PENDAHULUAN
Filariasis atau penyakit kaki gajah (elephantiasis) merupakan penyakit menular yang
mengenai saluran kalenjar limfe (getah bening) disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan
oleh serangga. Penyakit ini juga menyerang semua umur dan bersifat menahun. Jika seseorang
terkena penyakit ini dan tidak mendapatkan pengobatan sedini mungkin maka dapat
menimbulkan cacat permanen berupa pembesaran kaki, lengan, buah dada dan alat kelamin.1
manusia yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Parasit ini tersebar di
seluruh kepulauan Indonesia oleh berbagai spesies nyamuk yang termasuk dalam genus Aedes,
Anopheles, Culex, Mansonia. Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis turut menentukan
penyebarluasan penyakit filaria dan timbulnya daerah endemik filariasis. Di Indonesia hingga
saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Aedes, Anopheles, Culex dan
Mansonia yang dapat berperan sebagai vektor penularan penyakit filariasis. Hasil survei
laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate kurang dari 1 %,
berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai
resiko tinggi untuk tertular karena nyamuk penularnya tersebar luas. Apabila Mikrofilaria rate
lebih dari 1% disalah satu lokasi survai maka kabupaten atau kota tersebut ditetapkan sebagai
1
1.2 Batasan Masalah
manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, diagnosis banding dan prognosis dari Filariasis.
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang diambil dari
berbagai literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan
oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.
Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut
berupa demam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening. Pada stadium
lanjut dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat
kelamin.1
disebabkan cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening, sedangkan
menurut sumber lain filariasis limfatik adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3
jenis cacing filaria yaitu : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang
2.2 Epidemiologi
di daerah daratan rendah. Kadang-kadang dapat juga ditemukan di daerah bukit yang tidak
terlalu tinggi. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Di daerah
kota hanya W.brancrofti yang telah ditemukan, seperti di kota Jakarta, tangerang, Pekalongan
Di Idonesia filariasis tersebar luas; daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh
Nusantara, seperti disumatra dan sekitarnya, jawa, Kalimatan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan
3
Irian jaya. Masih banyak daerah yang belum diselidiki. Pemberantasan filariasis sudah
dilakukan oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1970 dengan pemberian DEC dosis rendah
jangka panjang (100 mg/mingggu selama 40 minggu). Survey prevalensi filariasis yang
dilakukan oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi infeksi cukup tinggi
bervariasi dari 0,5%-19,46%. Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa pada
umumnya ada tedensi menurun dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang
diperhatikan faktor-faktor seperti hospes, hospes reservoar, vector dan keadaan lingkungan
2.3 Etiologi
Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah
bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah. Mikrofilaria ditemukan
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia timori.
2.3.1 Agent
Filariasis disebabkan oleh cacing filarial pada manusia, yaitu (1) W.bancrofti; (2) B.malayi;
(3) B.timori, (4) Loa loa (5) Onchocerca volvulus', (6) Acanthocheilonema perstants; (7)
Mansonella azzardi. Yang terpenting ada tiga spesies, yaitu W.bancrofti, B.malayi,dan B
timori. Cacing ini habitatnya dalam sistern peredarah darah, limpha, otot,jaringan ikat atau
rongga serosa. Cacing dewasa mempakan cacing yang langsing seperti benang berwarna
putih kekuningan, panjangnya 2 - 70 cm, cacing betma panjangnya lebih kurang dua kali
4
cacing jantan. Biasanya tidak mempunyai bibir yang jelas, mulutnya sederhana, rongga
mulut tidak nyata. Esofagus berbentuk seperti tabung, tanpa bulbus esofagus, biasanya
insekta sebagai vektor. Nyarnuk culex adalah vektor dari penyakit filariasis W bancrofti dan
B.malayi. Jumlah spesies Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia cukup banyak, tetapi
sediaa
1 Gambaran umum dalam n Melengkung Melengkung Melengkung
darah mulus kaku dan patah kaku dan patah
lebar panjan
2 Perbandingan dan g 1:1 1:2 1 :3
kepala
Warna pewar
3 sarung dengan na Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna
Giemsa
4 Ukuran panjang dalam micron 224-296 177-220 265-323
5 Inti badan Tersusun rapi Berkelompok Berkelompok
6 Jumlah inti di ujung ekor 0 2 2
pi
7 Gambaran ujung ekor Seperti ta Ujung agak Ujung agak
kerah
ujung tumpul tumpul
2.3.2 Vektor
Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh spesies
5
spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia
dan Anopheles barbirostris merupakan vektor filariasis yang paling penting. Beberapa
spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara
Anopheles barbirostris merupakan vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa
Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan. Perlu kiranya mengetahui bionomik (tata
hidup) vektor yang mencakup tempat berkembangbiak, perilaku menggigit, dan tempat
teduh, seperti semak-semak sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada
tempattempat yang gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, ada
yang hanya suka darah manusia (antrofilik), darah hewan (zoofilik), dan darah keduanya
(zooantrofilik). Terdapat perbedaan waktu dalam mencari mangsanya, ada yang di dalam
rumah (endofagik) dan ada yang di luar rumah (eksofagik). Perilaku nyamuk tersebut
berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis. Setiap daerah mempunyai spesies nyamuk
yang berbeda-beda.4
2.3.3 Hospes
Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis apabila digigit
oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit
selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya
pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan
lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi
karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih
nyata pada laki laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat.4
6
2.4 Patofisiologi
parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam
tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis
filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut
karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase
lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan
klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran
limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga
1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan
jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi
7
bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat
2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke
kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo
3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga bakteri
mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).
4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack)
4) Abses
b) Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah dan
lain-lainnya.
5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di kulit,
menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan
6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan
8
peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya gejala
klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia
timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh
B. malayi dan B. timori. infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih
dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. timori tidak menimbulkan kelainan pada
Gejala klinis sangat bervariasi, mulai dari yang asimtomatis sampai yang berat. Hal ini
tergantung pada daerah geografi, spesies parasit, respons imun penderita dan intensitas infeksi.
Gejala biasanya tampak setelah 3 bulan infeksi,tapi umumnya masa tunasnya antara 8-12
bulan. Pada fase akut terjadi gejala radang saluran getah bening, sedang pada fase kronis terjadi
obstruksi. Fase akut ditandai dengan demam atau serangkaian serangan demam selama
beberapa minggu. Demam biasanya tidak terlalu tinggi meskipunkadang - kadang tinggi
sampai 40,6°C, disertai menggigil dan berkeringat, nyeri kepala,mual,muntah,dan nyeri otot.6
demam, sakit kepala, rasa lemah dan dapat pula terjadi abses. Abses dapat pecah yang
kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah lipat paha
dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B. malayi dan B. timori dibandingkan dengan
infeksi W. brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya,
9
pada infeksi W. brancofti sering terjadi peradangan buah pelir, peradangan epididimis dan
a. Limfedema
Pada infeksi W. brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum,
penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan
kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal.6
b. Lymph Scrotum
Lymph scrotum pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadangkadang pada
kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar
dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang
dapat pecah dan membasahi pakaian, hal ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi
ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi
c. Kiluria
Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal
(pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W. brancofti, sehingga cairan limfe dan
1) Air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan
2) Sukar kencing
10
3) Kelelahan tubuh
d. Hidrokel
Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya cairan limfe di
dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah pelir,
3) Akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi yaitu Chyle (Chylocele), darah
transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter Puskesmas yang sudah dilatih.
2.6 Diagnosis
1. Diagnosis Parasitologi
1.1. Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau
cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott,
membrane filtrasi. Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul
11
histopatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan
1.2. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA
Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi
2. Radiodiagnosis
2.1. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening
inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Ini berguna
terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan
2.2. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai
dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada
3. Diagnosis Imunologi
sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun microfilaria tidak
ditemukan dalam darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah
dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi
IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan
infeksi lampau dan infeksi aktif. Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak ditemukan
lagi di dalam darah. Kadang-kadang microfilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi ada di
12
2.7 Penatalaksanaan
Penggunaan obat antifilarial pada penangan limfadenitis akut dan limfangitis masih
kontroversial. Tidak ada penelitian lebih lanjut yang menunjukkan pemberian dietilkarbamazin
Filarizan) dapat berguna untuk terapi limfangitis akut. Dietilkarbamazin dapat diberikan pada
mikrofilaremik yang asimptomatik untuk mengurangi jumlah parasit di dalam darah. Obat ini
juga dapat membunuh cacing dewasa. Dosis pemberian dietilkarbamazin ditingkatkan secara
bertahap.7
Anak-anak :
Dewasa :
Pada penderita yang tidak ditemukan mikrofilaria di dalam darah diberikan dosis 6 mg/KgBB
3x/hari langsung pada hari I. Wuchereria bancrofti lebih sensitif daripada Brugia malayi pada
Efek samping seperti demam, nyeri kepala, mialgia, muntah, lemah dan asma, biasanya
disebabkan oleh karena destruksi mikrofilaria dan kadang-kadang oleh cacing dewasa,
terutama pada infeksi berat. Gejala ini berkembang dalam 2 hari pertama, kadang – kadang
dalam 12 jam setelah pemberian obat dan bertahan 3 – 4 hari. Pernah dilaporkan terjadinya
13
abses di scrotum dan sela paha setelah pengobatan, diperkirakan sebagai reaksi matinya cacing.
Obat lain yang juga aktif terhadap mikrofilaria adalah ivermectin ( Mectizan ) dan
albendazol. Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria, tetapi dapat di berikan dengan dosis
tunggal 400 mg / kgBB. Bila ivermectin dosis tunggal digabung dengan DEC, menyebabkan
hilangnya mikrofilaria lebih cepat. Akhir – akhir ini diketahui bahwa albendazol 400 mg dosis
Dapat juga diberikan Furapyrimidone yang mempunyai efek yang sama dengan DEC
dalam hal mikrofilarisidal. Dosis yang dianjurkan untuk Brugia malayiadlah 15-20
7 hari. Efek samping ringan hanya berupa iritasi gastrointestinal dan panas.7
2.8 Pencegahan
2. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh
petugas kesehatan.
4. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular.
5. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada saat tidur.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filariasis adalah kelompok penyakit yang mengenai manusia dan binatang yang
dewasanya hidupdalam cairan san saluran limfe, jaringan ikat di bawah kulit dan dalam
Indonesia. Prevalensi tidak banyak berbeda menurut jenis kelamin, usia maupun
bancrofti, Brugia malayi, Dan Brugia timori, dimana parasit dapat menyumbat saluran
pada kulit. Diagnosis penyakit ini dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah,
sedangkan bila tidak ditemukan mikrofilaria maka diagnosis dapat berdasarkan riwayat
15
3.2 Saran
Diharapkan Pembaca dan Mahasiswa dapat lebih memahami kasus Filariasis kasus
filariasis karena penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik
sehingga akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan penanganan
kasus filariasis ini pula, diharapkan pembaca dan mahasiswa mampu mewujudkan
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Chaerudin P. Lubis, Syahril Pasaribu. Filariasis dalam Buku Ajar Penyakit Anak.
Infeksi danPenyakit Tropis. Edisi Pertama. 2002. Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI. 435-441
2. Herdiman T. Pohan. Filariasis dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi III.
3. T.H. Rampengan, I.R. Laurents. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. 1997. Jakarta.
4. Eka. 2008. Pengobatan Massal Penyakit Filariasis Secara Gratis. Diakses dari situs
6. Prianto, Juni L.A., dkk. 1999. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
7. Sofyan, Iyan. 2007. Cegah Penyakit Kaki Gajah, Sembilan Ratus Ribu Warga Bogor
17