Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi


tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Hipertiroidisme
(Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar tiroid bekerja secara
berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan di dalam darah
(Semiardjie, 2003)
Hipertiroidisme dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid
yang berlebihan. Terdapat dua tipe hipertiroidisme spontan yang paling sering
dijumpai yaitu penyakit Graves dan goiter nodular toksik. Pada penyakit Graves
terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal, dan
keduanya mungkin tak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia
kelenjar tiroid, dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila
panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan
yang meningkat, palpitasi dan takikardi, diare, dan kelemahan serta atropi otot.
Manifestasi ekstratiroidal oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura
palpebra melebar, kedipan berkurang, lig lag, dan kegagalan konvergensi. Goiter
nodular toksik, lebih sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi
goiter nodular kronik, manifestasinya lebih ringan dari penyakit Graves
(Schteingart, 2006)
Di negara Amerika Serikat, penyakit Graves adalah bentuk yang paling
umum dari hipertiroid. Sekitar 60-80% kasus tirotoksikosis akibat penyakit

Graves. Kejadian tahunan penyakit Graves ditemukan menjadi 0,5 kasus per 1000
orang selama periode 20-tahun, dengan terjadinya puncak pada orang berusia 2040 tahun. Gondok multinodular (15-20% dari tirotoksikosis) lebih banyak terjadi
di daerah defisiensi yodium. Kebanyakan orang di Amerika Serikat menerima
yodium cukup, dan kejadian gondok multinodular kurang dari kejadian di wilayah
dunia dengan defisiensi yodium. Adenoma toksik merupakan penyebab 3-5%
kasus tirotoksikosis (Lee, et.al., 2011).
Prevalensi hipertiroid berdasarkan umur dengan angka kejadian lebih
kurang 10 per 100.000 wanita dibawah umur 40 tahun dan 19 per 100.000 wanita
yang berusia di atas 60 tahun. Prevalensi kasus hipertiroid di Amerika terdapat
pada wanita sebesar (1 ,9%) dan pria (0,9%). Di Eropa ditemukan bahwa
prevalensi hipertiroid adalah berkisar (1-2%). Di negara lnggris kasus hipertiroid
terdapat pada 0.8 per 1000 wanita pertahun (Guyton, 2007 ).
Tujuan dari penulisan untuk mengetahui penyakit hipertiroid yang mencakup
definisi, epidemiologi, etiologi, penegakkan diagnosis, patofisiologi dan
pathogenesis, penatalaksanaan pada kasus hipertiroid sehingga petugas kesehatan
dapat mengenali dan memberi terapi secara tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut American Thyroid Association dan American Association of
Clinical Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisiBerupa
peningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan olehkelenjar
tiroid

melebihi

normal.Hipertiroidisme

merupakan

salah

satu

bentuk

thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi


keduanya, di aliran darah.
Hipertiroidisme adalah sindrom yang dihasilkan dari efek metabolic yang
beredar secara berlebihan oleh hormone tiroid T4, T3 atau keduanya. Subklinis
hipertiroidisme mengacu pada kombinasi konsentrasi serum TSH yang tidak
terdeteksi dan konsentrasi serum T3, T4 normal, terlepas dari ada atau tidak
adanya tanda-tanda gejala klinis (Pauline, 2007).
2.2 Etiologi
Penyebab Hipertiroidisme adalah adanya Imuoglobulin perangsang tiroid
(Penyakit Grave), sekunder akibat kelebihan sekresi hipotalamus atau hipofisis
anterior, hipersekresi tumor tiroid. Penyebab tersering hipertiroidisme adalah
penyakit Grave, suatu penyakit autoimun, yakni tubuh secara serampangan
membentuk thyroid-stymulating immunoglobulin (TSI), suatu antibodi yang
sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid (Sherwood, 2002).
1. Tiroid :
a. Graves disease 80% karena ini

Terjadi pada usia 20 40 tahun, riwayat gangguan tiroidkeluarga, dan


adanya penyakit autoimun lainnya misalnya DM tipe I
b. Adenoma toksik
c. Toksik nodular goiter
d. McCune-Albrigth
e. Tiroiditis sub akut
f. Tiroiditis limfositik kronik

2. Hipofisis :
a. Adenoma hipofisis
b. Hipofisis resisten terhadap T4
3. Lain :
a. Eksogen
b. Iodine induced hyperthyroidism
c. hCG

2.3 Epidemiologi
Graves Disease menyumbang antara 60% sampai 80% dari pasien dengan
hipertiroidisme. Hal ini menyerang 10 kali lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria, dengan risiko tertinggi onset antara usia 40 sampai 60
tahun. Prevalensi adalah orang Asia dan Eropa. Adenoma autonom dan racun
multi-nodular gondok lebih sering terjadi di Eropa dan daerah lain di dunia di
mana penduduk cenderung mengalami defisiensi yodium, prevalensi mereka
juga lebih tinggi pada wanita dan pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun
(Pauline, 2007).

2.4 Patogenesis dan patofisiologi


1. Patogenesis
Proses pengeluaran hormone tiroid yang normal adalah sebagai berikut:
Hipotalamus

Hipofisis

Tiroid

(menerima
TRH/TIH)

Kurang Lebih

Pengeluaran TIH

ReseptorTSH/TIH

(tiroid inhibiting

merangsang kelenjar tiroid

hormon)

Kadar

hormon

tiroid di tubuh

Sekresi

hormone

Pengeluaran Pengeluaran

tiroid ke pembuluh

hormon

hormon

darah dan jaringan

tiroid

tiroid

dihentikan

(T3& T4)

Keterangan:
Panah hitam : umpan balik positif
Panah merah : umpan balik negative
Dari bagan tersebut dapat diketahui bahwa apabila terjadi suatu peningkatan kadar
hormone tiroid didalam tubuh maka akan terjadi feedback negative menuju
hipotalamus. Ketika feedback negative diterima oleh hipotalamus, maka akan
terjadi pengeluaran hormone inhibiting yang akan menurunkan sekresi/pembuatan
hormone tiroid. Proses ini terjadi ketika tiroid tidak mengalami suatu kelainan,
apabila terjadi suatu kelainan pada tiroid maka proses yang akan terjadi adalah
sebagai berikut (Guyton, 2007).
5

Hipotalamus

Hipofisis

Tiroid

(menerima
TRH/TIH)
Lebih

Pengeluaran

Reseptor

TIH

ditutupi

oleh

(Tiroid

(Tiroid

Stimulating

Inhibiting

TSH/TIH
TSI

Imunoglobulin)

Hormone)
Kadar

hormon

tiroid di tubuh

Sekresi

hormone

Pengeluaran

Pengeluaran

tiroid ke pembuluh

hormon

hormon

darah dan jaringan

tiroid tidak

tiroid

makin meningkat

dihentikan

(T3& T4)

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa terjadi peningkatan hormone tiroid. Hal
ini disebabkan oleh penutupan reseptor TSH dan TIH oleh Tiroid Stimulating
Inhibitor yang akan merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi hormone
tiroid secara terus menerus. Ketika produksi hormone tiroid telah dirasa cukup
oleh tubuh, maka tubuh akan memberikan umpan balik negative kepada
hipotalamus untuk mengeluarkan TIH (Tiroid Inhibiting hormone) yang akan
menurunkan produksi hormone tiroid. Dalam kejadian ini, TIH tidak akan
memberikan efek kepada kelenjar tiroid karena reseptornya ditutupi oleh TSI
sehingga kelenjar tiroid akan melanjutkan proses produksi hormone tiroidnya.
Ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium mengenai kadar hormone tiroid, maka
akan didapatkan hasil berupa peningkatan hormone T3 dan T4 tanpa adanya
peningkatan hormone TSH (Guyton, 2007). Kejadian ini didapatkan pada kasus
penderita hipertiroidisme, yang akan menyebabkan peningkatan kadar metabolism

di dalam tubuh dan peningkatan tmbuh kembang dari penderita tersebut (Robbins,
2007).
2. Patofisiologi
Hipertiroidisme disebabkan oleh antibody reseptor TSH yang merangsang
aktifitas tiroid, sehingga produksi tiroksin (T4) meningkat. Akibat peningkatan ini
ditandai dengan adanya tremor, ketidakstabilan emosi, palpitasi, meningkatnya
nafsu makan, kehilangan berat badan. Kulit lebih hangat dan berkeringat, rambut
halus, detak jantung cepat, tekanan nadi yang kecil, pembesaran hati, kadang
kadang terjadi gagal jantung. Peningkatan cardiac output dan kerja jantung selama
ketidakstabilan atrial menyebabkan ketidakteraturan irama jantung, terutama pada
pasien dengan penyakit jantung.Ancaman bagi kehidupan di kombinasi dengan
delirium atau koma, temperatur tubuh naik sampai 41o

C, detak jantung

meningkat, hipotensi, muntah dan diare.


Penyakit Graves memiliki gejala-gejala patognomonik sebagai ciri khas atau tanda
khusus. Beberapa gejala patognomonik yang menyertai penyakit Graves, yaitu:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus disebabkan karena limfosit sitotoksik dan antibodi sitotoksik
yang bersintesis dengan antigen serupa seperti TSH reseptor yang ditemukan
di orbital fibroblast, otot orbital, dan jaringan tyroid. Sitokin yang berasal dari
limfosit yang disintesis menyebabkan inflamasi di orbital fibroblast dan otot
ekstraokular, dan hasilnya adalah pembengkakan pada otot orbital (Gardner,
2007).

Pada hipertiroidisme imunogenik, eksoftalmus dapat ditambahkan terjadi akibat


peningkatan hormone tiroid, penonjolan mata dengan diplopia, aliran air mata
yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia juga terjadi. Penyebabnya terletak
pada reaksi imun terhadap antigen retrobulbar yang tampaknya sama dengan
reseptor TSH. Akibatnya terjadi pembengkakan otot mata, infiltrasi limfosit,
akumulasi asam mukopolisakarida, dan peningkatan jaringan ikat retrobulbar
(Silbernagl, et al., 2006).
Pengamatan eksoftalmus dapat dimilai menggunakan suatu metode yang
dinamakan NO SPECS:
0 = No signs or symptom
1 = Only signs (lid retraction or lag)
2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight loss
Namun, metode NO SPECS tidak bisa menilai mata secara keseluruhan, dan
kadang-kadang kronologi gangguan pada mata pasien tidak berurutan seperti
yang tertera di daftar NO SPECS untuk menilai derajat keparahan yang
diderita pasien tersebut. Sehingga ditakutkan hasilnya jadi kurang valid.
1) Untuk menilai proptosis bisa dilakukan dengan cara visualisasi antara iris
bagian bawah dengan palpebra bagian bawah. Untuk Graves Disease biasanya
iris pasien bisa terlihat di bagian bawah palpebra, padahal normalnya tidak.

2) Untuk menilai proptosis juga bisa menggunakan alat exopthalmometer


(Harrison, 2005).
b. Tremor
Berbeda dengan tremor yang biasa tejadi pada penyakit Parkinson,
tremor pada penyakit Graves merupakan tremor lembut, bukan tremor
kasar. Tremor halus terjadi dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan dianggap
sebagai efek dari bertambahnya kepekaan sinaps saraf pengatur tonus
otot di daerah medulla (Guyton, 2007).Gejala lain yang mengiringi
penyakit Graves, diantaranya:
1) Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun
Tingginya kadar hormon tiroid menyebabkan terjadinya peningkatan
metabolisme pada tubuh. Sehingga, tubuh memerlukan asupan makanan
yang lebih banyak untuk megimbanginya.
2) Berat badan turun
Peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon tiroid
membuat tbuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik yang ada di
dalam otot untuk membentuk glukosa melalui proses glukoneogenesis.
Karena diambil dari otot, maka pemakaian senyawa glukogenik secara
terus-menerus dapat mengurangi massa otot sehingga berat badan pun
bisa mengalami penurunan (Guyton, 2007).
3) Berdebar-debar
Peningkatan kadar triiodotironin (T3) sebagai salah satu hormon tiroid
dapat merangsang saraf simpatis yang berkaitan dengan hormon-hormon
yang dibentuk medulla suprarenal, yaitu epinephrin dan norepinephrin.
Kedua hormon tersebut dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung
dengan cara menstimulasi dan reseptor, terutama reseptor yang
berada di membran plasma otot jantung (Guyton, 2007).

4) Peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi normal


Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi getah
pencernaan dan pergerakan saluran cerna, sehingga hipertiroidisme
seringkali menyebabkan diare (Guyton, 2007).

10

Sekresi hormon tiroid

hipertiroidisme

hipermetabolisme

Penguraian glikogen - glukosa

Kontraksi usus

masa protein otot rangka

Degradasi KH, protein dan lemak Sering defekasi

Kebutuhan metabolisme

Sering lelah

BB

Nafsu makan

Bagan patofisiologi berat badan menurun, nafsu makan meningkat, sering


defekasi, sering lelah pada hipertiroidisme

11

SMMeitlo-sk ntyirao gd tmreb ptunydairkelm afopsiutankbermaknsyidbengka ntfilgaemn diaftbsrodan sbilda ter ngsa oleh p ngaruh sitok n
(mseiop rtis on beritf on gam a
Bagan patofisiologi diplopia dan eksoftalmus pada hipertiroidisme

12

FKRT u3ae nn&p gge sks iaa ha on r sm i n o a n p s s a r a f


tre
tpknT i agr4 oda ina d d a e r a h m e d u l l a
m
m(s ma er eamn nf i og da tu u l ra s t io n u s o t o t )
bo er l e b i
shn yg s k t ae tm s a r a f
Bagan patofisiologi tremor pada hipertiroidisme

2.5 Penegakan Diagnosis


1. Anamnesis
Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama, yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak.
Tiroidal dapat berupa goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan
hipertiroidisme akhibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala
hipertiroidisme dapat berupa hipermetabolisme dan aktivitas simpatis
yang meningkat seperti pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
13

panas, keringat berlebih, berat badan menurun sementara nafsu makan


meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan atau atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan seperti oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah biasanya (Amory,
2011).
Pada anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada hipertiroid
perlu juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang memiliki
penyakit yang sama atau memiliki penyakit yang berhubungan dengan
autoimun (Amory, 2011).
2. PemeriksaanFisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal yang
berupa oftalmopati yang ditemukan pada 50-80% pasien yang ditandai
dengan mata melotot, fissura paplebra melebar, kedipan berkurang, lid
lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan
kegagalan konvergensi. Pada manifestasi tiroidal dapat ditemukan goiter
difus, eksoftalmus, palpitasi, suhu badan meningkat, dan tremor (Amory,
2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis
adalah pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT41 (free
thyroxine index), pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti
tiroglobulin dan antimikrosom, penguruan kadar TSH serum, test
penampungan yodium radiokatif (radioactive iodine uptake) dan
pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning) (Amory, 2011).
4. Gold Standard Diagnosis

14

Gold standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan FT4
(Amory, 2011).
2.6 Penatalaksanaan
1. Farmakologis
Hipertiroid dapat diberikan obat antitiroid golongan tionamid. Terdapat 2
kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil yang dipasarkan dengan nama
propiltiourasil (PTU) dan imidazol yang dipasarkan dengan nama metimazol
dan karbimazol. Mekanisme kerja obat antitiroid bekerja dengan dua efek,
yaitu efek intra dan ekstratiroid. Berikut merupakan mekanisme masingmasing efek (Palacios, 2012).
a. Mekanisme aksi intratiroid adalah menghambat oksidasi dan
organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosis, mengubah
struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin
sehingga mencegah atau mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan
T4.
b. Mekanisme aksi ekstratiroid adalah menghambat konversi T4 menjadi
T3 di jaringan perifer. Obat yang bekerja dengan mekanisme aksi
ekstratiroid adalah propiltiourasil (PTU).
Dosis PTU dimulai degan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol
20-40 mg/hari dengan dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah
itu dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respon klinis dan
biokimia. Jika ditemukan dosis awal belum memberikan perbaikan klinis,
dosis dapat dinaikan bertahap hingga dosis maksimal, sementara jika
dosis awal sudah memberi perbaikan klinis maupun biokimia, dosis
diturunkan hingga dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol/
tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan
eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Pemilihan PTU dan

15

metimazol dapat disesuaikan dengan kondisi klinis karena berdasarkan


kemampuan menghambat penurunan segera hormon tiroid di perifer,
PTU lebih direkomendasikan (Palacios, 2012).
2. Nonfarmakologis
Pada terapi nonfarmakologi, penderita hipertiroid dapat diedukasi untuk
diet tinggi kalori dengan memberikan kalori 2600-3000 kalori per hari
baik dari makanan main dari suplemen, konsumsi protein tinggi 100-125
gr (2,5 gr/kg BB) per hari untuk mengatasi proses pemecahan protein
jaringan seperti susu dan telur, olah raga teratur, serta mengurangi rokok,
alkohol, dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme
(Palacios, 2012).

BAB III
KESIMPULAN
1.

Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi


tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan.
Hipertiroidisme (Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar
tiroid bekerja secara berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang

berlebihan di dalam darah


2.
Penyebab paling seringadalah graves disease
3.
Manifestasi klinis dari hipertiroid adalah jantung berdebar, rasa lelah,
4.

tremor, gelisah, nafsu makan meningkat namun BB menurun, eksoftalmus.


Penegakan diagnosis hipertiroid dapat menggunakan pemeriksaan

laboratorium kadar FT4 dan TSH


5.
Tatalaksana farmakologis yang digunakan adalah PTU dan tiamazol. Tata
laksana non farmakologis yang dilakukana dalah diet tinggi kaloridan protein.

16

DAFTAR PUSTAKA
Amory, JK., Irl BH. 2011. Hyperthyroidism from Autoimmune Thyroiditis in a
Man with Type 1 Diabetes Mellitus: a Case Report. Journal of Medical
Case Reports 2011, 5:277
Gardner, David G, Dolores Shoback. 2007. Basic and Clinical Endocrinology.
Jakarta: Sagung Seto.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC
Harrison, Tinsley R. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th
Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies.
Lee, S.L., Ananthankrisnan, S., Ziel, S.H., Talavera, S., Griffing, G.T., 2011.
Hyperthyroidism. http://emedicine.medscape.com (Diakses tanggal 3
November 2014)
Palacios, SS. Eider, PC. Juan, CG. 2012. Management of Subclinical
Hyperthyroidism. International Journal of Endocrinology and
Metabolism April 2012; 10(2): 490-496
Pauline, M. Chamacho., Hossein, Gharib., Glen, W. Sizemore. 2007. EvidenceBased Endocrinology.
Schteingart, D.E. 2006. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Huriawati H., Natalia
S., Pita W., Dewi A.M (Editors). Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Dalam. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Hal: 1225-36
Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku
kedokteran: EGC
Silbernagl, Stefan, Florian Lang. 2006. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta:EGC

17

18

Anda mungkin juga menyukai