Anda di halaman 1dari 48

Case Report Session

Hari/tanggal : Kamis/16 Juli 2020

NASKAH PSIKIATRI
Autism Spectrum Disorder (ASD)

Oleh: Rofifa Rahadatal ‘Aisy P. 3008


Zahra Nadya Habaallah P. 3009

Preseptor : Dr. dr. Yaslinda Yaunin, Sp.KJ

BAGIAN PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL
PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas case report session dengan judul “Autism
Spectrum Disorder” yang merupakan salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Dalam usaha penyelesaian tugas referat ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
kepada Dr. dr. Yaslinda Yaunin, SpKJ, selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini.
Kami menyadari bahwa di dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan kritik yang membangun guna
penyempurnaan case report session ini. Akhir kata, semoga case report session ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Padang, 14 Juli 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Autism Spectrum Disorder (ASD) atau yang biasa disebut sebagai autisme adalah suatu
kondisi yang memiliki karakteristik berupa derajat gangguan perilaku social, komunikasi dan
bahasa, serta ketertarikan dan aktivitas yang terbatas, merupakan sesuatu yang dianggap unik,
dan dilakukan secara berulang oleh seorang individu. Menurut World Health Organization
(WHO), diperkirakan 1 dari 160 anak di seluruh dunia mengalami autisme. 1 Sebanyak 700.000
orang atau 1 dari 100 orang di Inggris diperkirakan menderita autisme oleh The National Autistic
Society.2 Data Central for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2012, terdapat
sebanyak 1 dari 68 anak di Amerika Serikat yang didiagnosis dengan autisme atau 14,6 per 1.000
dari anak usia 8 tahun. Angka ini secara signifikan lebih tinggi pada anak laki-laki, yaitu 23,6 per
1.000 anak, dibandingkan dengan anak perempuan, 5,3 per 1.000 anak. Perkiraan prevalensi
autisme juga didapatkan lebih tinggi pada anak kulit putih non-hispanik. Diantara anak-anak
tersebut, 82% sudah didiagnosis dengan autisme sebelumnya, atau dengan klasifikasi
edukasional. Rata-rata usia paling muda yang diketahui menerima evaluasi komprehensif adalah
40 bulan, dan 43% dari keseluruhan menerima evaluasi komprehensif pada usia 36 bulan.3
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan selama 50 tahun terakhir, angka
kejadian autisme semakin meningkat secara global. Penyebab yang mungkin dari peningkatan
angka prevalensi ini antara lain: peningkatan kewaspadaan, kriteria diagnostic yang makin
diperjelas, alat bantu diagnostic yang lebih baik, dan pelaporan yang meningkat. 1 Di Indonesia
sendiri, jumlah kasus autisme bersifat sporadic, belum pernah dilakukan penelitian mengenai
epidemiologi autisme sehingga belum didapatkan angka prevalensi autisme di Indonesia. Namun,
secara kasar didapatkan gambaran tren peningkatan kasus autisme, dengan para dokter anak,
terapis, psikiater, mendiagnosis 3-5 kasus autisme pertahunnya. 4 Pengetahuan masyarakat
mengenai autisme masih sangat sedikit, begitu pula dengan data-data mengenai anak autis di
Indonesia. Diperlukan suatu terobosan dan eksplorasi lebih luas dan mendalam terhadap topik
autisme di Indonesia.
1.2. Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk memenuhi tugas di stase ilmu kesehatan jiwa di RSUP Dr. M. Djamil Padang.

1.2.2 Tujuan Khusus

Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, tanda dan gejala, diagnosis,
diagnosis banding, penatalaksanaan serta prognosis dari Autism Spectrum Disorder
dengan pembahasan salah satu kasus Autism Spectrum Disorder.

1.3. Manfaat Penulisan

a. Sebagai sumber media informasi mengenai Autism Spectrum Disorder


b. Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisa kasus tentang Autism Spectrum
Disorder
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani “autos” yang berarti sendiri atau segala
sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Istilah ini ditujukan pada seseorang yang
menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Mereka cenderung menarik diri dari
lingkungannya dan asyik bermain sendiri.5
Autisme atau yang lebih tepat disebut gangguan spektrum autisme (Autism
Spectrum Disorder-ASD) merupakan sekumpulan gejala gangguan perkembangan yang
menyebabkan gangguan sosial, komunikasi, dan perilaku yang bermakna.6
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health edisi ke-5 (DSM-V),
ASD adalah gangguan perkembangan (neurodevelopmental disorder) dengan gambaran
hendaya pada komunikasi serta interaksi sosial dan pola perilaku, aktivitas dan ketertarikan
yang monoton. Sebelumnya pada DSM-IV edisi revisi (DSM IV-TR), ASD dikenal secara
terpisah sebagai gangguan autistik (autisme klasik, autisme infantil dini, autisme masa
kanak-kanak atau autisme Kanner), gangguan disintegratif masa kanak-kanak, gangguan
perkembangan pervasif dan sindrom asperger.7 Sedangkan menurut ICD-10, ASD
merupakan bagian dari gangguan perkembangan pervasif yang didefinisikan sebagai
gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun dengan adanya gambaran
psikopatologis pada 3 area : tidak didapati adanya timbal balik saat berinteraksi sosial,
komunikasi serta perilaku yang terbatas, stereotipik dan berulang-ulang.8
Perbedaan bermakna di antara kedua pengkodean diagnosa ini adalah pada ICD-10
gejala harus ada sebelum usia 3 tahun, sementara DSM V tidak memasukkan batasan usia,
hal ini mengindikasikan bahwa gejala mungkin belum bermanifestasi hingga kebutuhan
sosial melebihi kapasitas anak tersebut.9
Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6
gangguan dalam bidang interaksi sosial, komunikasi (bahasa dan bicara), perilaku emosi,
pola bermain, gangguan sesoris dan perkembangan terlambat. Gejala ini mulai tampak
sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.10
2.2 Epidemiologi
Centre for Disease Control and Prevention (CDC) yang terbaru mencatat adanya
peningkatan prevalensi Autism Spectrum Disorder (ASD) setiap tahunnya. Menurut data
dari CDC’s Autism and Developmental Disabilities Monitoring (ADDM) Network tahun
2006 prevalensi anak ASD rata-rata 9,0 per 1000 anak (4,2-12,1) atau sekitar 1 dari 110
anak usia 8 tahun menderita ASD. Pada tahun 2012 meningkat menjadi 1 dari 68 anak
yang berusia 8 tahun mengalami ASD dengan prevalensi rata-rata 14,6 per 1000 anak (8,2 –
24,6).11
Angka kejadian autisme di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 152-per 10.000
anak (0,15-0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun yang lalu yang hanya 2-4 per
10.000 anak. Melihat angka tersebut, dapat diperkirakan di Indonesia setiap tahun akan
lahir lebih kurang 69.000 anak penyandang autisme. Hasil penelitian yang di lakukan Melly
Budiman (2001) memperlihatkan bahwa pada tahun 1987 penderita autisme1/500 anak dan
tahun 2001 menjadi 1/150 anak.11

2.3 Faktor Risiko


Jumlah anak yang didiagnosa ASD semakin meningkat. Tidak jelas apakah hal ini
terkait dengan membaiknya sistem pendataan dan laporan ataukah karena adanya
peningkatan jumlah kasus atau karena keduanya.12
ASD dapat terjadi pada anak dari semua RAS, suku bangsa, dan berbagai lapisan
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang beragam. Namun beberapa faktor tertentu
dapat meningkatkan resiko anak terkena autisme. Diantaranya adalah :
a. Jenis Kelamin
Anak laki-laki memiliki kecenderungan terkena autisme 4 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak wanita. Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa bayi
perempuan menunjukkan peningkatan atensi terhadap rangsangan sosial
dibandingkan bayi laki-laki. Hal inilah yang dinilai dapat mempengaruhi perbedaan
perkembangan mereka di kemudian hari. 12

b. Riwayat keluarga
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa diantara kembar identik, jika salah satu anak
memiliki ASD, maka yang lainnya akan terpapar sekitar 36%-95%. Pada kembar
tidak identik, jika salah satu anak memiliki ASD, maka yang lainnya akan terpapar
sekitar 0-31%.17-19 Orang tua yang memiliki anak dengan ASD kemungkinan akan
mendapatkan anak kedua yang juga ASD sekitar 2%-18%.13,14
c. Penyakit lain
Anak dengan kondisi medis tertentu (genetik atau kromosomal tertentu) memiliki
resiko yang lebih tinggi terkena ASD dibandingkan dengan anak yang normal.
Sekitar 10% anak dengan autisme juga teridentifikasi memiliki Down Syndrome,
Fragile-X syndrome,dan Tuberous sclerosis.15-18
d. Bayi Lahir Prematur
Bayi yang lahir sebelum usia 26 minggu kehamilan atau memiliki berat lahir rendah
kemungkinan memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena ASD.19
e. Usia orang tua
Terdapat kemungkinan hubungan antara antara anak yang lahir dari orang tua yang
lebih tua dan ASD, namun hal ini masih membutuhkan penelitian-penelitian lebih
lanjut untuk mengembangkan hubungan ini.20

2.4 Etiologi
Etiologi secara umum pada autisme belum diketahui secara jelas, demikian juga
etiologi dari gangguan bicara dan bahasa pada autisme. Beberapa ahli mengemukakan
kemungkinan disebabkan oleh beberapa keadaan patologik yang terjadi pada masa
kehamilan, kelahiran dan setelah lahir yang mempengaruhi perkembangan otak.5
Ketika autisme pertama kali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner, autisme
diperkirakan disebabkan pola asuh yang salah. Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut
kurang memberikan stimulasi bagi perkembangan komunikasi anak yang akhirnya
menghambat perkembangan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak. Pendapat
Kanner ini disebut dengan teori psikogenik.21
Namun ternyata pada autisme tidak hanya terjadi gangguan fungsional saja, tetapi
juga didasari adanya gangguan organik dalam perkembangan otak (neurobiologik).
Beberapa studi mengemukakan terjadi gangguan neurobiologik (disfungsi struktur otak).26,30
Dari hasil beberapa penelitian baik dari autopsi maupun pemeriksaan neuroimaging,
dijumpai adanya perubahan struktur otak pada amigdala (pusat pengendalian emosi),
hipokampus (penting dalam fungsi memori), dan serebelum (penting dalam pengaturan
gerak dan fungsi neurobehaviour) dan sistem limbik; dimana amigdala sel-selnya menjadi
lebih kecil, abnormal, dan lebih padat dibandingkan sel normal, serebelum dan sistem
limbik mengalami hipoplasi (pengisutan). Juga dijumpai adanya sirkulasi darah yang lebih
lambat pada beberapa bagian korteks serebri.5
Kondisi lingkungan seperti kehadiran virus dan zat-zat kimia/ logam juga diduga
dapat mengakibatkan munculnya autisme. Zat-zat beracun seperti timah (Pb) dari asap
knalpot mobil, pabrik dan cat tembok; kadmium (Cd) dari batu baterai serta turunan air
raksa ( Hg) yang digunakan sebagai bahan tambalan gigi (Amalgam).10
Faktor genetik juga berperan dalam terjadinya autisme, kurang lebih pada 20%
kasus terkait faktor genetik.26 Penelitian pada keluarga dan anak kembar menunjukkan
bukti bahwa pada kembar satu telur >60% mempunyai risiko terjadi autisme dibandingkan
kembar 2 telur, sedangkan pada saudara kandung kemungkinannya adalah 2-18%. Insiden
autisme menurun pada keluarga yang tidak ada hubungannya dengan penderita autisme, hal
ini memberikan pendapat bahwa terdapat keterlibatan interaksi gen yang kompleks.22
Faktor-faktor prenatal dan perinatal juga turut berperan dalam etiologi autisme,
seperti usia ibu (lebih dari 35 tahun), perdarahan selama kehamilan, berat bayi lahir rendah,
kelainan letak/presentasi pada persalinan, skor Apgar yang rendah, hiperbilirubinemia, dan
respiratory distress syndrome. Faktor genetik berpengaruh kuat atas munculnya kasus
autisme. Dari penelitian pada saudara sekandung anak penyandang autisme terungkap
mereka mempunyai peningkatan kemungkinan sekitar 3% untuk dinyatakan autisme.
Berbagai penelitian menemukan “hot spots” kromosomal pada autisme yaitu lokus pada
kromosom 6,7,13,15,16,17, dan 22. Namun yang paling sering dikaitkan dengan etiologi
autisme adalah kromosom 7, 15, dan X.10
Beberapa faktor yang juga telah diidentifikasi berasosiasi dengan autisme
diantaranya adalah usia ibu (makin tinggi usia ibu, kemungkinan menyandang autisme kian
besar), urutan kelahiran, pendarahan trisemester pertama dan kedua serta penggunaan obat
yang tak terkontrol selama kehamilan.19,20 Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan
autisme yaitu gangguan susunan saraf pusat, gangguan sistem pencernaan, peradangan
dinding usus, abnormalitas sistem imun, sensitivitas terhadap gluten dan alergi makanan.6

Gambar 1. Bagian otak yang terlibat pada autism

2.5 Gejala Klinis


Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Sebagian anak
gejala gangguan perkembangan sudah terlihat sejak lahir, seorang ibu yang cermat dapat
melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Yang sangat
menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya minat berinteraksi dengan orang
lain.23
Dalam perkembangan seorang bayi yang normal, bayi mulai berinteraksi dengan
ibunya pada usia 3-4 bulan, bila ibu merangsang bayinya dengan mengerincingkan mainan
dan mengajak berbicara, maka bayi tersebut akan berespon dan bereaksi dengan ocehan
serta gerakan. Makin lama bayi makin responsive terhadap rangsang dari luar seiring
dengan berkembangnya kemampuan sensorik. Pada umur 6-8 bulan ia sudah bisa
berinteraksi dan memperhatikan orang yang mengajaknya bermain dan berbicara. Hal ini
tidak muncul atau sangat kurang pada bayi austistik. Ia bersikap acuh tidak acuh dan
seakan-akan menolak interaksi dengan orang lain.23
Secara umum ada beberapa gejala autisme yang akan tampak semakin jelas saat
anak telah mencapai usia 3 tahun yaitu:10
1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terlambat bicara,
mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti,
echolalia, sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya.
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak
melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain sendiri.
3. Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perilaku yang berlebih
(excessive) dan kekurangan (deficient) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif namun
di lain waktu terkesan pandangan mata kosong, melakukan permainan yang sama
dan monoton. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti gambar,
karet, dan lain-lain yang di bawa kemana-mana.
4. Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati, dan
toleransi; kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan
sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang diinginkan.
5. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan
atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak
menyukai rabaan dan pelukan, dan sebagainya.
Gejala-gejala tersebut tidak harus ada semuannya pada setiap anak autisme, tergantung dari
berat-ringannya gangguan yang diderita anak.
Para penyandang autisme memiliki spektrum yang beragam, baik dalam
kemampuan intelegensia dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak
dapat berbicara sedangkan beberapa lainnya terbatas dalam kontek bahasa, sehingga sering
ditemukan echolalia. Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang baik umumnya
menggunakan kata-kata dengan tema yang terbatas dan sulit dipahami artinya.21
The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di
Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus di waspadai dan evaluasi lebih
lanjut:24
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam)
hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan berinteraksi sosial pada usia tertentu
Gejala autisme dapat disertai dengan kelainan lain, antara lain kelainan hiperkinetik,
kesulitan belajar, gangguan integrasi sensorik, retardasi mental, dan kelainan akibat
gangguan fungsi otak yang lain misalnya palsi serebral.
Adapun yang membagi gejala pokok dalam diagnosis autisme menjadi 3 gejala
yaitu gejala sosial, perilaku repetitif dan stereotipik serta gangguan dalam berbahasa.1

a. Gejala sosial
Seorang anak pada masa perkembangannya sejak dini sudah dapat berinteraksi
sosial. Pada bulan-bulan pertama kehidupan anak mulai melihat pada orang/obyek di
sekitarnya, menoleh ke arah sumber suara dan tersenyum. Anak dengan autisme tidak
menunjukkan perilaku tersebut, bahkan merasa/menunjukkan ketidaknyamanan dalam
pelukan/dekapan ibu atau pengasuhnya. Banyak di antara mereka yang tidak bisa
berinteraksi (non-verbal social behaviour) dan menghindari tatapan mata, seolah-olah
menolak perhatian dan kasih sayang. Mereka juga tidak menunjukkan rasa senang/gembira
bila orangtua mereka datang atau tidak menunjukkan rasa kecewa/cemas bila berpisah
dengan orangtua mereka. Bahkan reaksi anak autisme tidak menunjukkan adanya
perbedaan antara terhadap orangtuanya dan terhadap orang lain.5
Anak autisme sulit untuk mengerti apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain.
Senyuman, ekspresi wajah orang lain hampir tak memberi arti apapun bagi si anak. Anak
autisme juga tidak mempunyai ketertarikan terhadap anak yang lain di sekitarnya, lebih
senang bermain sendiri dan menjauh dari yang lain atau seringkali lebih senang bergabung
dengan yang lebih tua usianya, dimana mereka akan menjadi “leader”nya. Problem sosial
semakin bertambah karena anak autisme seringkali disertai dengan perilaku agresif,
hambatan dalam komunikasi dan intelegensia yang rendah.5

b. Perilaku repetitif dan stereotipik


Pada masa bayi gejala dapat tidak begitu mencolok, tetapi orangtua baru menyadari
bahwa anaknya terganggu biasanya pada usia 2-3 tahun. Walaupun anak autisme umumnya
memiliki fisik dan otot serta perkembangan motorik yang baik, namun seringkali
menunjukkan gerakan aneh yang berulang-ulang yang sering membedakan dengan anak
yang lain. Gerakan tersebut dapat berupa tangan/lengan melambai-lambai, lari-lari tanpa
tujuan, menggoyang-goyang tubuhnya maju-mundur sewaktu duduk maupun benda yang
dipegangnya atau berputar-putar. Mereka dapat bermain berjam-jam dan cenderung
diulang-ulang, obyek permainannya monoton tanpa imajinasi dan kreativitas.5
Kebanyakan anak autisme memiliki preokupasi terhadap “hal-hal yang sama” baik
di lingkungan rumah maupun sekolah, yang sulit untuk diubah tanpa menimbulkan
kemarahan atau reaksi emosional lainnya. Misalnya harus makan dengan menu yang sama,
tempat duduk sama, rute perjalanan sekolah yang sama. Perilaku hiperaktif, agresif,
impulsif, dan destruktif serta sensitif terhadap bau, suara dan nyeri juga dapat dijumpai
pada sebagian anak autisme.5

c. Gangguan dalam berbahasa


Bicara adalah suatu cara yang digunakan untuk berkomunikasi dan cara ini
sungguh-sungguh yang paling cepat dan efisien (Wood 1971). Berbicara berarti melibatkan
sistem pernafasan, pusat khusus pengatur bicara dalam korteks serebri di otak, pusat
respirasi di batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung.
Ada 2 aspek untuk berbicara:5
1. Aspek sensoris yang meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi
untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa.
2. Aspek motoris yaitu yang mengatur laring, alat-alat artikulasi (bibir, gigi, palatum,
lidah, laring-pita suara, trakea), tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung
jawab untuk mengeluarkan suara.
Sedangkan bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai seseorang untuk
menyatakan pikiran, ide, dan perasaan terhadap orang lain. Dapat juga didefinisikan
sebagai berikut: bahasa sebagai suatu rangkaian simbol linguistik yang tersusun secara
sistematis dan mengandung pengertian bila secara verbal, sehingga pikiran dan perasaan
pembicara dapat diketahui oleh lingkungan sekitarnya.5
Bahasa terdiri dari dua yaitu bahasa reseptif dan bahasa ekspresif. Bahasa reseptif
adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bahasa
ekspresif memungkinkan manusia untuk berkomunikasi secara simbolis baik visual
(menulis, memberi tanda) maupun auditorik.5 Periode terbaik dalam perkembangan bicara
dan bahasa adalah selama 3 tahun pertama kehidupan, dimana merupakan periode
perkembangan dan maturasi otak.5
Gangguan ekspresif fungsi bahasa pada anak autisme dapat mulai dari mutisme
komplit hingga kelancaran verbal, walaupun kelancaran ini kerapkali disertai dengan
banyak kekeliruan semantik (pengertian kata) dan kekeliruan verbal pragmatik
(penggunaan bahasa untuk komunikasi) sehingga menyebabkan kebingungan dalam
pembicaraan. Beberapa anak autisme tidak menanggapi apabila dipanggil namanya
sehingga seolah-olah seperti seorang anak dengan gangguan pendengaran.5
Kecepatan perkembangan setiap anak berbeda-beda, tetapi kita harus waspada
apabila seorang anak mengalami keterlambatan perkembangan atau penyimpangan
perkembangan. Demikian pula bila terjadi penurunan kemampuan berbahasa dan bicara
pada seorang anak, kita harus lebih mewaspadainya. Misalnya pada umur tertentu anak
sudah bisa memanggil papa atau mama  tetapi beberapa bulan kemudian kemampuan
tersebut menghilang.5
Beberapa tanda bahaya komunikasi yang harus diwaspadai terjadinya keterlambatan
dan gangguan berbahasa dan bicara dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Tanda bahaya gangguan komunikasi:
USIA GEJALA
4 – 6 bulan Tidak menirukan suara yang dikeluarkan orang tuanya;
Pada usia 6 bulan belum tertawa atau berceloteh
8 – 10 bulan Usia 8 bulan tidak mengeluarkan suara yang menarik perhatian;
Usia 10 bulan, belum bereaksi ketika dipanggil namanya;
9-10 bln, tidak memperlihatkan emosi seperti tertawa atau
menangis 
12 – 15 bulan 12 bulan, belum menunjukkan mimik;
12 bulan, belum mampu mengeluarkan suara;
12 bulan, tidak menunjukkan usaha berkomunikasi bila
membutuhkan sesuatu;
15 bulan, belum mampu memahami arti “tidak boleh” atau “daag”;
15 bulan, tidak memperlihatkan 6 mimik yang berbeda;
15 bulan, belum dapat mengucapkan 1-3 kata;
18 – 24 bulan 18 bulan, belum dapat mengucapkan 6-10 kata;
18-20 bulan, tidak menunjukkan ke sesuatu yang menarik
perhatian;
21 bulan, belum dapat mengikuti perintah sederhana;
24 bulan, belum mampu merangkai 2 kata menjadi kalimat;
24 bulan, tidak memahami fungsi alat rumah tangga seperti sikat
gigi dan telepon;
24 bulan, belum dapat meniru tingkah laku atau kata-kata orang
lain;
24 bulan, tidak mampu menunjukkan anggota tubuhnya bila
ditanya;
30 – 36 bulan 30 bulan, tidak dapat dipahami oleh anggota keluarga;
36 bulan, tidak menggunakan kalimat sederhana, pertanyaan dan
tidak dapat dipahami oleh orang lain selain anggota keluarga;
3 – 4 bulan 3 tahun, tidak mengucapkan kalimat, tidak mengerti perintah
verbal dan tidak memiliki minat bermain dengan sesamanya;
3,5 tahun, tidak dapat menyelesaikan kata seperti “ayah”
diucapkan “aya”;
4 tahun, masih gagap dan tidak dapat dimengerti secara lengkap.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para
orang tua dan prakstisi untuk lebih waspada dan peduli terhadap gejala-gejala autisme.

2.6 Diagnosis
Diagnosis awal/skrining autisme difasilitasi dengan menggunakan instrumen
standar seperti Checklist for Autism in Toddler (CHAT). Selain itu, untuk diagnosis autisme
juga dapat menggunakan Childhood Autis Rating Scale (CARS), Autism Diagnostic
Observation Schedule (ADOS), Autism Diagnostic Interview-Revised (ADI-R), dan
Autism Behaviour Checklist.
Untuk mengetahui seorang anak autisme digunakan kriteria WHO (1993) yang
tercantum dalam ICD-10 (International Classification of Disease edisi 10) atau DSM-V
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke 5) yang dikembangkan
oleh The American Pshychiatric Association, 2013.21

Kriteria Diagnosis Autism Spectrum Disorder (F84.0) menurut DSM-V28


A. Adanya gangguan yang menetap pada komunikasi sosial dan interaksi sosial melalui
berbagai kondisi sebagai berikut, baik saat ini maupun adanya riwayat:
1. Kurangnya kemampuan komunikasi sosial emosional timbal balik, misalnya
pendekatan sosial yang abnormal dan kegagalan percakapan timbal balik;
menurunnya minat, emosi, atau afek; kegagalan untuk berinisiatif atau merespon
pada interaksi sosial.
2. Terganggunya perilaku komunikasi nonverbal yang digunakan untuk interaksi
sosial, misalnya, integrasi komunikasi verbal dan nonverbal yang buruk; gangguan
pada kontak mata dan bahasa tubuh atau berkurangnya pemahaman dan gestur;
menurunnya ekspresi wajah dan komunikasi nonverbal.
3. Kekurangan dalam mengembangkan, mempertahankan hubungan, misalnya,
kesulitan menyesuaikan perilaku terhadap konteks sosial beragam, kesulitan untuk
bermain bersama teman atau mencari teman; tidak adanya minat bermain dengan
teman sebaya
B. Perilaku yang terbatas, pola perilaku yang repetitif , ketertarikan, atau aktifitas yang
termanifestasi, paling sedikit 2 dari gejala berikut:
1. Pergerakan motorik yang stereotipik, penggunaan objek-objek atau bahasa (misal:
periaku stereotipik sederhana, membariskan mainan-mainan atau membalikkan
objek, ekolalia, frase idiosinkratik)
2. Perhatian yang berlebihan pada kesamaan, rutinitas yang kaku atau pola perilaku
verbal atau nonverbal yang diritualkan (misal: stres yang berlebihan pada suatu
perubahan kecil, kesulitan pada saat adanya proses perubahan, pola pikir yang
kaku, memiliki ritual untuk kembali melihat benda/ sesuatu yang dikerjakan, selalu
melalui rute yang sama maupun memakan makanan yang sama setiap hari).
3. Kelekatan pada pembatasan diri yang tinggi pada suatu ketertarikan yang abnormal
(misal: kelekatan yang kuat atau preokupasi pada objek-objek yang tidak biasa,
pembatasan yang berlebihan atau perseverative interest).
4. Hiperaktifitas maupun hipoaktifitas pada input sensorik atau ketertarikan yang
tidak biasa terhadap aspek sensorik pada lingkungan (sensitif terhadap perbedaan
temperatur/rangsang nyeri, suara tertentu maupun tekstur, bau-bauan maupun
menyentuh benda-benda, cahaya maupun gerakan).
C. Gejala-gejala tersebut harus muncul pada periode perkembangan awal (tetapi mungkin
tidak termanifestasi secara penuh sampai tuntutan sosial melebihi kapasitas yang
terbatas, atau mungkin tertutupi dengan strategi pembelajaran di kemudian hari).
D. Gejala-gejala tersebut menyebabkan perusakan yang signifikan secara sosial,
okupasional, maupun area penting yang lain pada fungsi yang sekarang.
E. Gangguan-gangguan ini lebih baik tidak dijelaskan dengan istilah ketidakmampuan
intelektual (intelectual disability) atau gangguan perkembangan intelektual atau
keterlambatan perkembangan secara global.

Tingkat Keparahan
DSM V merekomendasikan agar klinisi menjabarkan tingkat keparahan ASD yang
dipisah berdasarkan masing-masing aspek. Tingkat keparahan ini dispesifikasikan menjadi
3 tingkatan (level), yaitu dari level 1,2,3. Tingkatan ini didasarkan pada sejauh mana anak
penyandang gangguan spektrum autis membutuhkan dukungan orang lain dalam
melakukan tugas perkembangannya. :21
Tabel 2. Tingkat keparahan ASD28
Interaksi dan komunikasi social
Level 1  Gangguan sudah terlihat dan membutuhkan bantuan,
(membutuhkan kesulitan untuk memulai interaksi sosial, ketidakmampuan
bantuan) memberikan respons sosial, ketertarikan untuk interaksi
sosial sangat minimal, percakapan yang berulang ulang,
ketidakmampuan mencari teman.
Level 2 Gangguan yang sangat jelas pada komunikasi, terlihat
(membutuhkan bantuan adanya ganguan walaupun dibantu, respons abnormal
mendasar) terhadap interaksi sosial, kesulitan untuk membuka
percakapan.
Level 3  Gangguan fungsi yang berat dimana hanya terdapat sedikit
(sangat membutuhkan inisiatif untuk berinteraksi secara sosial, respons yang
bantuan mendasar) sangat minimal saat orang lain mencoba membuka
percakapan dengan penderita.

Perilaku terbatas/repetitive
Level 1  Perilaku menghambat fungsi, kesulitan merubah aktivitas,
(membutuhkan kemandirian terbatas.
bantuan)
Level 2 Perilaku menghambat fungsi di berbagai tempat, kesulitan
(membutuhkan bantuan untuk merubah fokus.
mendasar)
Level 3  Perilaku menghambat fungsi di seluruh aspek kehidupan,
(sangat membutuhkan sangat sulit beradaptasi dengan perubahan. Kesulitan
bantuan mendasar) merubah kegiatan dan fokus.

2.7 Gangguan Wicara pada Anak Autisme


Gangguan wicara berhubungan dengan kemampuan komunikasi. Problem
komunikasi pada anak dengan autisme dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Secara
kuantitatif berhubungan dengan berat ringannya gangguan bicara, sedangkan secara
kualitatif lebih kompleks karena dipengaruhi oleh pemahaman komunikasi dengan orang
lain, bicara dan komunikasi nonverbal.22
Autisme dikatakan sebagai salah satu gangguan bahasa yang kongenital. Gangguan
bahasa kongenital pada anak ditandai dengan terlambat mulai dan lambat berkembang
dalam komprehensi, dan atau penggunaan bahasa untuk tujuan baik salah satu atau semua
aspek berikut, yaitu: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.20
Sebagai suatu kelainan bahasa yang kongenital deskripsi menurut Lahey adalah:
anak yang menunjukkan masalah pada penggunaan bahasa, yaitu hambatan dalam
melaksanakan berbagai fungsi komunikasi yaitu disrupsi dalam bentuk, isi, pengguanaan
dan interaksi.20
Kurang lebih setengah dari anak autisme menggunakan komunikasi nonverbal.
Gangguan semantik-pragmatik, pemahaman dan prosodi sering pada anak autisme.23
Gangguan bicara pada anak autisme berkaitan erat dengan kesadaran dan
kemampuan bersosialisasi, yang berhubungan dengan lingkungan sekitar. Hal ini karena
adanya perilaku spesifik pada anak autisme, termasuk tidak adanya kontak mata.
Secara struktur dan fungsi, terdapat abnormalitas di otak area proses pendengaran
dan bahasa pada anak autisme. Pada gambaran MRI memperlihatkan gambaran asimetri
yang abnormal pada area bahasa frontal dan temporal. Selain gangguan pada bahasa dan
komunikasi, anak autisme juga ditandai dengan persepsi yang tidak normal yang
melibatkan seluruh sistem sensorik, khususnya sistem pendengaran. Gangguan
pendengaran ini terjadi baik yang hipersensitif maupun hiposensitif. Anak autisme
cenderung mengabaikan saat dipanggil namanya, mengabaikan suara keras, mengeluarkan
bunyi-bunyi, namun kadang terganggu pada lingkungan yang ramai.23
Pickles dan kawan-kawan pada tahun 2009 melaporkan gangguan bicara pada 15%
anak autisme, sementara pada tahun 2010 Xi, Hua, Zhao, dan Liu menyebutkan gangguan
bicara terjadi pada 30% anak autisme, semakin berat derajat autisme semakin berat
gangguan bicara yang terjadi. Meskipun pada penelitian lain juga disebutkan bahwa tidak
ada perbedaan dalam gangguan bicara berdasarkan berat ringannya autisme yang diderita.
Pada anak autisme terdapat 5 kriteria yang berhubungan dengan bicara, yaitu:20
1. Keterlambatan atau tidak adanya perkembangan bicara (tanpa disertai dengan
komunikasi dengan gesture atau mimik)
2. Pada anak yang bisa berbicara, terdapat gangguan berupa tidak adanya inisiatif
untuk percakapan dengan orang lain
3. Bicara stereotipik dan repetitif
4. Kurangnya spontanitas dalam social imitative play sesuai dengan level
perkembangan
5. Keterlambatan bicara sebelum usia 3 tahun
Selain keterlambatan perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif yang merupakan
karakteristik yang khas pada anak autisme, juga terdapat gangguan pada interaksi sosial
timbal balik. Anak autisme mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan keinginannya
baik secara verbal (lisan/bicara) maupun non verbal (isyarat/gerak tubuh dan tulisan).19
Secara umum perkembangan komunikasi anak autisme terbagi dalam 2 bagian yaitu:19
1. Perkembangan komunikasi verbal, meliputi keterlambatan berbahasa bahkan ada
diantara mereka yang kemampuan berbahasanya hilang, echolalia dan
menggunakan bahasa yang aneh/tidak dimengerti, menggunakan bahasa sederhana
(misalnya minta makan “makan ya!”)
2. Perkembangan komunikasi non verbal, meliputi menggunakan gestur, gerak tubuh,
mengungkapkan keinginan dengan ekspresi emosi (menjerit, marah-marah,
menangis)
Gangguan ekspresi fungsi bahasa pada anak autisme dapat mulai dari mutisme
komplit hingga kelancaran verbal, walaupun kelancaran ini kerapkali disertai dengan
banyak kekeliruan semantik (pengertian kata) dan kekeliruan verbal fragmatik (penggunaan
bahasa untuk komunikasi). Sehingga dalam pembicaraan kadang-kadang membingungkan.
Pada beberapa anak autisme yang mutisme tidak menanggapi apabila dipanggil namanya
sehingga seolah-olah seperti seorang anak dengan gangguan pendengaran.19
Ekholalia yang segera merupakan tahapan pada pertumbuhan normal berbicara pada
anak-anak dibawah 2 tahun. Menjadi patologik apabila masih tetap ada sebagai satu-
satunya dan dominan setelah usia 24 bulan dan kerapkali dapat tetap ada hingga usia pra
sekolah dan usia sekolah pada anak-anak autisme.24
Ekholalia yang tertunda (delayed) mengacu pada penggunaan ungkapan-ungkapan
yang telah “direkam”, dari televisi, video atau percakapan sebelumnya. Banyak anak-anak
autisme yang “merekam” ungkapan-ungkapan ini seolah-olah seperti menghafal “naskah”
dari percakapan yang konteksnya bersesuaian, yang dapat memberi bekal pada
pembicaraan mereka sehingga relatif lebih lancar secara kwalitatif. Anak autisme juga
menunjukkan kesulitan dalam pemakaian “kata ganti orang”, misalnya ditanya “Apakah
kamu hari ini memakai baju merah?”, dia akan menjawab “Kamu hari ini memakai baju
merah”. Pada beberapa anak seringkali menggunakan ungkapan idiosinkratik literal atau
neologisme.24
Anak autistik kadang berbicara secara benar, detail dan garamatika suatu frase, yang
tidak repetitif dan konkrit. Seringkali berbicara dengan nada yang tinggi atau seperti robot
(robot like speech).
Beberapa anak autisme memiliki memori yang bagus tentang apa yang dilihat
maupun yang didengar. Sebagian juga mampu membaca dengan baik sebelum usia 5 tahun
tetapi tidak dapat mengerti apa arti kata atau kalimat yang dibacanya. Kurang lebih 10%
dari mereka menunjukkan “savant” ketrampilan dan kepandaian spesifik seperti “calender
calculation”, musik atau matematika.24

2.8. Tatalaksana
Menurut danuatmaja (2003), gangguan otak pada anak autis umumnya tidak dapat
disembuhkan (not curable) tetapi dapat ditanggulangi (treatable) melalui terapi dini,
terpadu & intensif. Gejala autisme dapat dikurangi bahkan dihilangkan sehingga anak bisa
bergaul dengan normal. Jika anak autis terlambat atau bahkan tdk dilakukan intervensi
dengan segera, maka gejala autis bisa menjadi semakin parah bahkan tidak tertanggulangi.
Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut ini :
1) Tergantung berat ringannya gangguan dalam sel otak.
2) Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai,tingkat keberhasilannya akan semakin
besar. Umur ideal utk dilakukan terapi atau intervensi (2-5 thn) pada saat sel otak mampu
dirangsang untuk membentuk cabang – cabang neuron – neuron baru.
3) Kemampuan bicara & berbahasa : 20% penyandang autism tidak mampu bicara
seumur hidupsisanya ada yg mampu bicara tapi sulit & kaku.namun adapula yg mampu
bicara dengan lancar. Anak autis yang tidak mampu bicara (Non verbal) bisa diajarkan
ketrampilan komunikasi dengan cara lain misalnya dengan bahasa isyarat atau melalui
gambar – gambar.
4) Terapi harus dilakukan dengan intensif : antara 4-8 jam/hari. Disamping itu, seluruh
keluarga harus ikut terlibat dalam melakukan komunikasi dengan anak.
5) Pendidikan khusus(dengan fokus utama pada peningkatann kemampuan komunikasi)
dan tatalaksana perilaku
6) Struktur kelas sgt penting & harus meliputi sebanyak mungkin perintah personal (satu-
lawan-satu)
7) Sangatlah penting bahwa instruksi bagi anak tersebut mencakup kemampuan hidup
dasar,& menunjukkan pada anak bagaimana caranya memperluas kemampuan tersbt untuk
dapat digunakan pada keadaan lain.
8) Tatalaksana perilaku pada semua lingkungan disekitar anak

 Medikamentosa :
1) Ditujukan untuk memperbaiki komunikasi ,memperbaiki respon terhadap lingkungan
& menghilangkan perilaku-perilaku aneh yang dilakukan secara berulang-ulang.
2) SSRI (Selektif serotonin Reuptake inhibitor) → keseimbangan antara neurotransmiter
serotonin & dopamin
3) Antikonvulsan (karbamazepin & asam valproat)
4) Dukungan keluarga (respite care),kelompok-kelompok dukugan keluarga,kelompok-
kelompok bagi saudara kandung & konseling keluarga.
 Diet
 diet yg sering → GFCF (Glutein Free Casein Free)

→ Glutein (campuran protein yang terkandung pada gandum)


→ Kasein ( protein susu)
→ Kedua jenis bahan ini mengandung protein tinggi dan tidak dapat dicerna oleh
usus menjadi asam amino tunggal sehingga pemecahan protein menjadi tidak sempurna
sehingga neurotoksin (racun bagi otak) → menurunnya fungsi otak→berdampak pada
menurunnya tingkat kecerdasan anak
 Menurut ilmuwan Christopher Gillberg, pada anak autisme, kadar zat semacam
endorphin pada otak meningkat sehingga dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
otak.
 Dari beberapa penelitian pemberian diet tanpa gluten dan kasein ternyata
memberikan respon yang baik terhadap 81% anak autism
 Menurut veskarisyanti (2008) : anak dgn autisme memang tdk disarankan
mengasup makanan dengan kadar gula tinggi. Hal ini berhubungan dgn hiperaktif
sebagian dari mereka.
 Terapi wicara (speech therapy) pada penyandang autisme merupakan suatu
keharusan,tetapi pelaksanaannya harus sesuai metode ABA (Applied behavior
analysis)

2.9 Prognosis
Secara umum, anak yang sehat dengan autisme idopatik prognosanya lebih baik
dibandingkan dengan anak yang autismenya disebabkan oleh kelainan otak yang dapat
diidentifikasi.
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. IAM
MR : 01.07.92.93
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 23 tahun
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa - Minang
Pendidikan terakhir : SMA
Status Pernikahan : Belum Menikah
Pekerjaan : Mahasiswa, Freelancer Ilustrator
Alamat : Jl. Panda 5 No. 1, Kel. Koto Lalang, Kec. Lubuk Kilangan,
Kota Padang
KETERANGAN DIRI ALLO/ INFORMAN
Nama (inisial) : Ny. DY
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 50 tahun
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Panda 5 No. 1, Kel. Koto Lalang, Kec. Lubuk Kilangan,
Kota Padang
Hubungan dengan pasien : Ibu kandung
Kesan pemeriksa/dokter terhadap keterangan yang diberikannya :
(Dapat dipercaya/ kurang dapat dipercaya)
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Keterangan/ anamnesis di bawah ini diperoleh dari (lingkari angka di bawah ini)
1. Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 10 Juli 2020 di Poliklinis Jiwa RSUP Dr.
M. Djamil Padang.
2. Alloanamnesis dengan :
Ibu kandung pasien, pada tanggal 13 Juli 2020 melalui wawancara via telepon.
1. Pasien datang ke fasilitas kesehatan ini atas keinginan (lingkari pada huruf yang
sesuai
a. Sendiri
b. Keluarga
c. Polisi
d. Jaksa/ Hakim
e. Dan lain-lain
2. Sebab Utama
Pasien datang karena ingin kontrol dan menambah obat. Pasien sekarang merasa mua-mual
setelah minum obat antidepressan.
3. Keluhan Utama
Pasien datang untuk kontrol pengobatan dan mual sejak mengonsumsi obat antidepresan.
Pasien juga mengatakan bahwa keluhan yang ia alami sampai menimbulkan pasien muntah.
Keluhan yang dialaminya membuat pasien takut untuk mengonsumsi obat
4. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang
Pasien pertama kali memiliki keluhan berupa cemas berlebihan dan rasa ingin bunuh diri
pada tahun 2018. Pasien yang tinggal di Kota Tanjung Pinang bersama keluarganya, harus pindah
ke Kota Padang karena menempuh pendidikan di salah satu universitas di Kota Padang. Pasien
tinggal bersama saudara yang tinggal di Padang. Pasien merasa tidak nyaman dengan situasi baru
dan mengaku tidak bisa beradaptasi sehingga menimbulkan kecemasan. Pasien menetralkan
situasi tak nyaman tersebut dengan duduk di perpustakaan kampus sendirian sampai sore, baru
pulang. Pasien juga mengeluh takut pada suara orang mengetuk pintu, sering menangis, dan
kadang merasa tidak berguna. Pasien kemudian pergi menemui salah satu dokter spesialis jiwa
dan diberikan obat antidepresan. Pada tahun 2019, pasien pergi ke Jakarta dan menemui salah
satu dokter spesialis jiwa disana. Oleh dokter, pasien didiagnosa “Sindrom Asperger”. Saat ini
pasien telah didiagnosis Autisme Spectrum Disorder (High Function) oleh psikater anak remaja
dan rutin control sekali sebulan. Pasien sebelumnya juga dikonsulkan ke bagian Rehabilitasi
Medis dari bagian pskiatri karena kekakuan berjalan dan tulisan pasien yang jelek. Di rehab
medik pasien diterapi sebagai “Clumsiness” namun kurang efektif karena sudah menjadi
kebiasaan pasien sehingga disarankan untuk dialihkan ke olahraga Yoga.
Pasien mengaku tidak begitu suka berteman. Menurut ibu pasien, sejak kecil sejak kecil
pasien memang tidak suka berteman, senang menggambar dan lebih memilih menggambar
daripada bersosialisasi. Hal itu pasien rasakan sampai saat ini. Namun, sejak menerima
pengobatan dari dokter di Jakarta, pasien merasa lebih bisa bersosialisasi daripada sebelumnya.
Pasien sedari kecil juga sering melakukan gerakan-gerakan berulang, seperti jalan bolak-balik,
jalan maju-mundur, mengangguk-anggukan kepala, menggerakkan kaki, terutama saat pasien
memiliki beban pikiran, apalagi saat ini pasien sedang stress mengerjakan skripsi. Pasien
mengaku memiliki riwayat lain seperti dari kecil takut berlebihan terhadap suara yang tiba-tiba
seperti bunyi pesawat lewat, bunyi mesin cuci berputar, dll. Pasien juga mengaku tidak bisa ke
WC yang tidak berkeramik dan setiap memegang sesuatu yang agak kotor seperti pel, selalu cuci
tangan.
5. Riwayat Penyakit Sebelumnya
a. Riwayat Gangguan Psikiatri
 Tahun 2018 saat pasien pertama kali memiliki keluhan berupa cemas berlebihan
dan rasa ingin bunuh diri, yang kemungkinan suatu gangguan campuran
ansietas dan depresi.
 Pada tahun 2019, pasien pergi ke Jakarta dan menemui salah satu dokter
spesialis jiwa disana. Oleh dokter, pasien didiagnosa “Sindrom Asperger”.
 Pasien mengaku tidak begitu suka berteman. Sejak kecil, ia senang
menggambar dan lebih memilih menggambar daripada bersosialisasi. Hingga
saat ini pasien tetap tidak memiliki teman dekat.
 Pasien sedari kecil juga sering melakukan gerakan repetitif, seperti jalan bolak-
balik, jalan maju-mundur, mengangguk-anggukan kepala, menggerakkan kaki,
terutama saat pasien memiliki beban pikiran.
b. Riwayat Gangguan Medis
Pasien tidak ada menderita hipertensi, DM, trauma, tumor, kejang, gangguan
kesadaran, HIV.

c. Riwayat Merokok, Penggunaan Alkohol dan Zat Adiktif lain


Pasien bukan seorang perokok, tidak ada mengonsumsi alkohol dan zat adiktif
lain.
6. Riwayat keluarga
a) Identitas orang tua
Orang tua
IDENTITAS Keterangan
Bapak Ibu
Kewarganegaraan Indonesia Indonesia
Suku bangsa Jawa Minangkabau
Agama Islam Islam
Pendidikan S1 S1
Pekerjaan PNS (pensiun) Ibu Rumah Tangga
Hubungan pasien* Akrab Akrab
Biasa Biasa
Kurang Kurang
Tak peduli Tak peduli
Dan lain-lain - -
Ket : * coret yang tidak perlu
b) Sifat/ Perilaku Orang tua kandung/ pengganti............. :
- Bapak (Dijelaskan oleh pasien dapat dipercaya/ diragukan)
Pemalas ( - ), Pendiam ( + ), Pemarah ( - ), Mudah tersinggung ( - ), Tak suka Bergaul ( - ),
Banyak teman ( - ), Pemalu ( - ), Perokok berat ( - ), Penjudi ( - ), Peminum ( - ), Pecemas
( - ), Penyedih ( - ), Perfeksionis ( - ), Dramatisasi ( - ), Pencuriga ( - ), Pencemburu ( - ), Egois
( - ), Penakut ( - ), Tak bertanggung jawab ( - ).
- Ibu ( Dijelaskan oleh pasien dapat dipercaya/ diragukan )
Pemalas ( - ), Pendiam ( - ), Pemarah ( + ), Mudah tersinggung ( - ), Tak suka Bergaul ( -
), Banyak teman ( + ), Pemalu ( - ), Perokok berat ( - ), Penjudi ( - ), Peminum ( - ),
Pecemas ( - ), Penyedih ( - ), Perfeksionis ( - ), Dramatisasi ( - ), Pencuriga ( - ),
Pencemburu ( - ), Egois ( - ), Penakut ( - ), Tak bertanggung jawab ( - ).

c) Saudara
Jumlah bersaudara 3 orang dan pasien anak ke 3.
d) Urutan bersaudara dan cantumkan usianya dalam tanda kurung untuk pasien sendiri
lingkari nomornya.*
1. Lk/Pr (30 tahun)
2. Lk/Pr (29 tahun)
3. Lk/Pr (23 tahun)
e) Gambaran sikap/ perilaku masing-masing saudara pasien dan hubungan pasien terhadap
masing-masing saudara tersebut, hal yang dinyatakan serupa dengan yang dinyatakan
pada gambaran sikap/ perilaku pada orang tua.*
Saudara keGambaran sikap dan Kualitas hubungan dengan saudara
perilaku (akrab/ biasa,/kurang/tak peduli)
1 Nakal, jahil Kurang
2 Baik, pemarah Kurang
Ket:
*) coret yang tidak perlu
**) diisi dengan tanda ( + ) atau ( - )
f) Orang lain yang tinggal di rumah pasien dengan gambaran sikap dan tingkah laku dan
bagaimana pasien dengan mereka.*
No Hubungan Gambaran sikap Kualitas hubungan (akrab/biasa/
dgn pasien dan tingkah laku kurang/tak peduli)
1 Bapak Biasa Kurang
2 Ibu Pemarah Kurang
3 Keponakan Biasa Kurang

Ket: untuk e) dan f) hanya diisi bila informan benar-benar mengetahuinya.


g) Apakah ada riwayat penyakit jiwa, kebiasaan-kebiasaan dan penyakit fisik ( yang ada
kaitannya dengan gangguan jiwa) pada anggota keluarga o.s :
Anggota Penyakit Kebiasaan- Penyakit
keluarga jiwa kebiasaan fisik
Bapak Skizofrenia, Demensia Pintar matematika - -
Ibu - Suka bergaul, extrovert -
Saudara
1 - - -
2 - - -
Dan lain-lain

Skema Pedegree

Keterangan
Pasien Laki-laki
Meninggal Perempuan
Meninggal

h) Riwayat tempat tinggal yang pernah didiami pasien:


No Rumah tempat Keadaan rumah
Tenang Cocok Nyaman Tidak Nyaman
tinggal
1. Rumah orang tua + + + -

7. Gambaran seluruh faktor-faktor dan mental yang bersangkut paut dengan


perkembangan kejiwaan pasien selama masa sebelum sakit (premorbid) yang
meliputi :
a) Riwayat sewaktu dalam kandungan dan dilahirkan.
- Keadaan ibu sewaktu hamil (sebutkan penyakit-penyakit fisik dan atau
kondisi- kondisi mental yang diderita si ibu )
 Kesehatan Fisik : Sehat
 Kesehatan Mental : Sehat
- Keadaan melahirkan :
 Aterm (+), partus spontan (+), partus tindakan (-) sebutkan jenis
tindakannya
 Pasien adalah anak yang direncanakan/ diinginkan (ya/tidak)
 Jenis kelamin anak sesuai harapan (ya/tidak)
b) Riwayat masa bayi dan kanak-kanak
 Pertumbuhan Fisik : baik, biasa, kurang*
 Minum ASI : sampai umur 5 bulan
 Usia mulai bicara : 1 tahun 6 bulan
 Usia mulai jalan : 1 tahun
 Sukar makan (-), anoreksia nervosa (-), bulimia (-), pika (-), gangguan
hubungan ibu-anak ( + ), pola tidur baik (-), cemas terhadap orang asing
sesuai umum ( + ), cemas perpisahan (-), dan lain-lain
c) Gejala-gejala sehubungan dengan problem perilaku yang dijumpai pada masa
kanak-kanak, misalnya: mengisap jari (-), ngompol (-), BAB di tempat tidur (-),
night teror (-), temper tantrum (-), gagap (-), tik (-), masturbasi (-), mutisme
selektif ( + ), dan lain-lain.
d) Toilet training
Umur : 2 tahun
Sikap orang tua :(memaksa/menghargai/membiarkan/memberikan arahan)
Perasaan anak untuk toilet training ini: baik
e) Kesehatan fisik masa kanak-kanak : demam tinggi disertai menggigau (-), kejang-
kejang (-), demam berlangsung lama (-), trauma kapitis disertai hilangnya kesadaran
(-), dan lain-lain.
f) Temperamen sewaktu anak-anak : pemalu (-), gelisah (-) overaktif (-), menarik diri
(+), suka bergaul (-), suka berolahraga (-), dan lain-lain
g) Masa Sekolah
Perihal SD SMP SMA PT
Umur 6 tahun 12 tahun 15 tahun -
Prestasi* Baik Baik Baik
Sedang Sedang Sedang
Kurang Kurang Kurang
Aktifitas Sekolah* Baik Baik Baik
Sedang Sedang Sedang
Kurang Kurang Kurang
Sikap Terhadap Teman * Baik Baik Baik
Kurang Kurang Kurang
Sikap Terhadap Guru Baik Baik Baik
Kurang Kurang Kurang
Kemampuan Khusus (Bakat) ( - ) ( - ) ( - )
Tingkah Laku ( Baik ) ( Baik ) ( Baik )
h) Masa remaja: Fobia ( - ), masturbasi ( - ), ngompol ( - ), lari dari rumah ( - ),
kenakalan remaja ( - ), perokok berat ( - ), penggunaan obat terlarang ( - ), peminum
minuman keras ( - ), problem berat badan ( - ), anoreksia nervosa ( - ), bulimia ( - ),
perasaan depresi ( - ), rasa rendah diri ( + ), cemas ( - ), gangguan tidur (+ ),
sering sakit kepala ( - ), dan lain-lain.
Ket: * coret yang tidak perlu
** ( ) diisi (+) atau (-)

i) Riwayat Pekerjaan ( - )
Usia mulai bekerja (-) , kepuasan kerja( - ), pindah-pindah kerja (-), pekerjaan yang
pernah dilakukan: Freelancer illustrator
Konflik dalam pekerjaan : ( - ), konflik dengan atasan, konflik dengan bawahan ( - ),
konflik dengan kelompok ( - ). Keadaan ekonomi*: baik,sedang, kurang
j) Percintaan, Perkawinan, Kehidupan Seksual dan Rumah Tangga
 Haid pertama usia 13 tahun.
 Hubungan seks sebelum menikah (-)
 Riwayat pelecehan seksual (-)
 Orientasi seksual (normal)
k) Situasi sosial saat ini:
1. Tempat tinggal : rumah sendiri (-), rumah kontrak (-), rumah susun (-),
apartemen (-) , rumah orang tua (+), serumah dengan mertua (-), di asrama (-)
dan lain-lain (-).
2. Polusi lingkungan : bising (-), kotor (-), bau (-), ramai (-) dan lain-lain.
Ket: * coret yang tidak perlu, ** ( ), diisi (+) atau (-)
ai : atas indikasi
l) Ciri Kepribadian sebelumnya/ Gangguan kepribadian (untuk axis II)
Keterangan : ( ) beri tanda (+) atau (-)
Kepribadian Gambaran Klinis
Skizoid Emosi dingin ( - ), tidak acuh pada orang lain ( + ), perasaan hangat atau
lembut pada orang lain ( - ), peduli terhadap pujian maupun kecaman ( - ),
kurang teman ( + ), pemalu ( - ), sering melamun ( - ), kurang tertarik
untuk mengalami pengalaman seksual ( + ), suka aktivitas yang
dilakukan sendiri ( + )
Paranoid Merasa akan ditipu atau dirugikan ( - ), kewaspadaan berlebihan ( - ), sikap
berjaga-jaga atau menutup-nutupi ( - ), tidak mau menerima kritik ( - ),
meragukan kesetiaan orang lain ( - ), secara intensif mencari-cari kesalahan
dan bukti tentang prasangkanya ( - ), perhatian yang berlebihan terhadap
motif-motif yang tersembunyi ( -), cemburu patologik ( - ), hipersensifitas
( - ), keterbatasan kehidupan afektif ( - ).
Skizotipal Pikiran gaib ( - ), ideas of reference ( - ), isolasi sosial ( + ), ilusi berulang ( -
), pembicaraan yang ganjil ( - ), bila bertatap muka dengan orang lain
tampak dingin atau tidak acuh ( - ).
Siklotimik Ambisi berlebihan ( - ), optimis berlebihan ( - ), aktivitas seksual yang
berlebihan tanpa menghiraukan akibat yang merugikan ( - ), melibatkan
dirinya secara berlebihan dalam aktivitas yang menyenangkan tanpa
menghiraukan kemungkinan yang merugikan dirinya ( - ), melucu
berlebihan ( - ), kurangnya kebutuhan tidur ( - ), pesimis ( - ), putus asa ( - ),
insomnia ( + ), hipersomnia ( - ), kurang bersemangat ( - ), rasa rendah diri (
- ), penurunan aktivitas ( - ), mudah merasa sedih dan menangis ( - ), dan
lain-lain.
Histrionik Dramatisasi ( - ), selalu berusaha menarik perhatian bagi dirinya ( - ),
mendambakan ransangan aktivitas yang menggairahkan ( - ), bereaksi
berlebihan terhadap hal-hal sepele ( - ), egosentris ( - ), suka menuntut ( - ),
dependen ( - ), dan lain-lain.
Narsisistik Merasa bangga berlebihan terhadap kehebatan dirinya ( - ), preokupasi
dengan fantasi tentang sukses, kekuasaan dan kecantikan ( - ),
ekshibisionisme ( - ), membutuhkan perhatian dan pujian yang terus
menerus ( - ), hubungan interpersonal yang eksploitatif ( - ), merasa marah,
malu, terhina dan rendah diri bila dikritik ( - ) dan lain-lain.
Dissosial Tidak peduli dengan perasaan orang lain ( + ), sikap yang amat tidak
bertanggung jawab dan berlangsung terus menerus ( - ), tidak mampu
mengalami rasa bersalah dan menarik manfaat dari pengalaman ( - ), tidak
peduli pada norma-norma, peraturan dan kewajiban sosial ( - ), tidak
mampu memelihara suatu hubungan agar berlangsung lama ( + ),
iritabilitas ( - ), agresivitas ( - ), impulsif ( - ), sering berbohong ( - ), sangat
cendrung menyalahkan orang lain atau menawarkan rasionalisasi yang
masuk akal, untuk perilaku yang membuat pasien konflik dengan
masyarakat ( - )
Ambang Pola hubungan interpersonal yang mendalam dan tidak stabil ( - ),
kurangnya pengendalian terhadap kemarahan ( - ), gangguan identitas ( - ),
afek yang tidak mantap ( - ),tidak tahan untuk berada sendirian ( - ), tindakan
mencederai diri sendiri ( - ), rasa bosan kronik ( - ), dan lain-lain
Menghindar Perasaan tegang dan takut yang pervasif ( - ), merasa dirinya tidak mampu,
tidak menarik atau lebih rendah dari orang lain ( - ), keengganan untuk
terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin disukai ( - ), preokupasi
yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan dalam situasi sosial ( - ),
menghindari aktivitas sosial atau pekerjaan yang banyak melibatkan kontak
interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung atau ditolak ( - )
Anankastik Perasaan ragu-ragu yang hati-hati yang berlebihan ( - ), preokupasi pada hal-
hal yang rinci (details), peraturan, daftar, urutan, organisasi dan jadwal ( - ),
perfeksionisme ( - ), ketelitian yang berlebihan ( - ), kaku dan keras kepala (
- ), pengabdian yang berlebihan terhadap pekerjaan sehingga
menyampingkan kesenangan dan nilai-nilai hubungan interpersonal ( - ),
pemaksaan yang berlebihan agar orang lain mengikuti persis caranya
mengerjakan sesuatu ( - ), keterpakuan yang berlebihan pada kebiasaan
sosial ( - ) dan lain-lain.
Dependen Mengalami kesuitan untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa nasehat dan
masukan dari orang lain ( - ), membutuhkan orang lain untuk mengambil
tanggung jawab pada banyak hal dalam hidupnya
( - ), perasaan tidak enak atau tidak berdaya apabila sendirian, karena
ketakutan yang dibesar-besarkan tentang ketidakmampuan mengurus diri
sendiri ( - ), takut ditinggalkan oleh orang yang dekat dengannya( - )

8. Stresor psikososial (axis IV)


Pertunangan ( - ), perkawinan ( - ), perceraian ( - ), kawin paksa ( - ), kawin lari ( - ), kawin
terpaksa ( - ), kawin gantung ( - ), kematian pasangan ( - ), problem punya anak ( - ), anak
sakit ( - ), persoalan dengan anak ( - ), persoalan dengan orang tua ( + ), persoalan dengan
paman (-) persoalan dengan mertua ( - ), masalah dengan teman dekat ( + ), masalah dengan
atasan/ bawahan ( - ), mulai pertama kali bekerja ( - ), masuk sekolah ( - ), pindah kerja ( - ),
persiapan masuk pensiun ( - ), pensiun ( - ), berhenti bekerja ( - ), masalah di sekolah ( - ),
masalah jabatan/ kenaikan pangkat ( - ), pindah rumah ( - ), pindah ke kota lain ( - ),
transmigrasi ( - ), pencurian ( - ), perampokan ( - ), ancaman ( - ), keadaan ekonomi yang
kurang ( - ), memiliki hutang ( - ), usaha bangkrut ( - ), masalah warisan ( - ), mengalami
tuntutan hukum (-), masuk penjara ( - ), memasuki masa pubertas( - ), memasuki usia dewasa
( - ), menopause ( - ), mencapai usia 50 tahun ( - ), menderita penyakit fisik yang parah ( - ),
kecelakaan ( - ), pembedahan ( - ), abortus ( - ), hubungan yang buruk antar orang tua ( - ),
terdapatnya gangguan fisik atau mental dalam keluarga ( - ), cara pendidikan anak yang
berbeda oleh kedua orang tua atau kakek nenek ( - ), sikap orang tau yang acuh tak acuh pada
anak ( - ), sikap paman yang kasar atau keras terhadap anak ( - ), campur tangan atau perhatian
yang lebih dari orang tua terhadap anak ( - ), orang tua yang jarang berada di rumah ( - ),
terdapat istri lain ( - ), sikap atau kontrol yang tidak konsisten ( - ), kontrol yang tidak cukup
( - ), kurang stimulasi kognitif dan sosial ( + ), bencana alam ( - ), amukan masa ( - ),
diskriminasi sosial ( - ), perkosaan ( - ), tugas militer ( - ), kehamilan ( - ), melahirkan di luar
perkawinan ( - ), dan lain-lain.
9. Pernah suicide (-)
10. Riwayat pelanggaran hukum (-)
11. Riwayat agama
Pasien beragama Islam dan mengenai ibadah pasien tidak bisa mengungkapkan karena
privasi pasien.
12. Persepsi Dan Harapan Keluarga
Keluarga berharap agar pasien dapat sehat kembali dan dapat beraktivitas seperti biasa.
13. Persepsi Dan Harapan Pasien
Pasien bisa mengurus diri sendiri dan berharap jadi akuntan yang hebat.

GRAFIK PERJALANAN PENYAKIT PASIEN


Pasien diberi
antidepresan
Pasien diberi namun mengeluh
antidepresan mual dan muntah

Sejak kecil pasien Tahun 2018 Tahun 2019


tidak suka pasien pasien merasa
berteman, lebih mengeluh tidak bisa
suka menggambar cemas beradaptasi
dan melakukan berlebihan dan dengan
kegiatan sendiri merasa ingin lingkungan baru
bunuh diri di Kota Padang
dan lebih nyaman
duduk sendirian
diperpustakaan
III. STATUS INTERNUS
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : Teraba kuat, teratur, frekuensi 80x / menit
Nafas : Pernafasan teratur, frekuensi 18x permenit,
jenis pernafasan torakoabdominal
Suhu : 36,10C
Tinggi Badan : 160 cm
Berat badan : 48 kg
Bentuk badan : kurus
Status gizi : Normal
Sistem Respiratorik :Pernafasan teratur, jenis pernafasan
abdomiotorakal
Sistem Kardiovaskular : Bunyi jantung normal, bising tidak ada
Sistem Gastrointestinal : Hepar dan Lien tidak teraba, bising usus
(+) normal
Kelainan khusus : Tidak ditemukan kelainan khusus

IV. STATUS NEUROLOGIKUS


GCS : E4M6V5
Tanda ransangan Meningeal : tidak ada
Tanda-tanda efek samping piramidal :
● Tremor tangan : tidak ada
● Akatisia : tidak ada
● Bradikinesia : tidak ada
● Cara berjalan : tidak ada
● Keseimbangan : tidak ada
● Rigiditas : tidak ada
● Kekuatan motorik : baik
● Sensorik : baik
● Refleks : bisep (+/+), trisep(+/+), achiles(+/+), patella (+/+)

V. STATUS MENTAL
Pemeriksaan tanggal 10 Juli 2020
A. Keadaan Umum
1. Kesadaran/ sensorium : compos mentis ( + ), apatis ( - ), somnolen ( - ), stupor
( - ), kesadaran berkabut ( - ), konfusi ( - ), koma ( - ), delirium ( - ), kesadaran
berubah ( - ), dan lain-lain
2. Penampilan
 Sikap tubuh: biasa ( + ), diam ( - ), aneh ( - ), sikap tegang ( - ), kaku ( - ), gelisah
( - ), kelihatan seperti tua (-), kelihatan seperti muda ( + ), berpakaian sesuai gender
( - ).
 Cara berpakaian : rapi ( + ), biasa ( + ), tak menentu ( - ), sesuai dengan situasi ( - ),
kotor ( - ), kesan ( dapat mengurus diri )*
 Kesehatan fisik : sehat ( + ), pucat ( - ), lemas ( - ), apatis ( - ), telapak tangan basah
( - ), dahi berkeringat ( - ), mata terbelalak ( - ).
3. Kontak psikis
dapat dilakukan ( + ), tidak dapat dilakukan ( - ), wajar (+), kurang wajar ( - ), sebentar
( - ), lama ( - ).
4. Sikap
Kooperatif ( + ), penuh perhatian ( - ), berterus terang ( - ), menggoda ( - ), bermusuhan
( - ), suka main-main ( - ), berusaha supaya disayangi ( - ), selalu menghindar ( - ),
berhati-hati ( - ), dependen ( - ), infantil ( - ), curiga ( - ), pasif ( - ), dan lain-lain.
5. Tingkah laku dan aktifitas psikomotor
 Cara berjalan : biasa ( + ), sempoyongan ( - ), kaku ( + ), dan lain-lain
 Ekhopraksia ( - ), katalepsi ( - ), luapan katatonik ( - ), stupor katatonik ( -),
rigiditas katatonik ( - ), posturing katatonik ( - ), cerea flexibilitas ( - ), negativisme (
- ), katapleksi ( - ), stereotipik ( + ), mannerisme ( -), otomatisme ( - ), otomatisme
perintah ( - ), mutisme ( - ), agitasi psikomotor ( - ), hiperaktivitas/ hiperkinesis ( - ),
tik ( - ), somnabulisme ( - ), akathisia ( - ), kompulsi( - ), ataksia ( - ), hipoaktivitas
( - ), mimikri ( - ), agresi ( - ), acting out ( - ), abulia ( - ), tremor ( - ), chorea ( - ),
distonia ( - ), bradikinesia ( - ), rigiditas otot ( - ), diskinesia ( - ), convulsi ( - ),
seizure ( - ), piromania ( - ), vagabondage ( - ).
Ket : ( ) diisi (+) atau (-)
B. Verbalisasi dan cara berbicara
 Arus pembicaraan* : biasa
 Produktivitas pembicaraan* : biasa
 Perbendaharaan* : biasa
 Nada pembicaraan* : biasa
 Volume pembicaraan* : biasa
 Isi pembicaraan* : biasa
 Penekanan pada pembicaraan* : ada
 Spontanitas pembicaraan * : spontan
 Logorrhea, poverty of speech ( - ), diprosodi ( - ), disatria ( - ), gagap ( - ), afasia
( - ), bicara kacau ( - )
C. Emosi
 Hidup emosi*: stabilitas (stabil/ tidak), pengendalian (adekuat/tidak adekuat),
echt/unecht, dalam/dangkal, skala diffrensiasi (sempit/luas), arus emosi
(biasa/lambat/cepat).
1. Afek
Afek appropriate/ serasi ( + ), afek inappropriate/ tidak serasi ( + ), afek tumpul ( - ),
afek yang terbatas ( -), afek datar ( - ), afek yang labil ( - ).
2. Mood
mood eutimik( - ), mood disforik ( + ), mood yang meluap-luap (expansive mood) ( - ),
mood yang iritabel ( - ), mood yang labil (swing mood) ( -), mood meninggi (elevated
mood/ hipertim) ( - ), euforia ( - ), ectasy ( - ), mood depresi (hipotim) ( -), anhedonia
( - ), dukacita ( - ), aleksitimia ( - ), elasi ( - ), hipomania ( - ), mania ( - ), melankolia ( - ),
La belle indifference ( - ), tidak ada harapan ( - ).
3. Emosi lainnya
Ansietas ( - ), free floating-anxiety ( - ), ketakutan ( - ), agitasi ( - ), tension (ketegangan)
( - ), panic ( - ), apati ( - ), ambivalensi ( - ), abreaksional ( - ), rasa malu ( - ), rasa
berdosa/ bersalah( - ), kontrol impuls ( - ).
4. Gangguan fisiologis yang berhubungan dengan mood
Anoreksia ( - ), hiperfagia ( - ), insomnia ( - ), hipersomnia ( - ), variasi diurnal ( - ),
penurunan libido ( - ), konstispasi ( - ), fatigue ( - ), pica ( - ), pseudocyesis ( - ), bulimia
( - ).
Keterangan : *)Coret yang tidak perlu, ( ) diisi (+) atau (-)
D. Pikiran/ Proses Pikir (Thinking)
 Kecepatan proses pikir (biasa/cepat/lambat)
 Mutu proses pikir (jelas/ tajam)

1. Gangguan Umum dalam Bentuk Pikiran


Gangguan mental ( - ), psikosis ( - ) , tes realitas ( terganggu/ tidak ), gangguan pikiran
formal ( - ), berpikir tidak logis ( - ), pikiran autistik ( - ), dereisme ( - ), berpikir magis
( - ), proses berpikir primer ( - ).
2. Gangguan Spesifik dalam Bentuk Pikiran
Neologisme ( - ), word salad ( - ), sirkumstansialitas ( - ), tangensialitas ( - ),
inkohenrensia ( - ), perseverasi ( - ), verbigerasi ( - ), ekolalia ( - ), kondensasi
( - ),jawaban yang tidak relevan ( - ), pengenduran asosiasi ( - ), derailment ( - ), flight of
ideas ( - ), clang association ( - ), blocking ( - ), glossolalia ( - ).
3. Gangguan Spesifik dalam Isi Pikiran
 Kemiskinan isi pikiran ( - ) Gagasan yang berlebihan ( - )
 Delusi/ waham
waham bizarre ( + ),waham tersistematisasi ( - ), waham yang sejalan dengan mood ( - ),
waham yang tidak sejalan dengan mood ( - ), waham nihilistik ( - ), waham kemiskinan ( -
), waham somatik ( - ), waham persekutorik ( - ), waham kebesaran ( - ), waham referensi
( - ), thought of withdrawal ( - ), thought of broadcasting ( - ), thought of insertion ( - ),
thought echo ( - ), waham cemburu/ waham ketidaksetiaan ( - ), erotomania ( - ),
pseudologia fantastika ( - ), delusion of control ( - ) delusion of influence ( - ), delusion of
passivity ( - ), delusion perception ( - )
 Idea of reference
 Preokupasi pikiran ( - ), egomania ( - ), hipokondria ( - ), obsesi ( - ), kompulsi ( - ),
koprolalia ( - ), fobia ( - ), noesis ( - ), unio mystica ( - )
E. Persepsi
 Halusinasi
Non patologis: Halusinasi hipnagogik ( - ), halusinasi hipnopompik ( - ),
Halusinasi auditorik ( - ), halusinasi visual ( - ), halusinasi olfaktorik ( - ), halusinasi
gustatorik ( - ), halusinasi taktil ( - ), halusinasi somatik ( - ), halusinasi liliput ( - ),
halusinasi sejalan dengan mood ( - ), halusinasi yang tidak sejalan dengan mood ( - ),
halusinosis ( - ), sinestesia ( - ), halusinasi perintah (command halusination), trailing
phenomenon ( - ).
 Ilusi ( - )
 Depersonalisasi ( - ), derealisasi ( - )
F. Mimpi dan Fantasi
Mimpi : -
Fantasi : -
G. Fungsi kognitif dan fungsi intelektual
1. Orientasi waktu (baik/ terganggu), orientasi tempat (baik/ terganggu), orientasi
personal (baik/ terganggu), orientasi situasi (baik/ terganggu).
2. Atensi (perhatian) ( - ), distractibilty ( - ), inatensi selektif ( - ), hipervigilance ( - ),
dan lain-lain
3. Konsentrasi (baik/terganggu), kalkulasi (baik/terganggu),
4. Memori (daya ingat) : gangguan memori jangka lama/ remote ( - ), gangguan
memori jangka menengah/ recent past ( - ), gangguan memori jangka pendek/ baru
saja/ recent ( - ), gangguan memori segera/ immediate ( - ).Amnesia ( - ),
konfabulasi ( - ), paramnesia ( - ).
5. Luas pengetahuan umum: baik/ terganggu
6. Pikiran konkrit :baik/ terganggu
7. Pikiran abstrak : baik/ terganggu
8. Kemunduran intelek : (Ada/ tidak), Retardasi mental ( - ), demensia ( - ),
pseudodemensia ( - ).
H. Dicriminative Insight*
Derajat I (penyangkalan)
Derajat II (ambigu)
Derajat III (sadar, melemparkan kesalahan kepada orang/ hal lain)
Derajat IV ( sadar, tidak mengetahui penyebab)
Derajat V (tilikan intelektual)
Derajat VI (tilikan emosional sesungguhnya)
I. Discriminative Judgement :
 Judgment tes : tidak terganggu
 Judgment sosial : tidak terganggu
VI. Pemeriksaan Laboratorium dan diagnostik khusus lainnya
Pemeriksaan darah rutin
VII. Pemeriksaan oleh Psikolog / petugas sosial lainnya
Tidak ada
VIII. Ikhtisar Penemuan Bermakna
a. Pasien pertama kali memiliki keluhan berupa cemas berlebihan dan rasa ingin
bunuh diri pada tahun 2018.
b. Pasien pindah dari Tanjung Pinang dan tinggal bersama saudara yang tinggal di
Padang. Pasien merasa tidak nyaman dengan situasi baru dan mengaku tidak
bisa beradaptasi sehingga menimbulkan kecemasan. Pasien menetralkan situasi
tak nyaman tersebut dengan duduk di perpustakaan kampus sendirian sampai
sore, baru pulang.
c. Pasien juga mengeluh takut pada suara orang mengetuk pintu, sering menangis,
dan kadang merasa tidak berguna. Pasien kemudian pergi menemui salah satu
dokter spesialis jiwa dan diberikan obat antidepresan.
d. Pada tahun 2019, pasien pergi ke Jakarta dan menemui salah satu dokter
spesialis jiwa disana. Oleh dokter, pasien didiagnosa “Sindrom Asperger”.
e. Pasien mengaku tidak begitu suka berteman. Menurut ibu pasien, sejak kecil
sejak kecil pasien memang tidak suka berteman, senang menggambar dan lebih
memilih menggambar daripada bersosialisasi. Hal itu pasien rasakan sampai saat
ini.
f. Sejak menerima pengobatan dari dokter di Jakarta, pasien merasa lebih bisa
bersosialisasi daripada sebelumnya.
g. Pasien sedari kecil juga sering melakukan gerakan-gerakan berulang, seperti
jalan bolak-balik, jalan maju-mundur, mengangguk-anggukan kepala,
menggerakkan kaki, terutama saat pasien memiliki beban pikiran, apalagi saat
ini pasien sedang stress mengerjakan skripsi.
h. Pasien mengaku memiliki riwayat lain seperti dari kecil takut berlebihan
terhadap suara yang tiba-tiba seperti bunyi pesawat lewat, bunyi mesin cuci
berputar, dll. Pasien juga mengaku tidak bisa ke WC yang tidak berkeramik dan
setiap memegang sesuatu yang agak kotor seperti pel, selalu cuci tangan.
IX. Diagnosis Multiaksial
Axis I : 299.00 (F 84.0) Autism Spectrum Disorder
Axis II : F 60.1 Gangguan Kepribadian Skizoid
Axis III : Tidak ada diagnosis
Axis IV : Masalah psikososial dan lingkungan, masalah primary support group
Axis V : GAF 90 - 81
X. Diagnosis Banding
 Autisme Tidak Khas
 Obsesif Kompulsif Disorder
 Gangguan Penyesuaian
 Sindroma Asperger
XI. Daftar Masalah
a. Organobiologik : tidak ada
b. Psikilogis:
- Cemas berlebihan dan rasa ingin bunuh diri
- Kecemasan di lingkungan baru
- Tidak suka berteman dan bersosialisasi
- Memiliki ketenangan dalam kesendirian
- Mengalihkan kecemasan dengan perilaku repetitif
c. Lingkungan dan psikososial : masalah dengan orang tua tidak terlalu
menonjol.

XII. Penatalaksanaan
 Terapi yang sudah diberikan
- Aripiprazol 2 mg 1 x 1
- Fluoxetin 10 mg 1 x 1
- Clobazam 10 mg 1 x 1
 Terapi yang dianjurkan
A. Psikoterapi
- Kepada pasien
Psikoterapi suportif
Memberikan dukungan, kehangatan, empati dan optimistik kepada pasien,
membantu pasien mengidentifikasi faktor pencetus dan membantu
memecahkan permasalahan secara terarah
Psikoedukasi
Memberikan pengetahuan kepada pasien tentang gangguan yang dialaminya,
diharapkan pasien dapat secara efektif mengenali gejala dan penyebab serta
terapi yang dibutuhkanya untuk menghindari kekambuhan atau terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan
- Kepada keluarga
Psikoedukasi
Diberikan pengetahuan kepada keluarga mengenai penyakit yang diderita
pasien, terapi perilaku keluarga, dukungan, sosial, dan perhatian dari
keluarga kepada pasien dan terapi serta kepatuhan minum obat pasien

XIII. PROGNOSIS
Quo et vitam : Bonam
Quo et fungsionam : Bonam
Quo et sanctionam : dubia ad bonam

BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien perempuan usia 23 tahun datang ke Poliklinik Jiwa RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Berdasarkan wawancara psikiatri pada tanggal 10 Juli 2020 didapatkan
pasien datang untuk kontrol pengobatan dan mual sejak mengonsumsi obat antidepresan.
Pasien juga mengatakan bahwa keluhan yang ia alami sampai menimbulkan pasien muntah.
Keluhan yang dialaminya membuat pasien takut untuk mengonsumsi obat. Pasien diketahui
sudah mengonsumsi obat antidepresan sejak tahun 2018.
Pasien pertama kali memiliki keluhan berupa cemas berlebihan dan rasa ingin
bunuh diri pada tahun 2018. Saat itu, pasien yang tinggal di Kota Tanjung Pinang bersama
keluarganya, harus pindah ke Kota Padang karena menempuh pendidikan di salah satu
universitas di Kota Padang. Pasien tinggal bersama saudara yang tinggal di Padang. Pasien
merasa tidak nyaman dengan situasi baru dan mengaku tidak bisa beradaptasi sehingga
menimbulkan kecemasan. Pasien juga mengeluh takut pada suara orang mengetuk pintu,
sering menangis, dan merasa tidak berguna. Pasien kemudian pergi menemui ke salah satu
dokter spesialis jiwa dan diberikan obat antidepresan. Pada tahun 2019, pasien pergi ke
Jakarta dan menemui salah satu dokter spesialis jiwa disana. Oleh dokter, pasien didiagnosa
sindrom asperger.
Pasien mengaku tidak begitu suka berteman. Sejak kecil, ia senang menggambar
dan lebih memilih menggambar daripada bersosialisasi. Hingga saat ini pasien tetap tidak
memiliki teman dekat. Namun, sejak menerima pengobatan dari dokter di Jakarta, pasien
merasa lebih bisa bersosialisasi daripada sebelumnya. Pasien sedari kecil juga sering
melakukan gerakan repetitif, seperti jalan bolak-balik, jalan maju-mundur, mengangguk-
anggukan kepala, menggerakkan kaki, terutama saat pasien memiliki beban pikiran. Pada
pemeriksaan, ditemukan kurangnya gestur tubuh pasien saat menceritakan keluhannya. Hal
ini membantu mendukung diagnosis Autism Spectrum Disorder, karena memenuhi kriteria
berupa defisit dalam interaksi sosial timbal balik, defisit komunikasi non-verbal, defisit
dalam mengembangkan, mempertahankan, dan memahami hubungan antar manusia,
adanya gerakan stereotipik atau repetitif, dan minat yang terbatas atau terfiksasi pada suatu
hal tertentu.
Diagnosis untuk aksis II berdasarkan anamnesis pada pasien didapatkan gambaran
kepribadian yang dominan pada pasien adalah gambaran kepribadian skizoid. Gejala yang
menunjang diagnosis tersebut karena pasien memiliki sikap tidak acuh pada orang lain,
kurang teman, kurang tertarik untuk mengalami pengalaman seksual, dan suka aktivitas
yang dilakukan sendiri. Diagnosis untuk aksis IV adalah persoalan dengan orang tua dan
teman dekat. Karena pasien mengaku bahwa ia lebih akrab dengan ayahnya dibandingkan
dengan ibu. Sedangkan ayah pasien memiliki riwayat mengalami skizofrenia dan saat ini
mengalami demensia, sehingga sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik lagi. Pasien
mendeskripsikan ibunya sebagai pribadi yang pemarah dan pasien mengaku tidak sepaham
dengan ibunya. Selain itu, pasien juga lebih suka sendiri daripada berteman dengan orang
lain. Terdapat gejala minimal, tetapi dapat berfungsi dengan baik, cukup puas, tidak lebih
dari masalah sehari-hari sehingga aksis V diberikan nilai GAF 90-81. Autisme tidak khas,
gangguan obsesif dan kompulsif, gangguan penyesuaian, dan sindrom asperger dapat
menjadi diagnosis banding untuk aksis I pada pasien ini.
Pada tanggal 10 Juli 2020, pasien melakukan kontrol ke dokter. Pasien
mendapatkan obat aripiprazol 1x2 mg, fluoxetin 1x1 mg, clobazam 1x10 mg. Selain itu,
pasien dicurigai mengalami gejala clumsiness karena cara berjalan yang kaku dan tulisan
pasien jelek, sehingga dirujuk ke bagian rehabilitasi medis. Namun, pasien lebih dianjurkan
untuk melakukan yoga sebagai terapi relaksasi. Keluarga pasien juga harus diberikan
edukasi mengenai keadaan pasien dan mengingatkan kepada keluarga untuk selalu
memberikan dukungan kepada pasien. Psikoterapi kognitif juga dapat diberikan untuk
pasien guna mengajarkan pasien untuk dapat mengidentifikasi masalah yang ada pada
pasien, menetapkan prioritas masalah, dan memilah masalah mana yang harus dipikirkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. WHO Autism Spectrum Disorder Factsheet. Updated


April 2017. Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/autism-
spectrum-disorders/en/
2. Autism Research Institute. Autism facts and History. 2015. Available from;
http://www.autism.org.uk/about/what-is/myths-facts-stats.aspx
3. Christensen DL, Baio J, Braun KVN, Bilder D, Charles J, Constantino JN, et al.
Prevalence and Characteristics of Autism Spectrum Disorder Among Children Aged 8
Years — Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network, 11 Sites,
United States, 2012. Surveillance Summaries / April 1, 2016 / 65(3);1–23.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes Peringati Hari Autis
Internasional. Depkes; Jakarta 12 April 2012.
http://www.depkes.go.id/article/print/1881/kemenkes-peringati-hari-autis-
international.html
5. Budhiman M. Pentingnya diagnosis dini dan penatalaksanaan terpadu pada autisme. In:
Simposium autisme pada masa anak. Semarang: Yayasan autisma Indonesia; 1998.
6. Communication Problems in Children with Autism Spectrum Disorder. National
Institute of Deafness and Other Communication Disorder.
http://www.nicdc.nih.gov/health/voice/pages/communication-problems-in-children-
with-autism-spectrum-disorder.aspx.
7. American Psychiatric Association. Task Force on DSM-IV. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders: DSM-IV-TR. 4th edition.Washington,DC: American
Psychiatric Association. 2000.
8. WHO. Chapter V: Mental and behavioral disorders. International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problems 10th Revision (ICD-10).
http://apps.who.int/classifications/ICD10/browse/2010/en#/F84.0. Published 2010.
9. Augustine M. Clinical Features of Autism Spectrum Disorder.
http://www.uptodate.com/contents/terminology-epidemiology-and-patogenesis-of-
autism-spectrum-disorder. Published 2013.
10. Muhartomo H. Aspek neurologik autisme infantil. Dalam: Gofir A, Thursina C, editor.
Buku ajar neurologi anak. Yogyakarta: Pustaka cendekia Press; 2015.h. 93-104
11. Elsabbagh M, Clarke ME, editors. Autism. Encyclopedia on Early Childhood
Development. 2012: 9-12.
12. Autism Spectrum Disorder/ASD. Data & Statistics from Centers for Disease Control
and Prevention/CDC. Identified Prevalence of Autism Spectrum Disorder. ADDM
Network 2000-2012.
https://www.cdc.gov/ncbddd/autism/data.html#modalIdString_CDCImage_0
13. Ozonoff S, Young GS, Carter A, Messinger D, Yirmiya N, Zwaigenbaum L, Bryson S,
Carver LJ, Constantino JN, Dobkins K, Hutman T, Iverson JM, Landa R, Rogers SJ,
Sigman M, Stone WL. Recurrence risk for autism spectrum disorders: A Baby Siblings
Research Consortium study. Pediatrics. 2011; 128: e488-e495.
14. Sumi S, Taniai H, Miyachi T, Tanemura M. Sibling risk of pervasive developmental
disorder estimated by means of an epidemiologic survey in Nagoya, Japan. J Hum
Genet. 2006; 51: 518-522.
15. DiGuiseppi C, Hepburn S, Davis JM, Fidler DJ, Hartway S, Lee NR, Miller L,
Ruttenber M, Robinson C. Screening for autism spectrum disorders in children with
Down syndrome. J Dev Behav Pediatr. 2010; 31:181-191.
16. Cohen D, Pichard N, Tordjman S, Baumann C, Burglen L, Excoffier E, Lazar G,
Mazet P, Pinquier C, Verloes A, Heron D. Specific genetic disorders and autism:
Clinical contribution towards their identification. J Autism Dev Disord. 2005; 35(1):
103-116.
17. Hall SS, Lightbody AA, Reiss AL. Compulsive, self-injurious, and autistic behavior in
children and adolescents with fragile X syndrome. Am J Ment Retard. 2008; 113(1):
44-53.
18. Zecavati N, Spence SJ. Neurometabolic disorders and dysfunction in autism spectrum
disorders. Curr Neurol Neurosci Rep. 2009; 9(2): 129-136.
19. Schendel D, Bhasin TK. Birth weight and gestational age characteristics of children
with autism, including a comparison with other developmental disabilities. Pediatrics.
2008 Jun;121(6):1155-64. doi: 10.1542/peds.2007-1049.
20. Durkin MS, Maenner MJ, Newschaffer CJ, Lee LC, Cunniff CM, Daniels JL, Kirby
RS, Leavitt L, Miller L, Zahorodny W, Schieve LA. Advanced parental age and the
risk of autism spectrum disorder. Am J Epidemiol. 2008 Dec 1;168(11):1268-76. doi:
10.1093/aje/kwn250. Epub 2008 Oct 21
21. Schafer L. Special education verification and effective Innstructional Practices for
children with Autism Spectrum Disorder. Nebraska: Nebraska Department of
Education; 2000.p.1-50
22. Volkmar F, Wiesner L. Autism and related disorders. In: Carey W, Crocker A,
Coleman WElias E, Feldman H, editors. Developmental behavioral pediatrics.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2009. p. 675-683.
23. Imandala I. Upaya meningkatkan kemampuan komunikasi anak autis dengan
menggunakan PECS. Pendidikan khusus; 2009 (cited 3 September 2015). Available
from http://pendidikankhusus.wordpress.com/2009/04/13
24. Driver L, Rita A, Tubbergen MV. Languange development in disorders of
communication and oral motor function. In: Alexander MA, Matthews, DJ, editors.
Pediatric rehabilitation principles and practice. 4th edition. New York: Demos Medical
Publishing; 2010.p. 65-68
25. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. 5th edition. Washington,DC:American Psychiatric Association. 2013
26. Matson JL, Kozlowski AM, Matson MM. Speech deficits in persons with autism:
etiology and symptom presentation. J Research in Autism Spectrum disorder. 2012; 6:
573-7
27. Kujala T, Lepisto T, Naatanen R. The neural basis of aberrant speech and audition in
autism spectrum disorders. J Neuroscience and Biobehavioral Reviews. 2013; 37: 697-
704
28. Silverman C. Understanding autism. Princeton: Princeton University Press; 2012

Anda mungkin juga menyukai