TINJAUAN PUSTAKA
penyakit infeksius tersebut juga memiliki risiko tinggi untuk mengalami infeksi
serupa. Tidak hanya dapat mengalami infeksi, tenaga medis juga sangat potensial
sebagai transmitter agen infeksi nosocomial baik antar sesame tenaga medis,
Sadatian-Mlahi M et al.2015).
dengan berbgai penyakit infeksi, baik melalui paparan infeksi yang ditansmisikan
oleh udara maupun oleh cairan tubuh (darah). Data menunjukkan bahwa tiap
tahun terdapat paparan cairan tubuh (darah) antara 600.000 sampai 1.000.000
kasus dari pasien ke tenaga kesehatan di Amerika serikat, dimana hal tersebut
tajam akibat alat-alat medis yang terjadi pada tenaga kesehatan di Inggris, dengan
4
tentunya berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit infeksi pada tenaga medis
memiliki risiko yang tinggi untuk dapat diderita oleh tenaga kesehatan. Berbagai
Difteri, dan influenza telah diteliti tingkat kemungkinannya untuk dapat ditularkan
amerika serikat diderita oleh tenaga medis. angka tersebut setara dengan kejadian
320 infeksi TB pada tenaga medis setiap tahun di Amerika serikat. Kendati angka
kejadian tersebut cukup signifikan, masih belum diketahui lebih lanjut apakah
infeksi TB yang terjadi disebabkan oleh paparan infeksi dari pasien (occupational
hazard), atau disebabkan oleh infeksi yang didapat di komunitas (Jones RM,
2017).
terdapat 200.000 kasus infleunza baru tiap tahun dengan angka mortalitas
khusus yang mencapai 3 juta hingga 10 juta dolar pertahun untuk penanganan
telah membuktikan bahwa tenaga medis turut berperan dalam transmisi influenza
5
baik dengan atau tanpa menyebabkan penyakit pada tenaga medis tersebut. Lebih
lanjut, outbreak influenza juga telah dilaporkan pada tenaga medis ( Ajenjo MC,
Seperti yang telah dipaparkan, tenaga medis merupakan ujung tombak dari
kontak antara tenaga medis dengan pasien yang mengidap penyakit. Hal ini
medis oleh pasien. Vaksinasi diketahui sebagai salah satu metode pencegahan
penyakit pada masyarakat secara umum. Bukti tersebut tentunya dapat menjadi
vaksinasi pada tenaga medis sebagai upaya preventif transmisi penyakit menular
direkoemndasikan oleh CDC atas dasar efikasi prevensi dari berbagai penyakit
6
pemberian dari berbagai vaksinasi tersebut (Centers for Disease Control and
Prevention.2011).
tenaga medis. angka kejadian hepatitis B di Amerika serikat pada tenaga medis
telah menurun dari 17.000 kasus pada tahun 1983 menjadi 263 kasus pada tahun
terjadi secara signifikan pada unit kesehatan dimana paparan terhadap cairan
Baik tenaga medis maupun pasien dapat menjadi sumber transmisi pertussis.
Lebih lanjut, penelitian antara tahun 2002-2011 juga mebukukuan bahwa terdapat
riwayat transmisi pertussis dari tenaga medis ke pasien dengan indeks kejadian
mecapai 219 kasus. Dari semua kasus tersebut, proses transmisi pertussis terutama
terjadi di unit gawat darurat. Pada studi di Spanyol terkait dengan transmisi
penyakit baru pertussis yang dibuktikan oleh adanya antibody terhadap toksin
7
kejadianya cukup sering dan menjadikan pertussis menjadadi rekomendasi
pemberian vaksinasi, hinga saat ini belum ada penelitian control acak yang
tersebut. Kendati pada penelitian lain terkait dengan pemberian booster pertussis
T, Sadatian-Mlahi M et al.2015).
yang tinggi, menyebar dengan cepat, serta dapat menginduksi timbulnya imunitas
yang bersifat jangka Panjang. Kendati dapat diinduksi secara aktif melalui infeksi
alami, infeksi varisela dapat berakibat fatal terutama pada pasien dengan
varicella yang terjadi pada tenaga medis telah dilaporkan di berbagai negara
beriklim tropis dan pada negara-negara lain dengan regulasi pemberian vaksin
varicella yang hanya diberikan satu kali. Angka risiko tertular varicella pada
tenaga medis dilaporkan terjadi dengan frekuensi yang beragam, antara 5%-50%.
Mlahi M et al.2015).
8
Vaksinasi influenza telah terbukti secara klinis dapat memberikan efek
proteksi dan prevensi dari infeksi infulenza. Pada tenaga medis, vaksinasi
influenza terbukti menurunkan insidensi influenza dan absensi pada tenaga medis
akibat penyakit tersebut serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas terkait
dengan influenza. Atas dasar dari tingginya insidensi serta dampak yang
untuk dilakukan influenza pada tenaga medis tiap tahunnya. Kendati demikian,
sendiri baru mencapai 40% (Ajenjo MC, Woeltje KF, Babcock HF et al.2010).
tertentu. Vaksinasi yang diberikan secara global antara lain hepatitis B, MMR,
diberikan dalam kondisi tertentu antara lain demam thipoid, poliomyelitis serta
2011).
9
Hepatitis B
pada tingkat intensitas paparan cairan tubuh pasien (saliva, semen, darah dan
eksudat luka) yang terinfeksi, yakni yang banyak mengandung virus hepatitis B
(HBV), terutama yang terdiri dari HBeAg (molekul penanda repleikasi dan
konsentrasi yang tinggi dari HBV) dengan tenaga medis. pemberian vaksin
hepatitis B sebanyak 3 kali (0, 1 dan 6 bulan) secara intramuscular diketahui dapat
memberikan efek antibody protektif sebesar 30%-55% pada dosis pertama, 75%
pada dosis kedua dan > 90% pada dosis ketiga. Durasi ketahanan antibody yang
diinduksi oleh vaksin akan cendrung terus menrun sepanjang waktu kendati
untuk diberikan pada bayi, anak dan dewasa maupun ibu hamil. Kendati vaksin
membuktikan bahwa hal tersebut bersifat tidak berhubungan. Efek samping lain
yang berkaitan dengan vaksinasi hepatitis B anatar lain nyeri pada daerah injeksi
medis yang berkaitan dengan kemungkinan paparan cairan tubuh pasien. CDC
individu yang telah mendapat vaksinasi hepatitis B tetapi tidak mencapai 3 kali
kali. Onset pemberian vaksin harus dilakukan dalam waktu 1-2 bulan sebelum
10
tenaga medis diterjunkan dilapangan (Centers for Disease Control and Prevention.
2011).
medis yang belum mendapat vaksinasi atau vaksinasi yang inkomplit harus
ditindak alnjuti dengan pemberian HBIG dalam waktu 24 jam pasca paparan.
Lebih lanjut pada individu tersebut, harus dilakukan pemberian vaksin hepatitis B
bersamaan dengan HBIG pada waktu yang sama tetapi pada tempatinjeksi yang
yang tinggi terutama pada tenaga medis. penelitian menunjukkan bahwa tenaga
medis memiliki potensi yang lebih besar hingga 19 kali untuk mengalam infeksi
kali pada umur > 12 bulan dapat menimbulkan efek protektif measles yang
mencapai 95%. Apabila dilakukan diua kali pemebrian dosis vaksi measles,
prosentase efek proteksi vaksin mencapai 99%. Antobodi yang dicetuskan oleh
vaksinasi measles dapat bertahan hingga terus menerus (Centers for Disease
11
bagi seluruh tenaga meids. Hal ini didasarkan atas adanya temuan bahwa 20%-
ditemukan, infeksi mumps cukup sering didierita oleh dokter gigi (18%) dan
dokter umum (15%). Pada era setelah ditemukannya vaksin mumps, angka
kejadian infeksi pada tenaga medis dapat ditekan maksimal, dimana pada wabah
mumps tahun 2010 yang menyebabkan infeksi pada 3400 masyakarat umum,
hanya 7 (0.2%) tenaga medis yang terinfeksi, diduga tertular oleh pasien
Pemberian vaksin mumps terdiri dari 2 dosis pemberian, dimana dosis pertama
kekebalan hingga 95%. Antibody yang diinduksi oleh vaksin mumps sedniri dapat
mumps pada tenaga medis yang tidak memiliki imunitas yang adekuat terhadap
mendapat dua dosis imunisasi mumps dengan jeda pemberian selama 28 hari
Kendati sudah diprokalmirkan bahwa rubella telah punah pada tahun 2004
vaksin rubella diketahui dapat memberiakn efek proteksi hingga 95%. Antibody
yang diinduksi oleh vaksi rubella dapat bertahan hingga 12-15 tahun (LeBaron
12
Influenza
bergantung pada umur, kecocokan antara antibody dan strain vaksin yang
dilakukan vaksinasi influenza sesuai dengan hasil surveillance strain virus yang
ditemukan secara global sebagai akibat silih bergantinya strain virus yang
menginfeksi tiap tahunnya. Efek samping yang sering dikeluhkan terkait dengan
vaksin influenza antara lain nyeri pada lokasi injeksi (10%-64%) yang bertahan <
diberikan tiap tahun. Terdapat dua jenis vaksin influenza yang dapat diberikan,
yaitu LAIV ( diberikan secara intranasal, kontradiktif pada wanita hamil) dan TIV
13
Pertussis
sakit serta pada tenaga medis. Kendati tidak menyebabkan wabah, pemberian
biaya terkait dengan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan pasien dengan
hinga 92% (Ward JI, Cherry JD, Chang SJ, et al.2005).CDC merekoemndasikan
Varicella
disebakan oleh infeksi primer dari Varicella Zoster Virus (VZV). Penularan
varicella dapat terjadi sebagai akibat kontak kulit ke kulit atau melalui inhalasi
yang efektif dalam mengkontrol penyebaran virus. Pada tahun 1995, taitu pada era
14
dimana belum ditemukan adanya vaksin varicella, kejadian infeksi varicella
mencapai 90% pada popiulasi dewasa muda dan dewasa (tahun 1995). Pada era
secara drastic mencapai penurunan insidensi varisela hingga 85% dari periode
program vaksinasi oleh pemerintah, infeksi nosocomial yang disebbakn oleh VZV
cukup memiliki risiko tinggi untuk dapat diderita oleh tenaga kesehatan.
Transmisi VZV sebagai infeksi nosocomial pada tenaga medis telah beberapa kali
rumah sakit dan tenaga kesehatan. Hal ini mengindikasikan bhawa usaha
vaksinasi perlu untuk diberikan pada tenaga medis untuk memutus tali transmisi
penyakit serta menghindari risiko tinggi tertular VZV oleh tenaga medis (Centers
infeksi VZV sedang-berat. Pemberian dua dosis vaksin varicella dengan selang 4-
varisela pada tenaga medis. kekebalan yang dapat diinduksi oleh VZV dapat
mencapai 5 tahun. Individu yang telah mengalami infeksi varisela atau herpes
zoster dan memilki bukti antibody terhadap virus tersebut tidak memerlukan
vaksinasi dari varicella. Pada kasus dimana terjadi paparan varicella pada tenaga
15
medis yang telah mendapat 2 kali seri vaksinasi, diperlukan pemantauan klinis
dalam 8-21 hari untuk melihat apakah terjadi infeksi pada individu. Pada indvidu
yang terpapar varicella tetapi baru mendapat satu kali seri vaksinasi varicella,
diperlukan untuk mendapat tambahan vaksin dalam 3-5 hari, sedangkan pad
aindividu yang terpapar dan belum pernah mendapat vaksin varicella harus
mendapat vaksinasi dalam 3-5 hari, kendati vaksinasi yang dilakukan > 5 hari
pasca paparan juga masih memiliki potensi induksi imunitas (Centers for Disease
Meningococcal
dengan umur 11-12 tahun (dosis pertama) dan pada 16 tahun (booster) (Centers
medis, kecuali pada tenaga medis yang memiliki risiko tinggi paparan droplet
pada tenaga medis yang terpapar oleh agen infeksius berperan penting dalam
memutus tali transmisi penyakit meningococcus (Centers for Disease Control and
Prevention. 2011).
16
Pemberian vaksin meningococcus (quadrivalent) diberikan sebanyak dua
kali pemberian, dan diklaim dapat memberiakn kekebalan sebesar 75% terhadap
dan hanya direkoemndasikan pada kondisi tertentu. Tenaga medis dengan asplenia
untuk mendapat dua dosis vaksi meningococcus. Lebih lanjut, tenaga medis yang
Demam thypoid
thypoid tetap menjadi penyakit infeksius yang cukup sering ditemukan pada turis
pasca berpergian ke negara endemis. Angka kejadian transmisi pada tenaga medis
17
di Amerika serikat juga cukup rendah, dimana didokumentasikan sebanyak 7
kasus kejadian antara 1985-1994 pada tenaga medis yang bekerja di laboratoirum
melalui kontak fisik (tangan) dengan penderita demam thypoid (Centers for
antibody protektif hingga 80%. Untuk menjaga avaibilitas antibody anti thypoid,
perlua dilakukan pemberian booster vaksin oral (tiap 5 tahun) dan vaksin
intramuscular (tiap 2 tahun) (Centers for Disease Control and Prevention. 2011).
trhypii (tenaga mikrobiologis dan tenaga medis yang berkontak erat dengan
Poliomyelitis
Kasus terakhir poliomyelitis yang tercatat di Amerika serikat terjadi pada tahun
1979 dan pada 1994 amerika serikat dinyatakan terbebas dari poliomyelitis.
wild type virus, tidak menutup kemungkinan akan terjadi migrasi virus kedalam
18
).
pasien yang mengandung virus, seperti swab orofaring, feses, urin dan cairan
serebrospinal. Tenaga medis dan pekerja laboratorium memiliki risiko untuk dapat
terinfeksi oleh virus tersebut. Pemberian vaksin polio dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu OPV (oral poliomyelitis vaccine ) dan IPV (Inactivated Poliomyelitis
Vaccine). Apabila diberikan dalam jadwal yang sesuai, baik OPV dan IPV dapat
memberikan kekebalan hingga 100% terhadap virus polio tipe 2 dan 3, serta 96%
pada virus polio tipe 1. Kendati demikian, penggunaan OPV sendiri dikaitkan
Sebagai akibat telah diberikan secara rutin pada usia anak, pemberian
secara rutin. Pemberian dosis vaksin poliomyelitis pada anak dilakukan pada
bulan ke-2, bulan ke-4, antara bulan 8-16 dan pada umur 4-6 tahun. Tenaga medis
yang memiliki risiko untuk dapat terinfeksi poliomyelitis dan belum memilki
vaksin poliomyelitis, dimana dosis 1 dilanjutkan dengan dosis 2 pada 4-8 minggu
kemudian serta dosis ke-3 pada 6-12 bulan setelah dosis kedua (Centers for
19
D. Pelaksaan Vaksinasi pada Tenaga Medis
Pelaksanaan vaksinasi pada tenaga medis hingga saat ini masih merupakan
topik yang sering diperdebatkan, sebagai akibat keterkaitan antara hak proteksi
berkembang. Hal ini disebabkan oleh berbagai factor, antara lain pemahaman
yang rendah terkait dengan pentingnya upaya proteksi pada tenaga medis, kendala
perangkat hukum yang tidak adekuat dalam pengaturan hal tersebut, serta kendala
subjektif dari tenaga medis merupakan aspek penting yang perlu dipertimbangkan
vaksinasi juga menjadi hal penting terkait dengan rendahnya angka ketercapaian
vaksinasi pada tenaga medis. pada survei tenaga medis di Australi terkait dengan
20
dilakukan (hepatitis B, varisella, pertussis, MMR) hanya mencapai 9.8%. lebih
mengenai keadaan status vaksinasi tenaga medis di negara maju. Tentunya angka
21
BAB III
KESIMPULAN
Tenaga medis sangat rentan untuk dapat tertular dengan penyakiut infeksi.
nosocomial yang disebabkan oleh penularan agen infeksius dari pasien ke tenaga
medis, dari tenaga medis ke tenaga medis, atau tenaga medis ke pasien. Tidak
jarang hal tersebut menyebabkan berbagai kerugian baik bagi tenaga medis
Atas dasar efektivitas yang adekuat serta tingginya kejadian infeksi pada
22
sumber biaya yang adekuat merupakan factor pnting dalam ketercapaian upaya
23