tidak dapat dibaca, dapat
berguna bila menggunakan diagnostik indek yang disebut indek Wayne.
Sistem penilaian ini telah dikembangkan sejak 1972 untuk menigkatkan
akurasi diagnosis dari penilaian klinis.

Gambar 5. Indeks Wayne untuk Diagnostik (The Indonesian Society of Endrocinology,


2012)

b. Evaluasi Biokimia
Hipertiroidisme yang jelas ditandai dengan penekanan TSH (< 0,01 mU/L)
dan kelebihan hormon tiroid pada serum.
a) Serum TSH
Pengukuran serum TSH memiliki sensitivitas dan spesifitas tertinggi
dari pemeriksaan darah dan digunakan sebagai skrining awal untuk

11
hipertiroidisme. Pada hipertiroidisme, serum TSH akan < 0,01 mU/L
atau bahkan tak terdeteksi.
b) Serum Hormon Tiroid
Untuk menilai keparahan dari kondisi dan meningkatkan akurasi
diagnostik, nilai TSH dan T4 bebas dapat menilai dari evaluasi awal.
Pada hipertiroidisme yang jelas biasanya estimasi T4 bebas dan T3
terdapat peningkatan dan serum TSH < 0,01 mU/L atau tak terdeteksi.
Pada hipertiroidisme ringan, estimasi serum T3 dan T4 bebas dapat
normal, hanya serum T3 yang meningkat, dan serum TSH akan < 0,01
mU/L (atau tak terdeteksi) – disebut tirotoksikosis T3. Pemeriksaan T3
bebas kurang tervalidasi dibanding T4 bebas, sehingga pengukuran
total T3 biasanya dipilih pada pemeriksaan klinis.
Hipertiroid subklinis didefinisikan sebagai estimasi serum T4 bebas
normal dan total T3 atau T3 bebas normal , dengan konsentrasi serum
TSH subnormal.
c) TRAb (thyrotropin receptor antibody)
Pendekatan ini digunakan ketika scan dan uptake tiriod tidak tersedia
dan kontraindikasi (contoh ketika kehamilan dan menyusui).
c. Pencitraan
a) Radiactive iodine uptake (RAIU) dan scan tiroid
RAIU harus dilakukan ketika presentasi klinis dari tirotoksikosis tidak
terdiagnosis dengan Grave Disease. Scan tiroid ditambahkan ketika
terdapat nodul tiroid.
b) Ultrasonografi (USG)
USG dilakukan pada posisi pasien supinasi dan leher hiperekstensi.
USG dapat mendeteksi lobus tiroid atau lesi sebesar 2 mm. Hal ini
dapat membedakan nodul solid dari kista sederhana dan kompleks. Hal
ini dapat memperkirakan ukuran tiroid, memberikan gambaran kasar
mengenai densitas jaringan, menunjukkan aliran dan kecepatan
vaskular dan dapat membantu ketika menempatkan jarum untuk tujuan
diagnostik. Pemeriksaan Doppler dapat ditambahkan ketika melakukan
USG.

12
c) Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
Pada Grave Disease, FNAB diperlukan jika nodul ditemukan pada
tiroid – untuk membedakan dari nodul ganas yang mungkin terjadi.
Sehingga direkomendasikan FNAB dengan panduan USG.

Gambar 6. Algoritma Diagnosis Tirotoksikosis (Leo, S.D., dkk., 2016)

Untuk penegakan diagnosa hipertiroidisme perlu adanya pengukuran


langsung dari konsentrasi tirosin bebas di dalam plasma (serum T4 dan T3
meningkat dan TSH sedikit/tidak ada) menggunakan pemeriksaan
radioimunologik. Sedangkan diagnosis tirotoksikosis dapat ditegakkan melaui
tanda klinis tanpa pemeriksaan laboratorium, namun untuk menilai kemajuan
terapi tanpa pemeriksaan penunjang merupakan hal yang sulit (Kemenkes RI,
2014).

2.8 Tatalaksana

13
Tatalaksana hipertiroid yaitu pemberian obat simptomatis dan pemberian
propanolol dosis 40-200 mg dalam 4 dosis. Sedangkan tatalaksana krisis tiroid
segera dilakukan bila dicurigai krisis tiroid. Hal yang dilakukan yaitu (Kemenkes
RI, 2014):
1. Perawatan suportif yang terdiri dari kompres dingin, antipiretik
(asetaminofen), memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit dengan infus dextros 5% dan NaCl 0,9%, dan mengatasi gagal
jantung seperti pemberian oksigen, diuretik, serta digitalis.
2. Bila pasien di fasilitas kesehatan pertama, maka lakukan rujukan.
3. Pemberian antagonis hormon tiroid dilakukan di fasilitas kesehatan
sekunder seperti : blokade produksi hormon tiroid: PTU dosis 300 mg tiap
4 – 6 jam PO dan alternatif : metamizol 20 – 30 mg tiap 4 jam PO. Apabila
keadaan berat maka dapat diberikan melaui NGT yaitu PTU 600 – 1000
mg atau metamizole 60 – 100 mg. Blokade hormon tiroid: solusi lugol
(saturated solution of potasium iodida 8 tetes tiap 6 jam. Beta bloker yaitu
propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis dapat disesuaikan respon (target
HR < 90x/menit). Glukokortikoid yaitu Hidrokortison 100 – 500 mg IV
tiap 12 jam. Bila refrakter terhadap reaksi di atas maka dilakukan
plasmaferesis, dialisis peritoneal. Pengobatan terhadap faktor prespipitasi:
antibiotik, dll.
Rencana tindak lanjut pada pasien hipertiroidisme yaitu pemeriksaan ulang setiap
2 minggu pada 2 bulan pertama, kemudian setiap bulan sampai pengobatan selesai
perlu dilakukan karena kegagalan terapi seiring terjadi akibat ketidakpatuhan
pasien makan obat.
Tatalaksana hipertiroidisme yang perlu dilakuakn ada 3 aspek (The
Indonesian Society of Endrocinology, 2012):
1. Inhibisi sintesis dan sekresi hormon tiroid (ATDs)
2. Destruksi atau reduksi jaringan tiroid (terapi radiaktif iodone dan
pembedahan)
3. Minimalisasi efek hormon tiroid pada jaringan perifer (terapi beta-bloker)
Pemilihan terapi yang tepat bergantung pada beberapa faktor, seperti keparahan
hipertiroidisme, usia, ukuran struma, dan adanya komorbiditas.

14
Tatalaksanan khusus Grave Disease
Terdapat 3 modalitas terapi yang dapat digunakan yaitu : obat antitiroid (ATDs),
terapi radioaktif iodine, dan tiroidektomi (The Indonesian Society of
Endrocinology, 2012).
ATD disarankan pada pasien Grave Diasease dengan kondisi berikut:
a. Pasien dengan kemungkinan remisi tinggi (pasie, terutama perempuan,
dengan penyakit ringan, goiter kecil, an TRAb negatif atau titer-rendah)
b. Orang tua atau yang lain dengan morbiditas yang meningkatkan resiko
pembedahan atau dengan harapan hidup yang terbatas
c. Berada sendirian di rumah asuh atau failitas lain yang memiliki masa yang
terbatas dan tidak dapat mengikuti regulasi kemanan radiasi.
d. Pasien yang sebelimnya melakukan operasi atau radiasi leher
e. Aktif Grave optalmopati sedang-berat
Terapi radioaktif iodine sangan direkomendasikan pada pasien Grave Disease
dengan kondisi klinis berikut:
a. Perempuan yang merencanakan kehamilan kedepannya (dalam 4-6 bulan
lebih diikuti terapi radioiodine, dengan tingkat hormon tiroid normal)
b. Individu dengan komorbiditas yang meningkatkan resiko pembedahan
c. Pasien yang sebelumnya melakukan operasi atau radiasi leher, atau
kekurangan jalur pada ahli bedah tiroid tingkat tinggi
d. Kontraindikasi penggunaan ATDs
Prosedur pembedahan direkomendasikan pada pasien Grave Disease dengan
kondisi berikut:
a. Gejala kompresi atau goiter yang besar (≥ 80 gr)
b. Uptake relatif rendah pada radioaktif iodine
c. Bila tercatat atau curiga adanya keganasan tiroid (contoh sitologi curiga
atau tak bisa ditentukan)
d. Nodul besar yang tidak berfungsi, fotopenik, dan hipofungsi
e. Hipertiroidisme yang hidup berdampingan yang membutukan pembedahan
f. Perempuan yang merencanakan kehamilah < 4-6 bulan (contoh sebelum
tingkat hormon tiroid normal jika radioaktif iodine terpilih sebagai terapi),
terutama jika nilai TRAb cenderung tinggi

15
g. Aktif Grave optalmopati sedang-berat
Kontraindikasi modalitas terapi tertentu pada hipertiroidisme Grave:
1. Terapi radioaktif iodine: kontraindikasi definitf yaitu:
a. Kehamilan dan laktasi
b. Berhubungan dengan karsinoma tiroid atau kecurigaan karsinoma
tiroid
c. Individu yang tidak bisa memenuhi peraturan keamanan radiasi
d. Perempuan yang berencana hamil dalam 4-6 bulan
e. Grave optalmopati berat dan aktif
2. ATDs
Kontraindikasi definitif terhadap pemakaian ATDs jangka lama yaitu
adanya efek samping mayor terhadap ATDs
3. Pembedahan : kontraindikasi definitf yaitu:
a. Komorbiditas substansial seperti penyakit kardiopulmoner
b. Kanker stadium akhir
c. Kelainan lain yang memlemahkan
a) Tatalaksana penggunaan ATDs pada Grave Disease
Terdapat 2 kelas dari ATDs yang tersedia: thiouracil
(propylthiouracil (PTU)) dan imidazoles (methimazole (MMI),
carbimazole, dan thiamazole). PTU disarankan sebagai obat yang
digunakan pada kondisi tersebut: selama kehamilan trimester pertama;
badai tiroid atau krisis tiroid; dan beberapa orang yang memiliki riwayat
alergi atau intoleransi obat anti-tiroid dan orang yang menolak terapi
radioaktif iodine atau pembedahan.
Kombinasi ATDs dengan dosis rendah L-thyroxine sebagai terapi
hormon pengganti secara umum tidak direkomendasikan. Dosis awal PTU
adalah tinggi, dimulai dengan 100 – 200 mg tiga kali sehari, bergantung
pada derajat keparahan dari hipertiroidisme. Dengan normalnya penemuan
klinis dan uji fungsi tiroid, pengurangan PTU menjadi dosis rumatan yaitu
50 mg dua atau tiga kali sehari, bahkan satu kali sehari untuk dosis
rumatan bisa.

16
Seperti PTU, terapi awal MMI, dosis yang lebih tinggi
direkomendasikan (10-20 mg sehari) untuk mengembalikan eutiroidisme,
dan dosis dapat dititrasi menjadi tingkat rumatan (secara umum 5-10 mg
sehari). MMI memeiliki keuntungan yaitu digunakan sehari sekali dan
mengurangi resiko efek samping mayor dibanding PTU. Penilaian serum
T4 bebas harus didapat pada minggu ke-4 setelah terapi awal, hingga
eutiroid tercapai dengan pengobatan dosis minimal. Setelah pasien
eutiroid, pemeriksaan biokimia dan evaluasi klinis dapat dilakukan dengan
interval 2 – 3 bulan. Sebelum memulai terapi ATDs, diminta pemeriksaan
darah sebagai batas dasar, terutama hitung jenis leukosit, bilirubin, dan
transaminase dapat dipertimbangkan.

Gambar 7. Daftar Obat Hipertiroid (Mc Dermott, M. T., 2012)

b) Terapi radioaktif iodine pada Grave Disease

17
Pasien dengan Grave Disease yang termasuk resiko tinggi
komplikasi karena perburukan hipertiroidisme (contoh pasien dengan
gejala ekstrem atau T4 bebas diperkirakan 2 – 3 kali dari batas atas
normal) harus diberikan blok beta-adrenergik dan/atau ATDs terlebih
dahlulu sebelum terapi radioaktif iodine.
Jika diberikan sebagai terapi awal, MMI dihentikan 3 – 5 hari
sebelum pemberian radiaktif iodine, dan dimulai lagi 3 – 7 hari setelahnya,
dan secara umum di turunkan bertahap 4 – 6 minggu seiring normalnya
fungsi tiroid.
Tes kehamilan harus dilakukan dalam 48 jam sebelum terapi pada
perempuan produktif yang akan diberi terapi radioaktif iodone. Pemeriksa
harus melakukan tes ini dan mengkonfirmasi bahwa hasil tes negatif.
Tepat 2 minggu setelah dan sebelum terapi radioaktif iodine, makanan
tinggi iodine seperti makanan laut dan obat yang mengandung iodine
sangat dilarang. Selama 3 hari dengan pemberian radioaktif iodine, pasien
tidak boleh berdekatan (< 5 meter) dengan anak < 13 tahun dan wanita
hamil. Pasien dilarang untuk hamil dalam 6 bulan selama terapi radioaktif
terapi; penggunaan kotrasepsi dianjurkan.
Pemantauan dalam 1 – 3 bulan pertama setelah terapi radioaktif
iodine pada Grave Disease termasuk penilaian T4 bebas dan T3 total. Jika
setelah 3 bulan pemantauan, pasien tetap tirotoksik, perlu dipertimbangkan
dosis kedua radioaktif iodine. Hipotiroidisme transien setelah radioaktif
iodine jarang terjadi selama 6 bulan setelah terapi iodine, dengan
selanjutnya pemulihan total fungsi tiroid. Sehingga, hipotiroidisme yang
terjadi dalam 6 bulan pertama tidak memerlukan terapi hormon tiroid
pengganti.
Terapi hormon tiroid pengganti harus diberikan sesuai dasar paruh
waktu. Setiap pasien dengan terapi radioaktif iodine harus dijelaskan
secara menyulurh mengenai hipotiroidisme post terapi dan informasi
penting yang berhbungan dengan terapi radioaktif iodine.
c) Tatalaksana pembedahan pada Grave Disease

18
Jika memungkinkan, pasien Grave Disease yang menjalani
tiroidektomi harus dalam keadaan eutiroid. Kecuali pada kondisi tertentu,
jika tidak memungkinkan maka keperluan tiroidektomi menjadi urgent,
atau ketika pasien alergi terhadap ATD, maka pasien harus diberikan beta-
bloker dan potasium iodide secepat mungkin selama periode preoperatif.
Komplikasi pembedahan setelah tiroidektomi pada Grave Disease
termasuk langka seperti hipotiroidisme dan paralisis pita suara. Perbaikan
pasien, terutama laju komplikasi telah menunjukkan secara bebas
berhubungan dengan ahli bedah tiroidektomi tingkat tinggi.

Gambar 8. Algoritma Tatalaksana Hipertiroid (NICE, 2019)

Berdasarkan rekomendaasi American Thyroid Association (ATA),


perlu adanya terapi pada pasien hipertiroidisme subklinis dengan TSH
yang rendah (< 0,1 mIU/L) secara persisten jika usia pasien > 65 tahun,
usia pasien < 65 tahun dengan kelainan jantung, osteoporosis, dan gejala
lain dari hipertiroidisme, atau jika usia pasien post menopause, < 65 tahun,
dan tidak menggunakan estrogen atau bisofosfonat. Hal ini
merekomendasikan pasien di terapi untuk pasien > 65 tahn dengan TSH
0,1 – 0,4 mIU/L; untuk pasien asimptomatis < 65 tahun dengan TSH < 0,1

19
mIU/L; untuk pasien asimptomatis < 65 tahun dengan TSH 0,1 – 0,4
mIU/L dengan kelainan jantung, osteoporosis, atau tanda hipertiroidisme;
dan untuk pasien asimptomatis perempuan post menopause < 65 tahun
yang tidak mendapatkan estrogen atau bisofosfonat dengan TSH 0,1 – 0,4
mIU/L. Tatalaksana hipertiroidisme subklinis berdasarkan penyakit dasar.
Pada pasien dengan TMNG atau solitary autonomous nodule, ablasi iodine
radioaktif merupakan terapi definitif dan lebih dipilih karena remisi
spontan jarang terjadi. ATD dan terapi iodine radioaktif merupakan
tatalaksana tepat pada pasien dengan GD (Donangelo, I. dan Suh, S.Y.,
2017).

Gambar 9. Indikasi Terapi Hipertiroid Subklinis (Donangelo, I. dan Suh, S.Y., 2017)

2.9 Komplikasi
Tirotoksikosis dapat berkembang menjadi krisis tiroid yang merupakan
suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat karena dapat menyebabkan
kematian. Tirotoksikosis yang fatal biasanya disebabkan oleh autoimun Grave’s
disease pada ibu hamil. Janin juga dapat mengalami tirotoksikosis pula, dan

20
keadaan hipertiroid pada janisn dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan
kraniosinostosis, bahkan kematian janin (Kemenkes RI, 2014).
Pada pasien tua cenderung berkembang menjadi komplikasi
kardiovaskular. Dibandingkan orang tua sehat dengan usia > 60 tahun, orang tua
dengan hipertiroidisme memiliki resiko 3 kai lebih besar terhadap atrial fibrilasi.
Stroke emboli juga berhubungan dengan atrial fibrilasi sekunder karena
hipertiroidisme lebih sering terjadi dibandingkan stroke emboli yang berhubungan
dengan non-tiroid atrial fibrilasi. Atrial fibrilasi juga bisa menjadi prediktor
terjadinya gagal jantung pada hipertiroidisme yang menyebabkan peningkatan
mortalitas (Leo, S.D., dkk., 2016).
Komplikasi serius lainnya yaitu tirotoksik dengan periode paralisis. Hal ini
lebih sering terjadi pada orang Asia dengan insiden 0,2% pada Amerika Utara dan
2% di Jepang. Komplikasi ini ditandai trias yaitu paralisis otot, akut hipokalemia,
dan tirotoksikosis, dan hal ini disebabkan pergeseran potasium ke sel otot. Mutasi
pada kanal potasium (yang diregulasi oleh hormon tiroid) juga berperan. Jika
dicurigai, hal ini dapat ditatalaksana dengan potasium dosis rendah dan beta
bloker non selektif untuk mencegah aritmia dan mengembalikan fungsi otot.
Komplikasi lain akibat paparan lama tirotoksikosis yaitu osteoporosis dan
abnormalitas pada sistem reproduksi (ginekomastia pada laki-laki, penurunan
kesuburan, dan menstruasi ireguler pada wanita) (Leo, S.D., dkk., 2016).
Badai tiroid / dekompensated tirotoksikosis merupakan kelainan yang
jarang dengan insidensi 0 – 2 kasus tiap 100.000 orang di Jepang dan terjadi 1 –
5% pada pasien yang rawat inap dengan diagnosis tirotoksikosis. Hal ini
merupakan emergensi dengan laju mortalitas tinggi yaitu 8 – 25%. Gejala klinis
pasien tidak bergantung konsentrasi serum hormon tiroid, dimana serupa dengan
tirotoksikosis terkompensasi. Pemicu yang terdeteksi mencapai 70%, biasanya
penggunaan yang tidak terpecaya atau penghentian ATD, diikuti oleh infeksi.
Faktor resiko yang lain yaitu penyakit akut, operasi tiroid dan non-tiroid, trauma,
stres, kehamilan. Patogenesis masih belum dipahami dengan baik. Diagnosis
berdasarkan klinis dan adanya hipertiroidisme pada pasien dengan manifestasi
berat yang dapat mengancam jiwa. Diagnosis juga bisa ditegakkan dengan sistem
skor oleh Burch dan Wartofsky yang telah dimodifikasi oleh Akamizu dan

21
sejawat atau menggunakan kriteria diagnosis dari Japanese Thyroid Association
yang dikeluarkan tahun 2012.

Gambar 10. Sistem Skoring BWPS (Burch-Wartofsky Point Scale) Badai Tiroid (Leo,
S.D., dkk., 2016)

22
Gambar 11. Sistem Skoring JTA (Japanese Thyroid Association) Badai Tiroid (Japan
Endocrine Society, 2016)

Gambar 12. Algoritma Diagnosis Badai Tiroid (Japan Endocrine Society, 2016)

Gambar 13. Algoritma Terapi Badai Tiroid (Japan Endocrine Society, 2016)

23
Gambar 14. Algoritma Pemeriksaan Penunjang dan Terapi Badai Tiroid (Japan
Endocrine Society, 2016)

Tujuan dari tatalaksana yaitu untuk menurunkan sintesis dan sekresi


hormon tiroid, mengurangi hormon tiroid pada sirkulasi, mengkontril efek perifer
dari hormon tiroid, memperbaiki manifestasi sistemik, dan terapi penyakit
presipitasi. Setelah ada perbaikan dari fungsi tiroid, pada umunya terjadi selama
24 jam, iodine secaar bertahap dapat diberhentikan dan glukokortikoid dapat di
turunkan dan dihentikan. ATD dan beta bloker harus dititrasi berdasarkan fungsi
tiroid. Terapi definitif dengan tiroidektomi atau radioaktif iodine disarankan
setelah pasien menjadi eutiroid.
Saat dicurigai badai tiroid, tatalaksana agesif untuk meningkatkan kondisi
tirotoksik sistemik harus dijalankan. PTU lebih dipilih dibandingkan
methimazole, karena memblok perubahan T4 ke T3 untuk memblok pembentukan
hormon baru. Propanolol juga beta-bloker yang tepat karena memblok perubahan
T4 ke T3 dan mengkontrol ritme kardiak. Iodine secara cepat memblok
pembentukan dan pelepasan hormon baru, dan sering digunakan sebagai penurun
tingkat hormon tiroid sebelum operasi tiroid emergensi. Namun itu harus
diberikan, minimal 1 jam setelah pemberian dosis PTU. Hidrokortison digunakan

24
sebagai profilaksis untuk insufisiensi adrenal relatif (karena pembersihan kortisol
yang cepat selama kondisi tirotoksik), hal ini dapat memblok perubahan T4 ke T3.
Resusitasi cairan, perawatan respiratori, kontrol suhu (antipiretik, selimut
pendingin), dan nutrisi pendukung harus dijalankan, idealnya dilakukan di ICU
(Chun, J.H., 2017).
Pemberian therapeutic plasmapheresis (TPE) dapat dipertimbangkan jika
tidak ada peningkatan klinis selaam 24 – 48 jam dari terapi awal (pada umumnya
kondisi badai tiroid akan membaik dalam 12 – 24 jam) dengan dosis ATD,
inorganic iodine, kortikosteroid, atau beta-bloker yang tepat. PTE dengan cepat
memindahkan dan menukar proteins serum yang mana sebanyak 99% berikatan
dengan hormon tiroid. Namun masih belum ada penelitian prospektif mengenai
keefektifan terapi ini. Terapi ini biasa diberikan pada pasien dengan badai tiroid
yang berkomplikasi pada gagal liver akut dengan gangguan kesadaran (Japan
Endocrine Society, 2016)
Penatalaksanaan Krisi Tiroid (Djokomoeljanto. R., 2006):
 Perawatan suportif
a Pemasangan selang nasogastrik sebagai jalan pemberian obat oral
b Koreksi gangguan cairan dan elektrolit
c Oksigen
d Status kardiorespirasi
e Kompres dingin
f Pemberian asetominofen atau parasetamol (hindari penggunaan aspirin,
karena aspirin akan menggeser T4 dari TBG sehingga meningkatkan kadar
FT4 serum. Klorpromasin (50-100mg i.m) selain dapat digunakan untuk
mengatasi agitasi juga karena efek inhibitor termoregulasi sentral
digunakan untuk terapi hiperpireksia)
g Fenorbarbital sebagai sedatif untuk merangsang metabolisme T4 melalui
sistem enzim mikrosomal hepatik.
h Multivitamin
 Terapi spesifik krisis tiroid dan terapi pada kasus presipitasi
a. Memblok sintesis hormone baru: PTU dosis besar (loading dose 400mg)
diikuti dosis pemeliharaan 100-200mg PTU tiap 4 jam. Alternatif lain

25
dengan methimazole 40mg sebagai dosis loading dengan dosis
pemeliharaan 10mg tiap 4 jam
b. PTU harus diberikan minimal 1 jam sebelum memberikan iodin untuk
memblok sintesa hormon melalui efek Wolft Chaikoff
c. Memblok keluarnya cikal bakal hormone dengan solusio lugol (6 tetes tiap
6-8 jam) atau SSKI ( Larutan Iodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam), diberikan
2 jam setelah pemberian PTU. Apabila ada, berikan endoyodin (NaI) IV,
kalau tidak solusio lugol/SSKI tidak memadai.
d. Pemberian propanolol 10-40 mg tiap 6 jam untuk menurunkan denyut
jantung, kontraksi miokard, tekanan darah, kebutuhan oksigen miokard
dan harus dievaluasi setelah 6 hari pemberian.
e. Pemberian hidrokortison dosis stress (100-200mg tiap 8 jam atau
deksametason 2mg tiap 6 jam atau metilprednisolon 25mg tiap 8 jam)
yang berguna untuk memblok konversi T4 menjadi T3.
 Mengobati factor pencetus (misalnya infeksi) dengan pemberian antibiotic bila
diperlukan.
 Respon pasien (klinis dan membaiknya kesadaran) umumnya terlihat dalam
24 jam, meskipun ada yang berlanjut hingga seminggu.
.

26
Gambar 15. Terapi Badai Tiroid (Leo, S.D., dkk., 2016)

27
2.10 Prognosis
Prognosis Grave Disease terlihat pada laju remisi dan relaps. Laju remisi
pada dewasa lebih tinggi dibanding anak-anak. ATDs dapat menginduks remisi
permanen pada 30 – 50% kasus. Jika relaps terjadi pada Grave Disease yang
diberikan ATDs, maka terapi destruktif merupakan opsi yang tepat. Setelah 12 –
18 bulan terapi ATDs, tepatnya > 50% pasien dapat relaps. Beberapa penelitian
melaporkan tingginya nilai TSH-RAb sebelum penghentian terapi dicurigai
berhbungan dengan tingginya laju relaps.
Rasio T3/T4 lebih dari 20 berhbungan > 80% terhadap resiko relaps.
Rendahnya nilai TSH setelah 4 minggu penghentian ATDs berhbungan dengan
kasus relaps sebanyak 70%. Terdapat korelasi antara volume tiroid dan aliran
darah, dengan penemuan antara struma besar dan tingginya resiko rekurensi.
Aliran arteri tiroid superior jika diketahui sebagai salah satu prediktor kasus
relaps.
Semua pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian relaps setelah
penghentian ATDs. Tepatnya 75% kasus relaps terjadi pada 3 bulan awal setelah
pemberhentian ATDs. Jika relaps terjadi, pemakaian ATD lebih lanjut dalam
periode waktu yang lama harus diberikan atau terapi destruktif perlu
dipertimbangkan (The Indonesian Society of Endrocinology, 2012).

28
BAB III
KESIMPULAN

Hipertioridisme adalah kondisi klinis karena peningkatan sintesis dan


sekresi hormon kelenjar tiroid yang mempengaruhi seluruh tubuh. Tirotoksikosis
adalah manifestasi klinis yang berhubungan dengan peningkatan level hormon
tiroid. Hipertiroidisme merupakan penyakit hormonal yang menempati urutan
kedua terbesar di Indonesia. Hipertiroid dapat terjadi terjadi karena Grave
Disease, toxic multinodular goiter, subakut tiroiditis, toxic adenoma, postpartum
tiroiditis, dan lain-lain. Pada hipertiroid terjadi kelebihan hormon tiroid yang
menyebabkan proses metabolik dalam tubu berlangsung dengan cepat. Gejala dan
tanda dari hipertiroid bisa mencakup iritabel, sulit tidur, eksoftalmus, pembesaran
kelenjar tiroid, sesak nafas, hipertensi, aritmia, takikardia, mudah lapar, sering
buang air besar, berat badan turun, menstruasi berkurang, osteoporosis, tremor,
refleks menigkat, dan keringat berlebih. Diagnosis tiroid bisa ditegakkan
berdasarkan tanda dan gejala, pemeriksaan laboratorium berupa kadar TSH,
hormon tiiodotironin / T3, dan hormon tiroksin / T4. Tatalaksana pada hipertiroid
juga bisa berupa farmakologi dengan obat anti tiroid (ATD) serta beta bloker,
terapi radioaktif iodine, dan pembedahan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Devereaux, D. dan Tewelde, S.Z. 2014. Hyperthyroidism and Thrtotoxicosis.


Emerg Med Clin N Am. USA: Elsevier. 32: 277-292.

Djokomoeljanto. R. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme dalam


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta:
2006.

Donangelo, I. dan Suh, S.Y. 2017. Subclinical Hyperthyroidism: When to


Consider Treatment. American Family Physician. 95(11):710-716.

Chun, J.H. 2017. Thyroid Storm: Early Management and Prevention. Clinical
Reviews. 22-24.

Japan Endocrine Society. 2016. Guideline for the Management of Thyroid Storm
from The Japan Thyroid Association and Japan Endocrine Society
(First Edition). Endocrine Journal. 63(12):1025-1064.

Juwita, D.A., dkk. 2018. Evaluasi Pengunaan Obat Antitiroid pada Pasien
Hipertiroid di RSUP Dr. M. Djamil Padang, Indonesia. Padang: JSFK.
5(1):49-54.

Kementrian Kesehatan RI. 2015. Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid. Jakarta:
Infodantin.

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
5 Tahun 2014.

Leo, S.D., dkk. 2016. Hyperthyroidism. USA: HHS Public Access.


388(10047):906-918.

Mc Dermott, M. T. 2012. In the Clinic Hyperthyroidism. America: Annals of


Internal Medicine. 1-16.

NICE. 2019. Thyroid Disease : Assessment and Management. Available at :


www.nice.org.uk

Price, A.S. dan Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit Volume 2 Ed. 6. Jakarta: EGC.

Palacios, S.S., Corrales, E.P., dan Galofre, J.C. 2012. Management of Subclinical
Hyperthyroidism. Int. Endocrinal Metab.10(2):490-496.

Ross, D.S., dkk. 2016. 2016 American Thyroid Association Guidelines for
Diagnosis and Management of Hyperthyroidsm and Other Causes of

30
Thryrotoxicosis. Boston: American Thyroid Association.
26(10):1343-1421.d

The Indonesian Society of Endrocinology. 2012. Indonesian Clinical Practice


Guideline for Hyperthyroidism. Phillippines: JAFES. 27(1):34-39.

Topliss, D.J. dan Eastman C.J. 2004. Diagnosis and Management of


Hyperthyroidism and Hypothyroidism. Sydney: MJA. 180(5):186-
193.

31

Anda mungkin juga menyukai