PENYAKIT PPOK
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi PPOK
2. Mengetahui pathogenesis dan patologi PPOK
3. Mengetahui klasifikasi PPOK
4. Mengetahui tatalaksana PPOK (Farmakologi & Non-Farmakologi)
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait PPOK secara mandiri dengan menggunakan metode
SOAP.
1
2.2 Patogenesis PPOK
Pada bronchitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia
sel goblet, inflamasi, hiperbrtreofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiulus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomic dibedakan tiga jenis emfisema:
a. Emfisema sentrasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasan merokok
lama.
b. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata
dan terbanyak pada paru bagian bawah.
c. emfisema asinar distal (parseptal), lebih banyak mengenai saluran nafas
distal, duktus dan sakus alveolar. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.
Obstruksi saluran nafas pada PPOK bersifat ifersibel dan terjadi karena perubahan
structural pada salura nafas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
2
2.3 Etiologi PPO
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan
lingkungan antara lain adalah :
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih
besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab
dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK.
Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai
merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun
demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang
yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok
tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar
debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene
diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di
tempat selain yang disebutkan di atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan
adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap
kendaraan bermotor, dll, maupun polusoi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu
inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya
kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur
dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
3
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain :
a. Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien
yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita
gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin.
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi
PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya
PPOK,misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau
infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang
yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah,
ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.
d. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh
hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya
ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif.
4
FEV1/FVC < 70%; 30%< FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi
berulang yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada
III
tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai
Berat
dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit.
FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% plus kegagalan
respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
IV
walaupun FEV1 < 30%, tapi pasien mengalami kegagalan
Sangat
pernafasan atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale . Pada
Berat
tahap ini, kualitas hidup sangat terganggu dan serangan mungkin
mengancam jiwa.
Keterangan :
Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV dan FVC
FEV1 ((Forced Expiratory Volume in 1 s) adalah volume udara yang pasien dapat
keluarkan secara paksa dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1 pada
pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan.
FVC (Forced Vital Capacity).adalah volume maksimum total udara yang pasien dapat
hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.
5
3. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan.
A. Terapi farmakologi
1. Terapi Menggunakan Obat-Obatan
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting).
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
6
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pasca bronkodilator
meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
Antibiotika
Antibiotik hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang dapat digunakan :
Lini I : amoksisilin, makrolid
Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin,kuinolon.
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin
Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
2. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal
yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen yaitu :
- Mengurangi sesak dan vasokonstriksi
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
7
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
3. Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
- Memperbaiki fungsi paru
- Memperbaiki mekanik paru
- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
- Memperbaiki kualiti hidup
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :
1) Bulektomi
2) Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey (LVRS)
3) Transplantasi paru
B. Terapi Non Farmakologi Asma
a. Menghentikan kebiasaan merokok
b. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat
dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang
ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
Ventilasi mekanik dengan intubasi, Ventilasi mekanik dengan intubasi Pasien
PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila
ditemukan keadaan sebagai berikut : gagal napas yang pertama kali, Perburukan
yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki,
Frekuensi napas > 35 permenit,- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40
mmHg), asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg), Henti
napas,komplikasi kardiovaskuler dan komplikasi lain serta telah gagal dalam
penggunaan NIPPV.
Ventilasi mekanik tanpa intubasi, digunakan pada PPOK dengan gagal napas
kronik dan dapat digunakan selama di rumah.
8
c. Perbaikan nutrisi
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi
masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2
yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara
kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi
nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat, protein, dan
elektrolit.
d. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program
rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang
disertai simptom pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat dan
kualiti hidup yang menurun. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu :
latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
e. Algoritme penanganan PPOK
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas: penatalaksanaan pada keadaan stabil dan
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
Algoritme penatalaksanaan pada keadaan stabil
Kriteria PPOK stabil adalah :
- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna dan tidak ada penggunaan bronkodilator
tambahan
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak
9
10
11
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
Form SOAP.
Form Medication Record.
Catatan Minum Obat.
Kalkulator Scientific.
Laptop dan koneksi internet.
3.2 Bahan
Text Book
Data nilai normal laboraturium.
Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).
12
Fluinucil 600 mg tab 2 x 1
Omeprazole inj 1 x 40 mg
Fixotide resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/2017 – (setiap 6 jam 1 resp)
Euphilin mite tab (2 x 125 mg)
Inpepsa syr (3 x 15 ml)
Azithromicyn tab 1 x 500 mg (di ruang rawat start 31 januari 2017)
13