Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

1. Definisi PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit kronis umum saluran udara yang ditandai dengan hilangnya fungsi
paru secara bertahap dan progresif. Prevalensi dan mortalitas PPOK telah meningkat secara substansial selama dua dekade
terakhir. Saat ini, PPOK adalah penyebab kematian nomor empat di Amerika Serikat.
2. Etiologi
Faktor resiko dibagi menjadi 2 faktor:
a. Faktor Utama
kecenderungan genetik, mungkin tidak dapat dimodifikasi tetapi penting untuk mengidentifikasi pasien yang beresiko
tinggi terserang penyakit.
b. Faktor Lingkungan
Asap tembakau dan pekerjaan berdebu dan bahan kimia, merupakan faktor yang dapat dimodifikasi, jika dihindari,
mungkin mengurangi risiko perkembangan penyakit.
3. Epidemiologi
a. Data epidemiologi Internasional

b. Data Epidemiologi nasional

Hasil analisis risiko kebiasaan merokok terhadap kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) diperoleh OR
sebesar2,641.Artinya responden perokok mempunyai risiko mengalami PPOK 2 kali lebih besar dibandingkan dengan responden
yang bukan perokok,dengan rentang nilai lower limit( batas bawah) OR =1,139dan upper limit(batas atas)OR =6,123pada
interval kepercayaan (CI) = 95% tidakmencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna. Jika OR < 1 atau OR > 1 dan
rentang CI tidak mencakup nilai 1 maka variabel penelitian merupakan faktor risiko. Dengan demikian kebiasan merokok
merupakan faktor risiko penyakit paru obstruktif kronik di wilayah kerja puskesmas Lepo-lepo Kota Kendari tahun 2017.
Hasil analisis hubungan antara riwayatpenyakitpernafasandenganPPOKmenggunakan uji chi squaremenunjukkan nilai p
(0,000) < α (0,05) sehinggadisimpulkan ada hubungan yang signifikan antarariwayatpenyakit pernafasandengan
kejadianPPOKdi wilayah kerja Puskesmaslepo-lepotahun 2017. Hal ini berdasarkan beberapa faktor resiko :
1) Merokok: Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang11. Perokok aktif dapat meng-
alami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Studi di China menghasilkan risiko relative merokok 2,47 (95%
CI : 1,91-2,94),
2) Polusi indoor: memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahanbakar kayu
dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%
3) Pada studi kasus kontrol yang dilakukan di Bogota, Columbia, pembakaran kayu yang dihubungkan dengan risiko tinggi
PPOK (adjusted OR 3,92, 95 % CI 1,2 –9,1)
4) Polusi outdoor: polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah
Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap pem-bakaran/pabrik/tambang.
5) Di Hongkong sebuah studi kohort pros-pektif menemukan bahwa prevalensi dari kebanyakan gejala sakit pernafasan
mening-kat lebih selama periode 12 tahun dan diperoleh data bahwa prevalensi yang ter-diagnosa emfisema meningkat dari
2,4% -3,1% dengan OR 1,78 (95% CI 1,12 –2,86)
4. Patofisiologi
COPD ditandai oleh perubahan inflamasi kronis yang mengarah pada perubahan destruktif dan pengembangan keterbatasan
aliran udara kronis. Proses inflamasi tersebar luas dan tidak hanya melibatkan saluran udara tetapi juga meluas ke pembuluh
darah paru-paru dan parenkim paru-paru.
Table 29-2 Ciri-ciri Peradangan pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Dibandingkan dengan
Asma
PPOK Asma
sel Neutrofil Eosinofil
Peningkatan besar dalam makrofag Peningkatan kecil dalam makrofag
Peningkatan limfosit T CD8 + Peningkatan limfosit CD4 + TH2
Aktivasi sel mast

Mediator LTB4,IL-8, TNF-α LTD4, IL-4, IL-5 (dan lain-lain)

Konsekuensi Metaplasia skuamosa epitel Epitel rapuh


Penghancuran parenkim Penebalan membran basement
Metaplasia lendir Metaplasia lendir
Pembesaran kelenjar Pembesaran kelenjar
Respon terhadap Glukokortikosteroid memiliki efek Glukokortikosteroid menghambat
pengobatan variable peradangan

5. Manifestasi Klinik
Untuk pasien dengan COPD, kombinasi dari gangguan fungsi paru-paru dan eksaserbasi berulang mempromosikan skenario
klinis yang ditandai dengan dispnea, penurunan toleransi olahraga dan aktivitas fisik, dan deconditioning. Faktor-faktor ini
menyebabkan perkembangan penyakit, kualitas hidup yang buruk, kemungkinan cacat, dan kematian dini. Penting untuk
mengetahui bahwa pasien dengan COPD meninggal karena berbagai penyebab, tidak hanya kegagalan pernapasan. Komplikasi
kardiovaskular, serta kanker paru-paru, adalah penyebab utama kematian pada pasien dengan COPD.
6. Gejala
Gejala PPOK, diantaranya adalah:
a.Peningkatan volume dahak
b. Dispnea yang semakin memburuk
c.Ketat dada
d. Adanya dahak purulen
e.Meningkatnya kebutuhan akan bronkodilator
f. Malaise, kelelahan
g. Menurunkan toleransi olahraga

7. Guideline PPOK
8. Terapi PPOK
Penata-laksanaan PPOK untuk mengurangi gejala berupa terapi Farmakologi dan non Farmakologi.
a. Terapi Farmakologi
Pemberian bronkodilator golongan beta-2 agonis atau anti-kolinergik; teofilin yang berfungsi meningkatkan faal paru
serta mengurangi keletihan; kortikosteroid serta antibiotika diberikan apabila mengalami infeksi (Rab, 2010).
b. Terapi Non- Farmakologi
Berhenti merokok, latihan dan rehabilitasi paru berupa latihan fisik dan latihan napas khusus serta bantuan psikis, dan
asupan nutrisi yang adekuat (Djojodibroto, 2009).

KASUS
Seorang wanita 57 tahun dengan riwayat PPOK yang panjang, sedang membangun perawatan. Dia khawatir tentang rawat inap
berulang karena masalah paru-paru. Dia telah ke UGD lima kali dalam setahun terakhir dan dirawat dua kali karena episode batuk
yang memburuk, produksi dahak, dan dispnea. Rasio VEP1/KVP terbarunya adalah 0,46, dan VEP1 absolutnya adalah 45% dari yang
diperkirakan. Dia saat ini menggunakan tiotropium satu kepulan (18 mcg) dan inhaler albuterol sesuai kebutuhan untuk sesak napas.
Dia menggunakan oksigen pada 2 L/menit saat tidur (∼8 jam/malam). Dia adalah mantan perokok, 50 bungkus pertahun, tetapi
berhenti 2 tahun yang lalu.
1. Perubahan apa dalam pengobatan yang bias anda rekomendasikan?
2. Apa terapi non farmakologi yang harus direkomendasikan pada saat ini?
3. Kapan dia harus menghentikan terapi?

PENYELESAIAN KASUS
1. Perubahan dalam pengobatan yang direkomendasikan
Pasien memiliki riwayat PPOK yang panjang dan telah rawat inap berulang karena mengalami eksaserbasi yang ditandai
dengan episode batuk yang memburuk, produksi dahak, dan dispnea. Rasio VEP 1/KVP terbarunya adalah 0,46, dan VEP1
absolutnya adalah 45% dari yang diperkirakan. Sehingga dari pernyataan tersebut diketahui bahwa pasien tergolong memiliki
PPOK yang berat. Hal ini berdasarkan literatur GOLD (2018) mengenai klasifikasi derajat hambatan aliran udara pada PPOK
yang terdapat pada tabel berikut:

Sehingga perlu adanya perubahan dalam pengobatan yang bertujuan untuk mengurangi keparahan eksaserbasi. Diketahui
bahwa pasien telah mengonsumsi tiotropium satu kepulan (18 mcg) dan inhaler albuterol. Dimana tiotropium termasuk
golongan Long-Acting Anticholinergics (LAMA) dan albuterol termasuk golongan Short-Acting β2-Agonists (SABA). Menurut
Dipiro (2009), untuk pasien dengan VEP1 kurang dari 50% dan yang sering mengalami eksaserbasi, kortikosteroid inhalasi
(ICS) harus dipertimbangkan. Oleh karena itu ada beberapa pilihan dalam perubahan terapi yaitu:
1. Tiotropium (LAMA) + ICS + LABA
2. Tiotropium (LAMA) + ICS
Kedua pilihan memiliki efektivitas yang sama namun data menunjukkan bahwa terapi tiotropium inhalasi dan kombinasi
inhalasi dan kortikosteroid B2-agonis kerja panjang mungkin memiliki manfaat yang lebih signifikan (Dipiro, 2009)
Perubahan pengobatan tersebut juga mengacu pada literatur GOLD (2018) mengenai pilihan penatalaksanaan berdasarkan
penilaian terhadap gejala dan faktor risikonya yang dibagi menjadi empat kelompok sebagai berikut (GOLD, 2018):
1. Kelompok A : SAMA atau SABA
2. Kelompok B : LAMA atau LABA
3. Kelompok C : ICS + LABA atau LAMA
4. Kelompok D : ICS + LABA dan/atau LAMA
Keterangan :
LABA : Long Acting Beta 2 Agonis
LAMA : Long Acting Muskarinik Antagonis
SABA : Short Acting Beta 2 Agonis
SAMA : Short Acting Muskarinik Antagonis
ICS : Inhaled Corticosteroid
2. Terapi non farmakologi yang harus direkomendasikan pada saat ini, yaitu
1) Penghindaran atau pengurangan paparan faktor-faktor risiko seperti asap rokok
2) Latihan olahraga bersama dengan penghentian merokok, latihan pernapasan seperti olahraga renang, pengobatan optimal
perawatan, dukungan psikososial, dan pendidikan kesehatan untuk mengurangi gejala dispnea dan kelelahan
3) Penggunaan terapi oksigen dan dilakukan pengontrolan (pada kasus ini pasien telah menggunakan oksigen)
4) Melakukan perawatan psikoedukasi (seperti relaksasi) dan dukungan nutrisi
3. Kapan pasien harus menghentikan terapi?
Apabila pasien telah mengalami perbaikan tanda dan gejala, maka tatalaksana terapi tetap dilanjutkan namun dapat
dikurangi dosis jika mungkin.
HASIL DAN PEMBAHASAN DISKUSI
1. Nama Penanya : Ibu Dizky
Nama Penjawab : Tiansi Permata Hati Eda (821417058)
Pertanyaan : Apakah triotropium dipakai bersamaan dengan albuterol pada kasus ini?
Pembahasan : Pada kasus diatas, obat tiotropium dan albuterol digunakan secara bersamaan. Hal ini sesuai literatur
Lorensia (2013) yang menyatakan bahwa kombinasi kedua obat ini merupakan inhaler kombinasi kerja
singkat yang dapat digunakan hanya ketika diperlukan atau secara teratur, tergantung pada frekuensi dan
keparahan gejala.
2. Nama Penanya : Ibu Dizky
Nama Penjawab : Hasnian Arifin (82141705 dan Yulanda Roring (821417068)
Pertanyaan : Apa sajakah Golongan LABA, LAMA, SABA, dan ICS?
Pembahasan : a. Golongan SABA : Albuterol, Levelbuterol, Ributerol, Salbutamol, Metaproterenol, Isoetharine,
Isoproterenol dan Epinefrin
b. Golongan LABA : Formoterol, Salmeterol, Arformoterol
c. Golongan LAMA : Tiotropium
d. Golongan SAMA : Ipratropium
3. Nama Penanya : Ibu Dizky
Nama Penjawab : Gabrilia Geaby Roring (821417075)
Pertanyaan : Apakah Olahraga renang merupakan olahraga yang cocok untuk pasien PPOK?
Pembahasan : Menurut Nearimas tuon (2018), Berenang dengan gerakan tubuh akan mendorong air dengan
anggota tubuh terutama tangan dan kaki, dapat memicu aliran darah ke jantung, pembuluh
darah dan paru- paru. Sangat dianjurkan bagi orang yang mempunyai gangguan pada
pernafasan karena sistem kardiovaskular dan pernafasan dapat menjadi kuat.
4. Nama Penanya : Ibu Dizky
Nama Penjawab : Intan Daud (821417102)
Pertanyaan : Apa saja nutrisi yang diperlukan untuk pasien PPOK ?
Pembahasan : Edukasi pendidikan kesehatan dini pada pasien dan keluarga bertujuan meningkatkan pemahaman
mengenai penyakit asma dan PPOK secara umum dan pola penyakitnya, meningkatkan kemampuan
dalam penanganan penyakit asma dan PPOK secara mandiri, meningkatkan kepatuhan dalam
penanganan penyakit asma dan PPOK secara mandiri, membantu pasien untuk mengontrol
penyakitnya, meningkatkan kepuasan, serta meningkatkan rasa percaya diri. Komunikasi yang baik
merupakan kunci untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Bentuk edukasi dapat diberikan dalam
berbagai media komunikasi baik langsung maupun tidak langsung. Selain itu pengukuran sendiri
PEFR menggunakan Peak Flow Meter juga dibutuhkan untuk terapi non farmakologi asma dan
PPOK (Depkes RI, 2007).
5. Nama Penanya : Ibu Dizky
Nama Penjawab : Muh.Nurfadli Allade (821417090)
Pertanyaan : Pendidikan kesehatan disini maksudnya apa?
Pembahasan : Menurut Mueller (2004), Sebagaimana makronutrien, kebutuhan vitamin dan mineral pasien PPOK stabil
tergantung patofisiologi penyakit paru yang mendasari, penyakit lain yang terjadi bersamaan, terapi
medis, status gizi, dan BMD. Untuk perokok, tambahan vitamin C mungkin diperlukan. Penelitian
menunjukkan bahwa orang merokok 1 bungkus sehari membutuhkan lebih vitamin C 16 mg sehari,
sedangkan yang merokok 2 bungkus memerlukan 32 mg sebagai pengganti.
6. Nama Penanya : Ibu Dizky
Nama Penjawab : Febyani Indrayaningsih Putri (821417075)
Pertanyaan : Penggunaan vape bagaimana? Perbedaannya dengan perokok apa?
Pembahasan : Menurut Damayanti (2016), penggunaan vape masih dapat dikatakan aman apabila jenis vape yang
digunakan tidak mengandung bahan nikotin. Ada dua jenis vape yaitu vape yang mengandung bahan
tidak toksik serta aroma tembakau dan vape yang mengandung nikotin baik dalam jumlah besar maupun
kecil. Apabila seseorang menggunakan vape dengan kandungan nikotin didalamnya dalam waktu yang
cukup lama, maka orang tersebut tetap beresiko mendapatkan PPOK. Menurut Kusumawardani (2017),
hal ini karena semakin lama keterpajanan terhadap nikotin, semakin besar risiko adiksinya dan semakin
besar risiko dampak negatif nikotin terhadap kesehatan, termasuk risiko seperti gangguan pernafasan,
fungsi paru, serta penyakit sistem sirkulasi.
7. Nama Penanya : Silvany Angreainy P. Zain (821417088)
Nama Penjawab : Intan Daud (821417102)
Pertanyaan : kenapa di afrika tingkat PPOK lebih tinggi dibandingkan negara lain?
Pembahasan : karena faktor lingkungan di afrika yang kurang baik. Selain itu, afrika merupakan negara dengan
produksi rokok terbanyak sehingga rentan terkena penyakit PPOK
8. Nama Penanya : Jumriani Rannu (821417079)
Nama Penjawab : Febyani Indrayaningsih Putri (821417058)
Pertanyaan : kenapa di negara maju lebih rentan terkena PPOK dibandingkan negara berkembang?
Pembahasan : Karena negara maju dari segi ekonomi, industry dan pabrik lebih banyak daripada negara berkembang.
Oleh karena itu, negara maju lebih banyak faktor pemicu terjadinya PPOK daripada negara berkembang.
9. Nama Penanya : Beby Bestari (821417077)
Nama Penjawab : Gabrilia Geaby Roring (821417075)
Pertanyaan : Apakah perokok pasif beresiko terkena PPOK?
Pembahasan : Ya, perokok pasif beresiko terkena PPOK karena asap rokok merupakan salah satu faktor pemicu dari
terjadinya PPOK dilihat dari segi faktor lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai