Anda di halaman 1dari 30

Case Report Session

PPOK EKSASERBASI AKUT

Oleh:

Nadia Humairah (1940312018)


Ivonne Olivia (1940312086)
Mohammad Fauzan (1940312150)

PRESEPTOR:

Dr. dr. Masrul Basyar, Sp.P(K)


dr. Afriani, Sp.P

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Case Repert Session Penyakit Paru Obstruksi Kronik Eksaserbasi


telah dibacakan tanggal 14 Mei 2020 dan sudah diperbaiki

Preseptor

Dr. dr. Masrul Basyar, Sp.P(K) FISR

Mengetahui

Ketua Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran UNAND/KSM Paru RSUP Dr. M.
Djamil Padang

dr. Afriani, Sp.P(K)


NIP. 198101042008122001

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas


Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil
Padang
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang berbahaya.1
PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan
hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko, seperti banyaknya jumlah perokok, serta
pencemaran udara didalam ruangan maupun diluar ruangan.Berdasarkan sudut pandang
epidemiologi, laki-laki lebih berisiko terkena PPOK dibandingkan dengan wanita karena
kebiasaan merokok.2
Kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat di Amerika Serikat mencapai
angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal
selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke-4 setelah
penyakit jantung, kanker dan penyakit serebrovaskular. Biaya yang dikeluarkan untuk
penyakit ini mencapai 24 milyar Dolar Amerika per tahun. WorldHealthOrganization (WHO)
memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat.2
Morbiditas dan mortalitas penderita PPOK berhubungan dengan eksaserbasi periodik
atau terjadinya perburukan gejala. Eksaserbasi PPOKadalah kondisi perburukan yang bersifat
akut dari kondisi yang sebelumnya stabil dengan variasi harian normal dan mengharuskan
perubahan pada pengobatan yang biasa diberikan. Semakin sering terjadinya eksaserbasi,
semakin berat pula kerusakan paru yang terjadi diikuti dengan memburuknya fungsi paru.3
Berdasarkan hal yang diuraikan diatas, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut
mengenai kasus PPOK eksaserbasi akut.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan case report ini bertujuan untuk memahami dan menambah pengetahuan
tentang Peyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
1.3 Batasan Masalah
Case report ini akan membahas mengenai kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).

1.4 Metode Penulisan


Metode yang dipakai dalam penulisan studi kasus ini berupa hasil pemeriksaan
pasien, rekam medis pasien, tinjauan kepustakaan yang mengacu pada berbagai literature,
termasuk buku teks dan artikel ilmiah.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun 2020
mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi kronis
yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya keterbatasan/hambatan aliran
udara/alveolar yang disebabkan oleh paparan terhadap partikel berbahaya, bersifat persisten
dan biasanya progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi. 1 Hambatan
aliran napas kronik pada PPOK adalah merupakan gabungan dari penyakit saluran napas
kecil dan destruksi parenkhim dengan kontribusi yang berbeda antar pasien ke pasien. Pada
kenyataannya, PPOK merupakan sebuah kelompok penyakit dengan gejala klinis yang
hampir serupa dengan bronkitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis.
Hambatan jalan napas yang terjadi pada penderita PPOK disebabkan oleh penyakit pada
saluran napas dan rusaknya parenkim paru.1
Eksaserbasi PPOK didrfinisikan sebagai memburuknya gejala pernapasan akut yang
membutuhkan terapi tambahan.1 Eksaserbasi PPOK merupakan kejadian penting dalam
penanganan PPOK, karena akan memperburuk status kesehatan, angka perawatan dan
rawatan ulang, dan progresifitas penyakitnya. Eksaserbasi PPOK adalah kejadian yang
kompleks dan biasanya berkaitan dengan peningkatan inflamasi saluran pernafasan,
peningkatan produksi mukus, dan terperangkapnya udara yang mencolok. Perubahan-
perubahan ini menyebabkan peningkatan dyspnea yang merupakan gejala utama dari
kejadian eksaserbasi.1

2.2 Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode survei, kriteria
diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap studi. Berdasarkan data dari
studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin
(Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar
14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%. Pada studi
BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah
10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan. Data di
Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah
sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih
tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%).4
2.3 Diagnosis
 Gejala
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas. Sesak
napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena terganggunya
aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi komplain ketika FEV1
<60% prediksi. Pasien biasanya mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan
usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas, gasping, dan air hunger. Batuk bisa
muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal
perkembangan PPOK. Gejala ini juga merupakan gejala klinis yang pertama kali
disadari oleh pasien. Batuk kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa adanya dahak.
Faktor risiko PPOK berupa merokok, genetik, paparan terhadap partikel berbahaya,
usia, hiperreaktivitas bronkus, status sosioekonomi, dan infeksi.4
 Riwayat Penyakit
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK, maka
riwayat penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya:
o Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan lingkungan
ataupun pekerjaan.
o Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis, polip
nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan penyakit respirasi
lainnya.
o Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
o Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi.
o Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.
o Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan aktivitas,
pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.
o Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien
o Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan merokok.4
 Pemeriksaan Fisik.
Pada awal perkembangannya, pasien PPOK tidak menunjukkan kelainan saat
dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat biasanya didapatkan bunyi
mengi dan ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan fisik. Tanda hiperinflasi
seperti barrel chest juga mungkin ditemukan. Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori
pernapasan, dan pursed lips breathing biasa muncul pada pasien dengan PPOK
sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis seperti muscle wasting, kehilangan
berat badan, berkurangnya jaringan lemak merupakan tanda-tanda saat progresifitas
PPOK. Clubbing finger bukan tanda yang khas pada PPOK, namun jika ditemukan
tanda ini maka klinisi harus memastikan dengan pasti apa penyababnya.
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis PPOK
seperti yang sudah dijelaskan, dimana hasil rasio pengukuran FEV1/FVC < 0,7.
Selain spirometri, bisa juga dilakukan Analisis Gas Darah untuk mengetahui kadar pH
dalam darah, radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis
PPOK, dan Computed Tomography (CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya
emfisema pada alveoli. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa kekurangan α-1
antitripsin dapat diperiksa pada pasien PPOK maupun asma.4

 Spirometri
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan
spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.
Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara
paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)), kapasitas udara
yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume in one second
(FEV1)), dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC).1 Pada tabel 1
diperlihatkan klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien
PPOK.1
2.4. Manajemen penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi di Layanan Primer
Penatalaksaan eksaserbasi PPOK diklasifikasikan berdasarkan:
 Mild (Ringan) yang ditangani hanya dengan bronkodilator kerja singkat (SABDs).
 Moderate (Sedang) yang ditangani dengan SABDs ditambah dengan antibiotik dan/atau
kortikosteroid oral.
 Severe (Berat) dimana pasien memerlukan perawatan dirumah sakit atau lansung datang
keIGD. Eksaserbasi yang berat dapat juga dikaitkan dengan gagal nafas akut.
Eksaserbasi dapat dikaitkan dengan peningkatan produksi sputum. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa perubahan warna sputum menjadi purulen menunjukkan terjadinya
peningkatan jumlah bakteri didalam sputum. Hal ini mendukung dan berhubungan dengan
konsep peningkatan eosinophil dalam saluran nafas, paru,dan darah dalam jumlah yang
signifkan pada pasien PPOK. Namun pada sebagian pasien dengan eksaserbasi PPOK, jumlah
eosinophil meningkat bersama dengan neutrophil dan sel inflamasi lainnya. Adanya sputum
eosinophilia berkaitan dengan kerentananan terhadap infeksi virus. Hal ini berarti bahwa
eksaserbasi berkaitan dengan peningkatan eosinophil dalam sputum atau darah yang
mungkin lebih responsif terhadap steroid sistemik, walaupun masih dibutuhkan penelitian
untuk menguji hipotesa ini.1
Selama eksaserbasi PPOK, gejala biasanya timbul selama7-10 hari,namun pada
beberapa kasus dapat lebih lama. Setelah 8 minggu, 20% pasien belum kembali ke kondisi
sebelum eksaserbasi. Diketahui dengan pasti bahwa eksaserbasi PPOK berkontribusi dalam
perburukan penyakit. Perburukan penyakit bahkan semakin besar kemungkinan terjadinya
bila proses penyembuhan dari PPOK berjalan lambat.1
Tujuan dari terapi eksaserbasi PPOK adalah meminimalkan dampak negatif dari
kejadian eksaserbasi saat ini dan mencegah terjadinya kejadian lanjutannya. Berdasarkan
tingkat keparahan dari eksaserbasi dan/atau keparahan penyakit dasar, kejadian eksaserbasi
dapat ditanggulangi dengan pasien rawat jalan ataupun rawat inap. Lebih dari 80% kasus
eksaserbasi ditangani dengan rawat jalan dengan menggunakan obat-obatan termasuk
bronkodilator, kortikosteroid , dan antibiotik.1
Indikasi penilaian kebutuhan rawat inap selama eksaserbasi PPOK ditinjukkan dalam
Tabel2.1.
Tabel 2.1 Indikasi penilaian rawat inap
Indikasi Penilaian Rawat Inap
● Gejala berat seperti perburukan dispnea saat israhat yang tiba-tiba,
meningkatnya laju pernapasan, penurunan saturasi oksigen, confussion,
drowsiness
● Gagal pernapasan akut
● Onset baru dari beberapa gejala, seperti sianosis dan edema perifer
● Kegagalan eksaserbasi dalam merespon terapi medis inisial
● Ada komorbiditas, seperti gagal jantung, terjadinya aritmia, dan lain-lain
● Dukungan rumah yang tidak memadai
Ketika pasien dengan eksaserbasi PPOK datang ke IGD, mereka seharusnya diberikan
oksigen tambahan dan dilakukan penilaian apakah kejadian eksaserbasi ini mengancam
nyawa atau apakah peningkatan usaha pernafasan atau perubahan pertukaran gas
memerlukan pertimbangan ventilasinon-invasif. Jika ya, pelayan kesehatan harus
mempertimbangkan rawat inap dibagian paru ataupun intensive care rumah sakit. Jika tidak,
pasien dapat ditangani di IGD atau dibangsal umum. Sebagai tambahan terapi farmakologi,
penanganan dirumah sakit dari eksaserbasi termasuk bantuan pernafasan (terapi oksigen,
ventilasi). Penanganan kasus eksaserbasi berat, namun tidak mengancam nyawa dibahas
pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2Penanganan kasus eksaserbasi berat, namun tidak mengancam nyawa


Penanganan kasus eksaserbasi berat, namun tidak mengancam nyawa
● Menilai tingkat keparahan gejala, gas darah, dan radiografi dada
● Memberikan terapi oksigen tambahan, pemeriksaan AGD serial, dan
pengukuran pulse oximetry
● Bronkodilator :
- Peningkatan dosis dan/atau frekuensi dari bronkodilator short-
acting
- Kombinasi short-acting beta 2-agonists dan antikolinergik
- Mempertimbangkan penggunaan bronkodilator long-active saat
pasien sudah stabil
- Menggunakan spacers atau air-driven nebulizers disaat yang tepat
● Mempertimbangkan penggunaan kortikosteroid oral
● Mempertimbangkan antibiotik oral saat gejala infeksi bakteri muncul
● Mempertimbangkan ventilator mekanik noninvasif (NIV)
● Setiap saat :
- Monitor fluid balance
- Mempertimbangkan heparin subkutan atau low molecular weight
heparin (LMWH) untuk profilaksis tromboemboli
- Mengidentifikasi dan menatalaksana kondidi terkait ( seperti gagal
jantung, aritmia, emboli paru, dan lain-lain )

Tampilan klinis dari eksaserbasi PPOK beragam, oleh karena itu direkomendasikan
pada pasienyang dirawat, keparahan eksaserbasi harus berdasarkan padatan dan klinis pasien
dan menyarankan klasifikasi dibawah ini.
- Tanpa gagal nafas: Jumlah pernafasan: 20-30 kali permenit; tanpa penggunaan
otot pernafasan aksesoris; tanpa perubahan status mental; hipoksemia membaik
dengan pemberian oxygen melalui masker Venturi dengan 28-35%oxygen
(FiO2); tanpa peningkatan PaCO2.
- Gagal nafas akut–yang tidak mengancam nyawa: Jumlah pernafasan: >30 kali
permenit; menggunakan otot pernafasan aksesoris; tanpa perubahan status
mental; hipoksemia membaik dengan pemberian oxygen melalui masker Venturi
dengan 25-30% FiO2; hiperkarbia atau peningkatan PaCO2 dibandingkan nilai
dasar atau meningkatan 50-60 mmHg.
- Gagal nafas akut–yang mengancam nyawa: Jumlah pernafasan: >30kali
permenit; menggunakan otot pernafasan aksesoris; perubahan akut status mental;
hipoksemia tidak membaik dengan pemberian oxygen melalui masker Venturi
atau memerlukan FiO2 >40%; hiperkarbia atau peningkatan PaCO2
dibandingkan nilai dasar atu meningkatan>60 mmHg atau adanya asidosis (pH ≤
7.25).1

Prognosis jangka panjang setelah rawat inap pada eksaserbasi PPOK adalah buruk,
dengan tingkat mortalitas dalam 5 tahun sekitar 50%. Faktor-faktor yang berhubungan
lansung dengan outcome yang buruk termasuk usia tua, index masa tubuh yang rendah,
komorbid (spt. Penyakit kardiovaskular atau kanker paru), riwayat rawat inap sebelumnya
untuk eksaserbasi PPOK, indeks keparahan klinis eksaserbasi, dan kebutuhan terapi
oksigen jangka panjang setelah keluar rumah sakit. Pasien-pasien ini memiliki tingkat
kejadian dan keparahan gejala pernafasan yang lebih tinggi, kualitas hidup yang lebih buruk,
fungsi paru yang lebih buruk, kapasitas olahraga yang lebih rendah, densitas paru lebih
rendah, dan dinding bronkus yang menebal pada CT-scan dan juga risiko mortalitas yang
lebih tinggi pada eksaserbasi akut PPOK.1

Penelitian Cochrane terbaru menyimpulkan bahwa penggunaan rencana aksi pada


kasus eksaserbasi PPOK dengan komponen edukasi singkat, sejalan dengan dukungan yang
tetap, menurunkan angka rawat inap pasien tersebut. Intervensi edukasi juga ditemukan
meningkatakan penanganan eksaserbasi dengan kortikosteroid dan antibiotik.

Poin pentingdalampenanganan eksaserbasidituliskan dalamTabel 2.3.


Poin pentingdalampenanganan eksaserbasi
● Short-acting inhaled beta 2-agonist, dengan atau tanpa short-acting
antichilinergics, direkomendasikan sebagai bronkodilator inisial untuk
pengobatan pada eksaserbasi akut (Evidence C).
● Kortikosteroid sistemik dapat meningkatkan fungsi paru (FEV1),
oksigenasi, mempersingkat waktu pemulihan dan lama rawat inap. Lama
terapi tidak boleh lebihn dari 5-7 hari (Evidence A).
● Antibiotik, saat diindikasikan, dapat mempersingkat waktu pemulihan,
mengurangi risiko kekambuhan dini, kegagalan pengobatan, dan lama
rawat inap. Lama terapi seharusnya 5-7 hari (Evidence B ).
● Methylxanthines tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan efek
samping (Evidence B).
● Non-Invasive mechanical ventilation harus menjadi mode ventilasi pertama
yang digunakan pada pasien PPOK dengan gagal napas akut (Evidence A)
● NIV harus menjadi mode ventilasi pertama yang digunakan pada pasien
PPOK dengan gagal napas akut yang tidak memiliki kontraindikasi absolut
karena dapat meningkatkan pertukaran gas, menurunkan kerja dari
pernapasan dan kebutuhan untuk intubasi, mengurangi lama rawat inap dan
meningkatkan kelangsungan hidup (Evidence A).

2.5 Tatalaksana Farmakologi


Tiga kelas obat yang paling umum digunakan untuk eksaserbasi PPOK adalah
bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik.
a. Bronkodilator
Walaupun tidak ada bukti kuat dari penelitian RCT, direkomendasikan untuk
menggunakan beta-2 antagonist yang dihirup, dengan atau tanpa antikholinergik kerja
singkat, sebagai terapi inisial untuk terapi awal eksaserbasi. Pembahasan sistematik tentang
metode pemberian bronkodilator kerja singkat tidak menemukan perbedaan signifikan FEV1
antara penggunaan metered dose inhalers (MDI) (dengan atau tanpa alat spacer) atau dengan
nebulizer, walaupun yang terakhir mungkin merupakan metode yang lebih mudah untuk
pasien yang lebih parah. Direkomendasikan bahwa pasien tidak mendapatkan nebulisasi yang
terus-menerus, tapi menggunakan inhaler MDI satu puff tiap jam untuk dua atau tiga dosis
dan setelahnya setiap 2-4 jam bergantung pada respon pasien. Walaupun tidak ada penelitian
klinis yang mengevaluasi penggunaan bronkodilator jangka panjang (baik beta2-agonist atau
antikholonergik atau kombinasinya) dengan atau tanpa kortikosteroid hirup selama
eksaserbasi, kami merekomendasikan untuk melanjutkan tatalaksana ini selama eksaserbasi
atau untuk memulai pengobatan secepat mungkin sebelum pasien dipulangkan.
Methylxanthine intravena (theophylline atau aminophylline) tidak direkomendasikan untuk
digunakan pada pasien-pasien ini karena efek samping yang banyak. Jika nebuliser dipilih
untuk mengantarkan agen bronkodilator, nebulisasi bronkodilator yang digerakkan udara
lebih baik daripada nebulisasi yang digerakkan oleh oksigen dalam eksaserbasi PPOK akut
untuk menghindari potensi risiko peningkatan PaCO2 yang terkait dengan administrasi
bronkodilator yang digerakkan oleh oksigen.1
b. Glukokortikoid
Data dari penelitian menunjukkan penggunaan glukokortikoid sistemik pada
eksaserbasi PPOK mempersingkat lama penyembuhan dan memperbaiki fungsi paru (FEV1).
Obat ini juga memperbaiki oksigenasi, risiko kekambuhan dini, kegagalan terapi, dan
lamanya waktu perawatan di rumah sakit. Direkomendasikan prednisone 40 mg setiap hari
selama 5 hari. Satu penelitian observasional menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid
oral yang lebih lama untuk eksaserbasi PPOK dikaitkan dengan peningkatan risiko
pneumonia dan mortalitas. Terapi oral prednisolone sama efektifnya dengan pemberian
intravena. Budesolone nebul sendiri, walaupun lebih mahal, dapat menjadi alternatif terhadap
oral kortikosteroid pada beberapa pasien untuk tatalaksana eksaserbasi. Bahkan ledakan
singkat kortikosteroid dikaitkan dengan peningkatan risiko pneumonia, sepsis dan kematian,
dan penggunaannya harus dibatasi pada pasien dengan eksaserbasi yang signifikan. Penelitian
terbaru mengarahkan bahwa glukokortikoid mungkin kurang efektif dalam penanganan
PPOK eksaserbasi pada pasien dengan angka eosinophil darah yang lebih rendah.1
c. Antibiotik
Meskipun agen infeksi pada eksaserbasi PPOK dapat berupa viral atau bakteri,
penggunaan antibiotik dalam eksaserbasi masih kontroversial. Ketidakpastian berasal dari
penelitian yang tidak membedakan antara bronkitis (akut atau kronis) dan eksaserbasi PPOK,
studi tanpa kontrol plasebo, dan/atau studi tanpa rontgen dada yang tidak mengecualikan
bahwa pasien mungkin memiliki radang paru-paru yang mendasarinya. Ada bukti yang
mendukung penggunaan antibiotik dalam eksaserbasi ketika pasien memiliki tanda-tanda
klinis dari infeksi bakteri misalnya, peningkatan pulensi dahak. Memang penggunaan warna
dahak yang diamati dapat dengan aman memodulasi terapi antibiotik tanpa efek samping jika
dahak berwarna putih atau jernih. Di sisi lain diamati purulensi dahak memiliki sensitivitas
94,4% dan spesifisitas 52% untuk beban bakteri yang tinggi, menunjukkan hubungan
kausatif.1
Sebuah tinjauan sistematis dari studi terkontrol plasebo telah menunjukkan bahwa
antibiotik mengurangi risiko mortalitas jangka pendek sebesar 77%, kegagalan pengobatan
sebesar 53% dan sputum purulensi sebesar 44% . Ulasan ini memberikan bukti untuk
mengobati pasien dengan PPOK yang sedang atau sangat sakit eksaserbasi dan peningkatan
purulensi batuk dan dahak dengan antibiotik. Data ini didukung oleh RCT yang lebih baru
pada pasien dengan diagnosis PPOK moderat. Dalam pengaturan rawat jalan, kultur dahak
tidak layak karena mereka mengambil setidaknya dua hari dan sering tidak memberikan hasil
yang dapat diandalkan untuk alasan teknis. Beberapa biomarker saluran udara infeksi sedang
dipelajari di eksaserbasi PPOK yang memiliki profil diagnostik yang lebih baik. Studi protein
C-reaktif (CRP) telah melaporkan temuan yang kontradiktif; CRP telah dilaporkan meningkat
pada infeksi bakteri dan virus, oleh karena itu penggunaannya dalam hal ini kondisi tidak
dianjurkan. Data terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik dapat dikurangi secara
aman dari 77,4% menjadi 47,7% ketika CRP rendah.1
Biomarker lain yang telah diteliti adalah procalcitonin, penanda yang lebih spesifik
untuk infeksi bakteri dan yang mungkin bernilai dalam keputusan untuk menggunakan
antibiotik, tetapi tes ini mahal dan tidak tersedia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terapi antibiotik yang dipandu oleh procalcitonin berkurang paparan antibiotik dan efek
samping dengan kemanjuran klinis yang sama. Sebuah metaanalisis baru-baru ini studi klinis
yang tersedia menunjukkan bahwa protokol berbasis procalcitonin untuk memicu
penggunaan antibiotik dikaitkan dengan penurunan resep antibiotik dan total secara
signifikan paparan antibiotik, tanpa mempengaruhi hasil klinis (misalnya, tingkat kegagalan
pengobatan, panjang tinggal di rumah sakit, kematian). Namun, kualitas bukti ini rendah
hingga sedang, karena keterbatasan metodologis dan populasi penelitian keseluruhan yang
lebih kecil. Berbasis prokalsitonin protokol mungkin efektif secara klinis; Namun, uji coba
konfirmasi dengan metodologi yang ketat diperlukan. Sebuah penelitian pada pasien COPD
dengan eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanis (invasif atau noninvasif)
menunjukkan bahwa tidak memberikan antibiotik dikaitkan dengan peningkatan mortalitas
dan insidensi pneumonia nosokomial sekunder yang lebih besar. 1
Singkatnya, antibiotik harus diberikan kepada pasien dengan eksaserbasi PPOK yang
memiliki tiga gejala kardinal: peningkatan dispnea, volume dahak, dan peningkatan purulensi
sputum; memiliki dua gejala kardinal, jika peningkatan purulensi dahak adalah salah satu dari
dua gejala; atau memerlukan ventilasi mekanis (invasif atau noninvasif). Panjang yang
direkomendasikan terapi antibiotik adalah 5-7 hari.1
Pilihan antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi bakteri lokal. Biasanya
pengobatan empiris awal adalah aminopenicillin dengan asam klavulanat, makrolida, atau
tetrasiklin. Pada pasien dengan eksaserbasi yang sering, keterbatasan aliran udara yang parah,
dan/atau eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanis, kultur dari sputum atau bahan
lainnya dari paru-paru harus dilakukan, sebagai bakteri gram negatif (misalnya, spesies
Pseudomonas) atau patogen yang resisten yang tidak sensitif terhadap antibiotik yang
disebutkan di atas. Rute pemberian (oral atau intravena) tergantung pada kemampuan pasien
makan dan farmakokinetik antibiotik, meskipun sebaiknya antibiotik itu diberikan secara
oral. Perbaikan dalam dyspnea dan sputum purulen menunjukkan keberhasilan klinis.1

d. Terapi Tambahan
Tergantung pada kondisi klinis pasien, cairan yang tepat keseimbangan, penggunaan
diuretik ketika diindikasikan secara klinis, antikoagulan, pengobatan komorbiditas dan aspek
nutrisi harus dipertimbangkan. Setiap saat, penyedia layanan kesehatan harus sangat
menegakkan kebutuhan untuk berhenti merokok. Mengingat bahwa pasien dirawat di rumah
sakit dengan COPD eksaserbasi berada pada peningkatan risiko trombosis vena dalam dan
paru proca, tindakan profilaksis untuk tromboemboli harus dilembagakan.1

2.6 Bantuan Pernapasan


Terapi oksigen. Ini adalah komponen kunci perawatan rumah sakit untuk eksaserbasi.Oksigen
tambahan harus dititrasi untuk memperbaiki hipoksemia pasien dengan target saturasi 88-92%. Begitu
oksigen dimulai, gas darah harus sering diperiksa untuk memastikan oksigenasi yangmemuaskan
tanpa retensi karbon dioksida dan/atau perburukan buruk asidosis. Sebuah penelitian
barumenunjukkan bahwa untuk menilai tingkat bikarbonat dan pH gas darah vena lebih akurat
biladibandingkan dengan gas darah arteri. Data tambahan diperlukan untuk memperjelas
kegunaanpengambilan sampel gas darah vena untuk membuat keputusan klinis pada kegagalan
pernafasanakut; namun kebanyakan pasien termasuk memiliki pH> 7,30 pada presentasi, tingkat
PaCO2 tidaksama ketika diukur dengan vena dibandingkan dengan darah arteri dan tingkat keparahan
batas aliranudara tidak dilaporkan.

High flow nasal cannula (HFNC). Pada pasien dengan gagal napas hipoksemik akut, terapioksigen
aliran tinggi oleh kanula nasal ( High flow nasalcannula/HFNC) dapat menjadialternatifterapi
oksigen standar atau ventilasi tekanan positif non invasif; beberapa penelitian telahmenunjukkan
bahwa HFNC dapat mengurangi kebutuhan untuk intubasi atau kematian pada pasiendengan gagal
napas hipoksemik akut (ARF). Penelitian sampai saat ini dilakukan pada pasien PPOKdengan
penyakit yang mendasari yang sangat parah yang membutuhkan oksigen tambahan; secaraacak
percobaan cross-over menunjukkan bahwa HFNC meningkatkan oksigenasi dan ventilasi,
danpenurunan hiperkarbia. HFNC cenderung mengurangi tingkat intubasi, tetapi tidak
signifikansistatistik dibandingkan dengan NIV ( Noninvasive ventilation), dan tidak berpengaruh
pada mortalitas.
Bantuan Ventilasi. Beberapa pasien perlu untuk segera masuk ke unit perawatan pernapasanatau
unit perawatan intensif (ICU). Dukungan ventilasi dalam eksaserbasi dapat diberikandengan ventilasi
noninvasive (kanul hidung atau sangkup wajah) atau invasive (tabung oral-trakealatau trakeostomi).
Stimulant pernapasan tidak direkomendasikan untuk kegagalan pernapasan akut.Indikasi penggunaan
ventilasi non invasif dan invasive dapat dilihat pada gambar 2.1 dan 2.1
Gambar 2.1 Indikasi penggunaan ventilasi non invasif.
Gambar 2.2 Indikasi penggunaan ventilasi invasif

2.7 Kriteria Pulang dan Tindak Lanjut


Perawatan keluar rumah sakit termasuk edukasi, optimalisasi pengobatan,
pengawasan dan koreksi teknik inhaler, penilaian dan manajemen komorbiditas yang optimal,
rehabilitasi dini, telemonitoring dan kontak pasien yang berkelanjutan semuanya telah
diselidiki. Data menunjukkan bahwa rehabilitasi dini pasca keluar rumah sakit (misalnya < 4
minggu) dapat dikaitkan dengan peningkatan kelangsungan hidup.1
Tindak lanjut awal (dalam satu bulan) setelah pulang harus dilakukan bila
memungkinkan. Ada banyak masalah pasien yang menolak tindak lanjut dini; mereka yang
tidak menghadiri follow up lebih awal telah meningkatkan mortalitas. Ini mungkin
mencerminkan kepatuhan pasien, akses yang terbatas ke perawatan medis, miskin dukungan
sosial, dan/atau adanya penyakit yang lebih parah.1
Tindak lanjut dini memungkinkan peninjauan yang teliti terhadap terapi discharge
(dan khususnya kebutuhan yang tersisa untuk pengobatan oksigen jangka panjang dengan
penilaian saturasi oksigen dan gas darah arteri) dan kesempatan untuk melakukan perubahan
yang diperlukan pada terapi (tinjauan terapi antibiotik dan steroid).
Tindak lanjut tambahan pada tiga bulan dianjurkan untuk memastikan kembali ke
keadaan klinis stabil dan memungkinkan peninjauan gejala pasien, fungsi paru (dengan
spirometri), dan sedapat mungkin penilaian prognosis menggunakan beberapa sistem
penilaian seperti menggunakan indeks BODE. Selain itu, saturasi oksigen arteri dan penilaian
gas darah akan menentukan kebutuhan terapi oksigen jangka panjang lebih akurat pada tindak
lanjut dibandingkan dengan segera setelah keluar. CT assessment untuk menentukan adanya
bronkiektasis dan emfisema harus dilakukan pada pasien dengan eksaserbasi berulang
dan/atau rawat inap. Penilaian lebih lanjut tentang keberadaan dan manajemen komorbiditas
juga harus dilakukan.1
Tabel 2.4 Kriteria keluar rumah sakit dan rekomendasi tindak lanjut1
Kriteria keluar rumah sakit
 Ulasan lengkap dari semua data klinis dan laboratorium
 Periksa terapi perawatan dan pemahaman
 Menilai kembali teknik inhaler
 Pastikan pemahaman tentang penghentian obatakut (steroid dan/atau
antibiotik)
 Nilai kebutuhan untuk melanjutkan terapi oksigen
 Memberikan rencana manajemen untuk komorbiditas dan follow up
 Pastikan pengaturan follow up: follow up dini <4 minggu, dan follow
uplanjutan<12 minggu sesuai indikasi
 Semua kelainan klinis atau investigasi telah diidentifikasi
Follow up dini (1-4 minggu)
 Mengevaluasi kemampuan untuk mengatasi lingkungan biasa
 Meninjau dan memahami rejimen pengobatan
 Penilaian kembali teknik inhaler
 Kaji ulang kebutuhan oksigen jangka panjang
 Dokumentasikan kapasitas aktivitas fisik dan aktivitas kehidupan sehari-
hari
 Dokumentasikan gejala: CAT atau Mmrc
 Menentukan status komorbiditas
Follow up lanjutan (12-16 minggu)
 Mengevaluasi kemampuan untuk mengatasi lingkungan biasa
 Meninjau dan memahami rejimen pengobatan
 Penilaian kembali teknik inhaler
 Kaji ulang kebutuhan oksigen jangka panjang
 Dokumentasikan kapasitas aktivitas fisik dan aktivitas kehidupan sehari-
hari
 Ukur spirometri: FEV1
 Dokumentasikan gejala: CAT atau Mmrc
 Menentukan status komorbiditas
2.6 Pencegahan Eksaserbasi
Setelah eksaserbasi akut, langkah-langkah yang tepat untuk pencegahan eksaserbasi
lebihlanjut harus dimulai
Gambar 2.3 Pencegahan Eksaserbasi
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Umur : 77 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
3.2. Anamnesis
Seorang pasien laki-laki berumur 77 tahun datang rumah sakit dengan :
Keluhan Utama
Sesak napas sejak kurang lebih 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
 Sesak napas sejak kurang lebih 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak timbul
pada saat pasien melakukan aktivitas seperti berjalan 20 meter dan sesak
berkurang saat istirahat. Pasien sering terbangun saat malam hari karena sesak.
 Sesak napas pertama kali timbul 2 tahun yang lalu. Awalnya sesak timbul saat
pasien melakukan aktivitas berat seperti bertani. Keluhan memberat sejak 6 bulan
terakhir, pasien sering keluar masuk rumah sakit karena sesak. Dalam satu bulan
sesak timbul kurang lebih 4 kali.
 Batuk (+) berdahak sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit,warna kuning
kehijauan.
 Batu darah (-)
 Nyeri dada (+) sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, di tengah dada, nyeri
dirasakan saat sesak napas.
 Demam (-), riwayat demam 3 hari sebelum masuk rumah sakit
 Keringat malam (-)
 Nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-)
 Penurunan nafsu makan (-), penurunan berat badan (-)
 BAB dan BAK tidak ada keluhan
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat TB (+) 3 tahun yang lalu, sudah menjalani pengobatan selama 6 bulan
dan dinyatakan sembuh.
 Riwayat hipertensi (+) sejak 2 tahun yang lalu
 Riwayat diabetes mellitus (-)
 Riwayat asma sejak kecil (-)
 Riwayat stroke (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat keganasan di organ lain (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat hipertensi dalam keluarga disangkal
 Riwayat diabetes mellitus dalam keluarga disangkal
 Riwayat penyakit jantung dalam keluarga (-)
 Riwayat TB atau batuk lama dalam keluarga (-)
 Riwayat keganasan dalam keluarga (-)
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan
 Pasien adalah seorang petani
 Riwayat merokok sejak usia 10 tahun, rata-rata 10 batang/hari selama ± 64 tahun,
berhenti 3 tahun yang lalu (bekas perokok, IB berat)
3.3. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Composmentis
 Tekanan darah : 130/80 mmHg
 Nadi : 86 x/menit
 Napas : 36 x/menit, napas cuping hidung (+)
 Suhu : 36,8ºC

Status Generalisata
 Kepala : Normocephal
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
 Kulit : Turgor kulit baik, ikterik tidak ada
 Leher : JVP 5+1 cmH2O, tidak terdapat deviasi trakea
 KGB : Tidak ada perbesaran KGB
 Thoraks
o Paru depan :
Inspeksi : Barrel chest (+), dinamis kiri=kanan,
Sela iga sedikit melebar,
Tulang iga dan sternum agak cembung,
Retraksi otot pernapasan (+).
Palpasi : Fremitus kiri=kanan, lemah
Perkusi : Hipersonor pada hemithorax kiri dan kanan.
Batas paru-hepar setinggi RIC IV LMCD
Auskultasi : ekspirasi memanjang, lemah, , Wh +/+, Rh -/-
o Paru belakang :
Inspeksi : Statis kiri=kanan, dinamis kiri=kanan,
Palpasi : Fremitus kiri=kanan, lemah
Perkusi : Hipersonor pada hemithorax kiri dan kanan.
Auskultasi : ekspirasi memanjang, lemah, , Wh +/+, Rh -/-
o Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba LMCS RIC V
Perkusi : Batas atas : linea parasternalis sinistra RIC II
Batas kanan : linea sternalis dextra RIC IV
Batas kiri : LMCS RIC V
Auskultasi : S1 reguler, S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) N
 Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas : ekstremitas atas : akral hangat, edema (-/-), clubbing finger
(-/-), ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-/-), clubbing finger (-/-)
3.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin
Hb : 12,7 g/dl (N: 13,0-16,0)
Leukosit : 11.000 /mm3 (N: 5.000-10.000)
Trombosit : 202.000 /mm3 (N: 150.000-400.000)
Ht : 37% (N: 40,0-48,0)
Kimia klinik
SGPT : 63 u/l (N: <38)
SGOT : 29 u/l (N: <41)
Ureum : 71 mg/dl (N: 10-50)
Kreatinin : 0,7 mg/dl (N: 0,8-1,3)
Elektrolit
Natrium : 138 mmol/L (N: 136-145)
Kalium : 3,6 mmol/L (N: 3,5-5,1)
Klorida : 101 mmol/L (N: 97-111)
Kesan : Leukositosis, SGPT meningkat, ureum meningkat

Pemeriksaan Rontgen

Gambar 3.1 Rontgen thorax PA


Kesan : PPOK dan kalsifikasi di apeks paru kanan (bekas TB)
3.5. Diagnosis Kerja
PPOK eksaserbasi akut derajat berat dan bekas TB
3.6. Diagnosis Banding
TB berulang
3.7. Rencana pengobatan dan Pemeriksaan

Rencana pengobatan :
o IVFD NaCl 0,9%
o O2 3 L/m nasal kanul
o Nebu Combivent (salbutamol sulfat + ipatropium bromida) 3x1
o Drip aminofilin 1 ampul dalam 500 cc RL, 20 tpm
o Inj dexametasone 3x5 mg
o Ceftriaxone 2 gr/hari
o Ambroxol syr 3x2 cth

Rencana pemeriksaan ;
o AGD
o Spirometri (jika sudah stabil)
BAB 4
PEMBAHASAN

Gejala dan tanda PPOK sangatbervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan,sampai gejala yangberat. Namun, diagnosisPPOK dapat ditegakkan berdasarkan
gambaranklinis dan pemeriksaan penunjang.Padagambaran klinis, bila ditemukan sesak
nafasyang kronik dan progresif, batuk disertaiproduksi sputumkronik serta usia tua
denganriwayat terpajan oleh faktor-faktor risiko. Makadiagnosis dari PPOK
harusdipertimbangkan, dankemudian dikonfirmasi dengan melakukanspirometri.2-6
Pada pasien ini, laki-laki usia 77 tahun,dengan keluhan sesak saat beraktivitas, batuk-
batukdisertai dahak berwarna kuning kehijauan,riwayat merokok sejak usia 10 tahun dan
baruberhenti 3 tahun lalu dengan rata-ratamenghabiskan kurang lebih 10 batang per
hari(indeks Brinkman: 640 atau berat). Faktor risikoPPOK bergantung pada jumlah
keseluruhan daripartikel-partikel iritatif yang terinhalasi olehseseorang selama hidupnya
antara lain asaprokok, polusi tempat kerja berupa bahan kimiaberbahaya, infeksi saluran
nafas berulang, statussosio ekonomi dan nutrisi, jenis kelamin (laki-lakilebih banyak
dibanding perempuan), danfaktorgenetik. Faktor kompleks genetik denganlingkungan
menjadi salah satu penyebabterjadinya PPOK, meskipun penelitianFramingham pada
populasi umum menyebutkanbahwa faktor genetik memberi kontribusi yangrendah dalam
penurunan fungsi paru.9-13
World Health Organizationmemperkirakan bahwa menjelang tahun 2020prevalensi
PPOK akanmeningkat. Akibatnya,PPOK sebagai penyebab penyakit terseringperingkatnya
akan meningkat dari ke-12menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematianakan meningkat dari
ke-6 menjadi ke-3.Berdasarkan survei kesehatan rumah tanggaDepartemen Kesehatan
Republik Indonesia padatahun 1992, PPOK bersama asma bronkialmenduduki peringkat ke-6
di Indonesia.Merokok merupakan faktor risiko terpentingpenyebab PPOK di samping faktor
risiko lainnyaseperti polusi udara, faktor genetik, dan lainlainnya.14,15
Perubahan patologis yang khas dariPPOK dijumpai disaluran napas besar
(centralairway), saluran napas kecil (periperal airway),parenkim paru dan vaskuler
pulmonal. Padasaluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-selradang pada permukaan
epitel.15,16 Kelenjar-kelenjaryang mensekresi mukus membesar danjumlah sel goblet
meningkat. Kelainan inimenyebabkan hipersekresi bronkus. Padasaluran napas kecil terjadi
inflamasi kronis yangmenyebabkan berulangnya siklus injury danrepair dinding saluran
napas.15-17 Proses repairini akan menghasilkan struktural remodeling daridinding saluran
napas dengan peningkatankandungan kolagen dan pembentukan jaringanikat yang
menyebabkan penyempitan lumen danobstruksi kronis saluran pernapasan.16,17
Perubahan vaskular pulmonal ditandaioleh penebalan dinding pembuluh darah
yangdimulai sejak awal perjalanan alamiah PPOK.Perubahan struktur yang pertama
kali terjadiadalah penebalan intima diikuti peningkatanotot polos dan infiltrasi
dinding pembuluh daraholeh sel-sel radang. Jika penyakit bertambahlanjut jumlah
otot polos, proteoglikan, dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluhdarah
bertambah tebal.17-19
Ada beberapa karakteristik inflamasiyang terjadi pada pasien PPOK,
yaknipeningkatan jumlah neutrofil (di dalam lumensaluran nafas), makrofag (lumen
saluran nafas,dinding saluran nafas, dan parenkim), limfositCD8+ (dinding saluran
nafas dan parenkim).Sehingga hal ini dapat dibedakan denganinflamasi yang terjadi
pada penderita asma.18,19
Dari data tersebut kecurigaan adanyaPPOK eksaserasi akut karena
terdapatpeningkatan gejala yaitu bertambahnya sesakdan bertambahnya jumlah
sputum. Dari hasilrontgen thoraks PA menunjang diagnosis PPOK, ditemukannya
batas paru hepar memanjang,sudut costophrenikus tumpul (diafragmamendatar),
hiperlusen parenkim paru, dan selaiga melebar (hiperinflasi).20,21
Berdasarkan Global Initiative forChronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
update2014, Derajat PPOK dibagi atas 4 derajat:22
1. Derajat I/PPOK ringan: Dengan atau tanpa gejala klinis (batukproduksi sputum).
Keterbatasan aliranudararingan (VEP1/KVP<70%; VEP1>80%prediksi). Pada derajat
ini, orang tersebutmungkin tidak menyadari bahwafungsiparunya abnormal.
2. Derajat II/PPOK sedang: Semakin memburuknya hambatan aliranudara
(VEP1/KVP<70%; 50%<VEP1<80%),disertai dengan adanya pemendekandalam
bernafas. Dalam tingkat ini pasienbiasanya mulai mencari pengobatan olehkarena
sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat III/PPOK berat: Ditandai dengan keterbatasan/hambatanaliran udara yang
semakin memburuk(VEP1/KVP<70%; 30%≤VEP1<50% prediksi).Terjadi sesak
nafas yang semakinmemberat, penurunan kapasitas latihandan eksaserbasi yang
berulang yangberdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat IV/PPOK sangat berat: Keterbatasan/hambatan aliran udara yangberat
(VEP1/KVP<70%; VEP1<30% prediksi)atau VEP1<50% prediksi ditambah
denganadanya gagal nafas kronik dan gagaljantung kanan.
Dari seluruh hasil pemeriksaan di ataskami menyimpulkan bahwa diagnosis
pasien iniadalah PPOK eksaserbasi akut derajat berat.Maka terapi farmakologis yang
dilakukan adalahpemberian oksigen, bronkodilator, antibiotikspektrum luas, dan
ekspektoran.
Prinsip penatalaksanaan PPOK padaeksaserbasi akut adalah mengatasi
segeraeksaserbasi yang terjadi dan mencegahterjadinya gagal napas, maka pertama
kali yangdiberikan adalah terapi oksigen. Tujuan terapioksigen adalah untuk
memperbaiki hipoksemidan mencegah keadaan yang mengancam jiwa.Sebaiknya
dipertahankan PaO2>60 mmHg atauSaturasi O2>90%, evaluasi ketat
hiperkapnoe.Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisioksigen adekuat, harus
menggunakan ventilasimekanik, bila tidak berhasil, maka dilakukanintubasi.2-5
Bronkodilator diberikan secara tunggalatau pun secara kombinasi dari ketiga
jenisbronkodilator dandisesuaikan dengan klasifikasiberat derajat penyakit. Pemilihan
bentuk obatdiutamakan adalah inhalasi(dihisap melaluisaluran nafas), pemberian
nebulizer tidakdianjurkan pada penggunaan dalam jangkapanjang.Pada PPOK derajat
berat makadiutamakan pemberian obat bronkodilator lepaslambat (slow release)
atauobat bronkhodilatorberefek panjang (long acting). Macam-macamobat
bronkodilator antara lain golongan antikolinergik, golongan agonis beta-2,kombinasi
antikolinergik dan beta-2, sertagolongan xantin.2,7,13
Pemberian mukolitik hanya diberikanterutama pada eksaserbasi akut, karena
akanmempercepatperbaikan eksaserbasi, terutamapada bronkitis kronik dengan
sputum yangkental. Tetapi, obat ini tidakdianjurkan untukpemakaian jangka panjang.
Obat yang dapatdiberikan antara lain ambroksol, karbosistein,dan gliserol iodida.16,17
Pasien diberikan antibiotik spektrumluas. Antibiotik yang digunakan untuk
linipertama adalahamoksisilin dan makrolid. Danuntuk lini kedua diberikan
amoksisilindikombinasikan dengan asam klavulanat,sefalosporin, kuinolon, dan
makrolid baru.23,24Pasien diberikan sefalosporin generasi ke IIIyakni
ceftriaxonedengan dosis 2 gram per hari.Terapi ini diberikan karena pasien
menunjukkantanda-tanda infeksi danleukositosis.
Pengobatan dengan menggunakanantibiotik telah terbukti efektif terhadap
PPOKeksaserbasi akut yang disebabkan oleh bakteri.17Pemberian antibiotika
sebaiknya berdasarkanpada mikroorganisme penyebab dan hasil ujikepekaan. Terapi
empiris perlu segera diberikansementara menunggu hasil pemeriksaan
darilaboratorium mikrobiologi. Selanjutnya barulahdilakukan penyesuaian pemberian
antibiotikauntukmendapatkan hasil yang maksimal.3,11World Health Organization
telah menetapkanantibiotik sebagai terapiempiris PPOKeksaserbasi akut yaitu
amoksisilin ataueritromisin atau kloramfenikol.24
Antibiotik golongan makrolida(termasuk erythromisin, clarithroisin,
danazithromisin) mengambat RNA pengikat proteindengan berikatan dengan subunit
50S ribosombakteri. Efek antimikroba lain yaitu antiinflamasi dan sebagai
immunomodulator. Obatini menurunkan produksi sitokin di paru. Padahampir semua
uji klinis, 90% atau lebih pasiendengan eksaserbasi PPOK yang dirawat dengan
makrolida mengalami peningkatan angka responklinis awal.24

Gambar 1. Mikroorganisme penyebab PPOK

Dalam sebuah penelitian menyebutkanbahwa Ampicillin memiliki tingkat


resistensipaling tinggi terhadap lima besar bakteripenyebab PPOK di Laboratorium
MikrobiologiRSUP Dr. M. Djamil Padang periode2010 – 2012yaitu sebanyak 76%. 18
Tingkat resistensi yangtinggi terhadap bakteri penyebab PPOK tersebutjuga
didapatkanberturut-turut terhadapSulfamethroxazole dan Trimethroprime (71%)dan
Erythromycin (69%). Resistensiterhadapantibiotika ini disebabkan karena antibiotik
inimerupakan antibiotik lini pertama. Antibiotikalini pertama merupakan antibiotika
yangpertama kali dipakai untuk mengobati suatuinfeksi. Pemakaian antibiotika yang
irasionaljuga menyebabkan tingginya tingkat resistensiterhadap antibiotik ini. 19
Sehingga pada pasienini diberikan terapi antibiotik golongansefalosporin generasi III
yakni ceftriaxonesebagai pengobatan lini kedua.
BAB 5
PENUTUP

Penyakit paru obstrutif kronik (PPOK)adalah penyakit paru kronik yang


ditandai olehhambatan aliran udara di saluran napas yangbersifat progressif
nonreversibel atau reversibelparsial, biasanyadisebabkanoleh proses inflamasi paru
yang disebabkan olehpajanan gas berbahaya yang dapat memberikangambaran
gangguan sistemik. PPOK dapat terjadi eksaserbasi akutyang merupakan perburukan
gejala pernapasandibandingkan dengan kondisi sebelumnya yangterjadi secara akut.
Eksaserbasi akut PPOK palingsering disebabkan oleh infeksi tracheobronchialtree,
yakni Haemophilus influenzae,Streptococcus pneumoniae, dan
Moraxellacatarrhalis.Pengobatan antibiotik terbukti efektifpada PPOK eksaserbasi
akut. Antibiotik yangdigunakan sebagai terapi empiris PPOKeksaserbasi akut adalah
amoksisilin daneritromisin.
o
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initial obstructive Lung Disease. 2020. Global strategy for diagnosis,
management, and prevention of COPD. USA.
2. World health organization(2016).Chronic respiratory disease.Diakses pada tanggal 13
May 2020 dari http:// www.who.int/respiratory/copd/burden/en.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016. Pedoman dan PenatalaksanaanPenyakit
Paru Obstruktif Kronik di Indonesia, Jakarta.
4. Soeroto AY, Suryadinata H, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, Ina J Chest Crit and
Emerg Med, Juni-Agustus 2014;1(2):83-88.

Anda mungkin juga menyukai