Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filariasis atau penyakit kaki gajah (elephantiasis) merupakan penyakit menular yang

mengenai saluran kalenjar limfe (getah bening) disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan

oleh serangga. Penyakit ini juga menyerang semua umur dan bersifat menahun. Jika seseorang

terkena penyakit ini dan tidak mendapatkan pengobatan sedini mungkin maka dapat

menimbulkan cacat permanen berupa pembesaran kaki, lengan, buah dada dan alat kelamin.1

Di Indonesia ditemukan 3 jenis parasit nematoda penyebab filariasis limfatik pada

manusia yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Parasit ini tersebar di

seluruh kepulauan Indonesia oleh berbagai spesies nyamuk yang termasuk dalam genus Aedes,

Anopheles, Culex, Mansonia. Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis turut menentukan

penyebarluasan penyakit filaria dan timbulnya daerah endemik filariasis. Di Indonesia hingga

saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Aedes, Anopheles, Culex dan

Mansonia yang dapat berperan sebagai vektor penularan penyakit filariasis. Hasil survei

laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate kurang dari 1 %,

berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai

resiko tinggi untuk tertular karena nyamuk penularnya tersebar luas. Apabila Mikrofilaria rate

lebih dari 1% disalah satu lokasi survai maka kabupaten atau kota tersebut ditetapkan sebagai

daerah endemis, harus dilaksanakan program eliminasi filariasis.2

1
1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,

manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, diagnosis banding dan prognosis dari Filariasis.

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda

Ilmu Penyakit Dalam mengenai Filariasis.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang diambil dari

berbagai literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan

oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.

Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut

berupa demam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening. Pada stadium

lanjut dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat

kelamin.1

Pengertian lain menjelaskan filariasis adalah penyakit menular menahun yang

disebabkan cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening, sedangkan

menurut sumber lain filariasis limfatik adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3

jenis cacing filaria yaitu : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang

penularannya melalui vektor nyamuk.2

2.2 Epidemiologi

Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah

di daerah daratan rendah. Kadang-kadang dapat juga ditemukan di daerah bukit yang tidak

terlalu tinggi. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Di daerah

kota hanya W.brancrofti yang telah ditemukan, seperti di kota Jakarta, tangerang, Pekalongan

dan semarang dan mungkin di beberapa kota lainnya.3

Di Idonesia filariasis tersebar luas; daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh

Nusantara, seperti disumatra dan sekitarnya, jawa, Kalimatan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan

3
Irian jaya. Masih banyak daerah yang belum diselidiki. Pemberantasan filariasis sudah

dilakukan oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1970 dengan pemberian DEC dosis rendah

jangka panjang (100 mg/mingggu selama 40 minggu). Survey prevalensi filariasis yang

dilakukan oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi infeksi cukup tinggi

bervariasi dari 0,5%-19,46%. Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa pada

umumnya ada tedensi menurun dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang

menyebabkan perubahan lingkungan. Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis, perlu

diperhatikan faktor-faktor seperti hospes, hospes reservoar, vector dan keadaan lingkungan

yang sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup masing-masing.2

2.3 Etiologi

Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah

bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah. Mikrofilaria ditemukan

dalam darah tepi pada malam hari.4

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu:

1. Wuchereria bancrofti

2. Brugia malayi

3. Brugia timori.

2.3.1 Agent

Filariasis disebabkan oleh cacing filarial pada manusia, yaitu (1) W.bancrofti; (2) B.malayi;

(3) B.timori, (4) Loa loa (5) Onchocerca volvulus', (6) Acanthocheilonema perstants; (7)

Mansonella azzardi. Yang terpenting ada tiga spesies, yaitu W.bancrofti, B.malayi,dan B

timori. Cacing ini habitatnya dalam sistern peredarah darah, limpha, otot,jaringan ikat atau

rongga serosa. Cacing dewasa mempakan cacing yang langsing seperti benang berwarna

putih kekuningan, panjangnya 2 - 70 cm, cacing betma panjangnya lebih kurang dua kali

4
cacing jantan. Biasanya tidak mempunyai bibir yang jelas, mulutnya sederhana, rongga

mulut tidak nyata. Esofagus berbentuk seperti tabung, tanpa bulbus esofagus, biasanya

bagian anterior berotot sedangkan bagian posterior berkelenjar." Filaria membutuhkan

insekta sebagai vektor. Nyarnuk culex adalah vektor dari penyakit filariasis W bancrofti dan

B.malayi. Jumlah spesies Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia cukup banyak, tetapi

kebanyakan dari spesies tersebut tidak pentingsebagai vektor alami.4

No Morfologi/karateristik W. bancrofti B. malayi B. timor

sediaa
1 Gambaran umum dalam n Melengkung Melengkung Melengkung
darah mulus kaku dan patah kaku dan patah
lebar panjan
2 Perbandingan dan g 1:1 1:2 1 :3
kepala
Warna pewar
3 sarung dengan na Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna
Giemsa
4 Ukuran panjang dalam micron 224-296 177-220 265-323
5 Inti badan Tersusun rapi Berkelompok Berkelompok
6 Jumlah inti di ujung ekor 0 2 2
pi
7 Gambaran ujung ekor Seperti ta Ujung agak Ujung agak
kerah
ujung tumpul tumpul

2.3.2 Vektor

Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu Mansonia,

Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh spesies

nyamuk Anopheles diidentifikasikan sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan.

Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam

5
spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia

dan Anopheles barbirostris merupakan vektor filariasis yang paling penting. Beberapa

spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara

Anopheles barbirostris merupakan vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa

Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan. Perlu kiranya mengetahui bionomik (tata

hidup) vektor yang mencakup tempat berkembangbiak, perilaku menggigit, dan tempat

istirahat untuk dapat melaksanakan pemberantasan vektor filariasis. Tempat perindukan

nyamuk berbedabeda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat

teduh, seperti semak-semak sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada

tempattempat yang gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, ada

yang hanya suka darah manusia (antrofilik), darah hewan (zoofilik), dan darah keduanya

(zooantrofilik). Terdapat perbedaan waktu dalam mencari mangsanya, ada yang di dalam

rumah (endofagik) dan ada yang di luar rumah (eksofagik). Perilaku nyamuk tersebut

berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis. Setiap daerah mempunyai spesies nyamuk

yang berbeda-beda.4

2.3.3 Hospes

Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis apabila digigit

oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit

selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya

pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan

lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi

karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih

nyata pada laki laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat.4

6
2.4 Patofisiologi

Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap

parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam

tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis

filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut

karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase

lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan

klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran

limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga

terjadi gangguan fungsi sistem limfatik.5

1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan

hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan edema

jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi

7
bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat

menimbulkan peradangan akut (acute attack).

2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke

kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo

Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan

peradangan akut (acute attack).

3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga bakteri

mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack)

sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut:

a) Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama

dengan bakteri, yaitu :

1) Limfangitis, peradangan di saluran limfe.

2) Limfadenitis, peradangan di kelenjar limfe

3) Adeno limfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe.

4) Abses

5) Peradangan oleh spesies W. bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat

menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.

b) Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah dan

lain-lainnya.

5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di kulit,

menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan

jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.

6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan

menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan

8
peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi

peningkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang

timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting).

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya gejala

klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia

timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh

B. malayi dan B. timori. infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih

dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. timori tidak menimbulkan kelainan pada

saluran kemih dan alat kelamin.6

1. Gejala Klinis Akut

Gejala klinis sangat bervariasi, mulai dari yang asimtomatis sampai yang berat. Hal ini

tergantung pada daerah geografi, spesies parasit, respons imun penderita dan intensitas infeksi.

Gejala biasanya tampak setelah 3 bulan infeksi,tapi umumnya masa tunasnya antara 8-12

bulan. Pada fase akut terjadi gejala radang saluran getah bening, sedang pada fase kronis terjadi

obstruksi. Fase akut ditandai dengan demam atau serangkaian serangan demam selama

beberapa minggu. Demam biasanya tidak terlalu tinggi meskipunkadang - kadang tinggi

sampai 40,6°C, disertai menggigil dan berkeringat, nyeri kepala,mual,muntah,dan nyeri otot.6

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai

demam, sakit kepala, rasa lemah dan dapat pula terjadi abses. Abses dapat pecah yang

kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah lipat paha

dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B. malayi dan B. timori dibandingkan dengan

infeksi W. brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya,

9
pada infeksi W. brancofti sering terjadi peradangan buah pelir, peradangan epididimis dan

peradangan funikulus spermatikus.6

2. Gejala Klinis Kronis

a. Limfedema

Pada infeksi W. brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum,

penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan

kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal.6

b. Lymph Scrotum

Lymph scrotum pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadangkadang pada

kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar

dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang

dapat pecah dan membasahi pakaian, hal ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi

ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi

limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang membesar.6

c. Kiluria

Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal

(pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W. brancofti, sehingga cairan limfe dan

darah masuk ke dalam saluran kemih.6

Gejala yang timbul adalah:

1) Air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan

kadang-kadang disertai darah (haematuria).

2) Sukar kencing

10
3) Kelelahan tubuh

4) Kehilangan berat badan.

d. Hidrokel

Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya cairan limfe di

dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah pelir,

dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut:

1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali,

sehingga penis tertarik dan tersembunyi.

2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.

3) Akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi yaitu Chyle (Chylocele), darah

(haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk

membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji

transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter Puskesmas yang sudah dilatih.

4) Hidrokel banyak ditemukan didaerah endemis W. bancrofti dan dapat digunakan

sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti.6

2.6 Diagnosis

Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan :

1. Diagnosis Parasitologi

1.1. Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau

cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott,

membrane filtrasi. Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul

20.00) mengingat periodisitas microfilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan

11
histopatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan

kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor.6

1.2. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA

parasit menggunakan reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain Reaction/ PCR).

Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi

parasit pada cryptic infection.6

2. Radiodiagnosis

2.1. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening

inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Ini berguna

terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan

untuk infeksi filarial oleh W.bancrofti.

2.2. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai

dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada

penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.6

3. Diagnosis Imunologi

Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang menggunakan

antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam

sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun microfilaria tidak

ditemukan dalam darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah

dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi

IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan

infeksi lampau dan infeksi aktif. Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak ditemukan

lagi di dalam darah. Kadang-kadang microfilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi ada di

dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.6

12
2.7 Penatalaksanaan

Penggunaan obat antifilarial pada penangan limfadenitis akut dan limfangitis masih

kontroversial. Tidak ada penelitian lebih lanjut yang menunjukkan pemberian dietilkarbamazin

(DEC), suatu derivat piperazin. Dietilkarbamazin (Hetrazan, Banoside, Notezine,

Filarizan) dapat berguna untuk terapi limfangitis akut. Dietilkarbamazin dapat diberikan pada

mikrofilaremik yang asimptomatik untuk mengurangi jumlah parasit di dalam darah. Obat ini

juga dapat membunuh cacing dewasa. Dosis pemberian dietilkarbamazin ditingkatkan secara

bertahap.7

Anak-anak :

- 1 mg/KgBB P.O. dosis tunggal untuk hari I

- 1 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari II

- 1-2 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari III

- 6 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari IV-XIV

Dewasa :

- 50 mg P.O. dosis tunggal hari I

- 50 mg P.O. 3x/hari pada hari II

- 100mg P.O. 3x/hari pada hari III

- 6 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari IV-XIV

Pada penderita yang tidak ditemukan mikrofilaria di dalam darah diberikan dosis 6 mg/KgBB

3x/hari langsung pada hari I. Wuchereria bancrofti lebih sensitif daripada Brugia malayi pada

pemberian terapi dietilkarbamazin.7

Efek samping seperti demam, nyeri kepala, mialgia, muntah, lemah dan asma, biasanya

disebabkan oleh karena destruksi mikrofilaria dan kadang-kadang oleh cacing dewasa,

terutama pada infeksi berat. Gejala ini berkembang dalam 2 hari pertama, kadang – kadang

dalam 12 jam setelah pemberian obat dan bertahan 3 – 4 hari. Pernah dilaporkan terjadinya

13
abses di scrotum dan sela paha setelah pengobatan, diperkirakan sebagai reaksi matinya cacing.

Dietilkarbamaasin tidak dianjurkan pada perempuan hamil.7

Obat lain yang juga aktif terhadap mikrofilaria adalah ivermectin ( Mectizan ) dan

albendazol. Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria, tetapi dapat di berikan dengan dosis

tunggal 400 mg / kgBB. Bila ivermectin dosis tunggal digabung dengan DEC, menyebabkan

hilangnya mikrofilaria lebih cepat. Akhir – akhir ini diketahui bahwa albendazol 400 mg dosis

tunggal lebih efektif daripada ivermectin.7

Dapat juga diberikan Furapyrimidone yang mempunyai efek yang sama dengan DEC

dalam hal mikrofilarisidal. Dosis yang dianjurkan untuk Brugia malayiadlah 15-20

mg/kgBB/hari selama 6 hari. Sedangkan untuk Wuchereria banrofti20 mg/kgBB/hari selama

7 hari. Efek samping ringan hanya berupa iritasi gastrointestinal dan panas.7

2.8 Pencegahan

Menurut Depkes RI (2005), tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis

yang dapat dilakukan adalah:7

1. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan pembesaran kaki,

tangan, kantong buah zakar, atau payudara.

2. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh

petugas kesehatan.

3. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan.

4. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular.

5. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada saat tidur.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Filariasis adalah kelompok penyakit yang mengenai manusia dan binatang yang

disebabkanoleh parasit kelompok nematode yang disebut filaridae., dimana cacing

dewasanya hidupdalam cairan san saluran limfe, jaringan ikat di bawah kulit dan dalam

rongga badan. Cacingdewasa betina mengeluarkan mikrofilaria yang dapat ditemukan

dalam darah, hidrokel, kulitsesuai dengan sefat masing-masing spesiesnya.Penyakit

filariasis banayak ditemukan di berbagai negara tropik dan subtropik, termasuk

Indonesia. Prevalensi tidak banyak berbeda menurut jenis kelamin, usia maupun

ras.Penyakit filariasis dapat disebabkan oleh berbagai macam spesies, sehingga

gambaranklinisnya spesifik untuk masing-masing spesies, misalnya bentuk limfatik

biasnya digunakansebagai tanda bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh Wuchereria

bancrofti, Brugia malayi, Dan Brugia timori, dimana parasit dapat menyumbat saluran

limfe dengan manifestasiterbentuknya elefantiasis menyebabkan kebutaan dan pruritus

pada kulit. Diagnosis penyakit ini dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah,

sedangkan bila tidak ditemukan mikrofilaria maka diagnosis dapat berdasarkan riwayat

asal penderita, biopsikelenjar limfe, dan pemeriksaan serologis.

Prinsip terapi ialah dengan menggunakan kemoterapi untuk membunuh filaria

dewasa danmikrofilarianya serta mengobati secara simpotomatik terhadap reaksi tubuh

yang timbulakibat cacing yang mati. Dapat juga dilakukan pembedahan.Pencegahan

penularan penyakit ini dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan sepertiDEC

ataupun dengan mengontrol vektor.

15
3.2 Saran

Diharapkan Pembaca dan Mahasiswa dapat lebih memahami kasus Filariasis kasus

filariasis karena penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik

sehingga akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan penanganan

kasus filariasis ini pula, diharapkan pembaca dan mahasiswa mampu mewujudkan

program Lingkungan bersih dan sehat dengan Penyakit Filariasis.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Chaerudin P. Lubis, Syahril Pasaribu. Filariasis dalam Buku Ajar Penyakit Anak.

Infeksi danPenyakit Tropis. Edisi Pertama. 2002. Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak

FKUI. 435-441

2. Herdiman T. Pohan. Filariasis dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi III.

2004.Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 525-529

3. T.H. Rampengan, I.R. Laurents. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. 1997. Jakarta.

PenerbitBuku Kedokteran EGC. 233-243

4. Eka. 2008. Pengobatan Massal Penyakit Filariasis Secara Gratis. Diakses dari situs

http://www.enrekangkab.go.id. pada tanggal 30 Maret 2008.

5. Entjang, Indan. 1982. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung : Penerbit Alumni.

6. Prianto, Juni L.A., dkk. 1999. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama.

7. Sofyan, Iyan. 2007. Cegah Penyakit Kaki Gajah, Sembilan Ratus Ribu Warga Bogor

Diharuskan Minum Obat Cacing. Diakses dari situs http://www.kotabogor.go.id. pada

tanggal 30 Maret 2008.

17

Anda mungkin juga menyukai