BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat dalam bentuk partikel
aerosol melalui saluran nafas, baik saluran nafas atas dan bawah. Saluran
nafas atas dimulai dari rongga hidung dengan sinus disekitarnya, laring,
faring, dan proksimal trakea, sedangkan saluran nafas bawah dimulai dari
bronkus, bronkioli sampai ke alveoli. Target sasaran ini termasuk mukosa
dan ujung reseptor neuron di dalamnya. (Pradjnaparamita, 2008).
Terapi inhalasi memegang peranan penting dalam pengobatan
penyakit respiratorius yang akut dan kronik. Terapi inhalasi dapat
menghantarkan obat ke paru-paru untuk segera bekerja.Penumpukan
mukus di dalam saluran napas, peradangan dan pengecilan saluran napas
dapat dikurangi secara cepat (Djojodibroto, 2009).
Obat yang diberikan dengan cara inhalasi ini mengalami absorpsi
secara cepat karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi
lintas pertama di hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma
bronkial, obat dapat diberikan langsung pada bronkus. Keputusan
untukmenggunakanterapi inhalasimungkin didasarkan padagejala, temuan
fisik, dan hasildarites fungsiparu-paru (Supriyatno, 2010).
Jumlah obat yang perlu diberikan pada terapi inhalasi lebih sedikit
dibanding cara pemberian lainnya. Namun cara pemberian ini diperlukan
alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis,
dan sering mengiritasi epitel paru. (Pradjnaparamita, 2008).
Keuntungan terapi inhalasi adalah obat langsung menuju sasaran,
awitannya cepat, diperlukan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan
efek yang sama, dan harga untuk setiap dosis lebih murah, efek samping
obat minimal karena konsentrasi obat didalam rendah (Laube, 2014).
B. Rumusan Masalah
Dalam referat ini akan dibahas mengenai anatomi fisiologi saluran
nafas, definisi, manfaat, klasifikasi, indikasi, kontraindikasi, cara kerja,
cara pemakaian, dan efek samping terapi inhalasi.
C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah sebagai kajian keilmuan
dan pemahaman materi tentang terapi inhalasi secara lebih mandalam
dalam rangka menunjang kegiatan praktek di lapangan.
D. Manfaat
1. Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran tentangtatalaksana
penyakit pada sistem pernafasan, khususnyaterapi inhalasi.
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
bronkus
terminalis,
bronkiolus,
dan
bronkiolus
trakea
sampai
kepada
sakus
alveolaris
dapat
sputum,
menurunkan
hipereaktiviti
bronkus,
serta
mengatasi infeksi. Terapi inhalasi ini baik digunakan pada terapi jangka
panjang untuk menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkan obat,
terutama penggunaan kortikosteroid.
D. Indikasi Terapi Inhalasi
Dalam penanganan masalah respirasi, terapi inhalasi dapat
berfungsi sebagai :
- diagnostik
- terapi.
Sebagai alat diagnostik inhalasi digunakan pada :
- uji bronkodilator dengan beta2 agonis
- uji provokasi bronkus dengan metakolin
- induksi sputum dengan NaCl 3 %.
dan akan semakin mudah terjadinya kolisi dan selain itu juga akan
semakin mudah partikel tersebut bergabung.
5. Sifat-sifat alamiah dari partikel. Sifat-sifat alamiah dari partikel
ditentukan oleh tonik (osmotik). Larutan yang hipotonik akan mudah
kehilangan air akibat dari penguapan. Aerosol elektrik yang dihasilkan
oleh ultrasonik nebulizer bermuatan lebih besar daripada mekanikal
nebulizer. Pada temperatur yang panas molekul-molekul akan
mempunyai ukuran yang lebih besar dan akan mudah jatuh.
6. Sifat-sifat dari pernapasan. Pada prinsifnya jumlah dari aerosol yang
berubah menjadi cairan ditentukan pula oleh volume tidal, frekuensi
pernapasan, kecepatan aliran inspirasi, dan apakah bernapas melalui
mulut atau hidung, dan juga memeriksa faal pernapasan pada
umumnya
G. Mekanisme Kerja Terapi Inhalasi
Obat dalam bentuk partikel aerosol yang dapat dibentuk dari cairan
( pada nebulizer ) atau partikel aerosol yang dimampatkan dengan gas
sebagai zat pembawa ( MDI = Meterred Doze Inhaler ) atau aerosol yang
berasal dari bubuk kering ( Dry Powder Inhalation = DPI ), akan mencapai
sasaran di saluran napas bersama proses respirasi sesuai dengan ukuran
partikel yang terbentuk dengan mekanisme hukum Brown yaitu impaksi,
sedimentasi dan difusi. Impaksi adalah membentur dan menempelnya
partikel obat pada mukosa bronkus yang terjadi karena pergerakan udara
melalui inspirasi dan ekspirasi, sedangkan sedimentasi adalah sampainya
partikel sampai pada mukosa bronkus karena mengikuti efek dari gravitasi.
Ukuran partikel berkisar antara 100 mikron sampai 0,01 mikron.
Penyebaran partikel obat akan tergantung kepada besaran mikronnya;
partikel dengan ukuran 5-10 mikron akan menempel pada orofaring, 2-5
mikron pada trakeobronkial sedangkan partikel <1 mikron akan keluar dari
saluran napas bersama proses ekspirasi (Gb.1).
H. Zat Pada Terapi Inhalasi
Obat/zat yang biasanya digunakan secara aerosol pada umumnya
adalah beta 2 simpatomimetik, seperti metaprotenolol (Alupen), albuterol
(Bronkosol);
Steroid
seperti
beklometason
(Ventide),
penggunanya. Sulit dilakukan oleh anak-anak atau lanjut usia, atau mereka
yang mengalami gangguan neurologi. Dapat digunakan dengan alat bantu
berupa nebuhaler atau spacer; dengan alat bantu ini obat dapat dihirup
dengan lebih perlahan, sehingga lebih disukai pasien PPOK lanjut usia.
Pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik dapat digunakan
dengan konektor pada pipa inspirasi ( tergantung dengan jenis/merk
ventilator ).
Dalam keadaan tidak sesak napas berat MDI disemprotkan
bersamaan dengan inspirasi dalam, sangat diperlukan koordinasi yang baik
antara gerakan menyemprotkan obat dan inspirasi yang dalam.
Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan
cara inhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis
obat mencapai saluran pernafasan. Pada inhaler ini bahan aktif obat
disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml cairan pendorong (propelan) dan
yang biasa digunakan adalah kloroflurokarbon (chlorofluorocarbon =
CFC) pada tekanan tinggi. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan
di
orofaring.
Keadaan
ini
mempunyai
keuntungan
untuk
(8
dosis)
dan
turbuhaler.Beberapa
tahun
terakhir
ini
propelan
sehingga
mempunyaikelebihan
dari
MDI.
ini
dapat
lebihmudah,
karena
kurang
memerlukan
koordinasi
Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak negara karena relatif
lebih murah daripada ultrasonic nebuliser. Dengan gas jet berkecepatan
tinggi yang berasal dari udara yang dipadatkan dalam silinder
ditiupkan melalui lubang kecil dan akan dihasilkan tekanan negatif
yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk aerosol.
Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau
sungkup. Dengan mengisi suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 ml
maka dihasilkan partikel aerosol berukuran < 5 m, sebanyak 60-80%
larutan nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi.
Dengan cara yang optimal maka hanya 12% larutan akan terdeposit di
paru-paru. Bronkodilator yang diberikan dengan nebuliser memberikan
efek bronkodilatasi yang bermaknatanpa menimbulkan efek samping
Di samping itu harus diperhatikan pula mengenai kontinuitas
kerja alat nebuliser, karena ada yang menggunakan tombol pengatur
kesadaran pasien
Kesadaraan pasien sangat penting untuk mendapatkan hasil terapi yang
maksimal; misal menggunakan masker; sedangkan pada penderita
yang kompos mentis dan kooperatif penggunaan mouthpiece akan
lebih efektif. Pada penggunaan nebuliser yang diskontinu, pengaturan
dengan
kemampuan
koordinasi
gerakan
pasien.
mata
jenis obat
Obat akan selalu disesuaikan dengan diagnosis atau kelainan saat itu.
Kortikosteroid digunakan sebagai anti inflamasi bukan bronkodilator
jadi tidak digunakan pada keadaan akut. Sebaliknya beta2agonis
merupakan bronkodilator yang digunakan pada keadaan akut; jika
ipratroprium
bromide,
tiotropium,
kortikosteroid
misal
BAB III
Kesimpulan
Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat dalam bentuk partikel aerosol
melalui saluran napas. Terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan
absorpsinya terjadi secara cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan terapi
inhalasi sangat bermanfaat pada keadaan serangan yang membutuhkan
pengobatan segera dan untuk menghindari efek samping sistemik yang
ditimbulkannya. Dalam penanganan masalah respirasi, terapi inhalasi dapat
berfungsi sebagaidiagnostikdanterapi. Kontra indikasi mutlak pada terapi inhalasi
tidak ada. Indikasi relatif pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau obat yang
digunakan. Berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi inhalasi
diantaranya yaitu ukuran partikel, gaya gravitasi, inersia, aktivitas kinetik, sifatsifat alamiah dari partikel, dan sifat-sifat dari pernapasan. Terapi obat inhalasi
dapat berupa Metered Dose Inhaler ( MDI ), MDI dengan spacer, Easyhaler, Dry
Powder Inhalation ( DPI ), dan Nebulizer.
Jika digunakan untuk pengobatan perlu diperhatikan beberapa hal agar
tercapai sasaran, terhindar dari efek samping dan nyaman bagi pasien, misalnya
tujuan pengobatan, problem atau simptom respirasi yang menonjol, kesadaran
pasien, diagnosis kerja saat itu, lama penggunaan( jangka pendek atau jangka
panjang), bentuk obat dan alat bantu yang digunakan, jenis obat, dantempat kerja,
ruang gawat darurat, ICU dengan mesin bantu napas, ruang rawat ataudi rumah.
Keuntungan terapi inhalasi dibandingkan dengan terapi oral (obat yang
diminum), terapi ini lebih efektif, kerjanya lebih cepat pada organ targetnya, serta
membutuhkan dosis obat yang lebih kecil, sehingga efek sampingnya ke organ
lainpun lebih sedikit. Kerugiannya, pengguna pengobatan inhalasi akan terus
berkonsultasi pada dokter tentang obat nya. Selain hal itu obat relatif lebih mahal
dan bahkan mahal dari pada obat oral.
Efek samping dan komplikasi terapi inhalasi adalah jika aerosol diberikan
dalam jumlah besar, maka dapat menyebabkan penyempitan pada saluran
pernapasan (bronkospasme). Disamping itu bahaya iritasi dan infeksi pada jalan
napas, terutama infeksi nosokomial juga dapat terjadi.