Anda di halaman 1dari 9

PATOFISIOLOGI TIROIDITIS

Oleh :

Novica Ayu Saputri Pasaribu

190204042

DOSEN PEMBIMBING :

Ns.Agnes Marbun,M.Kep

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

KEPERAWATAN

2020/2021
1. A. ANATOMI FISIOLOGI
Kelenjar tiroid merupakan organ yang berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di sebelah anterior
trachea.Kelenjar ini terdiri atas dua lobus lateral yang dihubungkan oleh sebuah istmus.Kelenjar tiroid mempunyai panjang kurang lebih
5 cm serta 3 cm dan berat kurang lebih 30 gr.Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yang berbeda tiroksin (T4), Trilodotironin
(T3) dan Kalsitonin. Ambilan dan metabolisme Iodium.Iodium merupakan unsur esensial bagi tiroid untuk sintesis hormon
tiroid.Gangguan utama akibat defisiensi Iodium adalah perubahan fungsi tiroid. Iodium dikonsumsi dari makanan dan diserap dalam
darah di dalam traktus gastrointestinal. Kelenjar tiroid bekerja sangat efisien dalam mengambil Iodium dari darah dan kemudian
memekatkannya dalam sel-sel kelenjar tersebut. Ion-ion iodida akan diubah menjadi molekul Iodium yang akan bereaksi dengan tirosin
(suatu asam amino) untuk membentuk hormon tiroid. Pengaturan fungsi tiroid. Sekresi tirotropin, atau TSH (Thyriod Stimulating
Hormone), oleh kelenjar hipofisis akan mengendalikan kecepatan pelepasan hormon tiroid. Selanjutnya, pelepasan TSH ditentukan oleh
kadar hormon tiroid dalam darah. Jika konsentrasi hormon tiroid dalam darah menurun, pelepasan TSH meningkat sehingga terjadi
peningkatan keluaran T4 dan T3.Keadaan ini merupakan suatu contoh pengendalian umpan balik (feedback control).Hormon pelepasan
tirotropin (TRH) yang disekresi oleh hipotalamus memberikan pengaruh yang mengatur pelepasan TSH dari hipofisis.Fungsi hormon
tiroid.Fungsi utama hormon tiroid T3 dan T4 adalah mengendalikan aktivitas metabolik seluler.Kedua hormon ini bekerja sebagai alat
pacu umum dengan mempercepat proses metabolisme.Hormon tiroid mempengaruhi replikasi sel dan sangat penting bagi perkembangan
otak.Adanya hormon tiroid dalam jumlah yang adekuat juga diperlukan untuk pertumbuhan normal. Melalui efeknya yang luas terhadap
metabolisme seluler, hormon tiroid mempengaruhi sistem organ yang penting. Kalsitonin atau tirokalsitonin merupakan hormon penting
lainnya yang disekresi oleh kelenjar tiroid.Hormon ini disekresi oleh kelenjar tiroid sebagai respon terhadap kadar kalsium plasma
dengan meningkatkan jumlah penumpukan kalsium dalam tulang. Efek hormon tiroid pada pertumbuhan meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan otak selama kehidupan janin.Bila janin tidak dapat mensekresi hormon tiroid dalam waktu yang cukup maka pertumbuhan
dan pematangan otak sebelum dan sesudah bayi dilahirkan akan sangat terbelakang dan otak tetap berukuran kecil dari normal.Hormon
tiroid meningkatkan laju metabolisme sebagian besar sel tubuh.Bila produksi hormon tiroid sangat meningkat maka hampir selalu
menurunkan berat adan. Dan bila produksinya menurun hampir selalu meningkatkan nafsu makan.Keadaan ini dapat melebihi
keseimbangan perubahan kecepatan metabolisme Efek pada sistem kardiovaskuler hormon tiroid akan meningkatkan aliran darah dan
curah jantung, frekuensi denyut jantung, kekuatan denyut jantung, volume darah, dan tekanan arteri. Efek pada respiratori. Meningkatnya
kecepatan metablisme akan meningkatkan pemakaian oksigen dan pembentukan karbon dioksida.Ini akan mengaktifkan semua
mekanisme yang meningkatkan kecepatan dan kedalaman pernapasan. Efek pada saluran cerna, meningkatkan nafsu makan dan asupan
makanan, karena hormon tiroid meningkatkan kecepatan sekresi getah pencernaan dan gerakan saluran cerna. Sering terjadi diare,
kekurangan hormon tiroid dapat menimbulkan konstipasi. Efek pada sistem syaraf pusat.Hormon tiroid meningkatkan kecepatan berfikir,
tapi juga sering menimbulkan disosiasi pikiran, dan sebaliknya berkurang hormon tiroid akan menurunkan fungsi ini. Efek terhadap
fungsi otot.Peningkatan hormon tiroid dapat menyebabkan otot bereaksi dengan kuat, namun bila jumlah hormon ini berlebihan, maka
otot-otot malahan menjadi lemah oleh karena berlebihnya katabolisme protein. Kekurangan hormon tiroid menyebabkan otot sangat
lambat, tremor pada otot. Efek pada tidur.Karena efek yang melelahkan dari hormon tiroid pada otot dan sistem syaraf pusat, maka
penderita hipertiroid seringkali merasa capai terus menerus tetapi karena efek ekstasi dari hormon tiroid pada sinaps, timbul kesulitan
tidur.Sebaliknya, somuolen yang berat merupakan gejala khas dari hipertiroidisme, disertai dengan waktu tidur yang berlangsung selama
12 jam sampai 14 jam sehari. Efek hormon tiroid pada fungsi seksual. Pada pria, berkurangnya hormon tiroid menyebabkan hilangnya
libido dan sebaliknya sangat berlebihannya hormon ini seringkali menyebabkan impotensi. Pada wanita, kekurangan hormon tiroid
seringkali menyebabkan timbulnya menoragia dan polimenore.

B. PENGERTIAN
Tiroiditis adalah suatu peradangan pada kelenjar tiroid,menyebabkan hipertiroidisme sementara yang seringkali diikuti oleh
hipotiroidisme sementara atau sama sekali tidak terjadi perubahan dalam fungsi tiroid. Tiroiditis merupakan inflamasi kelenjar
tiroid.Keadaan ini bisa bersifat akut, sub akut atau kronis. Masing-masing tipe tiroiditis ditandai oleh inflamasi, fibrosis atau
implemantasi limfotik pada kelenjar tiroid.

C. KLASIFIKASI
1. Tiroiditis Akut Merupakan kelainan langka yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, mikrobakteri atau parasit pada kelenjar
tiroid.Stapilokokus aureus atau jenis stafilokokus lain merupakan penyebab yang paling sering dijumpai.Secara khas, penyakit ini
menyebabkan nuyeri serta pembebgkakan leher pada bagian anterior, panas, disfagia, dan dispocia.Faringitis atau gejala sakit leher sering
dirtemukan.Pemeriksaan dapat menunjukkan rasa hangat, eritema (kemerahan) dan nyeri tekan pada kelenjar tiroid.Tetapi teoriditis akut
mencakup pemberian preperat antibiotik dan penggantian cairan.Tindakan insisi dan drainase diperlukan jika terdapat abses.
2. Tiroiditis Subakut Tiroiditis sub akut dapat berupa tiroiditis garanula matosa sub akut (tiroiditis de quervam) atau tiroiditis tanpa nyeri
(silent thiroiditis atau tiroiditis limpfositik sub akut).Tiroiditis granulomatosa sub akut merupakan kelainan inflamasi pada kelenjar tiroid
yang terutama mennterang wanita nberusia antara 40 hingga 50 tahun (sakiyuma 1993) kelainan ini ditemukan sebagai pembengkakan
yang nyeri pada leher bagian anterior, dan berlangsung selama1 atau 2 bulan dan kemudian menghilang spontan tanpa gejala
sisa.Tiroiditis ini sering terjadi setelah infeksi respiratorius.Kelenjar tiroid membesar secra simetris dan kadang-kadang terasa nyeri.
Kulit diatasnya sering tampak kemerah dan terasa hangat.Pasien merasa sulit menelan dan mengalami gangguan rasa nyaman, iritabilitas,
kegelisahan insoumnia dan penurunan berat badan yang kesemuanya merupakan manipestasi dari hipertiroidisme sering dijumpai, dan
banyak pasien juga merasakan gejala demam serta menggigil.Tiroiditis tanpa nyeri (tiroiditis limposifik sub akut) sering terjadi pada
periode pasca partus dan diperkirakan disebabka oleh autoimun. Gejala hipertiroidisme atau hipertiroidisme mungkin saja timbul, tetapi
ditunjukkan untuk menangani gejala, dan pemeriksaan tindak lanjut yang dilakukan setahun sekali perlu dianjurkan untuk enentukan
aapakah pasien memerlukan terapi guna mengatasi hipertiroidisma yang kemudian
3. Tiroiditis kronis (tiroiditis hashimoto) Tiroiditis kronis yang paling sering dijumpai pada wanita berusia 30 hingga 50 tahun diberi
nama penyakit hashimoto atau tiroiditis limfosik kronis.penegakan diagnostiknya dilakukan berdasarkan gambaran histopatologis
kelenjar tiroid yang mengalami inflamasi.Berbeda denag tiroiditis akut, bentuk yang kronis ini biasanya tidak disertai nyeri, gejala
penekanan ataupun rasa panas, aktifitas kelenjar tiroid biasaya normal atau rendah dan bukan meningkat.

D. ETIOLOGI
Etiologi dari tiroiditis dibagi berdasarkan klasifikasi
1. Tiroiditis subakut Yang jelas sampai sekarang tidak diketahui, pada umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai
antibody autoimun.
2. Tiroiditis akut supuratif
Kuman penyebab biasanya stafhylococcus aureus, stafhylocaccus hemolyticus dan pneumococcus. Infeksi dapat terjadi melalui aliran
darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktuk tiroglosus yang persisten,
kelainan yang terjadi dapat disertai terbentuknya abses atau tanpa abses. Abses ini dapat menjurus ke mediastinum, bahkan dapat pecah
ke trakea dan esophagus.
3. Tiroiditis hashimoto Untuk alasan yang tidak diketahui, tubuh melawan dirinya sendiri dalam suatu reaksi autoimun, membentuk
antibodi yang menyerang kelenjar tiroid. Penyakit ini 8 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang
memiliki kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan sindroma Kleinefelter.
4. Tiroiditis limfosotik laten Penyebabnya tidak diketahui. Terjadi penyusupan limfosit (sejenis sel darah putih) ke dalam kelenjar tiroid.

E. PATOFISIOLOGI
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang
suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid. Walaupun etiologi pasti respon
imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis
PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan
seluler yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau
antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi
antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen. Berikut dijelaskan
mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi
tiroid, ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi pada proses penyakit ini.
1.Faktor genetik Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor
sel T, serta antibodi, dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase), transporter iodium, TSHR (TSH
Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), CD4,
HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR. Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang
terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat
protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h,
CD4), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen (2). CTLA-4 dan
CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi
dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain
seperti diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan myasthenia gravis. Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini
menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial. Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya
ditemukan antibodi antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran
kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits
Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA- DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto
dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.
2.Faktor Lingkungan Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun,
diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral,
jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi
virus dan bakteri . Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan
risiko autoimunitas tiroid. beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan fenotipenya. Faktor
lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe Berat lahir rendah Maturasi thymik
tidak sempurna Antibodi TPO Ekses iodium Tidak terjadi escape effect Wolff-Chaikoff; Jod- Basedow HT GD Defisiensi selenium
Tidak diketahui; viral? HT Jarak proses reproduktif yang panjang Efek estradiol HT Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO
Mikrokhimerisme fetal Sel laki-laki di sel tiroid menimbulkan efek antitiroid HT dan GD Stress Upregulasi sumbu HPA GD Alergi
Tidak diketahui; kadar IgE tinggi GD Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GO Infeksi Yersinia enterocolitica Mimikri
molekuler GD

Keterangan : HT : Hashimoto thyroiditis GD : Graves’ disease GO : Graves’ ophthalmopathy Berat badan lahir bayi rendah merupakan
faktor risiko beberapa penyakit tertentu seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama kehamilan dapat menyebabkan
intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor.
Mungkin ada faktor intrauterin tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang
terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari . Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid.
Hipotiroid lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis
lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai
petanda ancaman kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan dapat menyebabkan
disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan
hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau
bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua
fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan
menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI. Selenium merupakan
trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine, yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem
imun. Defisiensi selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin karena
limfosit T memerlukan selenium. Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan radikal bebas.
Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase,
berperan dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker (cancer
mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya
infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan
pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid subklinik akan
menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid. Stress
mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi,
menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan
sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie
B), sedangkan imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali didahului
oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves. Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor
stress. Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi
bertindak sebagai faktor pencetus PTAI seperti :.
a. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;
b. Induksi molekul MHC kelas II
c. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan
kanker paru, juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi
Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta
eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan iodium radioaktif .
3. Autoantigen dan autoantibodi tiroid Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid
melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau
autoantibodi berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja
autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen spesifik yang dominan pada
PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin, dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid
microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid.
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO
tidak menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai
petanda (marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid. Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-
TPO mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai hipotiroid
pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik. Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan menjadi:
a. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;
b. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang sintesis hormon tiroid;
c. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel folikel;
d. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema). Aktivitas
berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada
penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya. Antibodi lain yang juga dapat ditemukan
adalah antibodi terhadap koloid kedua (second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi terhadap
hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin). Dapat
terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity.
Contohnya konversi menjadi hipertiroid Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit Hashimoto, dan
konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan.
4. Mekanisme apoptosis Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI – tiroiditis Hashimoto dan
penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+) T regulatory cells akan merusak
(breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme
yang memediasi proses apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis pada GD akan
mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan mekanisme apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk
respons autotimun berbeda yang akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. 5. Peran sitokin
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit
CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan respon imun
langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL- 5, dan IL-13 yang akan
mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3 menghasilkan terutama TGFβ yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari
penyakit autoimun. Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan menginduksi perubahan
pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid
untuk menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi dan
destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi
terhadap disfungsi tiroid. Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-associated ophthlamopathy
(TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin,
yang akan memperluas proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas II, Heat Shock Protein (HSP),
molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu
pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan
orbita melalui efek stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase oleh fibroblast retrobulbar.
Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan
untuk menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati.

F. TANDA DAN GEJALA


Tergantung pada ciri-cirinya, gejala tiroiditis dapat meniru tiroid kurang aktif atau terlalu aktif.Gejala-gejala ini bisa meliputi:
1. Penurunan atau kenaikan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
2. Nyeri otot atau rasa lesu dan lemah.
3. Depresi, gelisah atau cemas.
4. Kelelahan atau sulit tidur.
5. Detak jantung cepat.
6. Sering buang air besar
7. Keringat bertambah
8. Periode menstruasi tidak teratur(pada wanita)
9. Iritabilitas
10. Kram otot
11. Berat badan menurun

G. PENATALAKSANAAN
tujuan terpi adalah mengembalikan inflamasi.Secara umum, preparat anti-inflamasi konsteroid (NSAID) digunakan untuk menguirangi
rasa sakit pada leher, panggunaan asam asetil salisilat (aspirin) perlu dihindari bila gejala hipertiroidisme timbul, karena aspirin akan
mengusir hormon tiroid dari tempat penyikatannya hingga meningkatkan jumlah hormon tersebut dalam darah. Preparat penyekat beta
dapat digunakan untuk mengendalikan gejala hipertiroidisme.Preparat antitiroidyg akan menyekat sintetis T3 dan T4 efektif untuk
mengobati tiroiditis karena tirotoksikosis, yang menyertai keadaan ini, terjadi akibat pelepasan hormon tiroid yang tersimpan dan bukan
akibat peningklatan siufesisunya, pada kasus-kasus yang lebih berat, preparat kortikostroid oral kadang-kadang dapat diresepkan untuk
meredakan rasa nyeri dan mengurangi pembengkakan. Meskipun demikian, preparat tersebut biasnya tidak mempengaruhi penyebab
yang mendasari infeksi ini. Pada sebagian kasus, keadaan hipertiroidisme dapat terjadi untuk sementara wktu dan memerlukan terapi
penggantian dengan hormon tiroid. Pemantauan lebih lanjut diperlikan untuk lebih lanjut diperluklan untuk mengetahuio pulihnya pasien
pada keadaan eutiroid.
Aspirin atau obat anti peradangan non-steroid lainnya (misalnya ibuprofen) bisa mengurangi nyeri dan peradangan. Pada kasus yang
sangat berat, bisa diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) selama 6-8 minggu. Jika pemberian kortikosteroid dihentikan, gejalanya
sering kembali muncul.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. T4 dan T3 serum
2. Tiroksin bebas
3. Kadar TSH serum
4. Ambilan isodium radioskopi Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid, serum atau jaringan
perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan kadar T3 dan T4 serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin
uptake dilakukan untuk menilai perubahan konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4 merupakan hormon yang
lebih poten. Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan prealbumin dapat merubah konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan pemeriksaan T3 lebih sensitif dalam
menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH dan tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid primer dan
sekunder. Pemeriksaan nodul tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.
I. KOMPLIKASI
1. Hipotiroidisme & Hipertiroidisme
2. Kerusakan pita suara (bisu)
3. DM tipe 1
4. Penyakit Addison
5. Leukemia
6. Sklerosis multiple
7. Kanker gastric

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Riwayat dan pemeriksaan kesehatan berfokus pada kekambuhan gejala yang berkaitan dengan percepatan metabolisme.Hal ini mencakup
keluhan keluarga dan pasien tentang kepekaan dan peningkatan reaksi emosional.Penting juga untuk menentukan dampak dari perubahan
ini yang telah dialami dalam interaksi pasien dengan kelaurga, teman, dan rekan kerja.Riwayatnya meliputi stresor lain dan kemampuan
pasien untuk menghadapi stres. Status nutrisi dan adanya gejala dikaji.Kekambuhan gejala berkaitan dengan output sistem saraf
berlebihan dan perubahan penglihatan dan penampilan mata.Oleh karena kemungkinan adanya perubahan emosi yang berkaitan dengan
hipertiroid, status emosi dan psikologi pasien dievaluasi. Keluarga pasien mungkin memberikan informasi tentang perubahan terakhir
dalam status emosi pasien.
1. Data Subjektif Hipersekresi kelenjar tiroid menimbulkan efek yang hebat pada kemampuan pasien untuk berfungsi, begitu pula pada
proses-proses fisiologis.Perawat mengumpulkan data dari pasien atau anggota keluarganya mengenai keadaan yang lalu dan keadaan
sekarang : Tingkat energi, kemampuan suasana hati dan mental,Kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari, Kemampuan mengatasi
stress, Intoleransi terhadap panas atau dingin, Asupan makanan, Pola eliminasi. Wawancara harus dapat membantu perawat mengetahui
pemahaman pasien atau keluarganya mengenai penyakit dan pengobatannya, dan mengenai perawatan yang diperlukan oleh pasien.
2. Data Objektif Pemeriksaan fisik awal harus mencakup keterangan pokok mengenai pasien : status mental (kemampuan mengikuti
pengarahan),status gizi, status kardiovaskular, karakteristik tubuh, penampilan dan tektur kulit, penampilan mata dan gerakan
ekstraokuler, adanya edema serta lokasinya, penampilan leher dan gerakannya, lingkaran perut, ekstremitas.
3. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid, serum atau jaringan
perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan kadar T3 dan T4 serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin
uptake dilakukan untuk menilai perubahan konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4 merupakan hormon yang
lebih poten Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan prealbumin dapat merubah konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan pemeriksaan T3 lebih sensitif dalam
menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH dan tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid primer dan
sekunder. Pemeriksaan nodul tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.
4. Dasar Data Pengkajian
a. Aktifitas / istirahat Gejala : insomnia, sensitivitas T, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan otot. Tanda : atrofi otot.
b. Sirkulasi Gejala : palpitasi, nyeri dada (angina). Tanda :disritma (vibrilasi atrium), irama gallop, mur-mur, peningkatan tekanan darah
dengan tekanan nada yang berat.Takikardi saat istirahat, sirkulasi kolaps, syok (krisis tiroksikosisi).
c. Eliminasi Gejala : urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam feces, diare.
d. Integritas ego Gejala : mengalami stres yang berat (emosional, fisik) Tanda : emosi labil 9euforia sedang sampai delirium), depresi
e. Makanan & cairan Gejala : kehilangan berat badan mendadak, napsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering kehausan,
mual, muntah. Tanda : pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial.
f. Neurosensori Tanda : bicara cepat dan parau, gangguan status mental, perilaku (bingung, disorientasi, gelisah, peka rangsang), tremor
halus pada tangan, tanpa tujuan beberapa bagian tersentak-sentak, hiperaktif refleks tendon dalam (RTP).
g. Nyeri/kenyamanan Gejala : nyeri orbital, fotofobia.
h. Pernapasan
Tanda : frekuensi pernapasan meningkat, takipnea, dispea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).
i. Keamanan Gejala : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan saat
pemeriksaan). Tanda : suhu meningkat di atas 37,4ºC, diaforesis kulit halus, hangat dan kemerahan Eksotalus: retraksi, iritasi pada
konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yag menjadi sagat parah.
j. Seksualitas Tanda : penurunan libido, hipomenorea, amenorea dan impoten.

DIAGNOSA KEPERAWATAN No Diagnose keperawatam Tujuan & criteria hasil Intervensi rasional 1 Nyeri berhubungan dengan
proses inflamasi Setelah mendapatkan asuhan jeperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan : Nyeri berkurang,skala 0-2, Tidak ada tanda-
tanda kesakitan,
1.Kaji lokasi dan skala nyeri
2.ajarkan manajemen nyeri , teknik napas dalam,& imajinasi
3.pantau kondisi pasien tiap 2 jam
4.colaburasi untuk pemberian analgetik
 1.untuk mengetahui lokasi dan berapa skala
 2.untuk mengatasi rasa nyeri yang dialami,
 3.untuk mengetahui kondisi pasien dan mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan
 4.dapat membantu mengurangi rasa nyeri 2 Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi Setelah mendapatkan asuhan
jeperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan : Suhu tubuh normal (36.5- 37.5 0 C) Tidak ada tanda dehidrasi Mukosa bibir lembab
1.Berikan kompres panas pada ketiak
2.anjurkan klien untuk menggunakan baju yang dapat menyerap keringat
3.monitoring v/s
4.colaburasi untuk pemberian obat
1. dapat membantu proses penurunan panas yang dialami pasien
2.karena kondisi tubuh yang lembab memicu pertumbuhan jamur sehingga beresiko menimbulkan komplikasi
3.sebagai indicator untuk mengetahui perkembangan hipertermi
4.membantu menuunkan suhu tubuh pasien
3. Perubahan nutirsi kurang dari keb.tubuh berhubungan dengan Setelah mendapatkan asuhan jeperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan :
1.awasi pemasokan diet,berikan makan sedikit tapi sering
2.berikan perawatan mulut
 untuk menghindari mual dan muntah dan memenuhi keb.nuteisi pasien
 menghilangkan rasa tidak enak proses penyakit Porsi makan kembali normal BB normal Pemeriksaan lab.normal dan
tidak menunjukan tanda-tanda malnutrisi sebelum makan
 anjurkan klien makan dalam posisi duduk tegak
 colaburasi dengan tim gizi
3.Mencegah tersedak
4.untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
PATOFISIOLOGI TIROIDITIS

Reaksi autoimun

Mempengaruhi mekanisme
imun humoral dan seluler

Limposit T Intraksi antara autoantibodi


tersensitesasi tiroid bersifat stimulaator

Anti bodi berkaitan Stimulator reseptor di membrane


dengan membrane sel sel tiroid bertindak sbg autoanti gen

Implamasi pada kelenjar


Gg fungsi k.tiroid
tiroid Obstruksi pada sal pernafasan

Keruskan selular pada Peningkatan resistensi Kadar hormone tiroid menurun


k.tiroid pernafasan

TSH meningkat
Kerusakan folikel Jalan nafas colaps

Meningkat kan T3 dan T4


Extravasasi triglobulin Udara terperangkap pada distal
folikel yang rusak paru
T3 dan T4 berlebihan

Terbentuk antibodi
triglobulin dalam darah Hiperventilasi alveolar
Hipertiroid
Stafilokokus aureus,
Berikatan dgn antibody stafilokokushemolitk Distribusi udara menurun
k. tiroid us pnemococus, virus Pembesaran K.tiroid

Ventilasi menurun
TIROIDITIS Nyeri menelan

GG DEFUSI GAS
Hipertiroidisme
Kesulitan menelan

Aktivitas sinpatik Inflamasi


berlebihan Asupan nutrisi menurun

Respon tubuh
Perubahan konduksi melawan reaksi Mk. Nutrisi kurang
listrik jantung inflamasi dari kebutuhan

Beban jantung Suhu tubuh Mengeluarkan mediator


meningkat meningkat nyeri

Aritmia tachicardi MK. hipertermi Menekan ujung saraf Nyeri di proses di MK. G RASA NYAMAN
bebas otak DAN NYERI

MK. RESIKO PENURUNAN CURAH


JANTUNG
Metabolisme meningkat

Sal.cerna Ketidakseimbangan
Pusat pernafasan arcus energidengan kebutuhan tubuh
aorta nerfus fernikus
Asam lambung
meningkat kelelahan
Respirasi meningkat

MK.INTOLERANSI AKTIVITAS
Sesak nafas Intake in adekuat

MK.KETIDAKEFEKTIFAN Mual,muntah
POLA NAFAS

MK.NUTRISI KURANG
DARI KEBUTUHAN
TUBUH

Anda mungkin juga menyukai