DOSEN PENGAMPUH
Ns. Jamal
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3
2020
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara
disaluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK adalah Suatu kondisi dimana aliran udara pada
paru tersumbat secara terus menerus (Arbaningsih. 2020).
B. Etiologi
Pada PPOK terjadi gangguan pada bronkus dan alveolus atau gabungan dari penyakit bronchitis kronis dan emfisema serta
Asthma. Bronchitis kronis yaitu terdapatpembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi,
hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Sedangkan emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Asthma yaitu suatu penyakit pada sistem pernafasanyang menliputi
peradangan dari jalan nafas dan gejala-gejala bronchospasme yangbersifat reversibel (Kusumawati. 2013)
Penyebab lainya munculnya PPOK adalah perokok tembakau, dan faktor lain sebagai pendukungnya. Faktor lain seperti
genetik, perkembangan paru, dan faktor stimulus lingkungan (Decramer (2012).
a. Perokok
b. Terpajan polutan, bahan kimia, kayu, pupuk dari hewan peliharaan, hasil panen, batu bara, pembakaran, kompor listrik. Sebuah
bukti menunjukkan bahwa polutan dari bahan biomas untuk memasak dan menjahit mempunyai faktor resiko yang sidnifikan
terhadap munculnya penyakit paru kronis (PPOK)
c. Faktor lain yang beresiko terhadap munculnya PPOK adalah genetik, abnormalitas dari paru, faktor penuaaan, hiperactivitas
dari bronkial, status sosial ekonomi.
C. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala pada PPOK adalah batuk kronis,sputum produktif, sesak napas, kadang disertai mengi (wheezing), dan
gejala non spesifik berupa lesu, lemas, penurunan berat bedan, serta anoreksia. Batuk kronis merupakan gejala pertama dari
PPOK dan sering diabaikan oleh pasien sebagai akibat dari merokok dan/atau paparan lingkungan. Pada awalnya, batuk muncul
sebentar-sebentar, tetapi selanjutnya dapat muncul setiap hari, kemudian menjadi sering sepanjang hari. Batuk kronis pada PPOK
dapat menjadi produktif atau tidak produktif. Pada beberapa kasus, hambatan aliran udara yang signifikan dapat berkembang
tanpa adanya batuk (GOLD,2019).
D. Patofisiologi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) terjadi karena adanya iflamasi pada saluran pernafasan, parenkim paru, dan system pembuluh
darah pulmonar.Inflamasi sering kali merupakan penyebab dari meningkatnya jumlah dan ukuran kelenjar mucus, sehingga terjadi
peningkatan sekresi kelenjar mucus, serta terganggunya motilitas cilia. Selain itu peningkatan terjadi akibat penebalan sel-sel otot
polos dan jaringan penghubung ( connectivetissue ) pada saluran napas. Inflamasi terjadi pada saluran napas sentral maupun
peripheral. Apabila terjadi inflamasi kronik maka akan menghasilkan kerusakan berulang yang akan menyebabkan luka dan
terbentukya fibrosis paru. Penurunan volume ekspirasi paksa ( FEV1 ) merupakan respon terhadap inflamasi yang terjadi pada
saluran napas sebagai hasil dari abnormalitas perpindahan gas kedalam darah dikarenakan terjadi kerusakan sel parenkim paru.
Kerusakan sel-sel parenkim paru mengakibatkan terganggunya proses pertukaran gas didalam paru-paru, yaitu pada alveoli
dan pembuluh kapiler paru-paru. Penyebaran kerusakan tersebut tergantung pada etiologic penyakit, dimana factor yang paling
umum karena asap rokok mengakibatkan emfisema sentrilobular yang mempengaruhi terutama pada bagian bronkiolus ( Williams
& bourdet, 2014 )
E. Klasifikasi
Menurut Klasifikasi GOLD tahun 2010 menyebutkan kriteria PPOK berdasarkan
klinisnya adalah sebagai berikut12:
Derajat Klinis
PPOK Ringan -Dengan atau tanpa batuk
-Dengan atau tanpa produksi sputum
-Sesak napas derajat sesak 1 sampai
derajat sesak 2
PPOK Sedang -Dengan atau tanpa batuk
-Dengan atau tanpa produksi sputum
-Sesak napas derajat 3
PPOK Berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5
-Eksaserbasi lebih sering terjadi
PPOK Sangat berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan
gagal napas kronik
-Eksaserbasi lebih sering terjadi
-Disertai komplikasi kor pulmonale atau
gagal jantung kanan
F. Prognosis
Tingkat memburuknya PPOK berbeda-beda bergantung pada adanya factor yang memperkirakan hasil buruk termasuk :
gangguan parah disaluran napas, lemahnya kemampuan untuk berolahraga, napas pendek, berat badan berkurang atau bertambah
secara drastic, gagal jantung kongestif, kebiasaan merokok, dan gejala sakit mendadak yang sering terjadi. Hasil jangka Panjang
PPOK dapat diperkirakan dengan menggunakan indeks bode yang memberikan nilai mulai dari 0 hingga sepuluh bergantung pada
FEV1, indeks masa tubuh, jarak yang mampu dicapai dengan kaki selama enam menit, dan skala dispnea MRC yang dimodifikasi.
Berkurangnya berat badan secara signifikan merupakan tanda yang buruk. Hasil spirometry juga merupakan penanda yang baik
untuk perkiraan kemajuan selanjutnya dari penyakit ini meskipun tidak sebagus indeks bode ( Decrame M, Janssens W, Miravitlles
M, 2012 )
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2012) antara lain :
a. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan
tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode remisi
(asma).
b. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi,
untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
c. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema.
d. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
e. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
f. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis
dan asma.
g. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya paling sering PaO2 menurun, dan
PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis,
alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
h. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema),
pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
i. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
j. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
k. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan
atau gangguan alergi.
l. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian
gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
m. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi
bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program latihan.
H. Penatalaksanaan
Pada awalnya tujuan terapi PPOK yang utama adalah meredakan atau menghilangkan gejala penyakit. Saat ini tujuan terapi
PPOK yaitu termasuk juga memperbaiki fungsi paru, dan untuk mencegah terjadinya eksarserbasu. Kebanyakan dari obat-obatan
untuk PPOK adalah secara inhalasi. Standar terapi untuk PPOK termasuk didalamnya yaitu bronkodilator inhalasi, β-agonis atau
antimuskarinik ( antikokolinergik), dan ICS atau Inhaled Corticosteroid ( Kortikosteroid inhalasi ). Sedangkan untuk terapi secara
oral tidak umum digunakan untuk terapi PPOK, yaitu obat golongan methylxanthine ( misalnya teofilin), penghambat
phosphodiesterase-4 ( misalnya roflumilast ), dan kortikosteroid ( misalnya prednisone atau prednisolone ) ( Han & Lazarus, 2016 ).
Pengobatan PPOK dengan menggunakan obat yang diberikan secara inhalasi membutuhkan pengetahuan, kepahaman, dan
kemampuan untuk menggunakan alat inhalasi ( inhaler ). Beberapa alat yang digunakan misalnya metered-dose inhalers ( MDIs ),
dry powder inhaler i( DPIs ). Nebulizer, dan berbagai alat bantu tambahan lainnya. Hak ini perlu diperhatikan mengingat pasien
PPOK memungkinkan untuk memiliki penyakit penyakit penyerta lain ( termasuk keadaan fisik dan mental )yang dapat sangat
mempengaruhi kemampuan pasien dalam menggunakan alat-alat untuk terapi tersebut ( Williams & Bourdet, 2014).
Pilihan terapi yang diberikan untuk pasien PPOK harus bersasarkan pemeriksaan mengenai tingkat keparahan obstruksi
saluran napas, gejala, frekuensi dan beratnya eksaserbasi, dan hambatan fungsional lain pada pasien, termasuk juga mengenai
kemampuan finansial pasien. Pilihan terapi diputuskan tidak hanya berdasarkan tingkat keparahan obstruksi jalan napas, namun juga
berdasarkan pada pedoman dari Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease ( GOLD ) yaitu obstruksi saluran napas
( tingkat GOLD ), berdasarkan persentase FEV 1, gejala ( berdasarkan skala dyspnea dan mMRC atau dari CAT ) serta berdasarkan
resiko eksarserbasi. Dengan metode tersebut pasien akan dikategorikan ke dalam kelas A,B,C, dan D yang selanjutnya dapat
ditentukan terapi yang spesifik yang berdasarkan rekomendasi dari GOLD ( Han & Lazarus, 2016 ). Tabel II.3 menunjukkan
rekomendasi farmakoterapiuntuk PPOK berdasarkan klasifikasi GOLD 2013 yang dapat membantu menentukan manajeman yang
tepat untuk PPOK, dapat digunakan untuk farmakologi pasien secara individual berdasarkan keadaan fungsional spesifik paru-paru
pasien, frekuensi gejala dan tingkat keparahan, serta resiko eksaserbasi ( Williams & Bourdet, 2014 )
a) Bronkodilator
Bronkodilator direkomendasikan untuk semua pasien PPOK. Golongan obat yang termasuk bronkodilator diantaranya β-
Agonis, antimuskarinik ( antikolinergik ), dan methylxantine. Berbeda dengan asma, kerusakan atau obstruksi saluran napas pada
PPOK bersifat irreversibel sedangkan pada asma bersifat reversibel ( Han & Lazarus, 2016 )
b) Kortikosteroid
Saat ini rekomendasi penggunaan kortikosteroid inhalasi atau ICS adalah untuk pasien PPOK dengan resiko eksaserbasi
yang tinggi ( kelompok C dan D ) yang tidak dikontrol dengan bronkodilator inhalasi. Penggunaan ICS diharapkan mampu
mencegah atau memperlambat penurunan FEV1 meredakan gejala, mengurangi perburukan eksaserbasi, dan memperbaiki kualitas
hidup ( Williams & Bourdet, 2014 )
c) Penghambat phosphodiesterase-4
Enzim fosfodiesterase utama yang dapat ditemukan pada sel otot polos saluran napas dan sel inflamasi, dimana enzim
tersebut bertanggung jawab untuk mendegradasi cAMP. Hambatan pada PDE4 akan menghasilkan efek relaksasi otot polos
saluran napas dan menurunkan aktivitas dari sel inflamasi serta mediator seperti TNF-α dan IL-8. Salah satu penghambat PDE4
yaitu roflumilast, yang diterima sejak februari 2011 untuk mengurangi resiko eksaserbasi pada pasien dengan PPOK yang berat.
Ketika digunakan sebagai monoterapi atau terapi tunggal ataupun digunakan sebagai tambahan dalam terapi dengan bronkodilator
inhalasi, obat ini dapat meningkatkan FEV1 walaupun tidak signifikan dan dapat menurunkan terjadinya eksaserbase sampai
sekitar 15%. Pasien PPOK kelas 3 tidak dianjurkan menggunakan roflumilast bersamaan dengan ICS ( William & Bourdet, 2014 )
I. Komplikasi
a. Gagal jantung
Keadaan dimana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan metabolisme tubuh. Terutama gagal jantung kanan
akibat penyakit paru, harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat.
b. Asidosis Respiratory
Adalah penyakit yang dapat timbul karena terjadi peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Biasanya timbul dengan gejala nyeri kepala/
pusing, lesu, dan leleh.
c. Hipoxemia
Merupakan penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi oksigen <85%. Pada awalnya pasien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
d. Cardiac Disritmia
Adalah penyakit yang timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
e. Infeksi pernapasan
Infeksi ini terjadi karena peningkatan produksi mukus yang berlebih, peningkatan rangsangan otot yang polos bronkial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan beban kerja otot pernapasan sehingga timbul dyspnea (Kusumawati. 2013)
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. 1. Pengkajian
a. Identitasklien
Nama : Tidak terkaji
Usia :Tidak terkaji
Jeniskelamin :Tidak terkaji
Agama :Tidak terkaji
Alamat :Tidak terkaji
Pendidikan :Tidak terkaji
Pekerjaan :Tidak terkaji
SukuBangsa :Tidak terkaji
Tanggalmasuk :Tidak terkaji
TanggalKeluar :Tidak terkaji
No. Registrasi :Tidak terkaji
DiagnosaMedis : PenyakitParuObstruktifKronik
b. IdentitasPenganggung Jawab
Nama :Tidak terkaji
Umur :Tidak terkaji
HubungandenganPasien:Tidak terkaji
Pekerjaan :Tidak terkaji
Alamat :Tidak terkaji
c. Keluhan Utama : Tidak terkaji
d. Riwayat Keperawatan
1) Riwayat kesehatansekarang
2) Riwayat kesehatanterdahulu
3) Riwayat kesehatankeluarga
e. Pola Kebutuhan Dasar
1) Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan : tidakterkaji
2) Pola NutrisiMetabolik
Sebelumsakit : Tidak terkaji
Sesudahsakit : Tidak terkaji
f. Pola Eliminasi
BAB
Sebelumsakit : tidakterkaji
Sesudahsakit : tidakterkaji
BAK
Sebelumsakit :tidakterkaji
Sesudahsakit :tidakterkaji
g. Pola Aktivitas dan Latihan
Sebelumsakit :tidakterkaji
Sesudahsakit : tidakterkaji
h. PemeriksaanFisik
1) KeadaanUmum : Sedang
2) Kesadaran : Composmentis
3) Tanda Tanda Vital
Suhu badan :Tidak terkaji
Nadi :Tidak terkaji
RR :Tidak terkaji
TD :Tidak terkaji
4) KeadaanFisik
a) Kepala : Bentukkepalamesocepal, tidakadanyeritekan
b) Leher : Tidakadapembesarankelenjartyroid
c) Dada
i. PemeriksaanParu :tidakterkaji
Inflamasi
2. Bersihan jalan Napas Tidak Efektif (D.0001) 2. Bersihan Jalan Napas 2. Manajemen Jalan Napas 2. Manajemen Jalan Napas
Kategori: Fisiologi (L.01001) (1.01011) (1.01011)
Subkategori: Respirasi Setelah dilakukan Observasi Observasi
- monitor pola napas - untuk mengetahui
Definisi
tindakan keperawatan (frekuensi, kedalaman, permasalahan jalan napas
Ketidakmampuan membersihkan secret atau obstruksi usaha napas) yang dialami dan
selama 3x24 jam - monitor bunyi napas menjaga keefektifan pola
jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap
tambahan (mis. napas pasien
paten
maka bersihan jalan Gurgling, mengi, Terapeutik
napas pada pasien wheezing, ronkhi kering) - untuk membantu
Penyebab
- monitor sputum (jumlah, mengurangi sesak nafas
Fisiologis dapat meningkat, warna, aroma) serta membantu
Terapeutik pengembangan paru
1. spasme jalan napas dengan Kriteria hasil: - pertahankan kepatenan mengurangi tekanan dari
2. hipersekresi jalan napas jalan napas dengan head- abdomen pada diafragma
1. Produksi sputum tilt dan chin-lift (jaw- - untuk memperlancar
3. disfungsi neuromuskuler
thrust jika curiga trauma pernapasan pasien
4. benda asing dalam jalan napas
Menurun (5) servikal) Edukasi
2. Mengi menurun - posisikan semi-flower - untuk mencegah
5. adanya jalan napas buatan
atau flower kurangnya asupan cairan
6. sekresi yang tertelan (5) - berikan minum hangat pasien
- lakukan fisioterapi dada, - untuk mencegah dan
7. hyperplasia dinding jalan napas 3. Wheezing jika perlu mengurangi adanya
8. proses infeksi - lakukan penghisapan dahak pada pasien
menurun (5) lender kurang dari 15
9. respon alergi
detik Kolaborasi
10. efek agen farmakologis (mis. Anastesi) - lakukan hiperoksigenasi - untuk membuat kapasitas
sebelum penghisapan serapan oksigen paru-
Situasional
endotrakeal paru meningkat serta
1. merokok aktif - keluarkan sumbatan membuat proses sekresi
benda padat dengan batuk lender di saluran
2. merokok pasif
forsep McGill pernapasan lebih mudah
3. terpapar polutan - berikan oksigen, jika dilakukan
perlu
Gejala dan Tanda Mayor Edukasi
Subjektif - anjurkan asupan cairan
1. (tidak tersedia) 200 ml/hari, jika perlu
- ajarkan teknik batuk
Objektif efektif
1. batuk tidak efektif Kolaborasi
2. tidak mampu batuk - kolaborasi pemberian
bronkodilator,
3. sputum berlebih ekspektoran, mukolitik,
4. mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering jika perlu
5. meconium di jalan napas (pada neonates)
Russell, R. E., Ford, P,A., Barnes, P.j.,& Russell, S. (2013). Managing COPD. London:
Springer Healthcare Ltd.