Oleh:
PRESEPTOR:
Preseptor
Mengetahui
2.1 Defenisi
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun 2020
mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi kronis
yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya keterbatasan/hambatan aliran
udara/alveolar yang disebabkan oleh paparan terhadap partikel berbahaya, bersifat persisten
dan biasanya progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi. 1 Hambatan
aliran napas kronik pada PPOK adalah merupakan gabungan dari penyakit saluran napas
kecil dan destruksi parenkhim dengan kontribusi yang berbeda antar pasien ke pasien. Pada
kenyataannya, PPOK merupakan sebuah kelompok penyakit dengan gejala klinis yang
hampir serupa dengan bronkitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis.
Hambatan jalan napas yang terjadi pada penderita PPOK disebabkan oleh penyakit pada
saluran napas dan rusaknya parenkim paru.1
Eksaserbasi PPOK didrfinisikan sebagai memburuknya gejala pernapasan akut yang
membutuhkan terapi tambahan.1 Eksaserbasi PPOK merupakan kejadian penting dalam
penanganan PPOK, karena akan memperburuk status kesehatan, angka perawatan dan
rawatan ulang, dan progresifitas penyakitnya. Eksaserbasi PPOK adalah kejadian yang
kompleks dan biasanya berkaitan dengan peningkatan inflamasi saluran pernafasan,
peningkatan produksi mukus, dan terperangkapnya udara yang mencolok. Perubahan-
perubahan ini menyebabkan peningkatan dyspnea yang merupakan gejala utama dari
kejadian eksaserbasi.1
2.2 Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode survei, kriteria
diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap studi. Berdasarkan data dari
studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin
(Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar
14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%. Pada studi
BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah
10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan. Data di
Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah
sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih
tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%).4
2.3 Diagnosis
Gejala
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas. Sesak
napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena terganggunya
aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi komplain ketika FEV1
<60% prediksi. Pasien biasanya mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan
usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas, gasping, dan air hunger. Batuk bisa
muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal
perkembangan PPOK. Gejala ini juga merupakan gejala klinis yang pertama kali
disadari oleh pasien. Batuk kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa adanya dahak.
Faktor risiko PPOK berupa merokok, genetik, paparan terhadap partikel berbahaya,
usia, hiperreaktivitas bronkus, status sosioekonomi, dan infeksi.4
Riwayat Penyakit
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK, maka
riwayat penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya:
o Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan lingkungan
ataupun pekerjaan.
o Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis, polip
nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan penyakit respirasi
lainnya.
o Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
o Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi.
o Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.
o Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan aktivitas,
pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.
o Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien
o Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan merokok.4
Pemeriksaan Fisik.
Pada awal perkembangannya, pasien PPOK tidak menunjukkan kelainan saat
dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat biasanya didapatkan bunyi
mengi dan ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan fisik. Tanda hiperinflasi
seperti barrel chest juga mungkin ditemukan. Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori
pernapasan, dan pursed lips breathing biasa muncul pada pasien dengan PPOK
sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis seperti muscle wasting, kehilangan
berat badan, berkurangnya jaringan lemak merupakan tanda-tanda saat progresifitas
PPOK. Clubbing finger bukan tanda yang khas pada PPOK, namun jika ditemukan
tanda ini maka klinisi harus memastikan dengan pasti apa penyababnya.
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis PPOK
seperti yang sudah dijelaskan, dimana hasil rasio pengukuran FEV1/FVC < 0,7.
Selain spirometri, bisa juga dilakukan Analisis Gas Darah untuk mengetahui kadar pH
dalam darah, radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis
PPOK, dan Computed Tomography (CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya
emfisema pada alveoli. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa kekurangan α-1
antitripsin dapat diperiksa pada pasien PPOK maupun asma.4
Spirometri
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan
spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.
Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara
paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)), kapasitas udara
yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume in one second
(FEV1)), dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC).1 Pada tabel 1
diperlihatkan klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien
PPOK.1
2.4. Manajemen penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi di Layanan Primer
Penatalaksaan eksaserbasi PPOK diklasifikasikan berdasarkan:
Mild (Ringan) yang ditangani hanya dengan bronkodilator kerja singkat (SABDs).
Moderate (Sedang) yang ditangani dengan SABDs ditambah dengan antibiotik dan/atau
kortikosteroid oral.
Severe (Berat) dimana pasien memerlukan perawatan dirumah sakit atau lansung datang
keIGD. Eksaserbasi yang berat dapat juga dikaitkan dengan gagal nafas akut.
Eksaserbasi dapat dikaitkan dengan peningkatan produksi sputum. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa perubahan warna sputum menjadi purulen menunjukkan terjadinya
peningkatan jumlah bakteri didalam sputum. Hal ini mendukung dan berhubungan dengan
konsep peningkatan eosinophil dalam saluran nafas, paru,dan darah dalam jumlah yang
signifkan pada pasien PPOK. Namun pada sebagian pasien dengan eksaserbasi PPOK, jumlah
eosinophil meningkat bersama dengan neutrophil dan sel inflamasi lainnya. Adanya sputum
eosinophilia berkaitan dengan kerentananan terhadap infeksi virus. Hal ini berarti bahwa
eksaserbasi berkaitan dengan peningkatan eosinophil dalam sputum atau darah yang
mungkin lebih responsif terhadap steroid sistemik, walaupun masih dibutuhkan penelitian
untuk menguji hipotesa ini.1
Selama eksaserbasi PPOK, gejala biasanya timbul selama7-10 hari,namun pada
beberapa kasus dapat lebih lama. Setelah 8 minggu, 20% pasien belum kembali ke kondisi
sebelum eksaserbasi. Diketahui dengan pasti bahwa eksaserbasi PPOK berkontribusi dalam
perburukan penyakit. Perburukan penyakit bahkan semakin besar kemungkinan terjadinya
bila proses penyembuhan dari PPOK berjalan lambat.1
Tujuan dari terapi eksaserbasi PPOK adalah meminimalkan dampak negatif dari
kejadian eksaserbasi saat ini dan mencegah terjadinya kejadian lanjutannya. Berdasarkan
tingkat keparahan dari eksaserbasi dan/atau keparahan penyakit dasar, kejadian eksaserbasi
dapat ditanggulangi dengan pasien rawat jalan ataupun rawat inap. Lebih dari 80% kasus
eksaserbasi ditangani dengan rawat jalan dengan menggunakan obat-obatan termasuk
bronkodilator, kortikosteroid , dan antibiotik.1
Indikasi penilaian kebutuhan rawat inap selama eksaserbasi PPOK ditinjukkan dalam
Tabel2.1.
Tabel 2.1 Indikasi penilaian rawat inap
Indikasi Penilaian Rawat Inap
● Gejala berat seperti perburukan dispnea saat israhat yang tiba-tiba,
meningkatnya laju pernapasan, penurunan saturasi oksigen, confussion,
drowsiness
● Gagal pernapasan akut
● Onset baru dari beberapa gejala, seperti sianosis dan edema perifer
● Kegagalan eksaserbasi dalam merespon terapi medis inisial
● Ada komorbiditas, seperti gagal jantung, terjadinya aritmia, dan lain-lain
● Dukungan rumah yang tidak memadai
Ketika pasien dengan eksaserbasi PPOK datang ke IGD, mereka seharusnya diberikan
oksigen tambahan dan dilakukan penilaian apakah kejadian eksaserbasi ini mengancam
nyawa atau apakah peningkatan usaha pernafasan atau perubahan pertukaran gas
memerlukan pertimbangan ventilasinon-invasif. Jika ya, pelayan kesehatan harus
mempertimbangkan rawat inap dibagian paru ataupun intensive care rumah sakit. Jika tidak,
pasien dapat ditangani di IGD atau dibangsal umum. Sebagai tambahan terapi farmakologi,
penanganan dirumah sakit dari eksaserbasi termasuk bantuan pernafasan (terapi oksigen,
ventilasi). Penanganan kasus eksaserbasi berat, namun tidak mengancam nyawa dibahas
pada Tabel 2.2.
Tampilan klinis dari eksaserbasi PPOK beragam, oleh karena itu direkomendasikan
pada pasienyang dirawat, keparahan eksaserbasi harus berdasarkan padatan dan klinis pasien
dan menyarankan klasifikasi dibawah ini.
- Tanpa gagal nafas: Jumlah pernafasan: 20-30 kali permenit; tanpa penggunaan
otot pernafasan aksesoris; tanpa perubahan status mental; hipoksemia membaik
dengan pemberian oxygen melalui masker Venturi dengan 28-35%oxygen
(FiO2); tanpa peningkatan PaCO2.
- Gagal nafas akut–yang tidak mengancam nyawa: Jumlah pernafasan: >30 kali
permenit; menggunakan otot pernafasan aksesoris; tanpa perubahan status
mental; hipoksemia membaik dengan pemberian oxygen melalui masker Venturi
dengan 25-30% FiO2; hiperkarbia atau peningkatan PaCO2 dibandingkan nilai
dasar atau meningkatan 50-60 mmHg.
- Gagal nafas akut–yang mengancam nyawa: Jumlah pernafasan: >30kali
permenit; menggunakan otot pernafasan aksesoris; perubahan akut status mental;
hipoksemia tidak membaik dengan pemberian oxygen melalui masker Venturi
atau memerlukan FiO2 >40%; hiperkarbia atau peningkatan PaCO2
dibandingkan nilai dasar atu meningkatan>60 mmHg atau adanya asidosis (pH ≤
7.25).1
Prognosis jangka panjang setelah rawat inap pada eksaserbasi PPOK adalah buruk,
dengan tingkat mortalitas dalam 5 tahun sekitar 50%. Faktor-faktor yang berhubungan
lansung dengan outcome yang buruk termasuk usia tua, index masa tubuh yang rendah,
komorbid (spt. Penyakit kardiovaskular atau kanker paru), riwayat rawat inap sebelumnya
untuk eksaserbasi PPOK, indeks keparahan klinis eksaserbasi, dan kebutuhan terapi
oksigen jangka panjang setelah keluar rumah sakit. Pasien-pasien ini memiliki tingkat
kejadian dan keparahan gejala pernafasan yang lebih tinggi, kualitas hidup yang lebih buruk,
fungsi paru yang lebih buruk, kapasitas olahraga yang lebih rendah, densitas paru lebih
rendah, dan dinding bronkus yang menebal pada CT-scan dan juga risiko mortalitas yang
lebih tinggi pada eksaserbasi akut PPOK.1
d. Terapi Tambahan
Tergantung pada kondisi klinis pasien, cairan yang tepat keseimbangan, penggunaan
diuretik ketika diindikasikan secara klinis, antikoagulan, pengobatan komorbiditas dan aspek
nutrisi harus dipertimbangkan. Setiap saat, penyedia layanan kesehatan harus sangat
menegakkan kebutuhan untuk berhenti merokok. Mengingat bahwa pasien dirawat di rumah
sakit dengan COPD eksaserbasi berada pada peningkatan risiko trombosis vena dalam dan
paru proca, tindakan profilaksis untuk tromboemboli harus dilembagakan.1
High flow nasal cannula (HFNC). Pada pasien dengan gagal napas hipoksemik akut, terapioksigen
aliran tinggi oleh kanula nasal ( High flow nasalcannula/HFNC) dapat menjadialternatifterapi
oksigen standar atau ventilasi tekanan positif non invasif; beberapa penelitian telahmenunjukkan
bahwa HFNC dapat mengurangi kebutuhan untuk intubasi atau kematian pada pasiendengan gagal
napas hipoksemik akut (ARF). Penelitian sampai saat ini dilakukan pada pasien PPOKdengan
penyakit yang mendasari yang sangat parah yang membutuhkan oksigen tambahan; secaraacak
percobaan cross-over menunjukkan bahwa HFNC meningkatkan oksigenasi dan ventilasi,
danpenurunan hiperkarbia. HFNC cenderung mengurangi tingkat intubasi, tetapi tidak
signifikansistatistik dibandingkan dengan NIV ( Noninvasive ventilation), dan tidak berpengaruh
pada mortalitas.
Bantuan Ventilasi. Beberapa pasien perlu untuk segera masuk ke unit perawatan pernapasanatau
unit perawatan intensif (ICU). Dukungan ventilasi dalam eksaserbasi dapat diberikandengan ventilasi
noninvasive (kanul hidung atau sangkup wajah) atau invasive (tabung oral-trakealatau trakeostomi).
Stimulant pernapasan tidak direkomendasikan untuk kegagalan pernapasan akut.Indikasi penggunaan
ventilasi non invasif dan invasive dapat dilihat pada gambar 2.1 dan 2.1
Gambar 2.1 Indikasi penggunaan ventilasi non invasif.
Gambar 2.2 Indikasi penggunaan ventilasi invasif
Status Generalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Kulit : Turgor kulit baik, ikterik tidak ada
Leher : JVP 5+1 cmH2O, tidak terdapat deviasi trakea
KGB : Tidak ada perbesaran KGB
Thoraks
o Paru depan :
Inspeksi : Barrel chest (+), dinamis kiri=kanan,
Sela iga sedikit melebar,
Tulang iga dan sternum agak cembung,
Retraksi otot pernapasan (+).
Palpasi : Fremitus kiri=kanan, lemah
Perkusi : Hipersonor pada hemithorax kiri dan kanan.
Batas paru-hepar setinggi RIC IV LMCD
Auskultasi : ekspirasi memanjang, lemah, , Wh +/+, Rh -/-
o Paru belakang :
Inspeksi : Statis kiri=kanan, dinamis kiri=kanan,
Palpasi : Fremitus kiri=kanan, lemah
Perkusi : Hipersonor pada hemithorax kiri dan kanan.
Auskultasi : ekspirasi memanjang, lemah, , Wh +/+, Rh -/-
o Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba LMCS RIC V
Perkusi : Batas atas : linea parasternalis sinistra RIC II
Batas kanan : linea sternalis dextra RIC IV
Batas kiri : LMCS RIC V
Auskultasi : S1 reguler, S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) N
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : ekstremitas atas : akral hangat, edema (-/-), clubbing finger
(-/-), ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-/-), clubbing finger (-/-)
3.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin
Hb : 12,7 g/dl (N: 13,0-16,0)
Leukosit : 11.000 /mm3 (N: 5.000-10.000)
Trombosit : 202.000 /mm3 (N: 150.000-400.000)
Ht : 37% (N: 40,0-48,0)
Kimia klinik
SGPT : 63 u/l (N: <38)
SGOT : 29 u/l (N: <41)
Ureum : 71 mg/dl (N: 10-50)
Kreatinin : 0,7 mg/dl (N: 0,8-1,3)
Elektrolit
Natrium : 138 mmol/L (N: 136-145)
Kalium : 3,6 mmol/L (N: 3,5-5,1)
Klorida : 101 mmol/L (N: 97-111)
Kesan : Leukositosis, SGPT meningkat, ureum meningkat
Pemeriksaan Rontgen
Rencana pengobatan :
o IVFD NaCl 0,9%
o O2 3 L/m nasal kanul
o Nebu Combivent (salbutamol sulfat + ipatropium bromida) 3x1
o Drip aminofilin 1 ampul dalam 500 cc RL, 20 tpm
o Inj dexametasone 3x5 mg
o Ceftriaxone 2 gr/hari
o Ambroxol syr 3x2 cth
Rencana pemeriksaan ;
o AGD
o Spirometri (jika sudah stabil)
BAB 4
PEMBAHASAN
Gejala dan tanda PPOK sangatbervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan,sampai gejala yangberat. Namun, diagnosisPPOK dapat ditegakkan berdasarkan
gambaranklinis dan pemeriksaan penunjang.Padagambaran klinis, bila ditemukan sesak
nafasyang kronik dan progresif, batuk disertaiproduksi sputumkronik serta usia tua
denganriwayat terpajan oleh faktor-faktor risiko. Makadiagnosis dari PPOK
harusdipertimbangkan, dankemudian dikonfirmasi dengan melakukanspirometri.2-6
Pada pasien ini, laki-laki usia 77 tahun,dengan keluhan sesak saat beraktivitas, batuk-
batukdisertai dahak berwarna kuning kehijauan,riwayat merokok sejak usia 10 tahun dan
baruberhenti 3 tahun lalu dengan rata-ratamenghabiskan kurang lebih 10 batang per
hari(indeks Brinkman: 640 atau berat). Faktor risikoPPOK bergantung pada jumlah
keseluruhan daripartikel-partikel iritatif yang terinhalasi olehseseorang selama hidupnya
antara lain asaprokok, polusi tempat kerja berupa bahan kimiaberbahaya, infeksi saluran
nafas berulang, statussosio ekonomi dan nutrisi, jenis kelamin (laki-lakilebih banyak
dibanding perempuan), danfaktorgenetik. Faktor kompleks genetik denganlingkungan
menjadi salah satu penyebabterjadinya PPOK, meskipun penelitianFramingham pada
populasi umum menyebutkanbahwa faktor genetik memberi kontribusi yangrendah dalam
penurunan fungsi paru.9-13
World Health Organizationmemperkirakan bahwa menjelang tahun 2020prevalensi
PPOK akanmeningkat. Akibatnya,PPOK sebagai penyebab penyakit terseringperingkatnya
akan meningkat dari ke-12menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematianakan meningkat dari
ke-6 menjadi ke-3.Berdasarkan survei kesehatan rumah tanggaDepartemen Kesehatan
Republik Indonesia padatahun 1992, PPOK bersama asma bronkialmenduduki peringkat ke-6
di Indonesia.Merokok merupakan faktor risiko terpentingpenyebab PPOK di samping faktor
risiko lainnyaseperti polusi udara, faktor genetik, dan lainlainnya.14,15
Perubahan patologis yang khas dariPPOK dijumpai disaluran napas besar
(centralairway), saluran napas kecil (periperal airway),parenkim paru dan vaskuler
pulmonal. Padasaluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-selradang pada permukaan
epitel.15,16 Kelenjar-kelenjaryang mensekresi mukus membesar danjumlah sel goblet
meningkat. Kelainan inimenyebabkan hipersekresi bronkus. Padasaluran napas kecil terjadi
inflamasi kronis yangmenyebabkan berulangnya siklus injury danrepair dinding saluran
napas.15-17 Proses repairini akan menghasilkan struktural remodeling daridinding saluran
napas dengan peningkatankandungan kolagen dan pembentukan jaringanikat yang
menyebabkan penyempitan lumen danobstruksi kronis saluran pernapasan.16,17
Perubahan vaskular pulmonal ditandaioleh penebalan dinding pembuluh darah
yangdimulai sejak awal perjalanan alamiah PPOK.Perubahan struktur yang pertama
kali terjadiadalah penebalan intima diikuti peningkatanotot polos dan infiltrasi
dinding pembuluh daraholeh sel-sel radang. Jika penyakit bertambahlanjut jumlah
otot polos, proteoglikan, dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluhdarah
bertambah tebal.17-19
Ada beberapa karakteristik inflamasiyang terjadi pada pasien PPOK,
yaknipeningkatan jumlah neutrofil (di dalam lumensaluran nafas), makrofag (lumen
saluran nafas,dinding saluran nafas, dan parenkim), limfositCD8+ (dinding saluran
nafas dan parenkim).Sehingga hal ini dapat dibedakan denganinflamasi yang terjadi
pada penderita asma.18,19
Dari data tersebut kecurigaan adanyaPPOK eksaserasi akut karena
terdapatpeningkatan gejala yaitu bertambahnya sesakdan bertambahnya jumlah
sputum. Dari hasilrontgen thoraks PA menunjang diagnosis PPOK, ditemukannya
batas paru hepar memanjang,sudut costophrenikus tumpul (diafragmamendatar),
hiperlusen parenkim paru, dan selaiga melebar (hiperinflasi).20,21
Berdasarkan Global Initiative forChronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
update2014, Derajat PPOK dibagi atas 4 derajat:22
1. Derajat I/PPOK ringan: Dengan atau tanpa gejala klinis (batukproduksi sputum).
Keterbatasan aliranudararingan (VEP1/KVP<70%; VEP1>80%prediksi). Pada derajat
ini, orang tersebutmungkin tidak menyadari bahwafungsiparunya abnormal.
2. Derajat II/PPOK sedang: Semakin memburuknya hambatan aliranudara
(VEP1/KVP<70%; 50%<VEP1<80%),disertai dengan adanya pemendekandalam
bernafas. Dalam tingkat ini pasienbiasanya mulai mencari pengobatan olehkarena
sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat III/PPOK berat: Ditandai dengan keterbatasan/hambatanaliran udara yang
semakin memburuk(VEP1/KVP<70%; 30%≤VEP1<50% prediksi).Terjadi sesak
nafas yang semakinmemberat, penurunan kapasitas latihandan eksaserbasi yang
berulang yangberdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat IV/PPOK sangat berat: Keterbatasan/hambatan aliran udara yangberat
(VEP1/KVP<70%; VEP1<30% prediksi)atau VEP1<50% prediksi ditambah
denganadanya gagal nafas kronik dan gagaljantung kanan.
Dari seluruh hasil pemeriksaan di ataskami menyimpulkan bahwa diagnosis
pasien iniadalah PPOK eksaserbasi akut derajat berat.Maka terapi farmakologis yang
dilakukan adalahpemberian oksigen, bronkodilator, antibiotikspektrum luas, dan
ekspektoran.
Prinsip penatalaksanaan PPOK padaeksaserbasi akut adalah mengatasi
segeraeksaserbasi yang terjadi dan mencegahterjadinya gagal napas, maka pertama
kali yangdiberikan adalah terapi oksigen. Tujuan terapioksigen adalah untuk
memperbaiki hipoksemidan mencegah keadaan yang mengancam jiwa.Sebaiknya
dipertahankan PaO2>60 mmHg atauSaturasi O2>90%, evaluasi ketat
hiperkapnoe.Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisioksigen adekuat, harus
menggunakan ventilasimekanik, bila tidak berhasil, maka dilakukanintubasi.2-5
Bronkodilator diberikan secara tunggalatau pun secara kombinasi dari ketiga
jenisbronkodilator dandisesuaikan dengan klasifikasiberat derajat penyakit. Pemilihan
bentuk obatdiutamakan adalah inhalasi(dihisap melaluisaluran nafas), pemberian
nebulizer tidakdianjurkan pada penggunaan dalam jangkapanjang.Pada PPOK derajat
berat makadiutamakan pemberian obat bronkodilator lepaslambat (slow release)
atauobat bronkhodilatorberefek panjang (long acting). Macam-macamobat
bronkodilator antara lain golongan antikolinergik, golongan agonis beta-2,kombinasi
antikolinergik dan beta-2, sertagolongan xantin.2,7,13
Pemberian mukolitik hanya diberikanterutama pada eksaserbasi akut, karena
akanmempercepatperbaikan eksaserbasi, terutamapada bronkitis kronik dengan
sputum yangkental. Tetapi, obat ini tidakdianjurkan untukpemakaian jangka panjang.
Obat yang dapatdiberikan antara lain ambroksol, karbosistein,dan gliserol iodida.16,17
Pasien diberikan antibiotik spektrumluas. Antibiotik yang digunakan untuk
linipertama adalahamoksisilin dan makrolid. Danuntuk lini kedua diberikan
amoksisilindikombinasikan dengan asam klavulanat,sefalosporin, kuinolon, dan
makrolid baru.23,24Pasien diberikan sefalosporin generasi ke IIIyakni
ceftriaxonedengan dosis 2 gram per hari.Terapi ini diberikan karena pasien
menunjukkantanda-tanda infeksi danleukositosis.
Pengobatan dengan menggunakanantibiotik telah terbukti efektif terhadap
PPOKeksaserbasi akut yang disebabkan oleh bakteri.17Pemberian antibiotika
sebaiknya berdasarkanpada mikroorganisme penyebab dan hasil ujikepekaan. Terapi
empiris perlu segera diberikansementara menunggu hasil pemeriksaan
darilaboratorium mikrobiologi. Selanjutnya barulahdilakukan penyesuaian pemberian
antibiotikauntukmendapatkan hasil yang maksimal.3,11World Health Organization
telah menetapkanantibiotik sebagai terapiempiris PPOKeksaserbasi akut yaitu
amoksisilin ataueritromisin atau kloramfenikol.24
Antibiotik golongan makrolida(termasuk erythromisin, clarithroisin,
danazithromisin) mengambat RNA pengikat proteindengan berikatan dengan subunit
50S ribosombakteri. Efek antimikroba lain yaitu antiinflamasi dan sebagai
immunomodulator. Obatini menurunkan produksi sitokin di paru. Padahampir semua
uji klinis, 90% atau lebih pasiendengan eksaserbasi PPOK yang dirawat dengan
makrolida mengalami peningkatan angka responklinis awal.24
1. Global Initial obstructive Lung Disease. 2020. Global strategy for diagnosis,
management, and prevention of COPD. USA.
2. World health organization(2016).Chronic respiratory disease.Diakses pada tanggal 13
May 2020 dari http:// www.who.int/respiratory/copd/burden/en.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016. Pedoman dan PenatalaksanaanPenyakit
Paru Obstruktif Kronik di Indonesia, Jakarta.
4. Soeroto AY, Suryadinata H, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, Ina J Chest Crit and
Emerg Med, Juni-Agustus 2014;1(2):83-88.