Anda di halaman 1dari 53

FARMAKOTERAPI TERAPAN

PEMBAHASAN KASUS
“TIROID”

Disusun Oleh :
Kelompok 3
Dwi Aftiningsih 192211101017
Taffana Windy Hananta 192211101018
Fara Sukma Farkha 192211101019
Dwipa Noor M.U 192211101020
Dindha Pratiwi S 192211101021
Riska Fauriyah 192211101022
Jumahwi 192211101023
Alik Almawadah 192211101024

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

1
DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................................2
1.1 Latar Belakang........................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................3
BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4
2. 1 Definisi Penyakit Tiroid..........................................................................4
2. 2 Etiologi Gangguan Tiroid.......................................................................5
2. 3 Faktor Resiko Gangguan Tiroid............................................................6
2. 4 Diagnosis Gangguan Tiroid....................................................................6
2. 5 Patofisiologi..............................................................................................7
2.5.1 Hipertiroid................................................................................................7
2.5.2 Atrial Fibrilasi Rapid Ventricular Response............................................9
2.5.3 Gagal Jantung........................................................................................10
2. 6 Komplikasi Tiroid.................................................................................12
2. 7 Tata Laksana Terapi Gangguan Tiroid..............................................15
2.7.1 Terapi Non Farmakologi........................................................................15
2.7.2 Terapi Farmakologi...............................................................................16
BAB 3. PEMBAHASAN KASUS........................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................30

2
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tiroid merupakan kelenjar endokrin besar yang terletak di pangkal leher
bagian depan, di bawah lapisan kulit dan otot. Kelenjar tiroid berbentuk kupu-
kupu dengan dua sayap yang merupakan lobus tiroid kiri dan kanan disekitar
trakea. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3) yang berperan meningkatkan aktivitas metabolisme pada
hampir semua jaringan tubuh. Pembentukan hormon tiroid dipengaruhi oleh
mekanisme umpan balik yang melibatkan hormon Thyroid Stimulating Hormon
(TSH). Bila produksi hormon tiroid meningkat maka produksi TSH menurun dan
sebaliknya jika produksi hormon tiroid tidak mencukupi kebutuhan maka
produksi TSH meningkat (Djokomoeljanto, 2007).
Penyakit atau gangguan tiroid adalah suatu kondisi kelainan pada
seseorang akibat adanya gangguan kelenjar tiroid, baik berupa perubahan bentuk
kelenjar maupun perubahan fungsi baik berlebihan atau kekurangan (Supit dan
Peirris, 2002). Penyakit gangguan tiroid termasuk penyakit yang sering ditemukan
di masyarakat. Penyakit ini merupakan penyakit hormonal yang menempati urutan
kedua terbesar di Indonesia setelah diabetes mellitus.
Kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme) terjadi bila kelenjar tiroid
tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan hormon tiroid sedangkan kelebihan
hormon tiroid (hipertiroidisme) dapat didefiniskan sebagai respon jaringan tubuh
terhadap pengaruh metabolik akibat peningkatan hormon tiroid secara berlebihan
(Djokomoeljanto, 2007).
Prevalensi hipotiroid di Indonesia belum diketahui secara pasti. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 melakukan pemeriksaan kadar TSH sebagai
salah satu penunjang diagnostik gangguan tiroid. Dari pemeriksaan TSH tersebut
didapatkan 2,7% laki-laki dan 2,2% perempuan memiliki kadar TSH tinggi yang

3
menunjukkan kecurigaan adanya hipotiroid. Hasil pemeriksaan TSH pada
Riskesdas 2007 menunjukkan 12,8% laki-laki dan 14,7% perempuan memiliki
kadar TSH rendah yang menunjukkan kecurigaan adanya hipertiroid (Kemenkes,
2007). Namun, menurut hasil Riskesdas 2013, hanya terdapat 0,4% penduduk
Indonesia yang berusia 15 tahun atau lebih yang berdasaran wawancara mengakui
terdiagnosis hipertiroid. Meskipun secara persentase kecil, namun secara kualitas
cukup besar. Jika pada tahun 2013 jumlah penduduk usia ≥15 tahun sebanyak
176.689.336 jiwa, maka terdapat lebih dari 700.000 orang terdiagnosis hipertiroid
(Kemenkes, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa definisi dan klasifikasi dari gangguan tiroid?
2. Bagaimana etiologi dari penyakit tiroid?
3. Apa saja tanda dan gejala dari gangguan tiroid?
4. Bagaimana patofisiologi dari gangguan tiroid?
5. Bagaimana penatalaksanaan terapi dari gangguan tiroid?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi gangguan tiroid
2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit tiroid
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari gangguan tiroid
4. Untuk mengetahui patafisiologi dari gangguan tiroid
5. Untuk memahami penatalaksanaan terapi dari gangguan tiroid

4
BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi Penyakit Tiroid


Penyakit tiroid merupakan gangguan yang melibatkan produksi atau sekresi hormon
tiroid sehingga akan mengakibatkan perubahan stabilitas metabolisme (Dipiro dkk,
2015). Gangguan tiroid terdiri dari hipertiroidisme dan hipotiroideisme.
Hipertiroidisme merupakan keadaan dimana terjadi produksi hormon ti roid
yang melebihi kebutuhan tubuh. Tirotoksikosis merupakan istilah yang digunakan dalam
manifestasi klinis ketika jaringan tubuh distimulasi oleh peningkatan hormon tiroid.
Keadaan hipertiroid ini ialah keadaan ketika kadar hormon tiorid yang bersikulasi
berlebihan (Corwin, 2001).

Hipotiroidisme merupakan penurunan sekresi hormon kelenjar tiroid sebagai akibat


kegagalan mekanisme kompensasi kelenjar tiroid dalam memenuhi kebutuhan jaringan
tubuh. Terdapat tiga jenis hipotiroid, yaitu :

 Hipotiroid primer merupakan kondisi terjadinya penurunan hormon tiroid


dikarenakan adanya gangguan pada kelenjar tiroid.
 Hipotiroid sekunder merupakan kondisi terjadinya penurunan hormon tiroid
dikarenakan adanya kegagalan pada kelenjar pituitari.
 Hipotiroid tersier merupakan kondisi dimana terjadinya penurunan hormon tiroid
karena adanya kegagalan pada hipotalamus.

5
2. 2 Etiologi Gangguan Tiroid
1. Tanda dan Gejala Hipotiroid
Kekurangan hormon tiroid mengakibatkan perlambatan proses metabolik
di dalam tibuh. Gejala dan tanda hipotiroid sebagai berikut:

Tabel 1. Tanda dan gejala hipotiroid

2. Tanda dan Gejala Hipertiroid


Kelebihan hormon tiroid mengakibatkan proses metabolik di dalam tibuh
berlangsung lebih cepat. Gejala dan tanda hipertiroid sebagai berikut:

Tabel 2. Tanda dan gejala hipertiroid

2. 3 Faktor Resiko Gangguan Tiroid


Faktor-faktor yang dapat mencetuskan gangguan tiroid adalah :

6
 Umur
Usia diatas 60 tahun lebih beresiko terjadinya hipotiroid atau hipertiroid.
 Jenis kelamin
Perempuan lebih beresiko mengalami gangguan tiroid.

 Genetik
Diantara banyak faktor penyebab autoimunitas terhadap kelenjar tiroid,
genetik dianggap sebagai faktor pencetus utama.
 Merokok
Merokok dapat menyebabkan kekurangan oksigen di otak dan nikotin
dalam rokok dapat memicu peningkatan reaksi inflamasi.
 Stres
Stres juga berkolaborasi dengan antibodi terhadap antibodi TSH-reseptor.
 Riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan autoimun
Riwayat keluarga yang berhubungan dengan kelainan autoimun
merupakan faktor resiko hipotiroidisme tiroiditis autoimun.
 Zat kontras yang mengandung iodium
Hipertiroidisme terjadi setelah mengalami paparan menggunakan zat
kontras yang mengandung iodium.
 Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan tiroid
Amiodaron, lithium karbonat, aminoglutethimide, interferon alfa,
thalidomide, betaroxine, stavudine.

2. 4 Diagnosis Gangguan Tiroid


Penegakan diagnosis gangguan tiroid selain berdasarkan tanda dan gejala,
juga memerlukan pemeriksaan laboratorium yaitu minimal diketahui kadar
TSH, hormon triiodotironin (T3), dan tiroksin (T4).

Tabel 3. Diagnosis gangguan tiroid

7
2. 5 Patofisiologi
2.5.1 Hipertiroid
Hipertiroid adalah sebuah kondisi yang terjadi ketika fungsi kelenjar
tiroid menjadi tidak normal sehingga menyebabkan produksi dan pelepasan
hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan hipertiroid dapat menyebabkan
thyrotoxicosis. Thyrotoxicosis didefinisikan sebagai keadaan saat kelebihan
hormon tiroid. Meskipun demikian, thyrotoxicosis bisa saja terjadi pada
kondisi disfungsi tiroid yang tidak menyebabkan hipertiroid. Contohnya
adalah pada kondisi tiroiditis. Pada saat terjadi tiroiditis, yang terjadi adalah
bukan peningkatan produksi hormone tiroid yang berlebihan, melainkan sel
tiroid yang rusak atau mengalami inflamasi akan melepaskan hormon tiroid
berlebihan secara langsung ke dalam pembuluh darah.
Untuk memahami patofisiologi dari kondisi hipertiroid, harus
dipahami terlebih dahulu mengenai aksis hipotalamus-hipofisis anterior-tiroid.
Hipotalamus akan menghasilkan TRH (Tirotropin Releasing Hormone). TRH
akan merangsang sel tirotropin di hipofisis anterior untuk menghasilkan TSH
(Thyroid Stimulating Hormone). TSH akan merangsang sel folikel di kelenjar
tiroid untuk menghasilkan hormone thyroid yang dapat berupa tri-
iodothyronine (T3) dan tetra-iodothyronine/thyroxine (T4).
Dalam hal ini tubuh memiliki sistem homeostasis yang baik dengan mekanisme
umpan balik negative. Hormon tiroid yang dilepaskan akan memberikan umpan balik
negatif ke hipotalamus dan hipofisis anterior untuk mengurangi pelepasan TRH dan
TSH sehingga produksi hormon tiroid tidak menjadi berlebihan dalam darah. Apabila
terdapat abnormalitas pada aksis ini tentunya akan berdampak terhadap jumlah
hormon yang beredar dalam darah sehingga dapat terjadi abnormalitas kadar
tiroid dalam darah, bisa penurunan atau peningkatan.

8
Aktivasi dari hormon tiroid pada sel target akan menyebabkan sintesis
dari protein baru yang akan berefek utamanya pada metabolisme sel sehingga
terjadi peningkatan Basal Metabolic Rate (BMR), dan juga berefek pada
pertumbuhan, perkembangan CNS, sistem CVS (tachycardia, tachypnea,
peningkatan tekanan darah), dan efek pada sistem yang lainnya.
Oleh karena itu, pada kondisi hipertiroid dan thyrotoxicosis dimana
terjadi peningkatan hormon tiroid dalam darah, maka akan terjadi peningkatan
metabolisme tubuh secara signifikan yang ditandai dengan menjadi sering
berkeringat meskipun tanpa melakukan aktivitas berat, berat badan menurun,
tachycardia, tachypnea. Kelenjar tiroid juga dapat membesar dan terpalpasi
saat dilakukan pemeriksaan fisik.

9
2.5.2 Atrial Fibrilasi Rapid Ventricular Response

Atrial Fibrilasi adalah salah satu kelainan pada irama jantung yang
bersifat ireguler atau aritmia sebagai akibat adanya impulsimpuls
abnormal pada jantung. Kelainan ini dapat berlangsung terus menerus atau
hilang timbul. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan
frekuensi atrium sebesar 350-650 x/menit sehingga atrium menghantarkan
implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh
periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga
menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler. Atrial fibrilasi dapat
terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara permanen,
kasus tersebut sulit untuk dikontrol.
Gambaran elektrokardiogram atrial fibrilasi adalah irama yang
tidak teratur dengan frekuensi laju jantung bervariasi (bias
normal/lambat/cepat). Jika laju jantung kurang dari 60 kali permenit
disebut atrial fibrilasi dengan respon ventrikel lambat (SVR), jika laju
jantung 60-100 kali permenit disebut atrial fibrilasi respon ventrikel normal
(NVR) sedangkan jika laju jantung lebih dari 100 kali permenit disebut atrial

10
fibrilasi dengan respon ventrikel cepat (RVR). Kecepatan QRS biasanya
normal atau cepat dengan gelombang P tidak ada atau jikapun ada
menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat
didefinisikan.

2.5.3 Gagal Jantung


Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktiva simekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan
untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat
terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga

11
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin).
Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada
fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.

Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,


angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang
merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung.

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan
dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan
natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan
telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada


gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.

Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi
endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal
jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary
wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-

12
1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya
remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan


kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi
ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi
pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 –
40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal.
Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik
yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

2. 6 Komplikasi Tiroid
Gangguan tiroid dapat disebabkan karena perubahan sekresi hormon dari kelenjar
tiroid yang tidak stabil, sehingga terjadi kekurangan ataupun kelebihan. Pasien dengan
konidisi hipotiroid dapat ditandai dengan penurunan nilai hormon thyroxine (T4),
penurunan hormon triiodothyronine (T 3), dan peningkatan hormon thyroid-stimulating
hormone (TSH), sedangkan pada pasien dengan hipertiroid dapat ditandai dengan
peningkatan hormon T4, peningkatann hormon T3 dan terjadi penurunan hormon TSH
(DiPiro dkk., 2015). Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi,
antara lain:

1. Graves disease
Graves disease (GD) adalah penyakit tiroid autoimun yang
biasanya dikaitkan dengan hipertiroidisme. Hipertiroidisme dihasilkan
dari aksi antibodi perangsang tiroid (TSAb) yang diaperintahkan untuk
melawan reseptor tirotropin pada permukaan sel tiroid. Imunoglobulin
ini berikatan dengan reseptor dan mengaktifkan enzim adenilat siklase
dengan cara yang sama seperti TSH (DiPiro dkk., 2015).
Terdapat beberapa kasus pasien yang dapat beralih dari
hipertiroidisme ke hipotiroidisme, tetapi jarang terjadi pasien yang
beralih dari hipotiroidisme menjadi hipertiroidisme. Namun, pada kasus
hipertiroidisme dan hipotiroidisme yang berganti secara spontan pada
graves disease merupakan kejadian yang lebih jarang terjadi.
Diperkirakan bahwa pergantian antibodi reseptor TSH yang

13
menstimulasi (TSAb) dan memblokir antibodi reseptor TSH (TBAb)
memiliki peran dalam pergantian fungsi tiroid (Wong dan Inder, 2018).
2. Kardiovaskular
Secara klinis, overt hypothyroidism dan penurunan produksi
hormon tiroid dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko
kardiovaskular. Pada pasien subklinikal hipotiroid (SH) juga dapat
terjadi gangguan kardiovaskular, hal tersebut dikarenakan pada pasien
SH terdapat gangguan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri. Dalam
pembuluh darah, ada juga perubahan dalam bentuk peningkatan
resistensi pembuluh darah, peningkatan kekakuan arteri dan disfungsi
endotel (Cojic dan Cvejanov-Kezunovic, 2017).
Telah banyak dikembangkan pengaruh efek terapi pada pasien
tiroid terhadap gangguan profil lipidnya, sebagai kemungkinan risiko
yang signifikan untuk penyakit kardiovaskular di masa yang akan
datang. Hormon tiroid dapat memberikan efek substansial pada jantung,
beberapa penelitian telah meneliti pengaruh terapi levothyroxine pada
struktur dan fungsi jantung pada pasien dengan SH. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pasien dengan SH memiliki gangguan fungsi
sistolik dan diastolik ventrikel kiri, serta terapi levothyroxine
menyebabkan peningkatan terjadinya gangguan tersebut (Cojic dan
Cvejanov-Kezunovic, 2017).

3. Gangguan mata
Manifestasi okular penyakit tiroid merupakan spektrum klinis
yang luas, mulai dari iritasi okular, retraksi kelopak mata, kelambatan
kelopak mata, dan injeksi mata hingga ophthalmopathy infiltratif
(penyakit mata tiroid). Gangguan mata tiroid adalah manifestasi
ekstratiroidal yang paling umum dari penyakit Grave, dan ini
berhubungan dengan hipertiroidisme pada 90% kasus. Hal ini
merupakan penyebab paling umum terjadinya peradangan orbital dan

14
periorbital pada orang dewasa. Sementara penyakit mata tiroid paling
umum terjadi dalam keadaan hipertiroidisme, hingga 10% dari pasien
mungkin eutiroid pada saat timbulnya gangguan mata1 dan sekitar 3%
mungkin hipotiroid. Penyakit tiroid muncul dengan gejala dan tanda
oftalmologis yang relatif ringan di Ibadan, Barat Daya Nigeria, bila
dibandingkan dengan penelitian serupa yang dilakukan di Kaukasia
(Ogun dan Adeleye, 2016).
4. Osteoporosis
Supresi levothyroxine dari thyrotropin (TSH) secara luas
diterapkan pada pasien dengan kanker tiroid, meskipun kurang adanya
persetujuan pada konsentrasi TSH optimal yang diperlukan untuk
mengurangi kekambuhan kanker sembari meminimalkan toksisitas dari
hipertiroidisme subklinis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Laura Y. Wang dkk., menyebutkan bahwa supresi TSH ≤0,4 mIU / L
mampu meningkatkan risiko osteoporosis tanpa mengubah kekambuhan
tumor pada pasien kanker tiroid, dengan risiko kambuh sedang dan
rendah berdasarkan American Thyroid Association (ATA) (Wang dkk.,
2014).
5. Thyrotoxicosis factitia
Thyrotoxicosis factitia dapat terjadi karena konsumsi hormon
tiroid eksogen. Hal tersebut dapat terjadi ketika hormon tiroid
digunakan untuk indikasi yang tidak tepat dan dosis yang berlebihan.
Salah satu contoh, penggunaan amiodarone dapat menyebabkan
terjadinya thyrotoxicosis. Amiodarone dapat mengganggu tipe I 5′-
deiodinase, yang menyebabkan terjadinya pengurangan konversi T4 ke
T3, dan pelepasan iodida dari obat dapat berkontribusi terhadap
kelebihan yodium (DiPiro dkk., 2015).
6. Myxedema coma
Myxedema coma adalah tahap akhir dari hipotiroidisme yang
sudah lama tidak diperiksa. Gejala fisik myxedema coma meliputi
wajah dan kelopak mata bengkak, perubahan warna kulit kekuningan,

15
dan hilangnya alis lateral. Efusi pleura dan perikardial serta
kardiomegali mungkin ada. Karena koma myxedema sering terjadi pada
wanita yang lebih tua, seringkali sulit untuk membedakan tanda dan
gejala dari demensia atau keadaan penyakit lainnya (Koda Kimble,
dkk., 2009).

2. 7 Tata Laksana Terapi Gangguan Tiroid


Tujuan terapi:

1. Menghilangkan kelebihan hormon tiroid


2. Meminimalkan gejala dan konsekuensi jangka panjang
3. Memberikan terapi individual berdasarkan jenis dan tingkat penyakit,
usia dan jenis kelamin, kondisi non tiroid, dan respons terhadap terapi
sebelumnya (DiPiro dkk., 2015).

2.7.1 Terapi Non Farmakologi


1. Operasi kelenjar tiroid harus dipertimbangkan pada pasien dengan
germinal (> 80 g), ophthalmopathy berat, atau kurangnya remisi pada
terapi obat antitiroid.
Pembedahan dianggap sebagai pengobatan pilihan pertama pada kondisi:
keganasan, obstruksi kerongkongan yang ditandai dengan kesulitan
menelan, sukar bernafas, dan pasien yang dikontraindikasikan
menggunakan thioamides (mis., alergi) atau RAI (mis., kehamilan) (Koda-
Kimble dkk., 2013)
2. Jika tiroidektomi direncanakan, propiltiourasil (PTU) atau methimazole
diberikan sampai pasien euthyroid (biasanya 6-8 minggu), diikuti dengan
penambahan iodida (500 mg / hari) selama 1-14 hari sebelum operasi
untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar. Levothyroxine dapat
ditambahkan untuk mempertahankan keadaan euthyroid ketika
kapsamamid diberikan.
3. Propranolol digunakan selama beberapa minggu sebelum operasi dan 7
hingga 10 hari setelah operasi untuk mempertahankan denyut nadi kurang

16
dari 90 denyut / menit. Pra-perlakukan kombinasi propranolol dengan
kalium iodida 10 hingga 14 hari dianjurkan (DiPiro dkk., 2015)

2.7.2 Terapi Farmakologi


Berdasarkan DiPiro dkk. (2015) terapi farmakologis untuk penyakit tiroid
berdasarkan pada gangguan tiroid yaitu:

a. Hipotiroid
Terapi lini pertama yang digunakan untuk hipotiroid yaitu Levothyroxin
(LT4 Sintesis). Mekanisme kerja dari levothyroxin menyerupai fisiologi
normal dengan mengkonversi prahormon menjadi T3 (hormon tiroid aktif)
dengan masa hidup 7-10 hari. Terapi levothyroxin diindikasikan untuk:
1. Pasien dengan hipotiroid nyata (overt hipotiroid)
2. Pasien dengan mild/subclinic hipotiroid dengan riwayat penyakit CVD,
hamil, infertil, anti TPOAb (+) dimana:
 Pasien dengan mild/subclinic  mulai LT4 dengan dosis 25-50
mcg/hari  titrasi dosis tiap 6-8 mg tergantung level TSH
 Dosis LT4 pada pasien <65 thn  1,6 mcg/kgBB/hari
 Dosis LT4 pada pasien >75 thn  1 mcg/kgBB/hari
 Dosis LT4 pada pasien dengan CKD  12,5-50 mcg/hari
dititrasi perlahan.

17
(

(Koda-Kimble dkk., 2009)

18
b. Hipertiroid
Tothioureas (Thionamides)

 PTU dan methimazole memblokir sintesis hormon tiroid dengan


menghambat sistem enzim peroksidase dari tiroid, mencegah oksidasi
iodida, dan juga menghambat konversi perifer T4 ke T3.
 Dosis awal biasanya termasuk PTU 300 hingga 600 mg setiap hari
(biasanya dalam tiga atau empat dosis terbagi) atau methimazole 30
hingga 60 mg setiap hari diberikan dalam tiga dosis terbagi. Ada bukti
bahwa kedua obat dapat diberikan sebagai dosis harian tunggal.
 Perbaikan gejala dan kelainan laboratorium terjadi dalam waktu 4
hingga 8 minggu, di mana dosis berubah setiap bulan karena T4 yang
diproduksi secara endogen akan mencapai konsentrasi steady-state
baru dalam interval ini. Dosis perawatan harian yang umum adalah
PTU 50 hingga 300 mg dan methimazole 5 hingga 30 mg dan
dianjutkan terapi selama 12 hingga 24 bulan untuk memicu remisi
jangka panjang.
 Pantau pasien setiap 6 hingga 12 bulan setelah remisi. Jika kambuh
terjadi, terapi alternatif dengan RAI lebih disukai dibandingkan dengan
obat antitiroid yang lain.
 Efek samping berupa ruam, artralgia, demam, dan leukopenia (jumlah
sel darah putih <4000 / mm3), anemia aplastik, sindrom lupus-like,
polymyositis, intoleransi GI, hepatotoksisitas, dan
hipoprothrombinemia.

19
(Koda-Kimble dkk., 2009)

Iodida

 Iodida secara akut memblokir pelepasan hormon tiroid, menghambat


biosintesis hormon tiroid dengan mengganggu penggunaan iodida
intratiroid, dan menurunkan ukuran dan vaskularisasi kelenjar.
 Perbaikan gejala terjadi dalam 2 hingga 7 hari sejak memulai terapi, dan
konsentrasi serum T4 dan T3 dapat dikurangi selama beberapa minggu.
 Iodida sering digunakan sebagai terapi tambahan untuk penanganan pasien
dengan penyakit Graves untuk pembedahan, secara akut menghambat
pelepasan hormon tiroid dan dengan cepat mencapai keadaan eutroid pada
pasien tirotoksik berat dengan dekompensasi jantung, atau menghambat
pelepasan hormon tiroid setelah terapi RAI.
 Kalium iodida tersedia sebagai larutan jenuh (SSKI, 38 mg/tetes) atau
sebagai larutan Lugol yang mengandung iodida 6,3 mg/tetes.
 Dosis awal SSKI adalah 3-10 tetes/hari (120–400 mg) dengan dosis sebelum
operasi diberikan 7 hingga 14 hari.
 Efek samping termasuk reaksi hipersensitivitas (ruam kulit, demam obat,
rinitis, konjungtivitis), pembengkakan kelenjar ludah, “iodisme” (rasa logam,
mulut dan tenggorokan terbakar, gigi dan gusi yang sakit,

20
 gejala kepala dingin, dan kadang-kadang sakit perut dan diare), dan
ginekomastia.

(Koda-Kimble dkk., 2009)

-Bloker Adrenergik

 β-Blocker digunakan untuk memperbaiki gejala tirotoksik seperti palpitasi,


kecemasan, tremor, dan intoleransi panas. Golongan ini tidak memiliki efek
pada tirotoksikosis perifer dan metabolisme protein dan tidak mengurangi
TSAb atau mencegah krisis tiroid.
 Propranolol dan nadolol memblokir sebagian konversi T4 ke T3, tetapi
kontribusi ini untuk efek keseluruhan kecil.
 Dosis propranolol yang diperlukan untuk meredakan gejala adrenergik
bervariasi, tetapi dosis awal 20-40 mg/oral empat kali sehari efektif untuk
sebagian besar pasien (denyut jantung <90 kali/menit). Pasien yang lebih
muda atau lebih parah mungkin membutuhkan 240-480 mg/hari.
 β-Blocker kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung (CHF)/asma. Jika
kontraindikasi dengan semua golongan β-bloker, bisa menggunakan
simpatolitik seperti klonidin, verapamil, dan untuk mengontrol kanal kalsium
(diltiazem).

(Kravets, 2016)

21
Iodin Radioaktif

 Sodium iodide-131 adalah cairan oral yang berkonsentrasi pada tiroid


dengan memutus sintesis hormon yang masuk kedalam hormon tiroid dan
tiroglobulin.
 RAI adalah agen pilihan untuk penyakit Graves, nodul otonom beracun, dan
goiter multinodular beracun. Kontraindikasi untuk penggunaan RAI ini yaitu
kehamilan.
 RAI dapat merusak sel tiroid tanpa perlu pembedahan, sehingga terjadi
penurunan produksi hormon tiroid.
 Onset dari penggunaan RAI ini sangat lama, maka untuk menghindari
terjadinya hipertiroid storm atau berat diperlukan pemberian methimazole
(MMI) dan β-bloker sebelum terapi radioaktif.
 Komplikasi pembedaha dapat diterapi apabila hipotiroidisme post operative
 diberikan Ca 1250-1500 mg/hari dan Calcitriol 0,5 mcg/hari dan Reduce
gland vasculity  dapat diberikan Iodida sebelum pembedahan.

(Koda-Kimble dkk., 2009)

Terapi Tiroid Storm

22
Merupakan gejala hipertiroid berat yang dapat mengancam jiwa ditandai
dengan demam tinggi, takikardi, takipnea, dehidrasi, gangguan GI, dan koma.
Berikut terapi yang digunakan untuk penyakit tiroid storm diantaranya:

(DiPiro dkk., 2015)

23
BAB 3. PEMBAHASAN KASUS

P h a r m ac e u ti c a l C a r e P l a n

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. M
Umur : 49 tahun BB: -
TB :-
Tanggal MRS : 18 September 2016
Tanggal KRS :
Diagnosis : Thyroid strom, UTI, Suspect pneumonia, post cardiac
arrest

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
- Batuk ± 2 hari
- Hati bengkak ± 1 minggu
- Ikterus ± 2 hari

2.2. Riwayat Penyakit : -

2.3. Riwayat Pengobatan : -

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial : -

2.5. Alergi obat : -

24
III.OBJEKTIF
A. Tanda- tanda klinik

Parameter Nilai Tanggal


Normal 18 19 20 21 22 23 24
Suhu (C) 36,5 -37,2 39 37,4 38,2 37 37,6 36,3 36,4
Tekanan darah (mmHg) <120/80 120/60 113/48 92/52 134/61 135/48 137/74 112/48
Nadi (x/menit) 70-100 114 80 95 92 76 72 76
RR (x/menit) 12-20 30 10 21 27 25 24 26
GDA (mg/dl ) <200 126 146 130 110 63 116 242

B. Data laboratorium

Parameter Nilai Tanggal


Normal 18 19 20 21 22 23 24
Hb (g/dL) 13-18 7,9 - 9,9 9,2 - 13,5 14,2
Hematokrit (%) 35-50 23,8 - 27,9 29,2 35,8 43,0 47,9
WBC /µL 3,5-10,5 6,72 - 23,99 15,66 - 22,28 40,94
PLT 170-380 108 - 377 49 - 105 47
SGOT (U/L) 5-35 60 - - 1102 - - -
SGPT (U/L) 5-35 23 - - 285 - - -
Albumin (%) 3,5-5 2,4 - - 2,6 2,7 - -
Calcium (mEq/L) 8,4-10,2 6,5 - - 6 - 5,3 6,7
Na darah (mEq/L) 135-145 131 - - - - 131 130
K darah (mEq/L) 3,6-5,2 - - - - 5,5 6,1 6,1
Bilirubin - +3 - - - - - -
Protein - +2 - - - - - -
Bilirubin direk (mg/dL) ≤0,4 17,7 - - 16,93 - - -
Bilirubin total (mg/dL) ≤1,4 22,38 - - 23,91 - - -
Bilirubin indirek 4,68 - - 6,98 - - -
24
T3 total (ng/dL) 70-190 3,53 - - - - - -
T4 total (ug/dL) 5-12 188,97 - - - - - -
TSH sensitif (µlU/mL) 0,25-5 0,005 - - - - - -
pH 7,35-7,45 7,26 6,83 - 7,21 7,34 7,24 -
pCO2 35-45 29 58 - 30 31 31 -
pO2 75-100 78 172 169 - 235 54 -
PT (detik) 10-15 21 - - 35 - 49 -
Bakteri 3117,0 - - - - - -

IV. TERAPI PASIEN

Tanggal
Nama Regimen dosis Rute Pemberian
18 19 20 21 22 23 24
O2 - - √ √ √ √ √ √ √
NS 20 tpm IV √ √ √ √ √ √ √
Paracetamol 1x1 g IV √
Ranitidin 2x50 mg IV √
Ondansetron 2x4 mg IV √
Amiodaron Loading dose: 150 mg IV √
PTU 4x250 mg IV √ √ √ √ √ √ √
Dexamethasone 4x2 mg IV √ √ √ √ √ √
Lugol 4x10 tetes PO √ √ √
Thyrozol 2x20 mg PO √
Albumin 25% 100 ml IV √ √ √ √
Propanolol 3x40 mg PO √ √ √

25
Furosemide 2x20 mg IV √ √ √ √ √ √
NS 100 cc + Na
- IV √ √ √ √ √ √
bicarbonat
Octid 6 ampul IV √ √ √
Vitamin K 3x2 mg IV √ √ √ √ √ √
PRC 1 kantong IV √ √
Plasma 600 ml IV √ √
ComafusinHepar 8 tpm IV √ √
NS 500 ml +
aminofluid 500 - IV √
ml
Digoxin 1x0,5 mg PO √
D40% 2x25 ml IV √ √
Sucralfat 3xCI PO √ √ √ √
Dopamin 0,5 mcg IV √ √ √ √ √ √
Omeprazole 2x40 mg IV √ √ √ √ √ √
Levofloxacin 1x500 mg IV √ √ √
Meropenem 3x1 g IV √ √ √
Lesichol 3x1 PO √ √ √
Ursodeoxycholic
3x250 mg PO √ √ √ √ √ √
acid
NS 100 cc + - IV √ √ √ √ √

26
Cagluconas
Norepinephrine 0,35 mcg IV √ √ √ √ √ √
Digoxin 1x0,5 mg IV √
Midazolam 2 mg/jam IV √ √
Propofol 50 mg IV √
RD5 - IV √ √
D5 500 cc IV √ √
Aminoleban 20 tpm IV √ √ √ √
TC - IV √
D10% 20 tpm IV √

V. ANALISIS SOAP

Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Tyroid strom Obyektif : PTU PTU (Propiltiourasil) obat - Plan:
TSH↑ 4x250mg (iv) golongan thioureas yang Terapi dilanjutkan
T3↑ bekerja dengan menghambat
T4↑ sintesis hormon tiroid dan Monitoring:
menghambat konversi T4 TSH, T3,T4
menjadi T3.

27
Dosis:
500-1000mg/hari dilanjutkan
dengan 250mg tiap 4 jam (Ross
dkk., 2016)
Dexamethason Dexamethason merupakan Drug interction Plan:
4x2 mg (iv) golongan kortikosteroid yang Terapi dilanjutkan
digunakan sebagai tatalaksana Deksametason +digoksin
terapi tyroid strom untuk à hipokalemia dan Monitoring:
mencegah adrenal insufisiensi, retensi natrium yang Kadar glukosa,
menstabilkan tekanan darah dan dapat menyebabkan kalium dan natrium
sebagai antipiretik (Dipiro dkk, edema (drugs.com)
2015).

Dosis :
Dexamethason 5-20mg/hari
Lugol Lugol merupakan iodida yang Dosis too high Plan: penurunan
4x10 tetes (po) bekerja dengan mengambat dosis.
sintesis dan pelepasan hormon Direkomendasikan 5
tiroid (Dipiro dkk,2015) tetes setiap 6jam

Monitoring:
TSH, T3,T4

Thyrozol Thyrozol (methimazole) Dosis too low Plan :


2x20 mg (po) merupakan golongan thioureas peningkaan dosis.
yang bekerja dengan Dosis yang
menghambat produksi hormon direkomendasikan
tiroid dengan menganggu 60-80mg/hari.
proses iodinasi pada residu
tirosin dan tiroglobulin. Monitoring:

28
Dosis thyrozol: TSH, T3,T4
30-60mg/hari (Dipiro dkk,
2015)

Propanolol Propranolol merupakan obat Ineffective drug therapy Plan:


3x40mg (po) golongan β-blocker digunakan Terapi dilanjutkan
untuk memperbaiki gejala untuk di tappering,
tirotoksik seperti palpitasi, karena penggunaan
kecemasan, tremor, dan propranolol tidak
intoleransi panas. Propranolol boleh diberhentikan
juga dapat digunakan untuk secara tiba-tiba.
mencegah terjadinya Thyroid
Storm (DiPiro 9th edition, Monitoring:
2015). Tekanan darah, nadi,
Penghentian β-blocker secara dan suhu
tiba-tiba dapat memperburuk
gejala hipertiroidisme (DIH
17th edition, 2009).

Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
UTI (Urinary Subyektif : Levofloxacin Levofloxacin merupakan - Plan :
Tract Infection ) Batuk ± 2 hari 1x500mg (iv) antibiotik golongan Terapi dilanjutkan
dan Obyektif : fluorokuinolon yang mempunyai
Suspect WBC↑ spektrum luas. Levofloxacin dapat Monitoring :
pneumonia Bilirubin + digunakan untuk pengobatan Fungsi ginjal dan hati
Protein + community-accuired pneumonia
29
Bakteri ↑ (CAP) (DIH 17th edition.

Dosis iv untuk CAP 500 mg


setiap 24 jam selama 7-14 hari
atau 750 mg setiap 24 jam selama
5 hari (DIH 17th edition).

ISK Complicated:250 mg sekali


sehari selama 10 hari atau 750 mg
sekali sehari selama 5 hari (DIH
17 th edition)

Meropenem Meropenem merupakan antibiotik - Plan:


3×1 g (iv) sepktrum luas dan merupakan Terapi dilanjutkan
antibiotik golongan beta lactam
dengan mekanisme kerja Monitoring :
menghambat sintesis dari dinding fungsi ginjal dan hati
sel bakteri

Dosis :
meropenem iv 0,5-1 g tiap 8 jam
(DIH 17th edition)

Paracetamol Paracetamol diindikasikan untuk - Plan :


1x1g (iv) antipiretik dan analgesik. Dosis Penggunaan
sebagai antipiretik pada orang paracetamol dapat
dewasa adalah 325-650 mg setiap diganti dengan
4-6 jam atau 1000 mg 3-4x/hari ibuprofen dengan
dan tidak boleh lebih dari 4 g/hari. dosis 200-400 mg
Efek samping dapat menyebabkan setiap 4-6 jam.
30
hepatotoksisitas pada penggunaan
over dosis atau penggunaan Monitoring :
jangka panjang (DIH, 17th Suhu tubuh.
edition).

 Penghentian terapi
parasetamol pada pasien
sudah tepat karena pasien
mengalami gangguan
fungsi hati yang ditandai
dengan tingginya kadar
bilirubin.

Ranitidin Ranitidin merupakan obat - Plan:


2x50 mg (iv) golongan histamine H2 antagonist Terapi dihentikan
yang bekerja dengan memblok Monitoring:
reseptor H2 sehingga menghambat
sekresi asam lambung
(drugs.com). Harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien
dengan gangguan hati dan ginjal
(DIH, 17th edition).

 Penghentian terapi
ranitidin pada pasien
sudah tepat karena pasien
mengalami gangguan
fungsi hati dan ginjal.
Ondansetron Ondansetron merupakan obat - Plan :
31
2x4 mg (iv) antiemetik golongan Antagonis terapi dihentikan
Reseptor 5-HT3 selektif yang
diindikasikan untuk pencegahan Monitoring : -
mual dan muntah yang
berhubungan dengan kemoterapi
kanker, radioterapi, serta
pencegahan mual dan muntah
pasca operasi (PONV). Sebaiknya
ondansetron tidak digunakan pada
pasien dengan gangguan fingsi
hati karena dapat menaikkan
kadar SGOT dan SGPT(DIH, 17th
edition).

 Penghentian terapi
ondansetron pada pasien
sudah tepat karena pasien
mengalami gangguan
fungsi hati yang ditandai
dengan tingginya kadar
SGOT dan SGPT.

Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &


Obyektif Monitoring

32
Post Cardiac Subyektif: Amiodarone Amiodaron merupakan Drug intercation Plan :
Arrest -Obyektif: loading dose antiaritmia yang bekerja dengan
TD ↓ tgl 19-24 150mg (iv) menghambat stimulasi Amiodarone+deksametasonà Monitoring:
RR↓ tgl 19 dan adrenergik (DIH 17th). menurunkan konsentrasi tekanan darah, RR
↑ 20-24 amiodarone sehingga dan HR
HR ↑ tgl 18 menyebabkan kegagalan
terapi.
pCO2 
pO2 

Digoxin (po) Merupakan glikosida jantung Drug interaction Plan:


1x0,5 mg yang digunakan untuk tata  Penggunaan bersama gol Disarankan terapi
laksana gagal jantung, aritmia loop diuretik dihentikan
supraventrikuler dan mengontrol (furosemide) dapat
laju ventrikel pada fibrilasi atrial mengakibatkan
kronis. hypokalemia (Medscape)
(DIH 17th).
Digoksin merupakan obat  Penggunaan bersama
golongan anti aritmia yang dengan golongan PPI
memiliki mekanisme kerja yaitu mengakibatkan
memendekan periode refraktor peningkatan kadar serum
sel-sel miokard atrium dan dari digoxin (DIH 17th)
ventrikel (DIH 17th) dan dapat
membantu menormalkan denyut
jantung.

Digoxin Merupakan golongan glikosida Drug Interaction Plan:


1x0,5 mg jantung yang diindikasikan Digoxin + Deksametason  Terapi dihentiksn
(i.v) untuk gagagl jantung kongestif, hiponatremia
mempelambat laju ventrikel
33
pada takiaritmia, dan syok Digoxin + Furosemid 
kardiogenik (DIH 17th). hipokalemia

Dosis IV:
0,5-1 mg (DIH 17th).

Dopamin Merupakan obat vasopresor Dosis too low Plan:


0,5 mcg (iv) simpatomimetik. Digunakan Penggunaan dosis dopamin Disarankan
untuk terapi shock karena kurang meningkatkan dosis
penyakit jantung. penggunaan.
Menurut DIH 17th
dosis yang bisa
digunakan yaitu 1-5
mcg/kg/menit (iv)

Monitoring:
HR , TD

34
Norepinephr Merupakan golongan obat Dosis too low Plan : dosis
ine vasokonstriksi yang digunakan norepinephrine
0,35 mcg untuk mengobati hipotensi/syok direkomendasikan
(i.v) yang bertahan setelah ditingkatkan
penggantian volume cairan yang
adekuat (DIH 17th) dan untuk Monitoring :
pengobatan jantung (Pionas, tekanan darah
2015). Dosis secara IV yaitu 0,5-
1 mcg/menit dan dititrasi hingga
dosis 8-30 mcg/menit.

O2 Oksigen digunakan sebagai -


terapi suportif bagi pasien untuk Plan:
menurunkan hipoksia dengan
Cek saturasi
cara meningkatkan oksigen
oksigen pasien. Jika
dalam volume tidal dan
>95% terapi dapat
oksigenasi jaringan pada tingkat
dihentikan.
molekuler.

Dosis yang biasa digunakan:


2L/menit (DIH, 17th edition). Monitoring:
kadar saturasi O2

35
Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Sirosis Hati Subjektif: Albumin Albumin dan faktor koagulasi - Plan:
(hipoalbumin) - Hati bengkak adalah penanda aktivitas Terapi dilanjutkan.
- Ikterus sintetik hati dan digunakan
untuk memperkirakan : Monitoring:
Objektif: - fungsi hepatosit pada sirosis Nilai albumin,
- Albumin ↓ (DiPiro 9th edition, 2015). SGOT, SGPT, PT
- SGOT ↑ - Penggunaan albumin untuk
- SGPT ↑ kondisi hipoalbumin dengan
- Protrombin hipotensi secara injeksi
- Time (PT) ↑ dengan dosis 25% sebanyak
- Bilirubin 50 mL atau 100 mL (DIH
direk, 17th edition, 2009).
- Bilirubin total,
- Bilirubin
indirek↑
Furosemid Furosemid merupakan obat Unnecessary drug Plan:
2x20 mg (iv) golongan loop diuretic, pada therapy Terapi dihentikan
pasien dengan kondisi sirosis
penggunaan furosemid Monitoring:
dikombinasikan dengan -
spironolakton.

Dosis : 40 mg (furosemid) dan


100 mg (spironolakton) 1x1
hari selama 3-5 hari (DiPiro
9th edition, 2015).
Octid Octid merupakan obat yang - Plan:

36
6 ampul (iv) memiliki kandungan Terapi dilanjutkan
octreotide. Pada kondisi pasien
yang mengalami resusitasi, Monitoring:
octreotide dapat digunakan Tekanan darah, Nadi,
dengan dosis 50mcg 3x/hari dan nyeri abdominal
(DIH 17th edition).

Lesichol Lesichol merupakan suplemen - Plan:


3x1 (po) yang mengandung Lechitin Terapi dilanjutkan
(ppc 95%), vitamin B1, B2,
B6, B12, vitamin E dan Monitoring :
nikotinamida yang berfungsi Fungsi ginjal dan hati
sebagai hepatoprotektor dengan pemeriksaan
digunakan untuk membantu darah
menunjang fungsi organ hati
agar tetap sehat, terutama jika
hati mengalami peningkatan
enzim hati saat dalam kondisi
sakit (MIMS).

Dosis lesichol:
300 3×1-2 kapsul
600 1×1 kapsul (MIMS)

Asam Asam ursodeoksikolat - Plan :


ursodeoksikolat digunakan untuk melarutkan Terapi dilanjutkan
3×250 mg (po) batu empedu, pencegahan batu
empedu pada pasien obesitas Monitoring :
yang mengalami penurunan Kadar bilirubin
37
berat badan yang cepat dan
Sirosis bilier primer (DIH 17th
edition)

Dosis untuk pencegahan batu


empedu : 300 mg 2kali sehari.

Comafusin Comafusin hepar merupakan - Plan :


hepar nutrisi parenteral asam amino Terapi dilanjutkan
8 tpm (iv) yang membantu
mengembalikan kesadaran Monitoring :
pre/koma hepatikum pada
gangguan fungsi hati

PRC PRC mengandung : Unnecessary drug Plan :


1 kantong (iv) - Eritrosit therapy Terapi dihentikan
- Hb ± 20 g/100 dl ( ≥ 45 Pada tanggal 23 Hb dan
g/unit) Hematokrit pasien Monitoring:
- Hct 55-75% normal nilai Hb dan
Penggunaan 1 unit PRC dapat hematokrit
meningkatkan 3% hematokrit.

38
Vitamin K Vitamin K berguna untuk - Plan :
3x2mg (iv) mencegah atau mengatasi Terapi dilanjutkan
perdarahan akibat defisiensi
vitamin K (Basic Monitoring :
pharmacology). PLT, Hb, Hct

Plasma Injeksi plasma digunakan - Plan :


600ml (iv) sebagai pengganti beberapa Terapi dilanjutkan
faktor koagulasi (pembekuan)
pada pasien dengan defisiensi Monitoring :
karena penyakit hati, menjalani PLT, Hb, Hct
operasi jantung dan
transplantasi hati. (Drugs.com)

TC (iv) TC (trombosit concentrate) - Plan :


diindikasikan untuk perdarahan Terapi dilanjutkan
akibat trombositopenia,
pencegahan perdarahan pada Monitoring :
pre operatif dengan trombosit PLT ,Hb, Hct
<50.000/microliter kecuali
pada operasi trepanasi dan
kardiovaskular dengan
trombosit ≤100.000 micro liter

39
Aminoleban .Aminoleban merupakan asam Plan :
20tpm (iv) amino untuk pengobatan Terapi dilanjutkan
ensefalopati pada pasien
penyakit hati kronis. Monitoring : -
Aminoleban merupakan nutrisi
yang mengandung asam amino,
karbohidrat, emulsi lemak dan
elektrolit ( N, Na, Cl).

Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Hipoglikemia Obyektif : Dextrose 5% Larutan dextrose 5% Duplicated drug therapy Plan :
Tgl 18-23 : 500cc (iv) merupakan infus perifer untuk Terapi dihentikan
GDA <200 RD 5 (iv) memberikan kebutuhan kalori
mg/dl dan penggantian cairan (DIH
Edisi 17) ,

40
Dextrose 10% Larutan dextrose 10% - Plan : terapi
20 tpm (iv) merupakan infus perifer untuk dilanjutkan
memberikan kebutuhan kalori
dan penggantian cairan (DIH Monitoring : kadar
Edisi 17) GDA

D40% D40% memiliki kandungan Duplicate Therapy Plan: terapi


2x25 ml (iv) glucose monohydrate. Penggunaan bersama dihentikan
Digunakan untuk mengatasi dengan D10%.
hipoglikemia pasien.

Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Mual dan Muntah - Sukralfat Sukralfat merupakan kompleks - Plan :
3x1C (po) aluminium hidroksida dan Terapi dilanjutkan
sukrosa sulfat. Mekanismenya
membentuk lapisan pada dasar Monitoring:
tukak sehingga melindungi dari Mual muntah pasien
pengaruh agresif asam
lambung dan pepsin (Basic
Pharmacology & Drug Notes)

41
Omeprazol 2x Merupakan obat golongan PPI. - Plan :
40 mg (iv) Memiliki mekanisme kerja Terapi dilanjutkan
menghambat kerja enzim
(K+H+ATPase) yang akan Monitoring:
memecah K+H+ATP sehingga Mual muntah pasien
dapat mengeluarkan asam
lambung dari kanalikuli sel
parietal lambung ke dalam
lumen lambung (Basic
Pharmacology & Drug Notes).

Pembahasan Tambahan :

Subyektif/Obye
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan &Monitoring
ktif
Subjektif: - Midazolam Diindikasikan untuk sedasi - Plan :
Objektif: 2 mg/jam( i.v) praoperasi, sedasi untuk Terapi dihentikan
Tgl 18/9/2016 tindakan diagnosa dan anestesi
TSH ↓, lokal serta indukasi anestesi Monitoring: -
HR↑114(takikar pasca operasi (DIH 17th;
di), Pionas, 2015)
42
Tgl 19- Dosis iv yaitu
24/9/2016 Praoperasi  0,02-0,04 mg/kg
TD↓ Pasca operasi  1-2,5 mg

Tgl 18-20,
22/9/2016
Suhu ↑

Tgl 18,20-24 RR
↑takipnea
Tgl 19/9/2016
RR ↓ bradipnea
Propofol Diindikasikan untuk induksi - Plan : Terapi
50 mg dan pemeliharaan anestesi dihentikan
untuk pasien operasi (DIH
17th). Monitoring: -

Dosis secara iv yaitu 25-50 mg


(DIH 17th; Pionas, 2015)
NS NS digunakan sebagai terapi - Plan :
20 tpm (iv) supportif untuk Terapi dilanjutkan
menyeimbangkan kembali
elektrolit tubuh seperti Monitoring :
mengembalikan ion natrium Kadar elektrolit
pada pasien hiponatremia (DIH
17th Edition).

NS 100cc + Na Natrium bikarbonat digunakan - Plan:

43
bicarbonat (iv) untuk terapi pada pasien Terapi dilanjutkan
hiperkalemia dengan dengan dosis 50–100
mekanisme kerja mEq (50–100 mmol)
meningkatkan serum pH selama lebih dari 2-5
(DiPiro 9th edition, 2015). menit.

Monitoring:
Kadar Kalium

NS 100cc + Ca Kalsium glukonat merupakan Plan :


glukonas (iv) suplemen yang digunakan Terapi dilanjutkan
untuk pengobatan dan
pencegahan hipokalsemia, Monitoring :
gangguan jantung karena Kadar kalsium dalam
hiperkalsemia (DIH 17th darah
edition
NS 500ml + Aminofluid digunakan untuk Unnecessary drug Plan :
aminofluid 500ml suplai elektrolit, glukosa, dan therapy Terapi dihentikan
(iv) asam amino pada kondisi
asupan oral tidak adekuat pada Monitoring : -
sebelum dan sesudah operasi.

44
45
PEMBAHASAN

1. Thyroid strom
Pasien Ny. M di diagnosis Thyroid storm, UTI, suspect pneumonia,
post cardiac arrest. Pasien di diagnosis tyroid storm yang dapat dilihat dari
data laboratorium yaitu nilai TSH yang menurun serta T3 dan T4 yang
meningkat. Pasien diterapi dengan PTU, dexamethason, lugol, thyrozol dan
proponalol. Terapi yang diberikan kepada pasien sudah sesuai dengan
diagnosis. Namun dosis PTU, lugol dan thyrozol kurang sesuai. Berdasarkan
guidline dosis propranolol yang diberikan 60-80mg tiap 4 jam, tetapi menurut
kelompok kami tidak ditingkatkan karena akan memperparah kondisi jantung
pasien., Berikut adalah dosis yang direkomendasikan oleh American Thyroid
Association Guidelines for Diagnosis and Management of Hyperthyroidism
and Other Causes of Thyrotoxicosis :

Tabel 1. Tatalaksana terapi tiroid strom (Ross dkk., 2016)

Pasien mengalami mual muntah yang disebabkan oleh ISK dan


pembengkakan hati. Pada hari pertama pasien memperoleh terapi ranitidin dan
ondansentron. Namun terapi ini tidak dilanjutkan karena kedua obat tersebut dapat

46
memperparah kondisi kerusakan hati. Sehingga untuk mual muntahnya diterapi
dengan sukralfat dan omeprazol.

2. UTI (Urinary Tract Infection) dan Pneumonia


Diagnosis pasien masuk rumah sakit salah satunya karena mengalami UTI
(Urinary Track Infection). UTI atau yang sering disebut infeksi saluran kemih
(ISK) dapat didefinisikan sebagai kondisi terdapatnya mikroorganisme dalam urin
yang tak terhitung karena adanya kontaminasi. Mikroorganisme tersebut
berpotensi untuk menyerang jaringan saluran kemih dan struktur lain yang
berdekatan. Selain itu, pasien juga didiagnosa suspect pneumonia. Hasil
laboratorium yang mendukung penegakan diagnosa tersebut antara lain terjadinya
peningkatan nilai WBC dan bilirubin, selain itu adanya protein dalam urin dan
juga terdeteksi adanya bakteri yang jumlahnya sangat besar. Pada kondisi ini
pasien diberikan terapi beberapa obat termasuk antibiotik, antara lain:

1. Levofloxacin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon spektrum


luas dan dapat digunakan untuk pengobatan community-acquired
pneumonia (CAP) (DIH 17th edition, 2009). Terapi ini tidak terdapat
DRP, untuk planning terapi dapat dilanjutkan dengan memonitoring
fungsi ginjal dan hati.
2. Meropenem merupakan antibiotik golongan beta lactam sepktrum luas
dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dari dinding sel bakteri.
Terapi ini tidak terdapat DRP, untuk planning terapi dapat dilanjutkan
dengan memonitoring fungsi ginjal dan hati.
3. Parasetamol diindikasikan sebagai antipiretik dan analgesik. Efek
samping penggunaannya dapat menyebabkan hepatotoksisitas pada
penggunaan yang berlebihan atau penggunaan jangka panjang (DIH, 17th
edition, 2009). Penghentian terapi parasetamol pada pasien dirasa sudah
tepat, karena pasien mengalami gangguan fungsi hati yang ditandai
dengan tingginya kadar bilirubin. Plan dari kasus ini adalah penggunaan

47
paracetamol dapat diganti dengan ibuprofen dengan dosis 200-400 mg
setiap 4-6 jam dan dapat dimonitoring suhu tubuhnya.

3. Sirosis Hepatik
Pasien juga mengalami hati bengkak, berdasarkan data pasien dapat dilihat
pasien mengalami hipoalbumin, nilai SGPT dan SGOT tinggi dan nilai bilirubin
tinggi sehingga kami menduga pasien mengalami sirosis hati, selain itu sirosis hati
pasien kemungkinan menyebabkan pendarahan yang ditunujuka dengan data
laboratorium PLT rendah (trombositopenia), Hb rendah dan nilai hematokrit
rendah. Pada kondisi ini pasien diterapi dengan beberapa obat :

1. Albumin merupakan protein utama yang diproduksi oleh organ hati,


terapi ini sudah tepat digunakan untuk menangani hipoalbumin pasien.
2. Furosemid merupakan obat golongan loop diuretik, menurut kelompok
kami terapi dengan furosemid kurang tepat karena tidak
mengindikasikan adanya asites pada pasien sehingga terapi dihentikan.
3. Octid merupakan obat yang mengandung octreotid dimana secara luas
digunakan untuk terapi variceal hemorrhage, menurut kami terapi ini
tetap dilanjutkan karena adanya indikasi pendarahan dengan data klinis
terjadi penurunan Hb, hematokrit, dan PLT.
4. Lesichol merupakan suplemen untuk hepatoprotektor digunakan untuk
membantu menunjang fungsi organ hati agar tetap sehat, terutama jika
hati mengalami peningkatan enzim hati saat dalam kondisi sakit
(MIMS), menurut kami terapi tersebut sudah tepat untuk pasien yang
memiliki nilai SGOT dan SGPT tinggi.
5. Asam ursodeoksikolat digunakan untuk pencegahan batu empedu
(DIH 17th edition), terapi tersebut sudah sesuai karena dilihat dari data
laboratorium kadar bilirubin tinggi sehingga berpotensi menyebabkan
terbentuknya batu empedu.
6. Comafusin hepar merupakan nutrisi parenteral asam amino yang
membantu mengembalikan kesadaran pada gangguan fungsi hati,

48
menurut kelompok kami terapi tersebut telah sesuai karena pasien
sempat mengalami resusitasi (henti nafas) sehingga kemungkinan
pasien pernah tidak sadar sehigga diperlukan nutrisi tersebut.
7. PRC merupakan terapi untuk meningkatkan nilai Hb dan hematokrit
pasien, pada tanggal 19 pemberian PRC menurut kelompok kami tepat
karena antuk meningkatkan kadar hematokrit dan Hb pasien tetapi
untuk tanggal 23 terapi PRC kurang tepat karena kadar Hb dan
hematokrit pasien sudah normal, penggunaan PRC pada tanggal 23
menurut kelompok kami merupakan faktor peningkatan nilai
hematokrit diatas normal karena penggunaan PRC dapat meningkatkan
3% kadar hematokrit
8. Vitamin K berguna untuk mencegah atau mengatasi perdarahan, terapi
ini menurut kelompok kami sudah sesuai untuk mengatasi pendarahan
pasien.
9. plasma digunakan sebagai pengganti beberapa faktor koagulasi
(pembekuan) pada pasien dengan defisiensi karena penyakit hati
(Drugs.com). terapi tersebut sudah sesuai untuk mengatasi pendarahan
pasien.
10. TC (trombosit concentrate) diindikasikan untuk perdarahan akibat
trombositopenia, terapi tersebut menurut kami sudah sesuai untuk
mengatasi trombositopenia pasien dimana kadar PLT pasien sangat
rendah yaitu 47.
11. Aminoleban merupakan asam amino untuk pengobatan ensefalopati
pada pasien penyakit hati kronis, terapi tersebut menurut kami sudah
sesuai .

4. Post Cardiac Arrest

Pada kasus ini, pasien terdiagnosa post cardiac arrest yang merupakan
suatu kondisi hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, waktu
kejadiannya tidak bisa diperkirakan, dan gejala dan tanda tampak terjadi sangat
cepat (American Heart Association, 2010). Umumnya, manifestasi klinik dari

49
penyakit post cardiac arrest yaitu kecemasan, sesak nafas, nyeri dada, mual,
muntah, dan keringat berlebih. Berdasarkan data laboratorium pasien dapat dilihat
dari peningkatan nilai Rate Respiratory (RR), peningkatan nilai Heart
Respiratory (HR), tekanan darah turun (hipotensi), menurunnya nilai Pulse O2, dan
menurunnya nilai Pulse CO2. Terapi yang digunakan pada kasus ini antara lain:
1. Amiodarone 150 mg/i.vmerupakan obat golongan antiaritmia yang bekerja
dengan menghambat stimulasi adrenergik (DIH 17th). Menurut pendapat
kelompok kami, penggunaan amiodarone dalam mengatasi kasus penyakit
ini sudah sesuai. Akan tetapi, penggunaannya diperlukan monitoring terkait
tekanan darah pasien, nilai RR, dan nilai HR.
2. Norepinephrine 0,35 mcg/i.v merupakan obat golongan vasokonstriksi yang
digunakan untuk mengobati hipotensi/syok yang bertahan setelah
penggantian volume cairan yang adekuat (DIH 17th) dan untuk pengobatan
jantung (Pionas, 2015). Berdasarkan DiPiro, obat ini merupakan first line
terapi untuk post cardiac arrest. Menurut kelompok kami, penggunaan obat
ini pada terapi post cardiac arrest sesuai. Akan tetapi, kelompok kami
merekomendasikan untuk meningkatkan dosis norepineprin. Berdasarkan
DIH edisi 17th dosis secara i.v yaitu 0,5-1 mcg/menit dan dititrasi hingga
dosis 8-30 mcg/menit.
3. Digoksin merupakan glikosida jantung, golongan anti-aritmia yang
memiliki mekanisme kerja memendekan periode refraktor sel-sel miokard
atrium dan ventrikel (DIH 17th) dan dapat membantu menormalkan denyut
jantung. Digoxin pada terapi pasien, digunakan dengan dua rute pemberian,
awalnya pemberian rute intravena dengan dosis 0,5 mg (i.v) dan selanjutnya
diberikan rute per oral dosis 0,5 mg. Menurut kelompok kami, penggunaan
digoxin kurang tepat, dikarenakan banyak interaksi antara penggunaan
digoksin dengan obat lainnya. Misalnya saja, penggunaan digoksin bersama
dengan golongan kortikosteroid (dexametason) dapat mengakibatkan
hipokalemia. Penggunaan digoksin dengan golongan PPi (omeprazol) dapat
mengakibatkan peningkatan kadar serum dari digoxin (DIH 17th). Sehingga
kelompok kami menyarankan untuk menghentikan penggunaan digoxin,

50
karena berkaitan dengan interaksi yang terjadi dan untuk mengurangi efek
yang tidak diinginkan.
4. Dopamin 0,5 mcg (i.v)  dopamin merupakan obat vasopresor
simpatometik yang digunakan untuk terapi shock akibat penyakit jantung
(cardiac arrest).Menurut kelompok kami, penggunaan dopamin pada terapi
post cardiac arrest sudah tepat. Akan tetapi kami menyarankan peningkatan
dosis. Menurut DIH 17th dosis bisa digunakan yaitu 1-5 mcg/kg/menit (i.v).
5. O2 sebagai terapi suportif bagi pasien untuk menurunkan hipoksia dengan
cara meningkatkan oksigen dalam volume tidal dan oksigenasi jaringan
pada tingkat molekuler. Menurut kelompok kami, penggunaan terapi O2
bisa digunakan, monitoring saturasi 02 pasien. Apabila saturasi sudah >95%
terapi dapat dihentikan.

51
DAFTAR PUSTAKA

Cojic, M. dan L. Cvejanov-Kezunovic. 2017. Subclinical hypothyroidism -


whether and when to start treatment. Open Access Macedonian Journal of
Medical Sciences. 5(7):1042–1046.

Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

DiPiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, dan L. M.


Posey. 2015. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Tenth
Edition 9. New York: McGraw-Hill.

Wang, L. Y., A. W. Smith, F. L. Palmer, M. Tuttle, dan A. Mahrous. 2014. For


The Treatment Of Hypothyroidism: Prepared By The American Thyroid
Association Task Force On Thyroid Hormone Replacement. Thyroid
Cancer and Nodules. 25(3):1670–1751.

Wong, M. dan W. J. Inder. 2018. Alternating hyperthyroidism and


hypothyroidism in graves’ disease. Wiley Clinical Case Reports. 6(9):1684–
1688.

52

Anda mungkin juga menyukai