Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerentanan Penyakit Infeksi pada Tenaga Medis

Penyakit infeksi masih merupakan momok bagi dunia kesehatan diseluruh

dunia. Penyakit infeksi bertanggung jawab atas tingginya mortalitas dan

morbiditas pasien, terutama di negara-negara berkembang. Tenaga medis yang

berperan dalam memberikan upaya pelayanan kesehatan bagi pasien-pasien

penyakit infeksius tersebut juga memiliki risiko tinggi untuk mengalami infeksi

serupa. Tidak hanya dapat mengalami infeksi, tenaga medis juga sangat potensial

sebagai transmitter agen infeksi nosocomial baik antar sesame tenaga medis,

kepada pasien ataupun keluarga tenaga medis tersebut (Haviari S, Benet T,

Sadatian-Mlahi M et al.2015).

Penelitian menunjukkan bahwa tenaga medis sangat rentan untuk tertular

dengan berbgai penyakit infeksi, baik melalui paparan infeksi yang ditansmisikan

oleh udara maupun oleh cairan tubuh (darah). Data menunjukkan bahwa tiap

tahun terdapat paparan cairan tubuh (darah) antara 600.000 sampai 1.000.000

kasus dari pasien ke tenaga kesehatan di Amerika serikat, dimana hal tersebut

berpotensi menyebabkan trenasmisi hepatitis B, hepatitis C serta Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Lebih lanjut, dilaporkan kejadian trauma benda

tajam akibat alat-alat medis yang terjadi pada tenaga kesehatan di Inggris, dengan

angka kejadian mencapai 100.000 kasus pertahun. Berbagai paparan tersebut

4
tentunya berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit infeksi pada tenaga medis

(Timilsina N, Ansari MA, Dayal V.2011).

Infeksi penyakit menular yang ditransmisikan via udara (airborne) juga

memiliki risiko yang tinggi untuk dapat diderita oleh tenaga kesehatan. Berbagai

penyakit menular yang ditularkan melalui udara seperti Tuberkulosis, SARS,

Difteri, dan influenza telah diteliti tingkat kemungkinannya untuk dapat ditularkan

oleh pasien ke tenaga kesehatan. Data epidemiologi pada tahun 2013

menunjukkan bahwa 4% dari 10.000 insidensi infeksi tuberculosis (TB) di

amerika serikat diderita oleh tenaga medis. angka tersebut setara dengan kejadian

320 infeksi TB pada tenaga medis setiap tahun di Amerika serikat. Kendati angka

kejadian tersebut cukup signifikan, masih belum diketahui lebih lanjut apakah

infeksi TB yang terjadi disebabkan oleh paparan infeksi dari pasien (occupational

hazard), atau disebabkan oleh infeksi yang didapat di komunitas (Jones RM,

2017).

Influenza merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan dengan

prevalensi yang cukup tinggi. Di amerika serikat tiap tahunnya dilaporkan

terdapat 200.000 kasus infleunza baru tiap tahun dengan angka mortalitas

mencapai 36.000 kejadian tiap tahunnya, serta menyebabkan adanya anggaran

khusus yang mencapai 3 juta hingga 10 juta dolar pertahun untuk penanganan

masalah tersebut. Individu dengan status immunokompromis, lanjut usia, dan

anak-anak merupakan individu dengan risiko tinggi untuk mengalami. Penelitian

telah membuktikan bahwa tenaga medis turut berperan dalam transmisi influenza

5
baik dengan atau tanpa menyebabkan penyakit pada tenaga medis tersebut. Lebih

lanjut, outbreak influenza juga telah dilaporkan pada tenaga medis ( Ajenjo MC,

Woeltje KF, Babcock HF et al.2010)

Seperti yang telah dipaparkan, tenaga medis merupakan ujung tombak dari

pelayanan kesehatan di masyarakat, sehingga menyebabkan tingginya frekuensi

kontak antara tenaga medis dengan pasien yang mengidap penyakit. Hal ini

kemudian berkonsekuensi dengan tingginya risiko tertular penyakit pada tenaga

medis oleh pasien. Vaksinasi diketahui sebagai salah satu metode pencegahan

penyakit yang paling efektif terhadap berbagai preventable disease. Vaksinasi

telah terbukti memiliki efikasi yang signifikan dalam mencegah timbulnya

penyakit pada masyarakat secara umum. Bukti tersebut tentunya dapat menjadi

alasan yang kuat bagi dilakukannya vaksinasi terhadap pencegahan penyakit

infeksi pada tenaga medis,sehingga sangat direkoemndasikan untuk dilakukan

vaksinasi pada tenaga medis sebagai upaya preventif transmisi penyakit menular

(Haviari S, Benet T, Sadatian-Mlahi M et al.2015)

B. Manfaat Vaksinasi pada Tenaga Medis

Berbagai program pemberian vaksin pada tenaga medis telah

direkoemndasikan oleh CDC atas dasar efikasi prevensi dari berbagai penyakit

menular. Berbagai program rekoemndasi tersebut antara lain vaksinasi hepatitis B,

influenza, MMR, Pertusis, Varicella dan Meningococcal. Berbagai penelitian

telah membuktikan efikasi yang signifikan terhadap prevensi penyakit pasca

6
pemberian dari berbagai vaksinasi tersebut (Centers for Disease Control and

Prevention.2011).

Vaksinasi hepatitis B pada tenaga medis di Amerika serikat terbukti efektif

dalam menurunkan angka kejadian infeksi hepatitis B di Amerika serikat pada

tenaga medis. angka kejadian hepatitis B di Amerika serikat pada tenaga medis

telah menurun dari 17.000 kasus pada tahun 1983 menjadi 263 kasus pada tahun

2010. Kejadian penularan infeksi hepatitis B pada tenaga kesehatan terutama

terjadi secara signifikan pada unit kesehatan dimana paparan terhadap cairan

tubuh (darah/sekret) cukup tinggi, seperti pada unit hemodialysis, sehingga

pemberian vaksinasi hepatitis B pada tenaga medis di unit terkait sangat

direkoemndasikan (Haviari S, Benet T, Sadatian-Mlahi M et al.2015).

Data penelitian telah membukukan setidaknya terdapat 30 riwayat

outbreak pertussis yang menyebabkan infeksi nosocomial di berbagai negara.

Baik tenaga medis maupun pasien dapat menjadi sumber transmisi pertussis.

Lebih lanjut, penelitian antara tahun 2002-2011 juga mebukukuan bahwa terdapat

riwayat transmisi pertussis dari tenaga medis ke pasien dengan indeks kejadian

mecapai 219 kasus. Dari semua kasus tersebut, proses transmisi pertussis terutama

terjadi di unit gawat darurat. Pada studi di Spanyol terkait dengan transmisi

pertussis pada tenaga medis, dilaporkan bahwa tingkat seroprevalensi dari

antibody anti-pertusis dilaporkan mencapai 51.7%, dengan insidensi dari

penyakit baru pertussis yang dibuktikan oleh adanya antibody terhadap toksin

pertussis mencapai 15% (Urbiztondo L, Broner S, Costa J et al.2015). Kendati

7
kejadianya cukup sering dan menjadikan pertussis menjadadi rekomendasi

pemberian vaksinasi, hinga saat ini belum ada penelitian control acak yang

mebuktikan efikasi pemberian vaksin pertussis terhadap eradikasi peyakit

tersebut. Kendati pada penelitian lain terkait dengan pemberian booster pertussis

pada tenaga medis yang bertugas di bangsal peditri menyimpulkan bahwa

tindakan terbukti efektif dalam pencegahan transmisi pertussis (Haviari S, Benet

T, Sadatian-Mlahi M et al.2015).

Varisella merupakan penyakit infeksi yang memilki tingkat penularan

yang tinggi, menyebar dengan cepat, serta dapat menginduksi timbulnya imunitas

yang bersifat jangka Panjang. Kendati dapat diinduksi secara aktif melalui infeksi

alami, infeksi varisela dapat berakibat fatal terutama pada pasien dengan

imunokompromis. Tingkat imunitas dari virus varisela dilaporkan terus menurun

seiring waktu, diduga berkaitan dengan perangkat regulasi vaksinasi di berbagai

negara, sehingga berkoneskuensi dengan peningkatan insidensi varisela. Outbreak

varicella yang terjadi pada tenaga medis telah dilaporkan di berbagai negara

beriklim tropis dan pada negara-negara lain dengan regulasi pemberian vaksin

varicella yang hanya diberikan satu kali. Angka risiko tertular varicella pada

tenaga medis dilaporkan terjadi dengan frekuensi yang beragam, antara 5%-50%.

Penelitian menunjukkan bahwa tingkat imunitas (immunogenicity) pasca

pemeberian 2 seri vaksin varicella mencapai 95% (Haviari S, Benet T, Sadatian-

Mlahi M et al.2015).

8
Vaksinasi influenza telah terbukti secara klinis dapat memberikan efek

proteksi dan prevensi dari infeksi infulenza. Pada tenaga medis, vaksinasi

influenza terbukti menurunkan insidensi influenza dan absensi pada tenaga medis

akibat penyakit tersebut serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas terkait

dengan influenza. Atas dasar dari tingginya insidensi serta dampak yang

ditimbulkan dibaidngkan dengan efektivitas reduksi yang dihasilkan pasca

vaksinasi, CDC dan depratemen kesehatan Amerika serikat merekoemndasikan

untuk dilakukan influenza pada tenaga medis tiap tahunnya. Kendati demikian,

angka ketercapaian vaksinasi influenza di berbagai negara masih cukup rendah,

dimana di Amerika serikat angka ketercapain pemebrian vaksinasi infleunza

sendiri baru mencapai 40% (Ajenjo MC, Woeltje KF, Babcock HF et al.2010).

C. Rekomendasi Vaksinasi pada Tenaga Medis

Berdasarkan rekomendasi dari CDC tahun 2011, vaksinasi pada tenaga

medis dikelompokkan menjadi dua, yakni pemberian vaksin yang

direkoemndasikan secara global serta vaksinasi yang dilakukan pada kondisi

tertentu. Vaksinasi yang diberikan secara global antara lain hepatitis B, MMR,

varicela, influenza, meningococcal dan pertussis. Adapun vaksinasi yang

diberikan dalam kondisi tertentu antara lain demam thipoid, poliomyelitis serta

penyakit meningococcus lainnya (Centers for Disease Control and Prevention.

2011).

9
 Hepatitis B

Kemungkinan untuk terinfeksi hepatitis pada tenaga medis bergantung

pada tingkat intensitas paparan cairan tubuh pasien (saliva, semen, darah dan

eksudat luka) yang terinfeksi, yakni yang banyak mengandung virus hepatitis B

(HBV), terutama yang terdiri dari HBeAg (molekul penanda repleikasi dan

konsentrasi yang tinggi dari HBV) dengan tenaga medis. pemberian vaksin

hepatitis B sebanyak 3 kali (0, 1 dan 6 bulan) secara intramuscular diketahui dapat

memberikan efek antibody protektif sebesar 30%-55% pada dosis pertama, 75%

pada dosis kedua dan > 90% pada dosis ketiga. Durasi ketahanan antibody yang

diinduksi oleh vaksin akan cendrung terus menrun sepanjang waktu kendati

diketahui dapat bertahan hingga 22 tahun. Vaksin hepatitis B diketahui aman

untuk diberikan pada bayi, anak dan dewasa maupun ibu hamil. Kendati vaksin

hepatitis B dikaitkan dengan artritis dan alopesia, beberapa penelitian telah

membuktikan bahwa hal tersebut bersifat tidak berhubungan. Efek samping lain

yang berkaitan dengan vaksinasi hepatitis B anatar lain nyeri pada daerah injeksi

serta demam (Centers for Disease Control and Prevention. 2011).

CDC merekomendasikan pemberina vaksin hepatitis B pada setiap tenaga

medis yang berkaitan dengan kemungkinan paparan cairan tubuh pasien. CDC

merekoemndasikan untuk diberikan vaksin minimal 3 kali pemberian, dan paa

individu yang telah mendapat vaksinasi hepatitis B tetapi tidak mencapai 3 kali

dosis pemberian, direkoemndasikan untuk diberikan pemberian ulang hingga 3

kali. Onset pemberian vaksin harus dilakukan dalam waktu 1-2 bulan sebelum

10
tenaga medis diterjunkan dilapangan (Centers for Disease Control and Prevention.

2011).

Vaksinasi yang dilakukan pasca paparan terduga hepatitis B pada tenaga

medis yang belum mendapat vaksinasi atau vaksinasi yang inkomplit harus

ditindak alnjuti dengan pemberian HBIG dalam waktu 24 jam pasca paparan.

Lebih lanjut pada individu tersebut, harus dilakukan pemberian vaksin hepatitis B

bersamaan dengan HBIG pada waktu yang sama tetapi pada tempatinjeksi yang

berbeda (Centers for Disease Control and Prevention. 2011).

 Measles mumps and rubella (MMR)

Measles merupakan infeksi virus yang ditandai dengan munculnya ruam

kemerahan pada kulit. Infeksi measles berhubungan dengan tingkat transmisinya

yang tinggi terutama pada tenaga medis. penelitian menunjukkan bahwa tenaga

medis memiliki potensi yang lebih besar hingga 19 kali untuk mengalam infeksi

tersebut diaiudngkan dengan populasi dewasa normal. Vaksinasi measless sangat

efektif dalam mencegah timbulnya penyakit tersebut. Vaksinasi yang dilakukan 1

kali pada umur > 12 bulan dapat menimbulkan efek protektif measles yang

mencapai 95%. Apabila dilakukan diua kali pemebrian dosis vaksi measles,

prosentase efek proteksi vaksin mencapai 99%. Antobodi yang dicetuskan oleh

vaksinasi measles dapat bertahan hingga terus menerus (Centers for Disease

Control and Prevention. 2011).

Kendati jarang dilaporkan adanya transmisi dari tenaga medis kepasien

atau sebaliknya, vaksinasi mumps tetap merupakan program rekoemndasi global

11
bagi seluruh tenaga meids. Hal ini didasarkan atas adanya temuan bahwa 20%-

40% individu yang menstramisikan mumps bersifat asimptomatis. Hal ini

terbuikti dengan adanya temuan bahwa sebelum periode vaksin mumps

ditemukan, infeksi mumps cukup sering didierita oleh dokter gigi (18%) dan

dokter umum (15%). Pada era setelah ditemukannya vaksin mumps, angka

kejadian infeksi pada tenaga medis dapat ditekan maksimal, dimana pada wabah

mumps tahun 2010 yang menyebabkan infeksi pada 3400 masyakarat umum,

hanya 7 (0.2%) tenaga medis yang terinfeksi, diduga tertular oleh pasien

Pemberian vaksin mumps terdiri dari 2 dosis pemberian, dimana dosis pertama

memberikan kekebalan hingga 85%, sedangkan vaksin kedua memeberikan

kekebalan hingga 95%. Antibody yang diinduksi oleh vaksin mumps sedniri dapat

bertahan selamanya. CDC merekomendasikan untuk hanya memberiakn vaksinasi

mumps pada tenaga medis yang tidak memiliki imunitas yang adekuat terhadap

mumps. Pada individu dengan kondisi tersebut, direkoemndasikan untuk

mendapat dua dosis imunisasi mumps dengan jeda pemberian selama 28 hari

(Centers for Disease Control and Prevention. 2011)..

Kendati sudah diprokalmirkan bahwa rubella telah punah pada tahun 2004

di amerikat serikat, pemberian vaksinasi teruytama pada tenaga medis teus

direkoendasikan guna mencegah kembali timbulnya rubella. Pemberian dosis

vaksin rubella diketahui dapat memberiakn efek proteksi hingga 95%. Antibody

yang diinduksi oleh vaksi rubella dapat bertahan hingga 12-15 tahun (LeBaron

CW, Forghani B, Matter L, et al. 2009)

12
 Influenza

Efektivitas dari vaksinasi influenza bervariasi dari tahun ke tahun,

bergantung pada umur, kecocokan antara antibody dan strain vaksin yang

menginfeksi serta status kesehatan individu. Setiap tahun direkoemndasikan untuk

dilakukan vaksinasi influenza sesuai dengan hasil surveillance strain virus yang

ditemukan secara global sebagai akibat silih bergantinya strain virus yang

menginfeksi tiap tahunnya. Efek samping yang sering dikeluhkan terkait dengan

vaksin influenza antara lain nyeri pada lokasi injeksi (10%-64%) yang bertahan <

2 hari (Centers for Disease Control and Prevention. 2011).

Pemberian vaksin infleunza direkomendasikan pada tenaga medis untuk

diberikan tiap tahun. Terdapat dua jenis vaksin influenza yang dapat diberikan,

yaitu LAIV ( diberikan secara intranasal, kontradiktif pada wanita hamil) dan TIV

( diberikan secara intamuskular, dapat diberikan pada semua individu). Untuk

menghindari infeksi pasca paparan, dapat diberikan obat-obatan profilaksi

(sebagai terapi pelengkap, bukan sebagai pengganti) antivirus (osertamivir /

zanamivir) sebagai pelengkap vaksinasi. Kendati demikian, pada kasus tersebut

sebaiknya tidak digunakan golongan vaksin LAIV sebagai akibat obat-oabatan

antivirus yang digunakan dapat menyebabkan hambatan pada replikasi virus.

(Harper SA, Bradley JS, Englund JA, et al. 2009)

13
 Pertussis

Pertussis merupakan infeksi bakteri yang sangat menular. Penelitian telah

menunjukkan bahwa terdapat transmisi pertussis dari pasien, pengunjung rumah

sakit serta pada tenaga medis. Kendati tidak menyebabkan wabah, pemberian

vaksinasi pertussis dapat memberikan efek yang signifikan dalam pencegahan

penyakit dan cost effectiveness. Penelitian yang membadningkan penghematan

biaya terkait dengan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan pasien dengan

pertussis sebelum dan setelah diberikan vaksin, mendapatkan hasil bahwa

penggunaan vaksin pertussis dapat menghemat pembiayaan terkait penyakit

hingga 6 kali lipat (Calugar A, Ortega-Sánchez IR, Tiwari T et .2006).

Penggunaan vaksin pertussis dapat menyebabkan kekebalan terhadap pertussis

hinga 92% (Ward JI, Cherry JD, Chang SJ, et al.2005).CDC merekoemndasikan

penggunaan vaksin pertussis (Tdap) sebanyak 1 kali pemberian, dan

direkoemndasikan sedini mungkin apabila diketahui tenaga medis belum

mendapat vaksinasi. Vaksinasi pertussis tidak perlu mendapat pengulangan

(Centers for Disease Control and Prevention. 2011).

 Varicella

Varicella merupakan penyakit infeksius yang sangat menular dan

disebakan oleh infeksi primer dari Varicella Zoster Virus (VZV). Penularan

varicella dapat terjadi sebagai akibat kontak kulit ke kulit atau melalui inhalasi

droplet yag mengandung virus. Vaksinasi terhadap varicella merupakan metode

yang efektif dalam mengkontrol penyebaran virus. Pada tahun 1995, taitu pada era

14
dimana belum ditemukan adanya vaksin varicella, kejadian infeksi varicella

mencapai 90% pada popiulasi dewasa muda dan dewasa (tahun 1995). Pada era

setelah ditemukan adanya vaksin varicella, angka kejadian varicella menurun

secara drastic mencapai penurunan insidensi varisela hingga 85% dari periode

sebelum ditemuaknnya vaksin (Lopez AS, Zhang J, Brown C, et al.2011).

Kendati relative jarang ditemukan di amerika serikat sebagai akibat

program vaksinasi oleh pemerintah, infeksi nosocomial yang disebbakn oleh VZV

cukup memiliki risiko tinggi untuk dapat diderita oleh tenaga kesehatan.

Transmisi VZV sebagai infeksi nosocomial pada tenaga medis telah beberapa kali

didokumentasikan, dengan sumber infeksi nosocomial yakni pasien, pengunjung

rumah sakit dan tenaga kesehatan. Hal ini mengindikasikan bhawa usaha

vaksinasi perlu untuk diberikan pada tenaga medis untuk memutus tali transmisi

penyakit serta menghindari risiko tinggi tertular VZV oleh tenaga medis (Centers

for Disease Control and Prevention. 2011).

Vaksinasi varicella terbukti menyebabkan timbulnya antibody VZV yang

mencapai 80-85%, dan dapat mencapi 95% terhadap keumngkinan terjadinya

infeksi VZV sedang-berat. Pemberian dua dosis vaksin varicella dengan selang 4-

8 minggu sangat direkoemndasikan untuk memberikan efek protektif terhadap

varisela pada tenaga medis. kekebalan yang dapat diinduksi oleh VZV dapat

mencapai 5 tahun. Individu yang telah mengalami infeksi varisela atau herpes

zoster dan memilki bukti antibody terhadap virus tersebut tidak memerlukan

vaksinasi dari varicella. Pada kasus dimana terjadi paparan varicella pada tenaga

15
medis yang telah mendapat 2 kali seri vaksinasi, diperlukan pemantauan klinis

dalam 8-21 hari untuk melihat apakah terjadi infeksi pada individu. Pada indvidu

yang terpapar varicella tetapi baru mendapat satu kali seri vaksinasi varicella,

diperlukan untuk mendapat tambahan vaksin dalam 3-5 hari, sedangkan pad

aindividu yang terpapar dan belum pernah mendapat vaksin varicella harus

mendapat vaksinasi dalam 3-5 hari, kendati vaksinasi yang dilakukan > 5 hari

pasca paparan juga masih memiliki potensi induksi imunitas (Centers for Disease

Control and Prevention. 2011).

 Meningococcal

Infeksi meningococcal cukup jarang terjadi pada populasi dewasa di

Amerika serikat. Data penelitian epidemiologi antara tahun 1997-2007

mendapatkan insidensi penyakit berkisar 0.28 kasus tiap 100.000 penduduk.

Vaksinasi meningococcal direkoemndasikan untuk diberikan pada setiap populasi

dengan umur 11-12 tahun (dosis pertama) dan pada 16 tahun (booster) (Centers

for Disease Control and Prevention. 2011).

Kejadian transmisi Nisseria meningitidis cukup jarang terjadi pada tenaga

medis, kecuali pada tenaga medis yang memiliki risiko tinggi paparan droplet

respirasi. Kendati cukup jarang, vaksinasi dan pemberian antiobiotik profilaksis

pada tenaga medis yang terpapar oleh agen infeksius berperan penting dalam

memutus tali transmisi penyakit meningococcus (Centers for Disease Control and

Prevention. 2011).

16
Pemberian vaksin meningococcus (quadrivalent) diberikan sebanyak dua

kali pemberian, dan diklaim dapat memberiakn kekebalan sebesar 75% terhadap

meningococcus. Durasi kekebalan yang dihasilkan oleh vaknis meningococcus

dapat bertahan hingga 5 tahun. Sebagai akibat insidensinya yang jarang,

pemberian vaksin meningococcus tidak diruntinkan pada seluruh tenaga medis,

dan hanya direkoemndasikan pada kondisi tertentu. Tenaga medis dengan asplenia

atau memilki defisiensi pada salah satu system komplemen direkoemndasikan

untuk mendapat dua dosis vaksi meningococcus. Lebih lanjut, tenaga medis yang

sedang dalam perjanan ke daerah dengan endemis meningococcus juga

memerluka pemberian dosis tunggal vaksin sebelum berpergian apabila dalam 5

tahun terakhir belum mendapat vaksinasi meningococcus sebeleumnya (Centers

for Disease Control and Prevention. 2011).

Tatalaksana pada tenaga medis yang terpapar dengan substansi infeksisu

terduga meningococcus (pasca melakukan pemasangan pipa endotracheal,

melalukan resusitasi jantung paru dengan mulut ke mulut) memerlukan

penatalaksnaan post exposure . penalatalaksanaan tersebut meliputi pemberian

antibiotic profilaksis (ceftriaxone, rifampin, ciprofloksasin) serta mendapatkan

vaksinasi meningococcus (Centers for Disease Control and Prevention. 2011).

 Demam thypoid

Kendati angka kejadiannya di amerika serikat terus menurun, demam

thypoid tetap menjadi penyakit infeksius yang cukup sering ditemukan pada turis

pasca berpergian ke negara endemis. Angka kejadian transmisi pada tenaga medis

17
di Amerika serikat juga cukup rendah, dimana didokumentasikan sebanyak 7

kasus kejadian antara 1985-1994 pada tenaga medis yang bekerja di laboratoirum

mikrobiologi, dimana hal tersebut sugestif pada adanya transmisi nosocomial

melalui kontak fisik (tangan) dengan penderita demam thypoid (Centers for

Disease Control and Prevention. 2011).

Di amerika serikat terdapat dua metode vaksinasi demam thypoid, yaitu

peroral dan injeksi intramuscular. Pemberian vaksin thypoid dapat memberikan

antibody protektif hingga 80%. Untuk menjaga avaibilitas antibody anti thypoid,

perlua dilakukan pemberian booster vaksin oral (tiap 5 tahun) dan vaksin

intramuscular (tiap 2 tahun) (Centers for Disease Control and Prevention. 2011).

Tenaga medis yang memiliki intensitas kontak dengan bakteri Salmonella

trhypii (tenaga mikrobiologis dan tenaga medis yang berkontak erat dengan

S.thypii) direkomendasikan untuk mendapat vaksinasi. Lebih lanjut, control

terhadpa transmisi (menjaga higienitas) berperan penting dalam eradikasi

transmisi penyakit (Centers for Disease Control and Prevention. 2011).

 Poliomyelitis

Kasus terakhir poliomyelitis yang tercatat di Amerika serikat terjadi pada tahun

1979 dan pada 1994 amerika serikat dinyatakan terbebas dari poliomyelitis.

Kendati demikian, dunia belum seluruhnya terbebas dari poliomyelitis, terutama

wild type virus, tidak menutup kemungkinan akan terjadi migrasi virus kedalam

negeri dan menyebabkan penularan infeksi poliomyelitis (Centers for Disease

Control and Prevention. 2011). .

18
).

Penularan poliomyelitis dapat terjadi melalui berbagai zat tubuh dari

pasien yang mengandung virus, seperti swab orofaring, feses, urin dan cairan

serebrospinal. Tenaga medis dan pekerja laboratorium memiliki risiko untuk dapat

terinfeksi oleh virus tersebut. Pemberian vaksin polio dapat dilakukan dengan dua

cara, yaitu OPV (oral poliomyelitis vaccine ) dan IPV (Inactivated Poliomyelitis

Vaccine). Apabila diberikan dalam jadwal yang sesuai, baik OPV dan IPV dapat

memberikan kekebalan hingga 100% terhadap virus polio tipe 2 dan 3, serta 96%

pada virus polio tipe 1. Kendati demikian, penggunaan OPV sendiri dikaitkan

dengan kejadian vaccine-associated paralytic poliomytelitis (VAPP) (Centers for

Disease Control and Prevention. 2011). .

Sebagai akibat telah diberikan secara rutin pada usia anak, pemberian

vaksin poliomyelitis pada tenaga medis tidak direkoemndasikan untuk diberiakn

secara rutin. Pemberian dosis vaksin poliomyelitis pada anak dilakukan pada

bulan ke-2, bulan ke-4, antara bulan 8-16 dan pada umur 4-6 tahun. Tenaga medis

yang memiliki risiko untuk dapat terinfeksi poliomyelitis dan belum memilki

riwayat vaksinasi sebelumnya direkoemndasikan untuk mendapat 3 dosis IPV

vaksin poliomyelitis, dimana dosis 1 dilanjutkan dengan dosis 2 pada 4-8 minggu

kemudian serta dosis ke-3 pada 6-12 bulan setelah dosis kedua (Centers for

Disease Control and Prevention. 2011).

19
D. Pelaksaan Vaksinasi pada Tenaga Medis

Pelaksanaan vaksinasi pada tenaga medis hingga saat ini masih merupakan

topik yang sering diperdebatkan, sebagai akibat keterkaitan antara hak proteksi

tenaga medis dengan kewajiban institusi kesehatan. Kendati telah

direkoemndasikan untuk dilakukan oleh CDC, tenaga medis yang mendapat

vaksinasi tampaknya masih cukup rendah, terutama pada negara-negara

berkembang. Hal ini disebabkan oleh berbagai factor, antara lain pemahaman

yang rendah terkait dengan pentingnya upaya proteksi pada tenaga medis, kendala

perangkat hukum yang tidak adekuat dalam pengaturan hal tersebut, serta kendala

biaya (Haviari S, Benet T, Sadatian-Mlahi M et al. 2015).

Penerepan hukum / rekoemndasi pelaksanaan vaksinasi pada tenaga

medis memerlukan tinjauan yang komprehensif. Data terkait dengan tingkat

infeksi suatu penyakit, metode transmisi dan ketersediaan alat proteksi,

kemungkinan untuk terjaidnya penularan pada tenaga medis serta kondisi

subjektif dari tenaga medis merupakan aspek penting yang perlu dipertimbangkan

sebelum kebijakan terkait dengan pelaksanaan vaksinasi dilakukan (Haviari S,

Benet T, Sadatian-Mlahi M et al. 2015).

Factor terkait dengan pemahaman tenaga medis mengenai pertlunya

vaksinasi juga menjadi hal penting terkait dengan rendahnya angka ketercapaian

vaksinasi pada tenaga medis. pada survei tenaga medis di Australi terkait dengan

pentingya vaksinasi pada tenaga medis didapatkan hasil bahwa tingkat

pengetahuan terkait dengan jenis imunisasi yang direkoemndasikan untuk

20
dilakukan (hepatitis B, varisella, pertussis, MMR) hanya mencapai 9.8%. lebih

lanjut, angka pencapaian imunisasi yang direkoemndasikan pada tenaga medis di

negara tersebut hanya mencapai 16 %. Gambaran tersebut merupakan deskripsi

mengenai keadaan status vaksinasi tenaga medis di negara maju. Tentunya angka

tersebut akan jauh lebih rendah di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia

(Tuckerman JL, Collins JE, Marshall HS.2015).

21
BAB III

KESIMPULAN

Vaksinasi merupakan tindakan yang penting dalam upaya prevensi

transmisi dan eradikasi penyakit menular. Data penelitian telah menunjukkan

eliminasi berbagai penyakit menular melalui upaya vaksinasi , sehingga dapat

disimpulkan bahwa upaya vaksinasi merupakan metode yang efektif dalam

pencegahan dan eradikais penyakit infeksi.

Tenaga medis sangat rentan untuk dapat tertular dengan penyakiut infeksi.

Data penelitian epidemiologi telah mendokuemntasikan berbagai kejadian Infeksi

nosocomial yang disebabkan oleh penularan agen infeksius dari pasien ke tenaga

medis, dari tenaga medis ke tenaga medis, atau tenaga medis ke pasien. Tidak

jarang hal tersebut menyebabkan berbagai kerugian baik bagi tenaga medis

tersebut ataupun pada institusi kesehatan tempat bekerja.

Atas dasar efektivitas yang adekuat serta tingginya kejadian infeksi pada

tenaga medis, direkoemndasikan untuk dilakukan vaksinasi pada tenaga medis

guna mencegah tertularnya dari penyakit infeksi. CDC merekomendasi untuk

dilakukan pemberian vaksinasi hepatitis B, varicella, MMR, pertussis dan

meningococcus untuk mencegah trimbulnya berbagai penyakit tersebut.

Hubungan institusional yang baik serta tingkat pemahaman ditunjang dengan

22
sumber biaya yang adekuat merupakan factor pnting dalam ketercapaian upaya

vaksinasi pada tenaga medis.

23

Anda mungkin juga menyukai