Anda di halaman 1dari 5

PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER, DAN TERSIER

PADA KASUS PENYAKIT PPOK

Dosen Pengampu :

Supriliyah P, S,Kep.,Ns.,M.Kep

Di Buat Oleh :

Edvin Zuhri Akhirul Azal

(201501044)

PROGAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PEMKAB JOMBANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
Pengertian
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah peradangan pada paru-paru yang
berkembang dalam jangka panjang. PPOK umumnya ditandai dengan sulit bernapas,
batuk berdahak, dan mengi (bengek).
Dua kondisi yang paling sering berkembang menjadi PPOK adalah bronkitis
kronis dan emfisema. Pada bronkitis kronis, kerusakan terjadi pada saluran bronkus,
sedangkan pada emfisema kerusakan terjadi pada alveolus.
PPOK lebih sering menyerang orang berusia paruh baya yang merokok. Seiring
waktu, penyakit ini akan makin memburuk dan berisiko menyebabkan penderitanya
mengalami penyakit jantung dan kanker paru-paru.
Selain itu, penyakit paru obstruktif kronis juga bisa meningkatkan risiko
penderitanya terkena COVID-19. Menurut sebuah penelitian, orang yang menderita
PPOK memiliki risiko 5 kali lipat lebih tinggi terkena COVID-19 dibandingkan dengan
orang yang tidak menderita PPOK.

Pencegahan Primer
a) Pendidikan mengenai PPOK Hal ini bertujuan untuk menginformasikan faktor
risiko PPOK dan faktor yang dapat memperparah penyakit kepada orang yang
berisiko dan keluarganya agar dapat menghindari faktor pencetus tersebut.
Kegiatan yang dapat dilakukan seperti penyuluhan di lingkungan masyarakat, di
lingkungan kerja terutama lingkungan yang memiliki risiko tinggi terhadap PPOK
seperti daerah industri yang mengandung banyak partikel berbahaya, dan
lingkungan sekolah untuk berupa pencegahan dini untuk tidak merokok karena
ini merupakan faktor pencetus yang paling utama.
b) Mengurangi paparan iritan lingkungan Iritan lingkungan tersebut antara lain asap
rokok, polutan tempat kerja, dan udara dingin. Rokok merupakan faktor utama
pencetus PPOK. Selain itu rokok juga dapat memperparah keadaan penderita.
Untuk itu rokok harus dihindari, sekitar 10%-15% perokok menderita PPOK.
Angka kematian PPOK pada perokok juga lebih tinggi dibanding yang bukan
perokok. Polutan juga dapat memperberat kondisi penderita PPOK, selain
bersifat iritan terhadap saluran pernapasan. Penggunaan alat pelindung diri
(APD) sangat penting dalam mengurangi paparan polutan. Udara dingin
berhubungan dengan peningkatan reaktivitas saluran napas pada penderita
asma bronkial.
c) Menjaga berat badan ideal Kondisi berat badan yang berlebih dapat
mengakibatkan otot-otot pernapasan harus bekerja lebih keras, diafragma
terdorong ke atas dan menekan paru bagian bawah, sehingga mengakibatkan
gangguan keseimbangan ventilasi perfusi. Menjaga berat badan agar tetap ideal
perlu dilakukan untuk mengurangi beban kerja paru, selain untuk menghindari
risiko timbulnya penyakit lainnya.
d) d. Predisposisi genetik Hal ini berkaitan dengan riwayat keluarga yang menderita
emfisema,mengingat adanya kelainan defisiensi antitripsin yang diturunkan
secara autosomal.Faktor risiko yang masih dapat dicegah seperti merokok,
polutan, dan yang lainnya untuk dihindari.
e) Nutrisi yang cukup Wanita hamil perlu mengonsumsi gizi yang cukup agar
pembentukan organ bayi dapat terbentuk dengan sempurna. Karena
pembentukan organ paru yang tidak sempurna sewaktu bayi menjadi salah satu
faktor risiko PPOK.

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan diagnosa dini pada penderita agar dengan
cepat dapat ditangani sehingga tidak semakin buruk dan bahkan terkena komplikasi.
Bagi yang berada di lingkungan polutan tinggi agar mengurangi paparan polutan
maupun polusi udara. Penderita yang merupakan perokok untuk mengurangi
ataupun menghindari paparan rokok agar kondisi penderita tidak semakin parah.
Vaksinasi harus dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi
eksaserbasi.Diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.

1) Anamnesa Hasil anamnesa diperoleh umumnya penderita berusia pertengahan


keatas, riwayat merokok atau bekas perokok, pernah terpajan dengan bahan
iritan seperti asap rokok, polutan bahan kimia beracun, dan polusi udara dalam
jangka waktu yang lama, serta memiliki riwayat keluarga penderita emfisema.
Hal ini berkaitan dengan defisiensi antitripsin yang dapat diturunkan. Adanya
infeksi saluran napas berulang sewaktu kecil.Anamnesa ulang sangat
bermanfaat bagi penderita yang memeriksakan diri kembali untuk melihat
progresivitas penyakit dan respon pengobatan.
2) Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda hiperinflasi paru,
penggunaan otot napas sekunder, perubahan pola napas dan suara napas yang
abnormal (mengi). Ada beberapa tanda klinis yang dicurigai penderita PPOK
yaitu purse lipsbreathing (mulut setengah terkatup), barrel chest ( diameter
antero-posterior dan transversal sebanding), pelebaran sela iga, bila terjadi
gagal jantung kanan terlihat denyut nadi jugularis di leher dan edema tungkai,
penampilan pink buffer (kulit kemerahan, badan kurus, pernapasan purse lips
breathing) tanda ini khas pada penderita emfisema, dan blue bloater (gemuk
sianosis, adanya edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer) merupakan tanda khas pada penderita bronkitis kronis.
3) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang digunakan untuk menunjang
pemeriksaan lainnya untuk menentukan diagnosis PPOK, antara lain:
1) 1 Dengan menggunakan alat spirometri. Obstruksi ditentukan dengan melihat
nilai Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama (VEP1) prediksi dan Arus Puncak
Ekspirasi (APE).
2) 2 Pemeriksaan radiologi (foto toraks) dapat dilihat kelainan paru hiperflasi
atau hiperflusen, diafragma mendatar, corakan bronkavaskuler meningkat,
terdapat bulla, dan jantung seperti pendulum.
3) 3 Pemeriksaan darah rutin yaitu pemeriksaan Hemoglobin (Hb), Hematokrit
(Ht), dan leukosit. Apabila ditemukan polisitemia menunjukkan telah terjadi
hipoksia kronik.
4) 4 Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat terjadinya eksaserbasi agar
dapat ditangani dengan pemiihan antibiotik.infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK. Derajat
keparahan PPOK berdasarkan hasil nilai spirometri VEP1 dan APE dibagi
atas:
1) Stadium 1 (ringan) : ≥80% (dengan adanya gejala)
2) Stadium 2 (sedang) : 50 - 79%
3) Stadium 3 (berat) : 30 - 49%
4) Stadium 4 (sangat berat) : < 30 % atau 50% dengan gagal napas.

Dinyatakan menderita PPOK apabila ditemukan anamnesis penderita terpapar


dengan faktor risiko, serta adanya batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas
terutama saat melakukan aktivitas pada usia pertengahan ke atas.1 Pengobatan
yang dapat diberikan antara lain:

1. Terapi B2-agonis dan anti-kolinergi. Keduanya merupakan bronkodilator yang


dapat menurangi gejala dan tingkat keparahan eksaserbasi.
2. Inhalasi glukokortikosteroid, tujuannya sama dengan bronkodilator yaitu
mengurangi gejala dan frekuensi eksaserbasi. Namun penggunaan obat ini
dapat meningkatkan risiko katarak maupun glukoma. Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan mata secara teratur bagi pengguna obat ini.
3. Teofilin, berguna untuk mengontrol gejala PPOK. Namun karena
pertimbangan efek samping, penderita direkomendasikan menggunakan
inhalasi bronkodilator.
4. Terapi oksigen digunakan bagi penderita yang mengalami gagal napas.
Terbukti terapi ini tidak memiliki efek yang berbahaya dalam jangka panjang.
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) merupakan
program yang dilakukan pihak rumah sakit kepada penderita dan keluarga
penderita agar mereka berperan dalam penyembuhan dan pencegahan suatu
penyakit. Hal ini merupakan kerjasama antara petugas kesehatan dengan
penderita dan keluarga penderita.

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi
keterbatasan penderita PPOK. Hal- hal yang dapat dilakukan adalah:

1) Latihan fisik Latihan ini bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh
terutama otot pernapasan pada saat beraktivitas.
2) Terapi psikososial Terapi ini meliputi dukungan dari pihak keluarga kepada
penderita, konsultasi masalah yang dialami penderita, karena penderita PPOK
biasanya mengalami depresi dan kecemasan sehingga perlu diberikan motivasi
oleh orang-orang yang dekat dengan penderita.
3) Terapi nutrisi Penurunan berat badan dan pengecilan otot terjadi pada 20-35%
penderita PPOK. Pada tahap lanjut akan terjadi gangguan keseimbangan energi
dengan protein. Hal yang perlu dilakukan adalah pengaturan pola makan bagi
penderita. Akan tetapi harus diikuti dengan berolahraga.

Daftar Pustaka

https://123dok.com/document/dy4l4rrz-karakteristik-penderita-penyakit-obstruksi-kronis-dirawat-
medan-tahun.html

Anda mungkin juga menyukai