Anda di halaman 1dari 21

FARMAKOTERAPI

“Obat – Obat Simptomatis Saluran Pernafasan”

Oleh :

Kelompok 10 /IV B

1. Ni wayan Rias Samidya (181091)


2. Ni Nengah Ariani (181092)
3. Ni Nyoman Veby Tri Kusumayani (181093)
4. Ni Putu Linda Febryanti (181094)

Program Studi DIII – Farmasi

Fakultas Farmasi

Universitas Mahasaraswati Denpasar

Tahun Ajaran 2019/2020


Obat – Obat Simptomatis Saluran Pernafasan
I. OBAT BATUK
Batuk merupakan refleks yang terangsang oleh iritasi paru-paru atau saluran
pernapasan. Bila terdapat benda asing selain udara yang masuk atau merangsang saluran
pernapasan, otomatis akan batuk untuk mengeluarkan atau menghilangkan benda
tersebut. Batuk biasanya merupakan gejala infeksi saluran pernapasan atas (misalnya
batuk-pilek, flu) dimana sekresi hidung dan dahak merangsang saluran pernapasan. Batuk
juga merupakan cara untuk menjaga jalan pernapasan tetap bersih. Batuk merupakan
mekanisme pertahanan tubuh di saluran pernapasan dan merupakan gejala suatu penyakit
atau reaksi tubuh terhadap iritasi tenggorokan karena adanya lendir, makanan, debu, asap
dan sebagainya (Manan, 2014).
Proses batuk terjadi dalam beberapa fase yang diawali oleh inspirasi, fase ini
diperlukan untuk mendapatkan volume udara sebanyak-banyaknya sehingga terjadi
peningkatan tekanan intratorakal. Fase kedua yaitu penutupan glotis bertujuan
mempertahankan volume paru pada saat tekanan intratorakal besar, pada fase ini terjadi
kontraksi otot ekspirasi karena pemendekan otot ekspirasi sehingga selain tekanan
intratorakal tinggi tekanan intraabdomen pun tinggi. Fase ketiga, setelah tekanan
intratorakal dan intraabdomen meningkat maka glotis akan terbuka yang menyebabkan
terjadinya ekspirasi yang cepat, singkat, dan kuat sehingga terjadi pembersihan bahan-
bahan yang tidak diperlukan seperti mukus dan lain-lain (Rahajoeet al., 2010).
Batuk berdasarkan tanda klinis dibedakan menjadi dua yaitu, batuk produktif
(dengan dahak) dan batuk non-produktif (kering). Batuk produktif merupakan suatu
mekanisme perlindungan dengan fungsi mengeluarkan zat-zat asing (kuman debu,
lembab berlebih, alergi, dan sebagainya) dan mukus berlebih dari batang tenggorokan
(Tjay & Rahardja, 2007).
Pengobatan yang digunakan untuk batuk bermacam-macam dibedakan dari tanda
klinis atau jenis batuknya. Terdapat beberapa golongan obat batuk yaitu mukolitik,
antitusif dan ekspektoran. Obat mukolitik merupakan obat yang berfungsi meningkatkan
sekrsi lendir dengan cara mengurangi viskositas sputum. Contoh obatnya adalah
asetilsistein, karbosistein, ambroxol dan bromhexin (Ikawati, 2009). Obat antitusif
merupakan obat ditujukan untuk menekan batuk berlebih. Obat-obatan ini diberikan
apabila memang sangat di butuhkan, sebab obat ini tidak memberikan mafaat klinis.
Contoh obat-obat antitusif adalah kodein, dekstrometorfan, dan noskapin. Obat
ekspektoran digunakan untuk merangsang pengeluaran dahak sehingga dapat
meningkatkan sekresi lendir. Contoh obat-obatan ini adaAlah gliseril guaiakolat, succus
liquiriteae dan ammonium chloride.
Batuk memiliki peran utama dalam mengeluarkan dahak dan membersihkan
saluran pernafasan, maka batuk yang menghasilkan dahak umumnya tidak disupresi.
Maka dari itu dibutuhkan obat yang mekanisme kerjanya mensupresikan batuk pada
waktu malam untuk mengelakkan dari gangguan tidur. Pengobatan batuk secara umum
dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis batuknya berdahak atau tidak (Beers, 2003).
a. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan sekret saluran
pernafasan dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida
darisputum (Estuningtyas, 2008). Agen mukolitik berfungsi dengan cara mengubah
viskositas sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan komponen mukoprotein.
Contoh obat mukolitik adalah sebagai berikut:
1. Ambroxol
 Khasiat
untuk penyakit saluran pernapasan aktif dan kronis dengan sekresi bronkial
yang abnormal,terutama dalam keadaan bronkitis kronik, bronkitis
asmatik,asma bronkial yang memburuk.
 Mekanisme kerja
Memperlancar pengeluaran sekret yang ketal dari kelenjar mukosa dalam
saluran pernapasan sehingga melegakan pernapasan dan mengurangi batuk
dan volume dahak sehingga sekresi lendir akan menjadi normal kembali.
 Dosis
Dewasa: kapsul lepas lambat 1 kali sehari 75 mg, sesudah makan. Dewasa
dan anak di atas 12 tahun:1 tablet (30 mg) 2-3 kali sehari; Anak 6-12 tahun:
1/2 tablet 2-3 kali sehari. Sirup tetes (drops): 15 mg/ml drops (1 mL= 20
tetes): Anak s/d 2 tahun: 0,5 mL (10 tetes) 2 kali sehari; Ambroksol drops
dapat dicampur bersama dengan sari buah, susu atau air.Sirup 15 mg/5 mL
(1 sendok takar = 5 mL): Anak usia 6-12 tahun: 2-3 kali sehari 1 sendok
takar; 2-6 tahun: 3 kali sehari 1/2 sendok takar; di bawah 2 tahun: 2 kali
sehari 1/2 sendok takar
 Efek Samping
Reaksi intoleran setelah pemberian ambroksol pernah dilaporkan tetapi
jarang; efek samping yang ringan pada saluran saluran cerna pernah
dilaporkan pada beberapa pasien; reaksi alergi (jarang); reaksi alergi yang
ditemukan: reaksi pada kulit, pembengkakan wajah, dispnea, demam;
tidak diketahui efeknya terhadap kemampuan mengendarai atau
menjalankan mesin. (BPOM RI, 2008).
 Penggunaan
Per oral, sebelum atau sesudah makan
2. Bromheksin
 Khasiat
Bekerja sebagai mukolitik untuk meredahkan batuk berdahak
 Mekanisme kerja
Mengencerkan sekret pada saluran pernapasan dengan jalan menghilangkan
serat-serat mukoprotein dan mukopolisakarida yang terdapat sputum atau
dahak sehingga lebih mudah dikeluarkan
 Dosis
- Anak-anak : usia 5-10 tahun ½ tablet atau 5ml sirup 3 kali sehari
- Dewasa dan anak-anak usia lebih dari 10 tahun : 1 tablet atau 10 ml
sirup 3 kali sehari.
 Penggunaan
Per oral, sesudah makan
3. Asetilsistein
Asetilsistein bekerja dengan cara menurunkan viskositas sekret paru. Mekanisme
kerja utama dari asetilsistein adalah melalui pemecahan ikatan disulfida. Reaksi ini
menyebabkan penurunan viskositas dan memudahkan penyingkiran sekret tersebut.
Asetilsistein juga memiliki mekanisme kerja dengan cara menurunkan viskositas
sputum (Estuningtyas, 2008)
Dosis : Nebulasi 1 ampul 1-2 kali sehari selama 5-10 hari.
Efek Samping : pada penggunaan sistemik : menimbulkan reaksi hipersensitif
seperti urtikaria dan bronkospasme (jarang terjadi). Pada penggunaan aerosol, iritasi
nasofaringeal dan saluran cerna seperti pilek (rinore), stomatitis, mual, muntah
(BPOM RI, 2008).
b. Antitusif
Antitusif adalah obat yang menekan refleks batuk, digunakan pada
gangguan saluran nafas yang tidak produktif dan batuk akibat teriritasi. Secara
umum berdasarkan tempat kerja obat antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di
perifer dan antitusif yang berkerja disentral. Antitusif yang bekerja di sentral
dibagi atas golongan narkotik dan non-narkotik
1. Antitusif yang bekerja diperifer
Obat golongan ini menekan batuk dengan mengurangi iritasi lokal di
saluran nafas, yaitu pada reseptor iritan perifer dengan cara anastesi langsung
atau secara tidak langsung mempengaruhi lendir saluran nafas. Berbeda dengan
obat antitusif SSP yang bekerja di dalam SSP, obat antitusif yang bekerja
secara perifer bekerja diluar SSP dan menekan batuk dengan cara menurunkan
satu atau lebih responsitas dari saraf sensorik yang berperan pada reflex
(Reynoldsetal.,2003).
 Obat-obat anestesi
Obat anestesi lokal seperti benzokain, benzilalkohol, fenol, dan garam
fenol digunakan dalam pembuatan lozenges. Obat ini mengurangi batuk
akibat rangsang reseptor iritan di faring, tetapi hanya sedikit
manfaatnya untuk mengatasi batuk akibat kelainan saluran napas
bawah.
 Lidokain
Obat anestesi yang diberikan secara topikal seperti tetrakain, kokain
dan lidokain sangat bermanfaat dalam menghambat batuk akibat
prosedur pemeriksaan bronkoskopi.
 Demulcent
Obat ini bekerja melapisi mukosa faring dan mencegah kekeringan
selaput lendir. Obat ini dipakai sebagai pelarut antitusif lain atau
sebagai lozenges yang mengandung madu, akasia, gliserin dan anggur.
Secara obyektif tidak ada data yang menunjukkan obat ini mempunyai
efek antitusif yang bermakna, tetapi karena aman dan memberikan
perbaikan subyektif obat ini banyak dipakai
 Benzonatate
Benzonatate bekerja dengan cara menekan transmisi dari refleks batuk
ditingkat medulla dimana impuls aferen ditransmisikan kesaraf motorik.
Benzonatate juga memiliki mekanisme kerja yang bertindak secara
perifer, dan menganastesi strech receptors dari serabut vagal aferen
dalam alveoli, bronchi, dan pleura. Reseptor-reseptor inilah yang
bertanggung jawab atas terjadinya refleks batuk, sehingga dengan
menganastesi reseptor-reseptor ini dapat mengakibatkan supresi batuk
(Cohenetal.,2009)
 Moguisteine
Moguisteine merupakan antitusif yang bekerja secara perifer dan
termasuk ke dalam golongan non opioid dimana mekanisme kerjanya
dengan cara membuka ATP sensitive potassium channels sehingga
terjadi pengeluaran ion K+ dan menyebabkan hiperpolarisasi pada
membran sel dan menghambat pembengkakan pada serabut Aδ. Obat
ini belum secara komersil diperjual belikan karena masih dalam tahap
pengembangan (Morita&Kamei,2000).
2. Antitusif yang bekerja disentral
Obat – obat ini menekan ransangan batuk di pusat batuk yang terletak di
sumsum tulang belakang (medula), dan bekerja terhadap saraf lebih tinggi (di
otak) dengan efek transquilizerm (Lestari, 2016). Antitusif yang bekerja sentral
dapat dibedakan menjadi dua yaitu
 Golongan narkotik
Opiat dan derivatnya mempunyai berbagai macam efek farmakologi
sehingga digunakan sebagai analgesik, antitusif, sedatif, menghilangkan
sesak karena gagal jantung dan anti diare.Diantara alkaloid ini morfin
dan kodein sering digunakan. Efek samping obat ini adalah penekanan
pusat nafas, konstipasi, kadang-kadang mual dan muntah, serta efek
adiksi. Opiat dapat menyebabkan terjadinya brokospasme karena
pelepasan histamin. Tetapi efek ini jarang terlihat pada dosis terapi
untuk antitusif. Di samping itu narkotik juga dapat mengurangi efek
pembersihan mukosilier dengan menghambat sekresi kelenjar mukosa
bronkus dan aktivitas silia.
 Kodein
Menurut Corelli (2007) kodein bertindak secara sentral dengan
meningkatkan nilaiambang batuk. Dalam dosis yang diperlukan
untuk menekan batuk, efek aditif adalah rendah. Alkaloid candu
ini memiliki sifat yang menyerupai morfin, tetapi efek analgetik
dan meredakan batuknya lebih lemah, begitu pula efek
depresinya terhadap pernapasan. Obat ini banyak digunakan
sebagai Pereda batuk dan penghilang rasa sakit.
Dosis : oral sebagai analgetikum dan Pereda batuk 3 – 5 dan 10-
40 mg dan maks.200mg sehari
Penggunaan : per oral, sebelum atau setelah makan
 Hidrokodon
Merupakan derivat sintetik morfin dan kodein Mempunyai efek
antitusif yang serupa dengan kodein (Lestari, 2016).
Dosis : 5-10 mg setiap 6-8 jam atau 0,6 mg/kg/hari dalam dosis
terbagi 3-4, tidak melebihi 10 mg/dosis tunggal
Efek samping utama adalah sedasi, penglepasan histamin,
konstipasi dankekeringan mukosa.
Penggunaan : Per oral, sebelum atau sesudah makan
 Golongan non-narkotik
Antitusif non – narkotik ialah antitusif yang tidak mendatangkan adiksi
dan potensinya untuk disalah gunakan kecil sekali.
 Dekstrometorfan
Menurut Dewoto (2008) dekstrometorfan atau D-3-metoksin-N-
metil morfinan tidak berefek analgetik atau bersifat aditif. Zat ini
meningkatkan nilai ambang rangsang reflex batuk secara sentral
dan kekuatannya kira-kira sama dengan kodein. Berbeda dengan
kodein,zat ini jarang menimbulkan mengantuk atau gangguan
saluran pencernaan. Dalam dosisterapi dekstrometorfan tidak
menghambat aktivitas silia bronkus dan efek antitusif
nyabertahan 5-6 jam. Toksisitas zat ini rendah sekali, tetapi dosis
sangat tinggi mungkin menimbulkan depresi pernafasan.
Mekanisme kerjanya berdasarkan peningkatan ambang pusat
batuk di otak. Pada penyalah gunaan dengan dosis tinggi dapat
terjadi efek stimulasi SSP dengan menimbulkan semacam
suforia, maka kadang kala digunakan oleh pecandu drugs.
Dosis : Dewasa : 10-20 mg, setiap 4 jam, anak-anak umur 6-11
tahun : 5-10 mg, anak umur 2-6 tahun : 2,5- 5 mg setiap 4 jam
Obat ini efektif pada dosis 30 mg setiap 4-8 jam (Lestari, 2016).
Efek Samping : Ganguan saluran cerna (terutama konstipasi
ringan), pusing, mual dan muntah, sakit kepala (Lestari, 2016).
Penggunaan : Per oral, setelah atau sebelum makan.
 Noskapin
Noskapin merupakan pereda batuk tetapi tidak sekuat kodein dan
tidak mengakibatkan depresi pernapasan atau obstipasi,
sedangkan efek sedatifnya dapat diabaikan.Risiko adiksinya
ringan sekali. Mekanisme kerjanya adalah pembebas histamine
yang kuat dengan efek bronchokonstriksi dan hipotensi (selewat)
pada dosis besar. Efek samping berupa nyeri kepala dan reaksi
kulit.
Dosis : Dewasa 15-30 mg setiap 4- 6 jam, dosis tunggal 60 mg
aman dalam menekan batuk paroksismal. Anak 2-12 tahun : 7,5-
15 mg setiap 3-4 jam dan tidak melebihi 60 mg per hari (Lestari,
2016).
Efek Samping : Pusing dan ganngguan saluran cerna, eksitasi,
kebingunan dan depresi pernafasan dapat terjadi setelah
pemberian dosis yang tinggi atau over dosis. Hipersensitivitas
dapat terjadi pada beberapa pasien. Reaksi hipersensitivitas dapat
berupa urtikaria, angiodema dan nafas pendek, yang kemudian
diikuti dengan eritema dan pruritus serta penurunan tekanan
darah (Sweetman, 2009)
Penggunaan : Per oral, setelah atau sebelum makan.
 Butamirat sitrat
Obat ini bekerja secara sentral (menekan pusat reflex) dan perifer
(melalui aktivitas bronkospasmolitik dan aksi antiinflamasi)
(Lestari, 2016).
Dosis : Dewasa adalah 3 x 15 ml, Anak umur 6-8 tahun 2x10 ml.
Anak berumur lebih dari 9 tahun dosisnya 2x15 ml (Lestari,
2016).
Efek Samping : Konstipasi, mual, muntah, dan penekanan
susunan saraf pusat (Lestari, 2016).
Penggunaan : Per oral, setelah atau sebelum makan
c. Ekspektoran
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak
dari saluran pernafasan (ekspektorasi). Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan
stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang sekresi
kelenjar saluran pernafasan lewat nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas
dan mempermudah pengeluaran dahak. Banyak zat aktif yang ada di dalam obat
batuk ekspektoran, salah satu zat aktif yang banyak ditemukan dalam obat batuk
ekspektoran adalah guaifenesin, ammonium klorida, dan kalium iodida.(Tjay dan
Rahardja, 2002).
1. Guaifenesin
Guaifenesin (gliseril guaiakolat) digunakan sebagai ekspektoran pada batuk
berdahak, dan pengobatan simptomatik batuk yang produktif akibat alergi atau
etiologilainnya. Mekanisme kerjanya dengan cara meningkatkan volume dan
menurunkan viskositas dahak di trakea dan bronki, kemudian merangsang
pengeluaran dahak menuju faring. Efek samping : mual, muntah, batu ginjal
Hal yang harus diperhatikan : Hati-hati atau minta saran dokter untuk
penggunaan bagi anak di bawah 2 tahun dan ibu hamil.
Aturan pemakaian : Dewasa : 1-2 tablet (100 -200 mg), setiap 6 jam atau 8 jam
sekali • Anak : 2-6 tahun : ½ tablet (50 mg) setiap 8 jam 6-12 tahun : ½ - 1
tablet (50-100 mg) setiap 8 jam (Abdul Muchid dkk, 2007).
2. Ammonium klorida
Berkhasiat diuretik lemah yang menyebabkan acidosis yaitu kelebihan asam
dalam darah. Keasaman darah merangsang pusat pernapasan sehingga
frekuensi napas meningkat dan gerakan bulu getar (cilia) di saluran nafas
distimulasi. Mekanisme Kerja Ammonium Chloride yaitu bekerja sebagai
ekspektoran yan gmengurangi kepekatan lender. Sekresi dahak juga meningkat.
maka senyawa ini banyak digunakan dalam sediaan sirup batuk misalnya obat
batuk hitam.
Dosis: oral 3-4 dd 100-150mg, maksimal 3 g seharinya.
Penggunaan : Per oral, setelah atau sebelum makan
3. Kalium iodide
Iodida menstimulasi sekresi mucus dicabang tenggorokan dan mencairkannya,
tetapi sebagai obat batuk (hampir) tidak efektif. Namun obat ini banyak
digunakan dalam sediaan batuk, khususnya pada asma walaupun risiko
efeksamping besar sekali.
Dosis : pada batuk oral 3 dd 0,5-1g maksimal 6 g sehari. Bagi pasien yang
tidak boleh diberikan kalium, obat ini dapat dugantikan dengan natrium iodide
dengan khasiat yang sama.

II. DEKONGESTAN
Dekongestan adalah stimulan reseptor alpha-1 adrenergik. Mekanisme kerja
dekongestan (nasal decongestant) melalui vasokonstriksi pembuluh darah hidung
sehingga mengurangi sekresi dan pembengkakan membran mukosa saluran hidung.
Mekanisme ini membantu membuka sumbatan hidung. Namun, dekongestan juga dapat
menyebabkan vasokonstriksi di tempat tempat lainnya pada tubuh, sehingga
dikontraindikasikan bagi penderita hipertensi yang tidak terkontrol, hipertiroid serta
penderita penyakit jantung. ). Dekongestan dibagi menjadi dua yaitu dekongestan oral
dan dekongestan topikal.
1. Dekongestan Oral
Dekongestan oral antara lain Fenilpropanolamin, Fenilefrin, Pseudoefedrin dan
efedrin. Obat tersebut pada umunya merupakan salah satu komponen dalam obat flu.
Penggunaan dekongestan oral harus berhatihati pada penderita dengan gangguan
tiroid, penderita diabetes, atau penderita yang menggunakan antidepresan tertentu.
Pada penderita dengan hipertiroid aktif, penggunaan dekongestan oral dapat
meningkatkan palpitasi dan tekanan darah. Pada penderita diabetes, dekongestan dapat
meningkatkan kadar glukosa darah dengan mencegah sekresi insulin melalui
mekanisme penurunan uptake glukosa ke dalam jaringan perifer dan stimulasi
pemecahan glikogen.
 Efedrin
a. Kegunaan obat
Mengurangi hidung tersumbat
b. Hal yang harus diperhatikan
Hati-hati pada penderita diabet juvenil karena dapat meningkatkan kadar
gula darah, penderita tiroid, hipertensi, gangguan jantung dan penderita
yang menggunakan antidepresi.
c. Kontra Indikasi
Obat tidak boleh digunakan pada penderita insomnia (sulit tidur), pusing,
tremor, aritmia dan penderita yang menggunakan MAO (mono amin
oksidase) inhibitor.
d. Efek samping
- Menaikkan tekanan darah
- Aritmia terutama pada penderita penyakit jantung dan pembuluh darah.
e. Aturan pemakaian
- Dewasa : 25-30 mg, setiap 3-4 jam
- Anak-anak : sehari 3 mg/kg berat badan, dibagi dalam 4 – 6 dosis yang
sama.
f. Mekanisme kerja
Bekerja dengan cara mengurangi pembengkakan dan penyempitan
pembuluh darah pada saluran napas dan melebarkan saluran udara dalam
paru-paru sehingga dapat melegakan pernapasan
 Fenilefrin
a. Kegunaan obat
Mengurangi hidung tersumbat
b. Hal yang harus diperhatikan
Hati-hati pada penderita diabet juvenil karena dapat meningkatkan kadar
gula darah, penderita tiroid, hipertensi, gangguan jantung dan penderita
yang menggunakan antidepresi.
c. Kontra Indikasi
Obat tidak boleh digunakan pada penderita insomnia (sulit tidur), pusing,
tremor, aritmia dan penderita yang menggunakan MAO (mono amin
oksidase) inhibitor.
d. Efek samping
- Menaikkan tekanan darah
- Aritmia terutama pada penderita penyakit jantung dan pembuluh darah.
e. Aturan pemakaian
- Dewasa : 10 mg 3 kali sehari
- Anak-anak 6-12 tahun : 5 mg 3 kali sehari
f. Mekanisme kerja
Fenilefrin secara selektif berikatan dengan reseptor alfa-1 yang
menyebabkan pembuluh darah mengerut.
 Fenilpropanolamin
a. Kegunaan obat
Mengurangi hidung tersumbat
b. Hal yang harus diperhatikan
Hati-hati pada penderita diabet juvenil karena dapat meningkatkan kadar
gula darah, penderita tiroid, hipertensi, gangguan jantung dan penderita
yang menggunakan antidepresi.
c. Kontra Indikasi
Obat tidak boleh digunakan pada penderita insomnia (sulit tidur), pusing,
tremor, aritmia dan penderita yang menggunakan MAO (mono amin
oksidase) inhibitor.
d. Efek samping
- Menaikkan tekanan darah
- Aritmia terutama pada penderita penyakit jantung dan pembuluh darah.
e. Aturan pemakaian Fenilpropanolamin
- Dewasa : maksimal 15 mg per takaran 3-4 kali sehari
- Anak-anak 6-12 tahun : maksimal 7,5 mg per takaran 3-4 kali sehari
f. Mekanisme kerja
Phenylpropanolamine bekerja dengan mempersempit pembuluh darah
yang bengkak di area sinus, hidung, dan dada agar saluran pernapasan jadi
lancar Kembali
 Pseudoefedrin
a. Kegunaan obat
Mengurangi hidung tersumbat
b. Hal yang harus diperhatikan
Hati-hati pada penderita diabet juvenil karena dapat meningkatkan kadar
gula darah, penderita tiroid, hipertensi, gangguan jantung dan penderita
yang menggunakan antidepresi.
c. Kontra Indikasi
Obat tidak boleh digunakan pada penderita insomnia (sulit tidur), pusing,
tremor, aritmia dan penderita yang menggunakan MAO (mono amin
oksidase) inhibitor.
d. Efek samping
- Menaikkan tekanan darah
- Aritmia terutama pada penderita penyakit jantung dan pembuluh darah.
e. Aturan pemakaian
- Dewasa : 60 mg 3-4 kali sehari
- Anak-anak 6-12 tahun : 30 mg 3-4 kali sehari
- Anak-anak 2-5 tahun : 15 mg 3-4 kali sehari
f. Mekanisme kerja
Menstimulasi secara langsung reseptor Alpha 1 adrenergik yang terdapat
pada pembuluh darahmukosa saluran pernafasan bagian atas yang
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Pseudoefedrin juga menstimulasi
reseptor beta adrenergik yang menyebabkan relaksasi bronkusdan
peningkatan kontraksi dan laju jantung (Anonim, 2002)

3. Dekongestan Nasan Topikal


Dekongestan nasal adalah alfa agonis yang banyak digunakan pada pasien rinitis
alergika atau rinitis vasomotor dan pada pasien ISPA dengan rinitis akut. Obat ini
menyebabkan venokonstriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor alfa 1 sehingga
mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung
 Tiotropium Bromida (Depatermen Kesehatan RI, 2005).
a. Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya
digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium
menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3
pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul
setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu.
b. Indikasi
Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis
kronis dan emfisema.
c. Dosis dan Cara Penggunaan
1 kapsul dihirup, satu kali sehari dengan alat inhalasi Handihaler.
d. Efek Samping
Efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih, terdiri dari sakit perut,
nyeri dada (tidak spesifik), konstipasi, mulut kering, dispepsia, edema,
epistaksis, infeksi, moniliasis, myalgia, faringitis, ruam, rhinitis, sinusitis,
infeksi pada saluran pernapasan atas, infeksi saluran urin dan
muntah.Kontra Indikasi Riwayat hipersensitif terhadap atropin atau
turunannya, termasuk ipratropium atau komponen sediaan.

e. Peringatan
Bronkospasma : tiotropium tidak diindikasikan untuk perawatan episode
awal bronkospasma (seperti terapi emergensi). Obat inhalasi termasuk
tiotropium dapat menyebabkan bronkospama paradoksikal.
 Antrifine (Depatermen Kesehatan RI, 2005).
a. Mekanisme kerja
Bekerja mengurangi pembengkakan pada pemakaian membrane mukosa
dan bekerja menempati reseptor histamion pada sel secara reversible dan
menghambar kerja histamine pada organ.
b. Indikasi
Konjungtivitas alergi
c. Dosis dan cara penggunaan
2-4 tetes 3-4 kali sehari
d. Efek samping
Iritasi local, meningkatnya tekanan bola mata.
e. Peringatan
Jangan melebihi dosis yang dianjurkan.
 Ipratropium bromide (BPOM, 2015)
a. Mekanisme kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara
mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat
lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik.
b. Indikasi
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif
kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema.
c. Dosis
20-40mcg (1-2 semprotan) kedalam lubanv hidung yang sakit hingga 4
kali sehari
d. Efek Samping
Sakit punggung, sakit dada, bronkhitis, batuk, penyakit paru obstruksi
kronik yang semakin parah, rasa lelah berlebihan, mulut kering, dispepsia,
dipsnea, epistaksis, gangguan pada saluran pencernaan, sakit kepala,
gejala seperti influenza, mual, cemas, faringitis, rinitis, sinusitis, infeksi
saluran pernapasan atas dan infeksi saluran urin.
e. Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap ipratropium bromida, atropin dan turunannya.
f. Peringatan
Bronkospasmus akut : aerosol ipratropium tidak dianjurkan untuk
pengobatan bronkospasmus akut dimana terapi darurat diperlukan. Pasien
dengan risiko khusus : perhatian untuk pasien dengan glukoma sudut
sempit, hipertropi prostat atau kerusakan saluran urin.
 Otrivin (Depatermen Kesehatan RI, 2005).
a. Mekanisme kerja
bekerja pada reseptor adrenergic pada mukosa hidung dan mengkontriksi
pembuluh darah hidung, sehingga mengurangi kemacetan di mukosa
hidung.
b. Indikasi
Meringankan hidung tersumbat karena pilek ‘hay fever’/ rhinitis alergi
lainnya, sinusitis. Membantu meringankan sekresi pada peradangan
paranasal sinus dan mempermudah tindakan rinoskop.
c. Dosis dan cara penggunaan
2-3 tetes larutan 3 kali sehari
d. Efek samping
Rasa panas di hidung/tenggorokan, iritasi setempat, mual, sakit kepala,
kekringan pada mukosa nasal.
e. Peringatan
Jangan melebihi dosis yang dianjurkan, jangan digunakan untuk
pemakaian lebih dari 3 kali.

III. ANTIHISTAMIN

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada awalnya
hanya dikenal satu tipe antihistamin, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus pada
tahun 1972, yang disebut reseptor H2, maka secara farmakologis reseptor histamin dapat dibagi
dalam dua tipe, yaitu reseptor H1 dan reseptor H2 (Tjay dan Rahardja, 2010).

1. Antagonis Reseptor H1
Antihistamin H1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos, selain itu antihistamin H1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen yang
berlebihan (Ganiswarna, 1995).
Setelah dilepaskan, histamin mempunyai efek lokal atau meluas pada otot polos
dan kelenjar. Antihistamin bekerja dengan cara kontraksi otot polos, seperti pada bronkus
dan usus, tetapi merelaksasi pembuluh darah atau vasodilator. Histamin juga merupakan
stimulus kuat dari sekresi asam lambung. Bronkokontriksi dan kontraksi usus dimediasi
oleh reseptor H1 sedangkan sekresi lambung berasal dari aktivasi reseptor H2 (Goodman
and Gilman., 2007).

Antihistamin digolongkan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP,


yakni antagonis reseptor H1 generasi pertama dan kedua:

a. Antagonis reseptor H1 generasi pertama : Difenhidramin HCl, Dimenhidrinat,


Klemasetin, Tripenelamin, Feniramin Maleat, CTM, Hidroksizin, Oksatomida,
Prometazin, Oksomemazin. Obat-obat ini memberikan efek sedasi dan
kebanyakan memiliki efek antikolinergis.
b. Antagonis reseptor H1 generasi kedua : Astemizol, Terfenadin, Akrivastin,
Setirizin, Loratadin. Zat- zat ini bersifat khasiat antihistamin hidrofil dan sukar
mencapai CCS (Cairan Cerebrospinal), maka pada dosis terapeutis tidak bekerja
sedative.

2. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 berperan dalam mengurangi sekresi asam lambung dengan
menghambat pengikatan histamin secara selektif pada reseptor H2 dan menurunkan kadar
cyclic-AMP dalam darah (Noval, 2002). Semua antagonis reseptor H 2 mengatasi tukak
lambung dan duodenum dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat
penghambatan reseptor histamin H2. Terapi antagonis reseptor H2 dapat membantu proses
penyembuhan tukak yang disebabkan oleh AINS (terutama duodenum).

Dosis Pada gangguan Saluran Pernafasan

1) Turunan Etanolamin
a. Difenhidramin
Mekanisme kerja Difenhidramin yaitu menghambat pelepasan histamin (H1) dan
asetilkolin (menghilangkan ingus saat flu). Difenhidramin digunakan untuk mengatasi
gejala alergi pernapasan dan sebagai antitusif. Difenhidramin bekerja sebagai agen
antikolinergik (memblok jalannya impuls-impuls yang melalui saraf parasimpatik),
spasmolitik, anestetika lokal dan mempunyai efek sedatif terhadap sistem saraf pusat.
Dosis: Dewasa 25-50 mg 3 kali sehari; Anak 5 mg/kg bb sehari.
Penggunaan : oral, sesudah atau sebelum makan
2) Turunan Alkilamin
a. Chlorpheniramine
Klorfeniramin maleat (CTM) bekerja secara kompetitif dengan menghambat reseptor
histamin H1yang dapat menembus sawar darah otak (Gunawan, 2007). CTM
digunakan untuk mengurangi gejala alergi karena musim atau cuaca, misalnya
radang selaput lendir hidung, bersin, gatal pada mata, hidung dan tenggorokan
(Hardjono, 2000).
Dosis : oral: 4 mg tiap 4-6 jam; maksimal 24 mg/hari. Anak di bawah 1 tahun tidak
dianjurkan; 1-2 tahun 1 mg 2 kali sehari; 2-5 tahun 1 mg tiap 4-6 jam, maksimal 6
mg/hari; 6-12 tahun 2 mg tiap 4-6 jam, maksimal 12 mg/hari.
Penggunaan: Oral, sesudah atau sebelum makan

3) Golongan Antagonis Reseptor H1


a. Loratadine
Mekanisme kerja Loratadine adalah menghambat kerja histamin terutama diperifer,
sedangkan di sentral tidak terjadi karena tidak dapat melalui sawar darah otak.
Antihistanin bekerja dengan cara kompetitif dengan histamin terbadap reseptor
histamin pada sel, menyebabkan histamin tidak mencapai target organ.
Dosis : 10 mg/hari. Anak: 2-12 tahun, di bawah 30 kg, 5 mg/hari; lebih dari 30 kg, 10
mg/hari.
Penggunaan : oral, sebelum atau sesudah makan.
b. Cetirizine
Cetirizine adalah metabolit karboksilat dari antihistamin generasi pertama
hidroksizin, diperkenalkan sebagai antihistamin yang tidak mempunyai efek sedasi.
(dipasarkan pada Desember 1995). Obat ini tidak mengalami metabolisme, mulai
kerjanya lebih cepat dari pada obat yang sejenis dan lebih efektif dalam pengobatan
urtikaria kronik. Mekanisme kerjanya antara lain menghambat fungsi eosinofil,
menghambat pelepasan histamin dan prostaglandin D2.
Dosis : Dewasa dan anak diatas 6 tahun: 10mg/hari pada malam hari bersama
makanan. Anak 3-6 tahun, hay fever: 5 mg/hari pada malam hari atau 2,5 mg pada
pagi dan malam hari. Tidak ada data untuk menurunkan dosis pada pasien lansia.
Insufisiensi ginjal, dosis 1/2 kali dosis rekomendasi.
Penggunaan : oral, sebelum atau sesudah makan.
Kontra Indikasi: Riwayat hipersensitif terhadap cetirizine, ibu yang menyusui

DAFTAR PUSTAKA

Tjay, T. H., & Rahardja, K., 2007, Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek
Sampingnya, Edisi keenam, Jakarta, PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia.

Depkes RI . 1997. Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit Di Indonesia. Jakarta :
DepkesRI.

Manan E 2014. Buku pintar swamedikasi. Penerbit: saufa

Tjay dan Rahardja, 2002, Obat-obat Penting, Khasiat, Pengunaaan dan Efek Sampingnya, Edisi
V, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta

Ikawati. Z. 2009. Bahan Ajar Kuliah Materi Batuk. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Rahajoe Nn, Supriyatno B, Setyanto Db. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi I. Jakarta:
Badanpenerbit Idai.
Depatermen Kesehatan RI (2005). Pharmaceutical Care untuk Infeksi Saluran Pernapasan.
Jakarta
: Departemen Kesehatan RI

Anonim. (2002). Informasi Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

IONI. 2015. Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI

Anda mungkin juga menyukai