Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Prevalensi psoriasis dan ragam gangguan psikiatrik

Psoriasis merupakan bentuk inflamasi kronik pada kulit yang berkaitan

dengan baerbagai factor penyebab, termasuk fakotr lingkungan serta factor stress

psikologis. Prevalensi global dari psoriasis dilaporkan mencapai 2% dari seluruh

populasi dunia. Psoriaisis berkaitan dengan berbagai dampak psikologis pada pasien,

terutama terkait dengan stigma negatif di masyarakat yang mana hal tersebut

berkaitan dengan dampak negatif pada aspek psikososial (Ferreira BR, Pio-Abreu JL,

Reis JP et al.2017).

Berbagai penelitian telah menghubungan keterkaitan antara psoriasis dan

berbagai manifestasi gangguan psikiatrik. Teori model neuro-immuno-cutaneosu-

endocrine telah membantu menjelaskan keteriaktan antara factor psikologis dengan

eksaserbasi psoriasis (Ferreira BR, Pio-Abreu JL, Reis JP et al.2017). penelitain yang

menghubungankan antara eksaserbasi posiriasis dengan berbagai manifestasi

gangguan psikitarik mendapatkan kesimpulan bahwa berbagai ganguan psikiatrik

dapat secara signifikan menjadi factor risiko terhadap kejadian eksaserbasi psoriasis.

Berbagai ganguan psikiatrik yang berhubungan dengan eksaserbasi psoriasis antara

4
lain depresi, ansietas, skizofrenia, disfungsi seksual, ganguan tidur, ganguan

somatoform dan adiksi (Ferreira BR, Pio-Abreu JL, Reis JP et al. 2016).

Depresi merupakan ganguan pskiatrik yang berkaitan dengan eksaserbasi

psoriasis. Kedua fenomena ini dapat saling memberikan dampak umpan balik,

dimana depresi dapat mencetuskan eksaserbasi psoriasis, disis lain psoriasis sendiri

dapat memperberat gejala depresi. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan

bahwa prevalensi dari depresi pada pasien psoriasis berkisar antara 6% hingga 62%

bergantung dengan kriteria diagnosis depresi dan metodologi penelitian yang

digunakan (Dowlatshahi EA, Wakkee M, Arends LR et al.2014).

Ansietas juga diketahui memiliki hubungan yang erat dengan eksaserbasi

psoriasis. Ansietas memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap eksaserbasi

psoriasis dibandingkan dengan depresi. Dalam suatu penelitian control-kasus (case-

control study) guna mengetahui hubungan antara eksaserbasi psoriasis dengan

ansietas, diketahui bahwa pada individu dengan psoriasis, insidensi ansietas terjadi

secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok control. Berdasarkan

penelitian tersebut, didapatkan prevalensi ansietas pada pasien psoriasis mencapai

45% (Golpour M,Hosseini SH,Khademloo M, et al.2012).

Skizofrenia juga diketahui memiliki keterkaitan dengan kejadian eksaserbasi

psoriasis. Dalam penelitain factor risiko psoriaisis terhadap kejadain skizofrenia,

diketahui bahwa skizofrenia dapat meningkatkan probablitas kemunculan psoriasis

5
hingga 60% lebih besar dibandingkan dengan populasi normal. Disisi lain, juga

terdapat hubungan dua arah yang signifikan dimana didapatkan insidensi skizofrenia

yang lebih tingi pada pasien dengan psoriasis. Pada suatu penelitian kohort,

didapatkan kesimpulan bahwa inisidensi skizofrenia meningkat hingga 77% pada

pasien dengan psoriaisis bial dibanidngkan dengan populasi umum ( Tu HP, Yu CL,

Lan CC et al. 2017).

Disfungsi seksual merupakan bagian dari elemen kesehatan yang bernilai

signifikan. Adanya disfungsi seksual kerap kali berhubungan dengan adanya berbagai

masalah kesehatan lain, seperti diabetes, penyakit ateroskelrotik, depresi, adiksi, dan

berbagai manifestasi reaksi atopi. Penelitian lanjutan juga menemukan bahwa

disfungsi seksual juga berkaitan dengan adanya eksaserbasi akut psoriasis. Pada suatu

penelitia epidemiologi, didapatkan hasil bahwa disfungsi seksual ditemukan pada

40% pasien dengan psoriasis. Hal ini menunjukkan fakta bahwa disfungsi seksual

memiliki keterakitan yang erat dengan eksaserbasi psoriasis (Duerte GV, Calmon H,

Radel G et al.2018).

Gangguan tidur merupakan manifestasi ganguan pskiatrik yang sering

ditemukan. gangguan tidur secara tidak langsung akan menurunkan kualitas hidup

pasien, serta mendorong munculnya berbagai manifestasi pkiatrik lainnya seperti

depresi dan anisetas. Lebih lanjut, penelitian membuktikan adanya hubungan antara

psoriasis dan gangguan fungsi tidur. Gatala dan nyeri pada kulit serta kerusakan

lapisan kulit pada pasien dengan psoriasis secara langsung menyebabkan sulitnya

6
pasien untuk tidur, demikian pula sebaliknya gangguan tidur dapat memunculkan

manifestasi depresi, ansietas dan manifestasi psikiatrik lainnya, yang mana berbagai

hal tersebut merupakan factor risiko timbulnnya eksaserbasi akut psoriasis (Gupta

MA, Simpson FC, Gupta AK.2016).

B. Faktor Risiko Psoriasis dan Gangguan psikiatrik

Terdapat asosiasi yang signifikan antara penyakit dermatologis dengan factor

komorbiditas berupa kelainan psikiatrik. Penelitian epidemiologi menyimpulkan

bahwa dari semua kasus penyakit dermatologis, didapatkan factor komorbiditas

independent berupa kelainan psikiatrik sebesar 30%. Terlebih khusus pada kasus

psoriasis, prevalensi dari kelainan psikiatrik khususnya ansietas dan depresi, terjadi

secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Hal ini

mengindikasikan bahwa manifestasi dermatologis dalam hal ini psoriasis,

berhubungan erat dengan adanya factor predisposisi berupa kelainan pskiatrik

(Connor CJ, Liu V, Fiedorowicz JG. 2015).

Depresi dan psoriasis memiliki hubungan dua arah yang signifikan. Hal ini

berarti bahwa tidak hanya psoriasis dapat menimbulkan depresi sebagai akibat adanya

manifestasi kulit yang menyebabkan rasa malu dan hambtan dari segi social, adanya

akumulasi dari depresi juga diketahui dapat menimbulkan eksaserbasi akut dari

psoriasis. Adanya manifestasi psoriasis yang diawali oleh depresi diduga muncul

sebagai akibat interaksi fenomena immunologis dan neurochemical tertentu. Pada

7
suatu penelitian, didapatkan bahwa pasien dengan psoriasis memiliki skor depresi

Beck yang secara ekstrim sangat tinggi dibandingkan control. Selain itu pada

penelitian lanjutan pada kelompok pasien dengan psoriasis, angak depresi didapatkan

hingga 62% pada kelompok tersebut. Penelitian korelasi lain terkait dengan kejadian

depresi dan eksaserbasi psoriasis didapatkan kesimpulan bahwa depresi secara

signifikan berkorelasi dengan risiko peningkatan eksaserbasi psoriasis dan tingkat

keparahan sensasi pruritus pada kasus tersebut (Tohid H, Aleem D, Jackson C.2016).

Menariknya, pengobatan depresi pada kelompok pasien tersebut juga berimbas pada

resolusi eksaserbasi psoriasis. Hal ini dibuktikan dari penelitian lain, dimana

pemberian obat-obatan antidepresan dikombinsasikan dengan obat anti psoriasis

didapatkan outcome terapi yang lebih baik (Redighieri IP, Nadal MA, Ruiz MA et

al.2011).

Ansietas juga merupakan kelainan psikiatrik yang berhubungan erat dengan

eksaserbasi psoriasis. Seperti dengan depresis, ansietas juga berhubungan dua arah

dengan psoriasis. Pasien dengan psoriasis terbukti memiliki tingkat ansietas yang

lebih tinggi, bahkan dalam suatu penelitian disebutkan bahwa nagka ansietas pasiuen

dengan psoriasis secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan angka ansietas

pada pasien kanker. Lebih lanjut, adanya ansietas pada pasien psoriariasis juga

berkontribusi pada kegagalan terapi photochemoterapy, dimana didapatkan respon

terapi yang inadekuat pada pasien psoriasis dengan ansietas (Leibovici V, Menter

A.2016).

8
Schizophrenia juga dikethaui sebgai factor presipitasi dari terjadinya

eksaserbasi psoriasis. Pada suatu penelitian epidemiologi dalam rentang penelitian

selama 10 tahun, didapatkan lonjakan yang signifikan terhadap kejaidan skizofrenia

pada pasien dengan psoriasis (0.39% menjadi 1.10%) dibanidngkan dengan populasi

umum (0.31 % menjadi 0.47%). Pada penelitain tersebut pula, didapatkan kesimpulan

bahwa pasien psoriasis memiliki risiko untuk menjadi skizofrenia hingga 1.44 kali

lebih besar dibandingkan populasi tanpa psoriasis (44%)(Tu HP, Yu CL, Lan

CC.2017).

Penelitian lain terkait adanya asosiasi skizofrenia dan psoriasis juga didasari

pada adanya temuan manifestasi penyakit autoimun pada pasien dengan skizofrenia.

Sebagai salah satu penyakit autoimmune, psoriasis memiliki prevalensi yang cukup

sering ditemukan pada pasien dengan skizofrenia. Hingga saat ini, masih belum

diketahui mekanisme yang mendasari dari fenomena tersebut, tetapi diduga adanya

disregulasi system imun pada pasien dengan skizofrenia yang menyebabkan reaksi

autoimmunitas yang mendasari dari patofisiologi psoriasis dan penyakit autoimmune

lainnya (Malhotra S, Kumar P, Naur N et al.2012).

Disfungsi seksual juga diketahui berhubungan erat dengan psoriasis. Pada

suatu penelitian epidemiologi, didapatkan kesimpulan bahwa kejadian disfungsi

seksual ditemukan pada 31.6 % pasien dengan psoriasis. Lebih lanjut, pada pria,

penolakan untuk berhubungan seksual didapati pada 44.7% populasi pria dengan

psoriasis dari pasangan wanitanya. Lebih lanjut, pada pria dengan psoriasis

9
ditemukan konsentrasi testeosteron yang lebih rendah, yang mana berasosiasi dengan

penurunan hasrat seksual. Pada penelitian lainnya juga ditemukan bahwa pasien pria

dengan psoriaisis memiliki kecendrungan untuk mengalami disfungsi ereksi hingga

56% (Duerte GV, Calmon H, Radel G et al.2018).

Gangguan tidur memiliki asosiasi yang erat dengan eksaserbasi psoriasis.

Selain secara langsung adanya sensasi pruritus dapat menyebabbkan sensasi tidak

nyaman pada individu sehingga sulit tidur, adanya factor lain juga turut berkontribusi

pada gangguan tidur pada pasien dengan psoiriasis, seperti depresi, nyeri ataupun

obstructive sleep apnea. Pada penelitian yang dilakukan guna mentegahui kualitas

tidur pada pasien dengan psoriasis dan diabndingkan dengan control, didapatkan

bahwa pasien dengan psoriasis memiliki kualitas tidur, efisiensi dan produktivitas

pada siang hari yang secara subjektif yang lebih rendah dibandingkan control

(Melikoglu M.2017).

C. Etiopatogenesis hubungan antara gangguan pskiatrik dan psoriasis

Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan tkehnologi,

berbagai penelitian yang dikembangkan, menyimpulkan bahwa posiriasis tidak hanya

terjadi sebagai akibat dari abnromalitas in situ pada kulit, tetapi juga turut

terpengaruh dari fungsi kejiwaan yang tidak normal. Konsep ini kemudian dikenal

sebagai mind-body concept. Pada konsep tersebut, adanya factor fisik dan psikis turut

berperan pada proses eksaserbasi psoriasis. Konsep etiopatogenesis tersebut

10
memungkinkan paling tidak adanya 3 jalur patomekanisme eksaserbasi psoriasis,

yakni melalu jalur autoimmunitas, jalur pheriperal nervous system, jalur sympathic-

adrenal-medullar (SAM), dan jalur aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HHA).

Pengenalan mengenai berbagai jalur etiopatogenesis tersebut menjadi penting karena

dalam penatalaksaan psoriaisis diperlukan pendekatan terapi yang komprehensif,

termasuk pendekatan terapi dari bidang psikiatri sesuai dengan kondisi pasien, guna

mencapai respon terapi yang adekuat (Ferreira BR, Pio-Abreu JL, Reis JP et al 2016).

Psoriasis dapat menyebabkan terjadinya ansietas sebagai akibat adanya

manifestasi gatal kronis, adanya manifestasi kutis yang menyebabkan stigma

negative, serta dampak pengucilan dari lingkungan social. Manifestasi ansietas

tersebut akan semkain parah bila tidak ada dukungan dari lingkungan internal pasien.

Lebih lanjut, ansietas pada pasien dapat semakin memperparah eksaserbasi psoriasis

pasien. Reaksi stress yang terjadi pada ansietas dapat menyebabkan kerusakan

barrier kulit serta aktivasi jalur SAM maupun HHA. Aktivasi system HHA akan

menyebabkan peningkatan sekresi sitokin proinflamasi pada kulit yang terdampak

psoriasis, menyebabkan rekasi inflamasi semakin memberat, sehingga manifestasi

klinis akan menjadi lebih parah. Hal ini yang kemudian menjadi dasar dari teori

ansietas mencetuskan eksaserbasi psoriasis (Remrod C, Sjostrom K, Svensson A.

2015).

Depresi pada pasien psoriasis dapat terjadi sebagai akibat stigma negative dari

lingkungan masyarakat serta adanya gejala pruritus maupun nyeri kulit yang kronis.

11
Ketidak puasan terhadap terapi yang inadekuat juga dapat berdampak pada

peningkatan risiko depresi pada pasien psoriasis. Penelitian menunjukkan bahwa skor

Psoriasis Area severity Index (PASI) berasosiasis positif dengan tingkat keparahan

depresi. Lebih lanjut, tingkat depresi yang lebih tinggi juga ditemukan pada pasien

dengan lesi psoriasis yang terjadi pada wajah dan area genital (Ferreira BR, Pio-

Abreu JL, Reis JP et al 2016).

Berketerbalikan, depresi secara independent dapat meningkatkan keparahan

atau menstimulasi terjadinya eksaserbasi psoriasis. Depresi secara biologis akan

mendorong peingkatan sekresi substansi P, yaitu substansi yang bertanggung jawab

terhadap proliferasi keratinosit, inflamsi pada kulit dan aktivasi limfosit yang mana

semua hal tersebut berperan dalam pathogenesis eksaserbasi psoriasis. Lebih lanjut,

depresi juga dapat menstimulasi sekresi mediator inflamasi yang mendorong

munculnya eksaserbasi psoriasis, yakni interleukin -6 (IL-6) dan TNF alfa (tumor

necrotizing factor – alpha ) (Ferreira BR, Pio-Abreu JL, Reis JP et al 2016).

Menariknya, simptomatologi psoriasis tersebut juga dapat memperparah kejadian

depresi. Selain dari factor eksternal dan gejala yang ditimbulkan, adanya mediator

inflamasi TNF alfa dan IL-6 yang dihasilkan oleh rekasi psoriasis ternyata juga dapat

mempengaruhi metabolisme berbagai substansi neurotransmitter. TNF alfa dan IL-6

dapat mempengaruhi metabolisme serotonin, noreepineprin dan dopamine pada

system limbik dan ganglia basal, yang mana hal tersbut dapat memperberat gejala

depresi secara biologis. Adanya interaksi kedua fenomena tersebut mengakibatkan

12
depresi dan psoriasis sebagai suatu kesatuan lingkaran setan, sehinga dalam

penangannanya diperlukan pendeketan terapi komprehensif antara depresi dan

psoriasis (Moynihan J, Rieder E, Tausk F.2010)

Pasien dengan skizofrenia juga memiliki risiko tinggi untuk mengalami

eksaserbasi akut psoriasis. Penelitian menunjukkan kecendrungan psoriasis pada

pasien pskiatri terjadi pada tingkat kromosom, yakni pada kromosom 6p, dimana

pada kromosom tersebut terdapat gen PSOR1 yang bertanggung jawab terhadap

eksaserbasi psoriasis yang mana aktivasinya berkaitan dengan skizofrenia (Ferreira

BR, Pio Abreu JL, Figueiredo A.2015). Hubungan antara psoriasis dengan skizofrenia

tersebut berimplikasi dengan manajemen terapi. Pada suatu laporan kasus dilaporkan

bahwa penggunaan haloperidor sebagai agen psikotik pada pasien skizofrenia dengan

psoriasis memberikan dampak remisi yang ternyata tidak hanya terjadi pada

skizofrenia tetapi juga pada eksaserbasi akut psoriasis (Bujor CA, Vang T, Nielsen J

et al.2017).

Disfungsi seksual pada pasien psoriasis dapat disebabkan oleh baerbagai hal.

Adanya factor risiko yang berkaitan dengan fungsi kardiovaskular, penurunan self

esteem, depresi serta adanya rekasi gatal kronis dapat menjadi factor pencetus

disfungsi seksual pada kelompok paisen tersebut. Tingkat keparahan dari psoriasis

juga berasosiasi positif dengan derajat disfungsi seksual. Lebih lanjut, pengobatan

psoriasis juga dapat berdampak pada disfungsi seksual. Penelitian menyimpulkan

bahwa pasien-pasien psoriasis yang mendapat terapi dengan prepareat metotreksat

13
memiliki risiko yang lebih tingi untuk mengalami disfungsi seksual (Kurizky PS,

Mota LM.2012).

Gangguan tidur juga merupakan salah satu manifestasi pskitarik yang dapat

diobservasi pada pasien dengan psoriasis. Ganguan tidur tersebut dapat disebabkan

oleh berbagai hal, yakni depresi, gejala pruritus, maupun nyeri pada kasus artritis

psoriatik. Manifestasi gangguan tidur dapat meliputi insomnia inisial, bangun terlalu

cepat, maupun mengatuk berlebihan pada siang hari. Penelitian menunjukkan terdapat

beberapa manifestasi psoriasis yang bernilai signifikan sebagai predictor gangguan

tidur pada pasien, antara lain nyeri plak psoriasis, pruritus, psoriatic artritis, lesi pada

telapak tangan, kaki dan scalp, serta adanya perasaan self esteem pada pasien

(Ferreira BR, Pio-Abreu JL, Reis JP et al.2016). Selain dari dampak langsung

manifestasi klinis psoriasis yang dapat menyebabkan gangguan tidur, fenomena

biologis dari psoriasis tampaknya juga turut berkontribusi pada kejadian ganguan

tidur. Stress yang dihasilkan oleh psoriasis menyebabkan instabilitas konsetrasi

substansi P dalam tubuh. Lebih lanjut, substnasi P tersebut juga berperan dalam

proses biologis tidur, sehingga hal tersebut dapat berdamapk pada gangguan tidur.

Instabilitas substansi P juga diketahui dapat berimbas pada ganguan mood (Melikoglu

M. 2017).

14
D. Magnifikasi psoriasis pada gangguan psikiatrik

Telah diketahui sebelumnya bahwa berbagai macam ganguan pskiatrik dapat

memicu eksaserbasi psoriasis atau dapat memperparah manifestasi dari psoriasis.

Berbagai mekanisme biologi-fisiologi telah menjelaskan dampak ansietas, depresi,

skizofrenia dan keluhan psikiatrik lainnya terhadap pathogenesis psoriasis. Reaksi

autoimmunitas dan inflamasi kronis memainkan peranan penting terhadap dampak

gangguan pskiatrik sebagai pengaruhnya terhadap eksaserbasi psoriasis (Ferreira BR,

Pio-Abreu JL, Reis JP et al.2016).

Depresi dan ansietas merupakan objek penelitian yang berkaitan dengan

psoriasis yang paling sering diteliti. Penelitian menunjukkan adanya interkoneksi

antara depresi, ansietas dan psoriasis. Adanya respon stress yang menstimulasi

depresi dan ansietas akan mengaktifkan jaras HHA dan SAM. Kedua jaras tersebut

bertanggung jawab terhadap aktivasi dan sekresi berbagai mediator infalamsi, seperti

TNF alfa, IL-6 dan IL-1 yang berperan penting dalam pathogenesis infalamsi kulit.

Berbagai reaksi biologis secara signifikan akan mendorong terjadinya eksaserbasi

psoriasis (Ferreira BR, Pio-Abreu JL, Reis JP et al.2016).

Penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya kesamaan pathogenesis dari

skizofrenia dan psoriasis. Skizofrenia dan psoriasis memiliki keterkaitan proses

pathogenesis yang meliputi keterlibatan berbagai mediator inflamasi yang mana

berbagai substansi tersebut sama-sama memiliki dampak dalam meningkatkan

15
eksaserbasi / keparahan dari masing-masing penyakit. Adanya sekresi mediator

inflamasi T helper 17 (Th17) dan TNF alfa yang dihasilkan oleh rekasi psoriasis akan

dapat menyebabkan reaksi inflamasi sistemik, yang mana hal tersbut ternyata

diketahui juga dapat mendorong rekasi psikosis. Hal yang sama juga terjadi secara

berkebalikan, dimana reaksi psikosis juga dapat mencetuskan terjadinya eksaserbasi

psoriasis sebagai akibat proses induksi oleh berbagai mediator infalamsi tersebut

(Debnath M, Berk M.2014).

Gangguan tidur dan eksaserbasi psoriasis saling berhubungan erat dan

keduanya juga dapat saling memperparah antara penyakit satu dan lainnya. pasien

psoriasis terutama mengalami gangguan tidur sebagai akibat reaksi pruritus, nyeri

maupun dampak dari psoriasis secara tidak langsung yakni depresi. Penelitian

menunjukkan bahwa rekasi pruritus pada psoriasis terjadi lebih bermakna pada saat

malam hari, sehingga sangat berdampak pada kualitas tidur pasien. Lebih lanjut,

gagguan tidur tersebut juga dapat memperparah eksaserbasi psoriasis secara tidak

langsung melalui jalur depresi. Depresi yang terjadi sebagai akibat gangguan tidur

dapat menyebabkan peningkatan rekasi inflamasi sistemik, memunculkan berbagai

mediator inflamasi serta mendorong timbulnya eksaserbasi psoriasis (Henry AL, Kyle

SD, Bhandari S et al.2016).

16
E. Manajemen psoriasis dengan gangguan psikiatrik

Telah diketahui bahwa secara etiopatogenesis, berbagai gangguan pskiatri

seperti depresi, ansietas, skizofrenia, gangguan tidur dan disfungsi seksual saling

memiliki keterkaitan proses pathogenesis dengan psoriasis, dimana berbagai

gangguan pskiatrik tersebut dapat mencetuskan terjadinya eksaserbasi psoriasis serta

meningkatkan keparahan psoriasis dan sebaliknya, psoriasis juga dapat mencetuskan

terjadinya berbagai manifestasi gangguan pskiatrik serta memperberat gangguan

pskiatrik yang telah ada sebelumnya. Fenomena ini mengindikasikan bahwa

penatalaksaan psoriasis dan gangguan pskiatrik harus dilakukan secara komprehensif

demi mencapai kesembuhan yang optimal, karena bila hanya dilakukan pada salah

satu mata rantai penyakit saja, terapi yang dilakukan tidak akan optimal (Korman

AM, Hill D, Alikhan A et al.2016)

Manajemen depresi terkait dengan psoriasis memerlukan pendekatan baik

secara farmakologis maupun non farmakologis. Terapi non farmakologis dengan

menggunakan cognitive behavioural therapy (CBT) terbukti memberikan hasil yang

signifikan dalam mengurangi tingkat keparahan depresi. Lebih lanjut, moda terapi

tersebut juga terbukti secara independen dapat menurunkan tingkat keparahan

psoriasis. Pemberian terapi farmakologis pada depresi dengan tingkat keparahan

sedang-berat juga terbukti memberikan hasil terapi yang signifikan terhadap

penurunan tingkat keparahan psoriasis. Pemberian terapi paroxetine yakni preparat

antidepresan Serotonin Selective Reuptake Inhibitor (SSRI), terbukti memberikan

17
resolusi lesi psoriasis yang bermakna dibandingkan control. Lebih lanjut, pemberian

escitalopram sebagai antidepresi SSRI memberikan dampak terapi lesi psoriasis yang

juga signifikan. Pemberian escitalopram terbukti menurunkan gejala depresi dan

gejala fisik psoriasis sedang-berat secara bermakna pada 78% pasien dibandingkan

dengan 22% pasien pada control (placebo). Gejala pruritus juga terbukti menurun

secara signifikan pada pasien yang mendapat terapi escitalopram dibaidngkan dengan

control. Hal ini mengindikasikan bahwa terapi kombinasi antipsoriasis dan depresi

pada pasien depresi dengan psoriasis akan memberikan outcome terapi yang lebih

baik (Korman AM, Hill D, Alikhan A et al.2016).).

Tidak banyak data mengenai pengobatan ansietas terkait dengan psoriasis.

Salah satu data penelitian mengenai pengobatan psoriasis yang disertai dengan

ansietas, didapatkan hasil bahwa pengobatan psoriasis yang signifikan juga dapat

menurunkan kejadian dan tingkat keparahan ansietas secara simultan. Penelitian

menunjukkan pameberian brodalumab, yakni antibody monoklonol terhadap IL-17,

menunjukkan efek resolusi psoriasis yang bermakna dibandingkan dengan placebo.

Hal serupa juga didaptkan pada ansietas pada kelompok pasien tersebut. Pasien

dengan resolusi psoriasis yang lebih baik melalui terapi dengan agen brodalumab

menunjukkan penurunan gejala ansietas yang signifikan dibandingkan dengan control

(Menter MA, Armstrong AW, Gordon KB et al.2018).

Pada penelitian di Taiwan, pemberian terapi enteracept dan adalimumab pada

kasus psoriasis turut memberikan dampak psoitif bagi resolusi depresi dan gangguan

18
tidur pada kelompok pasien tersebut. Penelitian menyebutkan, pemberian terapi

adalimumab dan enteracept menurunkan angka depresi dan ganguan tidur hingga

47% pasien psoriasis. Mekanisme dasar dari efek enteracep dan adalimuba terhadap

resolusi depresi dan ganggaun tidur masih belum diketahui pasti, tetapi diduga terkait

dengan efek inhibisi sekresi dan produksi TNF alfa serta peningkatan produksi

neurotransmitter serotonin dan noreadrenergik pada saraf pusat (Wu CY, Chang YT,

Juan CK, et al.2016).

Disfungsi seksual pada psoriasis dapat terjadi oleh berbagai mekanisme, salah

satunya disebabkan oleh dampak terapi psoriasis itu sendiri. Pengobatan psoriasis

dengan preparat metotrksat diketahui dapat berdampak pada disfungsi seksual /

impotensi. Lebih lanjut, berbagai golongan antidepresan dan anxilotik juga dapat

berimbas pada disfungsi seksual. Kendati demikian, pada penelitian lain, penggunaan

preparat anti psoriasis yang menghambat aksi IL-17 seperti ustekinumab, ixekuzumab

dan brodalumab dilaporkan memiliki kualitas kehidupan seksual yang lebih baik

diandingkan dengan control (Ryan C, Menter A, Guenther L.2018).

19

Anda mungkin juga menyukai