Anda di halaman 1dari 20

Thesa Yurika

SKENARIO 1 BLOK 20
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Bercak merah ku tidak hilang-hilang


Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sandal sering
terlepas sendiri saat sedang berjalan disertai muncul bercak bercak merah yang baal sejak 1 tahun
yang lalu. Bercak merah tersebut awalnya muncul di dada semakin lama meluas ke wajah, lengan
dan tungkai. Pasien tidak ada demam, namun kadang terasa nyeri pada siku lengan kanan saat
ditekan.

Pada pemeriksaan fisik kulit regio thorakalis, fasialis, ekstremitas superior dan inferior
dekstra et sinistra dijumpai plak eritem dengan skuama diatasnya ukuran nummular-plakat,
jumlah multipel, susunan diskret, distribusi generalisata. Cuping telinga kanan dan kiri
tampak menebal, kulit kering dan dijumpai penipisan rambut pada kedua alis. Pemeriksaan
sensibilitas ditemukan hipoaestesi pada lesi dan pada telapak tangan dan kaki didapatkan adanya
glove and stocking anaesthesia. Hasil pemeriksaan saraf tepi didapatkan penebalan N.
Auricularis magnus sinistra, N. Ulnaris dextra Saat dilakukan Pemeriksaan dengan pewarnaan
Ziehl Neelsen didapatkan indeks bakteri 3+ dan indeks morfologi 20%.

KONSEP : INFEKSI MICROBACTERIUM LEPRA (MORBUS HENSEN/KUSTA)

A. DEFINISI
Kusta didefinisikan sebagai penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae dan terutama menyerang kulit dan saraf perifer. Kusta berasal dari
bahasa India kustha yang telah dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Penyakit kusta
disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama dr. Gerhard Armauwer Hansen yang
menemukan bakteri penyebabnya pada tahun 1874 di Norwegia.
Penyakit kusta ini mempunyai afinitas utama pada saraf tepi/perifer, kemudian kulit,
dan dapat mengenai organ tubuh lain seperti mata, mukosa saluran napas atas, otot, tulang dan
testis. Lepra merupakan infeksi bakteri granulomatosa kronis, terutama mempengaruhi
kulit dan saraf perifer yang disebabkan oleh M. leprae.
M. lepra dapat menginfeksi manusia mulai dari 2-5 tahun, setelah lebih 5 tahun maka
manifestasi akan muncul dan dapat menular melalui droplet atau saluran pernapasan.
Merupakan suatu infeksi kronis, jenis penyakit granulomatosa dengan tanda lesi pada kulit, jika
menyerang sistem saraf tepi akan menyebabkan mati rasa dan dapat erlanut secara progresif.
Tahan asam dan bersifat obligat intraseluler. Dapat ditemukan di folikel rambut, air susu ibu.
M, lepra merupakan kuman aerob dan hidup nya dalam sel yang merupakan bakteri gram positif
dan adapat menular melalui kontak langsung dengan penderita dan sistem pernapasan.
Mycobacterium leprae merupakan kuman aerob berbentuk batang hidup dalam sel dan bersifat
asam (BTA) sehingga tidak mudah diwarnai. Merupakan bakteri gram positif kuman ini dapat
menular ke manusia melalui kontak langsung dengan penderita, kontak lama dan berulang-
ulang, dan juga bisa melalui pernafasan. Bakteri ini mengalami perberkembangbiakan dalam
waktu 2-3 minggu, kuman dapat membelah dalam 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata
dua sampai lima tahun bahkan juga bisa memakan waktu lebih dari lima tahun. Setelah lima
tahun tanda-tanda seseorang mengalami penyakit kusta mulai muncul antara lain kulit
mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak bisa
berfungsi sebagaimana mestinya. Ada 3 kriteria:
1) Lesi kulit kemerahan, kurang sensasi dan berbatas tegas
2) Ada keterlibatan dari saraf perifer
3) Terdapat M, lepra pada pewarnaan Ziehl Neelsen. Semakin buruk sosial ekonomi maka
akan semakin mudah ditemukan.
Thesa Yurika

B. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data WHO tahun 2016, angka kejadian kasus kusta baru adalah sebesar 216.108 (0,21
per 10.000 penduduk) yang berasal dari 145 negara di dunia. Di Indonesia, angka prevalensi kusta
mencapai 0,71 per 10.000 penduduk dengan angka penemuan kasus baru sebesar 16.826 kasus (6,50
per 100.000 penduduk) pada tahun 2016. Dari jumlah kasus baru tersebut, 4,19% diantaranya adalah
tipe multibasiler. Sedangkan menurut jenis kelamin, 62,47% diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan
37,53% lainnya berjenis kelamin perempuan. Secara nasional, Indonesia telah mencapai status eliminasi
kusta pada tahun 2000, dimana prevalensi kusta mencapai <1 per 10.000 penduduk (<10 per 100.000
penduduk). Namun, masih ada 11 provinsi yang belum mencapai status eliminasi kusta, antara lain Jawa
Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, serta Papua Barat. Di tahun 2016, terdapat penambahan
provinsi yang mencapai eliminasi yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Kalimantan Utara.

C. ETIOPATOGENESIS
Mycobacterium leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi pararel dengan kedua ujung
bulat dengan ukuran 3-8 μm x 0,5 μm. Basil ini berbentuk gram positif, tidak bergerak dan tidak
berspora dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa irreguler besar
yang disebut globi. Dengan mikroskop elektron, M. leprae terlihat mempunyai dinding yang terdiri dari
dua lapisan yaitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida
dan kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida ini adalah suatu
arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 2 nm. Peptidoglikan terlihat
mempunyai sifat spesifik pada M. lepra, yaitu adanya asam amino glisin, sedangkan pada bakteri lain
mengandung alanine.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit meliputi bangsa atau ras, sosioekonomi,
kebersihan dan keturunan. Pada ras kulit hitam insiden bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan pada
kulit putih cenderung tipe lepramatosa. Banyak terjadi pada Negara-negara berkembang dan golongan
sosioekonomi rendah dan lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan. Faktor genetic berperan
penting dalam penularan penyakit lepra. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung ibu
lepra.

PATOGENESIS
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah karena penderita
yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat
sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon
imun yang berbeda, yang menggugah reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik.
Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun. Onset lepra adalah membahayakan
yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut,
hidung dan faring), testis, ginjal, otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh
darah. Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki patogenisitas rendah
dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M.
leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk
kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotel
pembuluh darah. Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14 hari
untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel hancur dan memasuki
sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi
diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan terinfeksi. Pada
tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan
sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut
akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien. Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan
terhadap penderita lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan
Thesa Yurika

menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah,
infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-
kadang respon imun tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang
menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).

*PERBEDAAN PB DAN MB
PB MB
Lesi 1-5 lesi Lebih dari 5
distribusi tidak simetris distribusi lebih simetris
Kerusakan saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
Obat Dapsone 100 mg selama 6 Dapsone 100 mg dan Clofazimine
bulan 50 mg selama 12 bulan

Sifat Lepromatosa Lepra Borderline Mid borderline


Lepromatosa
Lesi Makula, Papul, nodus Makula, plakat, papul Plakat
Distribusi simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan halus berkilat Permukaan halus Permukaan agak kasar
Lesi tidak terhitung, tidak berkilat Dapat dihitung, kulit
ada kulit sehat Sukar dihitung, masih sehat jelas ada
ada kulit sehat
BTA Banyak (adaglobus) Banyak Agak banyak

RESPON IMUN TERHADAP LEPRA


Respon imunologi terhadap M. leprae tidak hanya menentukan perjalanan penyakit, tetapi juga
menentukan tipe kusta yang akan bermanifestasi. Pasien-pasien kusta tuberkuloid mampu membatasi
pertumbuhan patogen dan memiliki respon sel T yang kuat terhadap M. leprae. Hal ini ditandai dengan produksi
sitokin-sitokin sel Th1 yang membentuk granuloma tuberkuloid terkait dengan imunitas protektif dan destruktif
M. leprae. Sebaliknya, pasien-pasien kusta lepromatosa menunjukkan respons sel T yang lemah terhadap M.
leprae. Lesi-lesi pada kusta lepromatosa mengekspresikan sitokin-sitokin sel Th2 (IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-10),
yang berperan untuk produksi antibodi, inhibisi fungsi makrofag (terbentuk granuloma makrofag), dan supresi
SIS, sehingga memungkinkan bakteri intraseluler bermultiplikasi. Dinamika respon imun alamiah pada kusta
dapat dipahami dengan mengetahui hubungan antibodi spesifik M. leprae dan sekresi berbagai sitokin (IFN-ϒ,
IL-2, IL-5, IL-10, IL-6, TNF-α, dan granulocyte macrophage colony-stimulating factor [GM-CSF]) pada pasien kusta.
Sitokin IFN-γ dan TNF-α bersifat imunoprotektif, sedangkan IL-2 dan IL-10 bersifat imunosupresif terhadap M.
leprae.
Pada tahap proteksi awal, mekanisme nonspesifik terutama dilakukan oleh monosit yang berperan
sebagai sel fagosit. Selain monosit, respon terhadap infeksi juga meningkatkan produksi neutrofil dari sumsum
tulang. Produksi neutrofil diinduksi oleh sitokin CSF(colony stimulating factor). Neutrofil memfagosit mikroba
yang ada di dalam sirkulasi maupun mikroba di dalam jaringan ekstravaskular dan menghasilkan lisis parsial.
Neutrofil hanya bertahan beberapa jam, sementara monosit dalam sirkulasi bertahan hingga lima hari. Namun,
sel-sel monosit dapat bermigrasi ke jaringan ikat dan bertahan selama beberapa bulan sebagai histiosit.
Sebagian bakteri yang lolos akan ikut bersama monosit di dalam aliran darah. Selama berada dalam
monosit, bakteri tersebut bahkan dapat bereplikasi (Troyan horse phenomenon) dan masuk ke berbagai organ.
Monosit yang terstimulasi ini berdiferensiasi menjadi makrofag dengan aktifitas energetik yang tinggi, dan
mampu membentuk sel-sel epiteloid pada kusta tipe TT (Tuberkuloid-Tuberkuloid) dan sel-sel lepra (sel Virchow)
Thesa Yurika

pada kusta tipe LL (Lepramatosa-lepramatosa). Makrofag-makrofag yang teraktivasi pada kusta tipe
TT(Tuberkuloid-Tuberkuloid) juga mampu memfagositosis basil intraneural. Makrofag juga berperan sebagai
antigen presenting cell (APC) baik pada respon imunitas selular maupun humoral.
Bakteri yang keluar dari monosit yang mati dan pecah akan menginvasi sel-sel Schwann dan masuk ke
dalam vakuola-vakuola fagositik (fagosom), sehingga dapat bermultiplikasi dan terlindungi dari antibodi maupun
makrofag. Namun, M. leprae juga dapat meninggalkan tempat persembunyiannya dan masuk ke jaringan
perineural, sehingga akhirnya terbentuk granuloma epiteloid. Sel-sel Schwann tidak memiliki enzim lisosomal
untuk menghancurkan bakteri, sehingga basil M. leprae dapat bertahan untuk waktu yang lama.

D. KLASIFIKASI LEPRA DAN MANIFESTASI KLINIS


Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.
Menurut WHO, pengelompokan kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu tipe pausibasiler dan multibasiler.

Klasifikasi yang sering digunakan adalah klasifikasi oleh Ridley dan Jopling (1962)
berdasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis, yaitu kusta tipe
Tuberkuloid Tuberkuloid (TT), Borderline Tuberkuloid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline
Lepromatosa (BL) dan Lepromatosa Lepromatosa (LL). Secara klinis, kusta menyebabkan
ketidakstabilan pada sistem imunitas pejamu yang mencerminkan spektrum penyakit.
Thesa Yurika

Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:


1) Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf yang terlibat terbatas
(sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang menyebabkan gangguan motorik, sensorik
dan otonom.
2) Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan tetapi progresif, beberapa
tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-bagian dingin pada tubuh), simetris pada tangan dan
kaki yang disebutglove dan stocking anaesthesia terjadi penebalan saraf menyebabkan
gangguan motorik, sensorik dan otonom dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3) Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan tipe lepromatosa).
Thesa Yurika

 Tingkat Kerusakan Saraf


Sebagian besar masalah kecacatan pada kusta terjadi akibat penyakit kusta yang terutama menyerang
saraf perifer. Menurut Srinivasan, saraf perifer yang terkena akan mengalami beberapa tingkat
kerusakan, yaitu:
a) Stage of involvement
Pada tingkat ini, saraf menjadi lebih tebal dari normal dan mungkin disertai nyeri tekan
dan nyeri spontan pada saraf perifer tersebut, tetapi belum disertai gangguan fungsi saraf
misalnya anestesi atau kelemahan otot.
b) Stage of damage
Pada tingkat ini, saraf telah rusak dan fungsi saraf tersebut terganggu. Diagnosis stage
of damage ditegakkan bila saraf telah mengalami paralisis yang tidak lengkap atau lengkap
lebih dari 6-9 bulan. Pengobatan pada tingkat ini, kerusakan saraf yang permanen dapat
dihindari.
c) Stage of destruction
Pada tingkat ini, saraf telah rusak secara lengkap. Diagnosis stage of destruction dapat
ditegakkan bila terjadi kerusakan atau paralisis saraf secara lengkap selama lebih dari satu
tahun. Pada tingkat ini, fungsi saraf tidak dapat diperbaiki walaupun dengan pengobatan.

 Reaksi Lepra
Thesa Yurika

E. DIAGNOSIS LEPRA
Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis, bakterioskopis, histopatologis dan
serologis. Diantara pemeriksaan tersebut, diagnosis secara klinis adalah yang terpenting dan paling
sederhana dilakukan. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit (15-30 menit), sedangkan
pemeriksaan histopatologi memerlukan waktu 10-14 hari. Tes lepromin (Mitsuda) juga dapat dilakukan
untuk membantu penentuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe
lepra perlu dilakukan supaya dapat menetapkan terapi yang sesuai. Karena pemeriksaan kerokan
jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan
klasifikasi klinis lepra berdasarkan penghitungan lesi kulit dan saraf yang terkena. Pada tahun 1997,
diagnosis klinis lepra berdasarkan tiga tanda kardinal yang dikeluarkan oleh “WHO’s Committe on
Leprosy” yaitu lesi pada kulit berupa hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa, penebalan saraf tepi,
serta pada pemeriksaan skin smear atau basil pada pengamatan biopsi positif.

PEMERIKSAAN FISIK UNTUK LEPRA


Thesa Yurika
Thesa Yurika
Thesa Yurika
Thesa Yurika
Thesa Yurika
Thesa Yurika

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh
melalui irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan tahan
asam untuk melihat M. leprae. Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan
jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA) yaitu dengan menggunakan Ziehl-
Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut
tidak mengandung kuman M. leprae. Pertama harus ditentukan lesi kulit yang
diharapkan paling padat oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah
tempat yang akan diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa melihat ada tidaknya lesi di
tempat tersebut, karena pada tempat tersebut mengandung kuman paling banyak.
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan. Dibedakan atas
batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan butiran (granular). Bentuk solid
adalah kuman hidup, sedangkan pada bentuk fragmented dan granular adalah kuman
Thesa Yurika

mati. Kuman dalam bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dan
dapat menularkan ke orang lain. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-
solid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai
dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Interpretasi hasil adalah sebagai berikut:
a. 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
b. 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
c. 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
d. 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
e. 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f. 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g. 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat


sediaan. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada
pembesaran lensa objektif 100 kali. Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non-solid yang berguna untuk mengetahui daya penularan kuman dan untuk
menilai hasil pengobatan dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

2. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk
memastikan gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan klasifikasi lepra. Granuloma
adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologi tipe tuberculoid
adalah tuberkel dengan kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan non-
solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu
daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan
banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut pada tipe Borderline.

3. Pemeriksaan serologis
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik dan
tidak spesifik. Antibodi yang spesifik terhadap M. lepraeyaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL
1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Pemeriksaan
serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik
tidak jelas. Selain itu dapat juga membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak terdapat lesi kulit,
misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik lepra adala huji MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent Assay),
ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick), dan ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).
Thesa Yurika

F. DIAGNOSIS BANDING
 Berdasarkan Lesi
a. Lesi eritem bersisik: psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis seboroik, dermatofitosis
b. Lesi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi tanpa skuama: vitiligo, birth marks.
c. Lesi hipopigmentasi dengan skuama halus: pitirasis versikolor, pitiriasis alba
d. Papul, plak atau nodul: neurofibromatosis, sarkoma kaposi, veruka vulgaris, leukemia kutis,
granuloma anulare, tuberculosis kutis verukosus, xanthomatosis.

 Berdasarkan manifestasi klinis :


Dermatofitosis, psoriasis, tinea vesikolor, pitriasis rosea, pitriasis alba, dermatitis seboroik,
leukemia kutis, skeloderma, erupsi obat.

 Berdasarkan pemeriksaan laboratorium :


Cutaneous tuberkulosis, nontuberculosis mycobacterial infeksi, mycobacterium matinum
infeksi, mycobacterium ulcerans infeksi, mycobacterium fortuitum complex infeksi.

Diagnosa klinis: lepra atau morbus Hansen atau kusta

G. TATALAKSANA
I. PENGOBATAN CAUSAL (MDT-WHO)
Thesa Yurika

Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:


1) MDT untuk lepra tipe MB
Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap bulan, klofamizin 300
mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone 100 mg setiap hari. Sedangkan pada anak-
anak, diberikan selama 12 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin
150 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, serta dapsone 50 mg setiap hari.
2) MDT untuk lepra tipe PB
Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 600 mg setiap bulan dan
dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi
rifampisin 450 mg setiap bulan dan dapsone 50 mg setiap bulan. Sedangkan pada anak-anak
dengan usia dibawah 10 tahun, diberikan kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap
bulan, klofamizin 1 mg/kg berat badan diberikan pada pergantian hari, tergantung dosis, dan
dapsone 2 mg/kg berat badan setiap hari.

EFEK SAMPING, INTERAKSI DAN KONTRAINDIKASI OBAT MDT


a. DAPSON
Efek samping pemberian dapson pada sistem limfatik dan hematologi adalah:
 Agranulositosis: terjadi dengan frekuensi jarang (>0,01% dan <0,1%) pada pasien yang
mendapat dapson
 Anemia aplastik: terjadi dengan frekuensi sangat jarang (<0,01%)
 Trombositosis: dilaporkan terjadi pada pasien dengan HIV/AIDS yang mendapat
dapson untuk terapi profilaksis.
Sedangkan efek samping pada sistem hepatobilier termasuk:
 Hepatitis toksik dan jaundice kolestasis: dilaporkan terjadi pada pemberian dapson.
 Gangguan hasil tes fungsi hati: dilaporkan terjadi pada pasien dengan dermatitis
herpetiformis.
Efek samping lain di antaranya adalah:
 Sistem saraf: neuropati perifer, gangguan motorik, kelemahan otot, dan gangguan
sensorik.
 Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen, pankreatitis.
 Reaksi hipersensitivitas atau sindrom dapson: merupakan reaksi hipersensitivitas yang
jarang terjadi, tetapi insidennya meningkat sejak digunakannya regimen multidrug
therapy (MDT) untuk kusta, di mana efek samping ini biasa terjadi setelah 6 minggu
terapi dengan gejala berupa ruam, demam, jaundice, dan eosinophilia
 Lainnya: vertigo, pandangan kabur, tinitus, insomnia, demam, sakit kepala, psikosis,
fototoksisitas, takikardia, albuminuria, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia tanpa
proteinuria, nekrosis papiler ginjal, infertilitas pria, lupus eritematosus sistemik yang
diinduksi oleh obat, dan infeksi
Thesa Yurika

INTERAKSI OBAT DAPSON


Beberapa obat menunjukkan interaksi dengan dapson melalui mekanisme
farmakokinetik dan farmakodinamik. Terdapat potensi interaksi obat apabila dapson digunakan
secara bersamaan dengan obat-obat berikut:
 Didanosine: dapat mengurangi bioavailabilitas dapson
 Rifampisin: dapat mengurangi konsentrasi dapson hingga mengurangi efikasinya untuk terapi
infeksi selain kusta, sedangkan konsentrasi rifampisin umumnya tidak terpengaruh
 Klofazimin: dapson dapat memberikan efek antagonis pada aktivitas anti-inflamasi klofazimin.
 Probenesid: dapat menyebabkan konsentrasi dapson di serum meningkat sehingga dapat
meningkatkan risiko efek samping
 Trimetoprim: dapat menyebabkan peningkatan kadar kedua obat sehingga berpotensi
meningkatkan risiko efek samping
 Pirimetamin: antagonis asam folat seperti pirimetamin bisa meningkatkan kemungkinan
terjadinya efek samping hematologic

KONTRAINDIKASI OBAT DAPSON


Dapson dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap dapson
dan/atau derivatnya.

b. RIFAMPICIN
Efek samping rifampicin berupa perubahan warna cairan tubuh, seperti urine, air mata,
keringat, menjadi berwarna oranye kemerahan. Dokter harus memberikan edukasi bahwa hal
ini merupakan efek samping yang umum terjadi dan tidak berbahaya.
Efek samping rifampicin / rifampin yang paling perlu diperhatikan adalah hepatitis dan
peningkatan enzim hati, trombositopenia, dan cairan tubuh berwarna oranye kemerahan.
Interaksi obat di antaranya berupa penurunan tingkat absorpsi rifampicin jika diberikan
bersamaan dengan antasida.
Kontraindikasi rifampicin, disebut juga sebagai rifampin, adalah riwayat
hipersensitivitas dengan obat ini, atau komponennya. Peringatan kehati-hatian penggunaan obat
ini pada seseorang dengan gangguan fungsi hati.

c. CLOFAZIMINE
Clofazimine dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal, perpanjangan interval QT
pada EKG, dan gangguan pigmentasi kulit. Penggunaan clofazimine bersamaan dengan
antasida dapat menurunkan konsentrasi obat clofazimine.
Clofazimine tidak boleh diberikan pada pasien yang memiliki hipersensitivitas dengan
clofazimine dan penggunaan pada pasien yang sudah memiliki riwayat gangguan
gastrointestinal perlu diperhatikan.

H. EDUKASI DAN PREVENTIF


Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of disability (POD) adalah
dengan melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan
tepat, mengenali gejala dan tanda reaksi lepra yang disertai gangguan saraf serta memulai
pengobatan dengan kortikosteroid secepatnya. Memberikan edukasi pada pasien tentang
perawatan misalnya memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak kering dan lainnya
apabila terdapat gangguan sensibilitas.
Thesa Yurika

TATALAKSANA KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


Tujuan tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi ialah agar penderita kusta dapat kembali
ke masyarakat sebagai manusia yang produktif dan berguna, melalui layanan rehabilitasi medik berupa
terapi fisik, terapi okupasi, pemberian ortosis dan prosthesis, perawatan luka, supporting psikologis
melalui peresepan latihan yang sesuai. Diantara lain :
1) Konseling dan Edukasi (penggunaan modalitas fisik, pemberian terapi latihan aktif dan pasif)
2) Okupasi
3) Pemberian Ortosis, Prostesis, Sepatu khusus
4) Perawatan rehabilitasi medik pada pasien kusta yang mengalami luka
5) Rehabilitasi Karya/Pelatihan:
a. Pelatihan Vokasional yaitu berupa:
1) Keterampilan menjahit
2) Keterampilan las
3) Keterampilan dalam percetakan
4) Keterampilan bertani dan berternak
b. Menyediakan bengkel kerja (workshop)
c. Penderita kusta dengan disabilitas yang berat perlu diberikan alat bantu modifikasi untuk
melakukan aktivitas sehari-hari maupun pekerjaan lain.
Penjelasan lengkapnya di pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana kusta!!!!

I. KOMPLIKASI
Kusta merupakan penyakit yang dapat menimbulkan komplikasi berupa ulserasi,
mutilasi, dan deformitas. Komplikasi terjadi akibat kerusakan saraf sensorik dan motorik yang
irreversibel, serta akibat adanya kerusakan berulang pada daerah anestesi yang disertai paralisis
dan atrofi otot.3 Kusta tidak hanya menimbulkan komplikasi dari segi medis, namun dapat
meluas hingga masalah sosial dan ekonomi akibat adanya stigma negatif dari masyarakat.

J. PROGNOSIS
Prognosisnya ialah dubia ad malam, tetapi setelah pemberian obat biasanya
prognosisnya menjadi baik, yang paling sulit ialah manajemen dari gejala neurologis,
kontraktur, dan perubahan pada tangan dan kaki.

K. FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHI KUSTA


 Umur
 Status Gizi
 Imunitas
 Personal hygiene
 Luas Ventilasi
 Kelembapan
 Kepadatan Hunian
 Lama kontak dan riwayat kontak
 Jarak rumah
Thesa Yurika

LAMPIRAN

Gambar 1. Tata alur diagnostik kusta dan klasifikasinya


Thesa Yurika

Gambar 2. Alur rujukan kusta

Penanganan kasus kusta di layanan kesehatan sesuai dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)
sebagai berikut:
PPK I: pemberi pelayanan kesehatan di tingkat I, terdiri dari dokter puskesmas, dokter umum praktik
swasta/bersama.
1. PB dan MB tanpa komplikasi
2. Reaksi reversal dan ENL ringan

PPK II: pemberi pelayanan kesehatan di tingkat II, terdiri dari dokter spesialis praktik perorangan atau
bersama.
1. Kusta tipe PB dan MB dengan komplikasi
2. Reaksi reversal dan ENL berat
3. Melibatkan disiplin ilmu terkait (Kulit, Neurologi, Bedah, Mata, Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi,
dan lain-lain)

PPK III: pemberi pelayanan kesehatan di tingkat III, yaitu pada tahap perujukan rumah sakit.
1. Bila diperlukan tatalaksana khusus dengan sarana lebih lengkap. Contoh: tindakan bedah vaskular,
rekonstruksi flap, dan lain-lain

Anda mungkin juga menyukai