Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

BLOK 1.2 : Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia

KELOMPOK 2 :

Jovan Amadeo Mulianto 1523019012

Richard Gilbert Sufiady 1523019013

Kevin Valentino Tantojo 1523019014

Chelsea Audini Mellinea 1523019017

Nathalie Marelli A 1523019018

Eric Fernandez 1523019019

Shinta Farhana Putri 1523019020

Gani Adriel Owen 1523019021

Amanda Aulia Citra Debby 1523019022

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2019

1
DAFTAR ISI
1. Skenario Pemicu
1.1 Kata kunci……………………………………………………………………..3

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………..3

1.3 Mind map……………………………………………………………………...4

2. Pembahasan

2.1 Hubungan Usia dengan Kualitas Sperma dan Ovum …..…………………….5


2.2 Oligoasthenozoospermia…....………………………………………………....7
2.3 Penyebab Down Syndrome……..……………………………………………..8
2.4 Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Awal Manusia Normal ..…………..8
2.5 Proses Teknologi Reproduksi Berbantu pada Manusia………...........................9
2.6 Masalah Etik, Moral, dan Religiusitas yang Berkaitan dengan Teknologi Reproduksi
Berbantu pada Manusia …………........................................................................11
3.Ringkasan................................................................………...................................13
4.Peta Konsep………………………………………………………………………15
5.Daftar Pustaka......................................................................………......................16

2
1. SKENARIO PEMICU

Ana dan Budi adalah pasutri berusia 35 dan 38 tahun. Mereka telah menikah selama
10 tahun dan belum memiliki anak. Dokter mendiagnosis Budi dengan oligo
asthenozoospermia. Atas saran dokter, Budi dan Ana melakukan teknologi reproduksi
berbantu yaitu dengan in-vitro fertilization metode intracytoplasmic sperm injection.
Prosedur yang dilakukan oleh dokter meliputi ovarian hyperstimulation, oocyte and
sperm retrieval, fertilization with intracytoplasmic sperm injection, embryo culture,
embryo selection, dan luteal support. Satu dari tiga embrio yang dihasilkan mengalami
trisomi kromosom 21.

1.1 KATA KUNCI

1. Pasutri 35 dan 38 tahun menikah selama 10 tahun belum memiliki anak


2. Oligoasthenozoospermia
3. Teknologi reproduksi berbantu
4. In- vitro fertilization
5. Intracytoplasmic sperm injection
6. Satu dari tiga embrio yang dihasilkan terjadi trisomi kromosom 21

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa hubungan antara usia dengan kualitas sperma dan ovum?


2. Apa yang dimaksud dengan oligoasthenozoosperma dan apa penyebabnya?
3. Mengapa satu dari tiga embrio dapat terjadi down syndrome?
4. Bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan awal kehidupan manusia normal?
5. Bagaimana proses teknologi reproduksi berbantu pada manusia?
6. Apa masalah etik, moral, dan religiusitas yang terkait dengan reproduksi berbantu pada
manusia?

3
1.3 MIND MAP Pasutri 35 dan 38 tahun

Belum memiliki anak


(10 tahun)

Terdiagnosis
oligoasthenozoospermia

Masalah etik, moral, Dibantu teknologi


dan religiositas reproduksi in-vitro
fertilization

Prosedur in-vitro
fertilization

1 embrio mengalami
2 embrio normal
down syndrome

4
2. PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Usia dengan Kualitas Sperma dan Ovum

Pada laki – laki, proses pembentukan sperma atau disebut spermatogenesis berlanjut
sampai mati. Akan tetapi, produksi hormon testosteron akan semakin berkurang. Hormon
testosteron ini berfungsi untuk pertumbuhan dan pembelahan sel – sel germinal testis.
Semakin berkurangnya hormon ini, kualitas dan jumlah sperma akan semakin menurun dan
akan terjadi penurunan lambat fungsi seks.

Sementara itu pada perempuan, sekitar 300.000 oosit ada di dalam ovarium. Ribuan
oosit yang tidak matang akan berdegenerasi. Selama bertahun – tahun reproduksi manusia
dewasa, antara usia sekitar 13 sampai 46 tahun, hanya 400 sampai 500 folikel primordial
cukup berkembang untuk melepaskankan oosit sekunder setiap bulannya. Apabila oosit
sekunder ini dibuahi oleh sperma, maka oosit sekunder ini akan melanjutkan proses
meiosisnya dan apabila oosit sekunder ini tidak dibuahi oleh sperma, oosit sekunder akan
masuk ke dalam fase menstruasi. Semakin bertambahnya usia seorang perempuan, maka
jumlah oosit sekundernya akan berkurang dan kualitasnya oosit sekundernya dipengaruhi
oleh gaya hidup.

Kualitas sperma dan ovum akan mempengaruhi keberhasilan in-vitro fertilization Faktor
– faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan in- vitro fertilization adalah gaya hidup,
masalah reproduksi di masa lalu, dan penyebab infertilitas. Berdasarkan data di Amerika:

1. Untuk perempuan berusia dibawah 35 tahun, tingkat keberhasilan in-vitro fertilization


mencapai 41 – 43%
2. Untuk perempuan berusia 35 – 37 tahun, tingkat keberhasilan in-vitro fertilization
mencapai 33 – 36%
3. Untuk perempuan berusia 38 – 40 tahun, tingkat keberhasilan in-vitro fertilization
mencapai 23 – 27%
4. Untuk perempuan diatas 40 tahun, tingkat keberhasilan in-vitro fertilization mencapai
13 – 18%

5
2.2 Oligoasthenozoospermia

Oligoasthenozoospermia merupakan penyakit kelainan pada sperma yang merupakan


gabungan dari dua penyakit kelainan sperma yaitu oligoozoospermia ( kurangnya produksi
sperma) dan asthenozoospermia (lambatnya gerakan sperma). Normalnya pria menghasilkan
15 juta atau lebih sperma/cc. Sedangkan jika seorang pria memproduksi sperma dibawah 15
juta maka pria tersebut dapat didiagnosa dengan oligozoospermia. Oligozoospermia
tergolong menjadi tiga kelas. Mild oligozoospermia adalah keadaan dimana seorang pria
hanya memproduksi sperma sebanyak 10 sampai 15 juta sperma/cc. Moderate
oligozoospermia merupakan keadaan dimana seorang pria mengasilkan sperma sebanyak 5
sampai 10 juta sperma/cc. Sedangkan severe oligozoospermia merupakan keadaan dimana
seorang pria memproduksi sperma di bawah 5 juta sperma/cc.

Sperma normalnya bergerak dengan kecepatan sekitar 25 mikrometer/detik. Jika


kecepatan pergerakan sperma di bawah 25 mikrometer/ detik, maka pria tersebut didiagnosa
dengan Asthenozoospermia. Sama seperti oligozoospermia, asthenozoospermia juga dibagi
menjadi tiga. Yang pertama adalah sperma dengan pergerakan lambat. Yang kedua non-
progressive motility, dimana pada kondisi ini kecepatan pergerakan sperma dibawah 5
mikrometer/ detik. Dan golongan asthenozoospermia yang terakhir adalah sperma tanpa
pergerakan sama sekali.

Jika seorang pria memproduksi jumlah sperma di bawah 15 juta sperma/cc dengan
kecepatan spermanya dibawah 25 mikrometer/ detik, maka pria tersebut dapat didiagnosa
dengan oligoasthenozoospermia. Ada beberapa penyebab dari oligoasthenozoospermia,
yaitu:
1. Pengaruh obat seperti steroid dan obat- obatan yang biasanya untuk menangani
hipertensi, kanker, atau depresi. Obat- obatan ini dapat mempengaruhi fertilitas.
2. Pengaruh genetik, genetik dapat menyebabkan infertilitas. Pada sperma genetik
mempengaruuhi produksi sperma, gerakan sperma, dan transport sperma.
3. Kadar hormon yang tidak normal, kadar hormon yang tidak normal ini mempengaruhi
produksi sperma.

6
4. Antibodi dapat menyerang sperna, karena antibodi mengenali sperma sebagai bakteri
atau virus.
5. Infeksi pada sistem reproduksi pria, terutama pada prostat dapat mempengaruhi produksi
sperma.
6. Gaya hidup juga dapat mempengaruhi fertilitas. Biasanya orang yang memiliki kebiasaan
merokok, meminum alkohol, dan memakai narkoba akan mempengaruhi produksi
sperma.
7. Vericocele adalah kondisi yang menyebabkan vena yang berada di dalam skrotum
membesar.

2.3 Penyebab Down Syndrome

Down syndrome adalah gangguan genetik disebabkan karena adanya kelebihan


kromosom nomor 21. Kromosom lebih ini bisa menempel pada pasangan kromosom 21
lainnya, bisa juga menempel pada pasangan kromosom selain 21 atau yang disebut sebagai
translocation down syndrome. Kelebihan kromosom ini bisa mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan fisik maupun psikologi penderita.

Down syndrome ini disebabkan karena terjadinya nondisjunction atau gagal membelah
saat meiosis sehingga yang seharusnya membelah menjadi rata 23 dan 23, malah menjadi 22
dan 24. Hal ini sangat rentan terjadi kepada wanita yang berusia 35 tahun ke atas. Selain itu
ini juga rentan kepada orang tua yang sudah memiliki anak down syndrome.

7
2.4 Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Awal Manusia Normal

Pertumbuhan dan perkembangan awal manusia normal meliputi proses yang panjang.
Namun agar sesuai dengan konteks skenario pemicu, proses pertumbuhan dan perkembangan
yang akan dibahas hanya akan mencakup fertilisasi, cleavage, dan pembentukan blastocyst,
sebab bila embrio dipindahkan ke rahim ibu pada tahap ini, peluang keberhasilan TVF ada
pada titik paling tinggi.

Di fase fertilisasi, kurang lebih 300 juta sel sperma masuk ke dalam uterus. Saat
mencapai sel ovum, sel sperma pertama-tama menembus korona radiata, lalu menembus zona
pelusida. Setelah satu sel sperma masuk, sel ovum yang masih dalam bentuk oosit sekunder
menjalani proses meiosis II. Proses ini menghasilkan badan polar II dan ovum dewasa,
dimana badan polar II akan dilepaskan. Proses ini kemudian dilanjutkan oleh pembengkakan
kepala sel sperma dan pemutusan ekor sel sperma. Lalu sel ovum dan sel sperma melebur dan
menghasilkan zigot.

Zigot yang mengangkut 23 kromosom dari sel ovum dan 23 kromosom dari sel sperma
kemudian melalui tahap cleavage, yaitu pembelahan sel. Penambahan jumlah sel ini tidak
disertai dengan penambahan ukuran zigot sebab ukuran zigot masih dibatasi oleh zona
pelusida. Setelah mencapai jumlah 16 sel, zigot tersebut dinamai morula. Sel-sel morula ini
telah terdiferensiasi menjadi dua, yaitu Inner Cell Mass dan Outer Cell Mass.

Morula yang telah mencapai jumlah kurang lebih 100 sel, morula tersebut dinamai
blastocyst, dimana Inner Cell Mass telah terdiferensiasi menjadi embrioblas sebagai bakan
sel mudigah sebenarnya, dan Outer Cell Mass telah terdiferensiasi menjadi trofoblas sebagai
bakal plasenta dan tali pusat. Embrioblas blastocyst kemudian akan terdiferensiasi menjadi 2
lapisan, yaitu lapisan epiblas dan hipoblas. Setelah itu terbentuk primitive node dan primitive
streak, yang kemudian akan membantu pembentukan lapisan ketiga diantara epiblas, yang
merupakan bakal ektodem dan hipoblas, yang merupakan bakal endoderm. Lapisan ketiga
tersebut adalah mesoderm. Pada tahap inilah pemindahan embrio pada rahim ibu dapat
dilakukan agar peluang keberhasilan IVF ada pada titik tetinggi.

2.5 Proses Teknologi Reproduksi Berbantu pada Manusia

Proses in vitro Fertization with intracytoplasmic sperm injection terdiri dari tujuh tahap
yang meliputi :

1. Ovarian Hyperstimulation

Ovarian hyperstimulation adalah tahapan suatu proses dimana hormon gonadotropin


diberikan kedalam tubuh, untuk merangsang pertumbuhan folikel didalam ovarium.
Proses ini membantu proses maturase sel ovum. Pasien wanita akan diinjeksi dengan
obat selama 8-14 hari untuk menstimulasi ovarium untuk menghasilkan sel ovum.
Follicle-stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) dapat diproduksi
secara natural oleh tubuh maupun dimasukan melalui obat. Untuk dilihat

8
perkembanganya dan menentukan dosis yang dibutuhkan, pasien akan datang ke klinik
selama 7-8 kali. Langkah terakhir adalah “The Triger Injection”, langkah ini ada 2 jenis
tergantung pasienya yaitu, Human Chorionic Gonadotropin (hCG) atau buserelin
trigger.

2. Oocyte and sperm retrieval

Proses dimana oosit akan diambil dari folikel ovarium dengan laparoskopi menggunakan
suatu aspirator tepat sebelum ovulasi ketika oosit berada dalam tahap lanjut pembelahan
meiosis I, karena skenario pemicu mengatakan bahwa umur wanita adalah 35 tahun dan umur
sangat menentukan kualitas oosit seseorang karena semakin keberhasilannya akan menurun
bila umur seseorang semakin tua. Oleh sebab itu oosit yang diambil empat hingga lima agar
dapat mencegah kegagalan yang dapat terjadi.

a. Oocyte Retrieval
Pengambilan sel ovum dapat dilakukan 34-36 jam setelah “The Trigger
Injection” dan sebelum ovulasi. Pertama, pasien akan menemui dokter untuk di
diberi penjelasan mengenai prosedur yang akan dilakukan lalu pasien akan dibius
dan diberikan obat penghilang rasa sakit. Metode yang dipakai adalah
“Tranvaginal Retrieval Method”. Ultrasound probe akan dimasukkan kedalam
vagina untuk mengidentifikasi folikel. Selanjutnya jarum kecil akan dimasukkan
dengan ultrasound guide untuk masuk melewati vagina dan menuju folikel untuk
mendapatkan sel telur. Jika tidak bisa menggunakan transvaginal ultrasound
maka bisa menggunakan abdominal ultrasound. Sel telur akan diambil dari
folikel melalui mesin suction. Setelah prosedur ini pasien terkadang akan
mengalami kram. Sel telur kemudian akan ditaruh di nutritive liquid dan
diinkubasi.
b. Sperm Retrieval
Sperma akan diambil melalui proses masturbasi. Metode lain juga kadang
diperlukan. Testicular aspiration menggunakan jarum atau atau prosedur
mengekstrak sperma langsung dari testikel. Pengambilan sperma juga bisa
menggunakan donor sperma.

3. Fertilization with intracytoplasmic sperm injection


Proses fertilisasi akan terjadi didalam media pembiakan sederhana. Karena pasien laki-
laki ini memiliki penyakit oligoasthenozoospermia maka dalam proses in vitro
fertilization ini perlu dilakukan metode intracytoplasmic sperm injection.
Intracytoplasmic sperm injection adalah proses penyuntikkan sperma ke oosit yang telah
diletakkan dalam media pembiakan yang telah disiapkan.

4. Embryo culture

Setelah dilakukannya fertilisasi, tahapan embrio culture ini adalah tahap dimana hasil
fertilisasi yang telah dikultur selama 5-6 hari akan dilihat perkembangan dari masing-
masing zigot yang telah mencapai tahap blastocyst. Pada tahap ini akan ada proses
embryo hatching yang merupakan Teknik dimana pada zona pelusida dibuat lobang

9
sebelum proses transfer untuk membantu embrio agar dapat keluar dari zona pelusida.
Zigot dapat dikembangkan di inkubator sampai pada tahap blastocyst.

5. Embryo selection

Embryo selection adalah tahap dimana akan dipilih blastocyst yang berkembang dan
tidak memiliki kelainan-kelainan pada umumnya. Biasanya dilakukan test untuk
mengetahui apakah blastocyst tersebut memiliki penyakit genetik atau mengecek jumlah
dan susunan kromosom.

6. Embryo implantation

Embrio yang telah diseleksi maka akan dikembalikan kembali agar dapat berkembang di
dinding uterus yaitu endometrium. Pasien akan diberikan pembiusan ringan, meskipun
prosedur ini biasanya tidak menimbulkan rasa sakit terkadang pasien akan mengalami
kram ringan. Dokter akan memasukkan kateter kedalam vagina menuju serviks lalu
masuk lagi ke dalam uterus. Alat suntik berisi satu atau lebih blastocyst dalam cairan
dengan jumlah yang kecil akan ditempelkan ke kateter. Dengan suntikan tersebut dokter
akan memasukkan blastocyst kedalam uterus.

7. Luteal Support

Adalah pemberian obat-obatan, umumnya progesterone, progestin, hCG atau agonis


GnRH, untuk meningkatkan tingkar keberhasilan implantasi dan embriogenesis awal,
sehingga melengkapi dan mendukung fungsi corpus luteum.

2.6 Masalah Etik, Moral, dan Religiusitas yang Berkaitan dengan


Teknologi Berbantu pada Manusia
Berikut adalah pandangan tentang teknologi reproduksi berbantu pada manusia menurut
berbagai agama di Indonesia :

1. Pandangan islam

Masalah bayi tabung (inseminasi buatan) telah banyak dibicarakan di kalangan Islam dan di
luar Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majelis Tarjih
Muhammadiyah dalam muktamarnya tahun 1980 mengharamkan bayi tabung dengan donor
sperma. Lembaga Fiqh Islam OKI (Organisasi Konferensi Islam) mengadakan sidang di
Amman pada tahun 1986 untuk membahas beberapa teknik inseminasi buatan (bayi tabung)
dan mengharamkan bayi tabung dengan sperma dan/atau ovum donor. Dalam pandangan
Islam, bayi tabung (inseminasi buatan) apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami
istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya
sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam membenarkan, baik dengan cara
mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun
dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum)

10
ditanam didalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar
memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan
alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak.

2. Pandangan Kristen

Menurut pandangan agama Kristen, Kristen memperbolehkan teknologi inseminasi buatan


metode In-Vitro Fertilization untuk mendapatkan seorang anak. Kristen akan membenarkan
penggunaan teknologi ini selama tidak disalah gunakan dan memiliki tujuan yang jelas dan
tidak menyalahi perintah Tuhan Yesus Kristus. Secara umum, teknologi IVF sudah diterima
di kalangan masyarakat, namun ada beberapa hal yang kurang disetujui. Yaitu pada bagian
apakah diperlukannya sperma donor pada prosedur ini. Dalam Kristen, hal yang dilarang
adalah jika menggunakan teknologi ini untuk memilih anak yang sesuai dengan
keinginannya. Karena, semua anak adalah anugerah dari Tuhan dan kita tidak dapat memilih
kehendak Tuhan dengan menggunakan teknologi. Menurut agama Kristen, hal yang tidak
diperbolehkan adalah tindakan memilih dan membuang calon janin yang tidak diinginkan
oleh orang tuanya.

3. Pandangan Hindhu

Konsep etika dalam agama Hindu adalah Dharma. Dharma berisi seluruh tugas-tugas
manusia selama di dunia. Dalam agama Hindu, prinsip prinsip yang perlu diterapkan dalam
etika bioetika adalah prinsip kemurnian, pengendalian diri, pelepasan, kebenaran, dan tanpa
kekerasan. Menurut penerapan bioetika yang dibenarkan oleh agama Hindu adalah bayi
tabung atau In-Vitro Fertilization dibenarkan dengan tetap berpegang teguh dan
memperhatikan Dharma sebagai pedoman hidup dan juga tujuan utama perkawinan adalah
memiliki keturunan atau anak.

4. Pandangan Buddha

Buddha tidak pernah melarang atau menolak hal-hal yang memiliki tujuan baik dan
bermanfaat bagi orang lain atau diri sendiri. Selama suatu hal tersebut berguna dan
dibutuhkan orang lain untuk mencapai suatu hal tanpa merugikan orang lain, maka hal
tersebut dibenarkan oleh Buddha. Buddha tidak pernah mempermasalahkan tentang
penerapan kemajuan teknologi In-Vitro Fertilization selama proses ini digunakan secara bijak
dan tidak menyalahi aturan agama Buddha. Menurut agama Buddha, satu satunya cara untuk
melahirkan kehidupan baru adalah dengan menyatukan sel sperma dan sel ovum. In-Vitro
Fertilization dibolehkan selama hal ini bisa berjalan lancar dan tabung tersebut bisa
dikondisikan setara dengan rahim ibu, sehingga dapat melahirkan kehidupan baru.

Teknologi reproduksi berbantu mengundang pro dan kontra diantara orang-orang,


keluarga-keluarga, dan komunitas-komunitas. Beberapa pihak meyakini bahwa teknologi
reproduksi berbantu adalah prosedur medis yang harus tersedia bagi masyarakat, demi
memajukan ilmu pengetahuan dan atas dasar pilihan dari pasangan yang ingin menggunakan
teknologi tersebut. Namun beberapa pihak lain menganggap teknologi tersebut merupakan
suatu problematika etik yang menimbulkan banyak permasalahan dan dilema. Beberapa

11
pihak menganggap implementasi teknologi reproduksi berbantu berkontradiksi dengan ajaran
agama mereka. Beberapa juga berpendapat bahwa implementasi teknologi reproduksi
berbantu menimbulkan pertanyaan mengenai seberapa jauh teknologi boleh mengganggu
kaidah-kaidah alam, ataupun memberi atau mengambil kuasa seorang individu atas hidup,
tubuh, dan fungsi reproduktif mereka. Meski ada banyak sudut pandang mengenai teknologi
reproduksi berbantu, Untuk pasangan yang menghadapi infertilitas, teknologi ini mungkin
sapat menawarkan jalan keluar terbaik bagi pasangan tersebut untuk menghasilkan keturunan.

3. RINGKASAN

Ana dan Budi adalah pasangan suami istri berusia 35 dan 38 tahun. Mereka telah
menikah selama 10 tahun dan belum memiliki anak. Dokter mendiagnosis Budi dengan
oligoasthenozoospermia. Atas saran dokter, Ana dan Budi melakukan teknologi reproduksi
berbantu yaitu dengan cara in-vitro fertilization metode intracytoplasmic sperm injection.

Salah satu faktor yang mempengaruhi peluang kesuksesan konsepsi pada pasangan
suami istri adalah usia mereka. Pada laki-laki, usia ada hubungannya dengan kualitas sperma,
dimana semakin tua usia seorang lelaki (setelah pubertas), maka semakin buruk kualitas
sperma yang ia produksi. Sama halnya dengan wanita, dimana usia wanita memengaruhi
peluang keberhasilan in-vitro fertilization. Selain dari usia, faktor yang mempengaruhi
kesuksesan konsepsi pada pasangan suami istri adalah gaya hidup, dimana gaya hidup yang
sehat daapt meningkatkan kualitas sel reproduktif yang diproduksi tubuh lelaki maupun
wanita.

Selain dari faktor usia dan gaya hidup, penyakit juga mempengaruhi kesuksesan
konspesi, terutama penyakit yang menyerang fungsi reproduktif dari lelaki maupun wanita.
Contoh dari jenis penyakit ini adalah oligoasthenozoospermia, yang menyerang fungsi
reproduktif pria yang mempengaruhi jumlah sel sperma yang diproduksi dan mobilitas sel
sperma yang diproduksi. Oligoasthenozoospermia meliputi dua penyakit, yaitu
oligozoospermia dan asthenozoospermia. Oligozoospermia adalah penyakit yang
mempengaruhi jumlah sperma yang diproduksi, sehingga peluang kesuksesan konsepsi pun
turun. Asthenozoospermia adalah penyakit yang mempengaruhi mobilitas sperma yang
diproduksi, sehingga pergerakannya lebih lambat dari normal.

Oligoasthenozoospermia disebabkan oleh bermacam-macam faktor, antara lain


penggunaan obat-obatan, faktor genetik, tingkat hormon, antibodi, infeksi, gaya hidup, dan
pelebaran pembuluh darah di skrotum.

Selain peluang kesuksesan konsepsi, usia pasangan suami dan istri juga mempengaruhi
kesehatan embrio yang dihasilkan dari konsepsi, bilamana konsepsi memang berhasil. Pada
skenario pemicu, 1 dari 3 embrio yang terbentuk mengalami down syndrome. Hal ini berarti
embrio yang mengalami down syndrome tersebut mengalami non-disjunction/kesalahan
dalam pembelahan. Hal ini lebih mungkin terjadi semakin tua usia pasangan suami istri
induk.

12
Jadi untuk mengatasi masalah ini, Ani dan Budi butuh teknologi reproduksi berbantu
umtuk meningkatkan peluang kesuksesan konspesi. Bilamana konsepsi berhasil, zigot yang
merupakan hasil fertilisasi akan mengalami suatu proses yang dinamakan cleavage, dimana
blastomer didalam zigot mengalami pembelahan terus-menerus. Pembelahan ini tidak disertai
dengan penambahan ukuran zigot secara keseluruhan, sebab masih dibatasi zona pelusida.
Setelah jumlah blastomer mencapai 16, zigot akan dinamakan morula, dimana blastomer-
blastomer telah mengalami diferensiasi menjadi Inner Cell Mass dan Outer Cell Mass. Inner
Cell Mass adalah blastomer-blastomer yang terdapat di bagian dalam morula yang akan
terdiferensiasi menjadi embrioblas, yang merupakan bakal sel mudigah sebenarnya.
Sedangkan Outer Cell Mass yang adalah blastomer-blastomer yang terdapat di bagian luar
zigot akan terdiferensiasi menjadi trofoblas, yang merupakan bakal plasenta dan tali pusat.
Diferensiasi Inner Cell Mass dan Outer Cell Mass menjadi embrioblas dan trofoblas akan
terjadi saat jumlah blastomer telah mencapai kurang lebih 100, dimana morula akan
dinamakan blastokista. Setelah mencapai tahap ini, blastokista akan dipindahkan kedalam
rahim ibu untuk melanjutkan proses tumbuh kembangnya.

Proses tumbuh kembang tersebut terjadi dalam proses teknologi reproduksi, yang
terdiri atas tujuh tahapan:

1. Ovarian Hyperstimulation
2. Oocyte & sperm retrieval
3. Fertilization with ICSI
4. Embryo culture
5. Embryo selection
6. Embryo transfer
7. Luteal support

Teknologi reproduksi berbantu merupakan teknologi yang bermanfaat bagi pasangan


suami istri yang mengalami kesulitan dalam menghasilkan keturunan. Namun, tidak sedikit
pihak-pihak yang menentang pemanfaatan teknologi ini, dilihat dari sudut pandang etika
moral dan religiositas. Bila ditinjau dari sudut pandang etika moral, in-vitro fertilization
dipandang buruk secara moral, sebab embrio-embrio yang gagal berkembang dibuang begitu
saja, dan ada pula yang dibekukan. Selain itu, in-vitro fertilization juga tidak dapat
dibenarkan karena menentang martabat prokreasi. Bila ditinjau dari sudut pandang
religiositas, teknologi bayi tabung diharamkan oleh agama-agama Islam, Kristen, dan Hindu,
serta diharamkan oleh gereja Katolik. Namun agama Buddha, alih-alih menentang teknologi
ini secara mentah-mentah, percaya bahwa teknologi ini dapat membawa kebaikan bagi
manusia bila diimplementasikan dengan baik.

13
4. PETA KONSEP

Fertilisasi

Normal Fertilisasi In vitro Fertilization Oligoasthenozoospermia

Zigot
Ovarian Masalah Etik,
Hyperstimulation Moral, dan
Religiusitas
Morulla

Oocyte and Sperm


Blastula Retrieval

Gastrula
Fertilization with
Intracytoplasmic Sperm
Injection

Embryo Culture

2 Normal 1 Down Syndrome

Embryo Selection

Embryo Implantation

14
Luteal Support

Daftar Pustaka

Arthur C. Guyton. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology, Ed 13. Jakarta :
Elsevier; 2019 . p.1009, 1031, 1035.

American Society of Reproductive Medicine.In Vitro Fertilization : IVF. [Internet].


Dikunjungi 13 September 2019. Tersedia dari : https://americanpregnancy.org/infertility/in-
vitro-fertilization/

Victoria State Government. Age and Fertility. [Internet] ; 2017. Dikunjungi 9 September
2019. Tersedia dari :
https://www.betterhealth.vic.gov.au/health/conditionsandtreatments/age-and-fertility

Daniel Murrell, MD. Oligospermia and Fertility : What You Should Know. [Internet] ; 2017.
Dikunjungi 9 September 2019. Tersedia dari : https://www.healthline.com/health/mens-
health/oligospermia#causes

Oligoasthenoteratozoospermia. [Internet] ; 2019. Dikunjungi 13 September 2019. Tersedia


dari : https://www.drugs.com/cg/oligoasthenoteratozoospermia.html

Suzanne Flack, MD. What is Sperm Motility and How Does It Affect Fertility?. [Internet];
2017. Dikunjungi 9 September 2019. Tersedia dari :
https://www.healthline.com/health/fertility/sperm-motility

Mayo Clinic. In Vitro Fertilization (IVF). [Internet]; 2019. Dikunjungi 13 September 2019.
Tersedia dari : https://www.mayoclinic.org/tests-procedure/in-vitro-ferilization/about/pac-
20384716

Glasglow Royal Fertility Clinic. ICSI : Intra – Cytoplasmic Sperm Injection. [Internet].
Dikunjungi 13 September 2019. https://glasglowroyalfertilityclinic.co.uk/treatments/icsi

Sadler, T.W. Langman’s Medical Embryology. 12th edition. Baltimore : Lippincott Williams
and Wilkins; 2012.

Ethical Guidelines on the Use of Assisted Reproductive Technology in Clinical Practice and
Research. [Internet]. Australia NHMRC; 2017. Dikunjungi 14 September 2019. Tersedia dari
: https://www.nhmrc.gov.au/about-us/publications/ethical-guidelines-use-assisted-
reproductive-technology#block-views-block-file-attachments-content-block-1

15
dr. Kutbuddin Aibak, M.Hi. Kajian Fiqh Kontemporer. Kalimedia ; 2017.

Chandra, Xaverius. Bahan Ajar Bioetika. 2018 ; p 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89.

16

Anda mungkin juga menyukai