Anda di halaman 1dari 7

2.

1 Intoksikasi Opiate

2.1.1 Definisi
Gangguan penggunaan zat merupakan gangguan penyakit kronis yang sering
ditandai dengan kekambuhan (relapse) dan remisi. Berdasarkan DSM V, gangguan
penggunaan zat didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang termasuk gejala dari
toleransi, withdrawal, peningkatan konsumsi yang berlebihan, dan keinginan berlebih
akan suatu zat yang dikonsumsi secara terus menerus. Keracunan akut atau intoksikasi
pada penggunaan zat merupakan kondisi patologis pada organisme yang disebabkan
oleh oleh tindakan zat yang bersifat toksik. Proses tersebut merupakan proses dinamis
yang cenderung singkat tetapi bersifat intens dan dapat dengan cepat memburuk.
Apabila terjadi komplikasi akibat intoksikasi suatu zat, dapat mengancam jiwa hingga
terjadi kematian. Penyalahgunaan obat seperti ganja, kokain, obat-obatan sintetis dan
opioid merupakan fenomena yang meningkat terutama pada populasi anak muda
(Piccioni et al., 2020).
Pada awalnya, penggunaan opiate atau opioid bertujuan untuk meningkatkan
rasa gembira atau menghilangkan rasa nyeri. Namun seiring berjalannya waktu,
toleransi tubuh terhadap penggunaan opioid akan berkembang dengan mudah dan
dapat menyebabkan peningkatan asupan yang tidak terkontrol, yang biasanya
dibarengi dengan keinginan untuk meminimalisasi gejala putus obat dan berujung
dengan berkembangnya ketergantungan opioid sebagai konsekuensinya (Wang,
2019).
2.1.2 Etiologi dan Kultur-Ras
Berdasarkan DSM V, gangguan pada penggunaan zat opoid biasanya dapat
dimulai dari segala usia, tetapi masalah yang terkait dengan penggunaan opioid paling
sering diamati pertama kali pada usia akhir remaja atau diawal 20-an. Individu dari
populasi etnis minoritas yang tinggal di daerah ekonomi yang kurang terbukti sering
menggunakan zat opioid. Tetapi seiring berjalannya waktu, penggunaan opioid juga
banyak ditemukan pada masyarakat ras kulit putih dengan ekonomi menengah,
terutama pada perempuan, yang menunjukkan bahwa faktor sosial juga dapat
mempengaruhi prevalensi. Petugas medis yang memiliki akses dengan opioid juga
berisiko lebih tinggi dalam mengalami gangguan penggunaan opioid.
2.1.3 Prevalensi/Epidemiologi
Prevalensi pemakaian obat opioid dalam jangka 12 bulan terdapat sekitar
0,37% di antara usia dewasa atau 18 tahun keatas dalam populasi komunitas. Remaja
wanita memiliki kemungkinan lebih tinggi dalam penggunaan opioid dibandingkan
dengan remaja laki-laki. Prevalensi akan menurun seiring bertambahnya usia, dengan
prevalensi paling tinggi atau sebesar 0,82% pada usia dewasa 29 tahun, dan akan
menurun menjadi 0,09% pada usia lansia 65 tahu ke atas. Di antara orang dewasa,
prevalensi gangguan penggunaan zat opioid lebih rendah pada ras Afrika-Amerika
yaitu 0,18% dibandingkan dengan ras Amerika asli yaitu sebesar 1,25%. Pada ras
kulit putih prevalensi penggunaan opioid sebesar 0,38%, lalu pada ras Asia sebesar
0,35%, dan pada ras Hispanik sebesar 0,39% (DSM V, 2013). Berdasarkan data pada
Badan Narkotika Nasional RI, Tramadol atau suatu zat opiod berkembang secara
mengkhawatirkan di Asia dan penggunaan opioid secara non-medis perempuan dan
laki-laki nilainya masih sebanding, tetapi beberapa daerah masih lebih tinggi
pengguna perempuan.
Berdasarkan CDC WONDER (2020), kematian akibat overdosis atau
intoksikasi zat opioid meningkat dari 21.088 pada tahun 2010 menjadi 47.600 pada
tahun 2017 dan tetap stabil pada tahun 2018 dengan angka 46.802 kematian. Hal
tersebut diikuti oleh peningkatan yang signifikan pada tahun 2019 menjadi 49.860
kematian akibat overdosis.

Gambar 2.1 Kematian akibat penggunaan opioid tahun 1999 - 2019


Sedangkan berdasarkan data WHO, terdapat 0,5 juta kematian diakibatkan
penggunaan obat-obatan terlarang. Lebih dari 70% dari kematian tersebut merupakan
kematian akibat opioid, dengan 30% diantaranya merupakan kematian akibat
overdosis opioid.
2.1.4 Faktor Risiko
Faktor risiko gangguan penggunaan zat opiaoid dapat dikaitkan dengan faktor
individu, keluarga, teman sebaya, dan faktor lingkungan sosial. Tetapi dalam hal ini,
faktor genetik dapat berkaitan secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai
contoh, impulsivitas dan pencarian suatu hal yang baru merupakan temperamen
individu yang dapat berhubungan dengan kecenderungan untuk mengembangkan
gangguan penggunaan zat tetapi mungkin hal itu dapat ditentukan secara genetik.
Faktor teman juga dapat berhubungan dengan kecenderungan genetic dalam memilih
lingkungannya sendiri (DSM V, 2013).
Sedangkan beberapa hal yang akan dipaparkan di bawah ini merupakan faktor
risiko pada kejadian overdosis opioid berdasarkan WHO (2019):
1. Mempunyai gangguan penggunaan zat opioid;
2. Menggunakan opioid dengan cara diinjeksikan;
3. Menggunakan kembali opioid setelah bersih dari penggunaan jangka
panjang;
4. Menggunakan opioid tanpa diresepkan;
5. Menggunakan opioid dengan kombinasi alcohol dan / atau zat atau
obat lain yang dapat menekan fungsi pernapasan seperti:
benzodiazepine, barbiturate, anestesi, atau beberapa obat nyeri;
6. Memiliki kondisi medis atau komorbid seperti: HIV, penyakit hati atau
paru, dan penyakit mental.
Faktor risiko terakhir terjadinya overdosis atau intoksikasi penggunaan opioid
menurut WHO adalah laki-laki yang berusia lebih tua dan orang dengan status sosial
ekonomi lebih tinggi akan mengalami overdosis opioid dibandingkan wanita, orang
dengan kelompok usia muda, dan orang dengan status sosial ekonomi yang lebih
tinggi.
2.1.5 Gejala Klinis dan Kriteria Diagnosis Intoksikasi Opioid
Gejala klinis yang dapat terjadi pada pengguna zat opioid yang mengalami
overdosis menurut WHO adalah sebagai berikut:
1. Pupil yang mengecil / konstriksi pupil;
2. Penurunan kesadaran;
3. Kesulitan bernapas.
Berdasarkan DSM V, kriteria diagnosis yang didapatkan pada pasien overdosis
zat opioid adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan zat opioid dalam jangka dekat;
2. Perubahan perilaku yang bermasalah atau perubahan psikologis (e.g.
euphoria yang diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau retardasi
psikomotor, dan gangguan penilaian) yang terjadi setelah penggunaan
opioid;
3. Terdapat konstriksi pada pupil (atau dilatasi pupil akibat anoxia dari
overdosis yang parah) dan ditambah dengan satu atau lebih gejala
berikut ini setelah penggunaan opioid: perasaan mengantuk, bicara
melantur, dan gangguan atensi atau memori;
4. Tanda dan gejala tidak disebabkan leh kondisi medis lain dan tidak
dapat dijelaskan dengan kelainan mental, termasuk keracunan akibat
zat yang lain.
2.1.6 Kelainan yang terjadi akibat penggunaan Opioid
Penggunaan opioid memiliki efek salah satunya sering menyebabkan
kurangnya sekresi selaput membran, dan menyebabkan mulut dan hidung menjadi
kering. Pada gastrointestinal dapat menyebabkan penurunan motilitas dari usus dan
dapat menyebabkan konstipasi. Penglihatan juga terganggu diakibatkan oleh
konstriksi pupil. Apabila pemberian zat opioid diberikan secara injeksi, maka akan
terlihat tanda bekas injeksi suntikan di ekstremitas, terkadang juga terdapat edema
hingga selulitis. Sehubungan dengan infeksi seperti selulitis, infeksi HIV, dan
tuberculosis, gangguan penggunaan opioid dikaitkan dengan angka kematian setinggi
1,5 - 2% per tahun. Selain itu, pada bayi yang baru lahir dengan ibu pengguna opioid
maka dapat mengakibatkan bayi ketergantungan terhadap zat opioid, selain
ketergantungan dapat juga menyebabkan bayi dengan berat badan lahir rendah tetapi
tanda tersebut bukan merupakan gejala umum yang terjadi pada bayi dengan ibu
pengguna opioid (DSM V, 2013).

2.1.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding berdasarkan DSM V dapat dibagi menjadi 2 klasifikasi
yaitu: Intoksikasi akibat zat lain, dan gangguan lain yang diakibatkan oleh opioid.
Intoksikasi yang diakibatkan oleh zat lain dapat disebabkan oleh alkohol dan obat
sedative dikarenakan gejala yang muncul mirip dengan gejala intoksikasi opioid,
diagnosis yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dapat dilihat
dari pupil apakah konnstriksi atau dilatasi atau apakah ada respon dari pemberian
naloxone. Pada kasus intoksikasi alkohol dan obat sedatif, pemberian naloxone tidak
dapat mengurangi efek dari sedatif tersebut. Pada diagnosis banding penyakit lain
yang terkait penggunaan opioid dapat ditemukan tanda-tanda depresi.
2.1.8 Tatalaksana
Berdasarkan WHO, kematian akibat overdosis dari opioid dapat dicegah
apabila pasien mendapatkan penanganan gawat darurat dengan cepat dengan
pemberian naloxone. Naloxone sendiri merupakan antagonis opioid yang telah
tersedia selama beberapa dekade, dapat dengan aman membalikkan overdosis opioid
jika digunakan dengan tepat dan benar. Tetapi naloxone mempunyai efek samping
sindrom penarikan opioid akut apabila diberikan dalam dosis yang berlebihan
(Piccioni et al., 2020). Selain naloxone, pada awal 2019 ditemukan bukti literatur
yang mendukung obat-obatan seperti metadon atau buprenorfin untuk menstabilkan
penggunaan opioid pada pasien intoksikasi opioid dan dapat membuat kejadian
kekambuhan (relapse) berkurang di masa yang akan datang (Oelhaf et al., 2021).
2.1.9 Prognosis
Dalam keadaan akut, pasien yang mendapatkan pengobatan menggunakan
opioid dalam durasi dan dosisnya yang tepat tidak akan menyebabkan gangguan
penggunaan zat, dan apabila efek atau dosis opioid sudah habis maka pasien
diperkirakan mendapatkan kembali fungsi fisiologisnya, dan dapat melakukan
aktivitas sehari hari. Sama halnya dengan pasien yang mengalami overdosis atau
intoksikasi opioid, setelah dilakukan terapi dengan benar yaitu dapat menggunakan
metadon, buprenorfin, serta naloxone yang menghambat kerja dan mengurangi efek
opioid maka setelah efek opioid tersebut hilang, fungsi tuuh dapat kembali bekerja
seperti semula asalkan peristiwa intoksikasi tersebut tidak menyebabkan cedera pada
organ yang menyebabkan hipoksia (Oelhaf et al., 2021).
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorder Edition (DSM-V). Washington : American Psychiatric Publishing
Badan Narkotika Nasional. Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan
Narkoba Tahun Anggaran 2014. 2014.
CDC WONDER (2020). National Center on Health Statistics
Oelhaf RC, Del Pozo E, Azadfard M. 2021. Opioid Toxicity. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; Jan-.[Updated 2021 May 19].
Piccioni, A., Cicchinelli, S., Saviano, L., Gilardi, E., Zanza, C., Brigida, M., Tullo, G.,
Volonnino, G., Covino, M., Franceschi, F., & La Russa, R. (2020). Risk Management
in First Aid for Acute Drug Intoxication. International journal of environmental
research and public health, 17(21), 8021. https://doi.org/10.3390/ijerph17218021
UNODC (2020). World Drug Report
Wang S. (2019). Historical Review: Opiate Addiction and Opioid Receptors. Cell
transplantation, 28(3), 233–238. https://doi.org/10.1177/0963689718811060
WHO (2019). International Classification of Diseases for Mortality and Morbidity Statistics.
Eleventh Revision.

Anda mungkin juga menyukai