Anda di halaman 1dari 13

PENGGUNAAN SALBUTAMOL (ALBUTEROL) DALAM TERAPI ASMA

Kata asma berasal dari bahasa Yunani asthma yang berarti sukar bernafas. Asma termasuk salah
satu penyakit yang memiliki angka kejadian yang relatif tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, kata
asma tentu sudah tidak terdengar asing lagi bagi sebagian besar masyarakat. Penyakit asma bisa
bisa muncul kapan saja dan bisa diderita oleh siapa saja tanpa pandang bulu, mulai dari anak-anak
sampai orang dewasa, baik wanita maupun laki-laki. Saat kambuh, panderita akan mengalami
sesak nafas sehingga aktivitas sehari-hari, seperti sekolah maupun kerja, bisa terganggu. Selain
mengganggu aktivitas, penyakit ini bahkan bisa menyebabkan kematian bila tidak ditangani
secara cepat dan tepat. Namun jika penyakit ini dikendalikan, kematian dapat dicegah dan
penderita asma tak perlu mengalami serangan lagi atau gejalanya berkurang. Untuk dapat
mengetahui bagaimana cara pencegahan dan pengobatan yang tepat untuk asma, maka penderita
perlu mengenal lebih jauh tentang asma terlebih dahulu.

Asma adalah penyakit yang disebabkan karena adanya inflamasi (peradangan) kronis
pada saluran pernafasan, yang belum diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa faktor yang
dapat memicu terjadinya asma antara lain adalah: infeksi saluran pernafasan, alergen (debu, bulu
hewan, serbuk sari, dll), kondisi lingkungan (udara dingin, asap rokok), stress, olahraga berat,
obat (aspirin, NSAIDs, -blocker). Adanya peradangan membuat saluran pernafasan menjadi
sangat sensitif terhadap rangsangan dan mudah mengalami penyempitan. Penyempitan ini
menyebabkan udara yang masuk dan keluar saluran pernafasan terhalang sehingga penderita
menjadi sesak. Selain itu, serangan asma juga sering disertai dengan serangan batuk, nafas
pendek, rasa sesak di dada. Pada asma yang sudah parah biasanya juga ditandai dengan wheezing
atau mengi, terutama pada malam hari. Penyempitan saluran nafas pada asma bersifat
reversible dan serangan biasanya berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.

Kelainan utama penyakit asma adalah peradangan saluran nafas, sehingga


pengelolaan/pengobatannya bukan hanya ditujukan untuk menghilangkan gejala sesak nafas
semata, tetapi juga berbagai tujuan berikut yaitu, agar penderita mempunyai fungsi paru
mendekati normal dan gejala asmanya menghilang atau minimal. Tujuan lainnya adalah agar
serangan asma minimal, pemakaian obat untuk serangan sesak berkurang, dan tidak ditemukan
efek samping obat.

Secara umum, ada 2 cara untuk mengatasi asma yaitu dengan terapi non-farmakologis
(tanpa obat) dan terapi farmakologis (dengan obat). Terapi non farmakologis dapat dilakukan
dengan menghindari faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan asma serta dengan melakukan
olahraga ringan seperti renang.

Adapun untuk terapi farmakologis, ada dua jenis obat yang biasa digunakan yaitu quick-
relief dan long-term control. Kedua jenis obat tersebut memiliki cara kerja yang berbeda. Obat-
obat quick-relief, misal bronkodilator, bekerja dengan merelaksasi otot-otot di saluran nafas
sehingga saluran nafas yang semula menyempit akan melebar kembali dan penderita mampu
bernafas dengan lega. Dengan demikian, obat-obat ini lebih efektif digunakan saat serangan asma
terjadi. Adapun obat-obat long-term relievers digunakan untuk mencegah timbulnya serangan
asma dengan mengatasi peradangan di saluran pernafasan agar tidak semakin memburuk, antara
lain dengan mengurangi udem. Contoh obat yang termasuk long-term relievers ini adalah
kortikosteroid.

Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan paling efektif.
Tidak salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan asma. Selain untuk membuka
saluran pernafasan yang menyempit, obat ini juga efektif untuk mencegah timbulnya exercise-
induced broncospasm (penyempitan saluran pernafasan akibat olahraga). Saat ini, salbutamol
telah banyak beredar di pasaran dengan berbagai merk dagang, antara lain: Asmacare,
Bronchosal, Buventol Easyhaler, Glisend, Ventolin, Venasma, Volmax, dll. Selain itu, salbutamol
juga telah tersedia dalam berbagai bentuk sediaan mulai dari sediaan oral (tablet, sirup, kapsul),
inhalasi aerosol, inhalasi cair sampai injeksi. Adapun dosis yang dianjurkan adalah sebagai
berikut:

Sediaan oral

Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari

Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari

Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4 kali sehari

Dewasa : 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1 kali minum sebesar 8
mg

Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif sebesar 2 mg
Inhalasi aerosol

Anak : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2 hisapan) bila
perlu.
Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari

Inhalasi cair

Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali sehari atau 5 kali bila perlu.
Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih diragukan.

Injeksi subkutan atau intramuscular

Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu

Injeksi intravena lambat

Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu

Sediaan inhalasi cair banyak digunakan di rumah sakit untuk mengatasi asma akut yang
berat, sedangkan injeksi digunakan untuk mengatasi penyempitan saluran nafas yang berat.
Bentuk sediaan lain, seperti tablet, sirup dan kapsul digunakan untuk penderita asma yang tidak
dapat menggunakan cara inhalasi. Dari berbagai bentuk sediaan yang ada, pemberian salbutamol
dalam bentuk inhalasi aerosol cenderung lebih disukai karena selain efeknya yang cepat, efek
samping yang ditimbulkan lebih kecil jika dibandingkan sediaan oral seperti tablet. Bentuk
sediaan ini cukup efektif untuk mengatasi serangan asma ringan sampai sedang, dan pada dosis
yang dianjurkan, efeknya mampu bertahan selama 3-5 jam. Beberapa keuntungan penggunaan
salbutamol dalam bentuk inhalasi aerosol, antara lain:

Efek obat akan lebih cepat terasa karena obat yang disemprotkan/dihisap langsung masuk
ke saluran nafas.

Karena langsung masuk ke saluran nafas, dosis obat yang dibutuhkan lebih kecil jika
dibandingkan dengan sediaan oral.

Efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan sediaan oral karena dosis yang
digunakan juga lebih kecil.
Namun demikian, penggunaan inhalasi aerosol ini juga memiliki kelemahan yaitu ada
kemungkinan obat tertinggal di mulut dan gigi sehingga dosis obat yang masuk ke saluran nafas
menjadi lebih sedikit dari dosis yang seharusnya. Untuk memperbaiki penyampaian obat ke
saluran nafas, maka bisa digunakan alat yang disebut spacer (penghubung ujung alat dengan
mulut).

Sangat penting untuk mengetahui bagaimana cara penggunaan inhalasi aerosol yang
benar. Mengapa? Karena cara pakai yang salah bisa berakibat kegagalan terapi. Cara yang benar
adalah dengan menghisapnya secara perlahan dan menahan nafas selama 10 detik sesudahnya.

Kontraindikasi dari obat ini adalah untuk penderita yang hipersensitif terhadap salbutamol
maupun salah satu bahan yang terkandung di dalamnya. Adapun efek samping yang mungkin
timbul karena pamakaian salbutamol, antara lain: gangguan sistem saraf (gelisah, gemetar,
pusing, sakit kepala, kejang, insomnia); nyeri dada; mual, muntah; diare; anorexia; mulut kering;
iritasi tenggorokan; batuk; gatal; dan ruam pada kulit (skin rush). Untuk penderita asma yang
disertai dengan penyakit lainnya seperti: hipertiroidisme, diabetes mellitus, gangguan jantung
termasuk insufisiensi miokard maupun hipertensi, perlu adanya pengawasan yang lebih ketat
karena penggunaan salbutamol bisa memperparah keadaan dan meningkatkan resiko efek
samping. Pengawasan juga perlu dilakukan pada penderita asma yang sedang hamil dan
menyusui karena salbutamol dapat menembus sawar plasenta. Untuk meminimalkan efek
samping maka untuk wanita hamil, sediaan inhalasi aeorosol bisa dijadikan pilihan pertama.
Penggunaan salbutamol dalam bentuk sediaan oral pada usia lanjut sebaiknya dihindari
mengingat efek samping yang mungkin muncul.

Beberapa hal penting yang perlu diketahui oleh para pengguna salbutamol untuk
mengatasi asma, adalah sebagai berikut:

Sebaiknya tidak menggunakan obat ini jika memiliki riwayat alergi terhadap salbutamol atau
bahan-bahan lain yang terkandung di dalamnya.

Untuk sediaan oral, sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan.

Telan tablet salbutamol dan jangan memecah maupun mengunyahnya.

Untuk sediaan inhalasi, kocok dulu sebelum digunakan dan buang 4 semprotan pertama jika
menggunakan inhaler baru atau inhaler yang sudah tidak terpakai selama lebih dari 2 minggu.
Sebaiknya berkumur setiap kali sehabis mengkonsumsi salbutamol supaya tenggorokan dan
mulut tidak kering.

Jika dibutuhkan lebih dari 1 hisapan dalam sekali pemakaian, maka beri jarak waktu minimal
1 menit untuk setiap hisapan.

Simpan obat pada suhu kamar agar stabil (aerosol: 15-25 o C; inhalasi cair: 2-25o C dan sirup:
2-30o C)

Jika ada dosis yang terlewat, segera minum salbutamol yang terlewat. Namun jika waktu
yang ada hampir mendekati waktu pengonsumsian selanjutnya, lewati pengonsumsian yang
tertinggal kemudian lanjutkan mengkonsumsi salbutamol seperti biasa. Jangan pernah
mengkonsumsi 2 dosis dalam sekali pemakaian.

Obat-obat golongan beta blocker, seperti: propanolol, metoprolol, atenolol, dll bisa
menurunkan efek salbutamol.

Penggunaan salbutamol dosis tinggi bersamaan dengan kortikosteroid dosis tinggi akan
meningkatkan resiko hipokalemia.

Asetazolamid, diuretik kuat dan thiazida dosis tinggi akan meningkatkan resiko hipokalemia
jika diberikan bersamaan dengan salbutamol dosis tinggi pula.

Penggunaan salbutamol bersama dengan obat golongan MAO-inhibitor (misal:


isocarboxazid, phenelzine) bisa menimbulkan reaksi yang serius. Hindari pemakaian obat-
obat golongan ini 2 minggu sebelum, selama maupun sesudah konsumsi salbutamol.

Asma merupakan penyakit yang membutuhkan terapi jangka panjang sehingga perlu
dilakukan monitoring terhadap perkembangannya secara terus-menerus untuk melihat apakah
obat yang diberikan cocok atau tidak. Ada kalanya asma tidak cukup diatasi hanya dengan satu
macam obat saja, sehingga perlu penambahan obat (kombinasi obat). Maka dari itu, pengetahuan
akan salah satu jenis obat saja tidak cukup karena masih banyak obat selain salbutamol yang tentu
saja memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Agar tujuan terapi tercapai, maka penderita asma dianjurkan tetap proaktif dan semangat
dalam mengatasi penyakitnya. Pengendalian asma yang tepat akan mampu meningkatkan kualitas
hidup penderita asma sehingga bisa menjalani hidupnya secara menyenangkan. Dan satu hal yang
perlu diingat: jangan biarkan asma mengendalikan hidup Anda, tetapi Andalah yang harus
mengendalikan asma.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000, informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2006, MIMS Petunjuk Konsultasi, Ed. Ke-6, 70-76, PT. InfoMaster, Jakarta

Dipiro, J.T., 1997, Pharmacotherapy A Pathophysiologyc Approach, 3rd Ed., Appleton &
Lange Stamford, Connecticut

Katzung, B.G., 2001, Farmakologi Dasar & Klinik, Ed.I, Salemba Medika, Jakarta

Lacy, Charles F.; Armstrong, Lora I.; Goldman, Morton P., 2003, Drug Information
Handbook, 11th Ed., 45-46, Lexi-Comp Inc., Canada

Paul, Les and Nagle, Becky, 2002, The Essential Medication Guidebook To Healthy Aging, 99-
104, Ballantine Books, New York
Penggunaan Kombinasi Aminofilin dan
Salbutamol pada Pasien Penyakit Paru
Obstruktive Kronik (PPOK) dengan
Eksaserbasi Akut
Dibuat oleh: Galih Sahid W,Modifikasi terakhir pada Fri 08 of Jul, 2011 [07:40 UTC]

Abstrak :

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Eksaserbasi akut pada PPOK
berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi
dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau
timbulnya komplikasi. Pada kasus ini pasisen 60 tahun sesak nafas dan ditambah adanya
batuk kering, mual, muntah dan nyeri ulu hati. Keluhan seperti ini sudah biasa dirasakan
terapi semakin memberat beberapa hari sebelum masuk rumah sakit. Kemudian
dilakukan pemberian kombinasi aminofilin IV dengan salbutamol nebulaizer.

Kata kunci: Penyakit Paru Obstruktive Kronik, PPOK, Aminofilin, Salbutamol

Isi Kasus :

Pasien perempuan usia 60 tahun sesak nafas dialami pasien sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dirasakan baik saat beraktifitas maupun saat istirahat sehingga pasien
harus tidur dengan 2-3 bantak untuk mengurangi sesak. Pasien juga mengeluhkan adanya
batuk kering, mual, muntah dan nyeri ulu hati. Pasien memiliki riwayat penyakit asma
keadaan umum : komposmentis, TD : 120/80mmHg, nadi 62 x/I, RR : 45 x, T : 36,8C,
ronkhi (+), wheexing (+). Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan.

Diagnosis :

PPOK ekserbasi akut.

Terapi :

IVFD RL dimasukan aminofilin 1 ampul, Salbutamol 3x4mg, Cefadroxil 3 x1 tab,


Ranitidine inj 2x1 amp IV, Antasida syrup 3x1 c, Ventolin nebule (salbutamol sulfat) 3x
bila sesak.

Diskusi :
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Gejala eksaserbasi : Sesak bertambah,
Produksi sputum meningkat dan Perubahan warna sputum.

Pada kasus ini Salah satu terapi pada PPOK eksaserbasi akut adalah dengan pemberian
Bronkodilator. Beberapa contoh bronkodilator adalah aminofilin dan salbutamol.

aminofilin paling efektif menyebabkan peningkatan kapasitas paru karena efek relaksasi
otot polos bronkusnya. Atas dasar ini aminofilin bermanfaat untuk pasien dengan PPOK
karena dapat berperan memperbaiki fungsi ventilasi dan mengurangi sesak nafas.
pemberian dosis aminofilin melalui 2 tahap yaitu loading dose dan maintenance dose.
Loading dose : 6 mg/kgBB selama 20-40 menit ,dengan maintenance dose untuk
mempertahankan efek yang optimal diberikan 0,5 mg/kgBB/jam

Salbutamol adalah B2 agonis seringkali diberikan pada penderita PPOK yang mempunyai
komponen bronkokonstriksi yang reversibel, tetapi tidak semua penderita memberikan
respon yang baik terhadap obat ini. Karena itu efektifitasnya harus dinilai sebelum
penggunaan jangka panjang Penggunaannya pada serangan akut diperlukan untuk
meredakan keluhan sesak karena obat ini termasuk bronkodilator. Dapat diberikan
bersama kortikosteroid juga untuk mengurangi salah satu tanda keradangan yang
menyebabkan sesak nafas yaitu edema saluran nafas. Salbutamol inhalasi berhubungan
dengan onset ker yang cepat dan efek samping minimal dibandingkan penggunaaan per
oral.

Pemberian aminofilin dan salbutamol saling maenguatkan efek masing masing dalam
merangsang peningkatan aktivitas simpatis sel sel tubuh, selain berefek bronkodilator
yang paling perlu mendapat perhatian di sini adalah juga terdapatnya peningkatan
tekanan darah yang menurut literatur tidak lebih dari 10 mmHg. Pengukuran tanda vital
yg rutin diperlukan

Kesimpulan :

Pada pasien ini terdapat beberapa penggunaan obat yang sudah sesuai dengan
penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), seperti 2 agonis, yang bisa
menurunkan menghilangkan gejala sesak nafas yang memberatkan pasien. Pemberian
aminofilin dan salbutamol, saling maenguatkan efek masing masing dalam merangsang
peningkatan aktivitas simpatis sel sel tubuh dan berefek bronkodilator. Pemilihan obat
yang bersifat polifarmasi pada pasien ini saling mempengaruhi satu sama lain pada
beberapa obat namun efek yang merugikan pada pasien masih bisa ditutupi dengan efek
terapisnya.
Referensi :

1. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)


pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI 2003:2-29
2. Weinberger SE. Principles of Pulmonary Medicine. 4Th Edition. Philadelphia:
Saunders 2004:75-91
3. Setiawati A. Adrenergik. Dalam : Gan S, Setiabudy R, Suyatna FD,
Purwantyatuti, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi,edisi empat. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2003:66-71
4. Tjay, HT dan Rahardja Kirana. Obat-obat Penting. Edisi keenam. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo 2007:45-8
5. Sweetman SC,editor. Martindale the Complete Drug Reference, 34th. London :
Pharmaceutical Press 2001:1274-6.
6. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC, Fisher BD. Farmakologi Ulasan Bergambar,
edisi 2. Jakarta : Widya Medika 2001:246-7.
7. Evaria dkk, editor. MIMS Edisi Bahasa Indonesia, edisi 11. Jakarta : PT. Bhuana
Ilmu Populer 2010.

Penulis :
Asma dan terapiya
Dear kawan,

Jumat petang kemaren sepulang kantor, aku mendapat laporan bahwa Hanni (6,5 tahun),
anak kedua kami, sejak pulang sekolah batuk-batuk terus. Hanni memang sudah beberapa
hari batuk, tapi tidak terlalu kerap sih, aku hanya memberinya obat-obat batuk biasa.
Waktu kutengok ke kamar, ia memang mengeluh, tenggorokannya rasanya nggak enak,
seperti ada sesuatunya, katanya. Napasnya juga agak berat, pendek-pendek, bahkan
terdengar sedikit mengi. Hanni belum pernah seperti ini sebelumnya, tapi aku duga ia
mungkin mengalami semacam serangan asma. Walaupun belum pernah seperti ini
sebelumnya, aku tidak terlalu heran jika ia mengalaminya, soalnya kakaknya, Afan (12
th), juga punya riwayat asma ringan. Yah keluarga kami dari garis keturunanku
memang punya bakat alergi hehe (bakat kok alergi. mbok bakat seni atau bisnis
gitu lho). Segera setelah sholat maghrib, kami bawa Hanni ke dokter anak langganan
kami. Tanpa stetoskop-pun dokter sudah bisa mendengar suara wheezing dari
pernafasannya yang menandakan adanya obstruksi pernafasan. Beliau menyarankan
untuk diasap saja. Diasap adalah istilah untuk memberikan obat melalui nebulizer,
karena obatnya nanti akan berbentuk seperti asap yang dihirup menggunakan semacam
masker. Demikianlah, Hanni diasap dengan Combivent untuk satu dosis, dan
alhamdulillah setelah itu dia nampak sudah lega lagi. Selanjutnya dokter meresepkan
beberapa obat untuk diminum di rumah. Ada yang berbentuk puyer, dan aku lihat
komposisinya masih OK, hehe. jadi ya aku belikan saja (tidak perlu takut dengan
puyer hehe).

Apakah penyakit asma itu?

Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang banyak dijumpai, baik pada
anak-anak maupun dewasa. Kata asma (asthma) berasal dari bahasa Yunani yang berarti
terengah-engah. Lebih dari 200 tahun yang lalu, Hippocrates menggunakan istilah
asma untuk menggambarkan kejadian pernafasan yang pendek-pendek (shortness of
breath). Sejak itu istilah asma sering digunakan untuk menggambarkan gangguan apa
saja yang terkait dengan kesulitan bernafas, termasuk ada istilah asma kardiak dan asma
bronkial.
Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) pada National
Institute of Health (NIH) Amerika, asma (dalam hal ini asma bronkial) didefinisikan
sebagai penyakit radang/inflamasi kronik pada paru, yang dikarakterisir oleh adanya :

(1) penyumbatan saluran nafas yang bersifat reversible (dapat balik), baik secara spontan
maupun dengan pengobatan,

(2) peradangan pada jalan nafas, dan

(3) peningkatan respon jalan nafas terhadap berbagai rangsangan (hiper- responsivitas)
(NAEPP, 1997).

Asma merupakan penyakit yang manifestasinya sangat bervariasi. Sekelompok pasien


mungkin bebas dari serangan dalam jangka waktu lama dan hanya mengalami gejala jika
mereka berolahraga atau terpapar alergen atau terinfeksi virus pada saluran
pernafasannya. Pasien lain mungkin mengalami gejala yang terus-menerus atau serangan
akut yang sering. Pola gejalanya juga berbeda antar satu pasien dengan pasien lainnya.
Misalnya, seorang pasien mungkin mengalami batuk hanya pada malam hari, sedangkan
pasien lain mengalami gejala dada sesak dan bersin-bersin baik siang maupun malam.
Selain itu, dalam satu pasien sendiri, pola, frekuensi, dan intensitas gejala bisa bervariasi
antar waktu ke waktu.

Separo dari semua kasus asma berkembang sejak masa kanak-kanak, sedangkan
sepertiganya pada masa dewasa sebelum umur 40 tahun. Namun demikian, asma dapat
dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali, dan bisa terjadi
pada setiap orang pada segala etnis.

Apa penyebab asma?

Asma yang yang terjadi pada anak-anak sangat erat kaitannya dengan alergi. Kurang
lebih 80% pasien asma memiliki riwayat alergi. Asma yang muncul pada saat dewasa
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti : adanya sinusitis, polip hidung,
sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat anti-inflamasi non steroid (AINS), atau
mendapatkan picuan di tempat kerja. Di tempat-tempat kerja tertentu yang banyak
terdapat agen-agen yang dapat terhirup seperti debu, bulu binatang, dll, banyak dijumpai
orang yang menderita asma, yang disebut occupational asthma, yaitu asma yang
disebabkan karena pekerjaan. Kelompok dengan resiko terbesar terhadap perkembangan
asma adalah anak-anak yang mengidap alergi dan memiliki keluarga dengan riwayat
asma. Banyak faktor yang dapat meningkatkan keparahan asma. Beberapa di antaranya
adalah rinitis yang tidak diobati atau sinusitis, gangguan refluks gastroesofagal,
sensitivitas terhadap aspirin, pemaparan terhadap senyawa sulfit atau obat golongan beta
bloker, dan influenza, faktor mekanik, dan faktor psikis (misalnya stress).

Seperti apa terapinya ?


Karena manifestasi klinis asma bervariasi, ada yang ringan, sedang dan berat, maka
pengobatannya harus disesuaikan dengan berat ringannya asma. Asma ringan mungkin
cukup diobati pada saat serangan, tidak perlu terapi jangka panjang, sedangkan asma
yang sedang sampai berat perlu dikontrol dengan pengobatan jangka panjang untuk
mencegah serangan berikutnya. Secara umum, terapi bisa dilakukan secara non obat
(non-farmakologi) dan dengan obat.

Terapi non-farmakologi

Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama, yaitu edukasi pada pasien atau
yang merawat mengenai berbagai hal tentang asma, dan kontrol terhadap faktor-faktor
pemicu serangan. Berbagai pemicu serangan antara lain adalah debu, polusi, merokok,
olah raga, perubahan temperatur secara ekstrim, dll., termasuk penyakit-penyakit yang
sering mempengaruhi kejadian asma, seperti rinitis, sinusitis, gastro esophagal refluks
disease (GERD), dan infeksi virus. Untuk memastikan macam alergen pemicu serangan
pasien, maka direkomendasikan untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien serta uji
kulit (skin test). Jika penyebab serangan sudah diidentifikasi, pasien perlu diedukasi
mengenai berbagai cara mencegah dan mengatasi diri dalam serangan asma. Edukasi
kepada pasien juga meliputi pengetahuan tentang patogenesis asma, bagaimana mengenal
pemicu asmanya dan mengenal tanda-tanda awal keparahan gejala, cara penggunaan obat
yang tepat, dan bagaimana memonitor fungsi paru-parunya. Selain itu juga dapat
dilakukan fisioterapi napas (senam asma), vibrasi dan atau perkusi toraks, dan batuk yang
efisien.

Terapi farmakologi

Asma merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan pengobatan yang perlu


dilakukan secara teratur untuk mencegah kekambuhan. Berdasarkan penggunaannya,
maka obat asma terbagi dalam dua golongan yaitu pengobatan jangka panjang untuk
mengontrol gejala asma, dan pengobatan cepat (quick-relief medication) untuk
mengatasi serangan akut asma. Beberapa obat yang digunakan untuk pengobatan jangka
panjang antara lain inhalasi steroid, beta2 agonis aksi panjang, sodium kromoglikat
atau kromolin, nedokromil, modifier leukotrien, dan golongan metil ksantin.
Sedangkan untuk pengobatan cepat sering digunakan suatu bronkodilator (beta2 agonis
aksi cepat, antikolinergik, metilksantin), dan kortikosteroid oral (sistemik).

Obat-obat asma dapat dijumpai dalam bentuk oral, larutan nebulizer, dan metered-dose
inhaler (MDI). Contoh obat yang digunakan untuk terapi jangka panjang adalah inhalasi
kombinasi budesonide dan formoterol (contoh: Symbicort), kombinasi salmeterol dan
flutikason (contoh : Seretide), dan budesonide tunggal (contoh: Pulmicort). Obat ini
aman dipakai jangka panjang untuk mengontrol asma yang berat. Obat lain yang
diindikasikan untuk pencegahan asma adalah ketotifen (suatu anti alergi), teofilin lepas
lambat, dan sodium kromoglikat/nedokromil.

Sedangkan obat untuk melegakan serangan asma yang perlu aksi cepat adalah
salbutamol, terbutalin, dan ipratropium bromide. Salbutamol merupakan beta agonis
aksi cepat, dan banyak dijumpai dalam berbagai bentuk sediaan. Ada yang berbentuk
tablet, sirup, atau inhalasi. Untuk mengatasi serangan asma, obat ini merupakan pilihan
pertama. Salbutamol kadang dikombinasikan dengan ipratriopium bromide (contoh:
Combivent) dalam bentuk inhalasi, yang di awal posting ini aku ceritakan untuk
mengasap Hanni. Injeksi aminofilin juga masih cukup banyak dipakai di RS untuk
mengatasi serangan asma akut yang memerlukan aksi segera.

Idealnya, obat-obat untuk asma diberikan secara inhalasi, artinya dihirup. Bentuknya bisa
suatu aerosol atau serbuk kering. Sekarang telah banyak berbagai merk obat inhalasi
untuk asma. Bentuk inhalasi dapat diberikan menggunakan nebulizer (seperti yang aku
ceritakan di awal posting ini), atau dengan menggunakan sediaan metered-dose inhaler
(MDI).

Penggunaan MDI memerlukan teknik tersendiri, di mana diperlukan koordinasi yang pas
antara tangan menekan dan mulut menghirup obat. Untuk itu, jika Anda mendapatkan
obat bentuk ini, pastikan Anda benar menggunakannya. Tanyakan apoteker untuk cara
penggunaan yang benar. Kalau salah menggunakan, maka tujuan terapi mungkin tidak
tercapai. Sediaan ini masih agak mahal bagi kalangan masyarakat tertentu. Sehingga
tidak heran juga jika sebagian masyarakat lebih memilih bentuk sediaan yang diminum.
Ada beberapa merk obat bebas terbatas yang ditujukan untuk asma (Bricasma, Neo
Napacin, Brondilex, Nitrasma, dll). Umumnya mereka berisi kombinasi teofilin dan
efedrin. Secara teori dari evidence-based medicine, teofilin dan efedrin bukanlah pilihan
pertama untuk melegakan asma. Tetapi boleh saja digunakan selama Anda memang
mendapatkan manfaat dari obat ini. Jika tidak, pastikan keparahan asmanya melalui
pemeriksaan yang tepat oleh dokter, dan gunakan obat-obat yang diresepkan.

Anda mungkin juga menyukai