PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya
antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan
faktor resiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian
PPOK; semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda;
serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun diluar ruangan dan di tempat
kerja.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
memaparkan beberapa rekomendasi yang berlandaskan evidence-based untuk
mencegah, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan pada pasien COPD,
mulai dari pentingnya berhenti merokok, rehabilitasi fungsi paru,dan terapi
farmakologis dan non-farmakologis dalam mengurangi gejala, menurunkan risiko
kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Beberapa tahun belakangan banyak terdapat perkembangan terapi
farmakologis untuk menangani penyakit PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis).
Hal ini merupakan suatu tantangan bagi para dokter untuk menentukan terapi yang
tepat dan sesuai untuk pasien PPOK.
Bronkodilator masih memegang peranan penting pada terapi farmakologi
PPOK, terutama pada PPOK dengan fenotip gejala yang dominan. Obat-obat
bronkodilator berdasarkan lama kerjanya dibagi menjadi kerja singkat (short
acting), kerja lama (long acting) dan ultra lama (ultra long acting). Pengobatan
farmakologik ditujukan untuk memperbaiki gejala, meningkatkan fungsi paru,
mencegah air trapping, dan mengurangi kejadian eksaserbasi. Tidak ada bukti
yang mendukung bahwa farmakoterapi dapat mencegah progresivitas PPOK.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan
antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan
parenkim (empisema) yang bervariasi pada setiap individu. PPOK seringkali
timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam waktu yang lama. PPOK
sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai pertanda sudah
terdapat kondisi komorbid lainnya. Dampak PPOK pada setiap individu
tergantung gejala keluhan (khususnya sesak dan penurunan kapasitas latihan),
efek sistemik dan gejala komorbid lainnya. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi
oleh derajat keterbatasan aliran udara. Gejala utama PPOK adalah sesak napas
memberat saat aktivitas, batuk dan produksi sputum.
Sebelum membahas tatalaksana, penting untuk menentukan tingkat
keparahan PPOK, yang mana tingkat keparahan ini akan menentukan terapi.
PPOK menurut GOLD 2015 dibedakan menjadi grup A, B, C dan D. Penilaian
terhadap beberapa aspek penyakit dilakukan secara terpisah, yaitu:
1. Gejala
Penilaian gejala dilakukan dengan COPD Assessment Test (CAT) atau
Modified British Medical Research Council (mMRC). CAT dikatakan lebih
komprehensif sedangkan mMRC hanya melakukan penilaian terhadap sesak
napas.
Pasien dikatakan less symptom jika skor mMRC 0-1 atau CAT < 10. Pasien
dikatakan more symptom jika skor mMRC 2 atau CAT 10.
2
Pasien dikatakan low risk jika hasil spirometri GOLD 1 atau 2. Pasien
dikatakan high risk jika hasil spirometri GOLD 3 atau 4.
3. Resiko eksaserbasi
Pasien dikatakn low risk jika eksaserbasi terjadi sebanyak 1 kali dalam
setahun dan tidak ada rawat inap saat eksaserbasi. Pasien dikatakan high risk
jika eksaserbasi 2 kali dalam setahun dan 1 kali rawat inap.
4. Komorbid
Komorbid antara lain penyakit kardiovaskular, osteoporosis, depresi, kanker
paru, sindrom metabolik dan diabetes. Komrobid perlu ditangani.
Komorbid ini menurunan status kesehatan pada pasien PPOK.
Hasil dari penilaian beberapa aspek diatas digabungkan untuk menentukan
pasien dikategorikan ke dalam PPOK grup A, B, C atau D. Dalam menentukan
resiko (low risk atau high risk), dipilih salah satu yang tertinggi/terparah dari skor
GOLD spirometri atau eksaserbasi. Satu atau lebih rawat inap saat eksaserbasi
masuk ke dalam high risk.
B. PPOK Stabil
Kriteria PPOK stabil adalah:
1. Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
3
2. Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas
darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
3. Dahak jernih tidak berwarna
4. Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
5. Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
6. Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Gejala PPOK eksaserbasi adalah :
a) Sesak bertambah
b) Produksi sputum meningkat
c) Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen)
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga:
a) Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas.
b) Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas.
c) Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas, ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau frekuensi pernapasan >20%
nilai dasar atau frekuensi nadi >20% nilai dasar.
4
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai
evaluasi berkala atau di rumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil
dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk
mempertahankan PPOK stabil. Beberapa hal harus diperhatikan selama di
rumah, baik oleh pasien sendiri maupun keluarganya. Penatalaksanaan di
rumah ditujukan juga bagi pasien PPOK berat yang harus menggunakan
oksigen atau ventilasi mekanis.
5
6
E. Peran Bronkodilator Pada Terapi PPOK
7
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi obstruksi saluran
nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan bronkodilator
utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan golongan
xanthin. Ketiga golongan ini memiliki cara kerja yang berbeda dalam mengatasi
obstruksi saluran nafas.
Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator
adaah :
Blockade reseptor adenosine
Rangsangan pelepasan katekolamin endogen
Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor
Meningkatkan ambilan kalsium kedalam sel otot polos dan penghambatan
pelepasan mediator dan sel mast.
Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah
Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis
terukur. Alat bantu yang digunakan berupa : spacer, nebuhaler, turbuhaler,
dischaler, rothaler dan nebuliser. Hal yang perlu diperhatikan adalah cara yang
tepat dan benar sehingga obat dapat mencapai saluran nafas dengan dosis yang
cukup.
Bronkodilator dapat meningkatkan FEV1 dengan mengubah tonus otot
polos jalan napas, memperbaiki aliran ekspirasi dengan lebih memperlebar jalan
8
napas dibandingkan meningkatkan recoil elastisitas paru. Beberapa memperbaiki
pengosongan paru, cenderung mengurangi hiperinflasi dinamik baik saat istirahat
maupun aktivitas, dan memperbaiki toleransi aktivitas. Perubahan ini terutama
pada pasien PPOK berat dan sangat berat sulit dinilai dari pengukuran FEV1.
Bronkodilator masih memegang peranan penting pada terapi farmakologi
PPOK, terutama pada PPOK dengan fenotip gejala yang dominan. Obat-obat
bronkodilator berdasarkan lama kerjanya dibagi menjadi kerja singkat (short
acting), kerja lama (long acting) dan ultra lama (ultra long acting). Pengobatan
farmakologik ditujukan untuk memperbaiki gejala, meningkatkan fungsi paru,
mencegah air trapping, dan mengurangi kejadian eksaserbasi.
Respon terkait dosis dikatakan sama saja pada semua jenis bronkodilator.
Toksisitas terkait dengan dosis. Meningkatkan dosis agonis beta-2 atau anti-
kolinergik, terutama dengan nebulisasi, memiliki manfaat subjektif pada episode
akut tetapi tidak membantu saat penyakit stabil. Bronkodilator dapat digunakan
saat dibutuhkan atau sebagai pengobatan reguler untuk mencegah atau
menurunkan gejala.
Penggunaan bronkodilator inhaler tersedia dalam bentuk metered dose
inhaler (MDI), dry powder inhaler (DPI) atau nebuhaler. Pemilihannya tergantung
kepada biaya dan kenyamanan penggunaan. Banyak pasien mengeluhkan
kesulitan dalam penggunaan MDI, begitu juga dengan DPI. Spacer device dapat
membantu penggunaan MDI. Nebulisasi lebih mudah menurut pasien tetapi
bronkodilator bentuk nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus.
Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi.
Rekomendasi GOLD 2015 untuk penggunaan bronkodilator pada
tatalaksana PPOK:
- Agonis beta-2 dan antikolinergik, jenis kerja lama (long acting) lebih dipilih
daripada kerja cepat (short acting). Tidak ada bukti yang merekomendasikan
satu kelas agonis beta-2 kerja lama lebih baik dibandingkan kelas lainnya
untuk terapi inisial, pemilihannya tergantung dari kemampuannya dalam
mengurangi gejala pada pasien.
9
- Kombinasi agonis beta-2 (short acting atau long acting) dan antikolinergik
dapat digunakan apabila gejala tidak membaik dengan satu jenis obat. Pada
PPOK grup B, C dan D, dapat dipilih kombinasi agonis beta-2 kerja lama
dan antikolinergik kerja lama sebagai alternative choice bila sesaknya berat.
- Berdasarkan efikasi dan efek sampingnya, bronkodilator inhalasi lebih baik
daripada oral
Berdasarkan bukti efikasi yang relatif rendah dan efek samping yang
banyak, teofilin tidak dianjurkan digunakan kecuali bila terapi jangka panjang
dengan bronkodilator lain tidak tersedia atau tidak memungkinkan.
10
adalah efek atropin, seperti mulut kering, obstipasi, sukar berkemih, dan
penglihatan buram akibat gangguan akomodasi. Atropin aman untuk dikonsumsi
bagi wanita hamil dan menyusui.
Ipratropium bromida sangat efektif untuk terapi terhadap COPD. Kombinasi
obat antikolinergik dengan golongan bronkodilator lain seperti beta-2 agonis dan
xanthin memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik, dimana derivat dari
adrenegik yang bersifat sebagai adenilsiklase dan derivate xanthin yang bersifat
sebagai penghambat fosfodiesterase. Efek maksimalnya dicapai setelah 1-2 jam
dan bertahan rata-rata 6 jam. Dosis inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 20 mcg
11
termasuk golongan SABA adalah salbutamol, terbutalin sulfat, bambuterol
hidroklorida, fenoterol hidrobromida.
Formoterol dan salmeterol termasuk dalam golongan LABA memiliki efek
signifikan dalam memperbaiki FEV1, volume paru, dispnea, kualitas hidup dan
menurunkan kejadian eksaserbasi dan kejadian rawat inap, tetapi tidak berefek
dalam menurunkan mortalitas dan progresivitas penurunan fungsi paru. Kedua
obat ini memiliki lama kerja obat > 12 jam. Indacaterol, merupakan long-acting
agonist 2 (LABA) dengan potensi pada konsentrasi nano molar dan onset kerja
cepat. Pada reseptor indacaterol 2, bersifat mendekati agonis penuh dengan
efikasi intrinsik yang tinggi.
Aktivitas indacaterol dengan dosis sekali sehari mencapai 24 jam.
Dibandingkan dengan LABA yang lain, indacaterol lebih disukai pemakai
sehingga dapat memberikan hasil pengobatan yang maksimal. Di samping itu
indacaterol mempunyai onset yang sama cepatnya dengan formoterol dan
salbutamol yaitu tidak lebih dari 5 menit. Efek yang lama dan onset yang cepat
dibandingkan dengan LABA yang lain kemungkinan disebabkan oleh afinitas
pada membran sel, interaksi antara obat dan membran sel dan sifat farmakologik
yang inherent.
Meskipun efek indacaterol dapat bertahan sampai 24 jam yang merupakan
keuntungan bagi penderita PPOK, penting untuk diketahui bahwa efek yang lama
tersebut tidak disertai dengan berkurangnya efikasi sepanjang waktu. Studi klinik
indacaterol selama 1 tahun tidak menunjukkan terjadi down regulation pada
reseptor yang mengakibatkan berkurangnya fungsi bronkodilatasi dan terjadi
takipilaksis.
12
2. INVOLVE (Indacaterol: value in COPD: longer term validation of efficacy and
safety).
3. INLIGHT (Indacaterol: efficacy evaluation using 150 g dosis with COPD
patients)
4. INSIST (Indacaterol: investigating superiority vs salmeterol)
13
Indacaterol pada penurunan frekuensi eksaserbasi
Pada studi INHANCE, frekuensi eksaserbasi PPOK secara bermakna
berkurang dibandingkan plasebo pada pemberian indacaterol 150 g sekali sehari
dan indacaterol 300 g sekali sehari pada studi INVOLVE. Pada studi INLIGHT-1
tidak dilaporkan tentang efek pada eksaserbasi. Pada studi INHANCE selama 26
minggu, hazard ratio (HR) saat pertama terjadi eksaserbasi untuk indacaterol 150
g sehari vs plasebo adalah 0,69 (95% CI 0,51, 0,94; p = 0,019). Hazard ratio
untuk indacaterol 300 g sekali sehari (0,74; 95% CI 0,55, 1,01) atau tiotropium
18 g label terbuka sekali sehari(0,76; 95% CI 0,56, 1,03) vs plasebo secara
statistik tidak menunjukkan penurunan. Frekuensi eksaserbasi PPOK juga secara
bermakna berkurang vs plasebo untuk indacaterol 150 g sekali sehari (rate ratio
[RR] 0,67; 95% CI 0,46, 0,99; p = 0,044), tapi tidak untuk indacaterol 300 g
sekali sehari atau tiotropium label terbuka. Pada studi INVOLVE selama 52
minggu, terdapat perbaikan secara bermakna saat pertama terjadi eksaserbasi
untuk indacaterol 300 g sekali sehari (HR 0,77; 95% CI 0,61, 0,98) dan
formoterol 12 g dua kali sehari (HR 0,77; 95% CI 0,61, 0,98) vs plasebo, dengan
perbedaan yang tidak bermakna antara indacaterol dan formoterol. Persentasi
penderita yang mengalami eksaserbasi sebesar 32,8% pada kelompok indacaterol
300 g sekali sehari, 31,5% pada kelompok formoterol dan 36,3% pada kelompok
plasebo.
Sehingga dapat disipulkan bahwa Indacaterol memberikan penurunan
frekuensi eksaserbasi, perbaikan gejala dan peningkatan kualitas hidup yang
bermakna. Tolerabilitas indacaterol pada umumnya baik dengan profil tolerabilitas
sama dengan plasebo.
Agonis beta-2 harus digunakan dengan hati-hati pada keadaan
hipertiroidisme, penyakit kardiovaskular, aritmia, kepekaan terhadap
perpanjangan interval QT, dan hipertensi. Jika diperlukan dosis tinggi selama
kehamilan, harus diberikan secara inhalasi, karena penggunaan parenteral dapat
mempengaruhi miometrium dan mungkin menyebabkan masalah jantung.
Agonis adrenoseptor beta-2 harus digunakan dengan hati-hati pada diabetes
melitus, perlu dilakukan pemantauan kadar glukosa darah (risiko ketoasidosis
terutama pada penggunaan secara intravena).
14
Efek samping dari agonis adrenoseptor beta-2 termasuk tremor (terutama
pada usia tua di tangan), ketegangan, sakit kepala, kram otot, dan palpitasi. Efek
samping lain termasuk takikardi, aritmia, vasodilatasi perifer, gangguan tidur dan
tingkah laku. Bronkospasme paradoksikal, urtikaria, angiodema, hipotensi, dan
kolaps juga telah dilaporkan. Agonis adrenoseptor beta-2 menyebabkan
hipokalemi pada dosis tinggi terutama bila terapi bersamaan dengan diuretik
tiazid. Nyeri dapat terjadi pada pemberian injeksi intramuskular.
- Metilxantin
Efeknya masih kontroversi. Berperan sebagai inhibitor fosfodiesterase
nonselektif. Teofilin, metilxantin yang sering digunakan dimetabolisme oleh
sitokrom p450. Bersihan obat menuurn seiring usia. Dikatakan efeknya pada
perubahan pada fungsi otot-otot inspirasi tetapi mekanismenya belum jelas.
Penelitian menyebutkan efikasi teofilin pada PPOK dengan penggunaan
teofilin yang lepas lambat (slow released). Teofilin kurang efektif dibandingkan
dengan bronkodilator kerja lama lainnya dan tidak direkomendasikan bila
bronkodilator lain tersedia. Penambahan teofilin pada salmeterol menghasilkan
perbaikan yang lebih besar pada FEV1 dan mengatasi sesak lebih baik
dibandingkan salmeterol saja. Teofilin dosis rendah mengurangi eksaserbasi tetapi
tidak memperbaiki fungsi paru post-bronkodilator. Rasio terapeutiknya kecil. Efek
sampingnya antara lain atrial dan ventrikular aritmia, epilepsi grand mal, nyeri
kepala, insomnia, heartburn, nausea.
15
1 Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
2 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau
APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.
16
kortikosteroid inhalasi mungkin akan menimbulkan eksaserbasi pada beberapa
pasien, tetapi pada pasien dengan derajat berat atau sangat berat dapat dilakukan
penurunan dosis dalam waktu 3 bulan tidak meningkatkan resiko eksaserbasi
tetapi terjadi penurunan signifikasn fungsi paru. Pengobatan regular dengan
kortikosteroid inhalasi tidak memodifikasi penurunan FEV1 jangka panjang
maupun mortalitas pasien PPOK.
Rekomendasi GOLD 2015:
- Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi direkomendasikan
untuk pasien PPOK derajat berat dan sangat berat dan eksaserbasi sering,
yang tidak dapat diatasi dengan bronkodilator kerja lama
- Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral pada PPOK tidak
direkomendasikan
- Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi pada PPOK
tidak direkomendasikan karena kurang efektif dibandingkan kombinasi
kortikosteroid dengan bronkodilator kerja lama
- Penggunaan jangka panjang kortikosteroid inhalasi tidak boleh
sembarangan diresepkan tanpa indikasi yang jelas, karena dapat beresiko
menyebabkan pneumonia dan fraktur
Efek samping penggunaan kortikosteroid inhalasi yaitu kandidiasis oral,
memar kulit, suara serak, peningkatan resiko pneumonia, peningkatan resiko
penurunan densitas tulang. Kortikosteroid oral memiliki banyak efek samping.
Penggunaan jangka panjang menyebabkan miopati steroid, menyebabkan
kelamahan otot, penurunan fungsi, dan gagal napas pada pasien PPOK derajat
sangat berat.
Penggunaan terapi kombinasi long-acting -agonis inhalasi dan
kortikosteroid inhalasi lebih efektif dalam peningkatan fungsi paru dan penurunan
gejala klinis dan mengurangi eksaserbasi yang lebih signifikan dibandingkan
penggunaan terapi tunggal pada pasien PPOK derajat sedang sampai sangat berat.
Kombinasi ini juga menurunkan mortalitas. Penggunaan triple terapi dengan
agonis beta-2 kerja lama, kortikosteroid inhalasi dan tiotropium memperbaiki
fungsi paru dan kualitas hidup serta mengurangi eksaserbasi, tetapi perlu
penelitian lebih lanjut mengenai triple terapi ini.
17
G. Peran Phosphodiasterase 4 inhibitor pada PPOK
Phosfodiesterase (PDE) inhibitor telah menarik perhatian pada penanganan
PPOK karena PDE merupakan kelompok besar enzim yang dapat menghambat
siklus adenosin monofosfat intraseluler dimana saja. Enzim ini memainkan peran
penting dalam metabolisme, kerja inhibitornya sangat bermanfaat dalam
perkembangan obat. Contohnya PDE4, PDE4 merupakan salah satu enzim yang
terlibat dalam metabolisme dan inflamasi pada saluran nafas. Peran PDE4
inhibitor dalam penyakit saluran napas sangatlah menarik. Pertama dengan
cilomilast dan sekarang ini dengan roflumilast. Studi sebelumnya mengenai
cilomilast menunjukkan efek yang menguntungkan pada fungsi paru, sedangkan
studi terakhir mengenai roflumilast menunjukkan bahwa eksaserbasi juga dapat
berkurang, namun pengurangannya tidak konsisten dengan derajat eksaserbasi.
Penelitian terbaru menyatakan adanya peningkatan fungsi paru dan penurunan
eksaserbasi derajat sedang berat sebanyak 17% dengan roflumilast yang
dibandingkan dengan plasebo.
PDE-4 inhibitor roflumilast telah terbukti meningkatkan fungsi paru-paru
dibandingkan dengan plasebo bila dikombinasikan dengan bronkodilator long-
acting, serta mengurangi tingkat eksaserbasi sedang hingga berat sebagai
monoterapi dibandingkan plasebo. GOLD merekomendasikan menggunakan
roflumilast (Dalam kombinasi dengan bronkodilator long-acting) untuk
mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan bronkitis kronis, berat dan sangat
berat COPD, dan sering eksaserbasi tidak cukup dikendalikan oleh bronkodilator
long-acting. Sebuah analisis baru-baru data roflumilast dirilis oleh FDA AS
menilai manfaat (menurunkan risiko eksaserbasi) dan merugikan
(gastrointestinal, psikiatri dan gejala neurologis atau gangguan) dan menemukan
bahwa satu-satunya kelompok pasien untuk menerima keuntungan adalah orang-
orang dengan (> 22%) berisiko tinggi eksaserbasi PPOK berat, yang sejalan
dengan rekomendasi GOLD.
18
INSPIRE bertujuan untuk membandingkan efek kombinasi penggunaan
LABA/ICS (salmoterol fluticasone propionate (SFC)) dengan LABA/Triotropium
bromide pada eksaserbasi sedang-berat selama periode 2 tahun pengobatan.
INSPIRE merupakan penelitian multisenter dengan desain double blind, random,
double dummy.
Menurut penelitian Wedzicha pada tahun 2008 didapatkan bahwa
penggunaan SFC lebih banyak membutuhkan antibiotik dibandingkan dengan
Triotropium yaitu sebanyak 0,97 per tahun dan 0,82 per tahun. Penggunaan
kortikosteroid sistemik pada pasien yang di treatment menggunakan SFC lebih
sedikit dibandingkan pada pasien yang menggunakan Triotropium. Kejadian
eksaserbasi yang harus mendapatkan perawatan di Rumah Sakit pada penggunaan
SFC yakni sebanyak 16% sedangkan Triotropium 13% saja. Skor SGRQ pada
pasien dengan SFC lebih baik disbanding Triotropium walaupun perbedaannya
tidak terlalu signifikan. Kasus kematian pada kasus SFC sebanyaj 3 % sedangkan
pada penggunaan Triotropium sebanyak 6%. Sehingga Wedzicha et al,
menyimpulkan bahwa SFC tidak lebih efektif dibandingkan Triotropium.
Menurut penelitian Hanania et al, tahun 2003 didapatkan bahwa kombinasi
ICS/LABA dapat meningkatkan fungsi paru pada pasien COPD dan menurunkan
kejadian eksaserbasi.
GOLD 2015 merekomdasikan penggunaan ICS/LABA untuk seseorang
yang memiliki fungsi paru yang buruk (diprediksi kurang dari 50% dan atau
mengalami kejadian eksaserbasi lebih dari 2 kali atau mengalami perawatan di
Rumah Sakit 1 kali pertahun). Beberapa tahun yang lalu, dilakukan reevaluasi
terhadap peran ICS dalam treatmen PPOK yang mana didapatkan banyak pasien
yang melaporkan efek samping berupa sariawan dan suara serak dan atau
mengalami komorbiditas yang mana berpotensial disebabkan oleh ICS seperti
katarak, diabetes, osteopenia dan pneumonia recurrent. Maka dari itu, terdapat
beberapa studi yang ingin mengubah secara perlahan pasien-pasien yang telah
distabilkan dengan triple terapi beripa ICS/LABA/LAMA menjadi LABA/LAMA
saja.
19
Berdasarkan hal tersebut WISDOM (Withdrawal of inhaled steroids during
optimized Bronkodilator management) melakukan penelitian untuk memeriksa
apakah penghentian ICS akan berdampak pada pasien yang diganti terapinya
dengan LABA/LAMA. Penelitian ini merupakan penelitian yang cukup besar
dimana melibatkan 2485 pertisipan, namun sangat beresiko untuk menentukan
hasil dari penelitian tersebut dapat diterapkan dalam praktek klinis.
20
dengan nilai prognostik yang memungkinkan untuk menentukan terapi yang
terbaik untuk mencapai hasil klinis yang lebih baik.
Dari berbagai fenotip yang telah diteliti, ada 3 fenotip utama yang
memenuhi kriteria, yang berkaitan dengan respons terapi yang berhubungan
dengan perbedaan klinis, prognosis dan perbedaan respons terapi terhadap terapi
yang saat ini tersedia. Fenotip tersebut adalah fenotip campuran PPOK-asma,
fenotip eksaserbator dan fenotip emfisema- hiperinflasi. Fenotip yang mungkin
lainnya adalah bronkitis kronik, yang didefinisikan sebagai batuk dan dahak untuk
setidaknya 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut. Fenotip ini
biasanya berhubungan dengan penyakit saluran napas, yang dapat terlihat dengan
high resolution computed tomography (HRCT). Namun demikian, bronkitis
kronik juga dapat menyertai salah satu dari tiga fenotip yang ditunjukkan
sebelumnya yaitu campuran PPOK-asma, eksaserbator dan emfisema. Oleh
karena itu bronkitis kronik digambarkan sebagai faktor modifikasi terhadap salah
satu dari 3 fenotip utama. Suatu fenotip sistemik juga telah ditetapkan pada pasien
dengan obesitas, penyakit jantung, diabetes atau peradangan sistemik. Hal ini
memungkinkan karena pasien-pasien ini mempunyai prognosis yang berbeda.
Namun tidak dapat disebut sebagai suatu fenotip PPOK sistemik karena tidak
sesuai dengan definisi yang disebutkan sebelumnya, karena manifestasi sistemik
(atau komorbid) bukan merupakan manifestasi dari PPOK itu sendiri. Sehingga
manifestasi sistemik atau komorbid memang sangat penting namun harus
dipisahkan dari fenotip PPOK.
Pedoman terapi PPOK yang sudah disusun berdasarkan fenotip adalah
Spanish guidelines for COPD (Gua Espaola de la EPOC; GesEPOC). Spanish
guidelines mengusulkan 4 fenotip PPOK yaitu eksaserbator infrequent dengan
salah satu bronkitis kronik atau emfisema, overlap PPOK-asma, eksaserbator
frequent dengan emfisema dominan dan eksaserbator frequent dengan bronkitis
kronik dominan (gambar 1). Eksaserbator infrequent didefinisikan sebagai pasien
yang mengalami kurang dari 2 kali eksaserbasi per tahun. Pentingnya
mengidentifikasi fenotip ini adalah tidak diperlukannya pemberian antiinflamasi
21
pada pasien kelompok ini. Pengobatan pasien ini didasarkan pada bronkodilator,
tunggal atau kombinasi, dan bersama dengan teofilin pada kasus berat.
Fenotip PPOK eksaserbator adalah pasien yang mengalami lebih dari 2 kali
eksaserbasi per tahun. Fenotip eksaserbator menggarisbawahi pentingnya
menanyakan riwayat eksaserbasi saat wawancara klinis dan mengidentifikasi
pasien-pasien yang mungkin memerlukan pengobatan antiinflamasi selain 13
bronkodilator. Ketika pasien eksaserbator tidak menunjukkan batuk dan produksi
sputum yang kronik serta secara klinis dan radiologis menunjukkan tanda
emfisema (air trapping, dispnea dan indeks massa tubuh/IMT yang cenderung
rendah), itu merupakan fenotip eksaserbator dengan emfisema. Basis terapi
farmakologi adalah bronkodilator jangka lama. Yang lebih sering, eksaserbator
menunjukkan bronkitis kronik, yang didefinisikan sebagai batuk produktif atau
ekspektorasi lebih dari 3 bulan dalam setahun dan lebih dari 2 tahun berturut-
turut. Pasien kelompok ini dapat diobati dengan bronkodilator, kortikosteroid
inhalasi, dan berbeda dengan kelompok emfisema, mereka memberikan respons
terhadap roflumilast. Ketika tidak dapat menggunakan kortikosteroid inhalasi,
maka mukolitik dapat diberikan.
22
relevansi klinis yang berbeda. Subjek pada kelompok ini cenderung berusia lebih
muda, Afrika-Amerika, mempunyai riwayat merokok yang lebih sedikit. Namun
fungsi paru kelompok ini menyerupai kelompok dengan PPOK saja. Namun
demikian kelompok ini mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk dan lebih
cenderung mengalami eksaserbasi dengan frekuensi lebih sering dan berat.
Berdasarkan karakteristik klinis, fungsional dan inflamasi pada pasien PPOK
dengan fenotip campuran PPOK-asma (tidak hanya keparahan tingkat obstruksi
yang diukur dari VEP ), terapi dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi
direkomendasikan. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, pasien PPOK
dengan dengan karakteristik fenotip campuran memberikan respons yang baik
terhadap kortikosteroid inhalasi, bagaimanapun tingkat fungsi parunya. Pasien
yang tidak mempunyai karakteristik fenotip campuran akan mendapatkan hanya
sedikit manfaat klinis dengan penambahan kortikosteroid inhalasi dalam long
acting bronkodilator.
23
- Fenotip eksaserbator
Eksaserbasi PPOK ditandai oleh satu atau lebih gejala respiratorik seperti
peningkatan gejala sesak, peningkatan gejala batuk, wheezing, peningkatan
produksi sputum dan/atau purulensi sputum. Banyak penelitian yang
menunjukkan hubungan erat antara frekuensi eksaserbasi dengan penurunan
HRQoL. Meningkatnya frekuensi eksaserbasi akan berakibat pada prognosis yang
buruk, meningkatnya risiko kematian, terlepas dari tingkat keparahan penyakit.
Dengan demikian diyakini bahwa pasien eksaserbator mempunyai kelompok
tersendiri dengan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga
pendekatan terapi harus berbeda dan intensif. Fenotip eksaserbator diidentifikasi
saat didapatkan kriteria terjadi 2 atau lebih eksaserbasi dalam setahun, waktu
antara terjadinya eksaserbasi harus berjarak minimal 4 minggu setelah akhir
pengobatan eksaserbasi sebelumnya atau 6 minggu sejak terjadinya eksaserbasi
pada kasus yang tidak 6 mendapat pengobatan. Pada fenotip eksaserbator
pemberian bronkodilator kerja lama yang merupakan langkah pertama dalam
pengobatan PPOK telah terbukti dapat menurunkan frekuensi eksaserbasi.
Ketika eksaserbasi menetap setelah pengobatan bronkodilator, diindikasikan
pemberian antiinflamasi. Berbagai panduan klinis praktis menunjukkan kegunaan
pemberian kortikosteroid inhalasi pada pasien dengan kekerapan eksaserbasi.
Penggunaan kortikosteroid terutama bila bersamaan dengan bronkodilator,
menurunkan jumlah eksaserbasi secara signifikan dan 6 memperbaiki health-
related quality of life (HRQoL).
Roflumilast merupakan obat antiinflamasi oral baru yang bekerja dengan
cara menghambat secara selektif phosphodiesterase-4 yang telah terbukti dapat
mencegah eksaserbasi pada pasien PPOK berat dengan batuk dan produksi
sputum kronik dan juga sering eksaserbasi, sehingga diindikasikan juga untuk
fenotip eksaserbator dengan bronkitis kronik. Makrolid diberikan untuk jangka
lama juga dapat mempunyai indikasi khusus untuk beberapa pasien kelompok ini
karena ia mempunyai efek antiinflamasi dan imunomodulator di samping efek
antibakteri. Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa penggunaan obat ini
24
pada pasien stabil dengan PPOK berat dapat mengurangi jumlah eksaserbasi,
namun dapat meningkatkan kemungkinan risiko resistensi bakteri.
Studi oleh Pomares dkk. meneliti manfaat klinis pemberian azitromisin
jangka panjang untuk mencegah eksaserbasi. Dua puluh pasien diberikan
azitromisin tablet 500 mg sekali sehari 3 kali seminggu (senin, rabu, jum'at)
selama 12 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa azitromisin ditoleransi dengan
baik dan berhubungan dengan penurunan signifikan eksaserbasi akut PPOK,
perawatan rumah sakit, dan lamanya perawatan rumah sakit pada pasien dengan
PPOK berat, yaitu sebanyak 70% pada kelompok mikroorganisme patogen
potensial dan 43,5% pada kelompok pseudomonas aeruginosa. Selanjutnya,
mengingat peranan mikroorganisme patogen potensial sebagai pencetus
eksaserbasi, dianjurkan pemberian antibiotik selama periode stabil (antibiotik
kemoprofilaksis atau pengobatan infeksi bronkial kronik) yang bermanfaat untuk
menurunkan eksaserbasi. Penelitian dengan pemberian moksifloksasin 400 mg
selama 5 hari tiap 8 minggu pada pasien PPOK stabil terbukti menurunkan
eksaserbasi 45% pada pasien dengan sputum purulen atau mukopurulen, tanpa
peningkatan signifikan resistensi bakteri. Diperlukan banyak penelitian lebih
lanjut untuk membantu menentukan profil pasien serta durasi dan macam
antibiotik yang diperlukan.
- Fenotip emfisema-hiperinflasi
Selama beberapa tahun terakhir banyak penelitian telah menunjukkan bahwa
variabel seperti dispnea, kapasitas latihan, dan hiperinflasi dapat memprediksi
mortalitas secara independen dari fungsi paru dan variabel tersebut merupakan
prediktor yang lebih baik dibanding VEP itu sendiri. Hal ini menentukan
ditetapkannya fenotip emfisemahiperinflasi PPOK sebagai kelompok pasien
dengan risiko mortalitas lebih tinggi yang memperlihatkan beberapa perbedaan
tertentu yang akan berkaitan dengan pengobatan.
Fenotip emfisema hiperinflasi didefinisikan sebagai pasien PPOK dengan
dispnea dan intoleransi latihan sebagai gejala yang dominan, yang sering disertai
dengan tanda hiperinflasi. Pasien dengan fenotip emfisema biasanya cenderung
25
mempunyai indeks massa tubuh (IMT) yang rendah. Bentuk klinis PPOK ditandai
dengan data fungsional terdapat hiperinflasi, emfisema pada studi high resolution
computed tomography (HRCT), dan/atau tes kapasitas difusi yang rendah
dibanding nilai rujukan, diukur dengan rasio kapasitas difusi karbonmonoksida
terhadap volume alveolar (DLCO/VA) yang disesuaikan terhadap hemoglobin.
Terdapatnya emfisema tidak berhubungan dengan risiko lebih besar terjadinya
eksaserbasi, kecuali jika bersamaan dengan bronkitis kronik. Pada kasus ini,
pasien akan diklasifikasikan sebagai eksaserbator, dan pengobatan harus
diprioritaskan untuk menurunkan eksaserbasi. Kepentingan klinis dalam
identifikasi fenotip emfisema-hiperinflasi berdasarkan fakta bahwa derajat
dispnea, intoleransi latihan, dan hiperinflasi merupakan prediktor untuk mortalitas
yang tidak terikat pada tingkat 6 keparahan obstruksi.
Hubungan yang signifikan juga telah dibuktikan antara besarnya emfisema
yang dievaluasi dengan HRCT dengan tingkat kematian yang lebih besar pada
PPOK, terlepas dari tingkat keparahan yang diukur dengan VEP . Dengan cara ini,
kita melihat bukti berkembangnya keperluan pemeriksaan HRCT saat
mengevaluasi pasien PPOK untuk mengetahui emfisema dan juga untuk
mengevaluasi kemungkinan bronkiektasis. Parameter fungsi paru yang paling baik
dalam mengevaluasi adanya emfisema adalah kapasitas pertukaran
karbonmonoksida (DLCO), yang berkorelasi baik terhadap keparahan emfisema.
Namun satu keterbatasannya adalah DLCO menganalisisis paru secara
keseluruhan, tidak seperti HRCT yang dapat mendeteksi suatu kerusakan lokal.
Baru-baru ini teknik pencitraan HRCT sering digunakan untuk mendeteksi
emfisema paru.
Pedoman saat ini merekomendasikan pemberian bronkodilator agar
mendapat efek tambahan tanpa meningkatkan efek samping pada pasien dengan
kontrol gejala yang buruk. Dalam hal ini, penggunaan terapi bronkodilator ganda
(formoterol dan tiotropium) versus monoterapi bronkodilator atau versus
kombinasi flutikason-salmeterol, memberikan manfaat fungsional tambahan
dengan pengurangan kebutuhan akan obat- 6 obatan, perbaikan gejala dan kualitas
hidup. Terapi antiinflamasi dengan kortikosteroid inhalasi yang terutama
26
bertujuan mencegah eksaserbasi, tidak terbukti efektif terhadap fenotip emfisema-
hiperinflasi. Begitu juga obat antiinflamasi oral roflumilast tidak memberikan
hasil yang baik untuk mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan emfisema,
kecuali pada pasien-pasien yang disertai gejala bronkitis kronik. Dengan demikian
disimpulkan bahwa pasien pasien dengan fenotip emfisema-hiperinflasi akan
memperoleh manfaat lebih besar dengan penggunaan terapi bronkodilator ganda
dan juga dari rehabilitasi pernapasan karena akan memberi efek yang 6
menguntungkan pada dispnea dan toleransi latihan.
DAFTAR PUSTAKA
27