Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN PUSTAKA

Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik


(PPOK)
Esther Kristiningrum
Departemen Medical, PT Kalbe Farma Tbk., Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan gejala pernapasan
persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan kelainan saluran napas dan/atau alveoli yang biasanya disebabkan oleh paparan
signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya. Manajemen optimal PPOK multifaset yang menggabungkan strategi non-obat dan
manajemen obat. Beberapa obat seperti bronkodilator dan antiinflamasi dapat membantu pasien PPOK.

Kata kunci: Antiinflamasi, bronkodilator, inhalasi, PPOK

ABSTRACT
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a common disease, preventable and treatable disease, characterized by persistent
respiratory symptoms and airflow limitation due to airway and/or alveolar abnormalities, usually caused by significant exposure to noxious
particles or gas. The optimal management requires a multifaceted approach which incorporates non-drug as well as drug-management
strategies. Some medications such as inhalation bronchodilators and anti-inflammatory agents can help COPD patients. Esther
Kristiningrum. Pharmacotherapy of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

Keywords: Anti-inflammatory, bronchodilators, COPD, inhalation

PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI berisiko PPOK atau kanker paru adalah


Menurut GOLD (the Global Initiative for Prevalensi global PPOK pada tahun 2015 sebesar 20-25%.3
Chronic Obstructive Lung Disease) 2018, sekitar 11,7%, meningkat 44,2% dari tahun
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 1990, dan menyebabkan kematian pada 3,2 PATOGENESIS
adalah penyakit umum, dapat dicegah dan juta orang di 2015, meningkat 11,6% dari PPOK terjadi sekunder terhadap respons
diobati yang ditandai dengan gejala tahun 1990. Sedangkan prevalensi PPOK di inflamasi abnormal pada paru yang
pernapasan persisten dan keterbatasan Indonesia menurut Riskesdas 2013 adalah disebabkan terutama oleh rokok, tetapi bisa
aliran udara yang disebabkan karena 3,7% (pria 4,2%, perempuan 3,3%).4,5 Hasil juga karena faktor genetik, polusi udara,
kelainan saluran napas dan/atau alveolus. survei penyakit tidak menular oleh Ditjen atau paparan terhadap gas-gas berbahaya
PPOK biasanya disebabkan oleh paparan PPM & PL di 5 RS provinsi (Jawa Barat, Jawa lainnya.1-3
signifikan terhadap partikel atau gas Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan
berbahaya. Hambatan jalan napas pada Sumatera Selatan) pada tahun 2004 Limitasi aliran udara kronik yang merupakan
PPOK disebabkan oleh obstruksi saluran menunjukkan bahwa PPOK merupakan karakter PPOK disebabkan oleh inflamasi
napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan penyumbang angka kesakitan terbesar dan remodelling jalan napas (penyakit jalan
kerusakan parenkim paru (emfisema).1-3 (35%), diikuti oleh asma bronkial (33%), napas kecil), kerusakan alveoli, dan
kanker paru (30%), dan lainnya (2%).3 penurunan elastisitas paru (destruksi
Menurut WHO dalam Global Status of Non- parenkim), yang menyebabkan kolaps jalan
communicable Diseases 2010, PPOK Prevalensi PPOK terus meningkat dengan napas terutama selama ekspirasi. Inflamasi
menduduki peringkat ke-4 di antara penyakit bertambahnya prevalensi perokok paru lebih lanjut dieksaserbasi oleh stres
tidak menular dengan mortalitas tertinggi dan populasi usia lanjut, serta oksidatif dan kelebihan proteinase dalam
setelah penyakit kardiovaskuler, keganasan, peningkatan polusi udara. Sedangkan paru, yang menyebabkan perubahan
dan diabetes melitus. Selain itu menurut berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial patologis terkait PPOK.1-3
GOLD Report 2014, PPOK juga memerlukan Ekonomi Nasional) tahun 2001, 54,5% penduduk
biaya kesehatan hingga 56% total biaya laki-laki dan 1,2% penduduk perempuan adalah Faktor Risiko1-3,5,6
penyakit respirasi, tertinggi disebabkan oleh perokok, dan sebagian besar anggota rumah
„ Perokok, baik perokok aktif maupun
eksaserbasi PPOK.1-3 tangga adalah perokok pasif. Sedangkan
perokok pasif, merupakan faktor risiko
jumlah perokok yang

CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019 262


TINJAUAN PUSTAKA
Alamat Korespondensi email: esther.kristiningrum@kalbe.co.id
terpenting „ Analisis gas darah, dapat mengukur pH darah, kadar O2, dan CO2 darah.
„ Genetik, kekurangan alpha-1 „ Radiografi
antitrypsin, protein yang „ CT scan untuk melihat emfisema alveoli „ Kadar α-1 antitripsin
berperan menjaga elastistisitas
paru. PPOK sering sulit dibedakan dari asma bronkial; perbedaan PPOK dan asma seperti
„ Polusi udara/paparan terhadap pada tabel 1.6
partikel berbahaya
„ Stres oksidatif Klasifikasi
„ Tumbuh kembang paru yang PPOK dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan spirometri (nilai FEV1) setelah
kurang optimal pemberian bronkodilator pada rasio FEV1/FVC < 0,7. 1,3,6 Selain itu, PPOK juga dapat
„ Status sosioekonomi yang rendah diklasifikasikan dapat dipicu oleh beberapa faktor, yang paling berdasarkan mMRC
„ Riwayat penyakit respirasi (Modified British Medical sering infeksi saluran pernapasan. Penyebab Research
(terutama asma) Council) (Tabel 3), CAT (COPD lainnya adalah polusi udara, kelelahan, dan
„ Riwayat PPOK atau penyakit Assessment Test) (Gambar 2) serta riwayat adanya komplikasi.1,3 eksaserbasi
respirasi lain di keluarga (Gambar 3).1
„ Riwayat eksaserbasi atau pernah Gejala eksaserbasi akut PPOK:1,3
dirawat di RS untuk penyakit PPOK juga dibedakan menjadi PPOK stabil dan „ Sesak napas bertambah
respirasi
eksaserbasi akut. „ Produksi sputum meningkat
„ Perubahan warna sputum
DIAGNOSIS
Kriteria PPOK stabil:3
Anamnesis gejala PPOK seperti sesak
„ Tidak dalam kondisi gagal napas akut Eksaserbasi akut dibagi menjadi:1,3 pada gagal
napas, peningkatan usaha bernapas,
napas kronik „ Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala
rasa berat saat bernapas, atau
„ Dapat dalam kondisi gagal napas kronik di atas
gasping, batuk - biasanya kronik
stabil, yaitu hasil analisis gas darah PCO2 < „ Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2
(dengan atau tanpa disertai dahak),
45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg gejala di atas
mudah
lelah, dan terganggunya aktivitas „ Dahak jernih tidak berwarna „ Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1
fisik.1,3,5,6 „ Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai gejala di atas ditambah infeksi saluran
derajat berat PPOK (hasil spirometri) napas atas lebih dari 5 hari, demam
„ Penggunaan bronkodilator sesuai rencana tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
Pada pemeriksaan fisik tahap awal,
pengobatan peningkatan mengi atau peningkatan
bisa tidak ditemukan kelainan,
„ Tidak ada penggunaan bronkodilator frekuensi pernapasan lebih dari 20% basal,
namun pada PPOK berat, dapat
tambahan atau frekuensi nadi lebih dari 20% basal
ditemukan mengi dan ekspirasi
memanjang. Selain itu, bisa
Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai Komplikasi
ditemukan tanda hiperinflasi seperti
perburukan gejala pernapasan akut yang Jika tidak ditangani dengan baik, PPOK dapat
barrel chest, sianosis, kontraksi otot-
memerlukan terapi tambahan. Eksaserbasi menyebabkan komplikasi seperti:3
otot aksesori pernapasan, pursed lips
breathing, serta tanda-tanda
penyakit kronik (muscle wasting,
kehilangan berat badan,
berkurangnya jaringan lemak) yang
merupakan tanda progresivitas
PPOK.1,3,5,6

Pemeriksaan penunjang untuk


diagnosis PPOK antara lain:
„ Spirometri, merupakan
pemeriksaan definitif untuk
diagnosis PPOK, yaitu dengan
mengetahui nilai FEV1 (forced
expiration volume in 1 second)
dan FVC (forced vital capacity).
Pada PPOK, FEV1/ FVC < 0,7.

263 CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019


TINJAUAN PUSTAKA

„ Obat-obatan koloni kuman dan menyebabkan infeksi „


Rehabilitasi
berulang „ Terapi oksigen
„ Kor pulmonal „ Ventilasi mekanik
Ditandai dengan P pulmonal pada EKG, „ Nutrisi hematokrit >
50%, dan dapat disertai
gagal jantung kanan Beberapa bukti yang mendukung pencegahan dan terapi
pemeliharaan GOLD 2018:1
TATALAKSANA „ Kuncinya adalah berhenti merokok, yaitu
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk:1,3,5,6 dengan farmakoterapi atau pengganti

Tabel 1. Perbandingan antara asma dan PPOK


Asma PPOK

Dimulai pada usia muda ++ -


Sakit mendadak ++ -
Riwayat merokok +/- +++
Riwayat atopi ++ +
Sesak dan mengi berulang +++ +
Batuk kronik berdahak + ++
Hiperaktivitas bronkus +++ +
Reversibilitas obstruksi ++ -
Variabilitas harian ++ +
Eosinofil di sputum + -
Neutrofil di sputum - +
Makrofag di sputum + -
Tabel 2. Klasifikasi PPOK berdasarkan gejala dan FEV1
Klasifikasi Gejala Spirometri
Gambar 1. Patogenesis PPOK1 PPOK ringan (GOLD 1) Dengan atau tanpa batuk kronik dan sputum produktif FEV1 yang diprediksi
≥80%
„ Gagal napas „ Mengurangi gejala
PPOK ringan (GOLD 2) Dengan keluhan napas pendek, terutama saat latihan fisik, FEV1 yang diprediksi
„ Gagal napas kronik (Hasil analisis gas „ kadangkadang disertai batuk dan sputum produktif 50-<80%
Mencegah progresivitas penyakit darah PPOK ringan (GOLD 3) Keluhan napas pendek bertambah, kemampuan latihan berkurang, FEV1 yang diprediksi
PO2 <60 mmHg dan PCO2 >60 „ lelah, eksaserbasi berulang, hingga mempengaruhi kualitas hidup 30-<50%
pasien
Meningkatkan toleransi latihan mmHg,
PPOK ringan (GOLD 4) Gagal jantung kanan/kor pulmonal, kualitas hidup sangat terganggu, FEV1 yang diprediksi
dengan pH darah normal) „ eksaserbasi yang bisa menyebabkan kematian <30%
Meningkatkan status kesehatan Tabel 3. Formulir kuesioner Modified British Medical Research Council (mMRC)
„ Gagal napas akut pada gagal napas „ Centang kotak yang sesuai dengan kondisi pasien (hanya 1 kotak saja)
Mencegah dan menangani komplikasi mMRC Grade 0 Saya hanya susah bernapas jika aktivitas berat
kronik, dengan gejala: sesak napas „
mMRC Grade 1 Napas saya menjadi pendek jika naik tangga dengan bergegas atau berjalan ke
Mencegah dan menangani eksaserbasi tanjakan
dengan atau tanpa sianosis, sputum „ mMRC Grade 2 Saya berjalan lebih lambat dibandingkan teman sebaya karena susah bernapas,
Menurunkan kematian bertambah dan atau saya harus berhenti untuk mengambil napas ketika berjalan di tangga
purulen, demam dan kesadaran mMRC Grade 3 Setelah berjalan 100 meter atau beberapa menit di tangga, saya harus berhenti
menurun Penatalaksanaan umum PPOK untuk mengambil napas

meliputi:1,3,5,6 mMRC Grade 4 Saya tidak bisa keluar rumah karena susah bernapas atau tidak bisa mengganti
baju karena susah bernapas
„ Infeksi berulang „ Edukasi
nikotin
Imunitas rendah „ Terapi farmakologi bersifat individual
disertai produksi „ Teknik inhalasi yang perlu dinilai secara teratur
sputum „ „ Vaksin influenza bisa menurunkan kejadian infeksi saluran napas bawah dan kematian
Berhenti pada PPOK
merokok „ Vaksin pneumokokus menurunkan kejadian infeksi saluran napas bawah,
berlebihan direkomendasikan untuk pasien PPOK berusia ≥ 65 tahun
dapat „ Rehabilitasi paru untuk memperbaiki gejala, kualitas hidup, partisipasi fisik dan emosi
penderita PPOK dalam aktivitas harian
mempermudah

CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019 264


TINJAUAN PUSTAKA

„ Terapi oksigen jangka panjang dapat „ Jika sesak napas menetap dengan monoterapi, direkomendasikan menggunakan
memperbaiki tingkat kelangsungan dua bronkodilator.
hidup pasien hipoksemia kronik berat „ Untuk sesak napas berat, dapat direkomendasikan terapi awal menggunakan dua
saat istirahat, tetapi sebaiknya tidak bronkodialtor.
rutin pada PPOK stabil dan desaturasi „ Jika penambahan bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala, terapi dapat
sedang dikembalikan ke bronkodilator tunggal, pada kelompok ini sebaiknya diperiksa
„ Ventilasi non-invasif jangka panjang kemungkinan komorbiditas yang dapat menambah gejala dan mempengaruhi
menurunkan mortalitas dan perawatan prognosis.
di rumah sakit pasien hiperkapnia
kronik berat dan perawatan karena Kelompok C:1
gagal napas akut „ Terapi awal bronkodilator kerja panjang tunggal. LAMA (long acting muscarinic
„ Intervensi bedah atau bronkoskopi antagonist) lebih unggul dibanding LABA (long acting beta-2 agonist) dalam
bermanfaat pada emfisema lanjut mencegah eksaserbasi, sehingga LAMA lebih direkomendasikan untuk terapi awal
refrakter kelompok ini.
„ Pendekatan paliatif efektif mengontrol „ Penambahan bronkodilator kerja panjang kedua (LABA/LAMA) atau kombinasi
gejala PPOK lanjut LABA dengan corticosteroid inhalasi (ICS) dapat bermanfaat pada pasien dengan
eksaserbasi menetap. Mengingat ICS dapat meningkatkan risiko pneumonia,
Terapi Farmakologi pilihan utama adalah kombinasi LABA/ LAMA.
Terapi farmakologi digunakan
untuk mengurangi gejala, menurunkan Kelompok D:1
frekuensi dan tingkat keparahan Direkomendasikan terapi awal menggunakan kombinasi LABA/LAMA karena:
eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi „ Studi menunjukkan LABA/LAMA lebih unggul dibanding obat tunggal. LAMA lebih
terhadap latihan fisik dan status dipilih untuk mencegah eksaserbasi dibandingkan dengan LABA.
kesehatan (Gambar 4). „ Kombinasi LABA/LAMA lebih tunggul dibanding kombinasi LABA/ICS dalam
mencegah eksaserbasi.
Hingga saat ini, belum ada bukti uji
klinik yang menyimpulkan bahwa „ Pasien kelompok D mempunyai risiko pneumonia lebih tinggi jika mendapat terapi
obat-obat yang tersedia untuk PPOK ICS.
dapat memodifikasi penurunan fungsi
paru jangka panjang. Pemilihan obat
dalam setiap golongan obat
tergantung ketersediaan dan biaya,
respons klinis, dan efek samping.
Setiap terapi memerlukan regimen
individual terkait keparahan, limitasi
aliran udara, dan tingkat keparahan
eksaserbasi.1,2

Kelompok A:1
„ Semua pasien diberi terapi
bronkodilator berdasarkan efeknya
terhadap sesak napas, bisa berupa
bronkodilator kerja singkat atau
kerja panjang.
„ Terapi bisa dilanjutkan jika
ditemukan manfaat simtomatik.
Kelompok B:1
„ Terapi awal bronkodilator kerja
panjang karena lebih unggul
dibanding bronkodilator kerja
singkat.
„ Tidak ada bukti rekomendasi
salah satu bronkodilator kerja
panjang untuk terapi awal gejala.
Pemilihan obat tergantung
persepsi pasien.

265 CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019


TINJAUAN PUSTAKA
untuk terapi awal adalah kombinasi PPOK. Tingginya eosinofil darah juga
LABA/ICS, seperti pada riwayat dan/ dipertimbangkan sebagai parameter
atau penemuan yang menunjukkan yang mendukung penggunaan ICS,
tumpang tindih antara asma dengan meskipun masih diperdebatkan.

„ Pada beberapa pasien, pilihan Assessment Test (CAT)3


pertama Gambar 2. Formulir COPD
Gambar 3. Klasifikasi PPOK1

CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019 266


TINJAUAN PUSTAKA

„ Pasien eksaserbasi lebih lanjut Gambar 4. Skema terapi farmakologi pada PPOK 1. Agonis β2
dengan terapi LABA/LAMA dianjurkan stabil
1

untuk: Bronkodilator1-3,5,6 Kerja utama agonis β2 adalah merelaksasi


„ Eskalasi ke kombinasi otot polos jalan napas dengan menstimulasi
Bonkodilator merupakan obat yang
LABA/LAMA/ICS untuk mencegah reseptor adrenergik beta-2, yang
meningkatkan FEV1 dan/atau memperbaiki
eksaserbasi. meningkatkan cAMP dan menghasilkan
variabel spirometri lainnya dengan
„ Beralih ke kombinasi LABA/ICS, antagonisme fungsional terhadap
mempengaruhi tonus otot polos jalan napas
namun tidak ada bukti hal ini dapat bronkokonstriksi. Efek samping berupa sinus
dan memperbaiki aliran udara ekspirasi, yang
lebih baik mencegah eksaserbasi. Jika takikardia saat istirahat dan berpotensi
mencerminkan pelebaran jalan napas
terapi LABA/ICS tidak berdampak mencetuskan gangguan irama jantung, dan
daripada perubahan elastisitas paru.
positif, dapat ditambahkan LAMA. tremor somatik.
Bronkodilator cenderung menurunkan
hiperinflasi dinamik saat istirahat ataupun
„ Jika pasien dengan terapi Agonis β2 terdiri dari short-acting (SABA) dan
selama latihan fisik, serta memperbaiki
LABA/LAMA/ ICS masih mengalami long-acting (LABA) beta2-agonist.
performa latihan. Besarnya perubahan ini,
eksaserbasi, pilihan berikut:
khususnya pada pasien dengan PPOK berat
„ Ditambahkan roflumilast, yang dapat SABA (short acting beta2-agonist)
dan sangat berat, tidak mudah diprediksi dari
dipertimbangkan pada pasien dengan „ Efek SABA biasanya hilang dalam 4-6 jam.
perbaikan FEV1 saat istirahat.
FEV1 diprediksi <50% dan bronkitis „ Penggunaan SABA dapat memperbaiki
kronik, khususnya jika mengalami FEV1 dan gejala.
Peningkatan dosis bronkodilator, khususnya
minimal sekali perawatan di rumah „ Contoh: salbutamol, fenoterol
yang diberikan dengan nebulizer, tampaknya
sakit untuk sekali eksaserbasi dalam „ Salbutamol lebih selektif, sehingga
memberikan manfaat subjektif pada episode
tahun sebelumnya. menimbulkan lebih sedikit efek samping
akut, tetapi tidak membantu pada penyakit
„ Ditambahkan macrolide. Pilihan dibanding fenoterol.7
stabil. Obat bronkodilator paling sering
terbaik adalah azithromycin.
diberikan reguler untuk mencegah atau
Pertimbangkan juga perkembangan
mengurangi gejala. Namun, penggunaan LABA (long acting beta2-agonist)
resistensi organisme.
bronkodilator kerja singkat pada basis reguler „ Durasi kerja 12 jam atau lebih
„ Penghentian terapi ICS. Kurangnya
secara umum tidak dianjurkan.1 „ Contoh: Formoterol, salmeterol,
laporan efikasi dan peningkatan risiko
indacaterol, oladaterol, vilanterol
efek samping (termasuk pneumonia)
Bronkodilator yang digunakan pada PPOK (inhalasi)
dan bukti yang tidak menunjukkan
bahaya bermakna penghentian ICS, adalah agonis β2 dan antikolinergik „ Formoterol & salmeterol
(antagonis muskarinik) merupakan
mendukung rekomendasi ini.
LABA yang diberikan dua kali sehari yang
secara bermakna memperbaiki FEV1 dan

267 CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019


TINJAUAN PUSTAKA

volume paru, sesak napas, status


kesehatan, frekuensi eksaserbasi dan
jumlah perawatan di rumah sakit
(Evidence A), tetapi tidak mempunyai
efek dalam penurunan mortalitas dan
fungsi paru.
„ Salmeterol mengurangi risiko perawatan
di rumah sakit (Evidence B).
„ Indacaterol merupakan LABA sekali
sehari dengan durasi kerja 24 jam dan
secara signifikan memperbaiki sesak
na[as, status kesehatan, dan tingkat
eksaserbasi (Evidence A). Namun
beberapa pasien mengalami batuk
setelah inhalasi indacaterol.
„ Oladaterol dan vilanterol merupakan
LABA sekali sehari tambahan yang
memperbaiki fungsi paru dan gejala
PPOK.

2. Antikolinergik/Antagonis Muskarinik
Bekerja memblokade efek bronkokonstriktor
asetilkolin pada reseptor muskarinik M3 yang
diekspresikan pada otot polos jalan napas.
Antikolinergik inhalasi hampir tidak
diabsorpsi sehingga efek samping sistemiknya
lebih rendah dibanding atropine. Secara
umum obat ini relatif aman, dengan efek
samping utama mulut kering. Antikolinergik
terdiri dari

CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019 268


TINJAUAN PUSTAKA

short-acting (SAMA) dan long-acting (LAMA)„ Efek bronkodilator SAMA inhalasi lebih lama Namun pada beberapa pasien dapat
muscarinic antagonist. dibanding SABA menyebabkan efek samping rasa logam
„ Contoh: Ipratropium, oxitropium atau pahit pada lidah.
SAMA (short acting muscarinic antagonist) „ Kajian sistematik dari studi acak dengan
„ Juga bekerja dengan menghambat kontrol menunjukkan bahwa ipratropium LAMA (long acting muscarinic antagonist)
reseptor neuron M2 yang berpotensi memberikan sedikit manfaat lebih „ Mempunyai ikatan yang lama pada
menyebabkan bronkokonstriksi secara dibanding SABA dalam fungsi paru, status reseptor muskarinik M3, dengan
vagal kesehatan, dan kebutuhan steroid oral. disosiasi yang lebih cepat dari reseptor
muskarinik
Tabel 4. Obat farmakologi PPOK2

MDI = metered dose inhaler; DPI = dry powder inhaler; SMI = Soft mist inhaler, * Not all formulations are available in all countries; in some countries other
formulations and dosages may be available , + Dose availability varies by country, ^ Formoterol nebulazed solution is based on the unit dose vial containing 20
mcg in a volume of

269 CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019


TINJAUAN PUSTAKA
2.0
ml,
+
Dose varies by country

M2, sehingga memperpanjang durasi „ Doxofylline mempunyai profil Heightened Cardiovascular Risk
efek bronkodilator keamanan dan tolerabilitas yang lebih (SUMMIT).9
„ Dapat mengurangi eksaserbasi dan baik dan interaksi obat yang lebih „ Studi acak dengan kontrol
perawatan di rumah sakit, memperbaiki rendah dibanding theophylline, relatif menunjukkan bahwa penggunaan ICS
gejala dan status kesehatan (Evidence aman pada pasien jantung atau usia dikaitkan dengan peningkatan
A), serta memperbaiki efektivitas lanjut yang menderita asma bronkial prevalensi kandidiasis oral, suara serak,
rehabilitasi pulmonal (Evidence B). atau PPOK. memar kulit, dan pneumonia.10 Pasien
„ Contoh: Tiotropium, aclidinium, Antiinflamasi1-3,5,6 lebih berisiko pneumonia meliputi
umeclidinium, glycopyrronium bromide Hingga saat ini, eksaserbasi (tingkat perokok, usia > 55 tahun, riwayat
„ Di antara LAMA, tiopropium dan eksaserbasi, pasien dengan minimal sekali eksaserbasi atau pneumonia, indeks
umeclidinium diberikan sekali sehari, eksaserbasi, waktu hingga pertama kali massa tubuh < 25 kg/m2, derajat sesak
sedangkan aclidinium dua kali sehari, mengalami eksaserbasi) mencerminkan MRC buruk dan/atau hambatan aliran
dan glycopyrronium 1-2 kali sehari. endpoint utama yang klinis relevan untuk udara berat.
„ Tiotropium memperbaiki gejala, status menilai efikasi obat antiinflamasi. „ Penggunaan ICS juga dikaitkan dengan
kesehatan, efektivitas rehabilitasi paru, Antiinflamasi yang dapat digunakan pada peningkatan risiko diabetes/kontrol
dan menurunkan eksaserbasi serta PPOK adalah corticosteroid dan diabetes yang buruk, katarak, dan
perawatan di rumah sakit, namun tidak phosphodiesterase-4 inhibitor. Bukti in vitro infeksi mycobacterial termasuk
mempunyai efek pada tingkat menunjukkan bahwa inflamasi terkait PPOK tuberkulosis.
penurunan fungsi paru. mempunyai responsivitas terbatas terhadap „ Terdapat laporan peningkatan
„ Uji klinik juga menunjukkan bahwa efek corticosteroid, namun, beberapa obat eksaserbasi dan/atau gejala, serta
pada tingkat eksaserbasi LAMA seperti agonis β2, theophylline, atau penurunan FEV1 (sekitar 40 mL) pada
(tiotropium) lebih besar dibanding macrolide dapat secara pasial penghentian terapi ICS, pemberian
terapi meningkatkan sensitivitas corticosteroid. bronkodilator kerja panjang dapat
LAMA Data in vivo menunjukkan bahwa kaitan meminimalisasi efek penghentian ICS.
dosisrespons dengan keamanan jangka
3. Derivat Xanthine panjang (>3 tahun) corticosteroid inhalasi 2. Glucocorticoid oral
„ Efek pasti obat golongan ini masih pada pasien PPOK masih belum jelas dan „ Penggunaan glucocorticoid
kontroversi, bisa bekerja sebagai memerlukan penelitian lebih lanjut. sistemik untuk terapi eksaserbasi
penghambat phosphodiesterase akut pada pasien dirawat di
nonselektif, tetapi juga dilaporkan 1. Corticosteroid inhalasi (ICS) rumah sakit, atau selama di unit
mempunyai efek bronkodilator yang „ Corticosteroid yang diberikan reguler gawat darurat, menurunkan
kemaknaannya masih diperdebatkan. dapat memperbaiki gejala, fungsi paru, tingkat kegagalan terapi, tingkat
„ Data mengenai lama kerja pada PPOK kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi relaps, dan memperbaiki fungsi
masih kurang. pada pasien dengan FEV1 diprediksi < paru dan sesak napas, namun
„ Rasio terapeutik derivat xanthine kecil 60%. penggunaannya pada terapi
dan sebagian besar manfaatnya terjadi „ Namun kebanyakan studi telah harian jangka panjang pada PPOK
hanya saat diberikan pada dosis yang menemukan bahwa terapi reguler tidak dianjurkan karena
hampir toksik. Efek samping meliputi dengan corticosteroid inhalasi tidak komplikasi sistemik yang tinggi.11
palpitasi, kejang grand mal, sakit memodifikasi penurunan FEV1 atau „ Glucocorticoid oral dapat
kepala, insomnia, mual, dan nyeri ulu mortalitas jangka panjang pada pasien menyebabkan efek samping
hati. PPOK. seperti miopati steroid,12 yang
„ Obat ini juga berinteraksi signifikan „ Contoh: Fluticasone, Budesonide dapat berkontribusi pada
dengan obat lain seperti digitalis dan „ Dalam studi TORCH terdapat kelemahan otot, penurunan
coumadin. kecenderungan mortalitas lebih tinggi fungsionalitas, dan gagal napas
„ Derivat xanthine juga dapat pada pasien yang diterapi fluticasone pada pasien PPOK yang sangat
meningkatkan risiko overdosis obat ini. propionate saja dibanding pasien yang berat.1
„ Contoh derivat xanthin adalah diterapi plasebo atau kombinasi
theophylline dan doxofylline yang salmeterol plus fluticasone propionate.8 3. Phosphodiesterase-4 inhibitor
diberikan per oral. Namun peningkatan mortalitas tidak „ Kerja utama PDE4 inhibitor adalah
„ Penambahan theophylline pada ditemukan pada pasien PPOK yang mengurangi inflamasi dengan
salmeterol menyebabkan perbaikan diterapi dengan fluticasone furoate menghambat pemecahan C-AMP
FEV1 dan sesak napas yang lebih baik dalam studi Survival in Chronic intraseluler.
dibanding salmeterol saja. Obstructive Pulmonary Disease with

CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019 270


TINJAUAN PUSTAKA

„ Roflumilast merupakan obat plasebo, dan perbaikan ini secara manfaat terapi inhaler tunggal 3 obat
golongan ini yang diberikan sekali konsisten lebih besar dibanding efek dibandingkan dengan terapi LABA/ICS
sehari secara oral. monoterapi bronkodilator kerja pada pasien dengan PPOK lanjut.25
„ Roflumilast tidak mempunyai efek panjang. Kombinasi LABA dengan
bronkodilator langsung, namun LAMA juga menghasilkan perbaikan Obat lain1
bisa menurunkan eksaserbasi yang lebih besar dalam kualitas hidup 1. Antibiotik
sedang dan berat pada pasien dibanding dengan plasebo dan Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa
dengan bronkitis kronik, PPOK bronkodilator tunggal pada pasien penggunaan reguler beberapa antibiotik
berat hingga sangat berat, dan dengan gejala basal yang lebih berat. dapat menurunkan tingkat eksaserbasi
riwayat eksaserbasi, yang diterapi Kombinasi LABA/LAMA dengan dosis PPOK. Azithromycin (250 mg/hari atau 500
dengan corticosteroid sistemik. yang lebih rendah yang diberikan dua mg 3 kali seminggu) atau erythromycin (500
„ Efek pada fungsi paru juga kali sehari juga menunjukkan mg 2 kali sehari) selama 1 tahun pada
tampak jika roflumilast perbaikan gejala dan status pasien yang rentan eksaserbasi, dapat
ditambahkan pada bronkodilator kesehatan pada pasien PPOK.16 menurunkan risiko eksaserbasi dibanding
kerja panjang dan pada pasien perawatan biasa.26,27 Namun penggunaan
yang tidak terkontrol dengan Salah satu studi pada pasien dengan azithromycin dikaitkan dengan peningkatan
kombinasi tetap LABA/ICS. riwayat eksaserbasi menunjukkan kejadian resistensi bakteri dan gangguan
„ Untuk pasien PPOK, PDE4 bahwa kombinasi bronkodilator kerja tes pendengaran, dan tidak ada data
inhibitor mempunyai efek panjang lebih efektif dibanding mengenai efikasi atau keamanan terapi
samping yang lebih besar monoterapi bronkodilator kerja azithromycin kronik (> 1 tahun terapi) untuk
dibanding obat inhalasi, seperti panjang untuk mencegah mencegah eksaserbasi
diare, mual, penurunan nafsu eksaserbasi. Selain itu, studi lain pada PPOK.1,28
makan, penurunan berat badan, pasien dengan riwayat eksaserbasi
nyeri abdomen, ganggun tidur, mengkonfirmasi bahwa kombinasi 2. Mukolitik
dan sakit kepala. Sebaiknya LABA/LAMA menurunkan eksaserbasi Pada pasien PPOK yang tidak mendapat ICS,
dihindari pada pasien kurus dan lebih besar dibanding kombinasi terapi reguler dengan mukolitik seperti
hatihati pada pasien dnegan LABA/ICS.17 carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat
depresi. Efek samping tampaknya
menurunkan eksaserbasi dan sedikit
terjadi pada awal terapi namun 2. Kombinasi LABA/ICSPada pasien memperbaiki status kesehatan.29,30
akan menghilang dengan dengan PPOK sedang hingga sangat
diteruskannya terapi. berat dan eksaserbasi, kombinasi
3. Antitusif
„ Efek samping: mual, menurunkan LABA/ICS lebih efektif dibanding obat
Peranan antitusif pada PPOK masih belum
nafsu makan, sakit perut, diare, tunggal dalam memperbaiki fungsi
jelas.31
gangguan tidur, dan sakit kepala paru, status kesehatan, dan
menurunkan eksaserbasi.18,19 Namun
Terapi Kombinasi1-3 4. Alpha-1 antitrypsin augmentation
studi klinis, gagal menunjukkan efek
therapy
1. Kombinasi bermakna dari terapi kombinasi pada
„ Obat ini diberikan secara intravena
bronkodilatorMengkombinasikan kelangsungan hidup.20.21
untuk meminimalisasi perkembangan
bronkodilator dengan mekanisme
dan progresivitas penyakit paru serta
dan lama kerja berbeda dapat 3. Terapi inhalasi 3 obat
menjaga fungsi dan struktur paru pada
meningkatkan derajat bronkodilatasi Penambahan LAMA pada kombinasi
pasien dengan defisiensi alpha-1
dengan risiko efek samping lebih LABA/ICS dapat memperbaiki fungsi
antitrypsin (AATD).1
rendah dibanding meningkatkan paru dan outcome, khususnya pada
„ Suatu studi observasi menunjukkan
dosis bronkodilator tunggal.13 risiko eksaserbasi.22 Namun uji klinik
adanya penurunan progresivitas
Kombinasi SABA dan SAMA lebih acak dengan kontrol tidak
spirometrik pada pasien yang diterapi
unggul dibanding obat tunggal dalam menunjukkan manfaat penambahan
dengan obat ini dibanding yang tidak,32
memperbaiki FEV1 dan gejala PPOK.14 ICS pada kombinasi LABA/LAMA
dan penurunan tersebut lebih efektif
Terapi dengan formoterol dan dalam hal eksaserbasi.23 Suatu studi
pada pasien dengan FEV1 diprediksi 35-
tiotropium dalam inhaler terpisah tersamar ganda dengan kontrol
49%.33
memberikan dampak yang lebih melaporkan bahwa terapi dengan
besar dibanding obat tunggal.15 „ Bukan atau bekas perokok dengan FEV1
terapi 3 obat mempunyi manfaat
diprediksi 35-60% merupakan
klinis yang lebih besar dibandingkan
Saat ini sudah tersedia kombinasi kelompok pasien yang paling dianjurkan
tiotropium pada pasien dengan PPOK
LABA dengan LAMA dalam satu untuk
simtomatik, FEV1 <50%, dan riwayat
inhaler. Kombinasi ini memperbaiki eksaserbasi.24 Studi tersamar ganda terapi obat ini (Evidence B).1
fungsi paru dibandingkan dengan dengan kontrol lainnya melaporkan

271 CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019


TINJAUAN PUSTAKA
„ T i d a k s e m u a p a s i e
mengalami atau menetap dengan eksaserbasi akut. Sedangkan terapi 2 minggu)
progresivitas spirometrik yang cepat pemeliharaan dengan bronkodilator SIMPULAN
setelah berhenti merokok, sehingga kerja panjang sebaiknya dimulai PPOK adalah penyakit respirasi kronik
obat ini sebaiknya digunakan pada sesegera mungkin sebelum keluar dari dengan adanya hambatan aliran udara
pasien dengan bukti progresivitas yang rumah sakit. progresif, yang berhubungan dengan
terusmenerus dan cepat setelah „ Corticosteroid sistemik dapat peningkatan respons inflamasi kronis
berhenti merokok.34 memperbaiki fungsi paru (FEV1), saluran napas. Hambatan jalan napas pada
„ Obat ini direkomendasikan pada pasien oksigenasi, dan mempersingkat waktu PPOK disebabkan oleh obstruksi saluran
dengan AATD dan FEV1 diprediksi pemulihan dan durasi perawatan di napas dan kerusakan parenkim paru. Rokok
<65%. Namun studi baru-baru ini rumah sakit. Durasi terapi sebaiknya merupakan faktor risiko terpenting
merekomendasikan bahwa semua tidak lebih dari 5-7 hari. sehingga berhenti merokok merupakan cara
pasien dengan bukti penyakit paru „ Antibiotik, jika diindikasikan, dapat yang efektif untuk menurunkan risiko PPOK
progresif sebaiknya dipertimbangkan mempersingkat waktu pemulihan, dan memperlambat progresivitasnya.
untuk penyakit paru terkait AATD, dan menurunkan risiko kekambuhan dini, Tujuan terapi PPOK adalah untuk
FEV1 kegagalan terapi, dan durasi perawatan mengurangi gejala, menurunkan
>65%.1 di rumah sakit. Durasi terapi sebaiknya eksaserbasi, memperbaiki kualitas hidup
tidak lebih dari 5-7 hari. pasien dan kemungkinan menurunkan
„ Methylxanthine tidak mortalitas. Obat farmakologi utama untuk
5. Vasodilator
direkomendasikan karena PPOK adalah bronkodilator seperti agonis
Vasodilator belum dinilai secara tepat pada
meningkatkan profil efek samping. β2 dan antikolinergik (antagonis
pasien PPOK dengan hipertensi paru berat.1
Bila terjadi eksaserbasi berat obat diberikan muskarinik). Bronkodilator kerja panjang
secara injeksi, subkutan, intravena atau per lebih efektif dibanding bronkodilator kerja
Terapi farmakologi pada eksaserbasi1,3
drip, misal:3 singkat untuk terapi pemeliharaan PPOK.
„ Pada eksaserbasi akut PPOK, tujuan
„ Terbutaline 0,3 mL subkutan Kombinasi bronkodilator (agonis β2 dan
terapi adalah meminimalisasi dampak
„ Adrenaline 0,3 mg subkutan antikolinergik) atau kombinasi
negatif dari eksaserbasi yang terjadi
„ Aminophylline bolus 5 mg/kgBB bronkodilator dengan corticosteroid inhalasi
dan untuk mencegah kejadian
(dengan pengenceran) dilanjutkan lebih efektif dalam memperbaiki fungsi
eksaserbasi selanjutnya.
dengan per drip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam paru dibanding monoterapi. Kombinasi 3
„ Penatalaksanaan eksaserbasi akut PPOK
„ Corticosteroid 30 mg/hari dalam 2 obat (LABA, LAMA, dan ICS) dapat
meliputi penambahan dosis
minggu bila perlu dengan dosis memperbaiki fungsi paru dan kualitas
bronkodilator dan frekuensi
diturunkan bertahap (tappering off) hidup, serta menurunkan risiko eksaserbasi
pemberiannya. SABA, dengan atau
„ Antibiotik (minimal 10 hari dapat dibanding kombinasi LABA/ICS atau
tanpa SAMA, direkomendasikan sebagai
sampai LABA/LAMA.
bronkodilator awal untuk terapi
DAFTAR PUSTAKA:
1. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease (2018 report) [Internet]. 2018 [cited 2018 Oct 1].
Available from: https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2017/11/GOLD-2018-v6.0-FINAL-revised-20-Nov_WMS.pdf
2. Young RJ, Murphy KR. Review of the 2009 Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD) guidelines for the pharmacological management of
chronic obstructive pulmonary disease [Internet]. 2009 [cited 2018 Oct 1]. Available from: http://advanceweb.com/web/focus_on_copd/article2.html
3. PPOK. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011.
4. Swift D. COPD: 3.2 million deaths worldwide in 2015 [Internet]. 2017 [cited 2018 Oct 1] Available from:
https://www.medscape.com/viewarticle/884400_print
5. Soeroto AY, Suryadinata H. Penyakit paru obstruktif kronik. Ina J Chest Crit Emerg Med. 2014;1(2):83-8.
6. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2003.
7. Wong CS, Pavord ID, Williams J, Britton JR, Tattersfield AE. Bronchodilator, cardiovascular, and hypokalaemic effects of fenoterol, salbutamol, and
terbutaline in asthma. Lancet 1991;336(8728):1396-9.
8. Calverley PM, Anderson JA, Celli B, Ferguson GT, Jenkins C, Jones PW, et al. Salmeterol and fluticasone propionate and survival in chronic obstructive
pulmonary disease. N Engl J Med. 2007;356(8):775-89.
9. Vestbo J, Anderson JA, Brook RD, Calverley PM, Celli BR, Crim C, et al. Fluticasone furoate and vilanterol and survival in chronic obstructive pulmonary
disease with heightened cardiovascular risk (SUMMIT): A double-blind randomised controlled trial. Lancet. 2016;387(10030):1817-26. doi: 10.1016/S0140-
6736(16)30069-1.
10. Yang IA, Clarke MS, Sim EH, Fong KM. Inhaled corticosteroids for stable chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev
2012;7(7):CD002991.
11. Walters JA, Tan DJ, White CJ, Gibson PG, Wood-Baker R, Walters EH. Systemic corticosteroids for acute exacerbations of chronic obstructive pulmonary
disease. Cochrane Database Syst Rev 2014;(9):CD001288.
12. Manson SC, Brown RE, Cerulli A, Vidaurre CF. The cumulative burden of oral corticosteroid side effects and the economic implications of steroid use. Respir
Med. 2009;103(7):975-94.

CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019 272


TINJAUAN PUSTAKA
13. Cazzola M, Molimard M. The scientific rationale for combining long-acting beta2-agonists and muscarinic antagonists in COPD. Pulm Pharmacol Ther.
2010;23(4):25767.
14. Gross N, Tashkin D, Miller R, Oren J, Coleman W, Linberg S. Inhalation by nebulization of albuterolipratropium combination (Dey combination) is superior
to either agent alone in the treatment of chronic obstructive pulmonary disease. Dey Combination Solution Study Group. Respiration 1998; 65(5):354-62.
15. Tashkin DP, Pearle J, Iezzoni D, Varghese ST. Formoterol and tiotropium compared with tiotropium alone for treatment of COPD. COPD 2009;6(1):17-25.
16. Mahler DA, Kerwin E, Ayers T, FowlerTaylor A, Maitra S, Thach C, et al. FLIGHT1 and FLIGHT2: Efficacy and safety of qva149 (indacaterol/glycopyrrolate)
versus its monocomponents and placebo in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2015;192(9): 1068-79,
17. Wedzicha JA, Banerji D, Chapman KR, Vestbo J, Roche N, Ayers RT, et al. Indacaterol-glycopyrronium versus salmeterol-fluticasone for COPD. N Engl J Med.
2016;374(23):2222-34.
18. Nannini LJ, Lasserson TJ, Poole P. Combined corticosteroid and long-acting beta(2)-agonist in one inhaler versus long-acting beta(2)-agonists for chronic
obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev. 2012;9(9): CD006829.
19. Nannini LJ, Poole P, Milan SJ, Kesterton A. Combined corticosteroid and long-acting beta(2)-agonist in one inhaler versus inhaled corticosteroids alone for
chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev. 2013;8(8):CD006826.
20. Calverley PM, Anderson JA, Celli B, Ferguson GT, Jenkins C, Jones PW, et al. Salmeterol and fluticasone propionate and survival in chronic obstructive
pulmonary disease. N Engl J Med. 2007;356(8):775-89.
21. Vestbo J, Anderson JA, Brook RD, Calverley PM, Celli BR, Crim C, et al. Fluticasone furoate and vilanterol and survival in chronic obstructive pulmonary
disease with heightened cardiovascular risk (SUMMIT): A double-blind randomised controlled trial. Lancet 2016;387(10030):1817-26.
22. Singh D, Brooks J, Hagan G, Cahn A, O’Connor BJ. Superiority of ”triple” therapy with salmeterol/fluticasone propionate and tiotropium bromide versus
individual components in moderate to severe COPD. Thorax 2008;63(7):592-8.
23. Aaron SD, Vandemheen KL, Fergusson D, Maltais F, Bourbeau J, Goldstein R, et al. Tiotropium in combination with placebo, salmeterol, or fluticasone-
salmeterol for treatment of chronic obstructive pulmonary disease: A randomized trial. Ann Intern Med 2007;146(8):545-55.
24. Vestbo J, Papi A, Corradi M, Blazhko V, Montagna I, Francisco C, et al. Single inhaler extrafine triple therapy versus long-acting muscarinic antagonist
therapy for chronic obstructive pulmonary disease (TRINITY): A double-blind, parallel group, randomised controlled trial. Lancet 2017; 389(10082):1919-
29.
25. Lipson DA, Barnacle H, Birk R, Brealey N, Locantore N, Lomas DA, et al. FULFIL Trial: Once-daily triple therapy for patients with chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 2017;196(4):438-46.
26. Uzun S, Djamin RS, Kluytmans JA, Mulder PG, van’t Veer NE, Ermens AA, et al. Azithromycin maintenance treatment in patients with frequent
exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease (COLUMBUS): A randomised, doubleblind, placebo-controlled trial. The Lancet Respiratory
medicine 2014;2(5):361-8.
27. Seemungal TA, Wilkinson TM, Hurst JR, Perera WR, Sapsford RJ, Wedzicha JA. Long-term erythromycin therapy is associated with decreased chronic
obstructive pulmonary disease exacerbations. Am J Respir Crit Care Med. 2008;178(11):1139-47.
28. Albert RK, Connett J, Bailey WC, Casaburi R, Cooper JA Jr, Criner GJ, et al. Azithromycin for prevention of exacerbations of COPD. N Engl J Med.
2011;365(8):689-98.
29. Cazzola M, Calzetta L, Page C, Jardim J, Chuchalin AG, Rogliani P, et al. Influence of N-acetylcysteine on chronic bronchitis or COPD exacerbations: A meta-
analysis. Eur Respir Rev. 2015;24(137):451-61.
30. Poole P, Chong J, Cates CJ. Mucolytic agents versus placebo for chronic bronchitis or chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev.
2015;(7): CD001287.
31. Schildmann EK, Remi C, Bausewein C. Levodropropizine in the management of cough associated with cancer or nonmalignant chronic disease--a
systematic review. J Pain Palliat Care Pharmacother. 2011;25(3):209-18.
32. Chapman KR, Stockley RA, Dawkins C, Wilkes MM, Navickis RJ. Augmentation therapy for alpha1 antitrypsin deficiency: A meta-analysis. Copd. 2009;
6(3):177-84.
33. The alpha-1-antitrypsin deficiency registry study group. Survival and FEV1 decline in individuals with severe deficiency of alpha1-antitrypsin. Am J Respir
Crit Care Med. 1998;158(1):49-59.
34. Stockley RA, Edgar RG, Pillai A, Turner AM. Individualized lung function trends in alpha-1-antitrypsin deficiency: A need for patience in order to provide
patient centered management? Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2016;11:1745-56.

273 CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019

Anda mungkin juga menyukai