Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan infeksi virus yang menyebabkan


manifestasi saluran napas berupa batuk, sesak napas serta gejala umum berupa demam dan
ketidaknyamanan. Infeksi bermula dari Tiongkok pada akhir tahun 2019 dan merebak sampai
tingkat dunia sehingga dinyatakan sebagai pandemi COVID-19 hingga saat ini. Virus
merupakan jenis ribonucleic acid (RNA) dengan struktur khas untuk menempel pada sel
sehingga memudahkan virus untuk menginfiltrasi dan menduplikasi hingga mencapai fase
infeksi dalam masa inkubasi selama 14 hari dari paparan. Virus masuk ke Indonesia pada
Maret 2020 dan berdasarkan data per 31 Desember 2020, kasus COVID-19 mencapai
743.196 kasus. Angka kematian akibat COVID-19 adalah 22.138 kasus dan sembuh 611.097
kasus.[1]
Acute Respiratory Distress Syndrome adalah kejadian gagal napas yang disebabkan
oleh cedera jaringan paru yang bermanifestasi kepada rusaknya alveolus dan gangguan
pemenuhan oksigen perifer. Kasus ARDS dilaporkan mencapai 7,2 – 34 dari 100.000
penduduk global per tahun. Angka fatalitas ARDS cukup tinggi dengan estimasi 60% serta
mortalitas mencapai 35%. Penyebab tersering ARDS adalah pneumonia diikuti oleh sepsis
dan penyebab lainnya. Infeksi COVID-19 merupakan salah satu penyebab pneumonia yang
berpotensi memberat dengan cepat sebagai akibat dari rusaknya alveolus sehingga terjadi
gangguan fungsi pernapasan.[2]
Tatalaksana COVID-19 dengan ARDS adalah dengan bantuan oksigenasi yang dimulai
dari tatalaksana nonvasif hingga invasif sesuai dengan respon pasien. Tatalaksana dilakukan
sesuai stratifikasi gejala ARDS dari ringan, sedang dan berat. Kondisi ARDS ringan
dipertimbangkan untuk memulai tatalaksana noninvasif dengan modalitas oksigen
suplementasi melalui nasal kanul, sungkup hingga high-flow nasal oxygenation. Pilihan
lainnya adalah ventilasi noninvasif yang memiliki prinsip pemberian tekanan positif pada
saluran napas sehingga udara lebih banyak masuk. Pilihan terakhir adalah invasif dengan
intubasi hingga extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Posisi pasien
mempengaruhi hasil pengobatan, dimana dengan posisi pronasi atau telungkup meningkatkan
ekspansi paru hingga udara lebih mudah masuk saluran napas.[3]

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)

Virus Corona merupakan etiologi dari infeksi saluran napas mulai dari epidemi severe
acute respiratory syndrome (SARS-CoV) di Tiongkok pada tahun 2002, middle east
respiratory syndrome (MERS-CoV) di Saudi Arabia pada tahun 2012, hingga COVID-19
yang muncul pertama kali di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada akhir tahun 2019.
Infeksi virus dari Wuhan tersebut dinyatakan sebagai pandemi, yaitu level epidemiologi yang
meluas lintas negara hingga benua pada Februari 2020. Pandemi tersebut menghasilkan kasus
pertama di Indonesia pada bulan Maret 2020 dengan kasus yang bertambah hingga saat ini.
Infeksi virus yang memiliki gejala yang mirip dengan epidemi SARS-CoV 2002
menyebabkan World Health Organization merancang nama pandemi sebagai SARS-CoV-2,
namun terminologi diubah menjadi COVID-19. Isolat virus diidentifikasi pada pengunjung
pasar ikan di Wuhan dan diduga penularan melalui kelelawar, namun infeksi bertransformasi
menjadi infeksi sesama manusia dengan modalitas transmisi droplet saluran napas.[1]

Gambar 1. Penularan SARS-CoV-2 dimulai dari zoonotik, diikuti manusia ke manusia,


infeksi melalui transfusi dan transplasental masih belum diketahui[4]

Virus yang menyebabkan COVID-19 adalah SARS-CoV-2, virus tipe ribonucleic acid
(RNA) yang termasuk dalam famili Coronaviridae, subfamili Orthocoronavirinae,
merupakan satu dari tujuh famili yang mampu menginfeksi manusia sehingga berperan dalam
manifestasi saluran napas selama fase infeksi berlangsung. Virus lain yang merupakan famili
yang sama dengan SARS-CoV-2 adalah CoV 229E, HCoV-NL63, HCoV-OC43, HCoV-
HKU1, SARS-CoV, dan MERS-CoV. Virus ini termasuk ordo Nidovirales, dengan empat

2
subspesies yang terdiri dari Alphacoronavirus, Betacoronavirus, Gammacoronavirus dan
Deltacoronavirus yang saat ini termasuk dalam varian – varian COVID-19. Gejala yang
timbul pada tubuh penderita berkisar dari gejala batuk dan demam ringan hingga gejala berat
seperti gagal napas yang membutuhkan tatalaksana noninvasif hingga invasif.[4]

Struktur khas SARS-CoV-2 adalah glikoprotein S (spike) yang menonjol di permukaan


virus dengan jumlah multipel sehingga memberikan bentuk corona (crown; mahkota). Fungsi
dari protein tersebut adalah untuk melekatkan virus dengan permukaan seluler inang melalui
mekanisme interaksi dengan reseptor seluler. Protein ini melalui analisis biomolekuler
menunjukkan terdapat dua subunit yang terdiri dari protein S1 dan S2. Subunit protein S1
berperan dalam berikatan dengan reseptor sel, sedangkan S2 akan melanjutkan dengan
aktivitas fusi atau penggabungan materi genetik. Virus akan berikatan dengan reseptor
angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) yang dijumpai pada sejumlah organ visera seperti
paru, ginjal, jantung, dan lain-lain. Protein S bersama dengan dua protein protein M
(membrane) dan E (envelope) akan membentuk kelompok protein mayor, serta satu protein
lainnya yaitu protein N. Peran protein M adalah berikatan dengan nukleokapsid sel yang
menginduksi virus untuk memulai fusi. Protein E merupakan polipeptida membran yang
berperan sebagai viroporon atau kanal ion sehingga ketika protein ini tidak aktif, maka
virulensi SARS-CoV-2 menurun. Protein lain adalah protein N (nucleocapside) berperan
sebagai penunjang protein M dan berhubungan dengan transkripsi virus. Struktur virus
tersebut diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut.[4,5]

Gambar 2. Struktur SARS-CoV-2[4]

Virus masuk ke dalam sel melalui jalur endosom dan non-endosom. Jalur endosom
dimulai ketika protein S berikatan dengan reseptor ACE2 dibantu oleh transmembrane
protease serine 2 (TMPRSS2) hingga virus berhasil menempel di membran sel. Jalur non-
3
endosom dimulai ketika virus berhasil memasuki sitoplasma dan memulai translasi serta
replikasi, menyebabkan materi genetik RNA keluar bersama dengan nukleokapsid ke dalam
retikulum endoplasma sel. Virus baru akan memulai proses pembentukan di dalam retikulum
endoplasma yang berlanjut ke dalam aparatus Golgi. Virus yang telah terbentuk akan
mengalami eksositosis ke daerah ekstraseluler untuk menginfeksi sel lainnya hingga
membentuk respon imunitas alami (innate) dan adaptif. Mekanisme tersebut dipaparkan
dalam ilustrasi berikut.[5,6]

Gambar 3. Mekanisme masuknya SARS-CoV-2 ke dalam sel[6]

Diagnosis COVID-19 dimulai dari anamnesis yang akan menelusuri gejala dan riwayat
kontak. Hasil anamnesis akan dipertimbangkan dalam stratifikasi gejala COVID-19 mulai
dari kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi, dan kontak erat. Derajat sakit
diklasifikasikan menjadi tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, gejala berat dan kritis.
Kasus suspek merupakan penderita yang masuk dalam satu kriteria klinis dan satu kriteria
epidemiologi. Kriteria klinis adalah demam akut dan dijumpai lebih dari 3 gejala lain seperti
batuk, kelelahan, sakit kepala, anosmia, ageusia, coryza, sesak napas, mual muntah dan diare.
Kriteria epidemiologi adalah riwayat tinggal atau bekerja di daerah rentan dengan curiga
transmisi lokal atau pekerja di sektor kesehatan seperti tenaga medis dan penunjang dalam 14
hari terakhir. [1]

Kasus probable harus memenuhi kontak dengan penderita probable, terkonfirmasi atau
masuk dalam kluster COVID-19. Kriteria kasus probale lainnya adalah kasus suspek dengan
gambaran radiologi khas, gejala COVID-19 seperti anosmia dan ageusia akut serta distres
napas tanpa penyebab yang jelas. Kasus konfirmasi adalah penderita yang telah didiagnosis
dengan konfirmasi hasil pemeriksaan reversible transcriptase polymerase chain reaction (rt-
PCR) baik asimptomatik maupun dengan gejala. Kontak erat adalah individu yang kontak
dengan penderita probable atau terkonfirmasi tanpa masker dengan jarak 1 meter sekurang-
4
kurangnya 15 menit. Sentuhan fisik dan riwayat merawat penderita terkonfirmasi COVID-19
dapat dikategorikan kontak erat dan dapat dilakukan tracing untuk mencegah risiko
penularan.[1]

Diagnosis COVID-19 yang ditetapkan sebagai baku emas (gold standard) adalah
pemeriksaan swab PCR. Pemeriksaan terdiri dari satu hingga dua kali pemeriksaan dalam
rentang 24 jam, namun jika hasil pemeriksaan pertama PCR positif, maka pemeriksaan hanya
satu kali. Penderita COVID-19 tanpa gejala dan gejala ringan tidak membutuhkan PCR
follow up namun diinstruksikan untuk isolasi mandiri di rumah selama 10 hari terhitung dari
hasil swab PCR reaktif. Namun, pada penderita gejala sedang, berat dan kritis mendapatkan
fasilitas rawatan isolasi di rumah sakit selama 10 hari, melanjutkan swab PCR hari ke-10 dan
dapat dipulangkan setelah 3 hari bebas gejala dan PCR follow up negatif. Prinsip pemeriksaan
PCR adalah identifikasi struktur RNA virus dengan menentukan nilai Prinsip pemeriksaan
PCR adalah identifikasi struktur RNA virus dengan menentukan nilai cycle treshold (nilai
CT) untuk menentukan hasil swab PCR. Alur pemeriksaan dan isolasi penderita COVID-19
mengikuti protokol sebagai berikut.[1]

Gambar 4. Alur penatalaksanaan COVID-19[1]

Penatalaksanaan penderita COVID-19 berbeda antara gejala ringan, sedang, berat dan
kritis yang dimulai dari tatalaksana nonfarmakologi, medikamentosa, penatalaksanaan
noninvasif hingga penatalaksanaan invasif. Penatalaksanaan nonfarmakologi mencakup
edukasi isolasi mandiri dengan cara yang benar, mencukupi kebutuhan nutrisi dan cairan,
istirahat dengan cukup, berjemur di pagi hari, mencuci tangan dan tetap menjaga jarak serta

5
menggunakan masker. Tatalaksana medikamentosa mengikuti gejala atau simptomatis serta
suplementasi vitamin untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Antibiotik, antivirus dan steroid
diberikan sesuai dengan indikasi dan memerlukan pemantauan ketat oleh dokter yang
menangani. Seluruh tatalaksana penderita COVID-19 mengikuti tabel rekomendasi sebagai
berikut.[1]

Tabel 1. Rekomendasi penatalaksanaan COVID-19[1]

Gejala Antivirus Antiinflamasi Vitamin Lainnya


Ringan Oseltamivir atau Belum Vitamin C Oksigen arus
Favipiravir Vitamin D rendah
Vitamin E
Sedang Favipiravir atau Anti IL-6 Vitamin C Plasma
Remdesivir Vitamin D konvalesen, sel
Vitamin E punca
Oksigen arus
sedang-tinggi
Berat Favipiravir atau Anti IL-6 Vitamin C Plasma
Remdesivir Vitamin D konvalesen, sel
Vitamin E punca, IVIG
Oksigen melalui
NIV atau HFNC
Kritis Favipiravir atau Anti IL-6 Vitamin C Sel punca
Remdesivir Vitamin D Oksigen melalui
Vitamin E ECMO atau
metode invasif
lainnya

Identifikasi penderita yang memerlukan tatalaksana bantuan napas dengan ventilator


noninvasif dan invasif dimulai dari pemeriksaan generalisata mengenai survey primer.
Penderita yang memiliki gangguan jalan napas, sesak napas dan tanda hipoksemia dengan
kondisi laju napas lebih dari 30 kali per menit, saturasi oksigen kurang dari 93% hingga
penurunan kesadaran harus dimulai terapi oksigen via nasa kanul hingga non-rebreathing
mask (NRM) dan target saturasi oksigen mencapai 96%. Kondisi yang memburuk dibantu
dengan high flow nasal canulle (HFNC) serta posisi pronasi serta evaluasi setiap satu jam.
Kondisi upaya napas yang memburuk dapat dipertimbangkan mendapatkan tatalaksana
invasif untuk mengurangi morbiditas serta mortalitas selama rawatan.[1]

6
Gambar 5. Algoritma penentuan tatalaksana bantuan napas[1]

2.2 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah kejadian gagal napas berat
disertai hipoksemia yang berhubungan dengan respon inflamasi di ujung terminal saluran
napas yaitu alveolus sehingga mengganggu proses difusi. Insidensi ARDS adalah 7%-10%
dari seluruh kunjungan pasien ke unit gawat darurat. Penderita ARDS yang dirawat di ruang
intensif memiliki angka mortalitas yang cukup tinggi dengan estimasi 30% - 50% yang
berhubungan dengan lambatnya penanganan akibat gejala yang tidak khas hingga tatalaksana
yang masih belum optimal. Kasus ARDS telah diidentifikasi selama 50 tahun ini, disebabkan
oleh tingginya aktivitas inflamasi dan produksi sitokin.[7]

Etiologi tersering dari ARDS adalah pneumonia diikuti dengan sepsis dan aspirasi.
Faktor risiko tersering adalah pria usia lanjut (lebih dari 65 tahun), riwayat alkoholisme dan
malnutrisi. Etiologi ARDS akibat pneumonia tersering adalah oleh bakteri Streptococcus
pneumoniae dan Staphylococcus aureus diikuti oleh virus influenza tipe A dan jamur
Pneumocystis jirovecii. Gambaran klinis ARDS yang umum dijumpai adalah sesak dan
hipoksemia yang memberat dengan cepat. Kejadian hipoksemia yang memburuk dalam fase
akut berhubungan dengan temuan patologi berupa diffuse alveolar damage (DAD) atau
kerusakan alveolus difus.[7]

7
Patofisiologi ARDS dimulai dari etiologi baik oleh infeksi bakteri dan virus, cedera
akibat ventilator (ventilator induced lung injury; VILI), dan hiperoksia menyebabkan struktur
alveolus yang bulat mengalami reduksi akibat kerusakan seluler. Paparan berulang etiologi
tersebut menyebabkan inflamasi berulang sehingga jumlah alveolus berkurang dan tidak
beregenerasi. Inflamasi menyebabkan sintesis Toll-like receptor pada sel alveolus tipe II
untuk mengeluarkan makrofag dan menyebabkan sel – sel imunitas bersirkulasi di kavitas
udara alveolus. Kerusakan endotel akibat akumulasi leukosit di alveolus menyebabkan
radang pada alveolus, permeabilitas kapiler bertambah dan akumulasi cairan ekstraseluler
menekan kerja alveolus hingga menyebabkan gagal difusi.[2,8]

Gambar 6. Patofisiologi ARDS[8]

2.3 Hubungan COVID-19 Dengan Kejadian ARDS

Infeksi Coronavirus yang menyebabkan pandemi COVID-19 memiliki kesamaan


dengan infeksi virus sejenis dalam epidemi SARS-CoV dan MERS-CoV. Analisis genetika

8
menunjukkan bahwa COVID-19 memiliki kesamaan dengan SARS-CoV dibandingkan
MERS-CoV. Perbedaan COVID-19 dengan SARS-CoV adalah periode inkubasi, derajat
penyakit dan kemampuan transmisi. Tiga jenis infeksi tersebut memiliki manifestasi saluran
napas mulai gejala ringan hingga berat yang dikenal sebagai ARDS. Penyebab kematian
tertinggi penderita COVID-19 adalah akibat ARDS. Angka kematian per Desember 2020
adalah 1,7 juta kasus dari insidensi 77,4 juta kasus.[9]

Virus SARS-CoV-2 yang masuk ke tubuh penderita melalui droplet saluran napas yang
menginfiltrasi reseptor ACE2 hingga masuk sel alveolus tipe 1 dan 2. Penelitian
menunjukkan bahwa virus lebih mudah dan agresif menyerang sel alveolus tipe 2 daripada
tipe 1 dimana sel alveolus tipe 2 berperan dalam produksi surfaktan. Permeabilitas vaskular
yang meningkat akibat sitokin inflamasi yang bersirkulasi meningkat menyebabkan cairan
intravaskular masuk ke interstisial parenkim paru. Hal ini menyebabkan edema difus dan
menekan alveolus hingga merusak strukturnya dan menghambat proses difusi oksigen dan
karbondioksida. Jumlah oksigen yang berkurang akan menyebabkan hipoksemia dan lesi
parenkim paru tergambar sebagai infiltrat dan gambaran ground glass appearance.
Mekanisme tersebut diilustrasikan dalam skema sebagai berikut.[9]

Gambar 7. Skema paparan infeksi SARS-CoV-2 hingga ARDS[9]

9
Masalah ARDS yang terjadi saat infeksi COVID-19 dimulai dari stimulasi makrofag,
sel dendritik dan monosit yang mengaktivasi sintesis sitokin yang berjumlah sangat banyak.
Sitokin – sitokin tersebut adalah interleukin 1 (IL1), IL6, IL10, tumor necrosis factor alpha
(TNF-α), tumor necrosis factor beta (TNF-β), dan sintesis dari feritin. Hal ini menyebabkan
terjadinya eosinopenia dan limfositopenia. Seluruh sitokin inflamasi yang telah beredar
dalam jumlah besar akan menginfiltrasi parenkim paru dan saluran napas hingga alveolus.
Aktivitas inflamasi di alveoli akan mengganggu pasase udara dan menghambat difusi yang
menyebabkan hipoksemia dan keluhan penyerta hingga menyebabkan kejadian ARDS.
Inflamasi berlangsung dengan melibatkan sirkulasi sistemik sehingga berisiko menyebabkan
gagal multiorgan, disregulasi vaskular serta koagulopati yang menyebabkan perburukan
kondisi klinis penderita COVID-19 dengan komorbiditas. Temuan lain hasil pemeriksaan
penderita COVID-19 dengan ARDS yang dirawat di ruang intensif berupa stimulasi sel
mononuklear perifer yang meningkatkan sintesis CD4+ dan CD8+.[10,11]

Gambar 8. Mekanisme sintesis sitokin inflamasi oleh virus RNA termasuk COVID-19[10]

Penatalaksanaan pada ARDS yang berhubungan dengan pneumonia COVID-19 adalah


memberikan bantuan napas dengan intervensi noninvasif hingga invasif. Penderita yang
memiliki saturasi oksigen 88%-92% memiliki mortalitas yang lebih tinggi sehingga
penanganan ARDS dilakukan secara agresif untuk meningkatkan angka survival. Penanganan
pada ARDS derajat ringan umumnya dengan terapi noninvasif dengan oksigen nasal kanul
atau sungkup, hingga high-flow nasal oxygenation (HFNO), sedangkan terapi invasif
dilakukan pada ARDS gejala sedang hingga berat. Posisi pronasi (telungkup) diketahui dapat
menjadi upaya untuk ekspansi paru lebih luas untuk oksigenasi lebih baik. Posisi ini dapat
dilakukan pada kondisi hemodinamik stabil untuk mencegah kejadian hambatan pasase udara
pada alat bantuan napas akibat penekanan tubuh yang akan meningkatkan angka kematian.
[7,12]

10
Gambar 9. Alur penatalaksanaan bantuan napas ARDS akibat COVID-19[7]

2.4 Intervensi Pasien COVID-19 Dengan ARDS

1. High-flow Nasal Oxygenation (HFNO)

Penggunaan HFNO dalam tatalaksana ARDS menjadi pilihan pertama sebelum


memutuskan untuk menggunakan ventilasi mekanik invasif. Penggunaannya dilakukan
sebagai pertolongan bantuan napas bagi penderita yang belum diindikasikan masuk rawatan
intensif. Hal ini disebakan oleh rendahnya risiko kejadian komplikasi ventilasi invasif seperti
delirium, gangguan kognitif dan infeksi sekunder meskipun HFNO juga memiliki risiko
penggunaan seperti cedera paru akibat tingginya arus oksigen yang memasuki saluran napas.
Perbandingan antara lama rawatan dan durasi penggunaan alat bantu napas memiliki
perbedaan yang signifikan antara pengguna HFNO dan intubasi. Pengguna HFNO memiliki
durasi penggunaan alat bantu napas dan lama rawatan lebih singkat dibandingkan penderita
yang langsung intubasi.[3,13]

Aliran udara dan oksigen melalui HFNO dengan kecepatan lebih dari 60 liter/menit
dilengkapi dengan fasilitas pelembab udara dan sirkuit penghangat sehingga diupayakan
serupa dengan fisiologi saluran napas. Keunggulan dari HFNO adalah berkurangnya jumlah
dead space (udara tersisa yang tidak mengikuti proses difusi), memperbaiki upaya napas,
serta mengembalikan fungsi paru yang terganggu akibat ARDS. Pemilihan HFNO sebagai
alat bantu napas mempertimbangkan keamanan paparan pada tenaga medis yang berisiko
mengalami transmisi aerosol atau droplet dari udara napas sehingga HFNO secara baku harus

11
dilengkapi dengan penyaring serta dilakukan di ruang isolasi. Penggunaan HFNO
direkomendasikan bagi penderita terkonfirmasi COVID-19 sehingga harus melakukan
skrining terlebih dahulu.[14,15]

Gambar 10. Perangkat filter HFNO[14]

Perbandingan penggunaan HFNO dibandingkan modalitas lain untuk oksigenasi


penderita COVID-19 dengan hipoksemia berdasarkan penelitian Frat dkk menunjukkan
perbedaan signifikan antara penggunaan HFNO, non-rebreathing mask (NRM) dan ventilasi
noninvasif. Nilai hazard ratio antara NRM dan HFNO adalah 2.01 terhadap mortalitas dalam
90 hari. Hal ini menunjukkan kematian pada ARDS yang hanya menggunakan NRM adalah
2.01 kali lipat. Nilai hazard ratio ventilasi noninvasif dengan HFNO menunjukkan hasil lebih
besar yaitu 2.50. Strategi penggunaan HFNO sebagai modalitas awal oksigenasi penderita
COVID-19 dengan ARDS menurunkan mortalitas sehingga dapat dipertimbangkan bahkan
pada hipoksemia berat dengan perbandingan tekanan parsial oksigen (PaO2) dan fraksi
oksigen (FiO2) kurang dari 200 mmHg.[16]

Penggunaan HFNO yang menurunkan mortalitas penderita COVID-19 dengan ARDS


memiliki kontraindikasi pada kondisi hiperkapnia, hemodinamik tidak stabil, gangguan jiwa
dan kecurigaan cedera multiorgan sehingga harus dipertimbangkan pemilihan ventilasi
noninvasif hingga invasif. World Health Organization merekomendasikan pemilihan HFNO
hanya pada penderita dengan kriteria stabil dan tidak dapat digunakan sebagai penanganan
awal karena tidak ada perbedaan signifikan dengan modalitas oksigenasi konvensional yang
sejalan dengan penelitian Rochwerg dkk yang menyatakan bahwa nilai relative risk (RR)

12
0.94. Nilai RR kurang dari 1 dianggap sebagai bukan faktor risiko sehingga dinyatakan tidak
ada perbedaan signifikan antara HFNO dan oksigenasi konvensional.[16]

2. Non-invasive Ventilation (NIV)

Penggunaan NIV telah lama digunakan sebagai terapi pada penderita gangguan
oksigenasi dengan manifestasi hipoksemia, hiperkapnia, serta tanda syok. Konsep
penggunaan NIV adalah dengan membantu mekanisme pernapasan lebih optimal melalui
pemberian tekanan positif sehingga napas lebih dalam dan oksigen yang masuk lebih banyak.
Sistem NIV dihubungkan ke mesin ventilator yang dapat diatur serta menggunakan sungkup
yang dipasang ketat tanpa celah untuk mengoptimalkan kerja NIV. Hal ini berbeda dengan
intubasi yang menggunakan metode invasif melalui insersi endotracheal tube (ETT) ke
dalam trakea dengan bantuan sedasi serta harus rawat intensif. Penderita COVID-19 dengan
ARDS yang menggunakan NIV dapat sadar penuh serta melatih upaya napas hingga waktu
pelepasan NIV pasien mampu untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh secara spontan.[17]

Indikasi pemasangan NIV adalah sesak napas berat saat istirahat atau laju napas > 25
kali/menit disertai penggunaan otot bantu napas ataupun napas paradoksikal. Indikasi lainnya
adalah berdasarkan tekanan PaCO2 > 4 mmHg, pH darah < 7,3, dan rasio PaO2/FiO2 lebih
dari 200. Pemasangan NIV ditunda jika penderita mengalami apnea, hemodinamik tidak
stabil, tidak mampu batuk, sekret saluran napas berlebihan, agitasi, dan trauma wajah. Aspek
fisiologi saluran napas pada pemasangan NIV adalah menjaga upaya napas spontan,
pergerakan otot diafragma independen, dan menjaga upaya napas lebih baik dengan
mengurangi aktivitas. Setelah pemasangan NIV, maka pelepasan NIV dilakukan dengan
beberapa kondisi sebagai berikut.[18]

a. Ketidaknyamanan atau nyeri saat pemasangan CPAP


b. Hipoksemia menetap hingga 2 jam
c. Dispnea tidak membaik
d. Indikasi intubasi akibat sekret saluran napas berlebihan

e. Hemodinamik dan rekam jantung abnormal.

Alat NIV terdiri dari dua jenis, yaitu continue positive airway pressure (CPAP) dan
bilevel positive airway pressure (BiPAP). Indikasi penggunaan adalah pada edema paru dan
gagal napas tipe 2 yang dijumpai pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Gagal napas

13
tipe 1 dijumpai pada ARDS akibat COVID-19 yang ditandai dengan hipoksia (PaO2 < 8kPa)
tanpa hiperkapnia, gejala pemberatan hipoksia berupa takipnea, penggunaan otot bantu napas,
pucat dan akral dingin, sianosis hingga penurunan kesadaran. Perbedaan NIV dengan HFNO
adalah pada HFNO menggunakan nasal kanul, sedangkan NIV menggunakan sungkup.
Penderita ARDS akibat COVID-19 yang menggunakan NIV memiliki risiko intubasi lebih
rendah, sedangkan pada penderita yang telah mendapat NIV tidak optimal kemudian diganti
dengan intubasi memiliki angka mortalitas lebih tinggi. Faktor yang mempengaruhi
mortalitas tersebut adalah usia tua, hipertensi, saturasi oksigen di bawah 92%, limfositopenia
dan riwayat menggunakan antibiotik sebelumnya.[17,19]

Pilihan BiPAP umumnya dipilih sebagai bantuan napas pada gangguan obstruksi kronis
seperti PPOK yang mengalami eksaserbasi hingga gagal napas. Penggunaan selama pandemi
COVID-19 terutama dengan kondisi kritis akibat ARDS harus memerhatikan manfaat dan
risiko karena BiPAP dapat menyebabkan barotrauma. Penyebab barotrauma adalah karena
tekanan positif lebih tinggi menyebakan volume tidal meningkat. Pilihan NIV yang lebih
tepat adalah CPAP karena lebih rendah risiko barotrauma, serta tidak memerlukan skrining
dengan pemeriksaan radiografi toraks seperti rontgen atau ultrasonografi untuk mencegah
pneumotoraks selama penggunaan BiPAP.[17]

Pilihan NIV lain adalah CPAP yang digunakan sebagai terapi pada obstructive sleep
apnea (OSA), menggunakan sungkup dan mesin yang dapat diatur. Penggunaan CPAP pada
masa pandemi mengalami peningkatan seiring dengan tingginya kejadian ARDS derajat
sedang hingga berat sehingga memerlukan intervensi dengan alat bertekanan positif melalui
CPAP. Hipoksemia yang terjadi berespon dengan baik melalui alat CPAP dengan keunggulan
fraksi oksigen meningkat menjadi 50% - 60%. Pemasangan CPAP termasuk prosedur yang
memicu aerosol sehingga pada masa pandemi COVID-19 harus dilengkapi dengan ruang
isolasi dan pelindung diri bagi tenaga kesehatan yang menangani. Prosedur CPAP dimulai
dari indikasinya seperti peningkatan laju napas, hambatan dalam makan dan minum, serta
ketidakmampuan tubuh untuk posisi pronasi (telungkup). Prosedur dilakukan oleh minimal
dua ahli dengan menggunakan alat pelindung diri (APD).[20,21]

Prosedur CPAP dimulai dengan mengatur tekanan 12 cmH2O, oksigen 10 liter/menit,


atau 15 liter/menit jika FiO2 > 60%. Sungkup dipilih dengan ukuran yang tepat dan tanpa
celah serta tanpa ventilasi. Titrasi oksigen diperlukan hingga saturasi oksigen tercapai sesuai
target, aliran udara tinggi sejalan dengan meningkatnya tekanan CPAP. Titrasi tekanan CPAP

14
diatur 10-18 cmH2O untuk meningkatkan upaya napas spontan oleh pasien, serta mengganti
penyaring setiap 24 jam. Pelembab udara diberikan jika CPAP akan dipasang lebih dari 12
jam untuk mencegah keringnya mukosa saluran napas.[20]

Gambar 11. Ilustrasi pengaturan CPAP[20]

3. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik merupakan salah satu opsi dalam bantuan suplai oksigen saat
kejadian ARDS dalam infeksi COVID-19 gejala berat. Fungsi ventilasi mekanik yang lain
adalah untuk memberikan waktu bagi parenkim paru untuk resolusi dari mekanisme inflamasi
yang terjadi. Volume dan tekanan yang disesuaikan dan dimasukkan melalui ventilator
memiliki risiko terjadinya cedera paru akibat ventilator yang familiar dikenal sebagai VILI
(ventilator-induced lung injury). Permasalahan dimulai dari overdistensi alveolus memicu
volutrauma hingga berujung menjadi atelektasis. Napas spontan dengan tekanan intraparu
yang terkompensasi ditambah dengan tekanan tambahan dari ventilator menyebabkan VILI
yang memperburuk kondisi ARDS pasien dikenal sebagai self-inflicted lung injury (SILI).
Upaya yang dilakukan untuk mencegahnya adalah lower tidal volume (LTV) serta
menyesuaikan tekanan yang mampu dikompensasi.[22]
Strategi ventilasi mekanik adalah tidak melebihi batas volume tidal dengan pengaturan
volume 4-8 ml/kgBB prediksi. Berat badan prediksi pada pria ditentukan dengan rumus
50+0,91x(TB-152,4) kg, sedangkan pada wanita adalah 45,5+0,91x(TB-152,4) kg. Strategi
tekanan ventilator mekanik adalah < 30 cmH2O. Pelaksanaan strategi volume dan tekanan
untuk LTV berhubungan dengan penurunan kematian sebanyak 30%. Upaya oksigenasi dapat
ditingkatkan dengan posisi pronasi (telungkup) pada pasien selama 12 jam per hari selama
dalam rawatan dengan menggunakan ventilator mekanik.[23,24]
Rekomendasi dalam pelaksanaan ventilator mekanik terdiri dari 10 strategi, dimulai
dari regulasi parameter ventilasi secara fisiologis dengan monitoring tanda vital, respon
terhadap intervensi dan menentukan tujuan tindakan. Hal ini bertujuan untuk menentukan
rasional yang tepat dalam mengurangi upaya napas berlebihan, mengoptimalisasi pertukaran

15
udara, dan mengurangi risiko efek iatrogenik pada pasien. Langkah kedua adalah menentukan
target volume tidal melalui LTV, yaitu volume ditagetkan 4-6 ml/kgBB prediksi, serta
tekanan diatur kurang dari 30 cmH2O. Pada orang sehat, volume tidal disesuaikan dengan
volume ekspirasi paksa dan kapasitas inspirasi sehingga pasien dengan ARDS harus memiliki
pengukuran yang disesuaikan untuk mencegah VILI. Langkah ketiga adalah penentuan target
perbedaan tekanan (∆P) dan tekanan puncak. Berbeda dengan tekanan puncak yang diatur
dalam LTV yaitu < 30 cmH2O, maka ∆P diatur harus lebih rendah dari 13 cmH 2O. Penentuan
tekanan digunakan untuk mengatur positive end-expiratory pressure (PEEP) dan fraksi
oksigen (FiO2). Studi yang menggunakan pasien ARDS dengan ventilasi mekanik
menunjukkan PEEP yang tinggi akan menurunkan ∆P, sedangkan tekanan ∆P yang rendah
akan menurunkan angka mortalitas. Tekanan yang rendah berbanding lurus dengan
berkurangnya volume intraparu yang mengurangi kejadian overdistensi alveolus.[22,25]

Gambar 12. Rangkuman 10 strategi pengaturan ventilator mekanik[25]

Strategi berikutnya adalah menentukan target tekanan transpulmonar, merupakan


tekanan daya regang paru dengan perbandingan tekanan saluran napas dan tekanan pleura.
Tekanan transpulmonar juga dipengaruhi oleh tekanan intraabdomen melalui tekanan
esofagus sehingga komorbiditas obesitas dan distensi abdomen ikut meningkatkan tekanan
transpulmonar. Tekanan yang direkomendasikan adalah di bawah 10-15 cmH2O dengan

16
PEEP antara 0-6 cmH2O, namun harus memperhatikan kondisi peningkatan tekanan
abdomen. Strategi berikutnya adalah tenaga mekanis alat sebagai jumlah . Peningkatan
tekanan secara signifikan akan mempengaruhi distensi hingga risiko VILI dapat diatur.
Strategi pengerahan fungsi alveolus dengan mengoptimalkan pertukaran udara dengan
alveolus yang masih fisiologis dapat membantu target ventilasi, namun kondisi dead space
atau ruang mati akan mengurangi ventilasi hingga difusi.[25]
Rekomendasi radiografi toraks baik polos maupun tomografi dapat dipertimbangkan
untuk menilai kondisi paru sebagai follow up. Kelebihan tomografi adalah dapat
menggambarkan kondisi hiperinflasi, hiperaerasi, dan jaringan non-aerasi. Temuan fokal
seperti atenuasi lobus dipertimbangkan juga sebagai langkah dalam mensinergiskan
pengaturan PEEP. Namun, temuan non-fokal seperti konsolidasi patch menggambarkan
penurunan volume paru dan berisiko terjadi masalah ventilasi hingga difusi. Strategi
berikutnya adalah fenotip biologis dengan marker laboratorium untuk menilai risiko kejadian
inflamasi berat dan koagulasi. Rekomendasi terakhir adalah dengan mengembalikan fungsi
fisiologis dengan menentukan kriteria pelepasan ventilator dan evaluasi ketat selama
ventilator-free day.[25]
4. Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO)
Kejadian gagal napas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia sehingga alat bantu
napas konvensional dan noninvasif tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen serta
eliminasi karbondioksida. Prosedur ECMO merupakan tindakan untuk mengeluarkan
karbondioksida secara penuh, sedangkan jika dikeluarkan secara parsial maka disebut
extracorporeal carbondioxide removal (ECCO2R), keduanya merupakan tindakan
extracorporeal life support (ECLS) yang memiliki panduan tersendiri. Prosedur ECMO
dilakukan dengan dua teknik, yaitu vena-vena (VV-ECMO) dan vena-arteri (VA-ECMO).[22]

Prosedur yang lebih dipilih pada masa pandemi COVID-19 adalah VV-ECMO. Prinsip
kerja VV-ECMO adalah darah yang rendah oksigen dipompa ke vena sentral, kemudian
memicu difusi oleh gradien tekanan dengan membran yang dipasang menghasilkan udara
kaya oksigen bersirkulasi. Aliran darah yang digunakan untuk mendapatkan fungsi tersebut
adalah 3-7 liter/menit. Perbedaan VV-ECMO dan VA-ECMO adalah pada pembuluh darah
yang digunakan saat ECMO, dimana pada VA-ECMO akan berlangsung pertukaran udara
dari vena sentral ke arteri sentral. Pemilihan VA-ECMO lebih umum digunakan sebagai
penanganan penderita ARDS dengan syok kardiogenik.[22,23]

17
Gambar 12. Mekanisme ECMO dalam memperbaiki fungsi oksigenasi[22]

Indikasi ECMO adalah gagal napas dengan tanda hipoksia baik primer maupun
sekunder, infeksi COVID-19 termasuk gagal napas sekunder oleh virus. Sebagian besar
mortalitas akibat ARDS adalah PaO2/FiO2 < 100 tanpa penaganan awal selama enam jam
setelah gejala ARDS muncul. Indikasi lainnya adalah hiperkapnia dengan tekanan parsial
karbondioksida (PaCO2 lebih dari 30 mmHg. Kontraindikasi untuk melaksanakan ECMO
adalah kontraindikasi relatif yang terdiri dari sebagai berikut.[24]

a. Ventilasi mekanik tekanan tinggi (FiO2 > 0,9)


b. Riwayat penggunaan imunosupresi
c. Perdarahan pada sistem saraf pusat

Gambar 13. Ilustrasi pemasangan ECMO[25]

18
BAB III
KESIMPULAN

Infeksi COVID-19 merupakan paparan virus yang menyebakan pneumonia sehingga


memerlukan penanganan lebih lanjut sesuai derajat penyakit. Infeksi virus yang
menyebabkan pneumonia, salah satunya COVID-19 merupakan penyebab tersering ARDS
sehingga upaya pengobatan dilakukan hingga kondisi penderita baik. Pilihan intervensi terapi
dilakukan atas dasar pertimbangan bantuan napas akibat penderita yang tidak mampu
bernapas spontan. Terapi intervensi terdiri dari noninvasif dan invasif.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Burhan E, Susanto A, Nasution S, Ginanjar E. Pedoman Tatalaksana COVID-19. 3rd


ed. Jakarta: PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI; 2020.

2. Kaku S, Nguyen CD, Htet NN, Tutera D, Barr J, Paintal HS, et al. Acute Respiratory
Distress Syndrome : Etiology , Pathogenesis , and Summary on Management. J
Intensive Care Med 2019;1–15.

3. Mellado-Artigas R, Ferreyro B, Angriman F, Hernandez-Sanz M. High - flow Nasal


Oxygen in Patients with COVID-19-associated Acute Respiratory Failure. Crit Care
[Internet] 2021;2–8. Available from: https://doi.org/10.1186/s13054-021-03469-w

4. Dhama K, Khan S, Tiwari R, Sircar S. Coronavirus Disease 2019-COVID-19. Clin


Microbiol Rev 2020;33(4):1–48.

5. Mathews P, Tsolaki AG, Yasmin H, Shastri A. Host-pathogen Interaction in COVID-


19: Pathogenesis, Potential Therapeutics and Vaccination Strategy. Immunobiology
2020;225(1):1–10.

6. Perico L, Benigni A, Casiraghi F, Renia L. Immunity, Endothelial Injury and


Complement-induced Coagulopathy in COVID-19. Nat Rev Nephrol [Internet]
2021;1–14. Available from: http://dx.doi.org/10.1038/s41581-020-00357-4

7. Kassirian S, Taneja R, Mehta S. Diagnosis and Management of Acute Respiratory


Distress Syndrome in a Time of COVID-19. Diagnostics 2020;10(1053):1–18.

8. Matthay MA, Zemans RL, Zimmerman GA, Arabi YM, Beitler JR, Mercat A, et al.
Acute Respiratory Distress Syndrome. Nat Rev Dis Prim [Internet] 2019;5(18):1–10.
Available from: http://dx.doi.org/10.1038/s41572-019-0069-0

9. Suri JS, Agarwal S, Gupta SK, Puvvula A, Biswas M, Saba L, et al. A Narrative
Review on Characterization of Acute Respiratory Distress Syndrome in COVID-19-
infected Lungs Using Artificial Intelligence. Comput Biol Med 2021;130(1):1–10.

10. Root-bernstein R. Innate Receptor Activation Patterns Involving TLR and NLR
Synergisms in COVID-19 , ALI / ARDS and Sepsis Cytokine Storms : A Review and

20
Model Making Novel Predictions and Therapeutic Suggestions. Int J Mol Sci
2021;22(2108):1–10.

11. Weiskopf D, Schmitz K, Raadsen M, Grifoni A. Phenotype and Kinetics of SARS-


CoV-2-specific T Cells in COVID-19 Patients with Acute Respiratory Distress
Syndrome. Sci Immunol 2020;1–14.

12. Bain W, Yang H, Shah FA, Suber T, Drohan C, Al-yousif N, et al. COVID-19 versus
Non – COVID-19 Acute Respiratory Distress Syndrome. AnnalsATS
2021;18(7):1202–10.

13. Lagier J, Amrane S, Mailhe M, Gainnier M, Arlotto S, Gentile S, et al. High-flow


Oxygen Therapy in Elderly Patients Infected with SARS-CoV-2 with a
Contraindication for Transfer to an Intensive Care Unit: A Preliminary Report. Int J
Infect Dis 2021;108:1–3.

14. Guy T, Créac A, Ricordel C, Salé A, Arnouat B, Langelot M, et al. High-flow Nasal
Oxygen : A Safe, Efficient Treatment for COVID-19 Patients not in an ICU. Eur
Respir J 2020;1–5.

15. Calligaro G, Lalla U, Audley G, Gina P. The Utility of High-Flow Nasal Oxygen for
Severe COVID-19 Pneumonia in a Resource-Constrained Setting: A Multi-Centre
Prospective Observational Study. EClinical Med 2020;28(1):1–5.

16. Lyons C, Callaghan M. The Use of High-flow Nasal Oxygen in COVID-19.


Anaesthesia 2020;7(2):843–7.

17. Carter C, Aedy H, Notter J. COVID-19 Disease : Non-Invasive Ventilation and High
Frequency Nasal Oxygenation. Clin Integr Care [Internet] 2020;1(9):1–6. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.intcar.2020.100006

18. Nasibova E, Pashayev C. The Use of Non-invasive Ventilation (NIV) in the Treatment
of Patients with COVID-19. J Intensive Crit Care 2020;6(25):1–5.

19. Bertaina M, Nuñez- IJ, Franchin L, Rozas IF, Espliguero RA-, Viana- MC, et al. Non-
invasive Ventilation for SARS-CoV-2 Acute Respiratory Failure: A Subanalysis from
the HOPE COVID-19 Registry. Emerg Med J 2021;38:359–65.

21
20. Healthcare Improvement Scotland. COVID-19 Position Statement : CPAP for COVID-
19-related Respiratory Failure. Edinburgh: Scottish Government; 2020.

21. Brusasco C, Corradi F, Di Domenico A. Continuous Positive Airway Pressure in


COVID-19 Patients with Moderate-to- severe Respiratory Failure. Eur Respir J
2021;57:10–3.

22. Ficial B, Vasques F, Zhang J, Whebell S, Slattery M, Lamas T, et al. Physiological


Basis of Extracorporeal Membrane Oxygenation and Extracorporeal Carbon Dioxide
Removal in Respiratory Failure. Membranes (Basel) 2021;11(225):1–17.

23. Cho HJ, Heinsar S, Jeong IS, Shekar K, Bassi GL, Jung JS, et al. ECMO use in
COVID-19 : Lessons from Past Respiratory Virus Outbreaks — A Narrative Review.
Crit Care 2020;24(301):1–8.

24. Extracorporeal Life Support Organization. Extracorporeal Life Support Organization


( ELSO ) Guidelines for Adult Respiratory Failure. Michigan: 2017.

25. American Thoracic Society. What is ECMO ? Am J Respir Crit Care Med
2016;193(1):9–10.

22

Anda mungkin juga menyukai