Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertiroid adalah salah satu bentuk tirotoksikosis yang disebabkan oleh peningkatan
sintesis dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Tirotoksikosis mengacu pada sindrom
klinis dari kelebihan hormon tiroid yang bersirkulasi, terlepas dari sumbernya. Penyebab
hipertiroidisme yang paling umum adalah penyakit Graves, diikuti oleh gondok nodular toksik.
Penyebab penting lainnya dari tirotoksikosis termasuk tiroiditis, disfungsi tiroid yang diinduksi
oleh yodium dan obat, dan konsumsi berlebihan dari hormon tiroid yang berlebihan.1

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar RI (RISKESDAS) prevalensi penyakit hipertiroid di


Indonesia adalah 0,6% pada wanita dan 0,2% pada pria. Dengan rincian pada usia 15-24 tahun
sebanak 0,4%, usia 25-34 tahun 0,3% dan diatas 35 tahun sekitar 0,5%. Hipertiroidisme
meningkat seiring bertambahnya usia dan lebih sering terjadi pada wanita. Hipertiroidisme
tampaknya lebih sering terjadi pada orang kulit putih dibandingkan ras lain. Insiden
hipertiroidisme juga dilaporkan lebih tinggi di daerah yang kekurangan yodium daripada di
daerah yang cukup yodium, dan menurun setelah pengenalan program iodisasi garam universal.2

Penyakit Graves (GD) tetap menjadi penyebab hipertiroidisme yang paling sering ditemukan
sekitar 60-80% dari semua kasus tirotoksikosis di seluruh dunia. Goiter multinodular toksik (15-
20% tirotoksikosis) terjadi lebih sering di daerah defisiensi yodium. 3 Pada penderita hipertiroid
keluhan yang sering kali di alami pasien seperti palpitasi, mudah lelah, dipneu d’effort, takikardi
(pada saat istirahat, tidak mampu melakukan kegiatan fisik). Takikardi dan aritmia merupakan
presentasi awal hipertiroid. 1

Pengobatan hipertiroid dapat dilakukan dalam 3 carai yaitu dengan menggunakan obat
anti tiroid (OAT) obat yang dapat digunakan adalah turunan thiourea yaitu
methimazole/carbimazole, atau prophylthiouracil), pengobatan dengan iodine radioaktif, atau
pembedahan. 14

1
Diabetes adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak menghasilkan
cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa), atau ketika tubuh tidak dapat
secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya menurut WHO (world health
organization) Sekitar 422 juta orang di seluruh dunia hidup dengan diabetes pada tahun 2014.
Prevalensi global diabetes diperkirakan 8,5% di antara orang dewasa berusia 18 tahun keatas.
Tahun 2012, diabetes adalah penyebab langsung dari 1,5 juta kematian. WHO memproyeksikan
bahwa diabetes akan menjadi penyebab kematian ke-7 pada tahun 2030. 4 Adapun Keluhan yang
dapat ditemukan pada penderita diabetes mellitus (DM) seperti Poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.5

Hormon tiroid maupun insulin mempunyai peranan penting dalam metabolisme seluler.
Disfungsi tiroid akan memberikan pengaruh negatif terhadap pengendalian DM dan
pengendalian glukosa yang buruk akan memberikan pengaruh buruk pada kerja hormon tiroid.
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara disfungsi tiroid dengan metabolisme
karbohidrat dan juga lipid. Resistensi insulin pada hipertiroid akan mengalami perbaikan setelah
kelainan endokrinnya diobati. Hal ini juga terbukti dari penelitian ini, bahwa walaupun memang
terjadi resistensi insulin, tetapi dengan memperbaiki dan mengatasi keadaan hipertiroidnya,
setelah pasien mencapai status klinis eutiroid/hipertiroid subklinis resistensi insulin ini juga ikut
membaik.6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertiroid
2.1.1. Definisi
Hipertiroid adalah kondisi yang terjadi ketika fungsi kelenjar tiroid menjadi tidak
normal sehingga menyebabkan produksi dan pelepasan hormon tiroid yang berlebihan.
Menurut American Thyroid Assotiation (ATA) hipertiroid adalah salah satu bentuk
tirotoksikosis yang disebabkan oleh peningkatan sintesis dan sekresi hormon tiroid oleh
kelenjar tiroid. Tirotoksikosis mengacu pada sindrom klinis dari kelebihan hormon
tiroid yang bersirkulasi, terlepas dari sumbernya. Penyebab hipertiroidisme yang paling
umum adalah penyakit Graves, diikuti oleh gondok nodular toksik. Penyebab penting
lainnya dari tirotoksikosis termasuk tiroiditis, disfungsi tiroid yang diinduksi oleh
yodium dan obat, dan konsumsi berlebihan dari hormon tiroid yang berlebihan.3,2,7

2.1.2. Epidemiology
Prevalensi hipertiroidisme sekitar 8% di Eropa sedangkan 3% di amerika serikat
(AS). Hipertiroidisme meningkat seiring bertambahnya usia dan lebih sering terjadi
pada wanita. Hipertiroidisme tampaknya lebih sering terjadi pada orang kulit putih
dibandingkan ras lain. Insiden hipertiroidisme juga dilaporkan lebih tinggi di daerah
yang kekurangan yodium daripada di daerah yang cukup yodium, dan menurun setelah
pengenalan program iodisasi garam universal. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar RI
(RISKESDAS) prevalensi penyakit hipertiroid di Indonesia adalah 0,6% pada wanita
dan 0,2% pada pria. Dengan rincian pada usia 15-24 tahun sebanak 0,4%, usia 25-34
tahun 0,3% dan diatas 35 tahun sekitar 0,5%. 2,3
Penyakit Graves (GD) tetap menjadi penyebab hipertiroidisme yang paling sering
ditemukan sekitar 60-80% dari semua kasus tirotoksikosis di seluruh dunia. Insiden
tahunan penyakit Graves ditemukan 0,5 kasus per 1000 populasi selama periode 20
tahun, dengan puncak kejadian pada orang berusia 20-40 tahun. 3,8

3
Goiter multinodular toksik (15-20% tirotoksikosis) terjadi lebih sering di daerah
defisiensi yodium. Kebanyakan orang di Amerika Serikat menerima yodium yang
cukup, dan kejadian goiter multinodular toksik pada populasi AS lebih rendah daripada
di daerah di dunia dengan kekurangan yodium. Adenoma toksik adalah penyebab 3-5%
kasus tirotoksikosis. Insiden penyakit Graves dan goiter multinodular toksik berubah
dengan asupan yodium. Dibandingkan dengan wilayah dunia dengan asupan yodium
yang lebih sedikit, Amerika Serikat memiliki lebih banyak kasus penyakit Graves dan
lebih sedikit kasus goiter multinodular toksik.9

Demografi terkait ras, jenis kelamin, dan usia

Penyakit tiroid autoimun terjadi dengan frekuensi yang sama pada orang
Kaukasia, Hispanik, dan Asia tetapi pada tingkat yang lebih rendah pada orang Afrika-
Amerika. Semua penyakit tiroid lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada
pria. Penyakit autoimun Graves memiliki rasio pria-wanita 1: 5-10. Rasio pria-wanita
untuk gondok multinodular toksik dan adenoma toksik adalah 1: 2-4. Ophthalmopathy
Graves lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria.9
Penyakit tiroid autoimun memiliki insiden puncak pada orang berusia 20-40
tahun. Goiter multinodular toksik terjadi pada pasien yang biasanya memiliki riwayat
goiter non toksik yang lama dan oleh karena itu biasanya muncul saat mereka berusia
lebih dari 50 tahun. Pasien dengan adenoma toksik hadir pada usia yang lebih muda
dibandingkan pasien dengan goiter multinodular toksik.9

Kematian dan morbiditas

Sebuah tinjauan pustaka oleh Varadharajan dan Choudhury menunjukkan bahwa


tingkat kanker tiroid yang terkait dengan hipertiroidisme tidaklah signifikan. Pada pasien
yang menjalani operasi untuk penyakit Graves, adenoma toksik, atau goiter multinodular
toksik, tingkat rata-rata keseluruhan kanker tiroid ditemukan menjadi 8,5%. Tingkat rata-
rata, khususnya keganasan pada penyakit Graves, adenoma toksik, dan goiter
multinodular toksik adalah masing-masing 5,9%, 6,5%, dan 12%. Mengenai subtipe
kanker, angka rata-rata untuk kanker tiroid papiler, karsinoma mikropapiler, dan kanker
tiroid folikuler masing-masing adalah 3,1%, 5,1%, dan 0,8%. 9

4
Sebuah studi oleh Kim et al melaporkan hipertiroidisme menjadi faktor risiko
infark miokard dan stroke iskemik pada wanita, orang berusia 50 tahun atau lebih, dan
individu non-obesitas, terlepas dari faktor risiko kardiovaskular. Namun, hipertiroidisme
tidak ditemukan berdampak signifikan pada kematian sekunder akibat kejadian
kardiovaskular. 9

2.1.3. Klasifikasi
Klasifikasi hipertiroid terbagi menjadi 3 bagian yaitu :
 Hipertiroid primer
Hipertiroidisme primer  berkaitan dengan kelenjar tiroid yang
memproduksi hormon dalam jumlah besar karena pertumbuhan jaringan
fungsional penghasil hormon yang tidak terkendali atau melalui proses autoimun
yang mengganggu kontrol umpan balik normal.10
 Hipertiroid sekunder
Hipertiroidisme sekunder dapat dikaitkan dengan stimulasi tiroid yang
berlebihan. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan produksi TSH dari
kelenjar pituitari atau tumor yang mensekresi TSH, atau lebih jarang dari produksi
TRH yang berlebihan dari hipotalamus atau tumor yang mengeluarkan hormon
pelepas tirotropin (TRH).10
 Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme

Tabel 1. Klasifikasi hipertiroid11

Hipertiroidism primer Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidism


hipertiroidism sekunder
 Grave’s disease  Subacute thyroiditis  TSH secreting
 Toxic multinodular  Silent thyroiditis pituitary adenoma
goiter  Other cause of  Sindrom hormone
 Toxic adenoma thyroid destruction thyroid resisten
 Functioning thyroid  Ingestion of thyroid  Kronik
carcinoma metastase hormon gonadotropin
sekresi tumor

5
 Tirotoksikosis
gestasional

2.1.4. Etiology

Penyebab paling umum dari hipertiroidisme di daerah yang cukup yodium


adalah penyakit Graves. Di Swedia, insiden tahunan penyakit Graves meningkat,
dengan 15-30 kasus baru per 100.000 penduduk di tahun 2000-an. Penyebab
penyakit Graves diperkirakan multifaktorial, yang timbul dari hilangnya toleransi
imun dan perkembangan autoantibodi yang merangsang sel folikel tiroid dengan
mengikat reseptor TSH. 3,12

Beberapa studi telah memberikan beberapa bukti untuk kecenderungan


genetik untuk penyakit Graves. Namun, tingkat kesesuaian pada kembar monozigot
hanya 17-35%, menunjukkan rendah penetrasi. Gen yang terlibat dalam penyakit
Graves adalah gen pengatur kekebalan (HLA wilayah, CD40, CTLA4, PTPN22, dan
FCRL3) dan autoantigen tiroid seperti tiroglobulin dan gen reseptor TSH. Faktor
risiko non-genetik untuk pengembangan Graves disease termasuk stres psikologis,
merokok, dan berjenis kelamin perempuan.12

Tingginya prevalensi penyakit Graves pada wanita, hormon seks dan faktor
kromosom, seperti Inaktivasi kromosom X, diduga menjadi pemicu. Faktor lainnya
seperti infeksi (terutama dengan Yersinia enterocolitica, akibat mekanisme
molekuler meniru dengan reseptor TSH), kekurangan vitamin D dan selenium,
kerusakan tiroid, dan obat imunomodulasi juga dicurigai Studi lebih lanjut untuk
memastikan lebih tepat peran faktor-faktor tersebut dalam penyebab penyakit Graves
sangat dibutuhkan.3

Penyebab umum hipertiroidisme lainnya adalah goiter multinodular toksik


dan toksik soliter adenoma. Meskipun di daerah yang cukup yodium sekitar 80%
penderita hipertiroidisme menderita Graves Disease, Goiter Multinodular Toksik,
dan Adenoma Toksik menyumbang 50% dari semuanya kasus hipertiroidisme di
daerah yang kekurangan yodium dan lebih dominan pada lansia. Nodul tiroid

6
menjadi otonom dan tidak bergantung pada hormon tiroid dari reseptor antibodi TSH
atau TSH. Penyebab yang kurang umum dari hipertiroidisme termasuk tirotoksikosis
yang diakibatkan oleh tirotropin dan tumor trofoblas, di mana reseptor TSH
dirangsang oleh kelebihan TSH dan human chorionic gonadotropin.3

Faktor genetik tampaknya mempengaruhi kejadian tirotoksikosis. Penyakit


tiroid autoimun Graves disease, sering terjadi pada banyak anggota keluarga.
Beberapa sindrom genetik telah dikaitkan dengan hipertiroidisme, terutama penyakit
tiroid autoimun. Sindrom McCune-Albright disebabkan oleh mutasi
pada gen GNAS . Gen ini mengkodekan subunit alpha G-protein, yang merupakan
komponen kunci dari banyak jalur transduksi sinyal. Pasien datang dengan trias
klasik displasia fibrosa poliostotik, bintik-bintik café-au-lait yang tidak teratur, dan
pubertas dini. Sindrom ini mungkin juga termasuk asimetri wajah, sindrom Cushing,
hipertiroidisme, dan akromegali. 9
Sejumlah gangguan fungsi tiroid ditemukan disebabkan oleh mutasi
pada gen TSHR , yang mengkode protein reseptor TSH. Gangguan tersebut meliputi:
 Hipertiroidisme kehamilan keluarga
 Salah satu jenis hipertiroidisme nonimun
 Tirotoksikosis kongenital nongoiterous
 Adenoma tiroid toksik dengan mutasi somatik
Sindrom polendokrin autoimun tipe II dikaitkan dengan hipertiroidisme dan
hipotiroidisme, serta diabetes mellitus tipe 1 dan insufisiensi adrenal. Pasien
mungkin juga mengalami defisiensi imun, seperti yang ditunjukkan oleh kandidiasis
mukosa kronis. 9

2.1.5. Patofisiologi

Biasanya, sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh mekanisme umpan balik


kompleks yang melibatkan interaksi faktor stimulasi dan penghambat. Hormon
pelepas tirotropin (TRH) dari hipotalamus merangsang hipofisis untuk melepaskan
TSH.

7
Pengikatan TSH ke reseptor di kelenjar tiroid menyebabkan pelepasan
hormon tiroid terutama T4 dan T3 pada tingkat yang lebih rendah. Pada gilirannya,
peningkatan kadar hormon ini bekerja di hipotalamus untuk menurunkan sekresi
TRH dan dengan demikian sintesis TSH. Sintesis hormon tiroid membutuhkan
yodium. Iodida anorganik makanan diangkut ke dalam kelenjar oleh pengangkut
iodida, diubah menjadi yodium, dan diikat menjadi tiroglobulin oleh enzim
peroksidase tiroid melalui proses yang disebut organifikasi. Ini menghasilkan
pembentukan monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), yang digabungkan
untuk membentuk T3 dan T4, kemudian disimpan dengan tiroglobulin di lumen
folikel tiroid. Tiroid mengandung banyak sekali hormon yang telah dibentuk
sebelumnya.

Hormon tiroid berdifusi ke dalam sirkulasi perifer.  Lebih dari 99,9% T4 dan
T3 di sirkulasi perifer terikat pada protein plasma dan tidak aktif. Free T3 20-100
kali lebih aktif secara biologis daripada T4 bebas. T3 bebas bekerja dengan mengikat
reseptor inti (protein pengikat DNA dalam inti sel), mengatur transkripsi berbagai
protein seluler.

Setiap proses yang menyebabkan peningkatan sirkulasi perifer hormon tiroid


yang tidak terikat dapat menyebabkan tirotoksikosis. Gangguan mekanisme
homeostatis normal dapat terjadi di tingkat kelenjar pituitari, kelenjar tiroid. Terlepas
dari etiologi, hasilnya adalah peningkatan transkripsi dalam protein seluler, yang
menyebabkan peningkatan laju metabolisme basal. Dalam banyak hal, tanda dan
gejala hipertiroidisme menyerupai keadaan kelebihan katekolamin, dan blokade
adrenergik dapat memperbaiki gejala ini.13

Produksi T4, T3 yang tinggi tersebut berasal dari stimulasi antibodi stimulasi
hormon tiroid (TSH-Ab) atau thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) yang
berinteraksi dengan reseptor TSH di membran epitel folikel tiroid, yang
mengakibatkan peningkatan aktivitas saraf simpatis tubuh. Salah satunya
peningkatan saraf simpatis di jantung, sehingga impuls listrik dari nodus SA jantung
meningkat, menyebabkan kontraksi jantung meningkat lalu mengakibatkan fraksi

8
ejeksi darah dari ventrikel berkurang dan meningkatkan tekanan darah dan denyut
nadi.14
Pada graves disease ditandai oleh gangguan toleransi diri (self tolerance)
terhadap autoantigen tiroid, yang paling penting adalah reseptor TSH. Akibatnya,
diproduksi sejumlah autoantibodi. Suatu antibody igG yang berikatan dengan
reseptor TSH dan menyerupai kerja TSH, merangsang siklase adenil, sehingga
menyebabkan peningkatan pelepasan hormone tiroid.15
Adanya eksopthalmus disebabkan karena antibodi IgG juga dapat bekerja
pada jaringan ikat di sekitar orbita yang memiliki protein yang menyerupai reseptor
TSH. Pengaktifan reseptor tersebut menyebabkan pembentukan sitokin, membantu
pembentukan glikosisaminoglikan yang hidrofilik pada jaringan fibroblast di sekitar
orbita yang berakibat pada peningkatan tekanan osmotik, peningkatan volume otot
ekstra okular, akumulasi cairan dan secara klinis menimbukan ophtalmopathy16,15,17
Pada adenoma toksik, tidak berkaitan dengan autoimun. Adenoma toksik
terjadi karena tumor yang secara terus menerus mensekresi banyak sekali hormone
tiroid. Sehingga fungsi sekresi kelenjar tiroid yang tersisa hampir seluruhnya
terhambat. Sebab, hormone tiroid yang dikeluarkan oleh adenoma akan menekan
produksi TSH oleh kelenjar hipofisis. 15

2.1.6. Manifestasi klinis 12

Semua pasien tanda dan gejala ditemukan pada pasien hipertiroid. Keluhan
yang sering kali di alami pasien seperti palpitasi, mudah lelah, dipneu d’effort,
takikardi ( pada saat istirahat, tidak mampu melakukan kegiatan fisik. Takikardi dan
aritmia merupakan presentasi awal hipertiroid. Berikut merupakan manifestasi klinis
pada pasien hipertiroid yang disediakan pada tabel 2:

9
Tabel 2. Manifestasi klinis hipertiroid 12

System Tanda dan gejala


Adrenergik Palpitasi, takikardi, gelisah, tremor, diaphoresis, jitteriness,
intoleransi panas, hiperdefekasi (tidak diare)

Kardiovaskular Takikardi, irregular pulse (pada atrial fibrilasi), dyspnea,


ortopnea, edem peripheral

Kutaneus Onycolisis (plummer nails), patchy atau general


hiperpigmentasi, pretibial mixedema (grave’s disease)

Hipermetabolisme Penurunan berat badan, peningkatan nafsu makan, demam

Neuromuskular Refleks perifer cepat dengan fase relaksasi yang dipercepat dan
kelemahan
otot proksimal
Neuropsikiatri Kecemasan, bicara cepat dan tertekan, insomnia, psikosis (jika
hipertiroidisme
parah)
Ocular Peningkatan lakrimasi, penutupan mata yang tidak lengkap saat
tidur dilaporkan oleh pasangan pasien, fotofobia, peningkatan
kepekaan mata terhadap angin atau asap, gritiness atau sensasi
benda asing atau pasir di mata Gejala patognomonik untuk
penyakit Graves: exophthalmos, periorbital edema, diplopia,
penglihatan kabur, persepsi warna berkurang

2.1.7. Diagnosis
Untuk kasus hipertiroidisme yang biasa, diagnosis yang tepat adalah dengan
melakukan pengukuran langsung konsentrasi tiroksin bebas di dalam plasma (serum
free T4 & T3 462 meningkat dan TSH sedikit/tdk ada) dengan menggunakan cara
pemeriksaan radioimunologik yang tepat. Diagnosis tirotoksikosis sering dapat

10
ditegakkan secara klinis tanpa pemeriksaan laboratorium, namun untuk menilai
kemajuan terapi tanpa pemeriksaan penunjang sulit dideteksi.18
 Anamnesis

Pasien dengan tirotoksikosis biasannya memiliki keluhan antara lain:


berdebar-debar, tremor, iritabilitas, intoleran terhadap panas, keringat berlebihan,
penurunan berat badan, peningkatan rasa lapar (nafsu makan bertambah), diare,
gangguan reproduksi (oligomenore/amenore dan libido turun), mudah lelah,
pembesaran kelenjar tiroid, umumnya penderita merasa sukar tidur, dan rambut
rontok. 18

Indeks diagnostic Wayne dapat digunakan sebagai acuan untuk menegakkan


diagnose penyakit hipertiroid secara klinik.1

Tabel 3. Indeks diagnostic wayne8

Indeks diagnostic wayne merupakan alat diagnostic sederhana digunakan


sebagai acuan untuk membantu menegakkan diagnosa hipertiroid secara klinis.
Indeks ini digunakan ketika belum tersedia fasilitas laboratorium biokimia untuk
menentukan kadar hormone tiroid. 1

Bila skor indeks wayne sama atau lebih dari 19, pasien dinyatakan dalam
keadaan hipertiroid, nilai 11-19 dinyatakan ragu-ragu, sedangkan billa nilai
kurang dari 11 pasien tidak dalam keadaan hipertiroid. 1

11
 Pemeriksaan fisik
Tirotoksikosis dari penyakit Graves dikaitkan dengan kelenjar
tiroid yang membesar secara difus, simetris, sedikit kaku, tidak
bernodul. Kadang-kadang, bising tiroid dapat didengar dengan
menggunakan bel stetoskop. Gondok multinodular toksik umumnya
terjadi ketika kelenjar tiroid membesar setidaknya 2 hingga 3 kali
ukuran normal. Tidak simetris, multilobular dan tidak teratur Kelenjar
ini seringkali konsistensinya lunak.  Pada adenoma toksik nodul solider
yang tidak nyeri, dapat terjadi pembesaran secara cepat. Sedangkan
pada tiroiditis kelenjar tiroid membesar dan ditemukan nyeri. . 9,10,15
Pembesaran kelenjar tiroid yang menyebar, yang dapat
bervariasi dari yang kecil hingga besar. Di dalam beberapa kasus,
ukuran tiroid bisa normal. Karena adanya peningkatan vaskularisasi
kelenjar tiroid dapat terdengar bising atau bruit pada auskultasi kelenjar
tiroid pada graves disease. Hal ini dapat didengar ketika goiter/kelenjar
tiroid lebih besar.15
Spesifik untuk penyakit Grave ditambah dengan: Oftalmopati
(spasme kelopak mata atas dengan retraksi dan gerakan kelopak mata
yang lamban, eksoftalmus dengan proptosis, pembengkakan supraorbital

12
dan infraorbital), edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, visus
menurun, ulkus kornea, dermopati, akropaki,
Dalam kasus yang jarang terjadi, penyakit Graves
mempengaruhi kulit melalui pengendapan glikosaminoglikan di dermis
tungkai bawah. Hal ini menyebabkan edema nonpitting, yang biasanya
berhubungan dengan eritema dan penebalan kulit, tanpa nyeri atau
pruritus.19,20

 Pemeriksaan penunjang diagnosis


a. Radioaktif Iodine Uptake (RAIU).
Radioaktif Iodine Uptake (RAIU) atau uji tangkap tiroid dapat
dilakukan dengan menggunakan iodium radioaktif (I-131) atau Tc-99m
perterchnetate. Persentase penangkapan radioaktif oleh kelenjar tiroid
ditentukan setelah pemberian oral dalam waktu 24 jam pada I-131,
sedangkan pada Tc-99m penangkapan ditentukan setelah 20 menit setelah
pemberian melalui suntikan intravena. Uji tangkap tiroid selain untuk
menegakkan diagnosa penyakit hipertiroid juga diperlukan untuk
menghitung dosis I-131 yang akan diberikan untuk pengobatan penyakit
tersebut. Pemeriksaan ini dapat juga digunakan untuk mendiagnosa
adenoma toksik dan goiter multinodular toksik. Pada kedua keadaan tersebut
sidik tiroid nodul akan tampak menangkap radioktivitas ebih tinggi dari
jaringan sekitarnya. Pada goiter multinodusa toksik dapat menangkap
radioktivitas lebih tinggi dan juga ditemukan nodul yang kurang
menangkap. Pada grave disease sidik tiroid akan memberikan gambaran
distribusi penangkapan radioaktif difus.1,12

13
Gambar 1 . Gambaran Radioaktif Iodine Uptake pada hipertiroid12

b. TSHs ( Sensitive Thyroid Stimulating Hormone)

Penentuan kadar TSHs (Thyroid Stimulating Hormone Sensitive)


serum mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan
digunakan sebagai uji saring fungsi tiroid. Pada penyakit hipertiroid kadar
TSHs tersupresi diibawah nilai acuan normal. Penentuan kadar T4 bebas
(free T4, fT4) digunakan untuk konfirmasi diagnose disfungsi tiroid.pada
penyakit hipertiroid fT4 diatas acuan normal. Bila ada dugaan hipertiroid fT4
dan TSHs diilakukan secara bersamaan. Hipertiroidisme subklinis jika

14
didapatkan nilai serum normal T4 bebas dan T3 total atau estimasi T3 bebas,
dengan konsentrasi TSH serum di bawah normal.121

Tabel 5. Hasl tes fungsi tiroid pada hipertiroid12

c. TRAb (antibodi reseptor tirotropin)

Tirotropin Reseptor Antibody (TRAb) selain digunakan untuk


diagnosa untuk penyakit tiroid autoimun, juga dapat digunakan untuk
memprediksi kesembuhan. Bila setelah pengobatan dengan obat antitiroid
kadar TRAb menurun secara signifikan atau menjadi negative, maka
diprediksi pasien akan mengalami remisi sempurna atau sembuh total dan
pemeriksaan ini dapat digunakan saat pemindaian dan pengambilan tiroid
tidak tersedia atau kontraindikasi (misalnya, selama kehamilan dan laktasi).1

d. Pencitraan
 Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan teknik yang sensitive,


mudah dilakukan, murah, non invasive, dan tanpa radiasi. USG dilakukan
dengan pasien dalam posisi terlentang dan lehernya terlalu panjang. USG
dapat mendeteksi tiroid lobus atau lesi sekecil 2 mm. Itu bisa membedakan
padat nodul dari kista sederhana dan kompleks. Pemeriksaan ini bisa
memperkirakan ukuran tiroid, memberikan perkiraan tentang kepadatan
jaringan, menunjukkan aliran vaskular dan kecepatan dan bantuan dalam
menempatkan jarum tujuan diagnostik. Doppler dapat ditambahkan dalam

15
melaksanakan ultrasonografi. USG color dopler digunakan untuk
memberikan gambaran vaskularisasi yang kaya dan meningkat yang
berkorelasi dengan tingkat hiperfungsi tiroid. Pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk membedakan tirotoksikosis yang diakibatkan oleh
amiodarone, yang pada Iodine Induced Thyrotoxicosis ditandai dengan
vaskularisasi meningkat. Sedangkan pada tiroiditis kelenjar tiroid akan
Nampak avascular. 1,12

e. Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB), MRI dan CT-scan

Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB), MRI dan CT-scan tidak secara
rutin digunakan dalam prosedur diagnostic hipertiroid. Pada Grave disease ,
FNAB diperlukan jika nodul ditemukan di dalam tiroid . pemeriksaan ini
berguna untuk membedakan nodul jinak atau ganas yang mungkin terjadi.
Sehingga dapat direkomendasi pemeriksaan FNAB yang dipandu USG. 1,3,12

Gambar 2. Algoritma diagnosis kerja hipertiroid12

16
2.1.8. Penatalaksanaan
Ada 3 cara pengobatan hipertiroid yaitu dengan menggunakan obat anti tiroid
(OAT), pengobatan dengan iodine radioaktif, atau pembedahan.
a. Obat anti tiroid (OAT)
Obat anti tiroid (OAT) yang dapat digunakan adalah turunan thiourea yaitu
methimazole/carbimazole, atau prophylthiouracil. Mekanisme kerja ketiga obat
ini hampir sama yaitu : 1
1. Menghambat penggunaan iodium oleh kelenjar tiroid, khususnya
menghambat proses organifikasi pengikatan iodium ke residu tyrosine
didalam thyroglobulin.
2. Menghambat “coupling” iodotyrones
3. Menghambat konversi T4 menjadi T3
4. Kemungkinan mempunyai efek imunosupresi
5. Methimazole/Carbimazole
Methimazole/carbimazol merupakan obat yang dapat digunaikan untuk
semua pasien hipertiroid, dosis yang dapat diberikan dosis awal 10-20 mg per
hari.untuk mencapai kondisi eutiroid di titrasi ke dosis perawatan 5-10 mg
perhari.
Propylthiouracil (PTU) dapat diberikan kepada semua penderita hipertiroi
dan dianjurkan pada trimester pertama kehamilan, atau pada krisi tiroid atau pada
pasien yang kurang berhasil dengan pengobatan methimazol dan menolak
pemberian iodine radioaktif atau menjalani pembedahan. Dosis awal PTU sekitar
100-150 mg secara oral setiap 8 jam atau 200-300 mg setiap 8 jam. Dosis awal
akan dilanjutkan selama 2 bulan setelah semua gejala terkontrol. Sedangkan
dosis perawatan dapat diberikan 100-150 mg/hari dalam dosis yang dibagi 8-12
jam
Pada kasus adenoma toksik dan goiter multinodular toksik OAT hanya
diberikan selama 1-3 bulan sebagai persiapan “cool down” sebelum terapi definitive
ablasi dengan radioktif iodium radioaktif atau tiroidektomi. 1

17
Pengobatan dengan OAT dilakukan selama 1 sampai 2 tahun, kemudian OAT
dihentikan dan dosis dikurangi. OAT dapat diberikan dala beberapa tahun kecuali
bila ada reaksi alergi atau toksik, kepatuhan pasien minum OAT sangatlah penting.

Cara pemberian OAT:

1. Metode titrasi

Methimazole/carbimazole diberikan dengan dosis awal 20-40 mg/hari sekali


sehari atau propylthiouracil 300-600 mg/hari tiga kali sehari. OAT diberikan ketika
keadaan eutiroid tercapai, kemudian dosis diturunkan secara perlahan dan dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan serendah mungkin.1

2. Metoda block supplement

Setelah tercapai keadaan eutiroid, pengobatan dilanjutkan dengan


menanmbahan I-tiroksin 100-150 mcg/hari. Tujuannya untuk menurunkan angka
kekambuhan dan antisipasi terjadinya keadaan hipertiroid1

Tabel 6. perbandingan efek farmakologi obat anti tiroid (OAT)1

PTU Methimazole
Metabolism 75% terikat protein serum, Sangat minim berikatan
terutama albumin dengan protein serum
Waktu paroh 60 menit 4-6 jam
Mekanisme kerja Menghambat sintesis T4 Sama dengan PTU
intratiroid dan T3 intratiroid
Mekanisme kerja Penghambat kuat outer ring Tidak ada
ekstratioid deiodinase dijaringan
perifer dan kelenjar tiroid,
menghambat konversi T4
menjadi T3
Efek samping Agranuositosis, urtikaria, Sama dengan PTU
nyeri sendi, gangguan

18
fungsi hati
Absorbs gastrointestinal Hampir sempurna Hampir sempurna
Puncak kadar serum Satu jam setelah diminum Satu jam setelah diminum
Lama kerja metabolit 12-24 jam >24 jam

 Iodium (Larutan Kalium Iodium Pekat, Larutan Iodium - Kalium Iodida


[Larutan Lugol])
Iodium adalah terapi tertua yang pernah ada untuk mengatasi hipertiroidisme,
menjadi salah satu terapi yang efektif namun belum sepenuhnya dimengerti. Respon
pasien hipertiroidisme terhadap iodium bersifat akut dan sering kali dapat terlihat
setelah 24 jam, menekankan bahwa pengeluaran hormon ke sirkulasi sangat cepat
untuk di interupsi. Efek klinis yang paling penting dari pemberian iodium dosis
tinggi adalah Inhibisi pengeluaran hormon tiroid. Ini dapat tercerminkan dari
kemampuan iodium untuk melawan kemampuan TSH dan adenosine monofosfat
siklik (cAMP) untuk menstimulasi pengeluaran hormon.
Iodium sangat berguna untuk mengobati hipertiroidisme, sebelum dilakukannya
tiroidektomi elektif. Kombinasi antara kalium iodide oral dan propranolol memang
menjadi salah satu yang di rekomendasikan.9 Vaskularitas dari kelenjar tiroid akan
menurun akibat terapi iodium.10 Terapi kronik dengan menggunakan iodium,
seringkali dikaitkan dengan kembalinya aktivitas berlebih dari kelenjar tiroid yang
sebelumnya telah ditekan.11 Reaksi alergi dapat juga dapat menyertai terapi iodium
atau bentukan organik lainnya yang mengandung iodium. Angioedema dan edema
laring bisa menjadi salah satu efek yang mengancam nyawa.
 Beta blocker
Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya
hipersensitivitas pada sistim simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem simpatis
ini diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin.
Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan akan menghambat
pengaruh hati.Reserpin, guanetidin dan penyekat beta (propranolol) merupakan obat

19
yang masih digunakan.Berbeda dengan reserpin/guanetidin, propranolol lebih
efektif terutama dalam kasus-kasus yang berat. Biasanya dalam 24 - 36 jam setelah
pemberian akan tampak penurunan gejala.
1. Penurunan denyut jantung permenit
2. Penurunan cardiac output
3. Perpanjangan waktu refleks Achilles
4. Pengurangan nervositas
5. Pengurangan produksi keringat
6. Pengurangan tremor

Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat


konversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka dalam waktu ±
4 - 6 jam hipertiroid dapat kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena
penggunaan dosis tunggal propranolol sebagai persiapan operasi dapat
menimbulkan krisis tiroid sewaktu operasi. Penggunaan propranolol sebagai
persiapan tindakan pembedahan atau pemberian yodium radioaktif, mengatasi
kasus yang berat dan krisis tiroid.

Pasien dinyatakan mencapai remisi sempurna bila kadar fT4 kembali


meningkat dan kadar TSHs dalam batas normal setelah OAT dihentikan selama 1
tahun, sebaliknya pasien dinyatakan kambuh jika kadar fT4 kembali meningkat
dan kadar TSHs tersupresi beberapa waktu setelah OAT dihentikan. Bila terjadi
kekambuhan pemberian OAT dimulai kembali, atau dipertimbangkan cara
pengobatan lain seperti, pengobatan definitive, ablasi dengan yodium radioaktif
atau tiroidektomi. Adenoma toksik dan goiter multinodular toksik tidak akan
mencapai remisi sempurna dengan pemberian OAT dan dapat digunakan sebelum
pengobatan definitive, ablasi dengan pembedahan dari iodium radioaktif. 1,3
b. Pengobatan dengan iodium radioaktif

Iodium radioaktif merupakan radionuklida pemancar sinar beta dan


gamma, pemancar beta akan menyebabkan ablasi jaringan tiroid disamping
mempunyai efek samping terhadap system imun. I-131 akan menyebakan atrofi,

20
fibrosis dan inflamasi kronik yang mengakibatkan pengurangan yang nyata pada
kelenjar tiroid. 1,10

Indikasi

1. Hipertiroid graves
2. Struma nodusa toksik/ nodul tiroid otonom
3. Struma multinodusa toksik
4. Rekurensi setelah tiroidektomi subtotal
5. Diperlukan pengobatan definitive seperti pada penyakit jantung tiroid

Kontraindikasi

1. Ibu hamil dan ibu menyusui


2. Optalmopati aktif
3. Komorbid karsinoma tiroid

Pengobatan radioaktif tiroid dilakukan bila pengobatan penyakit hipertiroid


dengan OAT tidak berhasil dan sering kambuh atau diperlukan pengobatan definitive
seperti pada penyakit jantung tiroid. 1

Iodine radioaktif diberikan dengan cara diminum (per oral) bila diperlukan,
bisa diulang 3-6 bulan. Besarnya dosis ditentukan berdasarkan beratnya kelanjar,
kemampuan menangkap iodine radioaktif dan berat ringanya penyakit. 1

Pasien yang berisiko tinggi untuk terjadi perburukan hipertiroid (gejala hebat kadar
fT4 mencapai 2-3x diatas batas normal) dapat terlebih dahulu diberikan penyekat beta
sebelum diberikan pengobatan iodine radioaktif. Respon terhadap pengobatan ini baru
tampak setelah 2-4 bulan, bila saat itu keadaan eutiroid belum tercapai, pemberian iodine
radioaktif dapat diulang. OAT dapat diberikan kembali 2-7 hari setelah pengobatan
radioaktif. Pasca pengobatan radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau secara berkala, biasanya
setiap 6 bulan sekali. Bila terjadi hipotiroid segera berikan pengganti hormone tiroid
levotiroksin untuk seumur hidup. Dosis diberikan dengan sasaran kadar TSHs berada dalam
kisaran normal. 1

21
 Tiroidektomi
Tiroidektomi adalah pengobatan yang dianjurkan, terlebih pada tiroidektomi total karena
frekuensi keberhasilannya hasil secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
tiroidektomi subtotal tanpa perbedaan dalam tingkat komplikasi. Pada tiroidektomi total
risiko kekambuhan hanyak 0% sedangkan pada tiroidektomi subtotal risiko kekambuhan
sekitar 8% atau rekuren dala 5 tahun. 1,12

Indikasi tiroidektomi :

 Struma besar
 Adenoma toksik
 Struma multinodusa toksik
 Penyakit hipertensi yang sering kambuh

Sebelum pembedahan pasien harus menjadi eutiroid terlebih dahulu, dengan


memberikan OAT dengan atau tanpa obat penyekat beta. Preparat iodida diberikan dalam
periode preoperatif. Bila pasien tidak dalam kondisi eutiroid atau alergi terhadap OAT
dan operasi harus terlebih dahulu diobati dengan penyekat beta, kalium iodida,
glukokortikoid, dan cholestiramine sebelum dilakukan tindakan operasi.

 Ablasi Nodul Tiroid Toksik

Untuk pengobatan adenoma toksik atau goiter multinodular toksik bila pengobatan
iodine radioaktif tidak adapat dilakukan atau pengobatan OAT jangka panjang tidak
berhasil maka dapat dipertimbangkan dengan pengobatan lain seperti, Percutaneus Ethanol
Injection (PEI), ablasi termal atau radiofrekuensi. 3

 Pengobatan hipertiroid dan gangguan system kardiovaskuler

Obat terpilih pada pasien hipertiroid dengan gangguan irama jantung, disamping
obat anti tiroid, adalah penyekat beta adrenergic. Bila disertai dnegan gagal jantung berikan
digital dan diuretika. Obat penyekat beta (beta bloker) yang dapat digunakan antara lain
propranolol dengan dosis 40-240 mg sehari. Atenolol, nalodol, metroprolol, bisoprolol.
Untuk pasien dengan angina pectoris, aritmia, dan hipertensi, bisoprolol dapat digunakan.
Pada sebagian besar pasien pengelolaan penyakit hipertiroid yang tepat dengan obatt anti

22
tiroid atau iodium radioaktif mampu mengembalikan ritme sinus dalam waktu 2-3 hari. Bila
pasien sudah eutiroid dan fibrilasi atrial tetap ada, terutama pada pasien usia diatas 60 tahun.
Disopyramid dapat digunakan untuk mempertahankan ritme sinus. 1

Hipertiroid yang berat dan berkepanjangan disertai dengan snus takikardi atau atrial
fibrilasi dapat menyebabkan rate-related disfungsi ventrikel kiri dan gagak jantung. Penyakit
jantung iskemik, penyakit katup jantung atau hipertensi merupakan faktor presdiposisi
terjadinya gagal jantung pada penyakit hipertiroid. 1

 Tiroiditis

Tiroiditis tanpa nyeri dan tiroiditis subakut adalah kondisi yang membatasi diri
yang biasanya sembuh secara spontan dalam enam bulan. Tidak ada peran antitiroid obat-
obatan atau ablasi yodium radioaktif dalam pengobatan tiroiditis. Penghambat beta dapat
digunakan jika diperlukan untuk mengontrol gejala adrenergik. Nyeri terkait dengan
tiroiditis subakut bisa diatasi dengan nonsteroid obat anti inflamasi.12

 Hipertiroid terkait obat


Tirotoksikosis yang diinduksi amiodarone dapat diklasifikasikan sebagai tipe 1
(kelebihan produksi hormon tiroid, diobati dengan obat antitiroid) atau tipe 2 (jaringan
tiroid kehancuran, diobati dengan steroid). Amiodarone seharusnya tidak dihentikan
kecuali dapat dihentikan dengan aman, tanpa memicu komplikasi jantung. Hipertiroidisme
terkait dengan penggunaan obat lain (misalnya, litium, interferon alfa, tirosin kinase
inhibitor, terapi antiretroviral yang sangat aktif) biasanya batasan diri. Dokter harus
menentukan apakah obat dapat dihentikan dengan aman atau diganti dengan obat yang
berbeda. 12

Tabel 8. kerugian dan risiko pengobatan hipertiroid12

23
2.1.9. Komplikasi
Krisis tirotoksikosis (“thyroid storm”) merupakan eksaserbasi akut dari semua
gejalan dan tanda tirotoksikosis, seringkali membahayakan jiwa. Terkadang, thyroid
storm dapat muncul dalam bentuk ringan, hanya dengan reaksi febril yang tidak
terjelaskan setelah operasi tiroid pada pasien yang pre operasinya tidak dipersiapkan
dengan baik. Lebih sering, thyroid storm muncul dalam bentuk parah setelah operasi,
terapi radioaktif iodine, atau parturisi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak
terkontrol baik, atau selama penyakit parah (diabetes tidak terkontrol, trauma, infeksi
akut, reaksi obat parah, infarksi miokardial).

Manifestasi klinis dari thyroid storm adalah hipermetabolisme yang signifikan


dan respon adrenergik yang berlebihan. Demam berkisar antara 38-41oC dan
berhubungan dengan flushing dan berkeringat. Takikardia signifikan, seringkali dengan
atrial fibrilasi dan pulse pressure tinggi; terkadang terjadi gagal jantung. Gejala CNS
meliputi agitasi, gelisah, delirium, coma. Gejala GI meliputi mual, muntah, diare, dan
jaundice. Akibat fatalnya adalah gagal jantung dan syok. Teori yang berkaitan dengan
thyroid storm adalah dengan adanya peningkatan binding sites untuk katekolamin, infeksi
akut atau stress operasi dapat memicu pelepasan banyak katekolamin, dan dihubungkan
dengan tingginya level free T4 dan T3, mempresipitasi kondisi akut tersebut.

24
2.1.10. Prognosis

Hipertiroidisme akibat gondok multinodular toksik dan adenoma toksik bersifat


permanen dan biasanya terjadi pada orang dewasa. Setelah normalisasi fungsi tiroid
dengan obat antitiroid, ablasi yodium radioaktif biasanya direkomendasikan sebagai
terapi definitif. Pengobatan antitiroid dosis tinggi jangka panjang tidak
dianjurkan. Gondok multinodular toksik dan adenoma toksik mungkin akan terus
membesar secara perlahan selama farmakoterapi antitiroid. Umumnya, daerah tirotoksik
mengalami ablasi, dan pasien mungkin tetap mengalami eutiroid. Mereka yang menjadi
hipotiroid setelah terapi yodium radioaktif mudah dipertahankan dengan terapi
penggantian hormon tiroid, dengan T4 diminum sekali sehari.9
Pasien dengan penyakit Graves dapat menjadi hipotiroid dalam perjalanan alami
penyakitnya, terlepas dari apakah pengobatan melibatkan yodium radioaktif atau
pembedahan. Penyakit mata dapat berkembang pada waktu yang jauh dari diagnosis dan
terapi awal. Umumnya, setelah diagnosis, ophthalmopathy perlahan membaik selama
bertahun-tahun. 9
Kelebihan hormon tiroid menyebabkan penebalan ventrikel kiri, yang dikaitkan
dengan peningkatan risiko gagal jantung dan kematian terkait jantung. Tirotoksikosis
telah dikaitkan dengan kardiomiopati dilatasi, gagal jantung kanan dengan hipertensi
paru, dan disfungsi diastolik dan fibrilasi atrium. 9
Terjadi peningkatan laju resorpsi tulang. Keropos tulang, yang diukur dengan
densitometri mineral tulang, dapat terlihat. Pada hipertiroidisme parah pada semua usia
dan pada kedua jenis kelamin. Akan tetapi, pada penyakit subklinis ringan, keropos
tulang telah terbukti secara meyakinkan hanya pada wanita pascamenopause. 9

25
2.2. Diabetes Mellitus
2.2.1. Definisi

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya


metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi
insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Pada penderita DM semua
metabolisme bahan makanan utama terganggu. Pengaruh mendasar resistensi karena
tidak adanya insulin terhadap metabolisme glukosa sehingga mencegah efisiensi
penggunaan dan pengambilan glukosa oleh sebagian besar sel-sel tubuh, kecuali oleh
otak. Hasilnya konsentrasi glukosa oleh sel menjadi sangat berkurang dan penggunaan
lemak dan protein meningkat 22

2.2.2. Epidemiologi

Secara global, diperkirakan 425 juta orang terdiagnosis diabetes pada tahun 2017.
Jumlah ini sudah jauh meningkat dibandingan pada tahun 2013 dimana penderita yang
terdiagnosis diabetes mencapai 382 juta. Diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat
629 juta pada tahun 2045. Saat ini Indonesia berada diperingkat ke-2 setelah china
dengan jumlah penderita diabetes 10 juta jiwa pada tahun 2017.. Menurut Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) jumlah penderita diabetes di provinsi Riau adalah 41
ribu penderita yang terdiagnosis diabetes 23

2.2.3. Klasifikasi dan Etiologi diabetes mellitus


Klasifikasi diabetes mellitus menurut American Diabetes Assosiation (ADA)
tahun 2018 dapat diklasifikasi kedalam kategori umum yaitu :22
a. Diabetes tipe 1 (ditandai oleh defisiensi absolut sekresi insulin yang disebabkan oleh
kerusakan sel β pankreas biasanya akibat autoimun).
b. Diabetes tipe 2 (disebabkan oleh gabungan dari resistensi perifer terhadap kerja insulin
dan respon sekresi insulin kompensatorik yang tidak adekuat oleh sel β pankreas)
c. Diabetes melitus gestasional (diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua atau
ketiga kehamilan).

26
d. Diabetes tipe khusus akibat penyebab lain. Seperti sindrom diabetes monogenik
diabetes neonatal dan maturity onset diabetes oada wanita muda (MODY), penyakit
pankreas eksokrin (cystic fibrosis) dan golongan obat yang menginduksi diabetes
(glukokortiroid), pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi.

2.2.4. Patofisiologi
Diabetes tipe 2 terjadi akibat ketidakseimbangan produksi glukosa dan asupan
glukosa. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyakit tersebut seperti faktor
penuaan, genetik dan gaya hidup yang menyebabkan gangguan fungsi sel β dan
penurunan kemampuan jaringan perifer untuk berespon terhadap insulin. Diabetes tipe 2
terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel beta
pankreas. Resistensi insulin terjadi akibat gagalnya jaringan sasaran untuk berespon
secara normal terhadap insulin. Pada awalnya sekresi insulin lebih tinggi untuk setiap
kadar glukosa. Keadaan hiperinsulinemia merupakan kompensasi untuk resistensi perifer
dan sering mempertahankan kadar glukosa plasma agar normal selama bertahun-tahun.
Namun, kompensasi sel beta tidak cukup dan timbul progresi menjadi hiperglikemia yang
diikuti dengan hilangnya masa sel beta secara absolut.
Mekanisme molekuler yang mendasari disfungsi sel beta pada diabetes tipe 2
bersifat multifaktorial dengan faktor yang berimplikasi pada resistensi insulin. Oleh
karena itu, nutrien yang berlebihan seperti asam lemak bebas (ALB) dan glukosa dapat
meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi oleh sel beta pankreas yang menimbulkan
rekruitment sel sel mononeukleus (makrofag dan sel T) ke dalam sel pulau langerhans,
yang menyebabkan produksi sitokin yang lebih bersifat lokal. Akibat dari lingkungan
mikro inflamasi yang abnormal menyebabkan disfungsi sel beta pankreas dan akhirnya
kematian sel beta pancreas.15

2.2.5. Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis Diabetes Melitus (DM) harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi
glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah
yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis pemeriksaan yang
diambil adalah pemeriksaan glukosa dengan enzimatik dengan bahan dasar plasma vena.

27
Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya diperiksa di
laboratorium klinik. Walaupun demikian dapat juga dipakai menggunakan darah utuh
(whole blood), vena ataupun kapiler 5
Keluhan klasik yang dapat ditemukan pada penderita DM seperti Poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Sedangkan keluhan lain yang dapat dialami seperti lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara :5


 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11.1 mmol/L). Glukosa
plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau
 Gejala klasik DM + glukosa plasma >126 mg/dl (7,0 mmol/L). Puasa diartikan
pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
 Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (11,1 mmol/dL). TTGO dilakukan
pada standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.

Tabel 8 . Konsentrasi glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM ( mg/dL )
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Konsentrasi Plasma vena <100 100-199 >200
glukosa
Darah Darah <9 90-199 >200
sewaktu kapiler
Konsentrasi Plasma vena <100 100-125 >126
glukosa Darah <90 90-99 >100
darah puasa kapiler
(mg/dl)

28
2.2.6. Tatalaksana
1. Pemacu sekresi insulin (insulin secretagogue)
a. Sulfonilurea
Struktur kimia senyawa sulfonilurea dibagi menjadi dua golongan atau
generasi senyawa. Semua anggota golongan obat ini merupakan aril sulfonilurea
tersubtitusi. Senyawa-senyawa ini dibedakan oleh subtitusi di posisi para dan
cincin benzen dan pada satu residu nitrogen gugus urea. golongan pertama :
tolbutamid, klorporamid, tolazamid. Sedangkan golongan kedua seperti gliburid,
glipizid, glimepirid diberikan per oral, obat ini berikatan dengan protein serum,
dimetabolisme dalam hepar dan diekskresikan oleh ginjal. Golongan obat ini
disebut insulin secretagogue, kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-
sel β langerhans pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-
sensitive K chanel pada membran sel β yang menimbulkan depolarisasi membran
dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Kanal Ca terbuka mengakibatkan ion
Ca++ masuk ke sel β, merangsang granul berisi insulin dan akan terjadi sekresi
insulin. Dosis tolbutamid : 500mg, tolazamid= tablet 100mg-500mg,
kloropropamid= 100, 250mg, gliburid= 1,25-5 mg tablet microsize, glipizid= 5,
10mg , glimepirid= tablet 1,2,4mg. Efek samping obat ini dapat menimbulkan
hipoglikemia, kenaikan berat badan dan hiperinsulinemia. Obat ini harus
digunakan secara hati-hati pada penderita isufisiensi hati atau ginjal. Reaksi
saluran cerna berupa mual, muntah dan diare. Gejala SSP berupa vertigo,
bingung, ataksia, dll 24–26

b. Meglitinid

Agen-agen golongan ini meliputi repaglinid dan nateglinid. Repaglinid


adalah perangsang sekresi insulin dari golongan meglitinid. Senyawa ini
merupakan turunan benzoat. Repaglinid memiliki kerja awitan yang cepat dengan
konsentrasi puncak sekitar 1 jam setelah dicerna. Obat ini bekerja menstimulasi
pelepasan insulin dengan cara menutup saluran kalium bergantung ATP pada sel
β pankreas. Dosis yang dapat diberikan dosis 0,25-4 mg sebelum makan. Efek

29
samping yang ditimbulkan dapat menyebabkan hipoglikemia jika makan ditunda
atau kandungan karbohidrat yang kurang memadai. Hati-hati dengan gangguan
hati dan ginjal 24,25
Nateglinid adalah merupakan perangsang sekresi insulin turunan D-
fenilalanin yang efektif secara oral obat ini diserap selama 20 menit setelah
pemberian oral dengan waktu konsentrasi puncak kurang dari 1 jam dan di
metabolisme di hati oleh CYP2C9 dan CYP3A4 dengan paruh waktu 1 jam obat
ini dapat merangsang pelepasan insulin yang sangat cepat dan sesaat setelah sel
beta memulai penutupan saluran K+ peka ATP. Efek samping yang ditimbulkan
berupa hipoglikemia meskipun efek yang ditimbulkan rendah. Keunggulan dari
obat ini sangat aman untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal Dosis yang
dapat diberikan 60, 120 mg per oral 24,25

2. Peningkat sensitivitas insulin


a. Metformin

Metformin merupakan obat golongan biguanide yang tersubtitusi rangkap


yaitu metformin (dimethylbiguanide) hydrocloride. Metformin merupakan satu-
satunya biguanid yang tersedia. Metformin diabsorbsi melalui usus dan dalam
darah tidak terikat protein plasma, ekskresi melalui urin dalam keadaan utuh.
Masa paruhnya sekitar 2 jam. Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar
dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini
terjadi karena aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein kinase). Dosis awal 2
x 500mg umunya dosis pemeliharaan (maintenance dose) 3 x 500mg, dosis
maksimal 2,5g. Efek samping : Hampir 20% pasien dengan metformin mengalami
mual, muntah, diare. Tetapi dengan menurunkan dosis tersebut akan
menyebabkan keluhan tersebut hilang. Pada pasien yang bergantung dengan
insulin eksogen dapat menimbulkan ketosis yang tidak disertai dengan
hiperglikemia. Hati-hati dengan pasien gangguan hati dan ginjal yang dapat
mengakibatkan peningkatan kadar asam laktat darah hingga mengganggu
keseimbangan elektrolit 24–26

30
b. Thiazolidinedione ( TZD )

Saat ini obat golongan Thiazolidinedione (TZD) yang tersedia adalah


pioglitazon dan rosiglitazon. Thiazolidinedione diabsorbsi baik melalui
pemberian oral dan berikatan secara luas dengan serum albumin keduanya
menjalani mekanisme ekstensif oleh isozim sitokrom P450 yang berbeda.
Metabolit pioglitazon dieksresikan melalui empedu dan dieliminasi melalu feses.
Sedangkan rosiglitazone di ekskresi kedalam urin. TZD bekerja menurunkan
resistensi insulin. Obat ini diketahui menargetkan reseptor ϒ yang diaktivasi
proliferator peroksisom. Ligan-ligan untuk PPARϒ mengatur produksi adiposit
dan sekresi lemak, serta metabolisme glukosa sehingga meningkatkan sensitivitas
insulin pada jaringan adiposa, hepar dan otot rangka. Dosis awal rosiglitazon 4
mg bila dosis belum adekuat dosis dapat dinaikkan 8 mg/hari. Pioglitazon dosis
awal diberikan 15-30 mg jika belum adekuat dapat ditingkatkan 45mg. Efek
samping berupa nyeri kepala, anemia, peningkatan berat badan, pada pasien
dengan gagal jantung karena dapat memperberat edem/resistensi cairan selain itu
hati-hati pada pasien gangguan faal hati 24–26

3. Penghambat absorbsi glukosa disaluran pencernaan

Penghambat alfa glukosidase merupakan golongan obat antidiabetes yang


unik berasal dari bakteri, obat oral ini merupakan inhibitor enzim yang bekerja
menunda penyerapan karbohidrat disaluran cerna (Kalra, 2014). Dua jenis obat
penghambat alfa glukosidase adalah Akarbosa dan miglitol. Akarbosa dimetabolisme
terutama oleh bakteri usus dan diekskresikan dalam urin. Sedangkan miglitol di
absorbsi sangat baik tetapi tidak memiliki efek sistemik. Obat ini menghambat α-
glukosidase usus serta mengurangi penyimpangan kadar glukosa pasca makan dengan
menunda pencernaan dan penyerapan tepung dan disakarida. Dosis awal 25mg pada
saat mulai makan selama 4-8 minggu ditingkatkan sampaidosis maksimal 75mg.
Kontraindikasi penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan GFR
≤30ml/min, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrom. Efek samping

31
yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas di usus) sehingga sering
menimbulkan flatus, kram abdomen dan diare 5,26

4. Penghambat DPP-IV ( dipeptidyl peptidase-IV)


Obat yang merupakan golongan DPP-IV adalah sitaglipin dan vildaglipin. Obat
ini merupakan kelas agen hiperglikemik yang di indikasikan untuk penyakit diabetes
tipe 2 obat ini bekerja menghambat DPP-IV sehingga mencegah degradasi GLP-1 dan
menurunkan kadar gula darah puasa dan post prandial. Sitaglipin dan vildaglipin
diabsorbsi baik pada pemberian oral dan diekskresi melalui urin. Dosis yang
diberikan 100 mg/PO/hari. Efek samping sitaglipin berupa mual dan gangguan
saluran cerna sedangkan vildaglipin memiliki efek samping nasofaringitis dan batuk.
24–26

5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose co-transporter 2)


Penghambat sodium glucose co-transporter 2 (SGLT-2) Diabsorbsi baik melalui
pemberian oral dan diekskresikan melalui urin. Obat golongan penghambat SGLT-2
merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2 sehingga glukosa keluar melalui urin. Dosis yang dapat diberikan pada
dafagliflozin 5 dan 10 mg 1x sehari, empagliflozin 10 dan 25 mg 1x sehari,
canagliflozin 100 mg. Efek samping berupa glikosuria yang berlebihan dapat
menimbulkan lelah, dehidrasi dan hipotensi. Obat yang termasuk golongan ini :
canagliflozin, empagliflozin, dapagliflozin dan ipragliflozin . Obat yang termasuk anti
hipoglikemik suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1, dan kombinasi insulin dan agonis
GLP-1 5
6. Insulin

Insulin merupakan hormon polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino yang
tersusun dalam 2 rantai. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan B memiliki 30 asam
amino. Antara rantai A dan B terdapat 2 gugus disulfida. Insulin di sintesis oleh sel β
pulau langerhans dari proinsulin. proinsulin merupakan polipeptida rantai tunggal
dengan 86 asam amino.24

32
Proinsulin di sintetis dalam elemen poliribosom retikulum endoplasma sel β
pankreas. prohormon ditranfer ke komplek golgi terjadilah perubahan proinsulin
menjadi insulin ke granula. Bila sel β terangsang maka granula akan mengeluarkan
ekuimolar insulin dan peptida-C ke sirkulasi.target organ insulin adalah hepar, otot
dan adiposa. Peran utamanya adalah uptake, utilisasi dan penyimpanan nutrien di sel.
Efek ini dilakukan dengan menstimulasi transpor substrat dan ion kedalam sel,
menginduksi translokasi protein dan mengaktifkan dan menonaktifkan enzim
spesifik, merubah jumlah protein dan mempengaruhi kecepatan transkripsi gen dan
translasi mRNA spesifik. Insulin diberikan melalui injeksi subkutan. Dosis yang
dibutuhkan insulin pada penderita DM 5-150 U sehari tergantung keadaan pasien.
Dosis awal penderita DM muda 0,7-1,5 U/kgBB sedangkan untuk dewasa diberikan
8-10 U/kgBB, untuk dewasa gemuk diberikan 20 U untuk pagi hari dan 10 U sebelum
makan malam. Efek samping obat ini Hipoglikemia, edem dan kembung 26

7. Agonis GLP-1 ( glucagon like peptide-1)

Agonis GLP-1 adalah hormon peptida asam 30-amino yang diproduksi dalam
sel endokrin epitel usus oleh pemprosesan diferensial proglukagon, gen yang di
ekspresikan dalam sel ini. Contoh obat seperti : eksenatid, liraglutid.Obat ini
diberikan secara parenteral, waktu paruh sekitar 2,4 jam. Obat ini bekerja dengan
dasar peningkatan GLP-1 yang merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM.
Agonis GLP-1 dapat bekerja meningkatkan pelepasan insulin yang diperantarai oleh
glukosa, menurunkan kadar glukagon, dan memperlambat pengosongan lambung.
Dosis eksenatid disuntikkan melalui subkutis 60 menit sebelum makan. dosis awal 5
mcg 2x sehari maksimal 10 mcg. Liraglutid dosis awal 0,6 mg dengan dititrasi 0,6
mg setiap minggu sesuai kebutuhan. Efek samping seperti menurunkan berat badan,
mual, muntah, diare, nyeri kepala, dan anoreksia 24

8. Terapi kombinasi

Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM. Namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat anti hipoglikemik oral tunggal atau kombinasi sejak dini . Kombinasi

33
obat anti hipoglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian insulin basal
(insulin menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus
diberikan jam 10 malam menjelang tidur. Dosis awal yang diberikan 6-10 unit
kemudian dilakukan evaluasi dan dosis insulin dinaikkan secara perlahan apabila
kadar darah puasa belum memenuhi target 5

Ga
mbar 3. Tatalaksana diabetes mellitus (PERKENI ,2015).

34
BAB III
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 43 Tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Mastari
Agama : Islam
No Rekam Medis : 44.10.95
Tanggal Masuk : 18 Agustus 2020
Tanggal Keluar : 21 Agustus 2020
Masuk RS Melalui : Poliklinik

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal : 20 agustus 2020 Pukul : 11.00 WIB
 Keluhan utama : jantung berdebar-debar sejak sejak 1 bulan yang lalu
 Riwayat Penyakit Sekarang :
 Pasien datang dengan keluhan jantung berdebar-debar sejak 1bulan yang lalu
 Diperparah ketika pasien melakukan aktivitas seperti melakukan pekerjaan rumah
 Pasien juga mengeluhkan sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu, sesak dirasakan saat
beraktivitas ringan, sesak berkurang ketika pasien duduk.
 Merasakan badannya gemetar dan mudah lelah ketika beraktivitas (pekerjaan rumah
tangga) sejak 1 bulan yang lalu
 Berkeringat setiap saat sejak 1 bulan yang lalu, ketika pasien duduk pasien juga
berkeringat dan merasa bahwa udara terasa panas dan pasien suka menggunakan
kipas angina
 Sejak 1 bulan ini pasien jua mengeluhkan sering BAK dan diperparah saat malam,
ketika malam pasien bisa sampai 4x buang air kecil, sering merasa lapar dan haus

35
 Sakit kepala (-), batuk (-), pilek (-), Mual (-), muntah (-)
 Berat badan pasien juga menurun dari BB 70 kg ke 65 kg
 Pasien juga mengeluhkan sudah 2 bulan tidak haid. Riwayat menopause (-)
 BAB pasien >5X dalam sehari (tidak diare) dan BAK >10x perhari
 Riwayat Penyakit Dahulu : pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya, riwayat benjolan dileher (-), riwayat hipertensi dan diabetes disangkal,
riwayat penyakit jantung juga disangkal,
 Riwayat Pengobatan : pasien tidak ada mengonsumsi obat sebelumnya.
 Riwayat Penyakit Keluarga : keluarga pasien tidak pernah mengalami keluhan yang
sama, HT (-), DM (-), jantung (-), riwayat keluarga dengan benjolan dileher (-)
 Riwayat Pekerjaan, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan :
 Pasien sebagai ibu rumah tangga
 konsumsi alcohol (-)
 merokok (-)
 konsumsi buah dan sayuran jarang

III. Pemeriksaan Tanda Vital


Dilakukan pada hari :
 Kesadaran Umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : composmentis
 Tinggi Badan : 159cm
 Berat Badan : 65 kg
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Denyut nadi : 125x/mnt
 Suhu tubuh : 36,9ºC
 Frekuensi nafas : 22x/menit

36
IV. Pemeriksaan Fisik Diagnostik
 Status Lokalis
 Pemeriksaan kepala :
 Ukuran dan bentuk : Normal
 Simetrisitas Wajah : simetris
 Rambut : hitam, rambut tidak rontok
 Pemeriksaan Mata
o Kelopak/palpebral : eksotalmus (-), ptosis(-), inflamasi (-), pembengkakan(-)
o Konjungtiva : anemis -/-
o Sclera : ikterik -/-
o Kornea : jernih
o Pupil : isokor
 Pemeriksaan Leher :
o Inspeksi : Simetris, terlihat pembengkakan ketika kepala ditengadahkan,
masa(-), radang (-)
o Palpasi : tidak teraba pembengkakan KGB,
o Pemeriksaan Trakea : deviasi (-), krepitasi (-)
o Pemeriksaan Kelenjar Tiroid : teraba Pembesaran kelenjar tiroid(+), simetris,
nodul (-),lunak, nyeri tekan (-), bruit (+)
o Pemeriksaan JVP : 5+2 cmH2o
 Pemeriksaan Thorak
o Inspeksi : normochest, retraksi (-),
o Perkusi :
 Paru : sonor kedua lapang paru
 Jantung :
 Batas kiri atas  terletak di SIC II linea parasternalis sinistra
 Batas kiri Bawahterletak SIC VI linea midaxillaris sinistra
 Batas kanan  terletak di SIC IV linea parasternalis dextra

o Palpasi : pulsasi iktus cordis teraba di ICS VI

37
fremitus taktil teraba simetris di kedua lapang paru
o Auskultasi :
 paru kanan : suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru. Rhonki (-),
wheezing (-).
 Paru kiri : suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru. Rhonki (-),
wheezing (-).
 Jantung : bunyi jantung regular, murmur (-), gallop (-)

 Pemeriksaan Abdomen :
o Inspeksi : perut datar, tidak ada penonjolan, radang (-), bekas luka (-)
o Aukultasi : Bising usus 15x/menit (normal)
o Perkusi : timpani 4 kuadran
o Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
o Pemeriksaan Ginjal : balotemen tidak teraba
o Pemeriksaan Nyeri CVA : tidak ditemukan nyeri ketok ginjal
o Pemeriksaan hepar : tidak ada ditemukan perbesaraan hepar
o Pemeriksaan lien : tidak ada pembesaraan lien
o Pemeriksaan asites : tidak ditemukan

 Pemeriksaan Ekstremitas
o CRT : < 2 dtk
o Akral : hangat
o Udem tungkai : tidak ada
o Tremor pada kedua tangan

V. Resume Pemeriksaan Fisik

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan :

 Pada pemeriksaan tanda vital, didapatkan nadi pasien 125x/menit , frekuensi


nafas 22x/menit dan IMT 25,7 (obesitas 1)

38
 Fisik diagnostik
Pemeriksaan kepala, mata tidak ditemukan kelainan
 Pada pemeriksaan leher didapatkan adanya pembesaran pada kelenjar tiroid,
terlihat pada saat pasien menengadahkan leher, pembesaran simetris, teraba
nodul dikedua lobus, konsistensi lunak, nyeri (-), bergerak ketika pasien menelan
(+)
 Pemeriksaan thorak didapatkan :
Pulsasi iktus kordis teraba di ICS VI linea midclavicularis sinistra
Jantung : Batas kiri atas  terletak di SIC II linea parasternalis sinistra
Batas kiri Bawahterletak SIC VI linea midaxillaris sinistra
Batas kanan  terletak di SIC IV linea parasternalis dextra

 Pemeriksaan andomen dalam batas normal


 Pemeriksaan ekstremitas didapatkan tremor pada kedua tangan pasien

VI. Diagnosa Dan Diagnose Banding


hipertiroid dengan diabetes mellitus tipe II
DD : graves disease
Goiter multinodular toksik

VII. RENCANA

Tindakan Diagnostik /Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan dilakukan tanggal 19 agustus


2020
1. Pemeriksaan Hematologi
 Hemoglobin : 14,4 gr/dl (14-17)
 Leukosit : 5.700 mm3 (4.000-11.000)
 Trombosit : 198.000 mm3 (150.000-450.000)
 Eosinofil : 2% (0-5)
 Basofil : 1% (0-2)
 Netrofil Batang : 0% (2-6)

39
 Netrofil Segmen : 56% (50-70)
 Limfosit : 29% (20-40)
 Monosit : 12% (2-8)
 Eritrosit : 5.360.000 mm3 (4.200.000-6.100.000)
 MCV : 79 FL (80-100)
 MCH : 27 PG (27-32)
 MCHC : 34% (32-36)
 Hematokrit : 42% (36-52)
2. Pemeriksaan gula darah
o KGD puasa : 315 mg/dl
o HBA1c : 8,5% (4,5-6,3)
3. Faal ginjal
o Ureum : 23 mg/dl
o Creatinine : 0,3 mg/dl
4. Elektrolit/gas darah
o Natrium : 143 mmol/l
o Kalium : 4,7 mmol/l
o Chlorida : 93 mmol/l
5. Enzim thyroid
o TSH : <0,05 MIU/ml (<10)
o Hormone FT4 : >7,77 NG/DL (0.8-2)

6. Rontgen Thorak
Foto thorak PA
o Cor membesar
o Sinused dan diagfragma normal
o Pulmo : corakan bronkovaskular meningkat
o Tampak Infiltrat

Kesan :

40
o Cardiomegali
o Bronkitis

41
Gambaran rontgen
7. elektrokardiografi (EKG)

Kesan : sinur takikardi, normal axis, dan prolonged QT

42
VIII. FOLLOW UP

TANGGAL SOAP
18/08/2020 S : Berdebar, berkeringat berlebihan, mual
O : TD : 120/80 N : 128X/mnt, R: 22x/mnt T: 36,6c
A : hipertiroid dan DM tipe II
P : inj. Digoksin 0,5 gr 1x1
Inj. Omeraprazol 2x1
Bisoprolol tab 1x5 mg
Sucralfate syr 3x1
Clobazam tab 2x10 mg
NAC tab 3x20 mg
Paracetamol 3x500 mg

19/08/2020 S : berdebar, keringat berlebihan, susah tidur


O : TD : 110/70 N: 125x/mnt R: 20x/mnt
A : hipertiroid dengan DM tipe II
P: Inj. Omeraprazol 2x1
Bisoprolol tab 1x5 mg
Sucralfate syr 3x1
Clobazam tab 2x10 mg
NAC tab 3x20 mg
Paracetamol 3x500 mg
Propranolol tab 1x10 mg
PTU tab 3x200 mg
20/082020 S : keringat berlebih, mual (-)
O : TD : 120/80 mmHg, N : 125x/mnt T : 36,9c
A : hipertiroid dengan diabetes mellitus tipe II
P : Inj. Omeraprazol 2x1
Sucralfate syr 3x1
Clobazam tab 2x10 mg

43
NAC tab 3x20 mg
Propranolol tab 1x10 mg
PTU tab 3x200 mg

21/09/2020 S : keringat berlebihan, berdebar (-), pasien diperbolehkan


pulang
O : TD 110/70 mmHg, N: 105X/menit T: 36,7c
A : hipertiroid dengan diabetes mellitus tipe II
P : Inj. Omeraprazol 2x1
Sucralfate syr 3x1
Clobazam tab 2x10 mg
NAC tab 3x20 mg
Propranolol tab 1x10 mg
PTU tab 3x200 mg

Obat pulang :
PTU 3X1
Propanolol 1X1
Metformin 2x1

44
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke poliklinik dengan keluhan berdebar-debar sejak 1 bulan yang


lalu, terus menerus dan diperparah ketika pasien beraktivitas, keluhan pasien diiringi
dengan keluhan lainnya yaitu, sesak nafas saat beraktivitas dan hilang saat istirahat,
badan pasien gemetaran, mudah lelah, selalu berkeringat setiap waktu dan terasa panas,
BAB yang sering namun tidak diencer >5x dalam sehari, BAK yang sering > 10x/hari
dan ketika malam hari pasien BAK >3x dalam semalam dan merasa berat badan pasien
menurun namun nafsu makan pasien meningkat dan mudah lapar. Dari hasil
pemeriksaan fisik, denyut nadi pasien meningkat 125x/menit, pada pemeriksaan leher
didapatkan pembesaran pada kelenjar tiroid, pmeriksaan thorak didapatkan jantung
terjadi pembesaran dan pada pemeriksaan ekstremitas pasien mengalami tremor.
Menurut Indonesian Society Of Endocrinology (2012) untuk menegakkan diagnosis
hipertiroid secara klinis dapat mengunakan Indeks Diagnosis Wayne pasien memiliki
nilai diagnostik 26. Dimana menurut Indeks Wayne bila skor >19 maka pasien
dinyatakan dalam keadaan hipertiroid.
Pasien dilakukan pemeriksaan peunjang berupa pemeriksaan hormon tiroid. Dari
hasil pemeriksaan didaapatkan hasil TSH <0,05 Miu/ml dan hormone FT4 >7,77 mg/ dl.
Dimana pada nilai TSH didapatkan penurunan dan pada nilai FT4 didapatkan
peningkatan Menurut PERKENI 2017 hasil pemeriksaan hasil TSH yang rendah dan
kadar hormone FT4 yang meningkat mengindikasikan terjadinya hipertiroid.
Sebelumnya pasien mengeluhkan keluhan BAK terus menerus dan diperparah
saat malah hari, pasien merasa lapar dan haus secara terus menerus. Pada tanggal 19
agustus 2020 pasien dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa (GDP) dengan
hasil 315 mg/dl dan pada tanggal 20 agustus dilakukan HBA1c dengan hasil 8,5%.
Menurut Persatuan Endokrinologi Indonesia (PERKENI,2019) pada penderita yang
dicurigai DM terdapat adanya keluhan klasik berupa polifagia, polydipsia, polyuria dan
penurunan berat badan yang tidak ada sebabnya kadar glukosa darah puasa normal
adalah <126 mg/dl sedangkan kadar HBA1c normal yaitu <5,7%. Diagnosa DM dapat
ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah secara enzimatik dengan bahan

45
darah vena. Diagnosis Dm ditegakkan ketika hasil kadar glukosa darah puasa >126
mg/dl atau kadar glukosa plasma >200 mg/dl 2 jam setelah TTGO dengan bebas glukosa
75 gram atau glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl dengan keluhan klasik atau
pemeriksaan HBA1c >6,5%. Maka dari hasil pemeriksaan tersebut pasien didiagnosis
diabetes mellitus.
Pada tanggal 19 agustus 2020 pasien dirawat dan diberikan pengobatan berupa
propanol tablet 1x10 mg . Menurut American Academy of Family Physicians (2016)
propranolol merupakan obat golongan beta bloker yang berkerja dengan menghambat 5
'-monodeiodinase, sehingga menghalangi konversi perifer T4 ke T3. berguna untuk
mengontrol gejala adrenergic. Propanolol dapat diberikan dengan dosis 10-40 mg per
oral diberikan per 8 jam. Sedangkan propylthiouracil (PTU) merupakan obat golongan
tionamid yang memiliki Efek menghalangi proses hormogenesis intratiroid, mengurangi
disregulasi imun intratiroid serta konversi perifer dari T4 menjadi T3. Pada kasus ini
diberikan obat antitiroid PTU 3x200 mg sehari. Menurut Buku Panduan Praktik Klinis
PAPDI , obat PTU dapat diberikan dengan dosis 300-600 mg dengan dosis maksimal
2000 mg/hari
Pasien diberikan obat anti glikemikoral Metformin 500 mg diberikan 2 kali
sehari. Menurut PERKENI 2019, Metformin merupakan obat diabetes lini pertama pada
pasien DM tipe II. Mekanisme kerja Metformin untuk menurunkan produksi glukosa di
hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini
terjadi karena aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein kinase). Dosis awal 2 x
500mg umunya dosis pemeliharaan (maintenance dose) 3 x 500mg.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. pedoman pengelolaan penyakit hipertiroid. jakarta: perkemi; 2017.

2. Kementerian Kesehatan RI. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Situasi dan


Analisis Penyakit Tiroid [Internet]. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
2015. p. 1–8. Available from: https://www.kemkes.go.id/folder/view/01/structure-
publikasi-pusdatin-info-datin.html

3. Leo S De, Lee SY, Braverman LE, Unit E, Sciences C. Hyperthyroidism_Lancet review.
HHS Public Access. 2016;388(10047):906–18.

4. Kazi AA, Blonde L. Classification of diabetes mellitus. Vol. 21, Clinics in Laboratory
Medicine. 2019. 1–13 p.

5. Perkumpulan Endrokrinologi Indonesia (PERKENI). Pengelolaan dan pencegahan


diabetes melitus di Indonesia. 2015.

6. Wisnu W, Soewondo P, Subekti I. Hubungan Status Tiroid dengan Intoleransi Glukosa


pada Pasien Hipertiroid. J Penyakit Dalam Indones. 2018;5(1):35.

7. american thyroid association. Hyperthyroidism. 2018.

8. Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism. J ASEAN Fed Endocr Soc.
2012;27(1):34–9.

9. stephanie L lee M. hyperthyroidism and thyrotoxycosis. 2020 Apr 10; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/121865-overview

10. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J. panduan praktik klinis ilmu penyakit dalam.
keempat. Syam ari fahrial, Gani rino alvani, Rengganis I, editors. jakarta: interna
publishing; 2019. 151–155 p.

11. Longo dan L, Fauci anthony s, Kasper dennis L, Hauser stephen L. harrison’s manual of
medicine. Biology and Diseases of the Ferret: Third Edition. 2014.

12. Kravets I. Hyperthyroidism: Diagnosis and treatment. Am Fam Physician.

47
2016;93(5):363–70.

13. Campi I, Salvi M. Graves’ disease [Internet]. 2nd ed. Encyclopedia of Endocrine
Diseases. Elsevier Inc.; 2018. 698–701 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-
0-12-801238-3.98495-2

14. Ariani D. Penyakit Graves. J Medula Unila. 2016;4(3):30–4.

15. Kumar V, Abbas abul K, Aster jon c. buku ajar patologi. In: Nasar i made, Cornain S,
editors. buku ajar patologi robbins. 9th ed. singapore: elsevier saunders; 2015.

16. Hamelmann E. Long-acting muscarinic antagonists for the treatment of asthma in children
—a new kid in town. Allergo J Int. 2018;27(7):220–7.

17. Kahaly GJ, Bartalena L, Hegedüs L, Leenhardt L, Poppe K, Pearce SH. 2018 European
thyroid association guideline for the management of graves’ hyperthyroidism. Eur
Thyroid J. 2018;7(4):167–86.

18. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Menteri Kesehat Republik Indones [Internet]. 2013;566.
Available from: idionline.org

19. stephanie L lee M. clinical presentation of hyperthyroidism and thyrotoxicosis. 2020 Apr;
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/121865-clinical

20. Menconi F, Marcocci C, Marinò M. Diagnosis and classification of Graves’ disease.


Autoimmun Rev. 2014;13(4–5):398–402.

21. Joshi SR. Laboratory evaluation of thyroid function. J Assoc Physicians India.
2011;59(SUPPL JAN2011):14–20.

22. John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 12nd ed. Tanzil A, Wijayakusumah m.
jauhari, editors. singapore: Elsevier Inc.; 2016.

23. Dasar RK. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013;

24. Katzung B G, A.J T. Basic and Clinical Pharmacology. 13th editi. san fransisco: McGraw-

48
Hill; 2015.

25. Bruton L, Chabner B, Knollman B. Goodman & Gilman’s Pharmacological Basic of


Therapeutics. 12dn editi. Chabner bruce A, editor. US: McGraw-Hill; 2014.

26. Harvey RA, Champe PC. Farmakologi Ulasan Bergambar. 4th editio. US: wolters kluwer;
2013.

49

Anda mungkin juga menyukai