Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRATIKUM FARMAKOTERAPI IV

HIPERTIROID

Kelompok 2

• I Putu Nugraha (162200008)

• Ketut Amyati Puji Lestari (162200009)

• Lailia Rochmah (162200011)

• Ngakan Gede Sunuarta (162200012)

• Ni Ketut Ayu Priska Saraswati (162200013)

• Ni Komang Ayu Dewi Patni (162200014)

• Ni Komang Herni Sandiari (162200015)

JURUSAN FARMASI

PROGRAM STUDI S1 FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI

2018
TIROID

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit gangguan tiroid
2. Mengetahui klasifikasi penyakit gangguan tiroid
3. Mengetahui patofisiologi penyakit gangguan tiroid
4. Mengetahui tatalaksana penyakit gangguan tiroid (Farmakologi & Non-Farmakologi)
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit gangguan tiroid secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP

B. DASAR TEORI
1. Definisi
Tiroid merupakan kelenjar endokrin murni terbesar dalam tubuh manusia yang
terletak di leher bagian depan, terdiri atas dua bagian (lobus kanan dan lobus kiri).
Panjang kedua lobus masing-masing 5 cm dan menyatu di garis tengah, berbentuk
seperti kupu-kupu. Penyakit atau gangguan tiroid adalah salah satu kondisi kelainan
pada seseorang akibat adanya gangguan kelenjar tiroid, baik berupa perubahan bentuk
kelenjar maupun perubahan fungsi (berlebihan, berkurang atau normal).
Kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin
(T3). Pembentukan hormon tiroid dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik yang
melibatkan hormone Thyroid Stimulating Hormone (TSH). Bila produksi hormon tiroid
meningkat maka produksi TSH menurun dan sebaliknya jika produksi hormon tiroid
tidak mencukupi kebutuhan maka produksi TSH meningkat.
Hormon tiroid mempunyai peran yang sangat penting dalam proses metabolisme
(metabolisme protein, karbohidrat, lemak) dan aktifitas fisiologik pada hampir semua
system organ tubuh manusia, kekurangan maupun kelebihan hormon tiroid akan
mengganggu berbagai proses metabolisme dan aktifitas fisiologi serta mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan berbagai jaringan termasuk sistem saraf dan otak
(Kemenkes, 2015).
Gambar 1. Kelenjar Tiroid

2. Epidemiologi
Kelainan pada kelenjar tiroid merupakan kelainan endokrin terbanyak kedua di
dunia setelah diabetes. Sekitar 300 juta orang di dunia dilaporkan menderita kelainan
tiroid, namun lebih dari setengahnya tidak menyadarinya. India merupakan negara
dengan penderita kelainan tiroid paling banyak, yaitu sekitar 42 juta orang. Kelainan
kelenjar tiroid juga menjadi masalah kesehatan utama di Nepal dengan prevalensi
mendekati 30% dari populasi. Di Pakistan, 8 juta orang penduduk mengalami kelainan
tiroid akibat kekurangan yodium. Kelainan tersebut juga banyak terjadi di negara-
negara seperti Bangladesh, Bhutan, Burma, Sri Lanka, dan Thailand. Di Amerika
Serikat dengan jumlah penduduk lebih dari 275 juta, diperkirakan sekitar 20 juta orang
mengalami berbagai kelainan tiroid dan paling banyak terjadi pada perempuan.
Kelainan pada tiroid mencakup kondisi yang berkaitan baik dengan pengeluaran
berlebihan hormon tiroid maupun yang berkaitan dengan defisiensi hormon tiroid, serta
lesi massa tiroid. Di Indonesia, data statistik mengenai kelainan tiroid masih sangat
kurang. Berdasarkan hasil survei di seluruh Indonesia mengenai struma menunjukkan
peningkatan prevalensi Total Goitre Rate (TGR) dari 9,8% pada tahun 1998 menjadi
sebesar 11,1% pada tahun 2003. Angka TGR di Indonesia tersebut masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat, karena WHO memberi batas maksimal 5% (Crosby dkk,
2016).
3. Klasifikasi
3.1 Menurut kelainan bentuknya, gangguan tiroid dapat dibedakan dalam 2 bentuk :
a) Difus
Pembesaran kelenjar yang merata, bagian kanan dan kiri kelenjar sama-sama
membesar dan disebut struma difusa (tiroid difus)
b) Nodul
Terdapat benjolan seperti bola, bisa tunggal (mononodosa) atau banyak
(multinodosa), bisa padat atau berisi cairan (kista) dan bisa berupa tumor
jinak/ganas.
3.2 Menurut kelainan fungsinya, gangguan tiroid dibedakan dalam 3 jenis :
a) Hipotiroid
Hipotiroidisme merupakan sindroma klinis dan biokimia yang timbul akibat
dari berkurangnya produksi hormon tiroid. Hormon tiroid penting untuk
pertumbuhan normal dan perkembangan selama masa embrionik. Kekurangan
hormon tiroid selama masa perkembangan fetal dan neonatal akan menyebabkan
retardasi mental dan atau kretinisme. Lebih dari 95% penderita hipotiroidisme
mengalami hipotiroidisme primer atau tiroidal yang mengacu pada disfungsi
kelenjar tiroid itu sendiri. Apabila disfungsi tiroid disebabkan oleh kegagalan
kelenjar hipofisis, hipotalamus atau keduanya disebut hipotiroidisme sentral
(hipotiroidisme primer) atau pituitaria. Jika sepenuhnya disebabkan oleh hipofisis
disebut hipotiroidisme sekunder.
 Hipotiroid Primer
 Goiter : Tiroiditis Hashimoto, fase penyembuhan setelah tiroiditis,
defisiensi iodium
 Non-goiter : destruksi pembedahan, kondisi setelah pemberian iodium
radioaktif atau radiasi eksternal, agenesis, amiodaron.
 Hipotiroid Sekunder
Kegagalan hipotalamus (penurunan TRH, TSH yang berubah ubah, penurunan
T4 bebas) atau kegagalan pituitari (penurunan TSH, penurunan T4 bebas).

b) Hipertiroid
Hipertiroid adalah keadaan di mana terjadi peningkatan kadar T4, T3 atau
keduanya di dalam jaringan. Menurut National Health and Nutrition
Examination Survey III, 0,2% pasien yang tidak mendapat terapi tiroid dan tidak
memiliki riwayat penyakit tiroid, menderita “subclinical hyperthyroidism” (TSH
< 0,1 mUI/L dan T4 normal), dan 0,2% menderita “clinically significant”
hipertiroid (TSH < 0,1 mUI/L dan T4 > 13,2 mcg/dL). Prevalensi penekanan
TSH memuncak pada usia 20-39 tahun, kemudian menurun pada usia 40-79
tahun, dan meningkat lagi pada usia 80 tahun ke atas. Peningkatan dan
penekanan kadar TSH lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pada pria.
c) Eutiroid
Keadaan tiroid yang berbentuk tidak normal tapi fungsinya normal.
(Kemenkes 2015 dan Penuntun Farmakoterapi IV
2018).

4. Etiologi dan Patofisiologi


4.1 Hipotiroid
Hipotiroid dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau
hipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka kadar
hormon tiroid yang rendah akan disertai oleh peningkatan kadar TSH dan TRH,
karena tidak adanya umpan balik negatif oleh hormon tiroid pada hipofisis anterior
dan hipotalamus. Apabila hipertiroidisme terjadi akibat malfungsi hipofisis, maka
kadar hormon tiroid yang rendah disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan
menyebabkan rendahnya kadar hormon tiroid, TSH, dan TRH. Pada Hashimoto’s
Thyroiditis, ada kerusakan limfosit T supresor yang menyebabkan limfosit T helper
berinteraksi dengan antigen spesifik pada membran sel folikuler thyroid. Limfosit B
akan terpacu untuk memproduksi autoantibodi yang menyerang kelenjar tiroid,
mengakibatkan kerusakan kelenjar tiroid dan memacu hipotiroidisme.
4.2 Hipertiroid
Hipertiroid dapat terjadi akibat overproduksi endogen atau dikombinasi dengan
sekresi hormon tiroid yang bersifat iatrogenic yang diakibatkan oleh pemberian
hormon tiroid atau obat lain yang mampu menginduksi tiroiditis. Penyebab
hipertiroidisme endogen yang paling umum adalah :
a) Graves disease
b) Toxic multinodular goiter
c) Toxic adenoma
d) Thyroiditis

5. Tanda dan Gejala Penyakit/Gangguan Tiroid


5.1 Hipotiroid
Kekurangan hormon tiroid mengakibatkan perlambatan proses metabolik di
dalam tubuh manusia. Gejala dan tanda hipotiroid adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Tanda dan Gejala Hipotiroid

5.2 Hipertiroid
Kelebihan hormon tiroid menyebabkan proses metabolik dalam tubuh
berlangsung cepat. Gejala dan tanda hipertiroid adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Tanda dan Gejala Hipertiroid


(Kemenkes,
2015).
6. Faktor Resiko
6.1 Umur
Usia di atas 60 tahun maka semakin berisiko terjadinya hipotiroid atau hipertiroid
6.2 Jenis kelamin
Perempuan lebih berisiko terjadi gangguan tiroid
6.3 Genetik
Di antara banyak faktor penyebab autoimunitas terhadap kelenjar tiroid, genetic
dianggap merupakan faktor pencetus utama
6.4 Merokok
Merokok dapat menyebabkan kekurangan oksigen di otak dan nikotin dalam rokok
dapat memacu peningkatan reaksi inflamasi
6.5 Stres
Stress juga berkolerasi dengan antibodi terhadap antibodi TSH-reseptor
6.6 Riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan autoimun
Merupakan faktor resiko hipotiroidisme tiroiditis autoimun
6.7 Zat kontras yang mengandung iodium
Hipertiroidisme terjadi setelah mengalami pencitraan menggunakan zat kontras
yang mengandung iodium
6.8 Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit tiroid
Amiodaron, lithium karbonat, aminoglutethimide, interferon alfa, thalidomide,
betaroxine, stavudine
6.9 Lingkungan
Kadar iodium dalam air kurang
(Kemenkes,
2015).
7. Diagnosis
Penegakan diagnosis gangguan tiroid selain berdasarkan tanda dan gejala, juga
memerlukan pemeriksaan laboratorium yaitu minimal diketahui kadar TSH, hormon
Triiodotironin (T3), dan Tiroksin (T4).
Tabel 3. Penegakan Diagnosis Gangguan Tiroid
(Dipiro, 2009).
8. Tatalaksana Terapi
8.1 Non Farmakologi
Terapi non farmakologi Hipotiroid dan Hipertiroid dengan cara pembedahan.
Pembedahan adalah pengobatan pilihan untuk pasien hipotiroid atau hipertiroid
dengan gondok besar, pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap atau menolak
terapi medis atau RAI, pasien dan pada wanita hamil yang gejalanya tidak dapat
dikendalikan, pasien yang mengalami reaksi alergi terhadap obat antitiroid.
Pembedahan aman dan efektif, dengan tingkat keberhasilan keseluruhan mencapai
92% ( Penuntun Farmakoterapi IV, 2018).

8.2 Farmakologi
a) Hipotiroid

Gambar 2. Inisiasi dan Pemantauan Pengobatan untuk Hipotiroidisme


(TSH = thyroid-stimulating hormone; T4 = tiroksin)
 Pengganti hormon tiroid
Dalam pengobatan hipotiroidisme, senyawa tiroksin dan triiodotironin yang
dipakai adalah isomer L (Levo). Isomer ini digunakan karena memiliki
aktifitas yang jauh lebih tinggi daripada isomer dextro.
Tiroksin diabsorbsi paling baik di duodenum dan ileum. Akan tetapi tingkat
absorpsinya dipengaruhi oleh keasaman lambung, flora saluran cerna,
makanan, dan obat lainnya. Absorpsi melalui jalur oral T3 sekitar 95%,
sedangkan Levotiroksin 80%. Absorpsi Levotiroksin dihambat oleh sukralfat,
resin kolestiramin, Fe, kalsium, dan Al(OH)3. Absorpsi T3 dan T4 sangat
menurun di ileus pada pasien yang mengalami myxedema, oleh karena itu
jalur parenteral digunakan. Jalur parenteral yang digunakan adalah intravena.
Waktu paruh T3 dan T4 menurun pada pasien hipotiroidisme bila
dibandingkan pada orang normal. Eksresi bilier dapat meningkat oleh obat
yang menginduksi enzim sitokrom, misalnya rifampin, phenobarbital,
carbamazepine, phenytoin, imatinib, protease inhibitors, sehingga
meningkatkan eksresi melalui empedu.
Mekanisme kerja pengganti hormone tiroid sama dengan hormone tiroid yang
disintesis secara alamiah dari kelenjar tiroid. Jaringan memiliki jumlah
reseptor tiroid yang tidak sama, oleh karena itu jaringan tubuh dapat dibagi
menjadi yang sensitive (hipofisis, hati, jantung, otot rangka, usus, dan ginjal)
dan yang tidak sensitive (limpa, testis) terhadap tiroid.
Preparat pilihan untuk pengganti hormone tiroid adalah levotiroksin.
Levotiroksin memiliki waktu paruh yang panjang(7 hari), lebih stabil, tidak
menimbulkan alergi, murah, dan konsentrasinya dalam plasma mudah
diukur. Pemakaian Levotiroksin sekali sehari 100 mikrogram. Alasan lain
pemakaian Levotiroksin sebagai obat pilihan adalah kelebihan T4 dapat
diubah menjadi T3.
Liotironin (T3) memiliki efek yang lebih poten daripada levotiroksin. Namun
liotironin jarang dipakai karena waktu paruhnya yang singkat (24 jam), lebih
mahal, dan sulit untuk memonitor kadarnya dalam plasma (Katzung, 2012).

b) Hipertiroid
Tabel 4. Pengobatan Hipertiroid Akibat Grave’s Disease
Tabel 5. Terapi Farmakologi untuk Hipertiroid

 Thioureas (Thionamides) : propylthiourasil (PTU), carbimazole, tiamazole,


methimazole.
Obat pilihan pertama untuk hipertiroid.
Mekanisme kerja : menghambat sintesis hormon tiroid dengan menghambat
secara kompetitif enzim tiroid peroksidase dari kelenjar tiroid; menghambat
konversi T4 ke T3.
 Inhibitor Anion : Iodium, Iodida (bekerja sangat cepat untuk tirotoksikosis
dan krisis tirotoksikosis tapi tidak dapat digunakan untuk terapi
hipertiroidisme jangka panjang karena efek anitiroidnya cenderung
menghilang), Perklorat kalium (sudah tidak digunakan lagi karena resiko
anemia aplastic)
Mekanisme kerja : Menghambat sintesis hormone, Menghambat pelepasan
hormon ke aliran darah, Mengurangi ukuran dan vaskularisasi kelenjar
hiperplastik tampak setelah 10-14 hari pengobatan (persiapan pasien untuk
tiroidektomi).
 Iodida radioaktif (RAI) : Iodida radioaktif yang sering digunakan adalah
131I.
Mekanisme kerja : 131I memancarkan sinar β dan γ. Iodium radioaktif
terkumpul dalam folikel. Pancaran sinarnya menghancurkan parenkim tiroid.
 Beta Blocker : Propanolol atau Atenolol untuk mengurangi gejala tirotoksik
seperti palpitasi, cemas, tremor, dan tidak tahan panas.
Mekanisme kerja : mengurangi denyut jantung dan secara parsial menghambat
konversi T4 menjadi T3 (mengurangi gejala simpatis dari hipertiroidisme)
(Katzung, 2012).

C. ALAT DAN BAHAN


1. ALAT
a) Form SOAP
b) Form Medication Record
c) Catatan Minum Obat
d) Kalkulator Scientific
e) Laptop dan koneksi internet
2. BAHAN
a) Text book
b) Data nilai normal laboratorium
c) Evidence terkait (journal, systematic review, meta analysis)

D. STUDI KASUS
1. Hipotiroid
Nyonya RW, 45 tahun, seorang ibu rumah tangga, berkunjung ke poliklinik karena
mengalami peningkatan berat badan sebesar 10 kg dalam setahun terakhir ini. Pasien
lemah, mengalami penurunan daya ingat, bicaranya lamban dan berat, konstipasi,
kulitnya menebal dan intoleransi dingin. Tidak terlihat pembesaran kelenjar tiroid.
Hasil Pemeriksaan Fisik
BB : 60 kg
Tinggi badan : 155cm
BMI : 24,97
TD : 125/75 mmHg
HR : 58 kali permenit
RR : 16 kali per menit
Suhu : 36,50C
Hasil Laboratorium
TSH serum : 11 mIU/L
T4 bebas : 0,4 ng/dL
Total T4 : 3 mcg/dL
Total T3 : 110 ng/dL
CBC : Hb  11 mg/dL
Total kolesterol serum : 210 mg/dL
LDL : 150 mg/dL
HDL : 60 mg/dL
TG : 135 mg/dL
BUN : 20 mg/dL
SCr : 0,8 mg/dL
Tidak ada alergi obat sebelumnya
Riwayat Pengobatan
Mulax 1 sachet 2 kali sehari selama 2-3 hari, efektif jika pasien konstipasi.
Diagnosis Dokter : hipotiroidisme , Hashimoto’s disease.

2. Hipertiroid
Ny. AK, 30 tahun mengeluh nerveous, lemah dan palpitasi yang semakin bertambah
sejak 6 bulan terakhir ini. Pada saat ini Ny AK merasakan sering mengeluarkan keringat
yang berlebihan dan tidak tahan menggunakan selimut pada saat tidur. Periode
menstruasi tetap teratur, tetapi kuantitasnya menurun. Tiroid Ny AK tidak terlihat
membesar dan tidak terlihat proptosis pada matanya.
Riwayat Pemeriksaan dan Data Lab
TB : 160 cm
BB : 50 kg
HR : 120 kali/menit
TD : 127/80 mmHg
TSH : 0,2 mIU/L
T4 total : 20 ug/dL
T3 : 400 ng/dL
T4 bebas : 3 ng/dL
Uptake resin T3 : 40%
Index tiroksin bebas : 5
WBC count : 6000

Riwayat Penyakit
Fungsi organ vital pasien dalam keadaan normal dan pasien belum pernah mengalami
sakit berat maupun kronis dan tidak punya riwayat alergi obat.
Diagnose : Hipertiroid
E. HASIL PRAKTIKUM
1. FORM SOAP
PHARMACEUTICAL CARE

PATIENT PROFILE

Ny AK

Jenis Kelamin : Perempuan Tgl. MRS :-


Usia : 30 Tahun Tgl. KRS :-
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 50 kg

Presenting Complaint
mengeluh nerveous, lemah dan palpitasi yang semakin bertambah sejak 6 bulan terakhir ini.
merasakan sering mengeluarkan keringat yang berlebihan dan tidak tahan menggunakan
selimut pada saat tidur. Periode menstruasi tetap teratur, tetapi kuantitasnya menurun.

Diagnosa kerja : Hipertiroid


Diagnosa banding :-

Relevant Past Medical History: Tidak ada

Drug Allergies:
Tidak Ada alergi obat
Data Laboratorium

Hasil pemeriksaan fisik

Berat badan 50 kg
Tinggi badan 160 cm
TD 127/80 mmHg
HR 120 kali/menit

Hasil Laboratorium
TSH serum 0,2 mIU/L
T4 bebas 3 ng/dL
Total T4 20 ug/dL
T3 400 ng/dL
Uptake resin T3 40 %
Index tiroksin bebas 5
WBC count 6000

No Further Information Jawaban Alasan


Required
1. Riwayat penyakit pasien Tidak ada untuk mengetahui etiologi
sebelumnya ? penyakit serta menentukan
penatalaksanaan selain
diagnose hipertiroid.

2. Riwayat penyakit Tidak ada Untuk menentukan faktor


keluarga? resiko genetika
3. Bagaimana life style Merokok (-) Untuk menentukan terapi
pasien ? merokok, alkohol alkohol (-) non farmakologi yang harus
? diberikan, dan untuk
memberikan edukasi
terhadap pasien.

4. Riwayat pengobatan Tidak ada Untuk mengetahui faktor


sebelumnya? resiko penyakit serta
mengasesmen
penggunaannya yang akan
dikombinasikan dengan
obat hipertiroid.
5 Apakah pasien pernah Tidak ada Untuk mengetahui
mengkonsumsi obat yang penyebab penyakit dan agar
dapat memicu hipertiroid? dapat menetukan terapi non
farmakologi
6 Apakah pasien sedang Ya, hamil Untuk memilihkan terapi
hamil? (trismester ke 2) yang sesuai dengan kondisi
pasien.

Problem List(Actual Problem)


Medical Pharmaceutical
Hipertiroid Masalah:
P1.3: indikasi yang tidak diterapi
SUBJECTIVE(symptom)
mengeluh nerveous, lemah dan palpitasi yang semakin bertambah sejak 6
bulan terakhir ini. merasakan sering mengeluarkan keringat yang berlebihan dan
tidak tahan menggunakan selimut pada saat tidur. Periode menstruasi tetap
teratur, tetapi kuantitasnya menurun.

OBJECTIVE(signs)
Hasil pemeriksaan fisik
Berat badan 50 kg
Tinggi badan 160 cm
TD 127/80 mmHg
HR 120 kali/menit

Hasil Laboratorium
TSH serum 0,2 mIU/L
T4 bebas 3 ng/dL
Total T4 20 ug/dL
T3 400 ng/dL
Uptake resin T3 40 %
Index tiroksin bebas 5
WBC count 6000

ASSESMENT

Nama Obat Indikasi Dosis DRP Keterangan


20-40 mg per
P1.3 : Ada Diberikan
hari
indikasi Methimazole,
Methimazole Hipertiroid tergantung
yang tidak untuk kehamilan
keparahan
diterapi trimester kedua.
penyakit
Hipertiroidi (penyakit Graves, PG) atau juga disebut tirotoksikosis adalah
suatu keadaan akibat peningkatan kadar hormon tiroid bebas dalam darah.
Dikenal beberapa penyakit yang dapat menyebabkan hipertiroidi dengan
penyebab tersering toxic diffuse goiter dan toxic nodular goiter, baik jenis
multinoduler maupun soliter (Sumanggar, 1981).

Pada kasus ini, pasien didiagnosa hipertiroid oleh dokter dan didukung
oleh hasil pemeriksaan laboratorium, dimana terjadi peningkatan kadar T3 dan T4
masing-masing menjadi 400 ng/dL dan 20 ug/dL dengan kadar TSH 0,2 mIU/L.
Saat ini pasien belum mendapatkan terapi untuk hipertiroid yang dialaminya
sehingga dapat dikategorikan mengalami DRP. Setelah dilakukan FIR, diketahui
pasien dalam keadaan hamil, sehingga kami merekomendasikan Methimazole.
Sesuai dengan guideline, methimazole (obat antitiroid) yang digunakan untuk ibu
hamil trimester kedua.

Evidence Terkait Terapi


Menurut carney et al, 2014, terapi dan adjustmen dosis methimazole pada pasien
hipertiroid dengan kehamilan sebagai berikut

Gambar 5.1 Penatalaksanaan Penyakit Tiroid pada Kehamilan

Pada kasus ini pasien sedang hamil trimester 2 sehingga methimazole aman
digunakan pada pasien ini. Jika dilihat dari aspek farmakokinetika obat,
methimazole lebih unggul dari PTU karena waktu paruh methimazole lebih
panjang dari PTU sehingga frekuensi konsumsi obat pada pasien ini lebih sedikit
dan hal tersebut juga akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam pengobatan.
Selain itu, berikut merupakan beberapa kelebihan methimazole jika dibandingkan
dengan PTU( Cooper S David, 2003):

Gambar 5.2 Perbandingan Obat Antitiroid

Gambar 5.3 Perbandingan Rekomendasi Antar Guideline

Tabel di atas membandingkan rekomendasi ATA dan Endocrine Society


tentang manajemen hipertiroid selama kehamilan. Penggunaan propylthiouracil
(PTU) telah direkomendasikan oleh kedua organisasi selama trimester pertama
kehamilan, diikuti oleh methimazole (MMI) setelah trimester pertama.

Gambar 4.1 Skoring untuk menentukan keparahan penyakit

Tidak ada pengobatan tunggal yang terbaik untuk semua pasien


hipertiroidisme. Pilihan yang tepat untuk perawatan akan dipengaruhi oleh usia,
jenis hipertiroidisme yang dimiliki, tingkat keparahan hipertiroidisme, dan
kondisi medis lainnya yang mungkin mempengaruhi kesehatan (American
Thyroid Association, 2018).

Gambar 4.2 Management pengobatan Grave’s Disease


Menurut The Indonesian Society of Endocrinology (2012) Anti Thyroid Drug
(ATD) disarankan pada pasien Grave’s Disease dengan kondisi sebagai berikut:
a. Pasien dengan kemungkinan remisi yang tinggi (pasien, terutama wanita,
dengan penyakit ringan, gondok kecil, dan TAKA negatif atau rendah
titer).
b. Elderly atau orang lain dengan komorbiditas meningkatkan risiko bedah
atau dengan harapan hidup terbatas.
c. Individu di panti jompo atau fasilitas perawatan lain yang mungkin
memiliki umur panjang terbatas dan tidak dapat mengikuti peraturan
keamanan radiasi.
d. Pasien dengan operasi sebelumnya atau leher yang disinari.
e. Moderasi-ke-berat Graves ophthalmopathy aktif (GO).
Ada 2 kelas ATD yang tersedia: thiouracil (propylthiouracil (PTU)) dan
imidazole (methimazole (MMI), carbimazole dan thiamazole). PTU disarankan
sebagai obat pilihan dalam kondisi berikut: selama trimester pertama kehamilan;
badai tiroid atau krisis tiroid; dan di antara mereka yang memiliki riwayat alergi
atau intoleransi terhadap obat anti-tiroid dan yang menolak untuk menjalani
yodium radioaktif atau terapi bedah. dosis awal, dosis yang lebih tinggi
disarankan (10-20 mg setiap hari) untuk mengembalikan euthyroidism, setelah itu
dosis dapat dititrasi ke tingkat pemeliharaan (umumnya 5-10 mg setiap hari).
Methimazole (MMI) memiliki manfaat administrasi sekali sehari dan mengurangi
risiko efek samping utama dibandingkan dengan PTU. Penilaian serum T4 bebas
harus diperoleh sekitar 4 minggu setelah memulai terapi, sampai tingkat
euthyroid dicapai dengan dosis minimal obat. Setelah pasien mengalami eutiroid,
pengujian biokimia dan evaluasi klinis dapat dilakukan pada interval 2–3 bulan.
Sebelum memulai terapi obat antitiroid, meminta tes darah awal, terutama jumlah
sel darah putih, bilirubin dan transaminase dapat dipertimbangkan.

Prognosis
Prognosis GD direfleksikan dengan baik dengan tingkat remisi dan relaps.
Tingkat remisi di kalangan orang dewasa lebih tinggi daripada anak-anak. ATD
dapat menyebabkan remisi permanen dalam 30-50% kasus. Jika kambuh terjadi
pada pasien GD yang diobati dengan ATD, maka terapi destruktif lebih mungkin
menjadi pilihan yang lebih tepat. Setelah 12-18 bulan pemberian ATD, sekitar
lebih dari 50% pasien akan mengalami kekambuhan. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa tingkat TSH-R Ab yang tinggi sebelum penghentian terapi
diduga terkait dengan tingkat relaps yang tinggi. Perbandingan T3 / T4 lebih dari
20 terkait dengan lebih dari 80% risiko kambuh. Tingkat TSH rendah 4 minggu
setelah penghentian ATD telah berkorelasi dengan kejadian kekambuhan pada
70% kasus. Ada korelasi antara volume tiroid dan aliran darah, di mana temuan
ini memperkuat korelasi yang diketahui sebelumnya antara struma besar dan
risiko tinggi untuk kambuh (The Indonesian Society of Endocrinology, 2012).

Kehamilan
Pasien dengan GD memerlukan pengobatan yang cepat dengan ATD dan
harus menjalani pemantauan sering untuk tanda-tanda hiper dan hipotiroidisme
janin dan ibu. ATD sekarang dianggap sebagai terapi utama untuk hipertiroid
selama kehamilan untuk membantu mencegah komplikasi perinatal.
Propylthiouracyl dan methimazole harus digunakan untuk hipertiroidisme
karena GD yang membutuhkan perawatan selama kehamilan. Propylthiouracil
harus digunakan ketika terapi obat antithyroid dimulai selama trimester pertama.
Methimazole harus digunakan ketika terapi obat antitiroid dimulai setelah
trimester pertama. Dosis awal PTU yang dianjurkan adalah 100 hingga 450 mg
setiap hari, tergantung pada gejala dan hasil tes fungsi tiroid. Total dosis dibagi
menjadi 3 dosis harian. Methimazole dapat dimulai pada 10 hingga 20 mg setiap
hari dalam 1 dosis. Dosis ATD harus dijaga serendah mungkin. Terapi
penggantian blok yang terdiri dari ATD plus levothyroxine tidak boleh digunakan
dalam kehamilan. Jika seorang wanita yang menerima terapi tersebut menjadi
hamil, terapi harus diubah menjadi ATD saja. Adrenergik blocker, seperti
propranolol, 10 hingga 40 mg setiap 4 hingga 6 jam, atau atenolol, 25 hingga 50
mg setiap hari, juga direkomendasikan untuk pengobatan gejala hiperadrenergik
hadir di hipertiroidisme, tetapi harus dihentikan setelah gejala membaik atau
dalam beberapa minggu pertama pengobatan.
TSH terdeteksi adalah indikasi untuk mengurangi dosis obat antitiroid.
Pasien yang mencapai euthyroidism dengan dosis minimal ATD dan memiliki
durasi singkat dari gejala, titer TRAb yang tidak terdeteksi atau rendah, dan
gondok kecil mungkin dapat menghentikan ATD selama 4 hingga 8 minggu
kehamilan. Menghentikan pengobatan sebelum usia kehamilan 32 minggu tidak
dianjurkan karena kemungkinan hipertiroid dapat kambuh.

Menyusui
Pemberian ASI dengan mengkonsumsi PTU dan Methimazole keduanya
muncul dalam ASI dalam konsentrasi kecil. Namun, karena potensi untuk
berkembang menjadi nekrosis hati baik ibu atau anak, penggunaan PTU pada ibu
adalah ATD yang lebih disukai pada ibu menyusui.

Radioaktif
Terapi dengan iodium-radioaktif dikontraindikasikan selama kehamilan.
Propiltiourasil dan karbimazol dapat diberikan tetapi tidak boleh
memberikan blocking-replacement regiment. Propiltiourasil dan karbimazol dapat
melewati sawar plasenta dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan goiter pada
janin dan hipotiroidisme. Dengan demikian dipakai dosis terkecil yang dapat
digunakan untuk mengontrol hipertiroid (pada Grave’s disease kebutuhan obat
cenderung menurun selama kehamilan). Meskipun jarang karbimazol jarang
dikaitkan dengan kejadian aplasia cutis pada neonatus. Karbimazol dan
propiltiourasil masuk dalam ASI tetapi hal ini tidak menghalangi pemberian ASI
selama tumbuh kembang bayi dimonitor secara ketat dan digunakan dosis obat
paling rendah yang efektif (Pionas, 2015).

Pada metode titrasi pemberian dosis disesuaikan dengan kondisi


hipertiroidisme masing-masing pasien. Dosis awal untuk methimazole 15 – 40
mg/hari diberikan single dose dan dosis awal untuk propylthiouracil 300 – 400
mg/hari diberikan multiple dose. Prinsip dari regimen dosis dengan metode titrasi
adalah mencapai kondisi euthyroid secepatnya dan menghindari kondisi
hipotiroidisme. Apabila kadar TSH serum meningkat dan kadar T4 telah
mencapai kondisi euthyroid maka dosis obat anti tiroid diturunkan hingga
mencapai dosis efektif minimal yang menghasilkan efek (Bartalena, 2011).
Menurut Abraham et al (2005), pemberian obat anti tiroid dengan metode titrasi
memberikan efikasi yang setara dengan metode block and replacement.
Keunggulannya efek samping berupa rash dan agranulositosis lebih jarang terjadi
pada metode titrasi. Namun pada metode ini durasi pengobatan yang dibutuhkan
lebih lama dibandingkan dengan metode block and replacement, rata-rata selama
12 – 24 bulan, dan perlu dilakukan kontrol rutin untuk mengetahui profil TSH
dan hormon tiroid darah untuk penyesuaian dosis.

PLANNING
Farmakologi
Nama Obat Indikasi Dosis
Disarankan menggunakan
Methimazole Hipertiroid Methimazole 2 kali sehari 10
mg.

Pengobatan hipertiroidisme pada kehamilan penting untuk menghindari


komplikasi ibu, janin, dan neonatus. Tujuan terapi hipertiroidisme pada
kehamilan adalah menormalkan fungsi tiroid dengan dosis obat antitiroid paling
minimal. Pengobatan ditargetkan agar kadar fT4 terdapat pada nilai batas atas
normal. Dosis obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan hipotiroidisme dan
struma pada janin. Pemantauan berkala setiap 2 minggu pada awal terapi dan
setiap 4 minggu bila target eutiroid sudah tercapai. Terapi obat anti-tiroid
sebaiknya tidak dihentikan sebelum kehamilan 32 minggu sebab dapat berisiko
terjadi relaps. Dua obat anti-tiroid yang efektif dan aman untuk mengendalikan
hipertiroidisme pada kehamilan, yaitu propiltiourasil (PTU) dan metimazol
Keduanya menekan sintesis hormon tiroid dengan cara menghambat organifikasi
iodium di dalam kelenjar tiroid. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah
aplasia kutis pada janin ibu hamil yang menggunakan metimazol. Namun secara
umum, keduanya aman digunakan pada kehamilan. Pada trimester I lebih
dianjurkan untuk menggunakan PTU karena terdapat risiko kelainan kongenital
yang pernah dilaporkan pada penggunaan metimazol, setelah kehamilan 12
minggu metimazol dapat digunakan. Dosis metimazol 20-40 mg per hari dibagi
dalam 2 dosis. Perbaikan klinis akan tampak sesudah beberapa minggu terapi,
fungsi tiroid akan normal dalam 3-7 minggu. Perbaikan klinis yang dimaksud
adalah kenaikan berat badan dan berkurangnya takikardi, sehingga dosis obat
anti-tiroid dapat diturunkan menjadi separuh ( Laurentius dan Nanang, 2016).

Terapi non farmakologi


1. Istirahat.
Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin
meningkat. Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang
melelahkan/mengganggu pikiran balk di rmah atau di tempat bekerja. Dalam
keadaan berat dianjurkan bed rest total di Rumah Sakit.
2. Diet.
Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara
lain karena : terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen yang
negatif dan keseimbangan kalsium yang negatif.
a. Makanan yang harus dihindari
 Garam beryodium
 Vitamin atau suplemen apa pun yang mengandung yodium
(terutama rumput laut dan dulse)
 Susu atau produk olahan lainnya termasuk es krim, keju, yogurt,
dan mentega
 Makanan laut termasuk ikan, sushi, kerang, rumput laut atau
rumput laut
 Suplemen herbal
 Makanan yang mengandung aditif carrageen, agar-agar, alginat,
atau nori
 Produk roti yang dibuat secara komersial yang dibuat dengan
kondisioner adonan yodium
 FD & C pewarna merah # 3 - ini muncul di ceri maraschino dan
kadang-kadang sebagai warna buatan merah muda / merah di
minuman
 Kuning telur, telur utuh dan makanan yang mengandung telur utuh
 Cokelat susu (karena kandungan produk susu)
 Blackstrap Molasses (molase yang tidak ditumbuk baik-baik saja)
 Produk kedelai (kecap, susu kedelai, tahu) [catatan: kedelai tidak
mengandung yodium. Namun, konsumsi kedelai yang tinggi telah
terbukti mengganggu penyerapan yodium radioaktif dalam
penelitian pada hewan.]
b. Makanan yang bisa dikonsumsi
 Garam yang tidak beryodium atau garam laut tidak beryodium
dapat digunakan sesuai keinginan
 Putih telur
 Roti buatan sendiri yang dibuat dengan garam dan minyak yang
tidak beryodium (bukan kedelai!) Bukan mentega atau susu atau
roti yang dipanggang secara komersial yang tidak mengandung
pengkondisi adonan iodat, produk susu, atau telur
 Buah dan sayuran segar
 Sayuran beku
 Gandum, produk sereal dan pasta tanpa bahan yodium tinggi
 Buah kaleng
 Kacang dan mentega tawar alami tanpa kacang (kacang, almond,
dll)
 Soda, bir, anggur, limun, jus buah
 Kopi atau teh. Tapi ingat, tidak ada susu atau krim dan tidak ada
creamer non-dairy berbasis kedelai!
 Popcorn muncul di minyak sayur atau udara yang muncul, dengan
garam yang tidak beryodium
 Lada hitam, rempah-rempah segar dan kering dan rempah-rempah,
semua minyak sayur
 Gula, selai, jelly, sirup maple madu
 Kerupuk
c. Tambahan lain
 Hindari makanan restoran karena tidak ada cara yang masuk akal
untuk menentukan restoran mana yang menggunakan garam
beryodium.
 Konsultasikan dengan dokter Anda sebelum menghentikan obat
berwarna merah atau obat apa pun yang mengandung yodium
(yaitu, Amiodarone, ekspektoran, antiseptik topikal).
 Hindari semua suplemen herbal (terutama ketika seseorang tidak
yakin berapa banyak yodium yang dikandungnya).

Monitoring
a. Efektifitas
Methimazole: evaluasi status tiroid pada pasien yang memakai ATD, dan penting
bahwa pasien memahami pentingnya. Penilaian T4 serum bebas harus diperoleh
minimal 4 minggu setelah memulai terapi, dan dosis pengobatan disesuaikan.
Serum T3 mungkin juga dimonitoring. Sesuai interval pemantauan setiap 4-8
minggu sampai tingkat euthyroid dicapai dengan dosis terapeutik yang minimal.
Setelah pasien mengalami eutiroid, uji biokimia dan evaluasi klinis dapat
dilakukan dengan interval 2–3 bulan. Pengukuran kadar T4 bebas dan kadar TSH
juga diperlukan sebelum memulai terapi emnggunakan ATD.

b. Efek samping
Methimazole: efek samping yang paling sering dilaporkan untuk penggunaan
ATD seperti methimazole adalah rash atau kemerahan pada kulit serta resiko
toksisitas pada organ hati.
2. Form Medication Record

Nama Pasien Tanggal Diberikan Waktu Nama Obat Dosis Obat Alergi Obat dan Tanda
Obat Pemberian Obat Reaksi Alergi Tangan
Apoteker
Ny. AK Seterusnya Setiap 12 jam Methimazole 10 mg Tidak ada
3. Form Medication Reminder

Nama Pasien : Ny. AK Dokter Pemeriksa : Dr .


Umur : 30 Tahun Apoteker : S.Farm., Apt

Nama Tanggal Pemberian Obat


Waktu
Obat Seterusnya Seterusnya Seterusnya Seterusnya
Methimazo Pagi    
le 10mg Siang
Sore
Malam    
F.KESIMPULAN

1. Hipertiroid adalah keadaan di mana terjadi peningkatan kadar T4, T3


atau keduanya di dalam jaringan
2. Patofisiologi Hipertiroid dapat terjadi akibat overproduksi endogen atau
dikombinasi dengan sekresi hormon tiroid yang bersifat iatrogenic yang
diakibatkan oleh pemberian hormon tiroid atau obat lain yang mampu
menginduksi tiroiditis
3. Tatalaksana penyakit Hipertiroid pada kasus ini yaitu Diberikan
Methimazole, untuk kehamilan trimester kedua dan terapi Non-
Farmakologi yaitu istirahat dan Diet harus tinggi kalori, protein,
multivitamin serta mineral. Hal ini antara lain karena : terjadinya
peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen yang negatif dan
keseimbangan kalsium yang negatif
DAFTAR PUSTAKA

Abraham, P., Avenell, A., Park, C.M., Watson, W.A. dan Bevan, J.S., 2005, A
Systematic Review of Drug Therapy for Graves’ Hyperthyroidism,
European Journal of Endocrinology 153, 489–498.

American Thyroid Association. 2018. Hyperthyroidism. American Thyroid


Association. Available at: www.thyroid.org

Bartalena, L., 2011, Antithyroid Drugs, Thyroid International 2, 3–15.

Carney RM, Rich MW, Freedland KE, Saini J, Tevelde A, Simeone C, et al, 2014
Major depressive disorder predicts cardiac events in patients with coronary
artery disease. Psychosom Med 1988 Nov-Dec; 50: 627-633

Cooper David, S. 2003, Obat Antitiroid dalam Pengelolaan Pasien dengan


Penyakit Graves: Pendekatan Berbasis Bukti untuk Kontroversi Terapi.
Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins, Divisi Endokrinologi,
Rumah Sakit Sinai Baltimore

Dipiro JT, Talbert RI and Yee GC. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic


Approach. 7th Ed.Syamford: Appleton & Lange, 2008.

Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook. 7th edition, Mc Graw Hill, New


York.

Dwicandra dkk, 2018. Penuntun Praktikum Farmakoterapi IV. Institut Ilmu


Kesehatan Medika Persada Bali-Indonesia.

Hueston William J., 2001. Treatment of Hypothyroidism. Medical University of


South Carolina, Charleston, South Carolina.

Katzung, B.G., 2012. Basic & Clinical Pharmacology 12th ed., USA: McGraw
Hill Companies.

Kementrian Kesehatan RI, 2015. Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid. ISSN
2442-7659

Kravets Igor, 2016. Hyperthyroidism: Diagnosis and Treatment. Stony Brook


University School of Medicine, Stony Brook, New York.
Sumanggar Ps. Thyrotoxicosis di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Palembang.
Dalam : Naskah Lengkap KOPAPDI V, Jilid I. Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNDIP — RS Kariadi, Semarang 1981, hal. 53.

The Indonesian Society of Endocrinology. 2012. Indonesian Clinical Practice


Guidelines for Hyperthyroidism. Philippines. Journal of Asean Federation
of Endocrines Societies. Volume 27(1). Page 34-39. Available at:
http://asean-endocrinejournal.org/index.php/JAFES/article/view/10

Anda mungkin juga menyukai