NASKAH PSIKIATRI
Autism Spectrum Disorder (ASD)
BAGIAN PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL
PADANG
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas case report session dengan judul “Autism
Spectrum Disorder” yang merupakan salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Dalam usaha penyelesaian tugas referat ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
kepada Dr. dr. Yaslinda Yaunin, SpKJ, selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini.
Kami menyadari bahwa di dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan kritik yang membangun guna
penyempurnaan case report session ini. Akhir kata, semoga case report session ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Autism Spectrum Disorder (ASD) atau yang biasa disebut sebagai autisme adalah suatu
kondisi yang memiliki karakteristik berupa derajat gangguan perilaku social, komunikasi dan
bahasa, serta ketertarikan dan aktivitas yang terbatas, merupakan sesuatu yang dianggap unik,
dan dilakukan secara berulang oleh seorang individu. Menurut World Health Organization
(WHO), diperkirakan 1 dari 160 anak di seluruh dunia mengalami autisme. 1 Sebanyak 700.000
orang atau 1 dari 100 orang di Inggris diperkirakan menderita autisme oleh The National Autistic
Society.2 Data Central for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2012, terdapat
sebanyak 1 dari 68 anak di Amerika Serikat yang didiagnosis dengan autisme atau 14,6 per 1.000
dari anak usia 8 tahun. Angka ini secara signifikan lebih tinggi pada anak laki-laki, yaitu 23,6 per
1.000 anak, dibandingkan dengan anak perempuan, 5,3 per 1.000 anak. Perkiraan prevalensi
autisme juga didapatkan lebih tinggi pada anak kulit putih non-hispanik. Diantara anak-anak
tersebut, 82% sudah didiagnosis dengan autisme sebelumnya, atau dengan klasifikasi
edukasional. Rata-rata usia paling muda yang diketahui menerima evaluasi komprehensif adalah
40 bulan, dan 43% dari keseluruhan menerima evaluasi komprehensif pada usia 36 bulan.3
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan selama 50 tahun terakhir, angka
kejadian autisme semakin meningkat secara global. Penyebab yang mungkin dari peningkatan
angka prevalensi ini antara lain: peningkatan kewaspadaan, kriteria diagnostic yang makin
diperjelas, alat bantu diagnostic yang lebih baik, dan pelaporan yang meningkat. 1 Di Indonesia
sendiri, jumlah kasus autisme bersifat sporadic, belum pernah dilakukan penelitian mengenai
epidemiologi autisme sehingga belum didapatkan angka prevalensi autisme di Indonesia. Namun,
secara kasar didapatkan gambaran tren peningkatan kasus autisme, dengan para dokter anak,
terapis, psikiater, mendiagnosis 3-5 kasus autisme pertahunnya. 4 Pengetahuan masyarakat
mengenai autisme masih sangat sedikit, begitu pula dengan data-data mengenai anak autis di
Indonesia. Diperlukan suatu terobosan dan eksplorasi lebih luas dan mendalam terhadap topik
autisme di Indonesia.
1.2. Tujuan
Untuk memenuhi tugas di stase ilmu kesehatan jiwa di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, tanda dan gejala, diagnosis,
diagnosis banding, penatalaksanaan serta prognosis dari Autism Spectrum Disorder
dengan pembahasan salah satu kasus Autism Spectrum Disorder.
2.1 Definisi
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani “autos” yang berarti sendiri atau segala
sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Istilah ini ditujukan pada seseorang yang
menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Mereka cenderung menarik diri dari
lingkungannya dan asyik bermain sendiri.5
Autisme atau yang lebih tepat disebut gangguan spektrum autisme (Autism
Spectrum Disorder-ASD) merupakan sekumpulan gejala gangguan perkembangan yang
menyebabkan gangguan sosial, komunikasi, dan perilaku yang bermakna.6
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health edisi ke-5 (DSM-V),
ASD adalah gangguan perkembangan (neurodevelopmental disorder) dengan gambaran
hendaya pada komunikasi serta interaksi sosial dan pola perilaku, aktivitas dan ketertarikan
yang monoton. Sebelumnya pada DSM-IV edisi revisi (DSM IV-TR), ASD dikenal secara
terpisah sebagai gangguan autistik (autisme klasik, autisme infantil dini, autisme masa
kanak-kanak atau autisme Kanner), gangguan disintegratif masa kanak-kanak, gangguan
perkembangan pervasif dan sindrom asperger.7 Sedangkan menurut ICD-10, ASD
merupakan bagian dari gangguan perkembangan pervasif yang didefinisikan sebagai
gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun dengan adanya gambaran
psikopatologis pada 3 area : tidak didapati adanya timbal balik saat berinteraksi sosial,
komunikasi serta perilaku yang terbatas, stereotipik dan berulang-ulang.8
Perbedaan bermakna di antara kedua pengkodean diagnosa ini adalah pada ICD-10
gejala harus ada sebelum usia 3 tahun, sementara DSM V tidak memasukkan batasan usia,
hal ini mengindikasikan bahwa gejala mungkin belum bermanifestasi hingga kebutuhan
sosial melebihi kapasitas anak tersebut.9
Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6
gangguan dalam bidang interaksi sosial, komunikasi (bahasa dan bicara), perilaku emosi,
pola bermain, gangguan sesoris dan perkembangan terlambat. Gejala ini mulai tampak
sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.10
2.2 Epidemiologi
Centre for Disease Control and Prevention (CDC) yang terbaru mencatat adanya
peningkatan prevalensi Autism Spectrum Disorder (ASD) setiap tahunnya. Menurut data
dari CDC’s Autism and Developmental Disabilities Monitoring (ADDM) Network tahun
2006 prevalensi anak ASD rata-rata 9,0 per 1000 anak (4,2-12,1) atau sekitar 1 dari 110
anak usia 8 tahun menderita ASD. Pada tahun 2012 meningkat menjadi 1 dari 68 anak
yang berusia 8 tahun mengalami ASD dengan prevalensi rata-rata 14,6 per 1000 anak (8,2 –
24,6).11
Angka kejadian autisme di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 152-per 10.000
anak (0,15-0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun yang lalu yang hanya 2-4 per
10.000 anak. Melihat angka tersebut, dapat diperkirakan di Indonesia setiap tahun akan
lahir lebih kurang 69.000 anak penyandang autisme. Hasil penelitian yang di lakukan Melly
Budiman (2001) memperlihatkan bahwa pada tahun 1987 penderita autisme1/500 anak dan
tahun 2001 menjadi 1/150 anak.11
b. Riwayat keluarga
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa diantara kembar identik, jika salah satu anak
memiliki ASD, maka yang lainnya akan terpapar sekitar 36%-95%. Pada kembar
tidak identik, jika salah satu anak memiliki ASD, maka yang lainnya akan terpapar
sekitar 0-31%.17-19 Orang tua yang memiliki anak dengan ASD kemungkinan akan
mendapatkan anak kedua yang juga ASD sekitar 2%-18%.13,14
c. Penyakit lain
Anak dengan kondisi medis tertentu (genetik atau kromosomal tertentu) memiliki
resiko yang lebih tinggi terkena ASD dibandingkan dengan anak yang normal.
Sekitar 10% anak dengan autisme juga teridentifikasi memiliki Down Syndrome,
Fragile-X syndrome,dan Tuberous sclerosis.15-18
d. Bayi Lahir Prematur
Bayi yang lahir sebelum usia 26 minggu kehamilan atau memiliki berat lahir rendah
kemungkinan memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena ASD.19
e. Usia orang tua
Terdapat kemungkinan hubungan antara antara anak yang lahir dari orang tua yang
lebih tua dan ASD, namun hal ini masih membutuhkan penelitian-penelitian lebih
lanjut untuk mengembangkan hubungan ini.20
2.4 Etiologi
Etiologi secara umum pada autisme belum diketahui secara jelas, demikian juga
etiologi dari gangguan bicara dan bahasa pada autisme. Beberapa ahli mengemukakan
kemungkinan disebabkan oleh beberapa keadaan patologik yang terjadi pada masa
kehamilan, kelahiran dan setelah lahir yang mempengaruhi perkembangan otak.5
Ketika autisme pertama kali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner, autisme
diperkirakan disebabkan pola asuh yang salah. Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut
kurang memberikan stimulasi bagi perkembangan komunikasi anak yang akhirnya
menghambat perkembangan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak. Pendapat
Kanner ini disebut dengan teori psikogenik.21
Namun ternyata pada autisme tidak hanya terjadi gangguan fungsional saja, tetapi
juga didasari adanya gangguan organik dalam perkembangan otak (neurobiologik).
Beberapa studi mengemukakan terjadi gangguan neurobiologik (disfungsi struktur otak).26,30
Dari hasil beberapa penelitian baik dari autopsi maupun pemeriksaan neuroimaging,
dijumpai adanya perubahan struktur otak pada amigdala (pusat pengendalian emosi),
hipokampus (penting dalam fungsi memori), dan serebelum (penting dalam pengaturan
gerak dan fungsi neurobehaviour) dan sistem limbik; dimana amigdala sel-selnya menjadi
lebih kecil, abnormal, dan lebih padat dibandingkan sel normal, serebelum dan sistem
limbik mengalami hipoplasi (pengisutan). Juga dijumpai adanya sirkulasi darah yang lebih
lambat pada beberapa bagian korteks serebri.5
Kondisi lingkungan seperti kehadiran virus dan zat-zat kimia/ logam juga diduga
dapat mengakibatkan munculnya autisme. Zat-zat beracun seperti timah (Pb) dari asap
knalpot mobil, pabrik dan cat tembok; kadmium (Cd) dari batu baterai serta turunan air
raksa ( Hg) yang digunakan sebagai bahan tambalan gigi (Amalgam).10
Faktor genetik juga berperan dalam terjadinya autisme, kurang lebih pada 20%
kasus terkait faktor genetik.26 Penelitian pada keluarga dan anak kembar menunjukkan
bukti bahwa pada kembar satu telur >60% mempunyai risiko terjadi autisme dibandingkan
kembar 2 telur, sedangkan pada saudara kandung kemungkinannya adalah 2-18%. Insiden
autisme menurun pada keluarga yang tidak ada hubungannya dengan penderita autisme, hal
ini memberikan pendapat bahwa terdapat keterlibatan interaksi gen yang kompleks.22
Faktor-faktor prenatal dan perinatal juga turut berperan dalam etiologi autisme,
seperti usia ibu (lebih dari 35 tahun), perdarahan selama kehamilan, berat bayi lahir rendah,
kelainan letak/presentasi pada persalinan, skor Apgar yang rendah, hiperbilirubinemia, dan
respiratory distress syndrome. Faktor genetik berpengaruh kuat atas munculnya kasus
autisme. Dari penelitian pada saudara sekandung anak penyandang autisme terungkap
mereka mempunyai peningkatan kemungkinan sekitar 3% untuk dinyatakan autisme.
Berbagai penelitian menemukan “hot spots” kromosomal pada autisme yaitu lokus pada
kromosom 6,7,13,15,16,17, dan 22. Namun yang paling sering dikaitkan dengan etiologi
autisme adalah kromosom 7, 15, dan X.10
Beberapa faktor yang juga telah diidentifikasi berasosiasi dengan autisme
diantaranya adalah usia ibu (makin tinggi usia ibu, kemungkinan menyandang autisme kian
besar), urutan kelahiran, pendarahan trisemester pertama dan kedua serta penggunaan obat
yang tak terkontrol selama kehamilan.19,20 Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan
autisme yaitu gangguan susunan saraf pusat, gangguan sistem pencernaan, peradangan
dinding usus, abnormalitas sistem imun, sensitivitas terhadap gluten dan alergi makanan.6
a. Gejala sosial
Seorang anak pada masa perkembangannya sejak dini sudah dapat berinteraksi
sosial. Pada bulan-bulan pertama kehidupan anak mulai melihat pada orang/obyek di
sekitarnya, menoleh ke arah sumber suara dan tersenyum. Anak dengan autisme tidak
menunjukkan perilaku tersebut, bahkan merasa/menunjukkan ketidaknyamanan dalam
pelukan/dekapan ibu atau pengasuhnya. Banyak di antara mereka yang tidak bisa
berinteraksi (non-verbal social behaviour) dan menghindari tatapan mata, seolah-olah
menolak perhatian dan kasih sayang. Mereka juga tidak menunjukkan rasa senang/gembira
bila orangtua mereka datang atau tidak menunjukkan rasa kecewa/cemas bila berpisah
dengan orangtua mereka. Bahkan reaksi anak autisme tidak menunjukkan adanya
perbedaan antara terhadap orangtuanya dan terhadap orang lain.5
Anak autisme sulit untuk mengerti apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain.
Senyuman, ekspresi wajah orang lain hampir tak memberi arti apapun bagi si anak. Anak
autisme juga tidak mempunyai ketertarikan terhadap anak yang lain di sekitarnya, lebih
senang bermain sendiri dan menjauh dari yang lain atau seringkali lebih senang bergabung
dengan yang lebih tua usianya, dimana mereka akan menjadi “leader”nya. Problem sosial
semakin bertambah karena anak autisme seringkali disertai dengan perilaku agresif,
hambatan dalam komunikasi dan intelegensia yang rendah.5
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para
orang tua dan prakstisi untuk lebih waspada dan peduli terhadap gejala-gejala autisme.
2.6 Diagnosis
Diagnosis awal/skrining autisme difasilitasi dengan menggunakan instrumen
standar seperti Checklist for Autism in Toddler (CHAT). Selain itu, untuk diagnosis autisme
juga dapat menggunakan Childhood Autis Rating Scale (CARS), Autism Diagnostic
Observation Schedule (ADOS), Autism Diagnostic Interview-Revised (ADI-R), dan
Autism Behaviour Checklist.
Untuk mengetahui seorang anak autisme digunakan kriteria WHO (1993) yang
tercantum dalam ICD-10 (International Classification of Disease edisi 10) atau DSM-V
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke 5) yang dikembangkan
oleh The American Pshychiatric Association, 2013.21
Tingkat Keparahan
DSM V merekomendasikan agar klinisi menjabarkan tingkat keparahan ASD yang
dipisah berdasarkan masing-masing aspek. Tingkat keparahan ini dispesifikasikan menjadi
3 tingkatan (level), yaitu dari level 1,2,3. Tingkatan ini didasarkan pada sejauh mana anak
penyandang gangguan spektrum autis membutuhkan dukungan orang lain dalam
melakukan tugas perkembangannya. :21
Tabel 2. Tingkat keparahan ASD28
Interaksi dan komunikasi social
Level 1 Gangguan sudah terlihat dan membutuhkan bantuan,
(membutuhkan kesulitan untuk memulai interaksi sosial, ketidakmampuan
bantuan) memberikan respons sosial, ketertarikan untuk interaksi
sosial sangat minimal, percakapan yang berulang ulang,
ketidakmampuan mencari teman.
Level 2 Gangguan yang sangat jelas pada komunikasi, terlihat
(membutuhkan bantuan adanya ganguan walaupun dibantu, respons abnormal
mendasar) terhadap interaksi sosial, kesulitan untuk membuka
percakapan.
Level 3 Gangguan fungsi yang berat dimana hanya terdapat sedikit
(sangat membutuhkan inisiatif untuk berinteraksi secara sosial, respons yang
bantuan mendasar) sangat minimal saat orang lain mencoba membuka
percakapan dengan penderita.
Perilaku terbatas/repetitive
Level 1 Perilaku menghambat fungsi, kesulitan merubah aktivitas,
(membutuhkan kemandirian terbatas.
bantuan)
Level 2 Perilaku menghambat fungsi di berbagai tempat, kesulitan
(membutuhkan bantuan untuk merubah fokus.
mendasar)
Level 3 Perilaku menghambat fungsi di seluruh aspek kehidupan,
(sangat membutuhkan sangat sulit beradaptasi dengan perubahan. Kesulitan
bantuan mendasar) merubah kegiatan dan fokus.
2.8. Tatalaksana
Menurut danuatmaja (2003), gangguan otak pada anak autis umumnya tidak dapat
disembuhkan (not curable) tetapi dapat ditanggulangi (treatable) melalui terapi dini,
terpadu & intensif. Gejala autisme dapat dikurangi bahkan dihilangkan sehingga anak bisa
bergaul dengan normal. Jika anak autis terlambat atau bahkan tdk dilakukan intervensi
dengan segera, maka gejala autis bisa menjadi semakin parah bahkan tidak tertanggulangi.
Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut ini :
1) Tergantung berat ringannya gangguan dalam sel otak.
2) Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai,tingkat keberhasilannya akan semakin
besar. Umur ideal utk dilakukan terapi atau intervensi (2-5 thn) pada saat sel otak mampu
dirangsang untuk membentuk cabang – cabang neuron – neuron baru.
3) Kemampuan bicara & berbahasa : 20% penyandang autism tidak mampu bicara
seumur hidupsisanya ada yg mampu bicara tapi sulit & kaku.namun adapula yg mampu
bicara dengan lancar. Anak autis yang tidak mampu bicara (Non verbal) bisa diajarkan
ketrampilan komunikasi dengan cara lain misalnya dengan bahasa isyarat atau melalui
gambar – gambar.
4) Terapi harus dilakukan dengan intensif : antara 4-8 jam/hari. Disamping itu, seluruh
keluarga harus ikut terlibat dalam melakukan komunikasi dengan anak.
5) Pendidikan khusus(dengan fokus utama pada peningkatann kemampuan komunikasi)
dan tatalaksana perilaku
6) Struktur kelas sgt penting & harus meliputi sebanyak mungkin perintah personal (satu-
lawan-satu)
7) Sangatlah penting bahwa instruksi bagi anak tersebut mencakup kemampuan hidup
dasar,& menunjukkan pada anak bagaimana caranya memperluas kemampuan tersbt untuk
dapat digunakan pada keadaan lain.
8) Tatalaksana perilaku pada semua lingkungan disekitar anak
Medikamentosa :
1) Ditujukan untuk memperbaiki komunikasi ,memperbaiki respon terhadap lingkungan
& menghilangkan perilaku-perilaku aneh yang dilakukan secara berulang-ulang.
2) SSRI (Selektif serotonin Reuptake inhibitor) → keseimbangan antara neurotransmiter
serotonin & dopamin
3) Antikonvulsan (karbamazepin & asam valproat)
4) Dukungan keluarga (respite care),kelompok-kelompok dukugan keluarga,kelompok-
kelompok bagi saudara kandung & konseling keluarga.
Diet
diet yg sering → GFCF (Glutein Free Casein Free)
2.9 Prognosis
Secara umum, anak yang sehat dengan autisme idopatik prognosanya lebih baik
dibandingkan dengan anak yang autismenya disebabkan oleh kelainan otak yang dapat
diidentifikasi.
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. IAM
MR : 01.07.92.93
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 23 tahun
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa - Minang
Pendidikan terakhir : SMA
Status Pernikahan : Belum Menikah
Pekerjaan : Mahasiswa, Freelancer Ilustrator
Alamat : Jl. Panda 5 No. 1, Kel. Koto Lalang, Kec. Lubuk Kilangan,
Kota Padang
KETERANGAN DIRI ALLO/ INFORMAN
Nama (inisial) : Ny. DY
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 50 tahun
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Panda 5 No. 1, Kel. Koto Lalang, Kec. Lubuk Kilangan,
Kota Padang
Hubungan dengan pasien : Ibu kandung
Kesan pemeriksa/dokter terhadap keterangan yang diberikannya :
(Dapat dipercaya/ kurang dapat dipercaya)
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Keterangan/ anamnesis di bawah ini diperoleh dari (lingkari angka di bawah ini)
1. Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 10 Juli 2020 di Poliklinis Jiwa RSUP Dr.
M. Djamil Padang.
2. Alloanamnesis dengan :
Ibu kandung pasien, pada tanggal 13 Juli 2020 melalui wawancara via telepon.
1. Pasien datang ke fasilitas kesehatan ini atas keinginan (lingkari pada huruf yang
sesuai
a. Sendiri
b. Keluarga
c. Polisi
d. Jaksa/ Hakim
e. Dan lain-lain
2. Sebab Utama
Pasien datang karena ingin kontrol dan menambah obat. Pasien sekarang merasa mua-mual
setelah minum obat antidepressan.
3. Keluhan Utama
Pasien datang untuk kontrol pengobatan dan mual sejak mengonsumsi obat antidepresan.
Pasien juga mengatakan bahwa keluhan yang ia alami sampai menimbulkan pasien muntah.
Keluhan yang dialaminya membuat pasien takut untuk mengonsumsi obat
4. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang
Pasien pertama kali memiliki keluhan berupa cemas berlebihan dan rasa ingin bunuh diri
pada tahun 2018. Pasien yang tinggal di Kota Tanjung Pinang bersama keluarganya, harus pindah
ke Kota Padang karena menempuh pendidikan di salah satu universitas di Kota Padang. Pasien
tinggal bersama saudara yang tinggal di Padang. Pasien merasa tidak nyaman dengan situasi baru
dan mengaku tidak bisa beradaptasi sehingga menimbulkan kecemasan. Pasien menetralkan
situasi tak nyaman tersebut dengan duduk di perpustakaan kampus sendirian sampai sore, baru
pulang. Pasien juga mengeluh takut pada suara orang mengetuk pintu, sering menangis, dan
kadang merasa tidak berguna. Pasien kemudian pergi menemui salah satu dokter spesialis jiwa
dan diberikan obat antidepresan. Pada tahun 2019, pasien pergi ke Jakarta dan menemui salah
satu dokter spesialis jiwa disana. Oleh dokter, pasien didiagnosa “Sindrom Asperger”. Saat ini
pasien telah didiagnosis Autisme Spectrum Disorder (High Function) oleh psikater anak remaja
dan rutin control sekali sebulan. Pasien sebelumnya juga dikonsulkan ke bagian Rehabilitasi
Medis dari bagian pskiatri karena kekakuan berjalan dan tulisan pasien yang jelek. Di rehab
medik pasien diterapi sebagai “Clumsiness” namun kurang efektif karena sudah menjadi
kebiasaan pasien sehingga disarankan untuk dialihkan ke olahraga Yoga.
Pasien mengaku tidak begitu suka berteman. Menurut ibu pasien, sejak kecil sejak kecil
pasien memang tidak suka berteman, senang menggambar dan lebih memilih menggambar
daripada bersosialisasi. Hal itu pasien rasakan sampai saat ini. Namun, sejak menerima
pengobatan dari dokter di Jakarta, pasien merasa lebih bisa bersosialisasi daripada sebelumnya.
Pasien sedari kecil juga sering melakukan gerakan-gerakan berulang, seperti jalan bolak-balik,
jalan maju-mundur, mengangguk-anggukan kepala, menggerakkan kaki, terutama saat pasien
memiliki beban pikiran, apalagi saat ini pasien sedang stress mengerjakan skripsi. Pasien
mengaku memiliki riwayat lain seperti dari kecil takut berlebihan terhadap suara yang tiba-tiba
seperti bunyi pesawat lewat, bunyi mesin cuci berputar, dll. Pasien juga mengaku tidak bisa ke
WC yang tidak berkeramik dan setiap memegang sesuatu yang agak kotor seperti pel, selalu cuci
tangan.
5. Riwayat Penyakit Sebelumnya
a. Riwayat Gangguan Psikiatri
Tahun 2018 saat pasien pertama kali memiliki keluhan berupa cemas berlebihan
dan rasa ingin bunuh diri, yang kemungkinan suatu gangguan campuran
ansietas dan depresi.
Pada tahun 2019, pasien pergi ke Jakarta dan menemui salah satu dokter
spesialis jiwa disana. Oleh dokter, pasien didiagnosa “Sindrom Asperger”.
Pasien mengaku tidak begitu suka berteman. Sejak kecil, ia senang
menggambar dan lebih memilih menggambar daripada bersosialisasi. Hingga
saat ini pasien tetap tidak memiliki teman dekat.
Pasien sedari kecil juga sering melakukan gerakan repetitif, seperti jalan bolak-
balik, jalan maju-mundur, mengangguk-anggukan kepala, menggerakkan kaki,
terutama saat pasien memiliki beban pikiran.
b. Riwayat Gangguan Medis
Pasien tidak ada menderita hipertensi, DM, trauma, tumor, kejang, gangguan
kesadaran, HIV.
c) Saudara
Jumlah bersaudara 3 orang dan pasien anak ke 3.
d) Urutan bersaudara dan cantumkan usianya dalam tanda kurung untuk pasien sendiri
lingkari nomornya.*
1. Lk/Pr (30 tahun)
2. Lk/Pr (29 tahun)
3. Lk/Pr (23 tahun)
e) Gambaran sikap/ perilaku masing-masing saudara pasien dan hubungan pasien terhadap
masing-masing saudara tersebut, hal yang dinyatakan serupa dengan yang dinyatakan
pada gambaran sikap/ perilaku pada orang tua.*
Saudara keGambaran sikap dan Kualitas hubungan dengan saudara
perilaku (akrab/ biasa,/kurang/tak peduli)
1 Nakal, jahil Kurang
2 Baik, pemarah Kurang
Ket:
*) coret yang tidak perlu
**) diisi dengan tanda ( + ) atau ( - )
f) Orang lain yang tinggal di rumah pasien dengan gambaran sikap dan tingkah laku dan
bagaimana pasien dengan mereka.*
No Hubungan Gambaran sikap Kualitas hubungan (akrab/biasa/
dgn pasien dan tingkah laku kurang/tak peduli)
1 Bapak Biasa Kurang
2 Ibu Pemarah Kurang
3 Keponakan Biasa Kurang
Skema Pedegree
Keterangan
Pasien Laki-laki
Meninggal Perempuan
Meninggal
i) Riwayat Pekerjaan ( - )
Usia mulai bekerja (-) , kepuasan kerja( - ), pindah-pindah kerja (-), pekerjaan yang
pernah dilakukan: Freelancer illustrator
Konflik dalam pekerjaan : ( - ), konflik dengan atasan, konflik dengan bawahan ( - ),
konflik dengan kelompok ( - ). Keadaan ekonomi*: baik,sedang, kurang
j) Percintaan, Perkawinan, Kehidupan Seksual dan Rumah Tangga
Haid pertama usia 13 tahun.
Hubungan seks sebelum menikah (-)
Riwayat pelecehan seksual (-)
Orientasi seksual (normal)
k) Situasi sosial saat ini:
1. Tempat tinggal : rumah sendiri (-), rumah kontrak (-), rumah susun (-),
apartemen (-) , rumah orang tua (+), serumah dengan mertua (-), di asrama (-)
dan lain-lain (-).
2. Polusi lingkungan : bising (-), kotor (-), bau (-), ramai (-) dan lain-lain.
Ket: * coret yang tidak perlu, ** ( ), diisi (+) atau (-)
ai : atas indikasi
l) Ciri Kepribadian sebelumnya/ Gangguan kepribadian (untuk axis II)
Keterangan : ( ) beri tanda (+) atau (-)
Kepribadian Gambaran Klinis
Skizoid Emosi dingin ( - ), tidak acuh pada orang lain ( + ), perasaan hangat atau
lembut pada orang lain ( - ), peduli terhadap pujian maupun kecaman ( - ),
kurang teman ( + ), pemalu ( - ), sering melamun ( - ), kurang tertarik
untuk mengalami pengalaman seksual ( + ), suka aktivitas yang
dilakukan sendiri ( + )
Paranoid Merasa akan ditipu atau dirugikan ( - ), kewaspadaan berlebihan ( - ), sikap
berjaga-jaga atau menutup-nutupi ( - ), tidak mau menerima kritik ( - ),
meragukan kesetiaan orang lain ( - ), secara intensif mencari-cari kesalahan
dan bukti tentang prasangkanya ( - ), perhatian yang berlebihan terhadap
motif-motif yang tersembunyi ( -), cemburu patologik ( - ), hipersensifitas
( - ), keterbatasan kehidupan afektif ( - ).
Skizotipal Pikiran gaib ( - ), ideas of reference ( - ), isolasi sosial ( + ), ilusi berulang ( -
), pembicaraan yang ganjil ( - ), bila bertatap muka dengan orang lain
tampak dingin atau tidak acuh ( - ).
Siklotimik Ambisi berlebihan ( - ), optimis berlebihan ( - ), aktivitas seksual yang
berlebihan tanpa menghiraukan akibat yang merugikan ( - ), melibatkan
dirinya secara berlebihan dalam aktivitas yang menyenangkan tanpa
menghiraukan kemungkinan yang merugikan dirinya ( - ), melucu
berlebihan ( - ), kurangnya kebutuhan tidur ( - ), pesimis ( - ), putus asa ( - ),
insomnia ( + ), hipersomnia ( - ), kurang bersemangat ( - ), rasa rendah diri (
- ), penurunan aktivitas ( - ), mudah merasa sedih dan menangis ( - ), dan
lain-lain.
Histrionik Dramatisasi ( - ), selalu berusaha menarik perhatian bagi dirinya ( - ),
mendambakan ransangan aktivitas yang menggairahkan ( - ), bereaksi
berlebihan terhadap hal-hal sepele ( - ), egosentris ( - ), suka menuntut ( - ),
dependen ( - ), dan lain-lain.
Narsisistik Merasa bangga berlebihan terhadap kehebatan dirinya ( - ), preokupasi
dengan fantasi tentang sukses, kekuasaan dan kecantikan ( - ),
ekshibisionisme ( - ), membutuhkan perhatian dan pujian yang terus
menerus ( - ), hubungan interpersonal yang eksploitatif ( - ), merasa marah,
malu, terhina dan rendah diri bila dikritik ( - ) dan lain-lain.
Dissosial Tidak peduli dengan perasaan orang lain ( + ), sikap yang amat tidak
bertanggung jawab dan berlangsung terus menerus ( - ), tidak mampu
mengalami rasa bersalah dan menarik manfaat dari pengalaman ( - ), tidak
peduli pada norma-norma, peraturan dan kewajiban sosial ( - ), tidak
mampu memelihara suatu hubungan agar berlangsung lama ( + ),
iritabilitas ( - ), agresivitas ( - ), impulsif ( - ), sering berbohong ( - ), sangat
cendrung menyalahkan orang lain atau menawarkan rasionalisasi yang
masuk akal, untuk perilaku yang membuat pasien konflik dengan
masyarakat ( - )
Ambang Pola hubungan interpersonal yang mendalam dan tidak stabil ( - ),
kurangnya pengendalian terhadap kemarahan ( - ), gangguan identitas ( - ),
afek yang tidak mantap ( - ),tidak tahan untuk berada sendirian ( - ), tindakan
mencederai diri sendiri ( - ), rasa bosan kronik ( - ), dan lain-lain
Menghindar Perasaan tegang dan takut yang pervasif ( - ), merasa dirinya tidak mampu,
tidak menarik atau lebih rendah dari orang lain ( - ), keengganan untuk
terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin disukai ( - ), preokupasi
yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan dalam situasi sosial ( - ),
menghindari aktivitas sosial atau pekerjaan yang banyak melibatkan kontak
interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung atau ditolak ( - )
Anankastik Perasaan ragu-ragu yang hati-hati yang berlebihan ( - ), preokupasi pada hal-
hal yang rinci (details), peraturan, daftar, urutan, organisasi dan jadwal ( - ),
perfeksionisme ( - ), ketelitian yang berlebihan ( - ), kaku dan keras kepala (
- ), pengabdian yang berlebihan terhadap pekerjaan sehingga
menyampingkan kesenangan dan nilai-nilai hubungan interpersonal ( - ),
pemaksaan yang berlebihan agar orang lain mengikuti persis caranya
mengerjakan sesuatu ( - ), keterpakuan yang berlebihan pada kebiasaan
sosial ( - ) dan lain-lain.
Dependen Mengalami kesuitan untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa nasehat dan
masukan dari orang lain ( - ), membutuhkan orang lain untuk mengambil
tanggung jawab pada banyak hal dalam hidupnya
( - ), perasaan tidak enak atau tidak berdaya apabila sendirian, karena
ketakutan yang dibesar-besarkan tentang ketidakmampuan mengurus diri
sendiri ( - ), takut ditinggalkan oleh orang yang dekat dengannya( - )
V. STATUS MENTAL
Pemeriksaan tanggal 10 Juli 2020
A. Keadaan Umum
1. Kesadaran/ sensorium : compos mentis ( + ), apatis ( - ), somnolen ( - ), stupor
( - ), kesadaran berkabut ( - ), konfusi ( - ), koma ( - ), delirium ( - ), kesadaran
berubah ( - ), dan lain-lain
2. Penampilan
Sikap tubuh: biasa ( + ), diam ( - ), aneh ( - ), sikap tegang ( - ), kaku ( - ), gelisah
( - ), kelihatan seperti tua (-), kelihatan seperti muda ( + ), berpakaian sesuai gender
( - ).
Cara berpakaian : rapi ( + ), biasa ( + ), tak menentu ( - ), sesuai dengan situasi ( - ),
kotor ( - ), kesan ( dapat mengurus diri )*
Kesehatan fisik : sehat ( + ), pucat ( - ), lemas ( - ), apatis ( - ), telapak tangan basah
( - ), dahi berkeringat ( - ), mata terbelalak ( - ).
3. Kontak psikis
dapat dilakukan ( + ), tidak dapat dilakukan ( - ), wajar (+), kurang wajar ( - ), sebentar
( - ), lama ( - ).
4. Sikap
Kooperatif ( + ), penuh perhatian ( - ), berterus terang ( - ), menggoda ( - ), bermusuhan
( - ), suka main-main ( - ), berusaha supaya disayangi ( - ), selalu menghindar ( - ),
berhati-hati ( - ), dependen ( - ), infantil ( - ), curiga ( - ), pasif ( - ), dan lain-lain.
5. Tingkah laku dan aktifitas psikomotor
Cara berjalan : biasa ( + ), sempoyongan ( - ), kaku ( + ), dan lain-lain
Ekhopraksia ( - ), katalepsi ( - ), luapan katatonik ( - ), stupor katatonik ( -),
rigiditas katatonik ( - ), posturing katatonik ( - ), cerea flexibilitas ( - ), negativisme (
- ), katapleksi ( - ), stereotipik ( + ), mannerisme ( -), otomatisme ( - ), otomatisme
perintah ( - ), mutisme ( - ), agitasi psikomotor ( - ), hiperaktivitas/ hiperkinesis ( - ),
tik ( - ), somnabulisme ( - ), akathisia ( - ), kompulsi( - ), ataksia ( - ), hipoaktivitas
( - ), mimikri ( - ), agresi ( - ), acting out ( - ), abulia ( - ), tremor ( - ), chorea ( - ),
distonia ( - ), bradikinesia ( - ), rigiditas otot ( - ), diskinesia ( - ), convulsi ( - ),
seizure ( - ), piromania ( - ), vagabondage ( - ).
Ket : ( ) diisi (+) atau (-)
B. Verbalisasi dan cara berbicara
Arus pembicaraan* : biasa
Produktivitas pembicaraan* : biasa
Perbendaharaan* : biasa
Nada pembicaraan* : biasa
Volume pembicaraan* : biasa
Isi pembicaraan* : biasa
Penekanan pada pembicaraan* : ada
Spontanitas pembicaraan * : spontan
Logorrhea, poverty of speech ( - ), diprosodi ( - ), disatria ( - ), gagap ( - ), afasia
( - ), bicara kacau ( - )
C. Emosi
Hidup emosi*: stabilitas (stabil/ tidak), pengendalian (adekuat/tidak adekuat),
echt/unecht, dalam/dangkal, skala diffrensiasi (sempit/luas), arus emosi
(biasa/lambat/cepat).
1. Afek
Afek appropriate/ serasi ( + ), afek inappropriate/ tidak serasi ( + ), afek tumpul ( - ),
afek yang terbatas ( -), afek datar ( - ), afek yang labil ( - ).
2. Mood
mood eutimik( - ), mood disforik ( + ), mood yang meluap-luap (expansive mood) ( - ),
mood yang iritabel ( - ), mood yang labil (swing mood) ( -), mood meninggi (elevated
mood/ hipertim) ( - ), euforia ( - ), ectasy ( - ), mood depresi (hipotim) ( -), anhedonia
( - ), dukacita ( - ), aleksitimia ( - ), elasi ( - ), hipomania ( - ), mania ( - ), melankolia ( - ),
La belle indifference ( - ), tidak ada harapan ( - ).
3. Emosi lainnya
Ansietas ( - ), free floating-anxiety ( - ), ketakutan ( - ), agitasi ( - ), tension (ketegangan)
( - ), panic ( - ), apati ( - ), ambivalensi ( - ), abreaksional ( - ), rasa malu ( - ), rasa
berdosa/ bersalah( - ), kontrol impuls ( - ).
4. Gangguan fisiologis yang berhubungan dengan mood
Anoreksia ( - ), hiperfagia ( - ), insomnia ( - ), hipersomnia ( - ), variasi diurnal ( - ),
penurunan libido ( - ), konstispasi ( - ), fatigue ( - ), pica ( - ), pseudocyesis ( - ), bulimia
( - ).
Keterangan : *)Coret yang tidak perlu, ( ) diisi (+) atau (-)
D. Pikiran/ Proses Pikir (Thinking)
Kecepatan proses pikir (biasa/cepat/lambat)
Mutu proses pikir (jelas/ tajam)
XII. Penatalaksanaan
Terapi yang sudah diberikan
- Aripiprazol 2 mg 1 x 1
- Fluoxetin 10 mg 1 x 1
- Clobazam 10 mg 1 x 1
Terapi yang dianjurkan
A. Psikoterapi
- Kepada pasien
Psikoterapi suportif
Memberikan dukungan, kehangatan, empati dan optimistik kepada pasien,
membantu pasien mengidentifikasi faktor pencetus dan membantu
memecahkan permasalahan secara terarah
Psikoedukasi
Memberikan pengetahuan kepada pasien tentang gangguan yang dialaminya,
diharapkan pasien dapat secara efektif mengenali gejala dan penyebab serta
terapi yang dibutuhkanya untuk menghindari kekambuhan atau terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan
- Kepada keluarga
Psikoedukasi
Diberikan pengetahuan kepada keluarga mengenai penyakit yang diderita
pasien, terapi perilaku keluarga, dukungan, sosial, dan perhatian dari
keluarga kepada pasien dan terapi serta kepatuhan minum obat pasien
XIII. PROGNOSIS
Quo et vitam : Bonam
Quo et fungsionam : Bonam
Quo et sanctionam : dubia ad bonam
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien perempuan usia 23 tahun datang ke Poliklinik Jiwa RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Berdasarkan wawancara psikiatri pada tanggal 10 Juli 2020 didapatkan
pasien datang untuk kontrol pengobatan dan mual sejak mengonsumsi obat antidepresan.
Pasien juga mengatakan bahwa keluhan yang ia alami sampai menimbulkan pasien muntah.
Keluhan yang dialaminya membuat pasien takut untuk mengonsumsi obat. Pasien diketahui
sudah mengonsumsi obat antidepresan sejak tahun 2018.
Pasien pertama kali memiliki keluhan berupa cemas berlebihan dan rasa ingin
bunuh diri pada tahun 2018. Saat itu, pasien yang tinggal di Kota Tanjung Pinang bersama
keluarganya, harus pindah ke Kota Padang karena menempuh pendidikan di salah satu
universitas di Kota Padang. Pasien tinggal bersama saudara yang tinggal di Padang. Pasien
merasa tidak nyaman dengan situasi baru dan mengaku tidak bisa beradaptasi sehingga
menimbulkan kecemasan. Pasien juga mengeluh takut pada suara orang mengetuk pintu,
sering menangis, dan merasa tidak berguna. Pasien kemudian pergi menemui ke salah satu
dokter spesialis jiwa dan diberikan obat antidepresan. Pada tahun 2019, pasien pergi ke
Jakarta dan menemui salah satu dokter spesialis jiwa disana. Oleh dokter, pasien didiagnosa
sindrom asperger.
Pasien mengaku tidak begitu suka berteman. Sejak kecil, ia senang menggambar
dan lebih memilih menggambar daripada bersosialisasi. Hingga saat ini pasien tetap tidak
memiliki teman dekat. Namun, sejak menerima pengobatan dari dokter di Jakarta, pasien
merasa lebih bisa bersosialisasi daripada sebelumnya. Pasien sedari kecil juga sering
melakukan gerakan repetitif, seperti jalan bolak-balik, jalan maju-mundur, mengangguk-
anggukan kepala, menggerakkan kaki, terutama saat pasien memiliki beban pikiran. Pada
pemeriksaan, ditemukan kurangnya gestur tubuh pasien saat menceritakan keluhannya. Hal
ini membantu mendukung diagnosis Autism Spectrum Disorder, karena memenuhi kriteria
berupa defisit dalam interaksi sosial timbal balik, defisit komunikasi non-verbal, defisit
dalam mengembangkan, mempertahankan, dan memahami hubungan antar manusia,
adanya gerakan stereotipik atau repetitif, dan minat yang terbatas atau terfiksasi pada suatu
hal tertentu.
Diagnosis untuk aksis II berdasarkan anamnesis pada pasien didapatkan gambaran
kepribadian yang dominan pada pasien adalah gambaran kepribadian skizoid. Gejala yang
menunjang diagnosis tersebut karena pasien memiliki sikap tidak acuh pada orang lain,
kurang teman, kurang tertarik untuk mengalami pengalaman seksual, dan suka aktivitas
yang dilakukan sendiri. Diagnosis untuk aksis IV adalah persoalan dengan orang tua dan
teman dekat. Karena pasien mengaku bahwa ia lebih akrab dengan ayahnya dibandingkan
dengan ibu. Sedangkan ayah pasien memiliki riwayat mengalami skizofrenia dan saat ini
mengalami demensia, sehingga sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik lagi. Pasien
mendeskripsikan ibunya sebagai pribadi yang pemarah dan pasien mengaku tidak sepaham
dengan ibunya. Selain itu, pasien juga lebih suka sendiri daripada berteman dengan orang
lain. Terdapat gejala minimal, tetapi dapat berfungsi dengan baik, cukup puas, tidak lebih
dari masalah sehari-hari sehingga aksis V diberikan nilai GAF 90-81. Autisme tidak khas,
gangguan obsesif dan kompulsif, gangguan penyesuaian, dan sindrom asperger dapat
menjadi diagnosis banding untuk aksis I pada pasien ini.
Pada tanggal 10 Juli 2020, pasien melakukan kontrol ke dokter. Pasien
mendapatkan obat aripiprazol 1x2 mg, fluoxetin 1x1 mg, clobazam 1x10 mg. Selain itu,
pasien dicurigai mengalami gejala clumsiness karena cara berjalan yang kaku dan tulisan
pasien jelek, sehingga dirujuk ke bagian rehabilitasi medis. Namun, pasien lebih dianjurkan
untuk melakukan yoga sebagai terapi relaksasi. Keluarga pasien juga harus diberikan
edukasi mengenai keadaan pasien dan mengingatkan kepada keluarga untuk selalu
memberikan dukungan kepada pasien. Psikoterapi kognitif juga dapat diberikan untuk
pasien guna mengajarkan pasien untuk dapat mengidentifikasi masalah yang ada pada
pasien, menetapkan prioritas masalah, dan memilah masalah mana yang harus dipikirkan.
DAFTAR PUSTAKA