Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

AUTISM SPECTRUM DISORDER

Disusun Oleh :
Hansen Ferdinan Panjaitan
1261050169

Pembimbing :
dr. Keswari Aji Patriawati, Sp. A, MSc

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 23 JULI – 29 SEPTEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat berjudul “Autism Spectrum D isorder”
dengan tepat waktu. Referat ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan
Anak di RSU UKI.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Keswari Aji Patriawati, Sp. A, MSc yang telah
membimbing penulis dalam mengerjakan referat ini, serta kepada rekan-rekan dokter yang telah
membimbing penulis selama di kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU UKI. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada
semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.

Dengan penuh kesadaran, meskipun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin untuk
menyelesaikan referat ini, namun masih terdapat beberapa kesalahan maupun kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Akhir kata, penulis
berharap semoga referat ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi pembaca.

Jakarta, 8 Agustus 2018

Hansen Ferdinan Panjaitan


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam dunia medis dan psikiatris, gangguan autisme atau biasa disebut ASD (Autistic

Spectrum Disorder) merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan

sangat bervariasi (spektrum). Biasanya gangguan perkembangan ini meliputi bidang

komunikasi, interaksi, perilaku, emosi dan sensoris. Dari data para ahli diketahui penyandang

ASD anak lelaki empat kali lebih banyak dibanding penyandang ASD anak.1

Sampai saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah penyandang autisme di

Indonesia. Dari catatan praktek dokter diketahui, dokter menangani 3-5 pasien autisme per

tahun tahun 1980. Data yang akurat dari autisme ini sukar didapatkan, hal ini disebabkan

karena orang tua anak yang dicurigai mengindap autisme seringkali tidak menyadari gejala-

gejala autisme pada anak. Anak autisme sering dianggap sebagai anak dengan gangguan jiwa.

Bahkan, banyak orangtua yang malu dan menyembunyikan anaknya. Ketidaksiapan orangtua

menerima kondisi anak apa adanya itu terjadi pada semua kelompok masyarakat, termasuk

mereka yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Hal ini akan memperberat penanganan

penyandang autisme mencapai kemandiriannya.2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Menurut American Psychiatric Association DSM-IV, Autism spectrum disorders adalah

gangguan perkembangan pervasif termasuk gangguan autistik, sindrom rett, gangguan Asperger,

gangguan disintegratif masa kanak-kanak dan gangguan perkembangan pervasif lainnya. Gangguan

ini ditandai dengan gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, terkait dengan berbagai tingkat

ditandai dengan gangguan dalam komunikasi dan perilaku repetitif. Untuk mendiagnosis ASD

dibutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif, sistematis, dan terstruktur. World Health

Organization’s International Classification of Diseases (ICD-10) mendefinisikan autisme khususnya

childhood autism sebagai adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yangmuncul

sebelum usia tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial,

komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang.2,3

Kelompok gangguan ini ditandai oleh adanya abnormalitas kualitatif dalam interaksi sosial

dan pola komunikasi disertai minat dan gerakan yang terbatas stereotipik dan berulang. Pervasif

berarti bahwa gangguan tersebut sangat berat dan luas yang mempengaruhi fungsi individu secara

mendalam dalam segala situasi. Pada kebanyakan kasus, terdapat riwayat perkembangan abnormal

sejak masa bayi dan biasanya telah muncul dalam 5 tahun pertama. Diagnosis autisme sendiri

ditegakkan bedasrkan observasi klinis ditemukannya sejumlah gejala seperti yang tercantum dalam

kriteria diagnostik ICD X sebelum usia 3 tahun.4

B. EPIDEMIOLOGI

Studi epidemiologi pernah dilakukan di autisme oleh Victor Lotter pada 1960-an. Di
negara Inggris pernah dilakukan ditahun 1990-an dimana diperkiraan prevalensi gangguan

autis berkisar 10 sampai 16 per 10.000 penduduk, sedangkan tingkat diperkirakan saat ini

adalah Sekitar 60 / 10,000. Terjadi peningkatan hampir 10 kali lipat dibandingkan dengan

laporan sebelumnya dalam literatur. Prevalensi saat ini untuk gangguan perkembangan pervasif di

perkirakan berjumlah 3 / 1.000 penduduk, lalu gangguan autis diperkirakan 2/1000 penduduk,

sementara gangguan Asperger secara signifikan berkurang diperkirakan berjumlah 6 / 10.000

penduduk. Data ini di dapatkan dari sebuah studi terbaru oleh Centers for Disease Prevention

Control (CDC), dengan menggunakan metode penelitian surveilans. 3

Saat ini hanya empat studi menyajikan data epidemiologi dari negara Amerika Latin yang telah

di terbitkan. Di Brazil, Sebuah studi tentang prevalensi ASD dilakukan di wilayah administratif

lokal di negara bagian Sao Paulo. Penelitian ini melibatkan 1.470 anak-anak berusia 7 sampai

12 tahun dan didasarkan sesuai dengan penilaian klinis menggunakan kriteria DSM-IV. Survei

ini di dapatkan prevalensi 0,3% yang mengalami ASD dari 1.470 anak. Prevalensi ganggunan

ASD menjadi salah satu gangguan perkembangan saraf yang paling sering, mewakili masalah

kesehatan masyarakat yang besar. 3

C. ETIOLOGI

1. Genetik

Autisme yang diturunkan dari orangtua adalah salah satu etiologi awal yang paling banyak

untuk autisme. Penelitian terhadap etiologi ini menunjukkan bahwa anak-anak autis yang

lahir dari orang tua yang tidak sesuai dengan pola kepribadian autistik, serta orang tua yang

cocok dengan gambaran kepribadian autistik, dimana didapatkan orang tua yang tidak

memiliki kepribadian autistik memiliki anak normal dan tidak autis.5


2. Leaky Gut Syndrome, Diet Bebas Gluten

Meskipun beberapa situs web dan berbagai penulis publikasi non-peer review dan laporan

kasus tunggal tampaknya mendukung infeksi yeast, intoleransi makanan, dan Leaky Gut

Syndrome sebagai etiologi yang mungkin untuk autisme. sebagian besar penelitian

menunjukkan tidak ada faktor penyebab makanan / infeksi yeast / diet yang konkret. Saat ini

dianggap tidak mungkin bahwa masalah terkait makanan / pencernaan bersifat etiologi untuk

autisme.5

3. Kejang, Epilepsi

Ada penelitian untuk mendukung peran kejang / epilepsi dan hubungan dengan autisme.

Satu penelitian mencatat bahwa tingkat epilepsi tinggi berhubung dengan autisme sering

dilaporkan dalam literatur. Namun, prevalensi hingga saat ini dapat bervariasi sebanyak 5%

hingga 46% tergantung pada populasi yang diteliti. Hal ni menunjukkan bahwa autisme

dikaitkan dengan peningkatan risiko epilepsi. Meskipun beberapa penulis mengusulkan

bahwa hubungan kausal mungkin ada; perdebatan di antara para ilmuwan di bidang ini terus

berlanjut. Namun demikian diakui; bahwa mereka yang menderita ASD dan epilepsi dan

mereka yang hanya dengan ASD berbeda dalam beberapa hal penting termasuk bahwa

kelompok ASD dan epilepsi menunjukkan jumlah wanita yang lebih besar dan lebih mungkin

untuk menerima diagnosis ASD di lain waktu. Orang-orang ini juga mengalami lebih banyak

kesulitan motorik, keterlambatan perkembangan dan perilaku bermasalah.5

4. Cedera Otak

Diketahui bahwa faktor genetika dan lingkungan (timbal, metil-merkuri, toluena,

arsenik, polychlorinated biphenyls) sebagai etiologi anomali perkembangan saraf, hal ini

menyebabkan autisme mungkin disebabkan oleh cedera pada korteks serebral. Dari
beberapa pasien ASD didapatkan beberapa perilaku visual yang terkait dengan autisme.

Neurotoksisitas, gangguan neurotransmisi, dan gangguan neuro-connectivity. juga dapat

memainkan peran. Penelitian lain telah mencatat bahwa peningkatan total otak, lobus

parieto-temporal, dan volume hemisfer serebelum sering terlihat pada autisme dan bahwa

ukuran amigdala, hipokampus, dan corpus callosum juga mungkin abnormal.5

5. Teori Psikososial.

Beberapa ahli mengemukakan (Kanner & Bruno Bettelhem) autisme dianggap

sebagai akibat dari hubungan yang dingin/tidak akrab antara orang tua ibu dan anak.

Demikian juga orang yang mengasuh dengan emosional kaku, obsesif tidak hangat bahkan

dingin dapat menyebabkan anakasuhnya menjadi autistik.2

6. Keracunan Logam Berat

Keracunan logam berat dapat terjadi pada anak yang tinggal dekat tambang batu bara,

emas dsb. Keracunan logam berat pada makanan yang dikonsumsi ibu yangsedang hamil,

misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang tinggi. Pada penelitian diketahui dalam

tubuh anak-anak penderita autism terkandung timah hitam dan merkuri dalam kadar yang

relatif tinggi.2

D. JENIS GANGGUAN

Beberapa gangguan yang digolongkan dalam PDD, yaitu:

1. Gangguan Autistik

Gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang

(Stereotipik), yang muncul sebelum usia 3 tahun. Gangguan ini dijumpai 3-4 kali lebih banyak

pada anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan.4


2. Sindrom rett

Suatu bentuk kelainan progresif yang sejauh ini hanya dilaporkan terjadi pada anak

perempuan. Onset terjadinya gangguan ini pada usia 7-24 bulan, sebelumnya terlihat

perkembangan yang normal, lalu terjadi terjadi kemunduran berupa hilangnya kemampuan

gerakan tangan yang bertujuan dan keterampilan motorik yang telah terlatih. Disertai

kehilangan atau hambatan seluruh atau sebagian kemampuan berbahasa, gerakan seperti

mencuci tangan yang stretopik, dengan fleksi lengan di depan dada atau dagu, membasahi

tangan secara stereotipik dengan saliva, hambatan dalam fungsi mengunyah makanan.4

3. Sindrom Asperger

Sindrom Asperger (SA) merupakan spek-trum gangguan perkembangan pervasif

kompleks, ditandai perburukan menetapfungsi sosialisasi/interaksi sosial,

komunikasi,kognisi, sensasi, disertai pola perilaku ber-ulang serta minat terbatas. Gejala SA

tidak jelas sampai berusia 4 tahun atau lebih. Diagnosis biasanya ditegakkan saat usia

sekolah.4,6

4. Gangguan Desintegratif Masa Kanak lainnya

Ditandai adanya periode perkembangan normal sebelum onset penyakit atau minimal

dalam 2 tahun pertama kehidupan, disusul hilangnya keterampilan terlatih pada beberapa

bidang perkembangan setelah beberapa bulan gangguan berlangsung. Juga disertai adanya

gangguan berlangsung. Juga disertai adanya gangguan yang khas dari fungsi sosial,

komunikasi dan perilaku. Pada beberapa kasus hilangnya keterampilan terjadi secara

progresif dan menetap. Prognosis biasanya amat buruk, dan sebagian penderita akan

mengalami retradasi mental berat. Terdapat ketidak pastian tentang arah perluasan kondisi

ini yang berbeda dengan keadaan autisme.4


5. Gangguan Perkembangan Pervasif Lainnya

Ditandai dengan tidak terpenuhinya kriteria diagnostik yang spesifik, namun terdapat

gangguan berat dan pervasif pada perilakunya. Penderita memiliki gejala-gejala autisme,

namun berbeda dengan jenis autisme lainnya. IQ penderita ini rendah. 2,4

E. KLASIFIKASI

Klasifikasi Autisme dapat dibagi berdasarkan berbagai pengelompokan kondisi:2

1. Klasifikasi berdasarkan saat munculnya kelainan

a. Autisme infantil: istilah ini digunakan untuk menyebut anak autis yang kelainannya

sudah nampak sejak lahir

b. Autisme fiksasi: adalah anak autis yang pada waktu lahir kondisinya normal, tanda-

tanda autisnya muncul kemudian setelah berumur dua atau tiga tahun

2. Klasifikasi berdasarkan intelektual


a. Autis dengan keterbelakangan mental sedang dan berat (IQ dibawah 50). Prevalensi

60% dari anak autistik

b. Autis dengan keterbelakangan mental ringan (IQ 50-70) Prevalensi 20% dari anak

autis

c. Autis yang tidak mengalami keterbelakangan mental (Intelegensi diatas 70)

Prevalensi 20% dari anak autis

3. Klasifikasi berdasarkan interaksi sosial:

a. Kelompok yang menyendiri; banyak terlihat pada anak yang menarik diri, acuh tak

acuh dan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku dan

perhatian yang tidak hangat

b. Kelompok yang pasif, dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak

lain jika pola permainannya disesuaikan dengan dirinya

c. Kelompok yang aktif tapi aneh : secara spontan akan mendekati anak yang lain,

namun interaksinya tidak sesuai dan sering hanya sepihak.

4. Klasifikasi berdasarkan prediksi kemandirian:

a. Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari penyandang autis)

b. Prognosis sedang, terdapat kemajuan dibidang sosial dan pendidikan walaupun

problem perilaku tetap ada (1/4 dari penyandang autis)

c. Prognosis baik; mempunyai kehidupan sosial yang normal atau hampir normal dan

berfungsi dengan baik di sekolah ataupun ditempat kerja. (1/10 dari penyandang autis)
F. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi autisme masih belum jelas diketahui. Terdapat beberapa hipotesis

penyebab ASD, khususnya ADHD, sepertiab normalitas sistem saraf pusat (SSP) dan/atau

abnormalitas sistem metabolik. ASD, seperti ADHD, terjadi karena beberapa faktor,

seperti kondisi autoimun, disfungsi plasenta pada saat kehamilan, infeksi maternal, stres

yang meningkat, serta peningkatan reactive oxygen species (ROS), dan bawaan genetik

yang menyebabkan kondisi sel otak tidak bertumbuh sempurna (prematur).7

Kondisi ini meningkatkan aktivasi sel mastosit. Selain kondisi prematur, beberapa

faktor lain juga berkontribusi ter jadinya peningkatan aktivasi sel mastosit, seperti stres

pada periode neonatus, infeksi, toksin logam berat (seperti merkuri), antibodi di otak, dan

reaksi alergi yang disebabkan oleh peningkatan IgE. Peningkatan aktivasi sel mastosit

berdampak pada gangguan sawar darah otak dan saluran pencernaan yang difasilitasi oleh

peningkatan sitokin stres, seperti IL-6 (interleukin-6) dan TNF (tumor necrosis factor).

Gangguan sawar darah otak ini menyebabkan terjadinya inflamasi di otak yang

berdampak pada gejala klinis autis.7

Berdasarkan hipotesis abnormalitas pada SSP, gejala klinis autis disebabkan oleh:7

1. Autoantibodi terhadap protein pada sistem saraf.

– Perkembangan sistem saraf yang terhambat.

– Inflamasi otak.

2. Berkurangnya sambungan atipikal bagian otak frontalis, menyebabkan:

– Gangguan fungsi komunikasi dan sosioemosional.

3. Perkembangan prematur.
– Gangguan pada lobus frontalis dan temporalis, sehingga berdampak pada gangguan

daya ingat dan konsentrasi, visualisasi, dan komunikasi.

4. Penurunan reseptor gamma-amino-butyric acid–B (GABA-B) pada korteks singularis,

menyebabkan:

– Hiperaktif.

– Berkorelasi dengan penurunan kadar glutamate, hipotesis ini masih dianggap

kontroversial.

G. GEJALA KLINIS

Gejala Klinis yang sering dijumpai pada anak autis:8

1. Gangguan Fisik

a. Kegagalan lateralisasi karena kegagalan atau kelainan maturasi otak sehingga terjadi

dominasi serebral

b. Adanya kejadian dermatoglyphics yang abnormal

c. Insiden yang tinggi terhadap infeksi saluran nafas bagian atas, infeksi telinga, sendawa

yang berlebihan, kejang demam dan konstipasi

2. Gangguan Perilaku

a. Gangguan dalam interaksi sosial:

anak tidak mampu berhubungan secara normal baik dengan orang tua maupun orang lain.

Anak tidak bereaksi bila dipanggil, tidak suka atau menolak bila dipeluk atau disayang.

Anak lebih senang menyendiri dan tidak responsif terhadap senyuman ataupun sentuhan.8
b. Gangguan komunikasi dan bahasa:

kemampuan komunikasi dan bahasa sangat lambat dan bahkan tidak ada sama sekali.

Mengeluarkan gumaman kata-kata yang tidak bermakna, suka membeo dan mengulang

ulang. Mereka tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuhnya, tetapi menarik tangan

orang tuanya untuk dipergunakan mengambil objek yang dimaksud.

c. Gangguan perilaku motoris:

terdapat gerakan yang stereotipik seperti bertepuk tangan, duduk sambil mengayun-

ayunkan badan kedepan-kebelakang. Koordinasi motoris terganggu, kesulitan mengubah

rutinitas, terjadi hiperaktifitas atau justru sangat pasif, agresif dan kadang mengamuk tanpa

sebab.8

d. Gangguan emosi, perasaan dan afek:

Rasa takut yang tiba-tiba muncul terhadap objek yang tidak menakutkan. Seringkali timbul

perubahan perasaan secara tiba- tiba seperti tertawa tanpa sebab atau mendadak menangis.8

e. Gangguan persepsi sensoris:

seperti suka mencium atau menjilat benda, tidak merasa sakit bila terluka atau terbentur dan

sebagai nya.8

H. DIAGNOSIS

Diagnosis Autisme Untuk menetapkan diagnosis gangguan autisme para klinisi sering

menggunakan pedoman DSM IV (Diagnostic and Statistic Manual IV), ICD 10 (International

Classification of Disease) dan M-CHAT (Modified Checklist Autism in Toddlers). Dalam

bahasa Indonesia yang sederhana isi DSM IV dan ICD 10 adalah sebagai berikut: Harus ada
total 6 gejala dari tiga gejala pertama, dengan minimal dua gejala dari gelaja kesatu dan

masing-masing satu gejala dari gejala kedua dan ketiga. 2,9

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi social timbal balik (minimal 2):

(a) Gangguan yang nyata dalam berbagai tingkah laku non verbal seperti kontak mata,

ekspresi wajah, dan posisi tubuh;

(b) Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat

perkembangan;

(c) Kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat atau prestasi dengan orang lain;

dan

(d) Kurang mampu melakukan hubungan sosial atau emosional timbal balik.

(2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi (minimal1):

(a) Keterlambatan perkembangan bahasa atau tidak bicara sama sekali;

(b) Pada individu yang mampu berbicara, terdapat gangguan pada kemampuan memulai

atau mempertahankan percakapan dengan orang lain;

(c) Penggunaan bahasa yang stereotip, repetitif atau sulit dimengerti;

(d) Kurangnya kemampuan bermain pura-pura.

(3) Pola-pola repetitif dan stereotip yang kaku pada tingkah laku, minat dan aktivitas

(minimal1):

(a) Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik

intensitas dan fokusnya;

(b) Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna;


(c) Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau

pada bagianbagian tertentu dari suatu benda.

Seorang anak dapat didiagnosis memiliki gangguan autistik bila simtom-simtom di atas

telah tampak sebelum anak mencapai usia 36 bulan. 10

2) M-CHAT:

Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) Modified Checklist for Autism in

Toddlers (M-CHAT) dapat digunakan oleh dokter umum atau spesialias anak untuk skrining GSA

dengan memberikan lembar isian pada orang tua, dan hanya memerlukan 5-10 menit. Instrumen ini

merupakan revisi CHAT karena mempunyai nilai sensitifitas sangat rendah yaitu 0,18-0,38 pada

sampel masyarakat dan 0,65 pada sampel klinis. Sensitifitas M-CHAT di Amerika dilaporkan sebesar

0,85 pada sampel populasi dan klinis, dan sensitifitas sebesar 0,93-1,0. 11

Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) merupakan alat skrining GSA level 1,

digunakan untuk usia 16-48 bulan, terdiri atas 23 pertanyaan dimana 6 pertanyaan adalah item kritits.

Anak dikatakan gagal M-CHAT jika terdapat 2 atau lebih pertanyaan kritis dengan jawaban tidak,

atau gagal menjawab benar pada 3 pertanyaan apa saja dari 23 pertanyaan ya atau tidak. Jawaban ya

atau tidak tersebut menggambarkan respon lulus atau gagal. Anak yang gagal M-CHAT tidak semua

memenuhi kriteria diagnosis ASD. Anak yang gagal M-CHAT harus dievaluasi lebih mendalam oleh

dokter atau dirujuk ke spesialis anak untuk evaluasi perkembangan lebih lanjut. 11

I. PENATALAKSANAAN

1. Terapi Perilaku

Terapi perilaku (behavior theraphy) adalah terapiyang dilaksanakan untuk mendidik

dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yangterhambat dan untuk mengurangi

perilaku-perilaku yang tidak wajar dan menggantikannya denganperilaku yang bisa diterima
dalam masyarakat. Terapi perilaku ini merupakan dasar bagi anak-anak autis yang belum

patuh (belum bisa kontak mata dan duduk mandiri) karena program dasar/kunci terapi

perilaku adalah melatih kepatuhan, dan kepatuhan ini sangat dibutuhkan saat anak-anak

akan mengikuti terapi-terapi lainnya seperti terapi wicara, terapi okupasi, fisioterapi, karena

tanpa kepatuhan ini, terapi yang diikuti tidak akan pernah berhasil. Terapi perilaku yang

dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis (ABA) yang diciptakan oleh

O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA).2

Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif

setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman

(punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat)

atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia

sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons

positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap

instruksi yang diberikan.2,4

Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C; yakni A

(antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C (consequence).

Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi yang diberikan oleh

seseorang kepada anak autis. Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak autis

kemudian memahami Behavior (perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya sesudah

instruksi tersebut diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila

anak memperoleh Consequence/akibat (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan)

yang menyenangkan.2

Methoda lain dari terapi perilaku ini adalah terapi bermain Son rise. Son rise adalah

program terapi berbasis rumah untuk anak-anak dengan yang mengalami gangguan
komunikasi dan interaksi sosial. Program ini dapat membantu meningkatkan kontak mata,

menerima keberadaan orang lain. Dan yang lebih penting, program ini, tidak memberikan

punishment berupa kekerasan kepada anak. Proses ini dilakukan dengan harapan, anak

mereka dapat ”berubah” dan menjadi kondisi yang lebih baik. Metode ini tidak bisa

diterapkan/diimplementasikan pada semua kasus, terutama kasus autis yang masih berada

pada tahap kurikulum awal. Kemampuan perkembangan bermain, merupakan hal yang

penting dalam program ini, selain juga kemampuan komunikasi dan sosialisasi. Program

son rise, menyatakan bahwa, jika kita mengadakan pendekatan ke anak secara positif,

dengan rasa cinta, akan membuat anak menjalin interaksi dengan kita, dibandingan bila kita

mengedepankan sikap marah dll.2

TEACCH (Treatment and Education of Austistic and Related Communication

Handicapped Children and Adults). Kemampuan berbicara dan sosial seseorang

menentukan tingkat perkembangansosialnya, atau tingkat penguasaan kemampuan untuk

bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat serta menentukan kemandirian dan

kesiapan anak dalam mengikuti proses belajar di sekolah. Kekuatan dasar ini sangat

menentukan kemampuan perilaku adaptif anak, yang dalam pengertian lebih sempit

diartikan sebagai perilaku yang sesuai dengan kebiasaan yang dapat diterima secara sosial.

Penekanan pada aspek sosial ini sangat penting mengingat manusia, termasuk anak autis

adalah makhluk sosial dan mempunyai kebutuhan untuk melakukan interaksi sosial. Oleh

karena itu perlu dikembangkan kemampuan psikososialnya dengan menggunakan metode

ini.2

2. Terapi Nutrisi

Terapi yang dianjurkan yaitu makanan bebas gluten. Gluten adalah cadangan protein

utama pada gandum dan sereal sejenis. Gluten yang utama adalah α/β-gliadin, γ-gliadin, ω-
gliadin, dan glutenin. Sensitivitas terhadap gluten adalah sebagai peningkatan reaksi sistem

imun terhadap protein gluten, disertai peningkatan kadar antibodi. Peningkatan reaksi sistem

imun terhadap gluten dipahami dengan baik pada celiac disease, sebuah penyakit autoimun

yang terutama menyerang usus kecil. Pola makan menghindari kandungan gluten makin

populer di komunitas autis, tetapi efektivitasnya belum diketahui dengan baik.7

Sebuah penelitian menilai efek reaksi imun sistem terhadap gluten pada pasien anak

dengan autisme dan juga kemungkinan adanya hubungan antara autisme dan celiac disease.

Studi ini diikuti 140 pasien anak dengan 3 kelompok: 37 anak autis yang terdiagnosis

menggunakan kriteria ADOS (Autism Diagnostic Observation Schedule) dan ADI-R

(Autism Diagnostic Interview, Revised), 27 saudara kandung mereka (unaffected sibling)

yang tidak autis (kelompok autis dan unaffected sibling), dan 76 pasien anak sehat dengan

usia setara (kontrol). Serum darah mereka diuji untuk antibodi terhadap gliadin dan juga gen

yang berhubungan dengan celiac disease.7

3. Terapi Obat

Pada sekelompok anak autisik dengan gejala sperti temper, melukai diri sendiri.

Hiperaktivitas. Pemberian obat-obatan yang sesuai dapat merupakan salah satu bagian dari

program terapi yang komprehensif. Juga sering dipakai untuk mengobati kondisi yang

terkait seperti depresi, cemas, perilaku obsesif komplusif, membantu mencegah self injury

dan perilaku lain yang menimbulkan masalah Risperidone efektif untuk terapi anak autistik

yang disertai dengan tantrums, agresivitas, dan perilaku yang membahayakan diri sendiri,

hiperaktif dan gangguan komunikasi.Beberapa antipsikotik atipikal lain juga mempunyai

efek positif namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Olanzapine: penelitian pada

anak autistik usia 6-16 tahun dengan menggunakan olanzapine menunjukkkan perbaikan

dalam iritabilitas, hiperaktifitas, dan komunikasi.Dapat diberikan golongan Selective


Serotonin Reuptake Inhibitor, Termasuk fluoxetine, fluvoxamine. Sangat efektif untuk

depresi, cemas, dan obsesif perilaku. Juga meningkatkan perilaku secara umum menjadi

lebih terkendali, interest yang terbatas, inanteensi hiperaktif, labilitas mood, proses belajar,

bahasa dan sosial.4


BAB III

KESIMPULAN

Autism Spectrum Disorder adalah adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan

yangmuncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang

yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang. Pada pasien Autisme

banyak dianggap remeh oleh khayalak orang. Banyak orangtua yang malu dan

menyembunyikan anaknya. Ketidaksiapan orangtua menerima kondisi anak apa adanya itu

terjadi pada semua kelompok masyarakat, termasuk mereka yang berpendidikan dan

berpenghasilan tinggi. Hal ini akan memperberat penanganan penyandang autisme mencapai

kemandiriannya
DAFTAR PUSTAKA

1. Aprilia A, Johan Ashar. Sistem Pakar Diagnosa Autisme Pada Anak. Jakarta: Jurnal

Rekursif, Vol. 2 No. 2 November 2014

2. YPAC, Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan Autisme. Jakarta: 2011 Dikutip dari

http://ypacnasional.org/ebook/BUKU%20PENANGANAN%20dan%20Pendidikan%20A

utis%20di%20YPAC%207April.pdf (03-08-2018)

3. Brentani H, Paula C, Daniela B, et all. Autism spectrum disorders: an overview on

diagnosis and treatment. 2013: Department of Psychiatry, School of Medicine,

Universidade de Sao Paulo

4. Elvira D, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. 2013. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas

5. Maino DM, Viola, SG, Donati R. The Etiology of Autism. Optom Vis Dev

2009:(40)3:150-156.

6. Anurogo D, Ikrar T. Sindrom Asperger. School of Medicine, University of California,

Irvine, 2015. USA. Dikutip dari

https://www.researchgate.net/publication/313383189_Syndrome_Asperger (03-08-2018)

7. Rahardja M. Tatalaksana Nutrisi Untuk Pasien Autis. CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015

Dikutip dari

http://www.kalbemed.com/Portals/6/22_232OpiniTatalaksana%20Nutrisi%20untuk%20Pa

sien%20Autis.pdf (03-08-2018)

8. Nugraheni S. Menguak Belantara Autisme. Buletin Psikologi Fakultas Psikologi

Universitas Gadjah Mada Volume 20, No. 1-2, 2012: 9 – 17 Dikutip dari

https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/viewFile/11944/8798 (03-08-2018)
9. Aprilia D, Johar A, Hartuti. Sistem Pakar Diagnosa Autisme Pada Anak. Jurnal Rekursif,

Vol. 2 No. 2 November 2014, ISSN 2303-0755 Dikutip Dari

Https://Ejournal.Unib.Ac.Id/Index.Php/Rekursif/Article/310/269.pdf (03-08-2018)

10. Kurdi F. Strategi Dan Teknik Pembelajaran Pada Anak Dengan Autisme. Forum

Kependidikan, Volume 29, Nomor 1, September 2009. Dikutip Dari

http://forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Artikel%20Fauziah%20Nuraini-UNSRI-

OK%20PRINT.pdf (03-08-2018)

11. Soetjiningsih. Deteksi Dini Dan Diagnosis Gangguan Spektrum Autisme (Gsa). Bagian/Smf

Ilmu Kesehatan Anak Fk Unud- Sanglah Denpasar 2015.

Anda mungkin juga menyukai