Anda di halaman 1dari 9

BATUK

Batuk merupakan upaya pertahanan paru terhadap berbagai rangsangan yang ada.
Batuk adalah refleks normal yang melindungi tubuh kita. Tentu saja bila batuk itu
berlebihan, ia akan menjadi amat mengganggu. Penelitian menunjukkan bahwa
pada penderita batuk kronik didapat 628 sampai 761 kali batuk/ hari. Penderita
TB paru jumlah batuknya sekitar 327 kali/hari dan penderita influenza bahkan
sampai 154.4 kali/hari.
Penelitian epidemiologi telah menunjukkan bahwa batuk kronik banyak
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Dua puluh lima persen dari mereka
yang merokok 1/2 bungkus/hari akan mengalami batuk-batuk, sementara dari
penderita yang merokok 1 bungkus per hari akan ditemukan kira-kira 50% yang
batuk kronik. Sebagian besar dari perokok berat yang merokok 2 bungkus/hari
akan mengeluh batuk-batuk kronik. Penelitian berskala besar di AS juga
menemukan bahwa  22% non perokok juga menderita batuk yang antara lain
disebabkan oleh penyakit kronik, polusi udara dan lain-lain.

DEFINISI
Batuk dalam bahasa latin disebut tussis adalah refleks yang dapat terjadi secara
tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membantu
membersihkan saluran pernapasan dari lendir besar, iritasi, partikel asing dan
mikroba. Batuk dapat terjadi secara sukarela maupun tanpa disengaja.
Batuk merupakan suatu tindakan refleks pada saluran pernafasan yang digunakan
untuk membersihkan saluran udara atas. Batuk kronis berlangsung lebih dari 8
minggu yang umum di masyarakat. Penyebab termasuk merokok, paparan asap
rokok, dan paparan polusi lingkungan, terutama partikulat.

Etiologi batuk
Menurut McGowan (2006) batuk bisa terjadi secara volunter tetapi selalunya
terjadi akibat respons involunter akibat dari iritasi terhadap infeksi seperti infeksi
saluran pernafasan atas maupun bawah, asap rokok, abu dan bulu hewan terutama
kucing. Antara lain penyebab akibat penyakit respiratori adalah seperti asma,
postnasal drip, penyakit pulmonal obstruktif kronis, bronkiektasis, trakeitis,
croup, dan fibrosis interstisial. Batuk juga bisa terjadi akibat dari refluks gastro-
esofagus atau terapi inhibitor ACE (angiotensin-converting enzyme). Selain itu,
paralisis pita suara juga bisa mengakibatkan batuk akibat daripada kompresi
nervus laryngeus misalnya akibat tumor.

REFLEKS BATUK
Refleks batuk terdiri dari 5 komponen utama; yaitu reseptor batuk, serabut saraf
aferen, pusat batuk, susunan saraf  eferen dan efektor. Batuk bermula dari suatu
rangsang pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin halus
yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di dalam
rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus dan di pleura. Jumlah
reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan
sejumlah besar reseptor didapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan
bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus
paranasalis, perikardial dan diafragma.
Serabut aferen terpenting ada pada cabang nervus vagus, yang mengalirkan
rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung dan juga rangsang dari
telinga melalui cabang Arnold dari n. Vagus. Nervus trigeminus menyalurkan
rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari
faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma.

Tabel 1. Komponen refleks batuk


Reseptor Aferen Pusat batuk Eferen Efektor
LaringTrakea Cabang nervus Nervus Laring. Trakea dan
Tersebar
Bronkus vagusNervus vagusNervus bronkusDiafragma
merata di
Telinga trigeminus frenikus , otot-otot
medula
Pleura Nervus intercostal intercostal,
oblongata
Lambung glosofaringwus dan lumbaris abdominal, dan
dekat pusat
Hidung Nervus frenikus Saraf-saraf otot lumbal
pernafasan, di
Sinus trigeminus, Otot-otot saluran
bawah
paranasalis fasialis, nafas atas, dan
kontrol pusat
Faring hipoglosus, otot-otot bantu
yang lebih
Perikardium dan lain-lain nafas
tinggi
Diafragma

Serabut aferen membawa rangsang ini ke pusat batuk yang terletak di medula
oblongata, di dekat pusat pemapasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh
serabut-serabut eferen n. Vagus, n. Frenikus, n. Interkostal dan lumbar, n.
Trigeminus, n. Fasialis, n. Hipoglosus dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini
terdiri dari otot-otot laring, trakea, brrmkus, diafragma, otot-otot interkostal dan
lain-lain. Di daerah efektor inilah mekanisme batuk kemudian terjadi.

Jenis-jenis Batuk
Menurut Dicpinigaitis (2009) batuk secara definisinya bisa diklasifikasikan
mengikut waktu yaitu batuk akut yang berlangsung selama kurang dari tiga
minggu, batuk sub-akut yang berlangsung selama tiga hingga delapan minggu dan
batuk kronis berlangsung selama lebih dari delapan minggu.

1. Batuk Akut
Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan merupakan simptom
respiratori yang sering dilaporkan ke praktik dokter. Kebanyakan kasus batuk akut
disebabkan oleh infeksi virus respiratori yang merupakan self-limiting dan bisa
sembuh selama seminggu (Haque, 2005). Dalam situasi ini, batuk merupakan
simptom yang sementara dan merupakan kelebihan yang penting dalam proteksi
saluran pernafasan dan pembersihan mukus. Walau bagaimanapun, terdapat
permintaan yang tinggi terhadap obat batuk bebas yang kebanyakannya
mempunyai bukti klinis yang sedikit dan waktu yang diambil untuk konsultasi ke
dokter tentang simptom batuk (Dicpinigaitis, 2009).

2. Batuk Kronis
Batuk kronis berlangsung lebih dari delapan minggu. Batuk yang berlangsung
secara berterusan akan menyebabkan kualitas hidup menurun yang akan
membawa kepada pengasingan sosial dan depresi klinikal (Haque, 2005).
Penyebab sering dari batuk kronis adalah penyakit refluks gastro-esofagus,
rinosinusitis dan asma. Terdapat juga golongan penderita minoritas yang batuk
tanpa dengan diagnosis dan pengobatan diklasifikasikan sebagai batuk idiopatik
kronis. Batuk golongan ini masih berterusan dipertanyakan apa sebenarnya
penyebabnya yang pasti (Haque, 2005).

PENYEBAB BATUK
Batuk dapat terjadi akibat berbagai penyakit/proses yang merangsang reseptor
batuk. Selain itu, batuk juga dapat terjadi pada keadaan-keadaan psikogenik
tertentu. Tentunya diperlukan pemeriksaan yang seksama untuk mendeteksi
keadaan-keadaan tersebut. Dalam hal ini perlu dilakukan anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik, dan mungkin juga pemeriksaan lain seperti laboratorium darah
dan sputum, rontgen toraks, tes fungsi paru dan lain-lain.

Tabel 2. Beberapa penyebab batuk


Iritan : Penyakit paru restriktif :
 Rokok  Pnemokoniosis
 Asap  Penyakit kolagen
 SO2  Penyakit granulomatosa
 Gas di tempat kerja Infeksi :
Mekanik :  Laringitis akut
 Retensi sekret bronkopulmoner  Bronkitis akut
 Benda asing dalam saluran nafas  Pneumonia
 Postnasal drip  Pleuritis
 Aspirasi  Perikarditis
Penyakit paru obstruktif : Tumor :
 Bronkitis kronis  Tumor laring
 Asma  Tumor paru
 Emfisema Psikogenik
 Fibrosis kistik
 Bronkiektasis

MEKANISME BATUK
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase
inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi (literatur lain membagi fase batuk
menjadi 4 fase yaitu fase iritasi, inspirasi, kompresi, dan ekspulsi). Batuk biasanya
bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan
di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis
secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu.
Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar
udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang
diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di
atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang
dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital.
Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume
yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan
ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih
mudah.

Gambar 1. Skema diagram menggambarkan aliran dan perubahan tekanan


subglotis selama, fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi batuk

Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan
tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan
meningkat sampai 50 100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk,
yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan
menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup
adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di
pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis.

Gambar 2. Fase Batuk



Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi.
Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada
sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang
maksimal akan tercapai dalam waktu 3050 detik setelah glotis terbuka, yang
kemudian diikuti dengan arus yang menetap. Kecepatan udara yang dihasilkan
dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini dapat
dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80%.

KOMPLIKASI
Komplikasi tersering adalah keluhan non spesifik seperti badan lemah, anoreksia,
mual dan muntah. Mungkin dapat terjadi komplikasi-komplikasi yang lebih berat,
baik berupa kardiovaskuler, muskuloskeletal atau gejala-gejala lain.
Pada sistem kardiovaskuler dapat terjadi bradiaritmia, perdarahan subkonjungtiva,
nasal dan di daerah anus, bahkan ada yang melaporkan terjadinya henti jantung.
Batuk-batuk yang hebat juga dapat menyebabkan terjadinya pneumotoraks,
pneumomediastinum, ruptur otot-otot dan bahkan fraktur iga.
Komplikasi yang sangat dramatis tetapi jarang terjadi adalah Cough syncope atau
Tussive syncope. Keadaan ini biasanya terjadi setelah batuk-batuk yang
paroksismal dan kemudian penderita akan kehilangan kesadaran selama ± 10
detik. Cough syncope terjadi karena peningkatan tekanan serebrospinal secara
nyata akibat peningkatan tekanan intratoraks dan intraabdomen ketika batuk.

Gambar 3. Koplikasi Batuk

DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Batuk pada anak-anak bisa berupa refleks fisiologis yang normal atau karena
penyakit yang mendasari.  Pada anak-anak yang sehat mungkin normal tanpa
adanya penyakit dapat ditemukan batuk sepuluh kali dalam sehari. Penyebab
paling umum dari batuk subakut akut adalah infeksi saluran pernafasan virus.
Pada orang dewasa dengan batuk kronis (> 8 minggu) lebih dari 90% kasus
disebabkan oleh pasca tetes hidung, asma, bronkitis, dan penyakit refluks
gastroesophageal.

Jenis-jenis Obat Batuk


Menurut Beers (2003) batuk memiliki peran utama dalam mengeluarkan dahak
dan membersihkan saluran pernafasan, maka batuk yang menghasilkan dahak
umumnya tidak disupresikan. Yang diutamakan adalah pengobatan kausa seperti
infeksi, cairan di dalam paru, atau asma. Misalnya, antibiotik akan diberikan
untuk infeksi atau inhaler bisa diberi kepada penderita asma. Bergantung pada
tingkat keparahan batuk dan penyebabnya, berbagai variasi jenis obat mungkin
diperlukan untuk pengobatan. Banyak yang memerlukan batuknya disupresikan
pada waktu malam untuk mengelakkan dari gangguan tidur. Menurut KKM
(2007) sangat penting untuk mengobati batuk dengan jenis obat batuk yang benar.
Menurut Beers (2003) pengobatan batuk secara umumnya dapat diklasifikasikan
berdasarkan jenis batuknya berdahak atau tidak.

Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak dan tidak
berdahak yang dibahaskan di sini adalah mukolitik, ekspektoran dan antitusif.

1. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan sekret saluran
pernafasan dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan
mukopolisakarida dari sputum (Estuningtyas, 2008). Agen mukolitik berfungsi
dengan cara mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan
komponen mukoprotein. Agen mukolitik yang terdapat di pasaran adalah
bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein (Estuningtyas, 2008).

1.1. Bromheksin
Bromheksin merupakan derivat sintetik dari vasicine. Vasicine merupakan suatu
zat aktif dari Adhatoda vasica. Obat ini diberikan kepada penderita bronkitis atau
kelainan saluran pernafasan yang lain. Obat ini juga digunakan di unit gawat
darurat secara lokal di bronkus untuk memudahkan pengeluaran dahak pasien.
Menurut Estuningtyas (2008) data mengenai efektivitas klinis obat ini sangat
terbatas dan memerlukan penelitian yang lebih mendalam pada masa akan datang.
Efek samping dari obat ini jika diberikan secara oral adalah mual dan peninggian
transaminase serum. Bromheksin hendaklah digunakan dengan hati-hati pada
pasien tukak lambung.
Dosis oral bagi dewasa seperti yang dianjurkan adalah tiga kali, 4-8 mg sehari.
Obat ini rasanya pahit sekali.

1.2. Ambroksol
Ambroksol merupakan suatu metabolit bromheksin yang memiliki mekanisme
kerja yang sama dengan bromheksin. Ambroksol sedang diteliti tentang
kemungkinan manfaatnya pada keratokonjungtivitis sika dan sebagai perangsang
produksi surfaktan pada anak lahir prematur dengan sindrom pernafasan
(Estuningtyas, 2008).

1.3. Asetilsistein
Asetilsistein (acetylcycteine) diberikan kepada penderita penyakit
bronkopulmonari kronis, pneumonia, fibrosis kistik, obstruksi mukus, penyakit
bronkopulmonari akut, penjagaan saluran pernafasan dan kondisi lain yang terkait
dengan mukus yang pekat sebagai faktor penyulit (Estuningtyas, 2008). Ia
diberikan secara semprotan (nebulization) atau obat tetes hidung. Asetilsistein
menurunkan viskositas sekret paru pada pasien radang paru. Kerja utama dari
asetilsistein adalah melalui pemecahan ikatan disulfida. Reaksi ini menurunkan
viskositasnya dan seterusnya memudahkan penyingkiran sekret tersebut. Ia juga
bisa menurunkan viskositas sputum. Efektivitas maksimal terkait dengan pH dan
mempunyai aktivitas yang paling besar pada batas basa kira-kira dengan pH 7
hingga 9. Sputum akan menjadi encer dalam waktu 1 menit, dan efek maksimal
akan dicapai dalam waktu 5 hingga 10 menit setelah diinhalasi. Semasa
trakeotomi, obat ini juga diberikan secara langsung pada trakea. Efek samping
yang mungkin timbul berupa spasme bronkus, terutama pada pasien asma. Selain
itu, terdapat juga timbul mual, muntah, stomatitis, pilek, hemoptisis, dan
terbentuknya sekret berlebihan sehingga perlu disedot (suction). Maka, jika obat
ini diberikan, hendaklah disediakan alat penyedot lendir nafas. Biasanya, larutan
yang digunakan adalah asetilsistein 10% hingga 20%.

2. Ekspektoran
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari
saluran pernafasan (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran ini didasarkan
pengalaman empiris. Tidak ada data yang membuktikan efektivitas ekspektoran
dengan dosis yang umum digunakan. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan
stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang sekresi
kelenjar saluran pernafasan lewat nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas
dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini ialah
ammonium klorida dan gliseril guaiakoiat (Estuningtyas, 2008).

2.1. Ammonium Klorida


Menurut Estuningtyas (2008) ammonium klorida jarang digunakan sebagai terapi
obat tunggal yang berperan sebagai ekspektoran tetapi lebih sering dalam bentuk
campuran dengan ekspektoran lain atau antitusif. Apabila digunakan dengan dosis
besar dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan harus digunakan dengan hati-
hati pada pasien dengan insufisiensi hati, ginjal, dan paru-paru.
Dosisnya, sebagai ekspektoran untuk orang dewasa ialah 300mg (5mL) tiap 2
hingga 4 jam. Obat ini hampir tidak digunakan lagi untuk pengasaman urin pada
keracunan sebab berpotensi membebani fungsi ginjal dan menyebabkan gangguan
keseimbangan elektrolit.

2.2. Gliseril Guaiakolat


Penggunaan gliseril guaiakolat didasarkan pada tradisi dan kesan subyektif pasien
dan dokter. Tidak ada bukti bahwa obat bermanfaat pada dosis yang diberikan.
Efek samping yang mungkin timbul dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan
muntah. Ia tersedia dalam bentuk sirup 100mg/5mL.
Dosis dewasa yang dianjurkan 2 hingga 4 kali, 200-400 mg sehari.
Efek samping : iritasi lambung, yang dapat dikurangi dengan minum air putih.

3. Antitusif
Menurut Martin (2007) antitusif atau cough suppressant merupakan obat batuk
yang menekan batuk, dengan menurunkan aktivitas pusat batuk di otak dan
menekan respirasi. Misalnya dekstrometorfan dan folkodin yang merupakan
opioid lemah. Terdapat juga analgesik opioid seperti kodein, diamorfin dan
metadon yang mempunyai aktivitas antitusif.
Menurut Husein (1998) antitusif yang selalu digunakan merupakan opioid dan
derivatnya termasuk morfin, kodein, dekstrometorfan, dan fokodin.
Kebanyakannya berpotensi untuk menghasilkan efek samping termasuk depresi
serebral dan pernafasan. Juga terdapat penyalahgunaan.

3.1. Dekstrometorfan
Menurut Dewoto (2008) dekstrometorfan atau D-3-metoksin-N-metilmorfinan
tidak berefek analgetik atau bersifat aditif. Zat ini meningkatkan nilai ambang
rangsang refleks batuk secara sentral dan kekuatannya kira-kira sama dengan
kodein. Berbeda dengan kodein, zat ini jarang menimbulkan mengantuk atau
gangguan saluran pencernaan. Dalam dosis terapi dekstrometorfan tidak
menghambat aktivitas silia bronkus dan efek antitusifnya bertahan 5-6 jam.
Toksisitas zat ini rendah sekali, tetapi dosis sangat tinggi mungkin menimbulkan
depresi pernafasan.
Dekstrometorfan tersedia dalam bentuk tablet 10mg dan sebagai sirup dengan
kadar 10 mg dan 15 mg/5mL. Dosis dewasa 10-30 mg diberikan 3-4 kali sehari.
Dekstrometorfan sering dipakai bersama antihistamin, dekongestan, dan
ekspektoran dalam produk kombinasi (Corelli, 2007).
Hal yang harus diperhatikan : tidak dianjurkan untuk batuk yang berdahak,
pertusis dan asma bronkial. Tidak dianjurkan untuk anak di bawah 2 tahun kecuali
atas petunjuk dokter. Hati-hati pada penderita gangguan hati, sedasi, debil dan
hipoksik.

3.2. Kodein
Menurut Corelli (2007) kodein bertindak secara sentral dengan meningkatkan
nilai ambang batuk. Dalam dosis yang diperlukan untuk menekan batuk, efek
aditif adalah rendah. Banyak kodein yang mengandung kombinasi antitusif
diklasifikasikan sebagai narkotik dan jualan kodein sebagai obat bebas dilarang di
beberapa negara. Bagaimanapun menurut Jusuf (1991) kodein merupakan obat
batuk golongan narkotik yang paling banyak digunakan.
Dosis bagi dewasa adalah 10-20 mg setiap 4-6 jam dan tidak melebihi 120 mg
dalam 24 jam. Beberapa efek samping adalah mual, muntah, konstipasi, palpasi,
pruritus, rasa mengantuk, hiperhidrosis, dan agitasi (Jusuf, 1991).

2.7. Penjagaan dan Pengobatan Sendiri


Menurut Notoadmodjo (2007) masyarakat atau anggota masyarakat yang
mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit sudah tentu tidak akan bertindak
apa-apa terhadap penyakit tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga
merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha.
Respons seseorang bila sakit adalah sebagai berikut :
1. Tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa.
2. Mengobati sendiri.
3. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional.
4. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat dan
sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu.
5. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan
oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan
ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.
6. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh
dokter praktik.
2.7.1. Penjagaan Sendiri (Self-care)
Penjagaan sendiri didefinisikan sebagai aktivitas kesehatan non-formal yang
teratur dan membuat keputusan yang terkait dengan kesehatan termasuk
pengobatan sendiri, penatalaksanaan sendiri, dan bantuan pertama dalam
kontekstual sosial normal di dalam kehidupan seharian.
Antara penjagaan sendiri untuk pencegahan batuk yang dianjurkan dalam situs
resmi KKM adalah :
1. Tidak merokok.
2. Minum air yang banyak.
3. Cough drops.
4. Menjauhi dari penyebab batuk seperti etiologi abu dan asap rokok.
5. Meninggikan kepala dengan menggunakan bantal tambahan pada waktu malam
untuk mengurangkan batuk kering.

Rujukan :
 Yoga Aditama T. Patofisiologi Batuk. Jakarta : Bagian Pulmonologi FK
UI, Unit Paru RS Persahabatan, Jakarta. 1993.
 Chung KF, Pavord ID (April 2008). Prevalence, pathogenesis, and causes
of chronic cough. Lancet 371 (9621): 1364–74.
 McGowan, P., Jeffries, A., Turley, A., 2006. Crash Course: Respiratory
System. 2nd ed. United Kingdom: Mosby.
 Digpinigaitis, P., V., 2009. Acute Cough: A Diagnostic and Therapeutic
Challenge, USA. Available from:
http://www.coughjournal.com/content/5/1/11. [Accessed 10 Sept 2016]

Anda mungkin juga menyukai