PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Virus Corona merupakan etiologi dari infeksi saluran napas mulai dari epidemi severe
acute respiratory syndrome (SARS-CoV) di Tiongkok pada tahun 2002, middle east
respiratory syndrome (MERS-CoV) di Saudi Arabia pada tahun 2012, hingga COVID-19
yang muncul pertama kali di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada akhir tahun 2019.
Infeksi virus dari Wuhan tersebut dinyatakan sebagai pandemi, yaitu level epidemiologi yang
meluas lintas negara hingga benua pada Februari 2020. Pandemi tersebut menghasilkan kasus
pertama di Indonesia pada bulan Maret 2020 dengan kasus yang bertambah hingga saat ini.
Infeksi virus yang memiliki gejala yang mirip dengan epidemi SARS-CoV 2002
menyebabkan World Health Organization merancang nama pandemi sebagai SARS-CoV-2,
namun terminologi diubah menjadi COVID-19. Isolat virus diidentifikasi pada pengunjung
pasar ikan di Wuhan dan diduga penularan melalui kelelawar, namun infeksi bertransformasi
menjadi infeksi sesama manusia dengan modalitas transmisi droplet saluran napas.[1]
Virus yang menyebabkan COVID-19 adalah SARS-CoV-2, virus tipe ribonucleic acid
(RNA) yang termasuk dalam famili Coronaviridae, subfamili Orthocoronavirinae,
merupakan satu dari tujuh famili yang mampu menginfeksi manusia sehingga berperan dalam
manifestasi saluran napas selama fase infeksi berlangsung. Virus lain yang merupakan famili
yang sama dengan SARS-CoV-2 adalah CoV 229E, HCoV-NL63, HCoV-OC43, HCoV-
HKU1, SARS-CoV, dan MERS-CoV. Virus ini termasuk ordo Nidovirales, dengan empat
2
subspesies yang terdiri dari Alphacoronavirus, Betacoronavirus, Gammacoronavirus dan
Deltacoronavirus yang saat ini termasuk dalam varian – varian COVID-19. Gejala yang
timbul pada tubuh penderita berkisar dari gejala batuk dan demam ringan hingga gejala berat
seperti gagal napas yang membutuhkan tatalaksana noninvasif hingga invasif.[4]
Virus masuk ke dalam sel melalui jalur endosom dan non-endosom. Jalur endosom
dimulai ketika protein S berikatan dengan reseptor ACE2 dibantu oleh transmembrane
protease serine 2 (TMPRSS2) hingga virus berhasil menempel di membran sel. Jalur non-
3
endosom dimulai ketika virus berhasil memasuki sitoplasma dan memulai translasi serta
replikasi, menyebabkan materi genetik RNA keluar bersama dengan nukleokapsid ke dalam
retikulum endoplasma sel. Virus baru akan memulai proses pembentukan di dalam retikulum
endoplasma yang berlanjut ke dalam aparatus Golgi. Virus yang telah terbentuk akan
mengalami eksositosis ke daerah ekstraseluler untuk menginfeksi sel lainnya hingga
membentuk respon imunitas alami (innate) dan adaptif. Mekanisme tersebut dipaparkan
dalam ilustrasi berikut.[5,6]
Diagnosis COVID-19 dimulai dari anamnesis yang akan menelusuri gejala dan riwayat
kontak. Hasil anamnesis akan dipertimbangkan dalam stratifikasi gejala COVID-19 mulai
dari kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi, dan kontak erat. Derajat sakit
diklasifikasikan menjadi tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, gejala berat dan kritis.
Kasus suspek merupakan penderita yang masuk dalam satu kriteria klinis dan satu kriteria
epidemiologi. Kriteria klinis adalah demam akut dan dijumpai lebih dari 3 gejala lain seperti
batuk, kelelahan, sakit kepala, anosmia, ageusia, coryza, sesak napas, mual muntah dan diare.
Kriteria epidemiologi adalah riwayat tinggal atau bekerja di daerah rentan dengan curiga
transmisi lokal atau pekerja di sektor kesehatan seperti tenaga medis dan penunjang dalam 14
hari terakhir. [1]
Kasus probable harus memenuhi kontak dengan penderita probable, terkonfirmasi atau
masuk dalam kluster COVID-19. Kriteria kasus probale lainnya adalah kasus suspek dengan
gambaran radiologi khas, gejala COVID-19 seperti anosmia dan ageusia akut serta distres
napas tanpa penyebab yang jelas. Kasus konfirmasi adalah penderita yang telah didiagnosis
dengan konfirmasi hasil pemeriksaan reversible transcriptase polymerase chain reaction (rt-
PCR) baik asimptomatik maupun dengan gejala. Kontak erat adalah individu yang kontak
dengan penderita probable atau terkonfirmasi tanpa masker dengan jarak 1 meter sekurang-
4
kurangnya 15 menit. Sentuhan fisik dan riwayat merawat penderita terkonfirmasi COVID-19
dapat dikategorikan kontak erat dan dapat dilakukan tracing untuk mencegah risiko
penularan.[1]
Diagnosis COVID-19 yang ditetapkan sebagai baku emas (gold standard) adalah
pemeriksaan swab PCR. Pemeriksaan terdiri dari satu hingga dua kali pemeriksaan dalam
rentang 24 jam, namun jika hasil pemeriksaan pertama PCR positif, maka pemeriksaan hanya
satu kali. Penderita COVID-19 tanpa gejala dan gejala ringan tidak membutuhkan PCR
follow up namun diinstruksikan untuk isolasi mandiri di rumah selama 10 hari terhitung dari
hasil swab PCR reaktif. Namun, pada penderita gejala sedang, berat dan kritis mendapatkan
fasilitas rawatan isolasi di rumah sakit selama 10 hari, melanjutkan swab PCR hari ke-10 dan
dapat dipulangkan setelah 3 hari bebas gejala dan PCR follow up negatif. Prinsip pemeriksaan
PCR adalah identifikasi struktur RNA virus dengan menentukan nilai Prinsip pemeriksaan
PCR adalah identifikasi struktur RNA virus dengan menentukan nilai cycle treshold (nilai
CT) untuk menentukan hasil swab PCR. Alur pemeriksaan dan isolasi penderita COVID-19
mengikuti protokol sebagai berikut.[1]
Penatalaksanaan penderita COVID-19 berbeda antara gejala ringan, sedang, berat dan
kritis yang dimulai dari tatalaksana nonfarmakologi, medikamentosa, penatalaksanaan
noninvasif hingga penatalaksanaan invasif. Penatalaksanaan nonfarmakologi mencakup
edukasi isolasi mandiri dengan cara yang benar, mencukupi kebutuhan nutrisi dan cairan,
istirahat dengan cukup, berjemur di pagi hari, mencuci tangan dan tetap menjaga jarak serta
5
menggunakan masker. Tatalaksana medikamentosa mengikuti gejala atau simptomatis serta
suplementasi vitamin untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Antibiotik, antivirus dan steroid
diberikan sesuai dengan indikasi dan memerlukan pemantauan ketat oleh dokter yang
menangani. Seluruh tatalaksana penderita COVID-19 mengikuti tabel rekomendasi sebagai
berikut.[1]
6
Gambar 5. Algoritma penentuan tatalaksana bantuan napas[1]
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah kejadian gagal napas berat
disertai hipoksemia yang berhubungan dengan respon inflamasi di ujung terminal saluran
napas yaitu alveolus sehingga mengganggu proses difusi. Insidensi ARDS adalah 7%-10%
dari seluruh kunjungan pasien ke unit gawat darurat. Penderita ARDS yang dirawat di ruang
intensif memiliki angka mortalitas yang cukup tinggi dengan estimasi 30% - 50% yang
berhubungan dengan lambatnya penanganan akibat gejala yang tidak khas hingga tatalaksana
yang masih belum optimal. Kasus ARDS telah diidentifikasi selama 50 tahun ini, disebabkan
oleh tingginya aktivitas inflamasi dan produksi sitokin.[7]
Etiologi tersering dari ARDS adalah pneumonia diikuti dengan sepsis dan aspirasi.
Faktor risiko tersering adalah pria usia lanjut (lebih dari 65 tahun), riwayat alkoholisme dan
malnutrisi. Etiologi ARDS akibat pneumonia tersering adalah oleh bakteri Streptococcus
pneumoniae dan Staphylococcus aureus diikuti oleh virus influenza tipe A dan jamur
Pneumocystis jirovecii. Gambaran klinis ARDS yang umum dijumpai adalah sesak dan
hipoksemia yang memberat dengan cepat. Kejadian hipoksemia yang memburuk dalam fase
akut berhubungan dengan temuan patologi berupa diffuse alveolar damage (DAD) atau
kerusakan alveolus difus.[7]
7
Patofisiologi ARDS dimulai dari etiologi baik oleh infeksi bakteri dan virus, cedera
akibat ventilator (ventilator induced lung injury; VILI), dan hiperoksia menyebabkan struktur
alveolus yang bulat mengalami reduksi akibat kerusakan seluler. Paparan berulang etiologi
tersebut menyebabkan inflamasi berulang sehingga jumlah alveolus berkurang dan tidak
beregenerasi. Inflamasi menyebabkan sintesis Toll-like receptor pada sel alveolus tipe II
untuk mengeluarkan makrofag dan menyebabkan sel – sel imunitas bersirkulasi di kavitas
udara alveolus. Kerusakan endotel akibat akumulasi leukosit di alveolus menyebabkan
radang pada alveolus, permeabilitas kapiler bertambah dan akumulasi cairan ekstraseluler
menekan kerja alveolus hingga menyebabkan gagal difusi.[2,8]
8
menunjukkan bahwa COVID-19 memiliki kesamaan dengan SARS-CoV dibandingkan
MERS-CoV. Perbedaan COVID-19 dengan SARS-CoV adalah periode inkubasi, derajat
penyakit dan kemampuan transmisi. Tiga jenis infeksi tersebut memiliki manifestasi saluran
napas mulai gejala ringan hingga berat yang dikenal sebagai ARDS. Penyebab kematian
tertinggi penderita COVID-19 adalah akibat ARDS. Angka kematian per Desember 2020
adalah 1,7 juta kasus dari insidensi 77,4 juta kasus.[9]
Virus SARS-CoV-2 yang masuk ke tubuh penderita melalui droplet saluran napas yang
menginfiltrasi reseptor ACE2 hingga masuk sel alveolus tipe 1 dan 2. Penelitian
menunjukkan bahwa virus lebih mudah dan agresif menyerang sel alveolus tipe 2 daripada
tipe 1 dimana sel alveolus tipe 2 berperan dalam produksi surfaktan. Permeabilitas vaskular
yang meningkat akibat sitokin inflamasi yang bersirkulasi meningkat menyebabkan cairan
intravaskular masuk ke interstisial parenkim paru. Hal ini menyebabkan edema difus dan
menekan alveolus hingga merusak strukturnya dan menghambat proses difusi oksigen dan
karbondioksida. Jumlah oksigen yang berkurang akan menyebabkan hipoksemia dan lesi
parenkim paru tergambar sebagai infiltrat dan gambaran ground glass appearance.
Mekanisme tersebut diilustrasikan dalam skema sebagai berikut.[9]
9
Masalah ARDS yang terjadi saat infeksi COVID-19 dimulai dari stimulasi makrofag,
sel dendritik dan monosit yang mengaktivasi sintesis sitokin yang berjumlah sangat banyak.
Sitokin – sitokin tersebut adalah interleukin 1 (IL1), IL6, IL10, tumor necrosis factor alpha
(TNF-α), tumor necrosis factor beta (TNF-β), dan sintesis dari feritin. Hal ini menyebabkan
terjadinya eosinopenia dan limfositopenia. Seluruh sitokin inflamasi yang telah beredar
dalam jumlah besar akan menginfiltrasi parenkim paru dan saluran napas hingga alveolus.
Aktivitas inflamasi di alveoli akan mengganggu pasase udara dan menghambat difusi yang
menyebabkan hipoksemia dan keluhan penyerta hingga menyebabkan kejadian ARDS.
Inflamasi berlangsung dengan melibatkan sirkulasi sistemik sehingga berisiko menyebabkan
gagal multiorgan, disregulasi vaskular serta koagulopati yang menyebabkan perburukan
kondisi klinis penderita COVID-19 dengan komorbiditas. Temuan lain hasil pemeriksaan
penderita COVID-19 dengan ARDS yang dirawat di ruang intensif berupa stimulasi sel
mononuklear perifer yang meningkatkan sintesis CD4+ dan CD8+.[10,11]
Gambar 8. Mekanisme sintesis sitokin inflamasi oleh virus RNA termasuk COVID-19[10]
10
Gambar 9. Alur penatalaksanaan bantuan napas ARDS akibat COVID-19[7]
Aliran udara dan oksigen melalui HFNO dengan kecepatan lebih dari 60 liter/menit
dilengkapi dengan fasilitas pelembab udara dan sirkuit penghangat sehingga diupayakan
serupa dengan fisiologi saluran napas. Keunggulan dari HFNO adalah berkurangnya jumlah
dead space (udara tersisa yang tidak mengikuti proses difusi), memperbaiki upaya napas,
serta mengembalikan fungsi paru yang terganggu akibat ARDS. Pemilihan HFNO sebagai
alat bantu napas mempertimbangkan keamanan paparan pada tenaga medis yang berisiko
mengalami transmisi aerosol atau droplet dari udara napas sehingga HFNO secara baku harus
11
dilengkapi dengan penyaring serta dilakukan di ruang isolasi. Penggunaan HFNO
direkomendasikan bagi penderita terkonfirmasi COVID-19 sehingga harus melakukan
skrining terlebih dahulu.[14,15]
12
0.94. Nilai RR kurang dari 1 dianggap sebagai bukan faktor risiko sehingga dinyatakan tidak
ada perbedaan signifikan antara HFNO dan oksigenasi konvensional.[16]
Penggunaan NIV telah lama digunakan sebagai terapi pada penderita gangguan
oksigenasi dengan manifestasi hipoksemia, hiperkapnia, serta tanda syok. Konsep
penggunaan NIV adalah dengan membantu mekanisme pernapasan lebih optimal melalui
pemberian tekanan positif sehingga napas lebih dalam dan oksigen yang masuk lebih banyak.
Sistem NIV dihubungkan ke mesin ventilator yang dapat diatur serta menggunakan sungkup
yang dipasang ketat tanpa celah untuk mengoptimalkan kerja NIV. Hal ini berbeda dengan
intubasi yang menggunakan metode invasif melalui insersi endotracheal tube (ETT) ke
dalam trakea dengan bantuan sedasi serta harus rawat intensif. Penderita COVID-19 dengan
ARDS yang menggunakan NIV dapat sadar penuh serta melatih upaya napas hingga waktu
pelepasan NIV pasien mampu untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh secara spontan.[17]
Indikasi pemasangan NIV adalah sesak napas berat saat istirahat atau laju napas > 25
kali/menit disertai penggunaan otot bantu napas ataupun napas paradoksikal. Indikasi lainnya
adalah berdasarkan tekanan PaCO2 > 4 mmHg, pH darah < 7,3, dan rasio PaO2/FiO2 lebih
dari 200. Pemasangan NIV ditunda jika penderita mengalami apnea, hemodinamik tidak
stabil, tidak mampu batuk, sekret saluran napas berlebihan, agitasi, dan trauma wajah. Aspek
fisiologi saluran napas pada pemasangan NIV adalah menjaga upaya napas spontan,
pergerakan otot diafragma independen, dan menjaga upaya napas lebih baik dengan
mengurangi aktivitas. Setelah pemasangan NIV, maka pelepasan NIV dilakukan dengan
beberapa kondisi sebagai berikut.[18]
Alat NIV terdiri dari dua jenis, yaitu continue positive airway pressure (CPAP) dan
bilevel positive airway pressure (BiPAP). Indikasi penggunaan adalah pada edema paru dan
gagal napas tipe 2 yang dijumpai pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Gagal napas
13
tipe 1 dijumpai pada ARDS akibat COVID-19 yang ditandai dengan hipoksia (PaO2 < 8kPa)
tanpa hiperkapnia, gejala pemberatan hipoksia berupa takipnea, penggunaan otot bantu napas,
pucat dan akral dingin, sianosis hingga penurunan kesadaran. Perbedaan NIV dengan HFNO
adalah pada HFNO menggunakan nasal kanul, sedangkan NIV menggunakan sungkup.
Penderita ARDS akibat COVID-19 yang menggunakan NIV memiliki risiko intubasi lebih
rendah, sedangkan pada penderita yang telah mendapat NIV tidak optimal kemudian diganti
dengan intubasi memiliki angka mortalitas lebih tinggi. Faktor yang mempengaruhi
mortalitas tersebut adalah usia tua, hipertensi, saturasi oksigen di bawah 92%, limfositopenia
dan riwayat menggunakan antibiotik sebelumnya.[17,19]
Pilihan BiPAP umumnya dipilih sebagai bantuan napas pada gangguan obstruksi kronis
seperti PPOK yang mengalami eksaserbasi hingga gagal napas. Penggunaan selama pandemi
COVID-19 terutama dengan kondisi kritis akibat ARDS harus memerhatikan manfaat dan
risiko karena BiPAP dapat menyebabkan barotrauma. Penyebab barotrauma adalah karena
tekanan positif lebih tinggi menyebakan volume tidal meningkat. Pilihan NIV yang lebih
tepat adalah CPAP karena lebih rendah risiko barotrauma, serta tidak memerlukan skrining
dengan pemeriksaan radiografi toraks seperti rontgen atau ultrasonografi untuk mencegah
pneumotoraks selama penggunaan BiPAP.[17]
Pilihan NIV lain adalah CPAP yang digunakan sebagai terapi pada obstructive sleep
apnea (OSA), menggunakan sungkup dan mesin yang dapat diatur. Penggunaan CPAP pada
masa pandemi mengalami peningkatan seiring dengan tingginya kejadian ARDS derajat
sedang hingga berat sehingga memerlukan intervensi dengan alat bertekanan positif melalui
CPAP. Hipoksemia yang terjadi berespon dengan baik melalui alat CPAP dengan keunggulan
fraksi oksigen meningkat menjadi 50% - 60%. Pemasangan CPAP termasuk prosedur yang
memicu aerosol sehingga pada masa pandemi COVID-19 harus dilengkapi dengan ruang
isolasi dan pelindung diri bagi tenaga kesehatan yang menangani. Prosedur CPAP dimulai
dari indikasinya seperti peningkatan laju napas, hambatan dalam makan dan minum, serta
ketidakmampuan tubuh untuk posisi pronasi (telungkup). Prosedur dilakukan oleh minimal
dua ahli dengan menggunakan alat pelindung diri (APD).[20,21]
14
diatur 10-18 cmH2O untuk meningkatkan upaya napas spontan oleh pasien, serta mengganti
penyaring setiap 24 jam. Pelembab udara diberikan jika CPAP akan dipasang lebih dari 12
jam untuk mencegah keringnya mukosa saluran napas.[20]
3. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik merupakan salah satu opsi dalam bantuan suplai oksigen saat
kejadian ARDS dalam infeksi COVID-19 gejala berat. Fungsi ventilasi mekanik yang lain
adalah untuk memberikan waktu bagi parenkim paru untuk resolusi dari mekanisme inflamasi
yang terjadi. Volume dan tekanan yang disesuaikan dan dimasukkan melalui ventilator
memiliki risiko terjadinya cedera paru akibat ventilator yang familiar dikenal sebagai VILI
(ventilator-induced lung injury). Permasalahan dimulai dari overdistensi alveolus memicu
volutrauma hingga berujung menjadi atelektasis. Napas spontan dengan tekanan intraparu
yang terkompensasi ditambah dengan tekanan tambahan dari ventilator menyebabkan VILI
yang memperburuk kondisi ARDS pasien dikenal sebagai self-inflicted lung injury (SILI).
Upaya yang dilakukan untuk mencegahnya adalah lower tidal volume (LTV) serta
menyesuaikan tekanan yang mampu dikompensasi.[22]
Strategi ventilasi mekanik adalah tidak melebihi batas volume tidal dengan pengaturan
volume 4-8 ml/kgBB prediksi. Berat badan prediksi pada pria ditentukan dengan rumus
50+0,91x(TB-152,4) kg, sedangkan pada wanita adalah 45,5+0,91x(TB-152,4) kg. Strategi
tekanan ventilator mekanik adalah < 30 cmH2O. Pelaksanaan strategi volume dan tekanan
untuk LTV berhubungan dengan penurunan kematian sebanyak 30%. Upaya oksigenasi dapat
ditingkatkan dengan posisi pronasi (telungkup) pada pasien selama 12 jam per hari selama
dalam rawatan dengan menggunakan ventilator mekanik.[23,24]
Rekomendasi dalam pelaksanaan ventilator mekanik terdiri dari 10 strategi, dimulai
dari regulasi parameter ventilasi secara fisiologis dengan monitoring tanda vital, respon
terhadap intervensi dan menentukan tujuan tindakan. Hal ini bertujuan untuk menentukan
rasional yang tepat dalam mengurangi upaya napas berlebihan, mengoptimalisasi pertukaran
15
udara, dan mengurangi risiko efek iatrogenik pada pasien. Langkah kedua adalah menentukan
target volume tidal melalui LTV, yaitu volume ditagetkan 4-6 ml/kgBB prediksi, serta
tekanan diatur kurang dari 30 cmH2O. Pada orang sehat, volume tidal disesuaikan dengan
volume ekspirasi paksa dan kapasitas inspirasi sehingga pasien dengan ARDS harus memiliki
pengukuran yang disesuaikan untuk mencegah VILI. Langkah ketiga adalah penentuan target
perbedaan tekanan (∆P) dan tekanan puncak. Berbeda dengan tekanan puncak yang diatur
dalam LTV yaitu < 30 cmH2O, maka ∆P diatur harus lebih rendah dari 13 cmH 2O. Penentuan
tekanan digunakan untuk mengatur positive end-expiratory pressure (PEEP) dan fraksi
oksigen (FiO2). Studi yang menggunakan pasien ARDS dengan ventilasi mekanik
menunjukkan PEEP yang tinggi akan menurunkan ∆P, sedangkan tekanan ∆P yang rendah
akan menurunkan angka mortalitas. Tekanan yang rendah berbanding lurus dengan
berkurangnya volume intraparu yang mengurangi kejadian overdistensi alveolus.[22,25]
16
PEEP antara 0-6 cmH2O, namun harus memperhatikan kondisi peningkatan tekanan
abdomen. Strategi berikutnya adalah tenaga mekanis alat sebagai jumlah . Peningkatan
tekanan secara signifikan akan mempengaruhi distensi hingga risiko VILI dapat diatur.
Strategi pengerahan fungsi alveolus dengan mengoptimalkan pertukaran udara dengan
alveolus yang masih fisiologis dapat membantu target ventilasi, namun kondisi dead space
atau ruang mati akan mengurangi ventilasi hingga difusi.[25]
Rekomendasi radiografi toraks baik polos maupun tomografi dapat dipertimbangkan
untuk menilai kondisi paru sebagai follow up. Kelebihan tomografi adalah dapat
menggambarkan kondisi hiperinflasi, hiperaerasi, dan jaringan non-aerasi. Temuan fokal
seperti atenuasi lobus dipertimbangkan juga sebagai langkah dalam mensinergiskan
pengaturan PEEP. Namun, temuan non-fokal seperti konsolidasi patch menggambarkan
penurunan volume paru dan berisiko terjadi masalah ventilasi hingga difusi. Strategi
berikutnya adalah fenotip biologis dengan marker laboratorium untuk menilai risiko kejadian
inflamasi berat dan koagulasi. Rekomendasi terakhir adalah dengan mengembalikan fungsi
fisiologis dengan menentukan kriteria pelepasan ventilator dan evaluasi ketat selama
ventilator-free day.[25]
4. Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO)
Kejadian gagal napas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia sehingga alat bantu
napas konvensional dan noninvasif tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen serta
eliminasi karbondioksida. Prosedur ECMO merupakan tindakan untuk mengeluarkan
karbondioksida secara penuh, sedangkan jika dikeluarkan secara parsial maka disebut
extracorporeal carbondioxide removal (ECCO2R), keduanya merupakan tindakan
extracorporeal life support (ECLS) yang memiliki panduan tersendiri. Prosedur ECMO
dilakukan dengan dua teknik, yaitu vena-vena (VV-ECMO) dan vena-arteri (VA-ECMO).[22]
Prosedur yang lebih dipilih pada masa pandemi COVID-19 adalah VV-ECMO. Prinsip
kerja VV-ECMO adalah darah yang rendah oksigen dipompa ke vena sentral, kemudian
memicu difusi oleh gradien tekanan dengan membran yang dipasang menghasilkan udara
kaya oksigen bersirkulasi. Aliran darah yang digunakan untuk mendapatkan fungsi tersebut
adalah 3-7 liter/menit. Perbedaan VV-ECMO dan VA-ECMO adalah pada pembuluh darah
yang digunakan saat ECMO, dimana pada VA-ECMO akan berlangsung pertukaran udara
dari vena sentral ke arteri sentral. Pemilihan VA-ECMO lebih umum digunakan sebagai
penanganan penderita ARDS dengan syok kardiogenik.[22,23]
17
Gambar 12. Mekanisme ECMO dalam memperbaiki fungsi oksigenasi[22]
Indikasi ECMO adalah gagal napas dengan tanda hipoksia baik primer maupun
sekunder, infeksi COVID-19 termasuk gagal napas sekunder oleh virus. Sebagian besar
mortalitas akibat ARDS adalah PaO2/FiO2 < 100 tanpa penaganan awal selama enam jam
setelah gejala ARDS muncul. Indikasi lainnya adalah hiperkapnia dengan tekanan parsial
karbondioksida (PaCO2 lebih dari 30 mmHg. Kontraindikasi untuk melaksanakan ECMO
adalah kontraindikasi relatif yang terdiri dari sebagai berikut.[24]
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
2. Kaku S, Nguyen CD, Htet NN, Tutera D, Barr J, Paintal HS, et al. Acute Respiratory
Distress Syndrome : Etiology , Pathogenesis , and Summary on Management. J
Intensive Care Med 2019;1–15.
8. Matthay MA, Zemans RL, Zimmerman GA, Arabi YM, Beitler JR, Mercat A, et al.
Acute Respiratory Distress Syndrome. Nat Rev Dis Prim [Internet] 2019;5(18):1–10.
Available from: http://dx.doi.org/10.1038/s41572-019-0069-0
9. Suri JS, Agarwal S, Gupta SK, Puvvula A, Biswas M, Saba L, et al. A Narrative
Review on Characterization of Acute Respiratory Distress Syndrome in COVID-19-
infected Lungs Using Artificial Intelligence. Comput Biol Med 2021;130(1):1–10.
10. Root-bernstein R. Innate Receptor Activation Patterns Involving TLR and NLR
Synergisms in COVID-19 , ALI / ARDS and Sepsis Cytokine Storms : A Review and
20
Model Making Novel Predictions and Therapeutic Suggestions. Int J Mol Sci
2021;22(2108):1–10.
12. Bain W, Yang H, Shah FA, Suber T, Drohan C, Al-yousif N, et al. COVID-19 versus
Non – COVID-19 Acute Respiratory Distress Syndrome. AnnalsATS
2021;18(7):1202–10.
14. Guy T, Créac A, Ricordel C, Salé A, Arnouat B, Langelot M, et al. High-flow Nasal
Oxygen : A Safe, Efficient Treatment for COVID-19 Patients not in an ICU. Eur
Respir J 2020;1–5.
15. Calligaro G, Lalla U, Audley G, Gina P. The Utility of High-Flow Nasal Oxygen for
Severe COVID-19 Pneumonia in a Resource-Constrained Setting: A Multi-Centre
Prospective Observational Study. EClinical Med 2020;28(1):1–5.
17. Carter C, Aedy H, Notter J. COVID-19 Disease : Non-Invasive Ventilation and High
Frequency Nasal Oxygenation. Clin Integr Care [Internet] 2020;1(9):1–6. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.intcar.2020.100006
18. Nasibova E, Pashayev C. The Use of Non-invasive Ventilation (NIV) in the Treatment
of Patients with COVID-19. J Intensive Crit Care 2020;6(25):1–5.
19. Bertaina M, Nuñez- IJ, Franchin L, Rozas IF, Espliguero RA-, Viana- MC, et al. Non-
invasive Ventilation for SARS-CoV-2 Acute Respiratory Failure: A Subanalysis from
the HOPE COVID-19 Registry. Emerg Med J 2021;38:359–65.
21
20. Healthcare Improvement Scotland. COVID-19 Position Statement : CPAP for COVID-
19-related Respiratory Failure. Edinburgh: Scottish Government; 2020.
23. Cho HJ, Heinsar S, Jeong IS, Shekar K, Bassi GL, Jung JS, et al. ECMO use in
COVID-19 : Lessons from Past Respiratory Virus Outbreaks — A Narrative Review.
Crit Care 2020;24(301):1–8.
25. American Thoracic Society. What is ECMO ? Am J Respir Crit Care Med
2016;193(1):9–10.
22