Anda di halaman 1dari 10

Juni 4, 2012 by Indonesia Medicine

Pemilihan Obat Batuk Mukolitik dan Ekspektoran Pada penderita Alergi dan Asma

Pemilihan Obat Batuk Mukolitik dan Ekspektoran Pada penderita Alergi dan Asma

Pemberian obat alergi untuk penderita alergi bukan jalan keluar utama yang terbaik. Pemberian obat
jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan menghindari penyebab.

Ekspektoran meningkatkan pembersihan mukus dari saluran bronkus. Satu-satunya preparat yang
paling efektif adalah air, terutama pada pasien dehidrasi. Karena itu anjurkan pasien asma untuk
minum sebanyak mungkin karena hal ini akan mencegah pengeringan mukus. Pada asma berat,
setelah terapi inhalasi dengan bronkodilator dapat dilanjutkan dengan cairan NaCl 0,9% memakai
nebulizer selama 20-30 menit, 3-4 kali sehari. Manfaat obat ekspektoran dan mukolitik tergantung
dari masukan air yang adekuat. Obat yang terdapat di pasaran pada saat ini misalnya gliseril
guaiakolat, iodida, asetilsistein, bromheksin, dan ambroksol.

 Ekspektoran Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran
pernafasan. Ekspektoran bekerja dengan cara merangsang selaput lendir lambung dan
selanjutnya secara refleks memicu pengeluaran lendir saluran nafas sehingga menurunkan
tingkat kekentalan dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat ini juga merangsang terjadinya
batuk supaya terjadi pengeluaran dahak. Yang termasuk ke dalam golongan obat ini adalah
Glyceril Guaiacolate, Ammonium Klorida, Succus liquiritae dan lain-lain.

 Mukolitik Mukolitik adalah obat batuk berdahak yang bekerja dengan cara membuat hancur
bentuk dahak sehingga dahak tidak lagi memiliki sifat-sifat alaminya. Mukolitik bekerja dengan
cara menghancurkan benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari dahak. Sebagai
hasil akhir, dahak tidak lagi bersifat kental dan dengan begitu tidak dapat bertahan di
tenggorokan lagi seperti sebelumnya. Membuat saluran nafas bebas dari dahak.

Ambroxol

Ambroxol, yang berefek mukokinetik dan sekretolitik, dapat mengeluarkan lendir yang kental dan
lengket dari saluran pernafasan dan mengurangi staknasi cairan sekresi. Pengeluaran lendir dipermudah
sehingga melegakan pernafasan. Sekresi lendir menjadi normal kembali selama pengobatan dengan
Ambril. Baik batuk maupun volume dahak dapat berkurang secara bermakna. Dengan demikian cairan
sekresi yang berupa selaput pada permukaan mukosa saluran pernafasan dapat melaksanakan fungsi
proteksi secara normal kembali. Penggunaan jangka panjang dimungkinkan karena preparat ini
mempunyai toleransi yang baik.

 Indikasi : Gangguan saluran pernafasan sehubungan dengan sekresi bronkial yang abnormal
baik akut maupun kronis, khususnya pada keadaan-keadaan eksaserbasi dari penyakit-
penyakit bronkitis kronis, bronkitis asmatis, asma bronkial.
 Dosis pemakaian: Bila tidak dianjurkan lain oleh dokter,
anjuran pemakaian untuk anak berdasarkan jumlah dosis perhari yaitu 1,2 – 1,6 mg
Ambroxol HCI per kg berat badan.

Tablet :

Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun tablet 3 kali sehari.

Anak-anak antara 5-12 tahun 1/2 tablet 3 kali sehari.

pada pemakaian jangka panjang dosis pemberian sebaiknya dikurangi menjadi 2 kali sehari.Tablet
sebaiknya ditelan sesudah makan bersama sedikit air.

Sirup :

Anak-anaks/d 2 tahun 2,5 ml (V; sendok takaran), 2 kali sehari

Anak-anak2-5 tahun 2,5 ml (V2 sendok takaran), 3 kali sehari.

Anak-anakdi atas 5 tahun 5ml{ 1 sendok takaran), 2- 3 kali sehari.

Dewasa 10 ml (2 sendok takaran), 3 kali sehari.

Takaran pemakaian di atas cocok untuk pengobatan gangguan saluran pernafasan akut dan
untuk pengobatan awal pada keadaan kronis sampai 14 hari. Pada pemakaian lebih lama
takaran pemakaian bisa diturunkan menjadi separuhnya. Sirup sebaiknya diminum sesudah makan.

 Interaksi Obat Penggunaan Ambroxol dapat meningkatkan kerja atau efektivitas dari antibiotik k
arena dapat dikatakan jika mukus semakin cepat dan
mudah untuk dikeluarkan,maka bakteri atau virus penyebab penyakit yang
terjerat pada mukus juga akandikeluarkan

 Pada studi preklinis tidak menunjukkan adanya efek yang mengkhawatirkan,


akan tetapi keamanan pemakaian pada wanita hamil/menyusui belum diketahui dengan pasti.
Meskipun demikian, seperti halnya dengan penggunaan obat-obat lain,
pemakaian pada kehamilan trimester I harus hati-hati.

Efek samping :

 Ambrixol umumnya mempunyai toleransi yang baik.


Efek samping ringan pada saluran pencernaan pernah dilaporkan walaupun jarang.
Reaksi alergi jarang terjadi, beberapa pasien yang
alergi tersebut juga menunjukkan reaksi alergi terhadap preparat lain.

 Kontraindikasi : Tidak diketahui adanya kontraindikasi.

BROMHEKSIN
 Sediaan : Tablet, sirup.

 Manfaat obat Mukolitik dan ekspektoran.

 Mekanisme kerja Pengurangan viskositas dahak. Stimulasi pada sekresi, gerakan siliar,
pembentuk surfaktan. Perbaikan penangkal imunologis setempat.

 Indikasi Sekretolitik pada infeksi jalan pernapasan yang akut dan


kronis serta pada penyakit paru dengan pembentukan mucus berlebih.

 Kontraindikasi Hipersensitivitas, wanita hamil, menyusui,

 Efek samping Reaksi alergi, gangguaan gastrointestinal ringan.

 Interaksi obat Hati-hati penggunaan dengan obat lain.

 Dosis Dewasa: 3x 8mg/hari.

Erdosteine (Edotin®)

 Sifat mukolitik lebih baik daripada bromheksin

 Efek samping ringan, biasanya hanya di saluran cerna.

Asetilsistein (Fluimucil®)

 Digunakan sebagai mukolitik, dan mencegah keracunan parasetamol

 Efek samping: bronkospasme, gangguan saluran cerna

 Asetilsistein memecah ikatan disulfida pada dahak.

Bromheksin (Bisolvon®)

 Digunakan sebagai mukolitik

 Efek samping: diare, mual, muntah.

 Juga memiliki efek antioksidan

OBAT BATUK EKSPEKTORAN

Guaifenesin/gliseril guaiakolat/GG

 Digunakan sebagai ekspektoran pd batuk berdahak, mekanisme kerjanya dg cara meningkatkan


volume dan menurunkan viskositas dahak di trakea dan bronki, kemudian merangsang
pengeluaran dahak menuju faring.Efek samping: mual, muntah, batu ginjal.

Agonis β2
Salbutamol (Ventolin®, Asmacare®)

 Digunakan sebagai pilihan pertama obat asma.

 Efek samping: tremor, sakit kepala, kram otot, mulut kering, serta aritmia.

 Biasanya diberikan dalam bentuk MDI (metered dose inhaler), atau nebulizer supaya efeknya
lebih cepat. Dapat pula diberikan per oral dan juga intra vena.

Fenoterol (Berotec®)

 Efek samping meliputi tremor ringan pada otot rangka, palpitasi, takikardi, sakit kepala, batuk,
berkeringat.

 Diberikan dalam bentuk MDI atau juga cairan untuk inhalasi (dihirup lewat nebulizer).

Terbutaline (Bricasma®)

 Efek samping hampir sama dg efek samping fenoterol.

 Dapat diberikan dalam bentuk tablet, infus, respule, atau juga turbuhaler.

Orciprenaline/metaproterenol (Alupent®)

 Efek samping: palpitasi, tremor di jari.

 Dapat diberikan dalam bentuk tablet, dan MDI.

Salmeterol (Seretide®, kombinasi salmeterol dg fluticasone)

 Tergolong LABA (long acting beta adrenoceptor agonist)

 Waktu kerja lebih lama (12 jam) daripada salbutamol (4-6 jam)

 Hanya digunakan utk kasus severe persistent asthma yg sebelumnya pernah diterapi dg
salbutamol.

 Biasanya salmeterol dikombinasikan dg kortikosteroid.

Formoterol (Symbicort®, suatu kombinasi budesonide (golongan kortikosteroid) dg formoterol)

 Tergolong LABA (long acting beta adrenoceptor agonist)

 Lebih cepat mula kerjanya dan lebih manjur dibanding salmeterol

Antikolinergik

Ipatropium bromida (Atrovent®)


 Mekanisme kerja: menghambat mAChR (reseptor asetilkolin muskarinik), shg terjadi
bronkodilasi.

 Efek samping: mengantuk, mulut kering.

 Biasanya diberikan dalam bentuk MDI, atau juga larutan inhalasi (hirup) utk nebulizer.

Tiotropium bromida (Spiriva®)

 Digunakan untuk terapi pemeliharaan (maintenance) pasien dg penyakit paru obstruktif kronik.

 Mekanisme kerja sama dg ipatropium bromida, juga memiliki efek samping yang sama.

Glukokortikoid

Budesonide (Pulmicort®)

 Tidak digunakan pada pasien dg TBC

 Efek samping: candidiasis (tumbuhnya jamur candida) di mulut/tenggorokan, perubahan sensasi


indra pembau dan pengecap.

 Tidak seperti steroid lainnya, budesonide memiliki efek sedikit pada poros hipotalamik-pituitari-
adrenal, hal ini menyebabkan budesonide tidak begitu memerlukan tapering off (dikurangi
perlahan) dosisnya sebelum dihentikan.

Deksametason

 Kontraindikasi: infeksi parah, ulkus gastrointestinal, osteoporosis, sistemik TBC.

 Efek samping: gastritis, osteoporosis

 Tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi

Metilprednisolon

Prednison

Antagonis Leukotriene

 Nama lain Leukast

 Mekanisme kerja: menghambat leukotriene, yg merupakan senyawa yg diproduksi sistem


kekebalan tubuh. Leukotriene menyebabkan inflamasi pada asma dan bronkitis, serta
mengecilkan jalan pernafasan.

 Antagonis leukotriene kurang efektif dibandingkan kortikosteroid dlm menangani asma, shg
kurang disukai.
Zafirlukast (Accolate®

 Tersedia dalam bentuk tablet Zileuton

 Montelukast

ANTIHISTAMIN

 Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran banyak dijumpai
berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya. Antihistamin terutama
dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi atau keadaan lain yang disertai
pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin secara rasional perlu dipelajari untuk
lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena pada saat ini banyak antihistamin generasi
baru yang diajukan sebagai obat yang banyak menjanjikan keuntungan.

 Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar, yang menghambat reseptor H1
dan yang menghambat reseptor H2. Yang lazim disebut antihistamin adalah antagonis reseptor
histamin H1 (AH1). Semua kelas antihistamin H1 struktur kimianya menyerupai histamin.
Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau konvensional (generasi I), dan AH1
non-sedatif (generasi I). Mereka dibagi dalam beberapa subkelas.

 EtilendiaminAntazolin, tripelanamin, pirilamin.

 EtanolaminKarbinoksamin, difenhidramin, doksilamin.

 AlkilaminKlorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.

 PiperazinSetirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.

 PiperidinSiproheptadin.

 FenotiasinPrometasin.

 Lain-LainAkrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin, loratadin, mebhidrolin,


terfenadin, ketotifen.

 Yang termasuk golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin, astemizol,
levokobastin, loratadin, dan terfenadin.

 Farmakokinetik Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral
menyebabkan efek sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Hepar merupakan tempat
metabolisme utama (70-90%), dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin dalam bentuk
yang tidak berubah.

 Mekanisme kerja Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu
reseptor yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang
sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan dengan efek
sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis daripada untuk
mengatasi serangan. Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor
AH1 lebih kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan
preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari. Beberapa jenis AH1
golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast sehingga dapat mencegah pelepasan
histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada yang menunjukkan penghambatan terhadap
ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada
sel endotel. Oleh karena dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka
ketotifen dan beberapa jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang
lebih kuat untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.

 Penggunaan klinis Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi
simtomatik untuk reaksi alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas
farmakologinya. Pemilihan antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat
individual. Pada seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan satu jenis
antihistamin dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari subkelas yang berbeda

Efek yang tidak diinginkan

 Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman pemakaiannya. Efek
samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan gangguan kesadaran yang ringan
(somnolen).

 Efek antikolinergikPada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis besar. Eksitasi,
kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada pasien dengan gangguan
saraf pusat dapat terjadi kejang.

 DiskrasiaMeskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan diskrasia
darah, panas dan neuropati.

 SensitisasiPada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan urtikaria, eksim
dan petekie.

OBAT ADRENERGIK

Obat ini disebut juga golongan simpatomimetik amin. Efeknya paling sedikit melalui 2 sistem yang
berbeda. Reseptor adrenergik α berperan dalam konstriksi otot polos arteri, vena, bronkus, sfingter
kandung kencing serta relaksasi otot usus halus. Reseptor adrenergik β berperan sebaliknya dalam
relasaksi otot polos bronkus, uterus, dan pembuluh darah. Konsep adrenergik β telah membedakan
agonis β1 yang menimbulkan lipolisis dan stimulasi jantung serta agonis β2 yang berperan pada
bronkodilatasi, vasodilatasi, inhibisi pelepasan histamin, tremor otot rangka.

 Agonis Adrenergik α Obat ini terutama dipakai sebagai dekongestan hidung karena efek
vasokonstriksinya pada arteriol mukosa hidung yang melebar sehinga memperbaiki ventilasi
nasal dan jalan sinus. Dekongestan hidung hanya memperbaiki gejala sementara pada rinitis
alergik, vasomotor atau infeksi. Efeknya dapat membantu kerja antibiotik pada otitis media.
Indikasi lain adalah pada otitis media serosa untuk menghilangkan obstruksi pada ostia tuba
Eustachii. Pada waktu akut diberikan dalam bentuk dekongestan topikal (uap, semprotan, atau
tetes); lebih efektif darpada preparat oral. Diberikan tidak lebih dari lima hari. Pada keadaan
yang kronis diberikan preparat oral, karena pemberian topikal lebih dari lima hari sel
menimbulkan efek kebalikan.

 Agonis Adrenergik β Banyak dipakai pada pengobatan asma karena kemampuannya


menimbulkan bronkodilatasi melalui reseptor beta adrenergik di paru.Mengaktifkan kompleks
reseptor β-adenil siklase yang mengkatalisasi produksi adenosine monofosfat (AMP) dari
adenosine trifosfat (ATP), hingga mengakibatkan peningkatan kadar cAMP dalam sel yang
menyebabkan relaksasi otot polos bronkus. Efek ini menyebabkan stabilisasi sel mast sehingga
dapat mencegah pelepasan mediator kimia. Katekolamin seperti epinefrin, selproterenol dan
isoetarin tidak efektif diberikan peroral oleh karena perusakan yang sangat cepat di saluran
cerna. Nonkatekolamin sebaliknya dari katekolamin, jenis ini efektif bila diberikan peroral dan
dapat bekerja lebih lama oleh karena lebih tahan terhadap enzim yang ada di saluran cerna.
Contohnya metaproterenol, terbutalin, fenoterol. Efek yang tidak diinginkanObat agonis β sel
menimbulkan takikardia, palpitasi, gelisah, tremor, nausea. dan muntah; kadang pusing, lemas,
keringat dingin, dan sakit prekordial. Jangan dipakai berlebihan terutama dalam bentuk inhalasi.
Hindari pemakaian adrenergik β nonselektif pada pasien dengan hipertensi, tirotoksikosis, dan
penyakit jantung. Dalam hal tersebut pakailah agonis selektif β2 dan lebih baik lagi secara
inhalasi. Agonis adrenergik β2 secara inhalasi dapat menimbulkan efek samping yang kurang
dibandingkan dengan pemakaian sistemik yang sering menimbulkan tremor dan palpitasi. Untuk
mengatasi serangan asma akut dan mencegah exercise induced asthma.

METILXANTIN

 Teofilin merupakan salah satu obat utama untuk pengobatan asma akut maupun kronik. Bekerja
dengan menghalangi kerja enzim fosfodiesterase sehingga menghindari perusakan cAMP dalam
sel, antagonis adenosin, stimulasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, mengurang;
konsentrasi Ca bebas di otot polos, menghalangi pembentukan prostaglandin, dan memperbaiki
kontraktilitas diafragma. Preparat cair diserap kurang lebih l/2 sampai 1 jam, tablet yang tak
berlapis 2 jam, dan preparat lepas lambat 4 sampai 6 jam.Teofilin dieliminasi dalam hati dan
disekresi dalam urin. Terdapat variasi individual dalam eliminasi teofilin. Harus diperhatikan
umur dan gemuknya seseorang.

 Dosis oral. Oleh karena terdapat variasi antara setiap individu maka dosis harus disesuaikan
dengan melihat perbaikan klinis, efek samping, dan kadar pemeliharaan dalam darah antara 10-
20 μg/ml. Dosis permulaan yang umum antara 10-16 mg/kgBB/hari, bilamana dosis akan
ditingkatkan maka perlu monitorkadar teofilin dalam plasma. Untuk preparat lepas lambat dosis
seharinya lebih rendah dari preparat biasa Bila tampak tanda intoksikasi maka dosis harus
segera diturunkan.
 Dosis intravena. Tujuan utama pemberian teofilin intravena adalah untuk secara cepat
mendapatkan kadar dalam plasma antara 10-20 sel/ml. Bila pasien belum mendapat teofilin
sebelumnya, diberikan loading dose 6 mg/kgBB selama 20-30 menit melaui infus, selanjutnya
diteruskan dengan dosis pemeliharaan.

 Terdapat beberapa jenis preparat teofilin, yaitu dalam bentuk sirop yang bekerja cepat, tablet,
kapsul, tablet lepas lambat, dan kombinasi teofilin dengan obat lainnya. Dalam memilih preparat
yang akan dipakai, pertimbangkan hal seperti berikut. Adanya alkohol dalam sirop dapat
mengakibatkan efek samping bila dipakai terus-menerus, jadi preparat ini sebaiknya hanya
dipakai sebagai terapi permulaan untuk mengatasi keadaan akut. Hindari kombinasi teofilin
dengan obat lain dalam satu preparat karena preparat jenis ini sering terjadi efek samping.
Preparat lepas lambat sangat berguna untuk pengobatan asma kronik sebab dapat diberikan
dosis dua kali sehari sehingga meningkatkan kepatuhan pasien.

 Reaksi yang merugikan mulai timbul bila dosis teofilin dalam darah telah melebihi 15 μg/ml. Efek
samping yang sering terjadi adalah muntah dan gangguan saraf pusat.

NATRIUM KROMOLAT

 Obat ini mampu menghambat pelepasan mediator dari sel mast dan basofil sehingga alergen
yang masuk ke dalam badan tidak lagi menimbulkan reaksi alergi. Diperlukan waktu 2-3 bulan
untuk evaluasi efek natrium kromolat. Telah dilaporkan bahwa pada waktu penghirupan obat ini
dapat terjadi bronkokonstriksi, oleh karena itu dianjurkan untuk memakai inhalasi β2 terlebih
dahulu sebelum penggunaan obat ini.

 Indikasi adalah untuk asma, rinitis alergik, konjungtivitis alergik, alergi makanan, ulserasi mukosa
(protokolitis, sariawan). Untuk rinitis alergik diberikan dalam bentuk tetes hidung, untuk
konyungtivitis alergik dalam bentuk tetes mata, dan untuk alergi makanan diberikan peroral 30
menit sebelum makan.

OBAT ANTIKOLINERGIK

 Asetilkolin berperan dalam bronkospasme. Atropin sulfat, beladona, dan skopolamin efektif
untuk mencegah bronkospame oleh metakolin, tetapi tidak untuk bronkospasme oleh histamin.

 Pada mulanya pemakaian aerosol atropin sangat terbatas oleh karena efek samping seperti
peninggian viskositas dan menurunnya jumlah sputum, orofaring jadi kering, denyut jantung
meningkat, sedasi, dan gangguan visus. Tetapi dengan preparat baru (ipratropium bromide)
yang dapat mengurangi efek samping tersebut maka obat ini mulai banyak lagi dipakai,
terutama untuk orang dewasa yang menderita asma intrinsik atau asma bronkitis yang
bronkospasmenya dipengaruhi oleh asetilkolin.

KORTIKOSTEROID
 Kortikosteroid dikenal mempunyai efek yang kuat sebagai anti-inflamasi pada penyakit artritis
reumatoid, asma berat, asma kronik, penyakit inflamasi kronik dan berbagai kelainan
imunologik. Oleh karena efek anti inflamasi dan sebagai immunoregulator, kortikosteroid
memegang peranan penting pada pengobatan medikamentosa penyakit alergi baik yang akut
maupun kronik. Tetapi di samping manfaatnya, karena efek sampingnya yang banyak juga
menyebabkan penggunaan kortikosteroid ini harus tepat guna dan tepat cara.

 Kortikosteroid alamiah dan buatan secara garis besar terbagi dalam mineralokortikoid dan
glukokortikoid. Walaupun pada saat ini pada preparat yang baru semakin diusahakan untuk
hanya mempunyai efek glukokortikoid, tetap masih mempunyai efek minerelokortikoid
walaupun sedikit.

 Walaupun tampaknya ada bermacam efek pada fungsi fisiologik, kortikosteroid tampaknya
mempengaruhi produksi protein tertentu dari sel. Molekul steroid memasuki sel dan berikatan
dengan protein spesifik dalam sitoplasma. Kompleks yang terjadi dibawa ke dalam nukleus, lalu
menimbulkan terbentuknya mRNA yang kemudian dikembalikan ke dalam sitoplasma untuk
membantu pembentukan protein baru, terutama enzim, sehingga melalui jalan ini
kortikosteroid dapat mempengaruhi berbagai proses. Kortikosteroid juga mempunyai efek
terhadap eosinofil, mengurangi jumlah dan menghalangi terhadap stimulus. Pada pemakaian
topikal juga dapat mengurangi jumlah sel mast di mukosa. Kortikosteroid juga bekerja sinergistik
dengan agonis β2 dalam menaikkan kadar cAMP dalam sel.

 Indikasi utama adalah untuk reaksi alergi akut berat yang dapat membahayakan kehidupan,
seperti status asmatikus, anafilaksis, dan dermalitis exfoliativa. Selain itu, juga untuk reaksi alergi
berat yang tidak membahayakan kehidupan tetapi sangat mengganggu, misalnya dermatitis
kontak berat, serum sickness, dan asma akut yang berat. Indikasi lain adalah untuk penyakit
alergi kronik berat sambil menunggu hasil pengobatan konvensional, atau untuk mengatasi
keadaan eksaserbasi akut pada pasien yang memakai kortikosteroid dosis rendah jangka
panjang, harus dinaikkan dosisnya bila terjadi eksaserbasi.

Anda mungkin juga menyukai