TINJAUAN PUSTAKA
a. Epidemiologi PPOK
mulai dari angka terendah terdapat di Jepang (0.2%) hingga tertingi berada di
Amerika serikat (37%). PPOK sangat berimbas pada kehidupan pasien, terutama
al.2012).
Studi menunjukkan bahwa PPOK secara signifikan terjadi pada populasi dengan
umur > 75 tahun. Kejadian PPOK juga lebih banyak terjadi pada populasi pria
rentang umur pasien mengalami PPOK. Angka kejadian PPOK pada rentang umur
45 tahun berkisar 4.1%. pada rentang umur antara 65-100 tahun, angka mortalitas
4
berbagai negara. Di jepang angka mortalitas akibat PPOK diperkirakan antara 3-9
berkisar antara 7-111 kasus / 100.000 populasi, dimana angka kematian tersebut
didominasi oleh jenis kelamin pria (Rycroft CE, Heyes A, Lanza L et al.2012).
beberapa hal yang berkaitan dengan faktor risiko PPOK, antara lain merokok,
paparan zat kimia dalam asap / inhalasi, infeksi tuberculosis paru, status
menunjukkan bahwa kejadian PPOK tidak hanya terjadi pada perokok aktif
(13.2%), tetapi juga pada populasi non perokok (5.1%) ( Zhou Y, Chen R. 2013)
paparan faktor risiko PPOK pada pasien. Karakteristik dypsne yang mengarahkan
pada diagnosis PPOK antara lain bersifat progresif, persisten, dan terutama
memberat saat aktivitas. Batuk kronik yang mengarah pada diagnosis PPOK ialah
batuk yang dapat bersifat intermiten / persisten, dapat bersifat tidak produktif,
bersifat rekuren serta kerap diikuti dengan mengi (Global Initiative for Chronic
Adanya faktor pada host seperti faktor genetic, adanya gangguan perkembangan /
faktor kongenital, berat badan lahir rendah dan adanya infeksi traktus respirasi
5
dimasa kecil (tuberculosis) serta faktor riwayat keluarga mengalami PPOK dapat
menjadi hal yang mengarahkan diagnosis pada PPOK. Paparan berbagai zat kimia
seperti asap rokok, paparan asap yang dihasilkan dari proses masak-memasak
serta dari produk pembakaran bahan bakar fosil merupakan faktor risiko PPOK
aerosol lainnya yang dapat menginduksi PPOK antara lain debu, gas kimia serta
bahan iritan kimia lainnya (Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary
Disease.2017)
invasive yang objektif dalam menilai adanya limitasi aliran udara dalam traktus
respirasi, serta memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. Kendati demikian, perlu
pertama (FEV1) / Forced Vital Capacity (FVC) < 0.70 pasca pemberian
penentuan prognosis serta penetuan terapi pasien. Klasifikasi limitasi aliran udara
6
pada PPOK meliputi (table 1) (Global Initiative for Chronic Obstructive
Pulmonary Disease.2017) :
Table 1. klasifikasi limitasi aliran udara pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik
farmakologis. Terapi non farmakologis yang paling utama pada pasien dengan
seperti rokok dan zat polutan inhalasi lainnya. Upaya vaksinasi pada pasien PPOK
juga memberikan dampak terapi yang signifikan dalam mengurangi mortalitas dan
(PCV13) pada pasien dengan umur > 65 tahun (Global Initiative for Chronic
7
Manajemen farmakologis pada pasien PPOK meliputi golongan
agonis berfungsi untuk mengurangi gejala dyspnea pada PPOK. mekanisme kerja
dari beta agonis ialah menstimulasi relaksisasi otot polos traktus respirasi.
Beberapa efek samping terkait dengan penggunaan preparat beta agonis antara
lain palpitasi yang pada keadaatn tertentu dapat berimbas pada aritmia, serta
samping terkait dengan penggunaan preparat xantin yang bersifat dose related
ini sudah mulai ditinggalkan (Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary
Disease.2017).
yang signifikan bila dikombinasikan dengan beta agonis pada kasus eksaserasi
akut PPOK bila dibandingkan dengan beta agonis saja. Penggunaanya juga
direkomendasikan pada kasus serangan sedang – berat dari eksaserbasi akut asma.
8
jangka Panjang dan pada kasus eksaserbasi akut PPOK direkoemndasikan untuk
diberikan selama 5-7 hari tanpa diperlukan taappering off dengan dosis
Pulmonary Disease.2017).
penggunaan azitromisin dan eritromisin dalam jangka Panjang, yang mana secara
klinis terbukti menruunkan frekuensi eksaserbasi akut dalam 1 tahun, walau hal
mempertahankan tidur, terbangun terlalu dini, atau tidak merasa segar setelah
dengan penurunan kualitas tidur pasien. Pada suatu penelitian guna mengetahui
tingkat kejaidan insomnia pada pasien PPOK, didapatkan bahwa angka kejaidan
insomnia mencapai 32.9% pada kelompok pasien dengan PPOK, sedangkan pada
9
pasien dengan non PPOK angka insomnia mencapai 20.3%. Pada analisis lebih
lanjut, pasien dengan PPOK juga berisiko mengalami insomnia hingga 1,9 kali
lebih besar dibandingkan dengan kelompok control. Pasien dengan PPOK juga
masih belum diketahui. Kendati demikian, beberapa factor telah dikaitkan dengan
kejadian insomnia pada PPOK dan telah dijadikan target terapi insomnia pada
al.2012).
Hipoksemia
10
Peningkatan aktivitas saraf simpatik
postur tubuh supinasi yang terutama terjadi pada saat tidur. Lebih lanjut,
al.2012). Hal ini terbukti dengan adanya manfaat suplementasi oksigen pada
pasien PPOK walau hal tersebut disanggah oleh berbagai penelitian lainnya
golongan Beta agonis dan methylxantin juga dikaitkan dengan kejadian insomnia.
al.2012).
11
Pasien dengan PPOK umumnya dikaitkan dengan berbagai kondisi
prevalensi depresi pada pasien PPOK dapat mencapai 80% dan ansietas dapat
mencapai 74%. Lebih lanjut, penelitian membuktikan bahwa kejadian depresi dan
kedua hal tersebut memilki hubungan dua arah. Kejadian depresi dan ansietas
dyspne dan hipoksemia umumnya akan mengalami hiperkapnea, yang mana dapat
dengan PPOK juga diketahui mengalami respon inflamasi sistemik serta stress
oksidatif yang mana juga berkaitan dengan stimulasi aktivitas tonus simpatik. Hal
PPOK dalam suatu penelitian terbukti dapat menurunkan aktivitas tonus simpatik
al.2001).
12
c. Manajemen terapi insomnia pada pasien PPOK
untuk mengetahui factor pencetus dari terjadinya insomnia itu sendiri pada pasien
PPOK. Harus diketahui apakah gejala dari PPOK itu sendiri (batuk, dispneu<
kebiasaan tertentu yang juga dapat mendorong timbulnya PPOK ( konsumsi zat
stimulant, nikotin, sleep hygiene, berikut dengan konsekuensi dari berbagai hal
terapi non farmakologis pada kasus insomnia, dan telah terbukti efektif dalam
mengeradikasi insomnia pada berbagai kondisi seperti pada pasien kanker, pasien
PPOK, CBT-I terbukti efektif dalam mengurangi gejala insomnia pada kelompok
gejala insomnia pada pasien PPOK. Diluar efek sampingnya yang dapat menekan
13
termazepam 10 mg/hari selama 14 hari pada pasien PPOK berat yang stabil dan
Heijdra YF, van den Elshout FJ et al.2010). Kendati demikian, biila pilihan terapi
memberikan efikasi terapi yang konsisten pada tiap penelitian dan berkaitan
dengan berbagai efek samping seperti peningkatan berat badan dan peningkatan
amino butyric acid (GABA). GABA neurotransmitter utama yang paling sering
diteukan di system saraf pusat, terutama pada korteks dan system limbik. GABA
14
efek penenang pada system saraf pusat (Griffin CEI, Kaye AM, Bueno FR et
al.2013).
1 dan 2 ( BZ1 dan BZ2). Reseptor BZ1 merupakan resptor GABA yang
bertanggung jawab pada proses sedasi, terutama terdapat pada korteks serebri,
thalamus dan serebellum. Induksi pada reseptor GABA tersebut juga dapat
ditimbulkan tersebut juga berkaitan dengan potensi kelarutan zat aktif obat dalam
lemak ; semakin tinggi tingkat kelarutan obat dalam lipid, maka risiko terjadinya
amnesia anterograde juga semakin besar (Griffin CEI, Kaye AM, Bueno FR et
al.2013).
terdapat pada korteks motoric, system limbik dan kornu anterior medulla spinalis.
Tidak semua obat-obatan dari kelas benzodiazepine memiliki afinitas yang sama
pada tiap reseptro BZ1 dan BZ2. Potensi induksi dari tiap reseptor yang dapat
bergantung pada beberapa factor, yakni bentuk isoformitas dari subunit α, tingkat
15
afinitas pada reseptor BZ1 dan BZ2, serta daerah induksi obat pada system saraf
tinggi dalam lemak, sehingga tingkat absorpsi obat pada pemberian oral sangat
system saraf pusat dimana metabolit aktif obat tersebut dapat mempenetrasi sawar
darah otak dengan baik dan akan terakumulasi pada jaringan adiposa. Preparat
benzodizepin akan dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 di hepar dan akan
diubah menjadi metabolit aktif yang terikat dengan protein. Metabolit tersebut
singkat, dimana tidak akan mmebnetuk metabolit aktif yang terakumulasi pada
terutama pada golongan khusus (lanjut usai atau pasien dengan gangguan (Griffin
16
b. Efikasi dan profil kemanan benzodiazepin pada insomnia yang
disebabkan PPOK
Pasien-pasien tersebut umumnya ditandai dengan fase laten tidur yang lebih
memanjang, terbangun lebih sering, serta kantuk berlebihan pada siang hari.
berdampak pada penurunan kualitas hidup serta perburukan PPOK pasien (Lu
sebagai lini pertmaa terapi. Kendati tealh dilaporkan bahwa penggunaan preparat
obat tersebut berkaitan dengan hipoventilasi serta acute respiratory failure pada
profil keamanan terapi pada PPOK yang baik (Stege G, Heijdra YF, van den
Elshout FJ et al.2010)
dengan penggunaan obat terhadap eradikasi insomnia pada PPOK serta efek
samping terkait antara tahun 1984 hingga 2010, terdapat beberapa jenis preparat
17
flurazepam 30 mg, triazolam 0.125 mg & 0.25 mg, nitrazepam 5 mg,
dalam berbagai penelitian tersebut antara lain total durasi tidur, efisiesni tidur,
keinginan untuk tidur, periode latensi tidur, penilaian kualitas tidur secara
subjektif, total durasi wakru dengan saturasi oksigen < 90% dan kejadian apne.
Pada aspek total durasi waktu untuk tidur, semua preparat benzodiazepine
yang diujicobakan memberikan total durasi waktu tidur yang secara bermakna
lebih Panjang dibandingkan dnegan control placebo. Hal yang serupa juga
yang diujicobakan memberikan efisiensi tidur yang secara bermakna lebih baik
dibandingkan dengan placebo (Lu XM, Zhu JP, Zhou XM. 2016).
tidur akibat rasa kantuk bila dibandingkan dengan placebo. Hal ini
pasien. Pada penlilaian kualitas tidur secara subjektif dari pasien insomnia dengan
bermakna antara kualitas tidur secara subjektif yang dilaporkan oleh pasien seelah
mendapat terapi benzodiazepine ataupun placebo (Lu XM, Zhu JP, Zhou XM.
2016).
18
Pada aspek terapi benzodiazepin terhadap katannya dengan depresi
triazolam 0.125 mg serta 0.25 mg tidak memberikan dampak apne yang berbeda
ermakna bila diabdningkan dengan placebo. Pada analisis lanjuta terkait dengan
durasi kejaidan sturasi < 90% pada saat tidur antara kelompok pasien yang
tidak didaptkan perbedaan kejadian desaturase yang yang bermakna antara kedua
enzodiazepin tertentu terbukti secara klinis dapat memperbaiki fungsi tidur pada
insomnia PPOK juga dapat menimbulkan berbagai efek samping yang mana hal
tersebut terkait dengan ikatan antara benzodiazepine pada resptor BZD1 dan
BZD2 pada system saraf pusat. Berbagai efek samping terkait dengan pengunaan
dependensi. Berbagai efek samping tersebut dapat muncul dan dipengaruhi oleh
berbagai factor, antara lain tipe preparat benzodiazepine yang digunakan, rute
pemberian obat, dosis, frekuensi pemberian, durasi kerja obat, tingkat ke;larutan
dalam lemak serta aspek psikodinamik dari benzodiazepine (Lu XM, Zhu JP,
19
BAB III
KESIMPULAN
penyakit system respirasi yang memilki prevalensi yang cukup tingii diseluruh
dunia. Pasien dengan PPOK umumnya akan mengalami berbagai kendala dalam
fungsi fisiologis keseharian, termasuk fungsi tidur. Pasien PPOK cendrung akan
mengalami insomnia yang mana hal tersebut dapat dsebabkan oleh berbagai
memperberat eksaserbasi PPOK, hingga saat ini banyak penelitian yang dilakukan
guna mengkaji efikasi benodiazepin terhadap insomnia serta profil kemanan obat.
20