Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

a. Epidemiologi PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit respiratorik

kronik yang ditandai dengan penurunan fungsi respirasi, terutama dispneu,batuk

dan peningkatan produksi sputum. Prevalensi PPOK diselurh dunia bervariasi,

mulai dari angka terendah terdapat di Jepang (0.2%) hingga tertingi berada di

Amerika serikat (37%). PPOK sangat berimbas pada kehidupan pasien, terutama

berimbas signifikan pada fungsional individu baik dalam produktivitas bekerja,

peningkatan angka hospitaisasi dan disabilitas (Rycroft CE, Heyes A, Lanza L et

al.2012).

Insidensi PPOK terutama meningkat seiring dengan bertambahnya umur.

Studi menunjukkan bahwa PPOK secara signifikan terjadi pada populasi dengan

umur > 75 tahun. Kejadian PPOK juga lebih banyak terjadi pada populasi pria

dibandingkan wanita (Rycroft CE, Heyes A, Lanza L et al.2012).

Angka mortalitas yang berkaitan dengan PPOK dari suatu penelitian

metanalisis menunjukkan insidensi mortalitas dalam setahun bergantung dengan

rentang umur pasien mengalami PPOK. Angka kejadian PPOK pada rentang umur

45 tahun berkisar 4.1%. pada rentang umur antara 65-100 tahun, angka mortalitas

diperkirakan mencapai 27.7%. Angka mortalitas pada pasien PPOK bervariasi di

4
berbagai negara. Di jepang angka mortalitas akibat PPOK diperkirakan antara 3-9

kasus / 100.000 populasi sedangkan di Amerika serikat angka mortalitas PPOK

berkisar antara 7-111 kasus / 100.000 populasi, dimana angka kematian tersebut

didominasi oleh jenis kelamin pria (Rycroft CE, Heyes A, Lanza L et al.2012).

Berdasarkan data penelitian faktor risiko PPOK di China, terdapat

beberapa hal yang berkaitan dengan faktor risiko PPOK, antara lain merokok,

paparan zat kimia dalam asap / inhalasi, infeksi tuberculosis paru, status

sosioekonomi, serta hiper responsivisitas traktus respirasi. Penelitian

menunjukkan bahwa kejadian PPOK tidak hanya terjadi pada perokok aktif

(13.2%), tetapi juga pada populasi non perokok (5.1%) ( Zhou Y, Chen R. 2013)

b. Penegakan Diagnosis PPOK

Diagnsosis dari PPOK dapat ditegakkan pada pasien dengan gejala

dyspnea, batuk kronik, peningkatan produksi sputum serta adanya riwayat

paparan faktor risiko PPOK pada pasien. Karakteristik dypsne yang mengarahkan

pada diagnosis PPOK antara lain bersifat progresif, persisten, dan terutama

memberat saat aktivitas. Batuk kronik yang mengarah pada diagnosis PPOK ialah

batuk yang dapat bersifat intermiten / persisten, dapat bersifat tidak produktif,

bersifat rekuren serta kerap diikuti dengan mengi (Global Initiative for Chronic

Obstructive Pulmonary Disease.2017)

Terdapat beberapa faktor risiko yang mengarahkan diagnosis pada PPOK.

Adanya faktor pada host seperti faktor genetic, adanya gangguan perkembangan /

faktor kongenital, berat badan lahir rendah dan adanya infeksi traktus respirasi

5
dimasa kecil (tuberculosis) serta faktor riwayat keluarga mengalami PPOK dapat

menjadi hal yang mengarahkan diagnosis pada PPOK. Paparan berbagai zat kimia

seperti asap rokok, paparan asap yang dihasilkan dari proses masak-memasak

serta dari produk pembakaran bahan bakar fosil merupakan faktor risiko PPOK

yang banyak ditemukan di negara-negara berkembang. Paparan zat inhalasi

aerosol lainnya yang dapat menginduksi PPOK antara lain debu, gas kimia serta

bahan iritan kimia lainnya (Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary

Disease.2017)

Secara klinis, diperlukan pemeriksaan spirometry untuk penegakan

diagnosis klinis PPOK. pemeriksaan spirometry merupakan pemeriksaan non

invasive yang objektif dalam menilai adanya limitasi aliran udara dalam traktus

respirasi, serta memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. Kendati demikian, perlu

dilakukan pemeriksaan penunjang lain dalam penegakan diagnosis PPOK sebagai

akibat spesifisitas pemeriksaan spirometry pada PPOK yang rendah. Pada

pemeriksaan spirometry terkait PPOK, Rasio Forced Expiratory Volume detik

pertama (FEV1) / Forced Vital Capacity (FVC) < 0.70 pasca pemberian

bronkodilator menunjukkan adanya limitasi aliran udara yang menandakan PPOK

(Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease.2017)

Pemeriksaan spirometry penting untuk pengklasifikasian gejala

eksaserbasi pada pasien PPOK. Pengklasifikasian tersebut juga berperan dalam

penentuan prognosis serta penetuan terapi pasien. Klasifikasi limitasi aliran udara

6
pada PPOK meliputi (table 1) (Global Initiative for Chronic Obstructive

Pulmonary Disease.2017) :

Klasifikasi Limitasi aliran Spirometry


udara

Gold 1 Ringan FEV1 > 80 predicted

Gold 2 Sedang 50% < FEV1 < 80% predicted

Gold 3 Berat 30% < FEV1 < 50 % predicted

Gold 4 Sangat berat FEV1 < 30% predicted

Table 1. klasifikasi limitasi aliran udara pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik

c. Manajemen terapi PPOK

Manajemen terapi PPOK meliputi terapi farmakologis dan non

farmakologis. Terapi non farmakologis yang paling utama pada pasien dengan

PPOK ialah pengehentian penggunaan zat-zat stimulant eksaserbasi PPOK,

seperti rokok dan zat polutan inhalasi lainnya. Upaya vaksinasi pada pasien PPOK

juga memberikan dampak terapi yang signifikan dalam mengurangi mortalitas dan

morbiditas pada pasien dengan PPOK. Konsesnsus merekomendasikan pemberian

vaksin influenza, pneumococcal 23-valent polysaccharide (PPSV23) pada

populasi umur < 65 tahun serta 13-valent conjugated pneumococcal vaccine

(PCV13) pada pasien dengan umur > 65 tahun (Global Initiative for Chronic

Obstructive Pulmonary Disease.2017).

7
Manajemen farmakologis pada pasien PPOK meliputi golongan

bronkodilator (preparat agonis beta-2, antikolinergik,metilxantin, penghambat

fosfodiesterase-4) serta golongan antiinflamasi. Pemberian bronkodilator beta

agonis berfungsi untuk mengurangi gejala dyspnea pada PPOK. mekanisme kerja

dari beta agonis ialah menstimulasi relaksisasi otot polos traktus respirasi.

Beberapa efek samping terkait dengan penggunaan preparat beta agonis antara

lain palpitasi yang pada keadaatn tertentu dapat berimbas pada aritmia, serta

tremor. Penggunaan preparat beta agonis dapat dikombinasikan dengan preparat

antimuskarinik (ipratropium bromide) untuk meningkatkan efikasi terapi (Global

Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease.2017).

Penggunan methylxantin masih menjadi kontroversi pada terapi

eksasrbasi PPOK. penelitian menunjukkan efek terapi yang minimal pada

penggunaan xantin bila dibandingkan dengan placebo. Kendati demikian, efek

samping terkait dengan penggunaan preparat xantin yang bersifat dose related

serta efeikasi terapinya yang minimal menyebabkan penggunaan preparat terapi

ini sudah mulai ditinggalkan (Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary

Disease.2017).

Penggunaan preparat kortikosteroid (oral / inhalasi) memilki efikasi terapi

yang signifikan bila dikombinasikan dengan beta agonis pada kasus eksaserasi

akut PPOK bila dibandingkan dengan beta agonis saja. Penggunaanya juga

direkomendasikan pada kasus serangan sedang – berat dari eksaserbasi akut asma.

Kendati demikian, penggunaan kortikosteroid tidak direkoemndasikan dalam

8
jangka Panjang dan pada kasus eksaserbasi akut PPOK direkoemndasikan untuk

diberikan selama 5-7 hari tanpa diperlukan taappering off dengan dosis

prednisolon 1 mg/kg berat badan / hari(Global Initiative for Chronic Obstructive

Pulmonary Disease.2017).

Penggunaan antibiotic pada kasus PPOK masih bersifat kontroversial,

dimana direkoemndasikan hanya diberikan pada keadaan adanya kemungkinan

infeksi bakteri pada PPOK. kendati demikian, konsnesus merekomendasikan

penggunaan azitromisin dan eritromisin dalam jangka Panjang, yang mana secara

klinis terbukti menruunkan frekuensi eksaserbasi akut dalam 1 tahun, walau hal

tersebut berhubungan dengan peningkatan resistensi obat dan ganguan pedengaran

(Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease.2017).

B. Insomnia Pada PPOK

a. Prevalensi Insomnia pada PPOK

Insomnia didiefinisikan sebagai kesulitan untuk tidur, kesulitan untuk

mempertahankan tidur, terbangun terlalu dini, atau tidak merasa segar setelah

bangun. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara insomnia dan

PPOK, dimana kejadian insomnia secara signifikan meningkat pada pasien

dengan PPOK (Budhiraja R, Siddiqi TA, Quan SF.2015).

Pasien dengan PPOK akan mengalami berbagai keluhan yang berkaitan

dengan penurunan kualitas tidur pasien. Pada suatu penelitian guna mengetahui

tingkat kejaidan insomnia pada pasien PPOK, didapatkan bahwa angka kejaidan

insomnia mencapai 32.9% pada kelompok pasien dengan PPOK, sedangkan pada

9
pasien dengan non PPOK angka insomnia mencapai 20.3%. Pada analisis lebih

lanjut, pasien dengan PPOK juga berisiko mengalami insomnia hingga 1,9 kali

lebih besar dibandingkan dengan kelompok control. Pasien dengan PPOK juga

diketahui mengalami penurunan efisiensi tidur yang cukup signifikan. Penelitian

menunjukkan bahwa penurunan efisiensi tidur ditemukan pada 82% pasien

dengan PPOK. Berbagai temuan tersebut mengindikasikan bahwa insomnia

merupakan permasalahan yang sering ditemukan pada pasien PPOK (Budhiraja R,

Siddiqi TA, Quan SF.2015).

b. Etiopatogenesis insomnia pada PPOK

Hingga saat ini hubungan sebab akibat antaraPPOK dengan insomnia

masih belum diketahui. Kendati demikian, beberapa factor telah dikaitkan dengan

kejadian insomnia pada PPOK dan telah dijadikan target terapi insomnia pada

kelompok pasien tersebut (tabel 2) (Budhiraja R, Parthasarathy S, Budhiraja P et

al.2012).

Faktor pencetus insomnia pada PPOK

Gejala Gangguan repisrasi (dyspne, batuk, hiersekresi sputum)

Penggunaan / withdrawl nikotin

Peningkatan upaya bernafas

Hipoksemia

10
Peningkatan aktivitas saraf simpatik

Adanya factor komorbiditas ansietas / depresi

Penggunaan obat-obatan golongan Beta agonis / methylxantin

Tabel 2. Factor pencetus insomnia pada pasien PPOK

Dyspnea dan hipoksemia merupakan factor yang penting kaitannya dengan

kejaidan insomnia pada pasien PPOK. Dyspnea sendiri berhubungan dengan

postur tubuh supinasi yang terutama terjadi pada saat tidur. Lebih lanjut,

hipoksemia yang dapat disebabkan oleh dyspnea juga merupakan predictor

independen terhadap kejadian insomnia (Valipour A, Lavie P, Lothaller H et

al.2012). Hal ini terbukti dengan adanya manfaat suplementasi oksigen pada

pasien PPOK terhadap kaitannya dengan insomnia. Penelitian menunjukkan

pemberian suplementasi oksigen dapat menurunkan kejadian insomnia pada

pasien PPOK walau hal tersebut disanggah oleh berbagai penelitian lainnya

(Budhiraja R, Siddiqi TA, Quan SF.2015).

Penggunaan berbagai obat-obatan bronkodilator pada pasien PPOK seperti

golongan Beta agonis dan methylxantin juga dikaitkan dengan kejadian insomnia.

Kejadian ini juga berhubungan dengan penggunaan inhalasi steroid, walaupun

penggunaan kedua golongan obat tersbeut yang dikaitkan dengan kejadian

insomnia masih kontroversi (Budhiraja R, Parthasarathy S, Budhiraja P et

al.2012).

11
Pasien dengan PPOK umumnya dikaitkan dengan berbagai kondisi

kelainan psikiatrik, seperti depresi dan ansietas. Penelitian menunjukkan

prevalensi depresi pada pasien PPOK dapat mencapai 80% dan ansietas dapat

mencapai 74%. Lebih lanjut, penelitian membuktikan bahwa kejadian depresi dan

ansietas dapat menstimulasi atau memperberat kejadian insomnia, dimana antara

kedua hal tersebut memilki hubungan dua arah. Kejadian depresi dan ansietas

dapat memperberat terjadinya insomnia, demikian pula sebaliknya (Budhiraja R,

Roth T, Hudgel DW et al.2011).

Peningkatan aktivitas saraf simpatik telah terbukti berkaitan dengan

kualitas dan efisiensi tidur, sehingga dapat mencetuskan / memperberat insomnia.

Beberapa kondisi dapat berkaitan dengan kejadian peningkatan aktivitas saraf

simpatik pada pasien PPOK. Pasien-pasien dengan PPOK yang mengalami

dyspne dan hipoksemia umumnya akan mengalami hiperkapnea, yang mana dapat

mencetuskan terjadinya peningkatan aktivitas tonus simpatik. Selain itu, pasien

dengan PPOK juga diketahui mengalami respon inflamasi sistemik serta stress

oksidatif yang mana juga berkaitan dengan stimulasi aktivitas tonus simpatik. Hal

tersbeut dibuktikan dengan ditemukkannya peningkatan konsnetrasi noreepinefrin

pada serum darah pasien yang mengalami PPOK (Bratel T, Wennlund A,

Carlström K.2000). Lebih lanjut, pemberian suplementasi oksigen pada pasien

PPOK dalam suatu penelitian terbukti dapat menurunkan aktivitas tonus simpatik

dan meningkatakan kualitas tidur pasien (Heindl S, Lehnert M, Criée CP et

al.2001).

12
c. Manajemen terapi insomnia pada pasien PPOK

Sebelum memberikan terapi insomnia pada pasien dengan PPOK, prnting

untuk mengetahui factor pencetus dari terjadinya insomnia itu sendiri pada pasien

PPOK. Harus diketahui apakah gejala dari PPOK itu sendiri (batuk, dispneu<

hipersekresi sputum) yang mempresipitasi insomnia, atau adanya kebiasaan-

kebiasaan tertentu yang juga dapat mendorong timbulnya PPOK ( konsumsi zat

stimulant, nikotin, sleep hygiene, berikut dengan konsekuensi dari berbagai hal

tersebut terhadap kualitas tidur (Budhiraja R, Siddiqi TA, Quan SF.2015).

Terapi PPOK yang optimal, penghentian kebiasaan merokok, serta

suplementasi oksigen dapat membantu memperbaiki kualitas tidur dan

mengeradikasi insomnia (Budhiraja R, Siddiqi TA, Quan SF.2015). Pemberian

Cognitive Behavioral Theraphy – Insomnia (CBT-I) dapat dilakukan sebagai lini

terapi non farmakologis pada kasus insomnia, dan telah terbukti efektif dalam

mengeradikasi insomnia pada berbagai kondisi seperti pada pasien kanker, pasien

dengan depresi, nyeri kronik serta pasien dengan acquaired immunodeficiency

syndrome (AIDS) (Morgenthaler T, Kramer M, Alessi C et al.2006). Pada kasus

PPOK, CBT-I terbukti efektif dalam mengurangi gejala insomnia pada kelompok

pasien tersebut (Kapella MC, Herdegen JJ, Perlis ML et al.2011).

Berbagai terapi farmakologis telah diteliti penggunaanya guna mengurangi

gejala insomnia pada pasien PPOK. Diluar efek sampingnya yang dapat menekan

system respirasi, penggunaan benzodiazepine pada kasus PPOK telah diteliti

terkait potensinya dalam penanganan insomnia pada PPOK. Penggunaan

13
termazepam 10 mg/hari selama 14 hari pada pasien PPOK berat yang stabil dan

normokapnik memberikan hasil terapi dimana obat terssebut tidak terbukti

menyebabkan hiperkapne serta memperberat dyspne pada pasien PPOK (Stege G,

Heijdra YF, van den Elshout FJ et al.2010). Kendati demikian, biila pilihan terapi

benzodiazepine diganti dengan preparat yang lebih tradisional, didapatkan

penurunan fungsi diafragma, penurunan menit ventilasi serta saturasi oksigen,

sehingga penggunaanya harus dicermati dengan baik (Roth T.2009).

Penggunaan preparat melatonin pada pasien PPOK derajat serangan

sedang-berat yang mengalami insomnia memberikan hasil terapi yang signifikan.

Penggunaan ramelton 8 mg / hari terbukti signifikan meningkatkan durasi dan

efisiensi tidur tanpa menyebabkan gejala hipoksemia. Penggunaan preparat

antihistamin seperti mirtazapine atau doxepin pada penagnan insomnia tidak

memberikan efikasi terapi yang konsisten pada tiap penelitian dan berkaitan

dengan berbagai efek samping seperti peningkatan berat badan dan peningkatan

aktivitas antikolinergik yang dapat menyebabkan retensi urin dan perburukan

glaucoma (Budhiraja R, Siddiqi TA, Quan SF.2015).

C. Pengunaan benzodiazepin sebagai lini terapi insomnia pada PPOK

a. Aspek farmakokinetik dan farmakokinetik benzodiazepine

Benzodiazepine bekerja sebagai agonis alosterik pada reseptor gamma

amino butyric acid (GABA). GABA neurotransmitter utama yang paling sering

diteukan di system saraf pusat, terutama pada korteks dan system limbik. GABA

memiliki peran utama sebagai inhibitor neuron eksitatorik sehingga memeberikan

14
efek penenang pada system saraf pusat (Griffin CEI, Kaye AM, Bueno FR et

al.2013).

Terdapat 3 reseptor dari neurotransmitter GABA, yakni GABA A, B dan

C. GABA A merupakan reseptor yang terutama berikatan dengan preparat obat-

obatan benzodiazepine. Reseptor GABA A memilki 3 subunit reseptor, yaitu α, β

dan γ. obat-obatan benzodiazepine hanya akan berikatan pada reseptor α dan γ.

sub unit α reseptro GABA dapat diklasifikasikan menjadi respetor benzodiazepine

1 dan 2 ( BZ1 dan BZ2). Reseptor BZ1 merupakan resptor GABA yang

bertanggung jawab pada proses sedasi, terutama terdapat pada korteks serebri,

thalamus dan serebellum. Induksi pada reseptor GABA tersebut juga dapat

menyebabkan efek amnesia anterograde. Efek amnesia anterograde yang

ditimbulkan tersebut juga berkaitan dengan potensi kelarutan zat aktif obat dalam

lemak ; semakin tinggi tingkat kelarutan obat dalam lipid, maka risiko terjadinya

amnesia anterograde juga semakin besar (Griffin CEI, Kaye AM, Bueno FR et

al.2013).

Reseptor BZ2 merupakan reseptro benzodiazepine yang ketika diinduksi

berpotensi menyebabkan efek anzyolitic dan myorelaxant. Reseptro ini terutama

terdapat pada korteks motoric, system limbik dan kornu anterior medulla spinalis.

Tidak semua obat-obatan dari kelas benzodiazepine memiliki afinitas yang sama

pada tiap reseptro BZ1 dan BZ2. Potensi induksi dari tiap reseptor yang dapat

memberikan efek klinis yang berbeda dari pemberian benzodiazepine tersebut

bergantung pada beberapa factor, yakni bentuk isoformitas dari subunit α, tingkat

15
afinitas pada reseptor BZ1 dan BZ2, serta daerah induksi obat pada system saraf

pusat (Griffin CEI, Kaye AM, Bueno FR et al.2013).

Preparat benzodiazepine merupakan oat yang memilkiki kelarutan yang

tinggi dalam lemak, sehingga tingkat absorpsi obat pada pemberian oral sangat

baik. Pada pemberian secara intravena, obat akan langsung didistribusikan ke

system saraf pusat dimana metabolit aktif obat tersebut dapat mempenetrasi sawar

darah otak dengan baik dan akan terakumulasi pada jaringan adiposa. Preparat

benzodizepin akan dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 di hepar dan akan

diubah menjadi metabolit aktif yang terikat dengan protein. Metabolit tersebut

akan didistribusiakn ke sistmeik dan sebagian akan dieksresikan di urin (Griffin

CEI, Kaye AM, Bueno FR et al.2013).

Tiap preparat benzodiazepine memilki waktu paruh yang berbeda.

Midazolam merupakan preparat benzodiazepine dengan waktu paruh yang

singkat, dimana tidak akan mmebnetuk metabolit aktif yang terakumulasi pada

jaringan adiposa. Golongan diazepam merupakan preparat benzodiazepine durasi

Panjang, dimana metabolit aktifnya berupa oxazepam dan temazepam akan

terakumulasi dalam jaringan adiposa, sehinga penggunaanya perlu diwaspadai

terutama pada golongan khusus (lanjut usai atau pasien dengan gangguan (Griffin

CEI, Kaye AM, Bueno FR et al.2013).

16
b. Efikasi dan profil kemanan benzodiazepin pada insomnia yang

disebabkan PPOK

Telah diketahui bahwa pasien PPOK berkaitan dengan kejadian insomnia.

Pasien-pasien tersebut umumnya ditandai dengan fase laten tidur yang lebih

memanjang, terbangun lebih sering, serta kantuk berlebihan pada siang hari.

Berbagai karakteristik tersebut akan menurunkan kualitas tidur yang akan

berdampak pada penurunan kualitas hidup serta perburukan PPOK pasien (Lu

XM, Zhu JP, Zhou XM. 2016).

Guna menangani masalah tersebut, banyak klinisi yang yang meresepkan

agen hipnotik untuk meningkatkan kualitas tidur dengan preparat benzodiazepine

sebagai lini pertmaa terapi. Kendati tealh dilaporkan bahwa penggunaan preparat

obat tersebut berkaitan dengan hipoventilasi serta acute respiratory failure pada

PPOK (9), walau terdapat beberapa penelitian lain menyatakan bahwa

benzodiazepine golongan tertentu tetap memberikan efikasi yang optimal dengan

profil keamanan terapi pada PPOK yang baik (Stege G, Heijdra YF, van den

Elshout FJ et al.2010)

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi efikasi pemberian

benzodiazepine terhadap manfaaatnya dalam eradikasi insomnia pada PPOK.

Pada suatu penelitian metanalisis yang menghimpun berbagai jurnal terkait

dengan penggunaan obat terhadap eradikasi insomnia pada PPOK serta efek

samping terkait antara tahun 1984 hingga 2010, terdapat beberapa jenis preparat

benzodiazepine berbeda yang diujicobakan dalam penelitian, antara lain

17
flurazepam 30 mg, triazolam 0.125 mg & 0.25 mg, nitrazepam 5 mg,

flunitrazepam 1 mg serta termazepam 10 mg. beberapa outcome yang diteliti

dalam berbagai penelitian tersebut antara lain total durasi tidur, efisiesni tidur,

keinginan untuk tidur, periode latensi tidur, penilaian kualitas tidur secara

subjektif, total durasi wakru dengan saturasi oksigen < 90% dan kejadian apne.

Total terdapat 5 penelitian crossover yang dianalisis dalam penelitian metanalisis

tersebut (Lu XM, Zhu JP, Zhou XM. 2016).

Pada aspek total durasi waktu untuk tidur, semua preparat benzodiazepine

yang diujicobakan memberikan total durasi waktu tidur yang secara bermakna

lebih Panjang dibandingkan dnegan control placebo. Hal yang serupa juga

ditemukan pada aspek efisiensi tidur, dimana semua golongan benzodiazepine

yang diujicobakan memberikan efisiensi tidur yang secara bermakna lebih baik

dibandingkan dengan placebo (Lu XM, Zhu JP, Zhou XM. 2016).

Pada aspek keinginan untuk tidur (arousal of sleep), semua golongan

benzodiazepine yang digunakan secara signifikan menurunkan keinginan untuk

tidur akibat rasa kantuk bila dibandingkan dengan placebo. Hal ini

mengindikasikan bahwa benzodiazepine dapat memperbaiki kualitas tidur dari

pasien. Pada penlilaian kualitas tidur secara subjektif dari pasien insomnia dengan

PPOK setelah pemberian benzodiazepine, tidak didapatkan perbedaan yang

bermakna antara kualitas tidur secara subjektif yang dilaporkan oleh pasien seelah

mendapat terapi benzodiazepine ataupun placebo (Lu XM, Zhu JP, Zhou XM.

2016).

18
Pada aspek terapi benzodiazepin terhadap katannya dengan depresi

pernafasan pada pasien dengan PPOK, pemberian termazepam 10 mg dan

triazolam 0.125 mg serta 0.25 mg tidak memberikan dampak apne yang berbeda

ermakna bila diabdningkan dengan placebo. Pada analisis lanjuta terkait dengan

durasi kejaidan sturasi < 90% pada saat tidur antara kelompok pasien yang

mendapat placebo dengan semua kelompok benzodiazepine yang diujicobakan,

tidak didaptkan perbedaan kejadian desaturase yang yang bermakna antara kedua

kelompok. Hal tersbeut mengidikasikan bahwa penggunaan berbagai golongan

enzodiazepin tertentu terbukti secara klinis dapat memperbaiki fungsi tidur pada

pasien insomnia dengan PPOK tanpa menyebabkan perberatan fungsi respirasi

yang bermakna (Lu XM, Zhu JP, Zhou XM. 2016).

Selain terkait dengan efek sampingnya yang berpotensi menyebabkan

depresi pernafasan pada pasien PPOK, pemilihan benzodiazepine guna menangani

insomnia PPOK juga dapat menimbulkan berbagai efek samping yang mana hal

tersebut terkait dengan ikatan antara benzodiazepine pada resptor BZD1 dan

BZD2 pada system saraf pusat. Berbagai efek samping terkait dengan pengunaan

benzodiazpin antara lain meliputi ansietass, depresi, night cramping serta

dependensi. Berbagai efek samping tersebut dapat muncul dan dipengaruhi oleh

berbagai factor, antara lain tipe preparat benzodiazepine yang digunakan, rute

pemberian obat, dosis, frekuensi pemberian, durasi kerja obat, tingkat ke;larutan

dalam lemak serta aspek psikodinamik dari benzodiazepine (Lu XM, Zhu JP,

Zhou XM. 2016).

19
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) hingga saat ini merupakan

penyakit system respirasi yang memilki prevalensi yang cukup tingii diseluruh

dunia. Pasien dengan PPOK umumnya akan mengalami berbagai kendala dalam

fungsi fisiologis keseharian, termasuk fungsi tidur. Pasien PPOK cendrung akan

mengalami insomnia yang mana hal tersebut dapat dsebabkan oleh berbagai

factor. Insomnia pada PPOK dapat memperberat gejala PPOK, menurukan

kualitas tidur dan menurunkan kualitas hidup pasien.

Benzodiazepine saat ini digunakan oleh banyak klinisi untuk menangani

insomniatermasuk pada PPOK. Kendati memilki potensi depresi nafas dan

memperberat eksaserbasi PPOK, hingga saat ini banyak penelitian yang dilakukan

guna mengkaji efikasi benodiazepin terhadap insomnia serta profil kemanan obat.

Pengunaan termazepam, flurazepam, dan triazolam terbukti efektif dalam

memperbaiki kualitas tidur pasien insomnia dengan PPOK, tanpa memberikan

perberatan kondisi PPOK pasien

20

Anda mungkin juga menyukai